You are on page 1of 5

Klien Penulis Sumber

Intisari Siska Widyawati Riset Internet (link terlampir)

Awas, Perang Cyber Dihadapan Mata Amerika Serikat bersiap untuk menghadapi perang cyber. Tidak tanggung-tanggung mereka bahkan menyiapkan prajurit-prajurit khusus yang siap mengobrak-abrik suatu negara dalam sekejap hanya bersenjatakan komputer dan modem. Bagaimana jika? Saat akan mengambil uang tunai di ATM saldo tabungan Anda tiba-tiba menjadi Rp. 0. Panik, anda menghubungi hotline bank melalui telepon genggam. Tapi jaringan telepon tidak bekerja. Anda menoleh ke gerai sebelah, orang disamping anda pun mengalami hal yang sama. Uang di rekeningnya hilang dan telepon tak berfungsi. Saat Anda keluar gerai ATM, setiap orang tiba-tiba bermasalah dengan telepon genggamnya. Di tengah kepanikan lampu gedung tiba-tiba mati. Lampu-lampu jalan pun mengikuti. Pet. Malam menjadi gelap gulita. Lalu lintas kacau. Klakson bersahutan. Bersama-sama ratusan orang lain, Anda berlari keluar gedung dan menyalakan radio di mobil. Tak terdengar suara penyiar yang anda kenal. Anda berpindah saluran suara yang terdengar tetap sama. Pusat pusat penyiaran dijamming oleh siaran yang tak dikenal. Jika itu yang terjadi sadarlah bahwa negara Anda telah lumpuh. Anda menghadapi situasi darurat perang cyber. What if? Adalah kata-kata yang amat populer di barak militer IT di Pentagon. Skenario diatas mereka pikirkan berulang-ulang. Tanpa diketahui banyak orang, markas militer yang cukup bergengsi di dunia ini sedang bersiap-siap menghadapi perang Cyber. Perang masa depan. Kekhawatiran Pentagon cukup beralasan. Sejak tahun 2003, terdapat serangan sistematik pada sistem Informasi pertahanan pertahanan Amerika Serikat. Serangan yang dinamakan Titan Rain ini menyadap informasi dari markas-markas militer strategis, pemasok alat-alat pertahanan bahkan perusahaan penerbangan mereka. Mereka bukan hacker biasa. Mereka tahu apa yang diinginkan. Tidak pernah berbuat salah sedikitpun, ujar Shawn Carpenter seorang veteran angkata laut AS, sekaligus analis keamanan jaringan komputer yang pernah direkrut dalam operasi rahasia untuk menangkis serangan itu. Penyelidikan menunjukkan peretas tersebut menggunakan 3 router server yang berada di Guangdong China . Apakah serangan ini bagian dari spionase? Tentu saja Pemerintah Cina menolak keras tuduhan tersebut.

Saat ini Cina lebih berkonsentrasi ke dalam negeri. Pemerintahnya sibuk menghalau efek negatif internet pada masyarakat mereka. Negara tirai bambu itu mati-matian menutupi masyarakat mereka dari liberalisasi informasi. Facebook dan Google pun dilarang. Mereka mengkhawatirkan kebebasan ini melumpuhkan mereka dari dalam. Kasus-kasus khas dunia cyber mengakibatkan konflik terbuka diantara kedua negara adi daya itu. Beberapa saat lalu, google mengumumkan bahwa account gmail beberapa pejabat Amerika berusaha disadap oleh beberapa warga Cina. Di sisi lain Cina merasa Amerika Serikat meracuni otak generasi muda mereka dengan kebebasan informasi. Situasi ini membuat hubungan Sino Amerika Serikat memasuki babak ketegangan baru. Rumitnya dalam perang macam ini kita tidak pernah tahu siapa sebenarnya musuh yang dihadapi. Tidak perlu entitas negara atau dana besar untuk melakukan penyerangan. Para peretas itu dapat saja disponsori oleh sekelompok geng, grup swasta atau malah hanya sekumpulan orang iseng. Beberapa orang yang amat cerdas dengan komputer dan modem dapat membahayakan jiwa dan menghancurkan ekonomi negara ungkap Donal Latham mantan petugas komunikasi di Pentagon. Prajurit Khusus Dilatih lewat Game Sejak tahun 90-an Pentagon berfikir keras untuk merubah cara prajurit bertempur. Tujuannya: Menggunakan seluruh sumber daya teknologi untuk melakukan penyerangan yang cepat, diam-diam, tersebar untuk menghancurkan infrastruktur militer dan sipil negara musuh. Sebenarnya dalam skala yang lebih kecil infowar atau perang melalui teknologi informasi ini telah dimulai Amerika Serikat di berbagai medan peperangan yang mereka masuki. Saat awal perang teluk 1991, sebuah kapal terbang tersembunyi dilengkapi dengan teknologi canggih, melumpuhkan Irak dengan memutuskan semua jaringan komunikasi dan listrik di Baghdad. Di Haiti 1994 untuk mengembalikan Presiden Aristides yang dikudeta ke kursi kekuasaan, CIA melakukan operasi telefon gelap. Mereka secara anonim menelefon para prajurit Haiti yang membelot agar menyerah. CIA juga mengirimkan email berisi ancaman pada beberapa pemegang kekuasan di Haiti. Dua radio FM didirikan untuk menyuarakan pesan-pesan Presiden Aristides, serta ribuan leaflet disebarkan untuk para pendukung Presiden. Operasi ini sukses. 23.000 tentara Amerika Serikat dan selusin negara multinasional berhasil memasuki Haiti dengan damai dan mengembalikan Presiden Aristides ke kursinya. Prajurit-prajurit khusus perang cyber dibentuk di Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Universitas Pertahanan Nasional di Washington diam-diam membuka kelas khusus untuk prajurit Cyber. Sepuluh tahun yang lalu, Juni 1995, mereka meluluskan kelas pertamanya 16 orang petugas infowar yang khusus dilatih menghadapi

perang cyber. Mereka belajar mempertahankan diri dari serangan virus komputer sampai menggunakan realitas virtual untuk merencanakan manuver manuver serangan cyber. Pendidikan Angkatan Laut di Rhode Island, merancang satu game perang global menantang para prajurit perang cyber ini menemukan cara untuk melumpuhkan komputer musuh. Game-game perang ini sengaja didesain untuk melatih kemampuan penyerangan. Terdapat lebih dari selusin game perang yang telah dikembangkan untuk melatih para prajurit ini. Dari Virus sampai Bom Elektromagnetik Pentagon ingin melakukan revolusi di medan perang layaknya tank sebagai mesin penghancur di Perang Dunia I atau bom atom di Perang Dunia II. Mereka menyebut revolusi ini membuat peperangan tanpa pertumpahan darah. Ini adalah sumbangan dari Amerika untuk cara berperang (yang lebih baik) ungkap William Owens Wakil Kepala Staff Gabungan Militer Amerika Serikat. Perang Cyber memang diharapkan dapat mengurangi pertumpahan darah. Kalau ternyata suatu negara bisa dilumpuhkan jarak jauh tanpa meluncurkan satu peluru pun, bukankah itu lebih baik? Begitu pikir para perancang perang Cyber di Pentagon. Agen Keamanan Nasional (NSA) bersama sama badan intelijen di setiap Angkatan Bersenjata Amerika Serikat telah lama meneliti cara menginfeksi komputer musuh dengan virus. Banyak tipe virus komputer yang sedang dikembangkan di sana. Salah satunya adalah logic bom. Virus ini tidak langsung aktif. Dia akan diam-diam masuk di komputer musuh sampai waktu yang telah ditentukan. Saat virus itu hidup, ia akan mulai memakan data. Bom seperti ini dapat menyerang sistem pertahanan udara nasional ataupun bank sentral di suatu negara. CIA mempunyai program bawah tanah yang dapat memasukkan chip penuh virus ke sistem persenjataan yang akan dikirim ke negara musuh. Bahkan agen-agen CIA mencari kontraktor independen yang disewa oleh pabrik pembuat senjata yang dapat disuap untuk memasukkan virus ini ke dalam sistem. Kami masuk ke proses pembuatan senjata dan memasukkan virus disana. Biarkan senjata sampai ke negara tujuan. Saat perang terjadi, senjata-senjata itu tidak berfungsi, kata seorang sumber CIA. Tidak hanya virus. Laboratorium Nasional Los Alamos di New Meksiko telah membuat peralatan sebesar koper yang mempunyai pulsa elektromagnetik cukup tinggi. Prajurit komando dapat menyusup masuk titik-titik penting di negara musuh, menempatkan koper tadi di dekat sebuah bank dan menyalakannya. Pulsa yang dihasilkan akan membakar habis semua komponen elektronik di gedung itu. Proposal lain yang sedang dikembangkan adalah mengkombinasikan biologi dan elektronik. Mengembangkan mikroba untuk memakan komponen-komponen elektronik dan memblok komponen didalam komputer seperti mikroorganisme yang memakan sisa-

sisa sampah. Perang Cyber secara agresif mengembangkan cara-cara baru dalam intelejen. Pentagon sudah mempunyai satelit, pesawat mata-mata, dan pesawat tanpa awak dengan kamera untuk mengamati musuh. Di masa depan ribuan sensor mungil akan disebarkan atau ditanam diam-diam. Laboratorium Lincoln di MIT sedang mencoba merancang pesawat tanpa awak sebesar rokok yang dapat mengambil gambar. Pesawat mini ini bahkan dapat dipakai untuk menandai musuh. Belum Disetujui Senat Kegairahan Pentagon dalam bersiap diri menghadapi perang Cyber ternyata tidak begitu disukai pemerintah. Kemampuan Pentagon yang sedang dibangun ternyata tidak hanya sebagai mekanisme pertahanan, namun juga penyerangan. Washington menakutkan belum ada debat yang cukup sebagai dasar untuk membangun senjata-senjata cyber yang saat ini sedang dikembangkan. Kemampuan agresif Amerika Serikat untuk mengembangkan ini dibangun terlalu cepat dan amat ditutup-tutupi. Survei yang dilakukan oleh National Research Council (NRC) 2010 di Amerika Serikat menyebutkan tidak adanya debat publik dalam perencanaan itu telah menghasilkan kebijakan mengenai senjata cyber, operasi dan perangkatnya dibentuk secara asal-asalan dan tidak pasti. Namun perkembangan terakhir membuat Washington betul-betul khawatir. Di akhir 2010, jenis baru virus komputer yang dinamakan Stuxnet menyerang fasilitas nuklir Iran. Virus ini menghancurkan software dan hardware sekaligus membuat fasilitas itu tidak bisa bekerja selama beberapa waktu. Komite Senat Amerika untuk Keamanan Dalam Negeri dan Urusan Pemerintahan menandai serangan itu sebagai Abad Stuxnet. Sampai saat ini tidak pernah diketahui siapa yang menyerang fasilitas nuklir Iran tersebut. September 2011, Mitsubishi Heavy Industry (MHI) salah satu supplier senjata jepang, sekutu terdekat Amerika mengakui 45 dari server serta 38 terminal komputer mereka telah terinfeksi virus secara sistematis. Bukan hanya itu, kengerian akan keamanan informasi betul-betul menyerang Amerika Serikat saat Julian Assange dengan pasukan hacker politisnya menyerang situs-situs rahasia diplomatik mereka dan membocorkannya ke dunia. Assange memang sedang repot menghadapi tuntutan hukum, namun gerakan wikileaksnya terbukti tidak bisa dihentikan. Agaknya Pentagon memang betul-betul punya alasan untuk bersiap-siap. Bagaimana dengan kita?

(Times/Govexec/ABC News/berbagai sumber)

You might also like