You are on page 1of 38

CLINICAL SCIENCE SESSION

IMUNISASI
Oleh: Anindita Noviandhari Ivone Caroline Mardhiyah Rusdi 1301-1211-0042 1301-1208-0026 1301-1211-3005

Preseptor: Tisnasari Hafsah, dr., SpA., M.Kes

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN RUMAH SAKIT dr. HASAN SADIKIN BANDUNG 2012

1.

Pendahuluan Istilah imunisasi dan vaksinasi seringkali diartikan sama. Imunisasi adalah suatu proses

perangsangan imunitas secara buatan yang dilakukan baik dengan vaksinasi (imunisasi aktif) maupun pemberian imunoglobulin (imunisasi pasif), sedangkan vaksinasi adalah pemberian segala jenis vaksin maupun toksoid (toksin yang diinaktivasi).1 Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar. Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti misalnya penyakit difteria. Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari dua macam imunoglobulin, yaitu imunoglobulin yang non-spesifik atau disebut juga gamaglobulin dan imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh atau baru saja mendapatkan vaksinasi penyakit tertentu. Imunoglobulin non-spesifik digunakan pada anak dengan defisiensi imunoglobulin sehingga memberikan perlindungan dengan segera dan cepat. Sedangkan imunoglobulin yang spesifik diberikan pada anak yang belum terlindung karena belum pernah mendapatkan vaksinasi dan kemudian terserang misalnya penyakit difteria, tetanus, hepatitis A dan B.2 Namun perlindungan tersebut tidaklah permanen dan hanya berlangsung beberapa minggu saja. Selain itu pemberian imunoglobulin terbilang mahal dan memungkinkan anak justru menjadi sakit karena secara kebetulan atau karena suatu kecelakaan serum yang diberikan tidak bersih dan masih mengandung kuman yang aktif. Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang secara sengaja memberikan paparan terhadap suatu antigen yang berasal dari patogen tertentu. Antigen yang diberikan dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun mampu merangsang produksi limfosit yang peka, antibodi dan sel memori. Tujuannya adalah memberikan "infeksi ringan" yang tidak berbahaya dan menimbulkan penyakit namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya di kemudian hari, anak tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen / penyakit yang masuk tersebut.2

2. 2.1

Vaksin Kualitas dan Kuantitas Vaksin3 Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga

patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung sifat antigenisitas. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin. 1. Cara pemberian Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul. Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal di samping sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas sistemik saja. 2. Dosis vaksin Dosis vaksin juga akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Dosis yang terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang diharapkan, sedangkan dosis yang terlalu rendah tidak akan merangsang sel imunokompeten. Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis. Oleh karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan. 3. Frekuensi pemberian Sebagaimana telah kita ketahui, respons imun sekunder akan menimbulkan sel efektor aktif secara lebih cepat, lebih banyak dengan afinitas yang lebih tinggi. Di samping frekuensi, jarak pemberian pun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya dilakukan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten. Hal ini bahkan dapat menyebabkan terjadinya reaksi Arthus yaitu bengkak kemerahan di daerah penyuntikan akibat pembentukan kompleks antigen antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal. Oleh karena itu jadwal pemberian ulang (booster) sebaiknya disesuaikan dengan anjuran yang sesuai dengan hasil uji klinis. 4. Ajuvan Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan dan mengaktivasi APC (antigen presenting cells) untuk memproses antigen secara efektif untuk kemudian memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel imunokompeten lainnya. 3

5.

Jenis vaksin Vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi (killed atau inactivated) maupun bagian (komponen) dari mikroorganisme.

2.2

Persyaratan Vaksin3 Dengan mempelajari respons imun yang terjadi pada pajanan antigen, maka suatu vaksin

harus dapat memenuhi syarat sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Dapat mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan memproduksi interleukin Dapat mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk sel memori Dapat mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk mengatasi variasi respons imun yang ada dalam populasi karena adanya polimorfisme MHC Dapat memberikan antigen yang persisten, mungkin dalam sel dendritik folikular jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut, sehingga sewaktu-waktu dapat merangsang sel B menjadi sel plasma yang akan membentuk antibodi terus menerus sehingga kadarnya tetap tinggi. 2.3 Jenis Vaksin4 Pada dasarnya, vaksin dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu vaksin live attenuated yaitu bakteri atau virus hidup yang dilemahkan, dan vaksin inactivated yaitu bakteri, virus, maupun komponennya yang dibuat tidak aktif. a. Vaksin Hidup yang Dilemahkan (Live Attenuated) Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar ini dilemahkan di laboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang. Contohnya adalah vaksin campak yang masih digunakan hingga saat ini. Proses isolasi untuk mengubah virus liar campak menjadi virus vaksin memakan waktu kurang lebih 10 tahun. Proses pengubahan ini dilakukan dengan cara menanam patogen pada jaringan media pembiakan secara serial. Virus ini didapatkan dari seorang anak yang menderita penyakit campak pada tahun 1954. Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup yang dilemahkan harus berkembang biak di dalam tubuh resipien. Dosis kecil virus atau bakteri yang diberikan 4

kemudian akan bereplikasi di dalam tubuh dan meningkat jumlahnya sampai cukup besar untuk merangsang suatu respons imun. Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol, misalnya panas atau cahaya, maupun pengaruh eksternal terhadap replikasi organisme dalam tubuh seperti antibodi yang beredar, dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif. Walaupun vaksin hidup yang dilemahkan dapat menyebabkan penyakit, pada umumnya bersifat ringan dibandingkan dengan penyakit alamiah. Timbulnya penyakit yang disebabkan pemberian vaksin ini disebut sebagai kejadian ikutan (adverse event). Respons imun terhadap vaksin hidup yang dilemahkan pada umumnya sama dengan yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Virus hidup yang dilemahkan secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup. Timbulnya imunitas aktif dari vaksin hidup yang dilemahkan dapat dihambat oleh antibodi yang beredar. Antibodi dari sumber apapun, misalnya transplasental atau transfusi, dapat mempengaruhi perkembangan mikroorganisme dalam vaksin dan menyebabkan tidak adanya respons (non response). Vaksin campak merupakan mikroorganisme yang paling sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling sedikit terkena pengaruh. Vaksin hidup yang dilemahkan juga bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila terkena panas dan sinar. Oleh karena itu harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan yang baik dan hati-hati. Adapun vaksin hidup yang dilemahkan yang tersedia antara lain: Berasal dari virus hidup 1. 2. 3. 4. 1. 2. b. Campak Rubela Polio Rotavirus BCG Demam tifoid oral

Berasal dari bakteri

Vaksin Mati (Inactivated) Vaksin mati dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau virus dalam media 5

pembiakan kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan menambahkan bahan kimia seperti formalin. Pada vaksin fraksional, organisme yang dimasukkan ke dalam vaksin masih murni tapi hanya komponen-komponennya saja seperti kapsul polisakarida dari kuman pneumokokus. Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh. Oleh karena itu seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit kecuali pada beberapa orang dengan defisiensi imun dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Tidak seperti antigen hidup, antigen inactivated umumnya tidak dipengaruhi oleh antibodi yang beredar sehingga vaksin mati dapat diberikan saat antibodi berada di dalam sirkulasi darah. Berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai respons imun mirip bahkan sama dengan infeksi alami, respons imun terhadap vaksin mati sebagian besar bersifat humoral dan hanya sedikit atau tidak menimbulkan imunitas selular. Vaksin mati selalu membutuhkan dosis ganda. Pada umumnya, dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Titer antibodi terhadap antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu. Oleh karena itu vaksin inactivated membutuhkan dosis suplemen (tambahan) secara periodik. Pada beberapa keadaan, untuk melindungi terhadap penyakit dibutuhkan vaksin seluruh sel (whole cell). Namun vaksin bakterial seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi ikutan atau efek samping. Hal ini disebabkan respons terhadap komponen-komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk menimbulkan perlindungan, contohnya adalah antigen pertusis dalam vaksin DPT. Adapun vaksin-vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari: a. b. c. d. e. f. 2.4 Seluruh sel virus yang diinaktivasi: influenza, polio, rabies, hepatitis A Seluruh bakteri diinaktivasi: pertusis, tifoid, kolera, lepra Vaksin fraksional yang masuk sub-unit: hepatitis B, influenza, pertusis aseluler, tifoid Vi, lyme disease Toksoid: difteria, tetanus, C. botulinum Polisakarida murni: pneumokokus, meningokokus, Haemophilus influenzae tipe b Gabungan polisakarida: Haemophillus influenzae tipe b dan pneumokokus Penyimpanan dan Rantai Vaksin5 6

Vaksin yang tidak disimpan dan diangkut dengan benar akan kehilangan potensinya. Instruksi pada lembar penyuluhan atau informasi produk harus sealalu disertakan. Aturan umum untuk sebagian besar vaksin adalah harus didinginkan pada temperatur 2-8 C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A) menjadi tidak aktif bila beku. Pengguna dinasehatkan untuk melakukan konsultasi mengenai vaksin-vaksin individual, karena beberapa vaksin (OPV dan Yellow fever) dapat disimpan dalam keadaan beku. Secara umum vaksin terdiri dari vaksin hidup dan vaksin mati (inaktif) yang mempunyai ketahanan dan stabilitas yang berbeda terhadap perbedaan suhu. Oleh karena itu, harus diperhatikan syarat-syarat penyimpanan dan transportasi vaksin untuk menjamin potensinya ketika diberikan kepada anak. Bila syarat-syarat tidak dipenuhi maka vaksin akan kehilangan potensinya untuk merangsang kekebalan tubuh, bahkan dapat menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang tidak diharapkan. Selain itu pengguna juga harus mampu mengenali kondisi vaksin yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi. Hal ini dapat ditentukan dari dari tanggal kadaluwarsa, warna cairan, kejernihan, endapan, warna vaccine vial monitor (VVM), kerusakan label, dan sisa vaksin yang sudah dilarutkan. Rantai Vaksin Rantai vaksin adalah rangkaian proses penyimpanan dan transporasi vaksin dengan menggunakan berbagai peralatan sesuai prosedur untuk menjamin kualitas vaksin sejak dari pabrik sampai diberikan kepada pasien. Rantai vaksin terdiri dari proses penyimpanan vaksin di kamar dingin, lemari pendingin, maupun alat pembawa vaksin, serta alat-alat untuk mengukur dan mempertahankan suhu. Secara umum ada 2 jenis vaksin, yaitu vaksin hidup yang dilemahkan (polio oral, BCG, campak, MMR, varicella, dan demam kuning) dan vaksin mati (DPT, Hib, pneumokokus, typhoid, influenza, polio inaktif, meningokokus). Perlu diketahui suhu optimum untuk setiap vaksin sesuai petunjuk penyimpanan dari pabrik masing-masing. Secara umum semua vaksin sebaiknya disimpan pada suhu +2 s/d +80C. Di atas suhu +80C vaksin hidup akan cepat mati, vaksin polio hanya bertahan 2 hari, vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan mati dalam 7 hari. Vaksin hidup potensinya masih tetap baik pada suhu kurang dari 20C s/d beku. Vaksin polio oral yang belum dibuka lebih bertahan lama (2 tahun) 7

bila disimpan pada suhu -250C s/d -150C, namun hanya bertahan 6 bulan pada suhu +20C s/d +80C. Vaksin BCG dan campak berbeda, walaupun disimpan pada suhu -250C s/d -150C, umur vaksin tidak lebih lama dari suhu +20C s/d +80C, yaitu BCG tetap 1 tahun dan campak tetap 2 tahun. Oleh karena itu, vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan tidak perlu disimpan di -25 s/d -150C atau di dalam freezer. Berbeda dengan vaksin hidup, pada suhu dibawah +20C vaksin mati akan cepat rusak. Bila beku dalam suhu -0,50C vaksin hepatitis B dan DPT-Hepatitis B (kombo) akan rusak dalam jam, tetapi dalam suhu diatas 80C vaksin hepatitis B bisa bertahan sampai 30 hari, DPThepatitis B kombinasi sampai 14 hari. Dibekukan dalam suhu -50C s/d -100C vaksin DPT, DT, dan TT akan rusak dalam 1,5 s/d 2 jam , tetapi bisa bertahan sampai 14 hari dalam suhu diatas 80C. 3. 3.1 Persiapan Vaksinasi Menilai Kualitas Vaksin Seperti telah diuraikan sebelumnya, vaksin hidup akan mati pada suhu di atas batas tertentu, dan vaksin mati (inaktif) akan rusak di bawah suhu tertentu. Bila pengelolaan vaksin dan rantai vaksin tidak baik, maka vaksin tidak mampu merangsang kekebalan tubuh secara optimal bahkan dapat menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang tidak diharapkan. Oleh karena itu kita perlu memahami beberapa hal praktis untuk menilai kelayakan vaksin. Untuk mempertahankan kualitas vaksin maka penyimpanan dan transportasi vaksin harus mmenuhi syarat rantai vaksin yang baik, antara lain: disimpan didalam lemari es atau freezer dalam suhu tertentu, transportasi vaksin dalam kotak dingin atau termos yang tertutup rapat, tidak terendam air, terlindung dari sinar matahari langsung, belum melewati tanggal kadaluarsa, indikator suhu berupa VVM (vaccine vial monitor) atau freeze watch/tag belum melampaui batas suhu tertentu, dan vaksin masih jernih. a. VVM (vaccine vial monitor) Vaccine vial monitor digunakan untuk menilai apakah vaksin sudah pernah terpapar suhu diatas batas yang diperbolehkan dengan cara membandingkan warna kotak segiempat dengan 8

warna lingkaran di sekitarnya. Bila warna kotak segiempat lebih muda daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut kondisi VVM A atau B) maka vaksin belum terpapar suhu diatas batas yang diperkenankan. Vaksin dengan VVM B harus segera digunakan. Bila warna kotak segiempat sama atau lebih gelap daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut kondisi VVM C atau D) maka vaksin sudah terpapar suhu di atas batas yang diperkenankan, tidak boleh diberikan pada pasien. VVM Kode A Warna Segiempat lebih terang dari lingkaran sekitar B Keterangan Bila belum kadaluarsa: GUNAKAN vaksin Bila belum kadaluarsa: SEGERA GUNAKAN vaksin

Segiempat berubah gelap tapi lebih terang dari lingkaran sekitar

Segiempat sama warna dengan lingkaran sekitar JANGAN GUNAKAN vaksin: lapor kepada pimpinan

Segiempat lebih gelap dari lingkaran sekitar

b.

Freeze watch dan freeze tag Freeze watch dan freeze tag adalah alat untuk mengetahui apakah vaksin pernah terpapar

suhu dibawah 0oC. Bila dalam freeze watch terdapat warna biru yang melebar ke sekitarnya, berarti vaksin pernah terpapar suhu dibawah 0oC 1.5oC lebih dari 1 jam yang dapat merusak vaksin mati (inaktif). Sedangkan tanda silang (X) freeze tag menunjukkan bahwa vaksin telah terpapar pada suhu 0oC 0,3oC selama lebih dari 1 jam. Vaksin-vaksin tersebut tidak boleh diberikan kepada pasien.

Gambar 1. Freeze watch

Gambar 2. Freeze tag c. Warna dan kejernihan vaksin Warna dan kejernihan beberapa vaksin dapat menjadi indikator praktis untuk menilai stabilitas vaksin. Vaksin polio harus berwarna kuning oranye. Bila warnanya berubah menjadi pucat atau kemerahan berarti pHnya telah berubah, sehingga tidak stabil dan tidak boleh diberikan kepada pasien. Vaksin toksoid, rekombinan, dan polisakarida umumnya berwarna putih jernih dan sedikit berkabut. Bila menggumpal atau banyak endapan berarti sudah pernah beku sehingga 10

tidak boleh digunakan karena sudah pernah rusak. Untuk meyakinkan dapat dilakukan uji kocok (shake test) seperti dibawah ini. Bila vaksin setelah dikocok tetap menggumpal atau mengendap, maka vaksin tidak boleh digunakan karena sudah rusak.

Gambar 3. Uji Kocok (shake test) 3.2 Pemilihan vaksin Vaksin yang harus segera dipergunakan adalah: Vaksin yang belum dibuka tetapi telah dibawa ke lapangan Sisa vaksin telah dibuka (dipergunakan) Vaksin dengan VVM B Vaksin dengan tanggal kadaluarsa sudah dekat (EEFO=early expire first out) Vaksin yang sudah lama tersimpan dikeluarkan segera (FIFO=first in first out) Sisa vaksin yang telah dibuka di sarana pelayan statis masih bisa diberikan untuk pelayanan berikutnya bila masih memenuhi syarat-syarat berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Tidak melewati tanggal kadaluarsa Disimpan dalam suhu 2-8oC Tidak pernah terendam air VVM A atau B Tidak lebih dari 3-4 minggu setelah dibuka 11

Oleh karena itu sebaiknya selalu tanggal mulainya penggunaan vaksin tersebut. Vaksin yang sudah terbuka atau sedang dipakai deiletakkan dalam satu wadah, sehingga segera dapat dikenali. Khusus untuk vaksin yang telah dilarutkan, stabilitas vaksin lebih singkat. Vaksin BCG yang telah dilarutkan walaupun disimpan di dalam suhu 2-8oC hanya stabil selam 3 jam (WHO 6 jam). Vaksin campak yang telah dilarutkan hanya stabil selama 6-8 jam. Vaksin Hib yang telah dilarutkan harus dibuang setelah 24 jam. Vaksin varisela yang sudah dilarutkan harus dibuang setelah 30 menit. Vaksin yang belum dibuka tetapi sudah dibawa ke lapangan harus diberi tanda khusus untuk segera dipergunakan pada pelayanan berikutnya, selam semua syarat terpenuhi. Sia vaksin yang telah dibuka di lapangan sebaiknya dimusnahkan dengaan membakar di dalam insinerator bersama alat suntik bekas, atau dikubur sedalam 2-3 meter. 3.3 Pemberian Suntikan5 Sebagian besar vaksin diberikan melalui suntikan intramuskular atau subkutan dalam. Terdapat perkecualian pada dua jenis vaksin yaitu OPV diberikan per-oral dan BCG diberikan dengan suntikan intradermal (dalam kulit). Walaupun vaksin sebagian besar diberikan secara suntikan intramuskular atau subkutan dalam, namun bagi petugas kesehatan yang kurang berpengalaman memberikan suntikan subkutan dalam, dianjurkan memberikan dengan cara intramuskular. 3.3.1 Lokasi Suntikan dan Posisi Anak5 Vaksin yang disuntikkan harus diberikan pada bagian yang tidak menimbulkan risiko kerusakan saraf dan pembuluh vaskular serta jaringan lainnya. Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang diajurkan untuk vaksinasi pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak yang lebih besar (mereka yang telah dapat berjalan) dan orang dewasa. Vaksinasi BCG harus dilakukan pada kulit di atas insersi otot deltoid (lengan atas), sebab suntikan diatas puncak pundak memberi risiko terjadinya keloid. Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan adalah:
Menghindari risiko kerusakan saraf iskhiadika pada suntikan daerah gluteal. Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan secara adekuat. Vaksin hepatitis B dan rabies sifat imunogenesitasnya berkurang bila disuntikkan di daerah

12

gluteal.
Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat suntikan yang menahun.

Ketika disuntik, anak atau bayi harus dipertahankan tidak bergerak Walaupun demikian cara memegang bayi dan anak yang berlebihan akan menambah ketakutan sehingga meningkatkan ketegangan otot. Perlu diyakinkan kepada orang tua atau pengasuh untuk membantu memegang anak atau bayi, dan harus diberitahu agar mereka memahami apa yang sedang dikerjakan. Penyuntikan Subkutan Perhatian untuk suntikan subkutan:
Arah jarum 45 terhadap kulit Cubit tebal imtuk suntikan subkutan Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstrimitas berbeda

Tabel 1. Pedoman penyuntikan subkutan Umur Tempat Paha daerah anterolateral 23-25 1-3 tahun >3 Paha daerah anterolateral atau Daerah lateral lengan Jarum 5,/8"-3/4" Semprit No. 23-25 Jarum 5/8"-3/4" daerah lateral lengan atas Ukuran jarum Jarum 5/8"-3/4" Semprit No.

tahun atas Semprit 23-25 "Penyuntikan subkutan untuk imunisasi MMF, variseia, Hib (Dikutip dari : Suyitno, 2005)5

13

Gambar 4. Lokasi Penyuntikan Subkutan pada Bayi (a) dan Anak Besar (b) (Dikutip dari Suyitno, 2005)5 Penyuntikan Intramuskular Jarum suntik harus disuntikan dengan sudut 45 sampai 60 ke dalam otot vastus lateralis atau otot deltoid. Untuk otot vastus lateralis, jarum harus diarahkan ke arah lutut dan untuk deltoid jarum harus diarahkan ke pundak. Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan pada sudut 90. Pada suntikan dengan sudut jarum 45 sampai 60 akan mengalami hambatan ringan pada waktu jarum masuk ke dalam otot. Anak atau bayi diletakkan di atas meja periksa, dapat dipegang oleh orang tua/ pengasuh atau posisi setengah tidur pada pangkuan orang tua atau pengasuhnya. Celana (popok) bayi harus dibuka bila menutupi otot vastus lateralis sebagai lokasi suntikan, bila tidak demikian vaksin akan disuntikkan terlalu bawah di daerah paha. Kedua tangan dipegang menyilang pelvis bayi dan paha dipegang dengan tangan antara jempol dan jari-jari. Posisi ini akan mengurangi hambatan dalam proses penyuntikan dan membuatnya lebih lancar.

Gambar 5. Diagram Lokasi Suntikan yang Dianjurkan pada Otot Paha (Dikutip dari Suyitno, 2005)5 Perhatian untuk penyuntikan intramuskular:
Pakai jarum yang cukup panjang untuk mencapai otot Suntik dengan arah jarum 80-90, lakukan dengan cepat

14

Tekan kulit sekitar tempat suntikan dengan ibu jari dan telunjuk saat jarum

ditusukkan
Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan, untuk meyakinkan tidak masuk ke dalam vena.

Apabila terdapat darah, buang dan ulangi dengan suntikan baru. Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstrimitas berbeda

15

Tabel 2. Pedoman penyuntikan intramuskular Umur Bayi (0-12 bln) 1-3 tahun Tempat Otot vastus lateralis pada paha daerah anterolateral Ukuran Jarum Jarum 7/8"-1"

Semprit no. 22-25 Otot vastus lateralis pada paha daerah anterolateral Jarum 5/8"-1/4" (5/8" sampai masa otot deltoid cukup besar (pada umumnya untuk suntikan di deltoid umur 3 th) umur 12-15 bulan) Semprit no. 22-25 Jarum 1"- 1 1/4"

> 3 tahun

Otot deltoid, di bawah akromion

Semprit no. 22-25 'Penyuntikan intramuskular untuk DTP, DT, TT, Hib, hepatitis A & B, influenza (Dikutip dari : Suyitno, 2005)5

Gambar 6. Penyuntikan Intramuskular (Dikutip dari Suyitno, 2005)5 3.3.2 Keadaan Bayi /Anak Sebelum Imunisasi6 Orangtua atau pengantar bayi/anak dianjurkan mengingat dan memberitahukan secara lisan atau melalui daftar isian tentang hal-hal yang berkaitan dengan kontraindikasi atau risiko kejadian ikutan pasca imunisasi sebagai berikut:
Pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat (memerlukan pengobatan

khusus atau perlu perawatan di rumah sakit)


Alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin misalnya neomisin Sedang mendapat pengobatan steroid jangka panjang, radioterapi atau kemoterapi Menderita sakit yang menurunkan imunitas (leukemia, kanker, HIV/AIDS) Tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun (leukemia, kanker, HIV /

AIDS) 16

Tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan imunitas

(radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid)


Pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup (vaksin campak,

poliomielitis, rubela)
Pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau transfusi darah Menderita penyakit susunan saraf pusat

Orangtua atau pengantar juga dapat dianjurkan untuk memberikan parasetamol 15mg/kgbb kepada bayi/anak 30 menit sebelum imunisasi DTP/DT, MMR, Hib, hepatitis B untuk mengurangi ketidaknyamanan pasca vaksinasi. Pemberian paracetamol ini kemudian dilanjutkan setiap 3-4 jam sesuai kebutuhan, maksimal 6 kali dalam 24 jam. Jika keluhan masih berlanjut, diminta segera kembali kepada dokter. 4. Vaksin pada Program Imunisasi Nasional 4.1 Tuberkulosis (vaksin BCG) Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis. Tuberkulosis paling sering mengenai paru-paru, tetapi dapat juga mengenai organ-organ lain.8 Dalam data jumlah kasus TB, Indonesia merupakan tiga besar di dunia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian kedua di Indonesia. 4.1.1. Vaksinasi BCG (Bacille Calmette-Guerin)8,9 Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis yang dibiakkan berulang selama 1-3 tahun sehingga didapat basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksinasi BCG menimbulkan sensitivitas terhadap tuberkulin. Beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai BCG antara lain: Vaksin yang dipakai di Indonesia adalah vaksin BCG Biofarma Bandung. Vaksin BCG ini berisi suspensi M.bovis hidup yang sudah dilemahkan. Vaksinasi BCG tidak mencegah infeksi tuberkulosis tetapi mengurangi risiko tuberkulosis berat seperti meningitis tuberkulosa dan tuberkulosis milier. BCG diberikan pada umur <2 bulan. BCG sebaiknya diberikan pada anak dengan uji Mantoux (tuberkulin) negatif. Bayi yang diduga mempunyai kontak erat dengan penderita TB 17

aktif atau yang akan diimunisasi diatas usia 2 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Efek proteksi timbul 8-12 minggu setelah penyuntikan. Efek proteksi bervariasi antara 080%. Hal ini mungkin karena vaksin yang dipakai, lingkungan dengan Mycobacterium atipik atau faktor pejamu (umur, keadaan gizi dan lain-lain). Vaksin BCG diberikan secara intradermal 0,1 ml untuk anak, 0,05 ml untuk bayi. BCG sebaiknya diberikan pada regio lengan kanan atas pada daerah insersio m. deltoideus kanan sehingga bila terjadi limfadenitis BCG lebih mudah terdeteksi. Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan pada suhu 2-8C, tidak boleh beku. Vaksin yang telah diencerkan harus dibuang dalam 8 jam. 4.1.2. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi8 Penyuntikan BCG secara intradermal yang benar akan menimbulkan ulkus lokal yang superfisial 3 minggu setelah penyuntikan. Ulkus yang biasanya tertutup krusta akan sembuh dalam 2-3 bulan dan meninggalkan parut bulat dengan diameter 4-8 mm. Apabila dosis terlalu tinggi maka ulkus yang timbul lebih besar, namun apabila penyuntikan terlalu dalam maka parut yang terjadi tertarik ke dalam (retracted). Limfadenitis8,9 Limfadenitis BCG didefinisikan sebagai pembesaran kelenjar getah bening regional ipsilateral setelah vaksinasi BCG. Kejadiaannya berkisar 1-2 per 1000 vaksinasi. Onset timbulnya umumnya setelah 2 minggu atau 2 bulan dan tidak lebih dari 12 bulan. Limfadenitis di aksila atau di leher kadang-kadang dijumpai. Hal ini tergantung pada umur anak, dosis, dan galur (strain) yang dipakai. Limfadenitis akan sembuh sendiri. Apabila limfadenitis melekat pada kulit atau timbul fistula maka dapat dibersihkan (dilakukan drainage) dan diberikan obat anti tuberkulosis oral. BCG-itis diseminata8 BCG-itis diseminata jarang terjadi, biasanya berhubungan dengan imunodefisiensi berat. Komplikasi lainnya adalah eritema nodosum, iritis, lupus vulgaris, dan osteomielitis. Komplikasi ini harus diobati dengan kombinasi obat anti tuberkulosis. 18

4.1.3. Kontraindikasi8
Reaksi uji tuberkulin > 5 mm Sedang menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV, imunokompromais

akibat pengobatan kortikosteroid, obat imunosupresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem limfe
Anak menderita gizi buruk Sedang menderita demam tinggi Menderita infeksi kulit yang luas Pernah sakit tuberkulosis Kehamilan

4.1.4. Rekomendasi8
BCG diberikan pada bayi <2 bulan Pada bayi yang kontak erat dengan penderita TB dengan BTA (+3) sebaiknya diberikan INH

profilaksis dulu, kalau kontaknya sudah tenang dapat diberi BCG.


BCG jangan diberikan pada bayi atau anak dengan imunodefisiensi, misalnya HIV, gizi buruk

dan sedang mendapat obat imunosupresif. 4.2 Hepatitis B10 Infeksi virus hepatitis B (VHB) menyebabkan sedikitnya satu juta kematian/tahun. Infeksi pada anak umumnya asimtomatis tetapi 80-95% akan menjadi kronis dan dalam 10-20 tahun akan menjadi sirosis dan/atau karsinoma hepatoselular (KHS). Indonesia termasuk daerah endemis sedang-tinggi. Transmisi terjadi melalui kontak perkutaneus atau parenteral, dan melalui hubungan seksual. VHB juga dapat melekat dan bertahan di permukaan suatu benda selama kurang lebih 1 minggu tanpa kehilangan daya tular. 4.2.1. Imunisasi Hepatitis B Imunisasi ini meliputi : 1. Imunisasi pasif Hepatitis B immune globulin (HBIg) dalam waktu singkat segera memberikan proteksi 19

jangka pendek (3 - 6 bulan). HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan (needle stick injury, kontak seksual, bayi dari ibu VHB, terciprat darah ke mukosa atau ke mata). Sebaiknya HBIg diberikan bersama vaksin VHB. 2. Imunisasi aktif Vaksin VHB yang tersedia adalah vaksin rekombinan. Pemberian ketiga seri vaksin dan dengan dosis yang sesuai rekomendasinya, akan menyebabkan terbentuknya respons protektif (anti HBs > 10 mIU/mL) pada > 90% dewasa, bayi, anak dan remaja. Vaksin diberikan secara intramuskular dalam. Pada neonatus dan bayi diberikan di anterolateral paha, sedangkan pada anak besar dan dewasa diberikan di regio deltoid. Sasaran vaksinasi hepatitis B antara lain adalah: seksual Drug users Homosexuals, bisexual, heterosexuals Beberapa hal yang perlu diingat antara lain:
Minimal diberikan sebanyak 3 kali Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir Jadwal imunisasi yang dianjurkan adalah 0, 1, dan 6 bulan karena respons antibodinya

Semua bayi baru lahir tanpa memandang status Hepatitis B ibu Individu yang karena pekerjaannya berisiko tertular VHB Karyawan di lembaga perawatan cacat mental Pasien hemodialisis Pasien koagulopati yang membutuhkan transfusi berulang Individu yang serumah dengan pengidap Hepatitis B atau kontak akibat hubungan

paling optimal
Interval antara dosis pertama dan dosis kedua minimal 1 bulan. Memperpanjang interval

antara dosis kesatu dan kedua tidak akan mempengaruhi imunogenisitas atau titer antibodi sesudah imunisasi selesai (dosis ketiga).
Dosis ketiga merupakan penentu respons antibodi karena merupakan dosis booster. Agar

dapat dicapai kadar antibodi protektif secepatnya dianjurkan hepB-3 diberikan lebih awal 20

(umur 3-6 bulan), mengingat Indonesia adalah daerah endemisitas tinggi.


Bila sesudah dosis pertama imunisasi terputus, segera berikan imunisasi kedua; sedangkan

imunisasi ketiga diberikan dengan jarak terpendek 2 bulan.


Bila dosis ketiga terlambat, beri segera setelah memungkinkan. Setiap vaksin hepatitis B sudah dievaluasi untuk menentukan dosis sesuai umur (age-

specific dose) yang dapat menimbulkan respons antibodi yang optimum. Oleh karena itu dosis yang direkomendasikan bervariasi tergantung produk dan usia resipien. Sedangkan dosis pada bayi, dipengaruhi pula oleh status HBsAg ibu.
Pasien hemodialisis membutuhkan dosis yang lebih besar atau penambahan jumlah

suntikan.
Pada pasien koagulopati penyuntikan segera setelah memperoleh terapi faktor koagulasi,

dengan jarum kecil (nomer 23), tempat penyuntikan ditekan minimal 2 menit.
Bayi prematur : bila ibu HBsAg (-) imunisasi ditunda sampai bayi berusia 2 bulan atau

berat badan sudah mencapai 2000 gram Efektivitas vaksin dalam mencegah infeksi VHB adalah 90-95%. Memori sistem imun menetap minimal sampai 12 tahun pasca imunisasi sehingga pada anak normal, tidak dianjurkan untuk imunisasi booster. Pada pasien hemodialisis, proteksi vaksin tidak sebaik individu normal. Tabel 3. Imunisasi Hepatitis B pada Bayi Baru Lahir HBsAg Positif Imunisasi HBIg (0,5 Keterangan ml) Dosis I diberikan <12 jam pertama Dosis I : Segera setelah lahir Status HBV ibu semula tidak diketahui tetapi bila

dan vaksin Negatif atau tidak Vaksin diketahui

dalam 7 hari terbukti ibu HBV, segera beri HBIg (Dikutip dari : Hidayat dan Pujiarto, 2005)10 4.2.2. Non responder Mereka yang tidak memberikan respons terhadap imunisasi primer, diberikan vaksinasi tambahan. Bila sesudah 3 kali vaksinasi tambahan tidak terjadi serokonversi, tidak perlu imunisasi tambahan lagi.

21

4.2.3. Uji serologis Pada bayi dan anak, pemeriksaan anti-HBs pra dan pasca imunisasi tidak dianjurkan. Uji serologis pra imunisasi hanya dilakukan pada yang akan memperoleh profilaksis pasca paparan dan individu berisiko tinggi tertular infeksi VHB. Uji serologi pasca imunisasi perlu dilakukan pada bayi dan ibu pengidap Hepatitis B, individu yang memperoleh profilaksis pasca paparan, dan pasien immunocompromised. Uji serologis pasca imunisasi ini dilakukan 1 bulan sesudah imunisasi ketiga. 4.2.4. Reaksi KIPI Efek samping yang terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan bersifat sementara, kadang-kadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari. 4.2.5. Kontraindikasi Sampai saat ini tidak ada indikasi kontra abolut pemberian vaksin VHB. Kehamilan dan laktasi bukan indikasi kontra imunisasi VHB. 4.3 Difteria, Pertusis, Tetanus Difteria adalah suatu penyakit akut yang bersifat toxin-mediated disease dan disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Corynebacterium diphteriae adalah basil Gram positif. Produksi toksin terjadi hanya bila kuman tersebut mengalami lisogenisasi oleh bakteriofag yang mengandung informasi genetik toksin. Ditemukan 3 galur bakteri yaitu, gravis, intermedius dan mitis dan semuanya dapat memproduksi toksin. Seseorang anak dapat terinfeksi basil difteria pada nasofaringnya dan kuman tersebut kemudian akan memproduksi toksin yang menghambat sintesis protein selular dan menyebabkan destruksi jaringan setempat kemudian terjadilah suatu selaput/membran yang dapat menyumbat jalan nafas. Toksin yang terbentuk di membran tersebut kemudian diabsorbsi kedalam aliran darah dan dibawa ke seluruh tubuh. Pertusis11 Pertusis atau batuk rejan/ batuk seratus hari adalah suatu penyakit akut yang disebabkan 22

Difteria11

oleh bakteri Bordetella pertussis. Bordetella pertussis adalah bakteri batang yang bersifat gram negatif. Sebelum ditemukannya vaksin pertusis, penyakit ini merupakan penyakit tersering yang menyerang anak-anak dan merupakan penyebab utama kematian (diperkirakan sekitar 300.000 kematian terjadi setiap tahun). Pertusis juga merupakan penyakit yang bersifat toxin-mediated. Toksin yang dihasilkan kuman (melekat pada bulu getar saluran nafas atas) akan melumpuhkan bulu getar tersebut sehingga menyebabkan gangguan aliran sekret saluran pernafasan, dan berpotensi menyebabkan pneumonia. Gejala utama pertusis timbul saat terjadinya penumpukan lendir dalam saluran nafas akibat kegagalan aliran oleh bulu getar yang lumpuh yang berakibat terjadinya batuk paroksismal tanpa inspirasi yang diakhiri dengan bunyi whoop. Pada serangan batuk seperti ini, pasien biasanya akan muntah dan sianosis, menjadi sangat lemas dan kejang. Bayi di bawah 6 bulan juga dapat menderita batuk seperti ini namun biasanya tanpa disertai suara whoop. Bayi dan anak prasekolah mempunyai risiko terbesar untuk terkena penyakit. Tetanus11 Tetanus adalah suatu penyakit akut, bersifat fatal, disebabkan oleh eksotoksin produksi bakteri Clostridium tetani. Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang dan bersifat anaerobik, gram positif yang mampu menghasilkan spora dengan bentuk drumstick. Kuman ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka dan dalam suasana anaerob, kemudian terjadi produksi toksin (tetanospasmin) terjadi dan disebarkan melalui darah dan limfe. Toksin ini kemudian akan menempel pada reseptor di sistem syaraf. Gejala utama penyakit ini timbul akibat toksin tetanus yang mempengaruhi pelepasan neurotransmitter sehingga terjadi penghambatan impuls inhibisi. Akibatnya terjadi kontraksi serta spastisitas otot yang tak terkontrol, kejang dan gangguan sistim syaraf otonom. Tetanus dapat ditemukan pada anak-anak dan neonatal yang bersifat fatal. 4.3.1. Vaksin DTP11 Toksoid difteria Toksoid difteria ditemukan oleh Ramon, yang menamakannya anatoxin. Untuk imunisasi primer terhadap difteria digunakan toksoid difteria (alumprecipitated toxoid) yang kemudian 23

digabung dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis dalam bentuk vaksin DTP. Potensi toksoid difteria dinyatakan dalam jumlah unit flocculate (Lf) dengan kriteria 1 Lf adalah jumlah toksoid sesuai dengan 1 unit anti toksin difteria. Kekuatan toksoid difteria yang terdapat dalam kombinasi vaksin DTP saat ini berkisar antara 6,7-25 Lf dalam dosis 0,5 ml. Untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan dan saat masuk sekolah. Dosis ke-4 harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis ke-3. Kombinasi toksoid difteria dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap pemberian vaksin pertusis. Setelah mendapatkan 3 dosis toksoid difteria semua anak rata-rata memberikan titer lebih besar dari 0.01 IU dalam 1 ml ( nilai batas protektif adalah 0.01 IU). Beberapa penelitian serologik membuktikan adanya penurunan kekebalan sesudah kurun waktu tertentu dan perlunya penguatan pada masa anak. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi11 Kejadian ikutan pasca imunisasi toksoid difteria secara khusus sulit dibuktikan karena selama ini pemberiannya selalu digabung bersama toksoid tetanus dan atau tanpa vaksin pertusis. Beberapa laporan menyebutkan bahwa reaksi lokal akibat pemberian vaksin dT (dosis dewasa) sering ditemukan lebih banyak dari pada pemberian toksoid tetanus saja. Namun kejadian tersebut sangat ringan dan belum pernah dilaporkan adanya kejadian ikutan berat. Vaksin Pertusis11 Antibodi terhadap toksin pertusis dan hemaglutinin telah dapat ditemukan dalam serum neonatus dalam konsentrasi yang sama dengan ibunya, dan akan menghilang dalam 4 bulan Namun demikian antibodi ini ternyata tidak memberikan proteksi secara klinis. Vaksin pertusis wholecell adalah vaksin yang merupakan suspensi kuman B. pertussis mati. Umumnya vaksin pertusis diberikan dengan kombinasi bersama toksoid difteri dan tetanus. Campuran ini diadsorbsikan ke dalam garam alumunium. Sejak 1962 dimulai usaha untuk membuat vaksin pertusis dengan menggunakan fraksi sel (aselular) yang bila dibandingkan dengan whole-cell endotoksin dan debris. Kejadian ikutan pasca imunisasi11,12 24 ternyata memberikan reaksi lokal dan demam yang lebih ringan, diduga akibat dikeluarkannya komponen

Reaksi lokal kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi pada kira-kira separuh penerima DTP. Proporsi yang sama juga akan menderita demam ringan dan 1% dapat menjadi hiperpireksia. Anak sering juga gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca suntikan. Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang (0,06%) sesudah vaksinasi yang dihubungkan dengan demam yang terjadi. Anak dengan kelainan neurologik yang mempunyai riwayat kejang, 7,2x lebih mudah terjadi kejang setelah imunisasi DTP dan mempunyai kesempatan 4,5x lebih tinggi bila hanya mempunyai riwayat kejang dalam keluarga. Maka pada keadaan anak yang demikian, hendaknya tidak diberikan imunisasi pertusis, jadi hanya diberikan imunisasi DT.12 Kejadian ikutan yang paling serius adalah terjadinya ensefalopati akut atau reaksi anafilaksis dan terbukti disebabkan oleh pemberian vaksin pertusis.

Kontraindikasi11 Kontraindikasi mutlak terhadap pemberian vaksin pertusis baik whole-cell maupun aselular, yaitu : Riwayat anafilaksis Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya. Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus (precaution), sebelum pemberian vaksin pertusis berikutnya bila pada pemberian pertama dijumpai, riwayat hiperpireksia, keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 3 jam dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudahnya. Respon antibodi terhadap imunisasi dasar dengan vaksin pertusis whole-cell tergantung pada kadar antibodi transplasental yang didapat dari ibu terhadap toksin pertusis. Sebaliknya ternyata respons yang diperoleh setelah penyuntikan vaksin aseluler tidak dipengaruhi oleh kadar antibodi pravaksinasi. Vaksin Pertusis a-seluler11 Vaksin pertusis aseluler adalah vaksin pertusis yang berisi komponen spesifik dari 25

Bordettella pertusis yang dipilih sebagai dasar yang berguna dalam patogenesis pertusis dan perannya dalam memicu antibodi yang berguna untuk pencegahan terhadap pertusis secara klinis. Latar belakang penggunaan vaksin pertusis a-selular11 Vaksin DTwP (pertusis whole cell) telah dipergunakan sejak tahun 1970-an sampai saat ini walaupun mempunyai efek samping. Adanya data kejadian ikutan pasca imunisasi gejala susunan syaraf pusat yang serius (termasuk ensefalopati) yang bersifat temporal association. Vaksin DTaP (pertusis aseluler) memberikan imunogenisitas sama baiknya dengan DTwP. Respons antibodi juga tampak tetap tinggi setelah pemberian vaksinasi ulangan pada umur 15-18 bulan dan 5-6 tahun. Kejadian reaksi KIPI vaksin DTaP baik lokal maupun sistemik lebih rendah daripada DTP. Saat ini di beberapa negara yang telah mempunyai cakupan imunisasi pertusis tinggi masih melaporkan pasien pertusis. Kemungkinan hal tersebut disebabkan orang dewasa yang non-imun terhadap pertusis sebagai sumber penularan pada anak, maka pertusis aselular dapat dipergunakan. Toksoid Tetanus 11 Dosis dan kemasan
Toksoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi adalah sebesar 40 IU dalam setiap dosis

tunggal dan 60 IU bila bersama dengan toksoid difteria dan vaksin pertusis.
Terdapat berbagai kemasan seperti, preparat tunggal (TT), kombinasi dengan toksoid difteria

dan atau pertusis (dT, DT, DTwP, DTaP) dan kombinasi dengan komponen lain seperti Hib dan hepatitis B.
Pemberian toksoid tetanus memerlukan pemberian berseri untuk menimbulkan dan

mempertahankan imunitas. Tidak diperlukan pengulangan dosis bila jadwal pemberian ternyata terlambat.
Ibu yang mendapatkan toksoid tetanus 2 atau 3 dosis ternyata memberikan proteksi yang baik

terhadap bayi baru lahir terhadap tetanus neonatal. Kadar rata-rata antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu cukup untuk memberi proteksi terhadap bayinya. 26

Jadwal11
Pemberian toksoid tetanus yang diberikan bersama DTP diberikan sesuai jadwal imunisasi. Kadar antibodi protektif setelah pemberian DTP 3 kali mencapai 0,01 IU atau lebih. KIPI terutama reaksi lokal, sangat dipengaruhi oleh dosis, pelarut, cara penyuntikan, dan

adanya antigen lain dalam kombinasi vaksin itu.


DTaP atau DTwP tidak diberikan pada anak kurang dari usia 6 minggu, disebabkan respons

terhadap pertusis dianggap tidak optimal, sedang respons terhadap toksoid tetanus dan difteria cukup baik tanpa memperdulikan adanya antibodi maternal. 4.4 Poliomielitis13 Penyakit ini disebabkan oleh virus poliomyelitis pada medula spinalis yang secara klasik menimbulkan kelumpuhan. Virus polio termasuk dalam kelompok (sub-group) entero virus, famili Picornaviridae. Dikenal 3 macam serotipe virus polio yaitu P1, P2 dan P3. Angka kejadian kasus polio secara drastis menurun setelah pemberian vaksin yang sangat efektif. Di Indonesia imunisasi polio sebagai program memakai oral polio vaccine (OPV) dilaksanakan sejak tahun 1980 dan tahun 1990 telah mencanai UCI (universal of chlidren immunization). Program eradikasi polio global secara dramatis mengurangi transmisi virus polio liar di seluruh dunia. kecuali di India, Timur Tengah dan Afrika. Resevoir virus polio liar hanya pada manusia, yang sering ditularkan oleh pasien infeksi polio yang tanpa gejala. Namun, tidak ada pembawa kuman dengan status karier asimtomatis kecuali pada orang yang menderita defisien sistem imun. Virus polio menyebar dari orang satu ke orang lain melalui jalur oro-fecals, pada beberapa kasus dapat berlangsung secara oral-oral. Virus polio masuk melalui mulut dan multiplikasi pertama kali terjadi pada tempat implantasi dalam faring dan traktus gastrointestinal. Virus polio sangat menular. 4.4.1. Eradikasi Polio (ERAPO) Dalam program ERAPO ini, pemerintah Indonesia membuat kebijaksanaan dengan mengambil strategi : 27

meningkatkan cakupan imunisasi OPV secara rutin melaksanakan pekan imunisasi nasional (PIN atau national immunization day = NID) melakukan mopping up di daerah-daerah yang masih dijumpai transmisi virus polio liar (wild

virus)
melaksanakan surveilans AFP (acute flaccid paralysis=lumpuh layuh) yang mantap.

4.4.2. Vaksin Polio Vaksin virus polio oral (oral polio vaccine, OPV) Vaksin virus polio hidup oral yang dibuat oleh PT.Biofarma Bandung, berisi virus polio tipe 1,2, dan 3 yang sudah dilemahkan (attenuated). Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa. Tiap dosis (2 tetes = 0,1 ml) mengandung virus tipe 1: 1060 CCID50, tipe 2: 101,0 CCID50 dan tipe 3: 101,1 CCIDSO dan eritromisin tidak lebih dari 2 mcg, serta kanamisin tidak lebih dari 10 mcg. Vaksin ini digunakan secara rutin sejak bayi lahir dengan dosis 2 tetes oral (0,1 ml). Virus vaksin ini kemudian menempatkan diri di usus dan memacu pembentukan antibodi baik dalam darah maupun pada epitelium usus, yang menghasilkan pertahanan lokal terhadap virus polio liar yang datang masuk kemudian. Jenis vaksin virus polio ini dapat bertahan (beredar) di tinja sampai 6 minggu setelah pemberian OPV. Penerima vaksin dapat terlindungi setelah dosis tunggal pertama namun tiga dosis berikutnya akan memberikan imunitas jangka lama terhadap 3 tipe virus polio. Vaksin polio oral harus disimpan tertutup pada suhu -15C sampai -25C. Vaksin sangat stabil namun sekali dibuka, vaksin akan kehilangan potensi disebabkan oleh perubahan pH setelah terpapar udara. Kebijakan Departeman Kesehatan mengajurkan bahwa vaksin polio yang telah terbuka botolnya pada akhir sesi imunisasi (pasa imunisasi masal) harus dibuang. Tetapi saat ini kebijakan WHO membolehkan botol-botol yang berisi vaksin dosis ganda (multidose) digunakan pada unit imunisasi, bila tiga syarat di bawah ini terpenuhi: tanggal kadaluwarsa tidak terlampui vaksin-vaksin disimpan dalam rantai dingin yang benar (2-8C) botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu telah dibuang oleh Puskesmas.

28

Vaksin polio oral (OPV) dapat disimpan beku pada temperatur -200C. Vaksin yang beku dengan cepat dicairkan dengan cara ditempatkan antara dua telapak tangan dan digulirgulirkan, dijaga agar warna tidak berubah yaitu merah muda sampai oranye muda (sebagai indikator pH). Bila keadaan tersebut dapat terpenuhi, maka sisa vaksin yang telah terpakai dapat dibekukan lagi, kemudian dipakai lagi sampai warna berubah dengan catatan dan tanggal kadarluwarsa harus selalu diperhatikan.

Vaksin polio inactivated (inactivted poliomyelitis vaccine =IPV) Vaksin polio inactivated berisi tipe 1, 2, 3 dibiakkan pada sel-sel vero ginjal kera dan dibuat tidak aktif dengan formadehid. Pada vaksin tersebut dijumpai neomisin, streptomisin dan polimiksin B dalam jumlah kecil. Vaksin polio inactivated harus disimpan pada suhu 2-8C dan tidak boleh dibekukan. Pemberian dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan dalam tiga kali berturut-turut dengan jarak 2 bulan antara masing-masing dosis akan memberikan imunitas jangka panjang (mukosal maupun humoral) terhadap tiga macam tipe virus polio. Imunitas mukosal yang ditimbulkan oleh IPV lebih rendah dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh OPV. 4.4.3. Rekomendasi Imunisasi primer bayi dan anak Vaksin polio oral diberikan pada bayi baru lahir sebagai dosis awal. Kemudian diteruskan dengan imunisasi dasar mulai umur 2-3 bulan yang diberikan tiga dosis terpisah berturut-turut dengan interval waktu 6-8 minggu. Satu dosis sebanyak 2 tetes (0.1 ml) diberikan per oral pada umur 2-3 bulan dapat diberikan bersama-sama waktunya dengan suntikan vaksin DPT dan Hib. Bila OPV yang diberikan dimuntahkan dalam waktu 10 menit, maka dosis tersebut perlu diulang. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh pada respons antibodi terhadap OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini. Anak-anak dengan imunosupresi dan kontak mereka yang dekat harus diimunisasi. Anak yang telah mendapat imunisasi OPV dapat memberikan ekskresi virus vaksin 29

selama 6 minggu dan akan melakukan infeksi, pada kontak yang belum diimunisasi. Untuk mereka yang berhubungan (kontak) dengan bayi yang baru saja diberi OPV supaya menjaga kebersihan dengan mencuci tangan setelah mengganti popok bayi. Vaksinasi terhadap orang tua yang anaknya divaksinasi Anggota keluarga yang belum pernah divaksinasi atau belum lengkap vaksinasinya dan kontak dengan anak yang mendapat vaksinasi OPV, harus ditawarkan vaksinasi dasar OPV pada waktu yang bersamaan dengan anak tersebut. Dalam hal ini dapat diberikan IPV atau OPV. Kepada orang dewasa yang telah mendapat imunisasi sebelumnya, tidak diperlukan vaksinasi penguat (booster). Interval minimal antara dua dosis vaksinasi dapat diperpanjang dan dapat menyelesaikan vaksinasinya tanpa mengulang lagi. Imunisasi penguat (booster) Dosis penguat OPV harus diberikan sebelum masuk sekolah, yaitu bersamaan pada saat dosis DPT diberikan sebagai penguat. Dosis OPV berikutnya harus diberikan pada umur 15-19 tahun atau sebelum meninggalkan sekolah. Vaksinasi untuk anak imunokompromais Untuk mereka yang mempunyai indikasi kontra terhadap vaksin hidup, misalnya mereka dengan imunosupresi dari sesuatu penyakit atau kemoterapi, maka IPV dapat digunakan sebagai vaksinasi terhadap poliomielitis. Sebagai vaksinasi dasar, diberikan suntikan IPV sebanyak 3 dosis masing-masing 0.5 ml, secara subkutan dalam atau intramuskular dengan interval 2 bulan. Dosis penguat harus diberikan dengan jadwal sama dengan pemberian OPV. Anak dengan HIVpositif dan anggota keluarga serumah yang mendapat kontak harus menerima IPV. 4.4.4. Kejadian ikutan pasca imunisasi Setelah divaksinasi sebagian kecil resipien dapat mengalami gejala pusing, diare ringan, dan nyeri otot. Kasus poliomielitis yang berkaitan dengan vaksin telah dilaporkan terjadi pada resipien (VAPP= vaccine associated polio paralytic) maupun yang kontak dengan virus yang menjadi neurovirulen (VDPV= vaccine derived polio virus). Kasus VAPP terjadi kira-kira 1 kasus per satu juta dosis pertama penggunaan OPV dan 30

setiap 2,5 juta dosis OPV lengkap yang diberikan. Pada pemberian OPV, virus asal vaksin ini dapat bereplikasi di dalam usus manusia, ekskresi melalui tinja biasanya selama 2-3 bulan. Pada saat replikasi tersebut mungkin terjadi mutasi virus yang dikenal dengan reversion menyebabkan virus polio yang sebelumnya sudah dilemahkan kembali berbentuk yang lebih neurovirulen, yang kemudian menyebabkan kelumpuhan layu akut (VAPP). Di samping itu virus yang neurovirulen tersebut dapat diekskresi melalui tinja mengakibatkan kelumpuhan orang di sekitarnya (VDPV). Definisi WHO tentang VAPP ialah suatu lumpuh layu akut (AFP) yang terjadi 4-30 hari setelah menerima OPV, atau 4-75 hari setelah kontak dengan penerima OPV (terinfeksi oleh VDVP) dengan kelainan neurologi masih ada pada 60 hari setelah onset, atau meninggal. Terdapat 2 jenis virus vaksin yang menjadi neurovirulen dan di ekskresi (VDVP) yaitu : a. b. cVDPV (circulating VDPV), virus yang dapat menyebabkan wabah dan iVDPV(immune-deficiency VDPV), virus berasal dari pasienn defisiensi imun. merupakan rekombinasi dengan Enterovirus spesies C.

4.4.5. Kontraindikasi Kontraindikasi pemberian OPV adalah sebagai berikut : Penyakit akut atau demam tinggi (suhu >38.5C), vaksinasi harus ditunda Muntah atau diare berat, vaksinasi ditunda. Dalam pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif yang diberikan oral maupun suntikan, juga yang mendapat pengobatan radiasi umum ( termasuk kontak dengan pasien) Keganasan (untuk pasien dan kontak) yang berhubungan dengan sistem retikuloendotelial (limfoma, leukemia, dan penyakit Hodgkin) dan yang mekanisme imunologisnya terganggu, misalnya pada hipogamaglobulinemia Infeksi HIV atau anggota keluarga sebagai kontak, Walaupun kejadian ikutan pada fetus belum pernah dilaporkan, OPV jangan diberikan kepada ibu hamil pada 4 bulan pertama kehamilan kecuali terdapat alasan mendesak, misalnya bepergian ke daerah endemis poliomielitis, Vaksin polio oral dapat diberikan bersama-sama dengan vaksin inactivated dan virus hidup lainnya (sesuai dengan indikasi) tetapi jangan bersama vaksin oral tifoid 31

Bila BCG diberikan pada bayi tidak perlu memperlambat pemberian OPV, karena OPV memacu imunitas lokal dan pembentukan antibodi dengan cara replikasi dalam usus OPV dan IPV mengandung sejumlah kecil antibiotik (neomisin, polimiksin, streptomisin) namun hal ini tidak merupakan kontraindikasi, kecuali pada anak yang mempunyai bakat hipersensitif yang berlebihan Kepada saudara atau anggota keluarga kontak dengan anak yang menderita imunosupresi jangan diberikan OPV, tetapi diberi IPV

4.5

Campak Upaya imunisasi campak yang telah dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan R.I

mencakup lebih dari 80%, namun di daerah-daerah terpencil cakupan tersebut secara keseluruhan belum tercapai. Oleh karena itu, kejadian luar biasa penyakit campak masih dijumpai di daerahdaerah tertentu. 14 Sejak tahun 1970 penyakit campak di Indonesia telah mendapat perhatian khusus, yaitu sejak terjadi wabah campak yang cukup serius di pulau dan di pulau Bangka. Kejadian luar biasa campak masih sering terjadi. 4.5.1. Patogenesis14 Virus masuk melalui saluran pernafasan secara droplet dan selanjutnya masuk kelenjar getah bening yang berada di bawah mukosa, disini virus memperbanyak diri kemudian menyebar ke sel-sel jaringan limforetikular. Pada saat 5-6 hari sesudah infeksi awal, fokus infeksi timbul yaitu ketika virus masuk ke dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitel orofaring, konjungtiva, saluran pernafasan, kulit, kandung kemih, saluran usus, dan selanjutnya pada hari ke 9-10 fokus infeksi berada di epitel saluran napas. Pada saat itu muncul gejala coriza (pilek) disertai dengan peradangan selaput konjungtiva yang tampak merah. Pasien tampak lemah disertai suhu tubuh yang meningkat, selanjutnya pasien tampak sakit berat sampai munculnya ruam kulit. Pada hari ke-2 tampak bintik Koplik's yang merupakan tempat virus tumbuh selanjutnya mati. Akhirnya muncul ruam makulopapular di hari ke-14 sesudah awal infeksi dan pada saat itu antibodi humoral dapat dideteksi dan selanjutnya suhu tubuh menurun.

32

4.5.2. Vaksin Campak15 Pada tahun 1963, telah dibuat dua jenis vaksin campak yaitu:
vaksin yang berasal dari virus campak yang hidup dan dilemahkan (tipe Edmonston B) Vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus campak yang berada dalam

larutan formalin yang dicampur dengan garam aluminium). Sejak tahun 1967, vaksin yang berasal dari virus campak yang telah dimatikan tidak digunakan lagi. Ini disebabkan karena efek proteksinya hanya bersifat sementara dan dapat menimbulkan gejala atypical measles yang hebat. 4.5.3. Dosis dan Cara Pemberian14 Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang dilemahkan adalah 1000 TCID50 atau sebanyak 0,5 ml. Untuk vaksin hidup, pemberian dengan 20 TCID50 saja mungkin sudah dapat memberikan hasil yang baik. Pemberian yang dianjurkan secara subkutan, walaupun demikian dapat diberikan secara intramuskular. Daya proteksi vaksin campak diukur dengan berbagai macam cara. Salah satu indikator pengaruh vaksin terhadap proteksi adalah penurunan angka kejadian kasus campak sesudah pelaksanaan program imunisasi. Pada saat ini di negara yang sedang berkembang, angka kejadian campak masih tinggi dan seringkali dijumpai penyulit, maka WHO menganjurkan pemberian imunisasi campak pada bayi berumur 9 bulan. Untuk negara maju imunisasi campak (MMR) dianjurkan pada anak berumur 12-15 bulan. 4.5.4. Reaksi KIPI14 Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi pada imunisasi ulang pada seseorang yang telah memiliki imunitas sebagian akibat imunisasi dengan vaksin campak dari virus yang dimatikan. Gejala KIPI berupa demam yang lebih dari 39,5C yang terjadi pada 5-15% kasus, demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2 hari. 33

Peningkatan suhu tubuh tersebut dapat merangsang terjadinya kejang demam. Ruam dapat dijumpai pada 5% resipien, timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2-4 hari. Hal ini sukar dibedakan dengan modified measles akibat imunisasi yang terjadi jika seseorang telah memperoleh imunisasi pada saat masa inkubasi penyakit alami. Reaksi KIPI berat jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti onsefalitis dan ensefalopati pasca imunisasi. Landrigan dan Witte memperkirakan risiko terjadinya kedua efek samping tersebut selama 30 hari sesudah imunisasi sebanyak 1 diantara 1 milyar dosis vaksin. 4.5.5. Imunisasi Ulangan14 Ulangan imunisasi campak diberilkan pada usia masuk sekolah (umur 6-7 tahun) melalui program BIAS. Imunisasi ulang dianjurkan juga dalam situasi tertentu, misalnya : Mereka yang memperoleh imunisasi sebelum umur 1 tahun dan terbukti bahwa potensi vaksin yang digunakan kurang baik. Pada anak-anak yang memperoleh imunisasi ketika berumur 12-14 bulan tidak disarankan mengulangi imunisasinya. Apabila terdapat kejadian luar biasa peningkatan kasus campak, maka anak SD, SLTP dan SLTA dapat diberikan imunisasi ulang. Setiap orang yang pernah imunisasi vaksin campak yang virusnya sudah dimatikan (vaksin inaktif). Setiap orang yang pernah memperoleh imunoglobulin. Seorang yang tidak dapat menunjukkan catatan imunisasinya.

4.5.6. Kontraindikasi14 Kontraindikasi imunisasi campak berlaku bagi orang-orang sebagai berikut: Sedang menderita demam tinggi Sedang memperoleh pengobatan imunosupresi Hamil Memiliki riwayat alergi Sedang memperoleh pengobatan imunoglobulin atau bahan-bahan berasal dari darah 34

35

Daftar Pustaka 1. Peter, G. 2004. Immunization Practices dalam Nelson Textbook of Pediatrics 17th Edition (Behrman, R. E., Kliegman, R.M., Jenson, H. B.). Philadelphia: Saunders 2. Ranuh, I.G.N. 2005. Imunisasi Upaya pencegahan Primer dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kedua (Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S. R. S., Kartasasmita, C. B.). Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 3. Matondang, C.S., Siregar, S. P.2005. Aspek Imunologi Imunisasi dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kedua (Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S. R. S., Kartasasmita, C. B.). Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 4. Suyitno, H. 2005. Jenis Vaksin dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kedua (Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S. R. S., Kartasasmita, C. B.). Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 5. Suyitno, H. 2005. Tata Cara Pemberian Imunisasi dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kedua (Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S. R. S., Kartasasmita, C. B.). Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 6. Soedjatmiko, Rahajoe, N. 2005. Penjelasan Kepada Orang Tua Mengenai Imunisasi dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kedua (Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S. R. S., Kartasasmita, C. B.). Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 7. Indarso, F., Hendrarto, T. W. 2005. Imunisasi Bayi pada Ibu Berisiko dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kedua (Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S. R. S., Kartasasmita, C. B.). Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 8. Rahajoe, N.N. 2005. Tuberkulosis (vaksin BCG) dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kedua (Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S. R. S., Kartasasmita, C. B.). Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 9. Rahajoe, N.N., Basir, D., Makmuri, Kartasasmita, C. B. 2005. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 10. Hidayat, B., Pujiarto, P.S. 2005. Hepatitis B dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kedua (Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S. R. S., Kartasasmita, C. B.). Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 11. Tumbelaka, A. R., Hadinegoro, S. R. S. 2005. Difteria, Pertusis, Tetanus dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kedua (Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S. R. S., Kartasasmita, C. B.). Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 12. Soedarrno, S. S. P., Garna, H., Hadinegoro, S.R.S. 2002. Pertusis dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi Pertama. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 13. Suyitno, H. 2005. Poliomielitis dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kedua (Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S. R. S., Kartasasmita, C. B.). Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 14. Soegijanto, S. 2005. Campak dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kedua (Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S. R. S., Kartasasmita, C. B.). Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 15. Soedarrno, S. S. P., Garna, H., Hadinegoro, S.R.S. 2002. Campak dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi Pertama. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 36

16. Pasaribu, S. 2006. Campak, Gondongan, Rubela (MMR) dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kedua (Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S. R. S., Kartasasmita, C. B.). Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 17. Pusponegoro, H.D. 2006. Haemophilus Influenza Tipe B dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kedua (Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S. R. S., Kartasasmita, C. B.). Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 18. Rampengan, T. H. 2006. Demam Tifoid dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kedua (Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S. R. S., Kartasasmita, C. B.). Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 19. Satari, H. I. 2006. Varisela dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kedua (Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S. R. S., Kartasasmita, C. B.). Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 20. Hidajat, B., Pujiarto, P. S. 2006. Hepatitis A dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kedua (Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S. R. S., Kartasasmita, C. B.). Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 21. Kartasasmita, C. B. 2006. Influenza dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kedua (Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S. R. S., Kartasasmita, C. B.). Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 22. Kartasasmita, C. B. 2006. Pneumokokus dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kedua (Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S. R. S., Kartasasmita, C. B.). Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia 23. Firmansyah, A. 2006. Rotavirus dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kedua (Ranuh, I.G.N., Suyitno, H., Hadinegoro, S. R. S., Kartasasmita, C. B.). Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia

37

38

You might also like