You are on page 1of 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Struktur Pekarangan Pekarangan adalah kumpulan tanaman musiman dan tahunan serta hewan (termasuk ternak, serangga dan hewan liar) di atas lahan yang mengelilingi rumah (Christanty et al, 1986, Kumar and Nair, 2004). Pekarangan muncul baik di wilayah berpenduduk padat atau tidak dan selalu merupakan sebidang lahan yang berada di sekitar rumah dan memiliki batas-batas yang jelas (Galluzi et al., 2010). Batas fisik pekarangan seperti tembok, pagar besi, pagar tanaman, gundukan tanah, parit, patok, tonggak batu, atau tanaman di ujung-ujung lahan dicirikan pada berbagai pekarangan tergantung pada adat, kebiasaan, sosial budaya masyarakat, status ekonomi, letak pekarangan di desa/kota dan lain-lain (Arifin et al., 1997). Arifin et al. (2009) membagi pekarangan menjadi 3 ukuran, yaitu pekarangan kecil (<120 m2), pekarangan sedang (120-400 m2), pekarangan besar (400-1000 m2), dan pekarangan sangat besar (>1000 m2). Selanjutnya, pembagian zonasi pekarangan adalah halaman depan (buruan), halaman samping (pipir) dan halaman belakang (kebon) (Gambar 2).

(sumber: Arifin et al., 2009)

Gambar 2. Pembagian ruang (zonasi) di pekarangan

Halaman depan biasanya digunakan sebagai lumbung, untuk menanam tanaman hias, pohon buah, tempat bermain anak, bangku taman dan tempat menjemur hasil pertanian. Halaman samping lebih digunakan untuk tempat menjemur pakaian, pohon penghasil kayu bakar, bedeng tanaman pangan, tanaman obat, kolam ikan, sumur dan kamar mandi. Halaman belakang digunakan sebagai tempat bedeng tanaman sayuran, tanaman bambu, kandang ternak dan tanaman industri (Arifin et al., 2009).
Sebagai perbandingan dengan struktur pekarangan Sunda, bagian depan pekarangan Betawi yang sering disebut serambi depan. Pada serambi ini seringkali terdapat tanaman hias untuk menyambut tamu atau orang luar. Tanaman yang terdapat di bagian depan cenderung memiliki batang tanaman yang pendek seperti kacapiring, kembang sepatu, kenanga, lidah buaya, dan lain-lain. Untuk menciptakan privacy, pada bagian depan rumah tradisional Betawi dibuat langkan, yaitu pagar yang disebut jaro, terbuat dari bahan bambu atau kayu, sehingga pandangan dari luar rumah tidak menembus ke dalam rumah (Rambe, 2006).

Chrystanty et al. (1986) menjabarkan struktur tanaman di pekarangan dengan mengklasifikasikannya berdasarkan tinggi tanaman dalam lima level, yaitu di bawah 1 m, di antara 1 m sampai 2 m, di antara 2 m sampai 5 m, di antara 5 m sampai 10 m, dan di atas 10 m. Struktur vertikal ini memberikan efek yang sama dengan hutan alami. Namun, sebaran vegetasi di pekarangan berbeda dengan sebaran vegetasi di hutan alami. Pada artikel yang sama, peneliti ini juga menyebutkan bahwa pemilik rumah mempertimbangkan letak tanaman pada pekarangan berdasarkan ketersediaan cahaya dan air, kesuburan media, pertimbangan estetika, pertimbangan praktis serta keamanan dan proteksi tanaman (Gambar 3). Komposisi spesies yang ada di pekarangan satu dan pekarangan lainnya dapat berbeda namun, secara umum, pekarangan-pekarangan tersebut dapat memiliki struktur tertentu. Struktur pekarangan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu altitude, tipe tanah, iklim dan status sosial-ekonomi serta latar belakang budaya. Struktur dan fungsi pekarangan saling berhubungan (Karyono, 1990).

(sumber: Iskandar, 1980 cit. Christanty et al, 1986)

Gambar 3. Letak tanaman di pekarangan

2.2. Fungsi Pekarangan Mengikuti maupun mendahului strukturnya, pekarangan memiliki manfaat yang dikelola melalui pendekatan terpadu. Pemanfaatan tersebut diharapkan akan menjamin ketersediaan lahan pangan yang beraneka ragam secara terus menerus guna pemenuhan gizi keluarga. Fungsi pekarangan adalah menghasilkan: 1) bahan makanan sebagai tambahan hasil sawah dan tegalannya; 2) sayur dan buahbuahan3) unggas, ternak kecil dan ikan; 4) rempah, bumbu dan wangi-wangian; 5) bahan kerajinan tangaan; dan 6) uang tunai (Deptan, 2002). Sebagai perbandingan, Arifin et al. (2009) menyebutkan bahwa manfaat dan fungsi pekarangan adalah sebagai 1) sumber pangan, sandang dan papan; 2) sumber plasma nutfah dan biodiversitas; 3) habitat berbagai jenis satwa; 4) pengendali iklim (untuk kenyamanan); 5) penyerap karbon; 6) daerah resapan air; 7) mengkonservasi tanah; serta sebagai 8) sumber tambahan pendapatan keluarga. Selanjutnya, Kehlenbeck et al. (2007) membagi fungsi pekarangan menjadi dua fungsi utama, yaitu produksi dan jasa pelayanan. Fungsi produksi terdiri atas fungsi pekarangan untuk kehidupan sehari-hari (buah, sayur, bumbu, obat, bahan

pokok, stimulan, kayu dan pakan ternak) dan komersial. Fungsi jasa dikelompokkan sebagai jasa sosia-budaya (pemberian, kurban, kebanggan, kesenangan, estetika, pekerjaan dan pergaulan) dan jasa lingkungan (habitat liar, pengendali hama dan penyakit, siklus nutrisi, menjaga mikroklimat dan kontrol erosi tanah) (Gambar 4).
PEKARANGAN

PRODUKSI
KEHIDUPAN SEHARI-HARI Buah Sayur Bumbu Obat Bahan pokok Stimulan Kayu Pakan ternak KOMERSIAL Pemasukan

JASA
SOSIAL-BUDAYA Pemberian Kurban Kebanggaan Kesenangan Estetika Pekerjaan Pergaulan LINGKUNGAN Habitat liar Pengendali hama & penyakit Siklus nutrisi Mikroklimat Kontrol erosi tanah

(Sumber: Kehlenbeck et al, 2007)

Gambar 4. Fungsi-fungsi utama pekarangan dan contoh hasil produk keluarannya Berbeda dengan Kehlenbeck et al. (2007), Kristyono (1983) cit. Mayanti (2007) membagi fungsi pekarangan menjadi dua berdasarkan aspek ekonomi, yaitu: 1. Ekonomi, hasil pembudidayaan pekarangan dapat dimanfaatkan langsung untuk memenuhi kebutuhan manusia. Fungsi ini banyak terdapat di pedesaan. 2. Non ekonomi, hasil pembudidayaan pekarangan dimanfaatkan secara tidak langsung, seperti melindungi rumah dari iklim, meningkatkan nilai estetika dan status pemilik rumah. Fungsi ini banyak terdapat di perkotaan. Fungsi pekarangan sebagai cerminan status dan karakter pemilik rumah ditekankan dalam artikel Abu-Gazeh (2000). Peneliti ini menyatakan bahwa pekarangan merupakan salah satu bentuk teritori pemilik atau penghuni rumah. Di pekarangan tersebut terdapat identitas pemilik atau penghuni rumah dan dia akan memasang pembatas sebagai bentuk dari batas daerah kekuasaannya. Pengelolaan pekarangan akan tergantung dari karakter dan kondisi penghuni rumah tersebut.

Pekarangan, sebagai habitat suatu keluarga dalam bentuk halaman rumah atau taman rumah memiliki fungsi multi guna antara lain sebagai tempat dipraktikkannya sistem agroforestri, konservasi sumber daya genetik, konservasi tanah dan air, produksi bahan pangan dari tumbuhan dan hewan, tempat diselenggarakannya aktivitas yang berhubungan dengan sosial budaya, terutama bagi pekarangan yang berada di pedesaan. Oleh karena itu, pekarangan merupakan suatu penggunaan lahan yang optimal dan dapat berkelanjutan dengan menghasilkan produktivitas yang relatif tinggi di daerah tropis (Arifin, 2010). Dengan kata lain, pekarangan juga mudah diusahakan dengan tujuan untuk meningkatkan pemenuhan gizi mikro melalui perbaikan menu keluarga sehingga sering disebut sebagai lumbung hidup, warung hidup atau apotek hidup (Deptan, 2002). Pekarangan dari sudut ekologi merupakan lahan dengan sistem yang terintegrasi dan mempunyai hubungan yang kuat antara manusia sebagai pemilik dan penghuninya dengan tanaman yang tumbuh dan ditumbuhkan serta dengan hewan-hewan yang diternaknya (Arifin, 2010). Interaksi antara tanaman, hewan dan manusia dapat membuat suatu rantai makanan dan daur ekologis tersendiri di dalam pekarangan (Abdoellah, 2003).

2.3. Dinamika dan Keanekaragaman Hayati Pekarangan Struktur dan fungsi dapat berubah dari waktu ke waktu, tergantung faktor biofisik dan kebutuhan manusianya. Perkampungan dengan altitude dan iklim yang sama biasanya memiliki struktur yang sama. Pekarangan yang terdapat di dataran tinggi biasanya memiliki keragaman tanaman yang lebih rendah dan pola hubungan yang lebih sederhana daripada dataran rendah (Karyono, 1990). Struktur dan fungsi pekarangan juga dapat berubah sejalan dengan adanya proses urbanisasi (Arifin et al., 1997). Pekarangan di pedesaan biasanya memiliki lapisan yang lebih beragam disbanding dengan pekarangan di kawasan urban yang keragaman tanaman secara vertikal lebih sedikit (Christanty, 1990). Wati (2009), dalam penelitiannya di pemukiman yang berbeda tingkat kepadatannya, menyebutkan bahwa hal yang mempengaruhi preferensi pada masyarakat pemukiman padat adalah faktor estetika (100%), faktor ekonomi (47,6%) dan

10

ekologi (23,8%); pada pemukiman sedang adalah faktor estetika (83%), faktor ekonomi (83%) dan ekologi (41,7%); sedangkan pada pemukiman jarang adalah faktor ekonomi (100%), faktor ekologi (77,8%) dan faktor estetika (55,6%). Keragaman tanaman di pekarangan dapat dibedakan menjadi keragaman vertikal dan horizontal. Keragaman vertikal diklasifikasikan berdasarkan tinggi tanaman sedangkan keragaman horizontal diklasifikasikan berdasarkan jenis dan pemanfaatan tanaman, yaitu 1) tanaman hias, 2) tanaman buah, 3) tanaman sayuran, 4) tanaman obat, 5) tanaman bumbu, 6) tanaman penghasil pati, 7) tanaman industri dan 8) tanaman-tanaman lain penghasil pakan, kayu bakar, bahan kerajianan tangan dan peneduh (Arifin et al., 2009). Keanekaragaman hayati di pekarangan Indonesia tercermin pada struktur pekarangan yang merupakan mimikri dari hutan alami (Soemarwoto and Conway, 1992). Keanekaragaman hayati di pekarangan akan berhubungan dengan budaya masyarakat, salah satunya adalah budaya pertanian. Galluzi et al. (2010) mencatat bahwa kultivar tanaman yang terdapat di pekarangan merupakan kombinasi dari kultivar-kultivar produk yang dibutuhkan pasar. Selain itu, keanekaragaman hayati pekarangan juga berkaitan dengan habitat satwa liar (Yliskyl-Peuralahti, 2003) seperti keragaman jenis burung yang dapat mampir di pekarangan jika keragaman tanaman sebagai makanan tetap dijaga. Michon and Mary (1994) menyebutkan bahwa pekarangan di Bogor merupakan tempat hinggap bagi berbagai hewan liar seperti burung (McWilliam, and Brown, 2001), kelelawar, serangga, tupai dan musang. Walau areanya kecil namun memiliki peran penting dalam proses biologi, seperti penyerbukan, hibridasi alami dan penyebaran benih.

2.4. Sosial Budaya dan Kearifan Lokal di Pekarangan Galluzi et al. (2010) mencatat bahwa penelitian mengenai faktor sosial dan ekonomi dalam meningkatkan dan menjaga keragaman tanaman di pekarangan mendapatkan perhatian yang kurang. Padahal, budaya manusia mempengaruhi keragaman dan ekosistem tersebut. Sering juga, nilai budaya dan ekonomi adalah pendekatan yang dapat menjelaskan tentang perbedaan antar pekarangan serta lingkungannya.

11

Abdoellah (1991) mengusulkan salah satu panduan pembangunan pekarangan adalah pengetahuan tradisional dan kearifan lingkungan dari masyarakat lokal tidak boleh diabaikan karena kombinasi hal-hal tersebut dengan ilmu modern dan tekhnologi dapat meningkatkan kesuksesan sistem yang baru. Komunitas yang erat dan adanya tujuan sosial yang biasanya terdapat dalam masyarakat pedesaan membuat pekarangan dimanfaatkan secara terbuka, bukan hanya oleh pemilik rumah tapi juga komunitasnya. Sebagai contoh, orangorang yang membutuhkan buah-buahan tertentu, daun atau umbi-umbian untuk ritual keagamaan atau obat-obatan bisa meminta kepada pemilik rumah dan bebas mengambilnya (Arifin, 1998). Bukan hanya itu, orang-orang masih bebas untuk melintasi pekarangan tanpa izin dari pemilik rumah (Abdoellah, 1991) Kebutuhan bekerja dan waktu senggang di pekarangan rumah, membuat keluarga atau suatu komunitas menyediakan ruang tertentu untuk kegiatan sosial dan budaya di pekarangan (Galluzi et al., 2010). Artikel yang ditulis oleh Abdoellah (1991) menunjukkan bahwa pekarangan memiliki ruang tersebut yang dikenal dengan halaman atau buruan (Sunda) atau pelataran (Jawa) atau halaman (Indonesia) dan biasanya di depan rumah. Halaman biasanya tidak ditanami tanaman dan dijaga kebersihannya. Ini adalah tempat yang penting untuk sosialisasi dan pendidikan nilai-nilai budaya dan sosial bagi anak-anak oleh orang tua mereka. Halaman juga berfungsi sebagai tempat untuk ritual keagamaan, upacara budaya dan pertemuan informal. Sebagai perbandingan, masyarakat Hindu di Bali menggunakan

pekarangannya sebagai tempat untuk melakukan ritual (Dwijendra, 2003). Menurut suratan lontar siwagama dengan tegas menyatakan bahwa setiap keluarga (Hindu) dianjurkan untuk mendirikan sanggah kemulan sebagai perwujudan ajaran pitra yadnya yang berpangkal pada pitra rna, selanjutnya di dalam lontar purwa bhumi kemulan ditambahkan bahwa yang distanakan atau dipuja di sanggah kemulan itu tidak lain adalah dewa pitara atau roh suci leluhur. Oleh karena itu, di pekarangan Bali terdapat Pelinggih Padmasari (tempat pemujaan bagi Sang Hyang Widhi dan Bathari-bathari) serta Sanggah Kemulan (tempat pemujaan tri murti) (Budi, 2010).

12

Masyarakat Islam di Indonesia pada umumnya membagi pekarangan dan lahan kepada anak-anak saat orang tua meninggal. Fragmentasi atau pemisahan ini terus berlanjut dan berefek terhadap sistem pasar, bahkan di daerah pedesaan. Hal ini juga dapat mempengaruhi struktur dan fungsi pekarangan. Keragaman spesies di pekarangan pun menurun seiring dengan penurunan luasan area terbuka di pekarangan (Arifin et al., 1997).

You might also like