You are on page 1of 9

Simposium V FSTPT, Universitas Indonesia, 16-17 Oktober 2002

KEMUNGKINAN PENERAPAN SISTEM BUY THE SERVICE PADA ANGKUTAN UMUM DI DKI
Dr. Ir. Heru Sutomo, M.Sc. Dosen Teknik Sipil & Magister Sistem dan Teknik Transportasi UGM Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM Bulaksumur E 9 Yogyakarta 55281 Telepon/Fax.: 0274-901076 HP. 0812 278 1806 Email: hsutomo@mstt.ugm.ac.id, pustral-ugm@indo.net.id

ABSTRAK
Sistem angkutan umum yang berlaku di Jakarta dan daerah lain di Indonesia menggunakan sistem perijinan trayek. Di sini pemegang ijin akan menjalani trayek tersebut dan menanggung segala resiko operasional dan keuangan dan pihak pemberi ijin tidak berurusan dengan masalah keuangan penyelenggaraan trayek tersebut, misalnya apakah terjadi surplus atau defisit. Sistem ini lebih banyak dilakukan untuk angkutan bus jarak jauh (coach service) baik di Indonesia maupun di banyak negara lain. Penerapan sistem perijinan di atas untuk angkutan perkotaan ternyata menimbulkan masalah yang sejak lama tak bisa dipecahkan yakni: berhenti sembarangan, ngetem, berkejaran, pelanggaran trayek, pelanggaran jam operasi, jadwal dan rendahnya kualitas layanan. Sistem ini di banyak negara sudah tak banyak dipakai karena pengendaliannya sulit dan kualitasnya rendah. Sistem yang lebih sesuai adalah buy the service. Di sistem ini perjalanan-perjalanan bus melayani trayek-trayek dibeli oleh pemerintah untuk kemudian pemerintah menjualnya kepada masyarakat dengan ongkos yang ditetapkan. Sistem ini memindahkan resiko surplus atau defisit operasi dari tangan operator ke pemerintah. Sistem ini menjamin kualitas dan kuantitas pelayanan serta kendali yang baik dan fleksibilitas tinggi atas pelayanan pada masyarakat. Penelitian ini mengandalkan studi meja dan pengolahan data sekunder. Beberapa studi perbandingan sistem angkutan kota di berbagai tempat/negara dilakukan guna melihat kesesuaiannya di Indonesia. Analisis biaya operasi dilakukan untuk kemudian dibandingkan dengan perkiraan pendapatan. Cara-cara pengutipan juga akan didiskusikan. Tulisan ini mengupas kemungkinan penerapan sistem buy the service untuk diterapkan di DKI. Analisis akan menekankan pada masalah-masalah teknis dan keuangan guna melihat kelayakannya. Pembahasan akan dilakukan terhadap kesesuaian baik kendala maupun peluang yang muncul jika sistem ini diterapkan di DKI. Tulisan ini mendukung rencana penerapan Bus Demonstration Project DKI yakni berupa busway dari Blok M Kota yang direncanakan beroperasi akhir tahun 2002. Keywords: Angkutan umum, buy the service, DKI Jakarta, bus kota, route tendering.

1.

LAYANAN TRANSPORTASI: APA ITU?

Diakui atau tidak, pelayanan angkutan umum selama ini belum bisa disebut layanan transportasi bagi publik/umum (public transport service). Perbedaannya, angkutan umum menekankan pada mengangkutnya di mana titik beratnya ada pada si pengangkut (produsen), sedang layanan transportasi lebih menekankan pada mentransport publik di mana titik beratnya ada pada pelayanan penumpang mulai dari tempat asal hingga tujuannya. Di sini titik beratnya adalah penumpang (konsumen). Pada kasus yang pertama efisiensi pengangkutan menjadi titik sentral - pelayanan dinomorduakan sedang yang kedua justru kebalikannya. Yang pertama umumnya terjadi pada perkembangan awal suatu daerah, yang kedua lebih banyak diadopsi pada perkembangan lanjutnya. Transformasi ini adalah suatu konsekuensi logis dari perkembangan layanan angkutan umum dengan pekembangan ekonomi termasuk peradaban masyarakat suatu wilayah. Lebih jauh Tabel 1 memperlihatkan perbedaan keduanya.

Tabel 1. Transformasi angkutan umum


Tingkat perkembangan dan peradaban masyarakat suatu daerah Butir-butir Nuansa layanan Jenis layanan asal-tujuan Ciri layanan Ciri penyelenggaraan Kualitas layanan Orientasi penyelenggaraan Integrasi intra/antar moda Cara operasi Tingkat kompetisi Kualitas armada Angkut Terputus-putus Utamakan jalur/rute/trayek Tradisional/individu Rendah Didominasi penyelenggara/swasta Tak ada/rendah Tak tertib Berlebihan/tak sehat Umumnya jelek Tahap awal Tahap lanjut Transport Menerus Utamakan jaringan trayek Modern/korporasi Tinggi Didominasi pengguna/publik Bisa tinggi Lebih tertib Wajar/sehat Umumnya baik

Dari tabel 1 terlihat bahwa perkembangan angkutan umum sangat memberikan banyak hal-hal positif yang umumnya lebih baik - yang merefleksikan tuntutan masyarakat yang selalu meningkat. Masyarakat di suatu daerah/kota yang berubah baik kualitas dan kuantitasnya memerlukan angkutan umum yang terus berkembang seirama dengan dinamika masyarakatnya. Untuk itu pembina transportasi (Departemen Perhubungan untuk nasional, Dinas Perhubungan untuk daerah) harus secara dinamis merencanakan layanan transportasi di wilayahnya terutama angkutan umumnya. Layanan angkutan umum harus direncanakan agar serasi dengan pertumbuhan ekonomi dan gaya hidup masyarakat serta tujuan-tujuan lain yang dicapai misalnya kepentingan-kepentingan lingkungan, penghematan energi, revitalisasi pusat kota atau meningkat peran angkutan umum. 2. DIAGNOSIS

Jika dicermati, angkutan umum di manapun bahkan di kota-kota metropolitan atau besar tidak banyak berubah sejak tahun 60-an, baik kualitas maupun kuantitasnya. Beberapa sifat layanan masih tak berubah seperti: load factor timpang (overload pada jam sibuk, underload pada jam sepi), ngetem, kejar-kejaran, sistem setoran, tak berjadwal, tak tentu, pelanggaran rute. Ini sebetulnya bukti bahwa pembinaan angkutan umum boleh dikatakan gagal. Sebagai perbandingan sektor pelayanan publik lainnya mengalami perbaikan, misalnya telekomunikasi yang makin mudah, ketersediaan listrik dan juga air minum makin baik dan handal, meskipun untuk itu semua biaya untuk mengkonsumsinya juga meningkat. Dari berbagai penelitian, telah banyak diindikasikan kelemahan-kelemahan sistem yang ada yang merupakan akar masalah yang menjegal perkembangan dunia angkutan umum di Indonesia. Beberapa akar masalah yang menonjol adalah: 1. Definisi pelayanan, karena tidak jelasnya definisi layanan seringkali pengusaha menjalankan semuanya sendiri. 2. Tujuan pelayanan, seringkali tujuan pelayanan tidak dijelaskan secara konkret sehingga perencanaan angkutan menjadi sulit dan tak terarah. 3. Perencanaan jaringan pelayanan, umumnya pengetahuan untuk ini tak dimiliki oleh SDM setempat. 4. Penyerahan penyelenggaraan, cara-cara penyerahan penyelenggaraan yang mengandalkan pada regulasi saja tak efektif. 5. Pembinaan pengusahaan
18

3.

PENGENDALIAN PENUH: APA BISA?

Penyediaan layanan angkutan umum yang belum memadai selama ini bisa dikatakan berkaitan dengan kelemahan dalam kemampuan pihak berwenang misalnya Dinas Perhubungan dalam mengendalikan operasional penyelenggaraannya. Barangkali ketentuanketentuan yang mengatur operasi dan cara pelayanan telah ada, namun pada kenyataan ketaatan penyelenggara/operator tidak bisa terwujud. Hal ini membuktikan bahwa pengaturan operasi melalui regulasi/peraturan hukum saja tidak efektif. Meskipun sangsi-sangsi administrasi dan hukum telah pula ditetapkan ternyata tidak pula bisa menjamin pelaksanaan regulasi. Di sini disimpulkan bahwa regulasi saja sebagai instrumen untuk pelaksanaan suatu program pemerintah belum tentu bisa berhasil. Lalu, alternatif apa yang mungkin? Pada prinsipnya, manusia adalah makhluk ekonomi. Diakui atau tidak uang tetap memiliki kekuatan (power). Hal ini telah lama digunakan untuk pengendalian efektif sumber-sumber daya oleh pelaku swasta. Instrumen finansial bisa pula diterapkan untuk meningkatkan kemampuan pengendalian angkutan umum. Jika saat ini pengguna angkutan membayar langsung ongkos angkutan pada awak bus, sebetulnya di situ terdapat kekuasaan (power) dari konsumen yang bisa digunakan untuk mengendalikan operator. Namun, karena pembayaran ongkos dilakukan secara individual, maka lalu tak memiliki kekuatan. Agar lebih bisa memiliki daya tawar, maka pembayaran tadi bisa disatukan, jadi tercipta kekuatan yang jauh lebih besar dalam mengendalikan angkutan umum. Inilah yang sebenarnya bisa dilakukan oleh pemerintah dalam rangka: (1) melindungi hak-hak konsumen (pengguna angkutan umum), (2) menggalang kekuatan (power) konsumen agar bisa mengendalikan produsen (operator), (3) menjembatani konflik yang ada diantara keduanya agar dicapai rekonsiliasi dan bahkan kondisi yang mutual, (4) mengintegrasikan tujuan-tujuan pemerintah dalam bidang angkutan umum. Cara yang dilakukan adalah dengan pemerintah daerah menempatkan diri diantara konsumen dan produsen yaitu: 1. terlibat dalam penggalangan pembayaran ongkos agar tidak terjadi transaksi langsung antara konsumen dan produsen; 2. mengendalikan penggunaan akumulasi ongkos sebagai kekuatan dalam rangka penyelenggaraan angkutan yang lebih terkendali; 3. mengatur penyelenggaraan angkutan umum dengan menggabungkan kekuatan regulasi dan finansial. Cara di atas ini kemudian disebut buy the service. Prinsipnya mirip koperasi penumpang. 4. BUY THE SERVICE

Konsep ini banyak diterapkan di negara maju dalam rangka penyelenggaraan angkutan yang berkualitas, terkendali dan mampu memberikan layanan yang tanggap (responsif) terhadap demand yang umumnya cukup beragam di suatu kota. Idenya bisa dianalogikan dengan KUD bagi petani. Jika petani secara sendiri-sendiri mengkonsumsi sarana produksi pertanian (pupuk, bibit dan sebagainya), maka ia memiliki daya tawar rendah dan seringkali dirugikan (dipermainkan) oleh pemasok/pedagang. Untuk mengatasinya petani-petani bersatu membentuk koperasi sehingga ia akan terlindungi hak-haknya, daya tawar saat membeli saprodi meningkat sekali, misalnya bisa mendapat harga yang murah tanpa merugikan pihak pemasok saprodi.

19

Aplikasi di angkutan umum sistem di atas adalah dengan cara pemerintah (sendiri atau melalui mekanisme/badan ditunjuk) menempatkan diri diantara konsumen dan produsen. Ia akan mengumpulkan ongkos-ongkos yang dibayar konsumen lalu menggunakan uang itu untuk membeli secara grosir layanan angkutan yang dilaksanakan oleh operator. Karena berperan sebagai perantara (calo) maka ia akan menanggung resiko jika uang yang diterima dari konsumen tak cukup untuk membayari layanan yang telah diselenggarakan oleh produsen. Di sini terkandung makna bahwa: (1) sebagai perantara, ia harus profesional agar tidak terjadi kondisi defisit, (2) ia juga mencerminkan peran pemerintah sebagai regulator mensinkronkan dengan tujuan-tujuan pemerintah yang harus dicapai dalam sektor transportasi, (3) ia merupakan penanggung jawab sekaligus pembina yang operasional dari sektor angkutan umum, (4) harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi secara teknis, ekonomis, operasional dan manajemen dari angkutan umum. 5. BAGAIMANA MEMBELINYA?

Sebelum sampai pada proses pembelian layanan, badan ini harus merencanakan sistem penyelenggaraan angkutan umum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam sistem penyelenggaraan terdapat tiga komponen utama yakni: 1. Standar pelayanan yang mendefinisikan standar-standar pelayanan sesuai kaidah-kaidah keselamatan dan keamanan serta kualitas pelayanan sesuai dengan kenyamanan dan kemudahan yang diinginkan. Standar pelayanan ini bisa diibaratkan dengan RKS (Rencana Kerja dan Syarat) dalam hal konstruksi bangunan sipil. 2. Daftar kuantitas yakni kuantitas pelayanan yang harus disediakan yakni berapa rute yang dijalankan dan berapa frekuensinya. Daftar ini mirip BoQ (Bill of Quality) dalam bidang konstruksi bangunan sipil. 3. Setelah keduanya ditetapkan maka bisa diperkirakan biaya penyelenggaraannya baik per trayek maupun biaya keseluruhan penyelenggaraan. Dalam istilah poyek ini disebut OE (Owner Estimate) yakni harga perkiraan sendiri penyelenggaraan angkutan umum. Setelah sistem penyelenggaraan ditetapkan maka tahap berikut adalah mengundang perusahaan untuk secara kompetisi untuk menyelenggarakan di lapangan. Di sini terdapat beberapa alternatif penyerahan operasi kepada pihak ketiga yaitu: 1. Berbasis trayek. Di sini tiap-tiap trayek ditenderkan secara lengkap. Setiap pemenang akan menguasai sebuah trayek lengkap untuk dioperasikan. 2. Berbasis koridor. Koridor di sini bisa berupa suatu jalur utama dengan jalur-jalur pengumpan (feeder line) pada suatu koridor yang tinggi volumenya. 3. Berbasis area/wilayah. Di sini penyerahan operasi berbasis daerah operasi angkutan umum misalnya wilayah pusat kota, wilayah utara, selatan dan sebagainya. Satu wilayah dianggap sebagai satu satuan operasi lengkap, tak boleh dipecah-pecah. 6. TENDER

Umumnya proses membeli layanan dilakukan secara kompetisi. Perusahaan-perusahaan diundang untuk mengajukan penawaran sesuai dengan basis penyerahan operasi di atas. Secara teoritis yang ditenderkan di sini adalah harga satuan, karena kuantitas layanan tidak boleh dirubah. Harga satuan yang diperbandingkan antar pengusaha bisa dalam satuan Rp/km atau Rp/trayek. Prinsipnya penawar dengan harga terrendah akan dimenangkan untuk menjalankan trayek tersebut.

20

7.

KONTRAK

Pemenang tender kemudian akan mengikat kontrak dengan badan angkutan umum tersebut menyangkut kuantitas dan harga sesuai tender. Umumnya kontrak dibagi atas kontrak induk yang berlaku 4 6 tahun disertai kontrak tahunan yang disesuaikan dievaluasi tiap tahun. Pelanggaran kontrak tahunan bisa memutuskan kontrak induk. Pada umumnya terdapat 2 macam kontrak yang lazim digunakan: 1. Kontrak netto, dalam kontrak ini perusahaan akan dibayar bersih sebesar km-kendaraan atau jumlah rit yang disyaratkan. Pembayarannya bulanan. Termasuk dibayari di sini adalah jika ada tambahan-tambahan rit yang dianggap perlu dilayani secara ekstra (di luar kontrak). Di sini semua uang hasil tiket akan di setor ke badan. 2. Kontrak bruto. Dalam kontrak ini, perusahaan seolah memborong suatu rute. Perusahaan diminta memperkirakan pendapatan tiket untuk langsung dipakai untuk menutup biaya operasinya dengan kemungkinan adanya lebih/kurang yang akan diperhitungkan dengan badan. Contoh: usul harga kontrak 100, perusahaan berani memperkirakan pendapatn tiket 80, maka ia hanya akan diberi tambahan pembayaran 20 oleh Badan. Di sini uang tiket langsung diambil oleh pengusaha bus. Jika terjadi pendapatan lebih/kurang maka itu tanggungan perusahaan itu. Selain ke dua jenis utama kontrak di atas masih ada jenis lain yang merupakan kombinasi atau variasi dari kedua jenis tersebut. 8. BAGAIMANA MENJUALNYA?

Setelah proses membeli maka badan melakukan proses menjual ke masyarakat. Di sini permasalahan penetapan tarif menjadi sangat sederhana karena tidak melibatkan pihak pengusaha. Yang terlibat di sini hanya badan pemerintah masyarakat. Umumnya badan memihak pada pemerintah. Jadi praktis antara pemerintah dan masyarakat. Di sini peranan politik umumnya besar. Suatu pemerintahan yang kaya dan ingin populer bisa menjual dengan harga murah meskipun konsekuensinya harus subsidi banyak. Sebaliknya, pemerintah yang miskin bisa menjual lebih mahal agar mendapat selisih pendapatan tiket dikurangi biaya penyelenggaraan untuk digunakan sebagai PAD setempat. Melihat kenyataan di atas, sistem penjualan dalam sistem buy the service bisa memiliki keunggulan-keunggulan antara lain: 1. Penetapan tarif menjadi fleksibel dan leluasa. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan di atas. Di kota-kota utama Australia hampir selalu ada layanan angkutan umum mengelilingi pusat kota gratis. Tujuannya untuk mendorong orang ke pusat kota tak usah membawa kendaraan. 2. Memungkinkan transaksi karcis dilakukan di luar kendaraan. Dengan cara ini operasi dalam bus menjadi sederhana. Kenek/kondektur menjadi tidak perlu. Bisa dioperasikan dengan one-man operation. 3. Memungkinkan karcis terusan, langganan atau pas. Karena seluruh pelayanan angkutan umum telah di beli maka memungkinkan menjualnya bisa dengan sistem karcis terusan/ borongan misalnya: pulang balik, untuk 1 minggu, untuk satu bulan, sistem langganan (1 hari, 1 minggu, 1 bulan, 3 bulan, 1 semester) atau sistem pas (untuk turis, tamu dan sebagainya). 4. Memungkinkan sistem prabayar. Dengan cara ini penumpang menyimpan sejumlah uang dalam tiketnya. Saat naik bus ongkos tiket akan otomatis mengurangi nominal yang ada di tiket prabayar. Dengan cara ini transaksi nir-uang bisa dilaksanakan. Hal ini akan
21

meningkatkan kemungkinan kebocoran penjualan karcis serta menekan pemerasan dari pihak preman-preman baik di terminal maupun di jalan. BAGAIMANA KELAYAKANNYA? 9.1. Kasus Hipotetikal Guna melihat kinerja finansial sistem ini dilakukan perhitungan hipotetikal untuk suatu pelayanan di suatu kota bagi penduduk 1.000.000 orang. Di sini dengan menggunakan asumsi-asumsi berikut: Bus AC di Jakarta untuk setiap penumpang/hari = 1.000.000 Average trip length (L) = 10 km Kapasitas bus (C) = 50 penumpang Dynamic Load Factor (DLF) = 90% Biaya operasi bus = 3.773 Rp/km Panjang trayek rata-rata = 25 km Jam operasi/hari = 15 jam Kecepatan rata-rata = 20 km/jam Terminal time = 5 menit Dari asumsi tersebut kemudian bisa dilakukan perhitungan-perhitungan berikut: Total biaya operasi (Rp juta/hari) = 3.773 Kebutuhan angkutan rata-rata/jam = 66.667 kend./jam Waktu siklus bus (pp) = 160 menit Overall headway = 2,7 detik Kebutuhan armada = 3.556 buah kendaraan Jumlah trip/hari (pp) = 6 trip Kendaraan-km = 1.000.000 kend.-km Kemampuan memperoleh pendapatan operasi diperkirakan untuk dua skenario tarif, yakni: (1) tarif flat (jauh dekat sama) dan (2) tarif berbasis zone. Pada yang ke dua tarif dibedakan atas zone: zone dekat murah, zone lebih jauh lebih mahal. Prinsip ini ditempuh sebagai upaya merasionalisasi bahwa perjalanan makin jauh akan memakan biaya lebih besar. Tabel 2 memperlihatkan potensi pendapatan pada skenario pentarifan flat. Tabel 2. Potensi pendapatan tarif flat Skenario Tarif Tarif Flat Tarif (Rp.) 4.500,00 3.600,00 2.700,00 1.800,00 Pendapatan potensial (Rp. juta/hari) 5.000,00 4.000,00 3.000,00 2.000,00 Net profit (Rp juta/hari) 1.227 227 -773 -1.773 Prosentase (%) 32,54 6,03 -20,48 -46,99

Dari tabel terlihat bahwa pada tingkat tarif Rp 2.700 pendapatan sudah akan mencapai titik impas dan pada tarif Rp 3.600 telah dicapai kondisi surplus, di mana pendapatan telah bisa melebihi biaya operasi. Sebagai perbandingan Tabel 3 memperlihatkan potensi pendapatan pada kondisi tarif berbasis zone. Di sini ditambahkan asumsi distribusi jauhnya perjalanan penumpang. Distribusi penumpang di dalam zone 1 (dekat) : 40% atau 400.000 orang sedang penumpang di luar zone 1 (lebih jauh) : 60% atau 600.000 orang.
22

Tabel 3. Potensi pendapatan dengan sistem tarif berbasis zone Zone Zone pusat Zone keluar Total Zone pusat Zone keluar Total Zone pusat Zone keluar Total 1.000,00 2.000,00 1.500,00 2.500,00 Tarif (Rp.) 2.000,00 3.000,00 Pendapatan potensial (Rp. juta/hari) 1.600,00 3.600,00 5.200,00 1.200,00 3.000,00 4.200,00 800,00 2.400,00 3.200,00 -573 -15,18 427 11,33 1.427 37,84 Net profit (Rp juta/hari) Prosentase (%)

Di sini diperlihatkan bahwa dengan tarif Rp. 1.500,00 untuk zone pusat dan Rp. 2.500,00 untuk zone luar telah diperoleh kondisi surplus. Perbandingan antara sistem tarif flat dengan sistem tarif berbasis zone menunjukkan bahwa pada sistem tarif berbasis zone dengan rata-rata nilai jual zone pusat dan keluar sebesar (2.500+1.500)/2 = Rp. 2.000,00 (427 juta/hari) memberikan tingkat surplus yang lebih besar dibandingkan tarif flat Rp. 3.600,00 (227 juta/hari). Dari ke dua perbandingan tersebut dapat disimpulkan bahwa potensi buy the service akan memberikan kinerja keuangan yang cukup menjanjikan, bahkan pada tingkat ongkos yang relatif rendah. Di sini dengan catatan bahwa biaya-biaya untuk infrastruktur seperti terminal, bus stop, shelter tidak termasuk dalam beban ongkos yang akan dikenakan kepada pengguna angkutan umum. 9.2. Contoh kasus Blok M-Kota Jakarta Demo Project bis kota rute Blok M - Stasiun Kota akan dilayani oleh tiga trayek yaitu trayek 1: Blok M - Stasiun Kota, trayek 1A: Stasiun Kota - Bundaran HI dan trayek 1B: Bundaran BI - Blok M. Rencana jumlah armada 65 bis (operasional dan cadangan) dengan headway pada jam sibuk 2 menit dan lainnya antara 4-6 menit. Rencana rute dapat dilihat sebagai berikut: Bundaran HI Rute 1 Rute 1A

Rute 1B

Bundaran BI

Blok M

Gambar 1. Rencana Rute Demo Project Bis Kota Blok M - Kota


23

Demo bis kota ini rencananya akan berproduksi sebesar 14.700 kend.-km per hari. Dengan biaya operasi kendaraan rencana sebesar Rp. 3.773,00 per km, maka besarnya biaya produksi per hari sebesar Rp. 55,46 juta. Potensi pendapatan yang diperkirakan akan didapatkan dapat digambarkan sebagai berikut (asumsi: zone tarif dibagi menjadi 2 yaitu Zone 1: Semanggi Kota, Zone 2: Semanggi - Blok M): Tabel 4. Potensi pendapatan dengan sistem tarif berbasis zone Rute Rute1 Rute1A Rute1B Kapasitas angkut (pax/hari) 15.000 30.000 45.000 Total Kapasitas nyata 12.000 24.000 36.000 Tarif 2.500 1.500 1.500 Pendapatan (Rp.juta/hari) 30 36 54 120

Dengan melihat potensi pendapatan demo project ini sebesar Rp. 120 juta per hari dan biaya produksi Rp. 55,46 juta per hari, maka masih terdapat surplus sebesar Rp. 64,5 juta per hari, yang menunjukkan bahwa sistem bus kota tersebut layak untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah bisnis yang kompetitif. 9. CATATAN PENUTUP

Sistem buy the service yang prinsipnya adalah memperkuat daya-tawar penumpang dengan mengakumulasikan pembayaran ongkos dan menciptakan sistem pembayaran skala besar (grosir) untuk jasa angkutan sebenarnya mirip dengan upaya-upaya koperasi yang berupaya menaikkan kesejahteraan anggota. Penerapan koperasi dalam transportasi telah terjadi pada koperasi pengusaha, tampaknya perlu dikembangkan lanjut ke koperasi pengguna angkutan umum. Segi-segi positif koperasi seperti kebersamaan, disiplin administrasi, transparan merupakan aset utama dalam pembinaan angkutan umum secara nasional. Barangkali pihak yang akan terkena imbas adalah mereka yang tidak termasuk dalam mata-rantai penyediaan angkutan umum, seperti preman, calo yang membebani biaya namun tidak memberikan nilai lebih. Lebih jauh melihat kelayakan finansialnya semestinya cara ini berpotensial untuk dicobakan. Di sini mungkin diperlukan kerjasama antara pihak-pihak terkait. Secara umum dari pengamatan hal-hal di atas bisa disimpulkan sebagai berikut: 1) Sistem buy the service memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip koperasi, sehingga penerimaan masyarakat diharapkan positif 2) Memiliki kemampuan perlindungan konsumen (penumpang) sehingga akan bisa didukung oleh masyarakat luas. 3) Sistem yang transparan akan bisa melindungi pengusaha dari ancaman, pungutan yang merugikan. 4) Memiliki kelayakan yang tinggi karena menggunakan prinsip pembelian jasa secara grosir, jadi biaya penyelenggaraan bisa ditekan. Untuk menguji kelayak-terapan sistem ini bisa ditempuh melalui demonstration project di suatu kota, kawasan atau jalur-jalur tertentu. Melihat kesuksesan cara ini di beberapa negara, diharapkan kemungkinan berhasil penerapannya di Indonesia cukup besar.

24

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dinas Perhubungan Propinsi DKI atas perkenan penggunaan hasil-hasil perhitungan kelayakan operasional bus kota, khususnya untuk kasus Blok M-Kota. DAFTAR PUSTAKA Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan DKI Jakarta, (2001), Penyusunan Naskah Akademis Penyelenggaraan Angkutan Umum Bus Kota DKI Jakarta, Laporan Akhir. Sutomo, (2000), Sistem Lisensi untuk Pembinaan Angkutan Umum Modern, Seminar Angkutan Umum, Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan DKI Jakarta. Sutomo, (2001), Modernisasi Angkutan Umum: Solusi Strategis, Lokakarya Strategi Penurunan Emisi Kendaraan Terpadu, 16-18 Oktober 2001, Jakarta.

25

You might also like