You are on page 1of 30

DESEN TR ALISASI D A NREVITALISASI L OKAL (DECEN T R ALIZATION AND L OCA L REVITALIZATION)

Makalah Untuk Seminar Indonesia- Jepang Tanggal 26 dan 27 Oktober 2010 Di Kampus IPDN Jatinangor

Oleh : Prof. Dr. Sadu Wasistiono, Msi (Dosen IPDN)

Diselenggarakan atas kerjasama Kementerian Dalam Negeri RI (Ministry of Home Affair) Dengan Ministry of Internal Affair and Communications Japan Jatinangor, Oktober 2010

A. PENDAHULUAN
Dilihat dari karakteristik wilayah yang berbentuk pulau dan kepulauan, penduduk yang terdiri dari ratusan sukubangsa, serta adanya komitmen politik pada saat menjelang kemerdekaan, maka desentralisasi bagi Indonesia adalah sebuah keharusan (conditio sine qua non). Hal ini kemudian secara arif dituangkan dalam kontitusi dengan menyatakan bahwa Indonesia adalah negara unitaris yang terdesentralisasi.
1

Permasalahan yang muncul bukan lagi terletak pada tingkat ideologis, melainkan lebih pada tingkat praksis yakni mengenai pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, pembagian sumber-sumber keuangan, manajemen kepegawaian, pemilihan kepala daerah, mekanisme pertanggungjawaban, dan lain sebagainya, yang diatur lebih lanjut dalam undang-undang pelaksana konstitusi. Undang-undang adalah produk politik, yang penyusunannya dipengaruhi oleh suasana kebatinan para pembuatnya serta situasi dan kondisi yang melingkupinya. Sehingga tidak mengherankan apabila dengan dasar konstitusi yang sama dapat muncul UU dengan filosofi dan paradigma yang berbeda- bahkan bersifat diametral. Muncul pemeo di kalangan awam bahwa ganti kabinet- ganti undang-undang. Hal tersebut kemudian dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, karena tingkat kecepatan pemahaman dan penerimaan perubahan dari satu individu dengan individu lainnya berbeda. Demikian pula karena penyebaran teknologi informatika dan komunikasi yang belum merata di seluruh Indonesia, menyebabkan perbedaan kecepatan penerimaan informasi baru, yang pada gilirannya menimbulkan masalah dalam implementasi penyelenggaraan pemerintahan seharihari. Pada tingkat wacana, berkembang berbagai konsep tentang desentralisasi yang berasal dari berbagai sumber. Ada yang bersumber dari negara berbentuk federal, ada yang bersumber dari negara unitaris yang sentralistik dan lain sebagainya. Pada tingkat wacana, perbedaan pandangan tentang desentralisasi justru memperkaya khasanah pengetahuan. Tetapi pada tingkat implementasi, hal tersebut dapat menimbulkan konflik. Oleh karena itu perlu adanya
2

1 2

Lihat Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) sd ayat (6) UUD 1945 (Amandemen). Bandingkan antara isi UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan judul yang sama, serta dengan konsep semifinal Revisi UU Nomor 32 Tahun 2004

kesamaan pandangan dan pemahaman mengenai desentralisasi dan otonomi daerha yakni dengan menggunakan definisi yang yang diatur pada tingkat undang-undang dasar, UU atau peraturan pelaksanaannya sebagai hukum positif. Permasalahan desentralisasi dan otonomi daerah menjadi lebih kompleks pada tingkat implementasi, apabila UU yang disusun tidak disertai naskah akademik yang lengkap serta orang tidak mau membacanya secara tuntas baik batang tubuhnya maupun penjelasannya. Masing-masing pihak kemudian membuat penafsiran yang berbeda-beda menurut

kepentingannya sendiri atau mencari penafsiran kepada pejabat yang berwenang di tingkat pusat, yang belum tentu dijawab oleh pejabat yang memiliki kompetensi memadai. Pada tingkat lokal, tidak semua birokrasi adalah orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya. Mereka dipaksa oleh sistem politik kepegawaian menjadi birokrasi tanpa karakter atau bahkan birokrasi hipokrit. Mereka menjadi hamba-hamba politik, yang tidak sejalan dengan prinsip public service neutrality, sebagaimana dianut oleh negara-negara berpaham demokrasi. Proses politisasi birokrasi dewasa ini sebenarnya sudah sampai tahap

membahayakan karena pengisian jabatan pada organisasi pemerintah daerah tidak lagi berdasarkan pada standar kompetensi, tetapi lebih pada afiliasi politiknya. Menurut beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, pegawai negeri memang sudah dilarang menjadi anggota dan pengurus partai politik. Tetapi memiliki afiliasi ataupun menjadi simpatisan partai politik, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan, sehingga banyak orang memanfaatkan celah hukum ini untuk bermain politik atau dipermainkan oleh politisi. Pokok permasalahan desentralisasi di Indonesia sekarang ini justru terletak pada sistem pemilihan pemimpin daerahnya yang dilakukan secara langsung. Dikatakan demikian karena demokrasi langsung memerlukan berbagai prakondisi antara lain kaderisasi kepemimpinan pada partai politik sudah mapan, tingkat pendidikan masyarakatnya sudah cukup tinggi (ratarata S LA), serta ekonomi masyarakatnya sudah masuk kategori tinggi, sehingga setiap warganegara dapat menggunakan haknya secara terhormat. Pada kenyataannya partai politik umumnya belum atau bahkan tidak melakukan kaderisasi kepemimpinan secara berkesinambungan. Untuk mengisi calon kepala daerah
3

mereka merekrut orang darimanapun tanpa ikatan ideologi maupun platform yang jelas, asalkan dapat memberi kontribusi kepada parpol. Kemudian terjadilah transaksi politik yang berujung pada politik uang, sehingga yang mempunyai peluang menang dalam pemilihan kepala daerah adalah mereka yang memiliki dana besar atau yang didukung oleh penyandang dana. Proses transaksi politik akan berlanjut pada saat yang bersangkutan telah menjadi kepala daerah, dengan mempermainkan A PBD, yang pada ujungnya merugikan kepentingan masyarakat luas. Kepala daerah yang tidak dipersiapkan dengan baik biasanya miskin inovasi, padahal inovasi merupakan rohnya seorang pemimpin. Dari 524 kepala daerah yang ada di Indonesia (gubernur, bupati, walikota), tidak banyak yang melakukan inovasi sehingga membuat daerahnya maju. Beberapa diantara yang memiliki inovasi tinggi antara lain Gubernur Gorontalo (jaman Fadel Muchamad), Bupati Jembrana, Bupati Sragen, Walikota Solo, Bupati Wakatobi atau Bupati Raja Ampat. Mereka yang disebutkan terakhir dapat mengubah daerahnya dari nothing menjadi something, atau from zero to hero. Tanpa inovasi yang positif dari para kepala daerah dalam arti memperhatikan kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan kekayaan negara Indonesia yang luarbiasa tidak akan memberikan manfaat bagi upaya meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
3

B. REVITALIS A S P A D T IN GKAT LOKAL I A


Berdasarkan berbagai masalah yang telah dijelaskan pada bagian pendahuluan perlu dilakukan revitalisasi dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia, khususnya pada aras lokal. Menurut Bank Dunia, dari duapuluh negara yang menjadi mitrakerjanya dalam

desentralisasi, ada empat negara yakni Indonesia bersama-sama Philipina, Pakistan dan Ethiopia yang

Perhatikan gejala pencalonan para artis untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah di berbagai daerah, padahal mereka sama sekali tidak memiliki pengalaman di bidang pemerintahan, yang secara teknis sangat kompleks. Perhatikan pula adanya upaya membangun oligarkhi dengan mencalonkan isteri, isteri-isteri, anaknya, untuk meneruskan jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah. Hal tersebut menggambarkan lemahnya

kaderisasi kepemimpinan di kalangan partai politik.

melaksanakan dentuman besar desentralisasi (big bang decentralization) . Sedangkan enambelas negara lainnya melaksanakan desentralisasi secara bertahap. World Bank memberi makna big bang decentralization sebagai A process wherein the central level of government announces decentralization, passes laws, and transfer responsibilities, authority, and/or staff to subnational and/or local governments in rapid succession.
5

Indonesia sebenarnya bukan hanya melakukan dentuman besar desentralisasi, tetapi melaksanakan revolusi desentralisasi. Disebut demikian karena Indonesia telah melakukan transfer kewenangan dan tanggung jawab fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat kepada daerah otonom pada dimensi yang luas serta dengan kecepatan perubahan yang tinggi. Hal tersebut nampak dari luasnya urusan pemerintahan yang dijalankan oleh daerah otonom sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang ditindaklanjuti melalui PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Penyerahan Urusan Pemerintahan dari Pemerintah Kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sesuai prinsip Money follow Function, penyerahan urusan tersebut diikuti dengan pemberian sumber-sumber keuangan melalui mekanisme perimbangan keuangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pada saat yang bersamaan, pemerintah pusat juga membuka pintu yang lebih longgar bagi usulan pembentukan daerah otonom baru yang datang dari masyarakat, sehingga dalam waktu pendek jumlah daerah otonom baru bertambah secara signifikan. (sampai akhir tahun 2009, daerah otonom baru di Indonesia bertambah 205, sehingga seluruhnya berjumlah 524 daerah otonom).
6

The World Bank, Independent Evaluation Group. 2008 . Decentralization in Client Countries An Evaluation of World Bank Support, 1999-2007, .hal. 10-11. 5 Loc.cit 6 Pembentukan daerah otonom baru yang lebih banyak didasarkan pertimbangan politis dengan alasan tuntutan demokrasi menyebabkan pemerintah pusat mengalami masalah besar dalam melaksanakan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Untuk memperlambat tuntutan pembentukan daerah otonom baru, Presiden telah membuat kebijakan moratorium sampai batas waktu yang belum ditentukan, dan pemerintah membuat disain besar penataan daerah otonom baru, yang didalamnya dimasukkan perlunya

pembentukan daerah persiapan melalui PP sebelum dibentuk menjadi daerah otonom definitif dengan UU.

Istilah revolusi desentralisasi juga digunakan oleh Grindle secara fiskal, politik, dan administrasi. Revolusi yang dimaksudkan dalam konteks desentralisasi

untuk menggambarkan

proses desentralisasi di Mexico yang juga berjalan dengan cepat dan berdimensi luas, baik

bukanlah dalam arti fisik,

melainkan dalam bentuk revolusi paradigma, istilah yang dipopulerkan oleh Thomas S. Kuhn dalam bukunya yang cukup monumental . Melalui revolusi desentralisasi, berbagai paradigma hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah otonom mengalami perubahan yang sangat signifikan. Dalam Glossary World Bank dikemukakan bahwa desentralisasi adalah A process of transferring responsibility, authority, and accountability for specific or broad management functions to lower levels within an organization, system, or program.
9 8

Dalam konteks ini,

desentralisasi diartikan sebagai sebuah proses pemindahan tanggung jawab, kewenangan dan akuntabilitas mengenai fungsi-fungsi manajemen secara khusus ataupun luas kepada aras yang lebih rendah dalam suatu organisasi, sistem atau program. Jadi definisi ini dapat digunakan pada lingkup organisasi baik kecil maupun besar seperti negara, lingkup sistem lingkup program, bukan khusus dalam konteks negara. Definisi di atas misalnya dapat dibandingkan dengan pandangan Litvack & Seddon yang mengemukakan bahwa desentralisasi adalah : transfer of authority and responsibility for public function from central to sub-ordinate or quasi-independent government organization or the private sector . Definisi desentralisasi dari Litvack dan Seddon dipahami dalam konteks hubungan pemerintah yang mewakili negara dengan entitas lainnya meliputi organisasi pemerintah sub-nasional, organisasi pemerintah yang semi-bebas serta sektor swasta. Menurut Cheema dan Rondinelli, dilihat dari sudut pandang kebijakan dan administrasi, desentralisasi dapat dimaknai sebagai : transfer perencanaan, pengambilan keputusan, atau
10

maupun

Merilee S. Grindle, 2007 Going Local Decentralization, Democratization, and The Promise of Good Governance. Princenton University Press, Princenton and Oxford,.hal. 4. 8 Thomas S. Kuhn, 2000. The Structure of Scientific Revolution : Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. Terjemahan. Penerbit Remaja Rosdakarya, Bandung. 9 World Bank, Ibid, hal X I . 10 Jennie Litvack, Junaidi Achmad, and Richard Bird, 1999. Rethinking Decentralization in Developing Countries, The World Bank Washington D .C ,U SA ,hal 2.

otoritas administrative dari pemerintah pusat kepada organisasinya

di lapangan, unit

-unit administrative lokal, organisasi semi otonom dan organisasi parastatal, pemerintahan lokal, atau organisasi nonpemerintah.
12 11

Pada buku karangan mereka berdua yang lebih

baru mereka mengatakan terjadi pergeseran pengertian deentralisasi yang sedemikian cepat. Mulai pengertian yang digunakan setelah perang dunia kedunia sampai pada public managemeny movement. Dalam konteks negara, dibedakan antara desentralisasi di negara berbentuk federal dengan negara berbentuk kesatuan (unitaris).
13

the new

Dalam negara berbentuk federal, negara

bagian atau provinsi dapat ada lebih dahulu dibanding negara federalnya, sehingga sumber kekuasaan justru berada di negara bagian atau provinsinya. Pemerintah federal tidak boleh mencampuri urusan negara bagian atau provinsi kecuali yang telah ditetapkan dalam konstitusi negara federal. Dengan demikian isi urusan pemerintahan negara bagian lebih luas dibandingkan isi urusan pemerintahan negara federalnya. Urusan pemerintahan yang ditangani oleh pemerintah negara federal adalah urusan moneter, fiskal nasional, politik luar negeri, peradilan tinggi, pertahanan, keamanan nasional, teknologi tinggi. Selebihnya menjadi urusan pemerintahan negara bagian atau provinsi. Pada negara berbentuk unitaris, kekuasaan pemerintahan berada di tangan pemerintah pusat yang kemudian ditransfer ke daerah otonom. Dengan demikian menjadi wajar apabila isi urusan pemerintahan di tingkat nasional lebih luas dibanding urusan pemerintahan yang ditransfer ke daerah otonom. Di negara unitaris, daerah otonom dibentuk oleh pemerintah pusat melalui undang-undang, dengan demikian pemerintah pusat masih dapat campur tangan terhadap urusan pemerintahan yang sudah ditransfer ke daerah otonom, sepanjang urusan pemerintahan tersebut tidak dilaksanakan secara efektif dan efisien. Selain definisi tentang desentralisasi, perlu juga dikemukakan berbagai prinsip ataupun ajaran yang digunakan di dalam mentransfer kewenangan pemerintahan dari pemerintah

11

Cheema, G. Shabbir and Dennis A. Rondinelli, (editors). 1983. Decentralization and Development : Policy Implementation in Develoing Countries, Beverly Hills, Sage. 12 Cheema, G. Shabbir and Dennis A. Rondinelli, (editors). 2007. Dezentralizing Governance Emerging Concepts and Practices. Brookings Institute Press. Washington, DC. 13 Lihat misalnya S. Schiavo-Campo and P.S.A. Sundaram, 2001. To Serve and To Preserve : Improving Public Administration in A Competitive World, Asian Development Bank,

nasional ke pemerintahan subnasional dalam rangka desentralisasi. Campo dan Sundaram misalnya mengemukakan bahwa : In some unitary systems of government, subnational entities exercise their powers by virtue of the ultra vires (beyond the powers) principle; their powers are specifically delegated to them by central government, which can override their decisions. In other unitary systems, local governments operate under the general competence principle, and are in principle entitled to exercise all powers that are not reserved to central government
14

Prinsip ini nampaknya secara implisit digunakan pada UU Nomor 22 Tahun 1999

maupun UU Nomor 32 Tahun 2004. Pada UU Nomor 22 Tahun 1999, digunakan prinsip general competence. Hal tersebut Nampak dari bunyi Pasal 7 ayat (1) yaitu sebagai berikut : Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, monter dan fiskal, agama, serta bidang kewenangan lainnya. Menurut UU 22 Tahun 1999, urusan pemerintahan bagi pemerintah pusat ditetapkan secara limitatif, sedangkan sisanya menjadi kewenangan daerah. Prinsip ini nampaknya tidak terlampau cocok bagi negara berbentuk kesatuan, karena ada pandangan bahwa daerah otonom itu ada karena dibentuk oleh pemerintah pusat, dengan demikian tidaklah logis apabila kewenangan dari institusi pembentuknya dibatasi. Hal tersebut kemudian dilihat oleh

MPR sebagai bentuk undang-undang yang semangatnya tidak sesuai dengan karakter negara unitaris yang dianut oleh Indonesia. Pada akhirnya, MPR melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR- RI/2000, khususnya rekomendasi nomor 7 memerintahkan adanya revisi secara mendasar terhadap UU ini meskipun usianya baru satu tahun, diikuti dengan revisi UU Nomor 25 Tahun 1999 sebagai pasangannya. UU
15

Lima tahun kemudian, kedua UU tersebut digantikan oleh

yang baru yakni UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004. Revitalisasi lokal yang perlu dilakukan untuk mendorong implementasi desentralisasi di Indonesia mencakup empat hal yakni: 1) kepemimpinan lokal ; 2) manajemen pemerintahan
14 15

Ibid, halaman 130. Lihat Sadu Wasistiono, et all, 2002. Evaluasi Pelaksanaan Otonomi daerah Sebagai Upaya Awal Merevisi UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999.. Prosiding Seminar Nasional. Diterbitkan oleh Pusat Kajian

1 0

Pemerintahan STPDN. Cetakan kedua.

1 1

lokal; 3) politik di tingkat lokal, serta 4) masyarakat lokal. Penjelasannya dapat dikemukakan sebagai berikut.

Revitalisasi Kepemimpinan Lokal


Pada masyarakat semi-tradisional seperti di Indonesia, pemimpin masih memegang peran yang dominan, karena masyarakat masih berorientasi vertikal ke atas. Pergeseran paradigma patron-klien atau raja dengan hamba sahayanya menuju paradigma egalitarian dalam konsep demokrasi modern memerlukan grand design dengan road map yang jelas dan berkesinambungan.
16

Tanpa itu semua, perubahan yang diharapkan tidak akan terjadi.

Hubungan patron-klien akan terus berlangsung, tetapi hanya berganti pemegang peran. Apabila pada masa lalu patronnya adalah para raja dengan keturunannya, sekarang digantikan oleh pengusaha dan mereka yang memiliki modal. Pola hubungan yang semula diikat dengan kepatuhan dan rasa hormat, digantikan dengan hubungan pamrih karena kepentingan ekonomi semata-mata. Basis ideologi partai politik atau pemimpin yang diusung oleh partai politik menjadi tidak penting, terlebih lagi setelah adanya calon independen yang jelas tanpa partai politik dan tanpa ideologi. Satu-satunya ideologi yang mengikat mereka adalah kepentingan ekonomi. Revitalisasi kepemimpinan lokal bukan hanya menyangkut mekanisme pengisiannya, tetapi juga menyangkut bobot kepemimpinannya, dengan tekanan pengembangan kemampuan inovasinya. Pemimpin tanpa disertai inovasi yang tinggi lebih tepat disebut manajer. Ciri utama seorang pemimpin adalah daya inovasinya. Tanpa inovasi seseorang hanyalah seorang kepala atau manajer, tetapi bukan seorang pemimpin. Secara sederhana, inovasi dapat diartikan sebagai perubahan proses berpikir di dalam mengerjakan sesuatu, atau menerapkan secara berguna dari penemuan atau pengungkapan baru. Inovasi juga dapat diartikan sebagai
16

17

Sampai saat ini Indonesia belum memiliki grand design mengenai desentralisasi, yang berisi konsep menyeluruh tentang desentralisasi berdasarkan nilai-nilai yang sudah ada dipadukan konsep baru yang ditawarkan, disertai dengan road map untuk melaksanakan grand design tersebut. Grand design yang sudah ada barulah menyangkut penataan dan penataan ulang daerah otonom yang sudah ada, sebagai bagian dari grand design tentang desentralisasi. 17 Lihat Bennis, Warren and Robert Townsend; 1995. Reinventing Leadership Strategies to Empower The Organization. William Morrow and Company Inc. New York, yang menjelaskan adanya delapan perbedaan antara manajer dengan pemimpin.

1 2

perubahan revolusioner di dalam berpikir, produk, proses atau juga organisasi. (Disarikan dari Wikipedia ). Berkaitan dengan inovasi, Sharma mengatakan bahwa Every human being is creative. The task of the visionary leader is create a workplace that liberates this natural endowment . Dari pendapat Sharma diperoleh gambaran bahwa pemimpin harus memiliki inovasi, atau paling tidak mampu menciptakan lingkungan kerjanya menjadi tempat berseminya berbagai kreativitas, yang merupakan sifat dasar manusia. Kreativitas merupakan langkah awal munculnya daya inovasi. Dari hasil studi The International Innovation Index pada bulan Maret 2009 terhadap 20 negara yang memiliki GDP terbesar mengenai inovasi masukan dan keluaran (innovation inputs and outputs), Indonesia menempati peringkat ke-19, dengan overall index ( -0,57 ), index of innovation inputs ( -0,63 ) serta index of performance ( -0,46 ). Sedangkan Korea Selatan menempati urutan pertama, diikuti oleh Amerika Serikat dan Jepang. China dan India sebagai the emerging star, menduduki peringkat ke 13 dan 15. (Disarikan dari Wikipedia ). Dari indeks tersebut diperoleh gambaran bahwa inovasi bangsa Indonesia pada umumnya masih rendah dibandingkan negara lain. Rendahnya daya inovasi tersebut juga menghinggapi para pemimpinnya- baik di tingkat nasional dan terutama di tingkat lokal. Pemimpin masyarakat lokal yang berangkat tanpa ideologi yang jelas, seringkali hadir tanpa disertai visi dan misi yang jelas pula. yang didalamnya seharusnya menggambarkan berbagai inovasi. Pada sisi lain, masyarakat seringkali memilih calon pemimpin daerah tanpa melihat pada visi, misi yang didalamnya menggambarkan adanya inovasi, melainkan lebih pada figure yang popular ataupun janji kosong yang mungkin tidak dapat dilaksanakan. Berkaitan dengan inovasi, Prahalad dan Krishnan
21 20 19 18

mengemukakan pendapatnya

mengenai dua pilar untuk melakukan inovasi yakni pilar N=1 (one consumer experience at a time) dan pilar R=G (resources from multiple vendors and often from around the globe).
18
19

website htt p://en.wikipedia.org/wiki/Innovation).

Sharma, Robin, 2010. Leadership Wisdom from the Monk Who Sold His Ferrari- The 8 Rituals of The Best Leaders. Harper Element. London, halaman 242 20 Ibid. 21 Prahalad, C.K and M.S. Krishnan; 2008. The New Age of Innovation Driving Co-Created Value Through Global Networks. McGraw-Hill, USA.

10

Pandangan tersebut memang ditujukan untuk dunia bisnis, tetapi dapat digunakan juga pada semua sektor, termasuk sektor pemerintah. Pemimpin masa sekarang pada semua tingkatan memang dituntut untuk berpikir dan bertindak global, karena kita semua berada dalam era globaisasi. Batas-batas wilayah negara menjadi semakin kabur maknanya, karena orang dengan mudah melanglang buana dengan menggunakan tekonologi internet. Di sektor bisnis, banyak sekali buku yang membahas mengenai inovasi, termasuk dengan berbagai contoh sukses. Tetapi sangat sulit mencari buku inovasi untuk kalangan pemerintahan, padahal antara kegiatan sektor bisnis dengan sektor pemerintah terdapat perbedaan yang cukup signifikan, sehingga tidak setiap konsep yang digunakan di sektor bisnis cocok digunakan pada sektor pemerintah. Selain inovasi, revitalisasi kepemimpinan lokal perlu menekankan pula pada teknik pengambilan keputusan, karena hal ini merupakan inti dari kepemimpinan. Kualitas kepemimpinan pemerintahan akan dapat dilihat dari kualitas pengambilan keputusannya dengan empat parameter yakni : kecepatan, ketepatan, konsisten, dan keberanian
22

mengambil resiko (4K). Teknik pengambilan keputusan tidak cukup hanya diajarkan di dalam baik tidak akan muncul tiba-tiba atau jatuh dari langit, tetapi melalui proses kaderisasi yang berjenjang dan berkelanjutan. Berkaitan dengan hal itu, sebaiknya persyaratan menjadi pemimpin daerah perlu ditambahkan syarat memiliki pengalaman memimpin organisasi (organisasi apapun), sehingga rekam jejaknya dapat ditelusuri. Di berbagai negara, studi tentang kepemimpinan sudah sangat maju, bahkan sudah ada program master dan doktor yang khusus mengkaji tentang kepemimpinan baik

kepemimpinan bisinis maupun pemerintahan. Oleh karena itu berbagai lembaga yang berkompeten seperti Kementerian Dalam Negeri, lembaga perguruan tinggi, lembaga privat yang bergerak di bidang pendidikan dan pelatihan kepemimpinan, perlu memikirkan mengenai revitalisasi kepemimpinan lokal, baik bagi pemimpin pemerintahan, partai politik, masyarakat yang berada di tingkat lokal, sehingga berbagai kesempatan yang sudah tercipta karena adanya

22

Lihat misalnya tulisan Johansson, Frans; 2004. The Medici Effect : Breakthrough Insights of The Intersection of Ideas, Concepts and Cultures. Terjemahan Haris Priyatna. Pt Serambi Ilmu Semesta, Jakarta; atau buku tulisan Christensen, Clyaton, M and Michael E. Raynor; 2003. The innovators Solution Creating and Sustaining Successful Growth. Harvard Business School Press, Boston, Massachusetts, serta buku-buku lainnya.

11

revolusi desentralisasi dapat dimanfaatkan untuk membangun kemajuan daerah dan masyarakatnya.

Revitalisasi Manajemen Pemerintahan Lokal


Para ahli manajemen seperti Peter F. Drucker , Osborne dan Gaebler , E.S.Savas dan lain sebagainya sepakat bahwa causa prima atau penyebab utama kegagalan negara menciptakan kesejahteraan warganya terletak pada manajemennya. Negara Indonesia yang kaya-raya tetapi masih banyak penduduknya yang miskin, lebih banyak disebabkan karena lemahnya manajemen, pada semua bidang baik sektor swasta, masyarakat dan juga pemerintah. Kelemahan juga meliputi semua dimensi manajemen mulai dari perencanaan, pengorganisasian, keuangan dan asset, kepegawaian, kinerja, konflik dan kolaborasi, serta pengawasan. Hal tersebut pada gilirannya menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, yang alih-alih dapat menyebabkan bangkrut dan bubarnya negara. Pada tingkat lokal, kualitas manajemen terutama manajemen pemerintahannya justru lebih parah. Padahal pada negara yang sedang membangun seperti Indonesia, peran negara dengan derivasinya masih sangat penting, karena sektor swasta dan sektor masyarakat belum mampu menjadi lokomotif utama penggerak kemajuan bangsa. Berkaitan dengan gambaran di atas, perlu dilakukan revitalisasi manajemen Revitalisasi dilakukan dengan melakukan
23 24 25

pemerintahan lokal pada semua aspeknya.

pendampingan untuk menentukan urusan pemerintahan apa yang akan mereka kerjakan sebagai bentuk kontrak sosial antara pemerintah lokal dengan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan. Pada tahap selanjutnya perlu revitalisasi dalam rangka penyusunan rencana

pembangunan, baik yang jangka panjang, jangka menengah maupun jangka pendek. Banyak pemerintah daerah yang menyusun rencana pembangunannya asal jadi, sekedar memenuhi
23

Drucker, Peter F; 2001. The Essential Drucker The Best of Sixty Years of Peter Druckers Essential Writtings on Management . Harper Collins Publishers. New York. 24 Osborne, David and Ted Gaebler; 1992. Reinventing Government How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. A William Patrick Book. USA. 25 Savas, E.S. 1987. Privatization The Key to Better Government; Chatham House Publishers, Inc; Chatham, New Jersey.

12

perintah peraturan perundang-undangan. Revitalisasi bidang ini menjadi penting karena seringkali tidak terjadi sinkronisasi dan konsistensi perencanaan pembangunan baik dilihat dari dimensi wktu maupun dimensi hierarkhi perencanaan. Siapa yang dapat menjamin bahwa rencana pembangunan tahunan yang disusun setiap tahun dalam bentuk A PBD akan konsisten dengan perencanaan pembangunan jangka menengah yang disusun dalam bentuk RPJMD? Siapa pula yang dapat mengawasi bahwa RPJMD satu daerah otonom konsisten dengan RPJPDnya? Demikian pula, siapa yang menjamin perencanaan pembangunan kabupaten/kota konsisten dengan perencanaan pembangunan provinsi dan nasional? Revitalisasi di bidang manajemen perencanaan pembangunan menjadi agenda yang sangat mendesak karena apabila dibiarkan akan menimbulkan pemborosan waktu, tenaga, pikiran dan terutama dana yang sangat besar. Pada sisi lain, kita dihadapkan pada iklim kompetisi global yang memerlukan energi seluruh bangsa yang dapat digunakan secara efektif dan efisien agar dapat keluar sebagai pemenang. Sudah capek rasanya menjadi bangsa yang kalah terus dan dipermalukan di fora internasional. Revitalisasi tahap berikutnya adalah manajemen pengorganisasi kegiatan pemerintahan dalam bentuk penyusunan organisasi pemerintah daerah. Dikatakan perlu revitalisasi karena bentuk dan besaran organisasi pemerintah daerah pada umumnya sudah sangat besar, sehingga menghabiskan sebagian besar APBD, yang seharusnya dibelanjakan untuk

kepentingan publik. Bentuk organisasi pemerintah daerah umumnya adalah rule driven organization, artinya dibentuk karena adanya perintah peraturan perundang-undangan, belum pada mission driven organization (organisasi yang dibentuk untuk mecapai suatu misi). Padahal setiap daerah otonom sudah diwajibkan menyusun visi dan misi, baik untuk daerah yang tertuang dalam RPJPD (Rencana Pembangunan Daerah Jangka Panjang), untuk pemerintah daerah yang tertuang dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), maupun untuk kepentingan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang tertuang dalam Renstra SKPD. Ada tiga parameter yang dapat dipakai untuk melakukan revitalisasi pengorganisasian aktivitas pemerintahan daerah yakni : 1) kebutuhan daerah; 2) kemampuan keuangan daerah: 3) ketersediaan sumberdaya aparatur yang kompeten.

13

Revitalisasi manajemen pemerintahan daerah selanjutnya mencakup aspek manajemen keuangan dan pengelolaan asset. Aspek ini perlu direvitalisasi karena dana yang ditransfer ke daerah dalam rangka desentralisasi dari waktu ke waktu semakin besar. Pada sisi lain kemampuan manajemen keuangan aparatur pemerintah daerah belum seimbang dengan besarnya dana yang dikelola, sehingga menimbulkan banyak masalah antara lain dana yang tidak terserap, salah menempatkan mata anggaran, pengeluaran yang tidak disertai tanda bukti yang sahih dan lain sebagainya. Seiring dengan semakin besarnya dana yang dikelola oleh pemerintah daerah, semakin besar pula asset yang dimiliki pemda karena pembelian maupun hibah. Tetapi meningkatnya jumlah dan jenis asset pemda tidak diimbangi dengan manajemen yang baik, sehingga banyak asset yang tidak tercatat dengan baik, dipelihara dengan baik. Hal ini pada gilirannya menyebabkan banyak asset daerah yang hilang, beralih kepemilikan, rusak dan lain sebagainya. Apabila memerlukan pemda kemudian membeli atau mengadakan lagi, sehingga menimbulkan pemborosan. Berkaitan dengan revitalisasi manajemen keuangan, nampaknya pandangan Osborne and Hutchinson
26

perlu memperoleh perhatian. Mereka mengemukakan pendekatan akal

sehat untuk melakukan lima hal yakni : 1) Squeezing more value out of every tax dollar; 2) Building budgets from the ground up, based on results; 3) Making public organizations accountable for results; 4) Using competition to boost innovation and save money; 5) Putting governments customers in the drivers seat.

Revitalisasi dalam bidang manajemen kepegawaian diperlukan karena pada masyarakat yang sedang membangun, peran pemerintah masih dominan. Peran pemerintah sangat tergantung pada kualitas sumberdaya aparaturnya. Besar dan luasnya urusan pemerintahan yang ditangani oleh pemerintahan daerah dalam rangka desentralisasi, ternyata belum diimbangi dengan pengembangan sumberdaya aparatur yang memadai. Tidak ada satupun pemerintah daerah yang memiliki grand design pengembangan aparatur sejalan dengan visi
26

Osborne, David and Peter Hutchinson; 2006. The Price of Government Getting The Results We Need in an Age of Permanennt Fiscal Crisis. Paperback Edition; Basic Books; New York.

14

dan misi daerah yang telah tertuang dalam RPJPD. Pengembangan yang dilakukan umumnya bersifat temporer, tidak berkelanjutan, serta bersifat silang menyilang dalam bidang keahlian, sehingga tidak terbangun sumberdaya aparatur yang kompeten. Pada sisi lain, terjadi politisasi birokrasi yang sangat masif sehingga membuat aparatur pemda terombang-ambing dalam pergolakan politik lokal, minimal setiap lima tahun sekali pada saat ada pemilihan kepala

daearah. Hal tersebut menjadi tidak kondusif bagi upaya pembangunan birokrasi yang professional. Revitalisasi selanjutnya adalah dalam bidang manajemen konflik dan kolaborasi. Desentralisasi sebagai anak kandung demokrasi perlu dijalankan dengan kedewasaan politik dari para pemangku kepentingan. Ciri kedewasaan politik berdemokrasi antara lain menghargai adanya perbedaan pandangan. Dalam proses transisi dari masyarakat yang patronistik menuju masyarakat yang egalitarian banyak terjadi konflik, mulai dari konflik pada skala yang paling terbatas sampai pada skala yang besar. Pemerintah daerah sebagai lembaga pemegang kewenangan pemerintahan pada umumnya tidak memiliki keahlian untuk mengelola konflik dan kemudian menciptakan kolaborasi. Manajemen konflik bersifat pro-aktif, dalam arti menciptakan kondisi agar tidak terjadi konflik. Perilaku pejabat pemerintah yang ada umumnya bersifat re-aktif, dalam arti mengambil tindakan setelah terjadi sesuatu.
27

Dengan semakin

dinamisnya masyarakat dalam berdemokrasi, ada potensi konflik di kalangan masyarakat akan semakin meluas. Oleh karena itu, revitalisasi manajemen konflik bagi pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi merupakan kebutuhan mendesak. Revitalisasi selanjutnya adalah dalam bidang pengawasan. Kata bijak yang disampaikan oleh Campo dan Sundaram
28

bahwa semakin besar desentralisasi, diperlukan pengawasan

yang semakin ketat. Pernyataan tersebut nampaknya bersifat kontradiktif, tetapi yang dimaksud adalah bahwa dengan semakin besarnya desentralisasi yang diberikan kepada entitas subnasional, perlu dilakukan pengawasan yang lebih ketat tanpa harus mengurangi kebebasan
27

Berbagai konflik horizontal antar masyarakat maupun antara masyarakat dengan aparat pemerintah di berbagai daerah menunjukkan bahwa pejabat pemerintah tidak memahami manajemen konflik. Mereka hanya bertindak setelah ada kejadian, dan kemudian yang paling gampang mencari kambing hitam, tanpa berupaya mencari akar masalah yang sesungguhnya. 28 Campo, S. Schiavo- and P.S.A. Sundaram, ibid.

15

dalam menjalankan urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangannya. Di Indonesia instansi pengawas sudah cukup banyak, tetapi penyimpangan dan kebocoran yang terjadi masih sangat besar. Di tingkat nasional sudah ada B PKP dan inspektorat jenderal, di tingkat provinsi sudah ada inspektorat provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten/kota sudah ada inspektorat kabupaten/kota. Tetapi kesemuanya merupakan satuan pengawas internal (SPI) yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada manajer puncak seperti mneteri, gubernur dan bupati/walikota. Apabila inisiatif penyimpangannya berasal dari manajer puncak, SPI tersebut menjadi mandul, bahkan seringkali berfungsi menjadi cover up. Revitalisasi dilakukan antara lain melalui penggabungan semua SPI dalam satu komando, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.

Revitalisasi Politik Tingkat Lokal


Pada negara unitaris seperti Indonesia, sistem politik lokal merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem politik nasional. S istem pemerintahan sudah seharusnya sejalan dengan sistem politik. Dalam bidang pemerintahan telah dilakukan desentralisasi yang sedemikian besar dan luas, dalam kenyataannya belum diikuti dengan pengembangan demokrasi politik di tingkat lokal. S istem pemerintahan sudah sangat desentralistik, tetapi berdampingan dengan sistem politik yang masih sangat sentralistik- bahkan cenderung oligarkhik. Seperti diketahui bersama bahwa ada tiga tujuan desentralisasi yakni tujuan politik, tujuan administrasi, serta tujuan sosial ekonomi. Tujuan politik dari desentralisasi adalah menciptakan suprastruktur dan infrastruktur politik di tingkat subnasional menjadi lebih demokratis. Revitalisasi suprastruktur politik di tingkat lokal selama ini sudah berjalan cukup baik, antara lain ditandai dengan pengisian jabatan publik- kepala daerah dan D PR D - melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Sehingga akuntabilitas politiknya kepada rakyat menjadi lebih kuat. Berbagai kasus dalam pemilihan kepala daerah dan DPRD merupakan bagian dari dinamika perkembangan demokrasi. Perhatian lebih besar justru perlu diberikan pada upaya revitalisasi infrastruktur politik lokal, terutama terhadap pengurus partai politik tingkat lokal, maupun lembaga swadaya masyarakat. Melalui keanggotaan stelsel aktif, tidak banyak anggota masyarakat yang tertarik
16

dan konsisten menjadi anggota suatu partai politik yang berbasis pada ideologi tertentu. Kelompok swing voters masih cukup banyak dalam setiap pemilu, banyaknya kader yang lompat pagar ataupun munculnya sempalan parpol menunjukkan indikasi belum mantapnya pembangunan partai politik berbasis massa maupun berbasis kader. Padahal keberadaan partai politik yang kuat dan sehat merupakan prakondisi bagi berkembangnya demokrasi yang berkualitas.

Revitalisasi Masyarakat Lokal


Penyerahan urusan pemerintahan dalam rangka desentralisasi diberikan kepada daerah otonom, bukan hanya kepada pemerintahan daerah saja. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum, dengan demikian basis desentralisasi adalah masyarakat setempat. Padahal masyarakat tingkat lokal umumnya pada posisi yang sangat lemah apabila berhadapan dengan kekuasaan. Banyak diantara mereka terutama generasi tua yang masih takut untuk memperjuangkan kepentingannya karena trauma pada pendekatan stigmatisasi yang cukup intens digunakan pada masa orde baru, yakni stigma ekstrim kiri dan ekstrim kanan. Revitalisasi masyarakat lokal dilakukan sejalan dengan perkembangan di tingkat global. Munculnya revolusi teknologi informatika dan komunikasi telah mengubah secara mendasar pola hubungan anggota masyarakat yang mengarah pada terbentuknya sistem sosial yang terbuka ( open social system). S istem sosial yang terbuka didorong oleh adanya warga negara yang terbuka (open citizen), yang pada gilirannya mendorong terbentuknya masyarakat yang terbuka (open society). Masyarakat yang terbuka akan mendorong terbentuknya pemerintahan yang bersifat terbuka (open government), serta organisasi yang terbuka (open organization). George Soros
29

mengemukakan perlunya dibangun sistem masyarakat kapitalis yang

lebih terbuka. Di bawah koordinasi PBB, dibangun masyarakat yang lebih egalitarian, menghargai hak asasi manusia serta memperhatikan kelestarian lingkungan. Sebagai konsekuensi adanya masyarakat yang terbuka, perlu dibangun pemerintahan yang bersifat terbuka pula, dengan ciri penggunaan teknologi informatika dan komunikasi untuk menjalankan sebagian besar kegiatan pemerintahan melalui electronic-government (egovt).

17

29

Soros, George,2000. Open Society Reforming Global Capitalism

18

Lathrop dan Ruma lain: 1) 2) 3) 4)

30

(2010) mengemukakan karakteristik pemerintahan yang terbuka antara

Sangat intensif menggunakan teknologi informatika; Memberi perhatian pada kepentingan publik; Transparan dalam merencanakan dan menggunakan dana publik; Transparan dalam proses perumusan kebijakan publik yang ditujukan untuk kepentingan publik.
31

Buku lainnya yang ditulis oleh Noveck menggambarkan perlunya dibangun organisasi pemerintahan seperti karakteristik kamus digital Wikipedia. Buku ini menekankan perlunya penggunaan teknologi informatika dan komunikasi agar pemerintahan dapat berjalan dengan lebih baik, membuat demokrasi menjadi lebih kuat serta menjadikan masyarakat warga menjadi lebih berkuasa. Istilah electronic-government atau e-govt awalnya dipopulerkan oleh Holmes , dalam bukunya E-Govt - EBusiness Strategies for Government. Buku tersebut telah membuat prediksi berkembangnya masyarakat cerdas (smart communities) yang akan mendorong terciptanya demokrasi baru yang dinamakan cyberdemocracy. Angan-angan Holmes nampaknya sudah terwujud saat ini. Dengan telepon genggam berkamera, setiap orang dapat menjadi wartawan, dan memasukkan berita atau gambar tertentu yang tadinya bersifat pribadi ke dalam ranah publik untuk diberikan komentar, dukungan ataupun tentangan dari publik lainnya melalui jejaring sosial seperti facebook, twitter dan lain sebagainya. Berbagai isyu yang menyangkut kepentingan publik dapat dengan cepat didiskusikan melalui jejaring sosial untuk kemudian disampaikan kepada pemerintah, baik dalam bentuk saran maupun tekanan politik. Kasus Prita, kasus Cicak versus Buaya, dan lain sebagainya merupakan gambaran awal terbentuknya cyberdemocracy atau demokrasi di ruang cyber. Selain mendorong perlunya dibangun pemerintahan yang bersifat terbuka, teknologi informatika dan komunikasi telah mendorong pula berkembangnya model organisasi yang
30

32

Lathrop, Daniel & Laurel Ruma, 2010. Open Government : Collaboration, Transparency and Participation in Practice. ORelly Media, Inc. USA. 31 Noveck, Beth Simone, 2009. Wiki Government : How Technology Can Make Government Better, Democracy Stronger, and Citizen More Powerful. 32 Holmes, Douglas 2003. eGov-eEBusiness Strategies for Government. Reprinted. Nicholas Brealey Publishing. Finland.

19

terbuka (open organization). Menurut Popovich , organisasi yang terbuka merupakan salah satu syarat untuk menjadi organisasi pemerintah dengan kinerja tinggi ( high performance government organization), yang memiliki ciri-ciri : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) Are clear on their mission; Define outcome an focus on results; Empower employees; Motivate and inspire people to succed; Are flexible and adjust nimbly to new conditions; Are competitive in terms of performance; Restructure work processes to meet customer needs; Maintain communication with stakeholders.
34

33

Berkaitan dengan e-govt, Nixon et al , dalam bukunya menggambarkan praktek e-govt di Eropa yang mendorong terbentuknya estate yang kelima (The Fifth Estate) serta pelayanan publik yang berpusat pada warganegara. Mengenai estate yang kelima,Dutton ( dalam Nixon et al ) bahwa selain tiga estate tradisional yakni eksekutif, legislative dan judikatif, sekarang telah berkembang estate yang keempat yakni pers, serta estate yang kelima yakni masyarakat berbasis internet (netizen), yang dapat membangun kekuatan penekan melalui jejaring sosial seperti facebook ataupun twitter dan lain sebagainya. Awal dari berkembangnya sistem sosial yang terbuka adalah adanya warga negara yang terbuka (open citizen). Berkaitan dengan warga Negara, Kakabadse et all mengembangkan gagasan yang dinamakan citizenship concepts, yakni konsep kewarganegaraan yang dibangun berdasarkan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Menurut Kakabadse et al, ada enam konsep kewarganegaraan yakni : 1) 2) 3) 4) 5)
33

35

36

Political citizenship; C ivil citizenship; Social citizenship; Economic citizenship; World cirizenship;

Popovich, Mark G;editor. 1998. Creating High-Performance Government Organizations. Jossey- Bass A Wiley Imprint.. New York. 34 Nixon, Paul G; Vassiliki N. Koutrakou and Rajash Rawal; 2010. Understanding E-Government in Europe Issues and Challenges. Routledge Taylor & Francis Group, London and New York. 35 Ibid, halaman 3 sd halaman 14. 36 Kakabadse,Andrew; Nada Kakabadse, and Kalu N. Kalu, editors. 2009. Citizenship A Reality Far From Ideal. Palgrave MacMillan. Great Britain.

20

6) Virtual citizenship. Political citizenship adalah pandangan mengenai perlunya keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara di bidang politik. Setiap warga negara yang sudah dewasa dan

memiliki hak pilih seharusnya menjalankan political citizenship. Tetapi dalam kenyataannya antara hak dan kewajiban dalam bidang politik, masih lebih berat pada haknya. Sebagai contoh, sebagian warga negara yang menjadi anggota partai politik tertentu seharusnya secara rutin membayar iuran anggota yang diperlukan untuk menggerakkan roda organisasi. Dalam kenyataannya, sedikit sekali anggota partai politik yang menjalankan kewajibannya dengan patuh, yang pada gilirannya mendorng partai politik mencari sumber pembiayaan dari tempat lain. Menurut Kakabadse et al, political citizenship dikembangkan sejak abad ke 4 sebelum masehi berdasarkan prinsip demokrasi yakni kebebasan, sebagaimana Aristoteles
37

diajarkan oleh

C ivil Citizenship adalah pandangan perlunya keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara terhadap negaranya. Hak warga negara misalnya memperoleh pelayanan publik yang baik, tersedianya barang dan jasa publik yang mudah diakses, keamanan, lingkungan hidup yang nyaman dan lain sebagainya. Sedangkan kewajiban warganegara kepada negara antara lain membayar pajak, mengikuti wajib militer apabila diperlukan, menjalankan semua peraturan perundang-undangan dan lain sebagainya. Menurut Kakabadse et al, konsep ini berangkat dari kontrak sosial sebagaimana dikembangkan oleh Thomas Hobbes, John Lock, dan John J.Rousseau.
38

Karakteristiknya dalam bentuk hak untuk bebas berbicara dan berkumpul,

hak kepemilikan, dan kesamaan di depan hukum. Social citizenship adalah pandangan perlunya keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara sebagai mahkluk sosial, bagian dari masyarakat dimana mereka tinggal dan hidup. Konsep ini dikembangkan pada awal abad ke-20. Menurut Kakabadse et al,
39

karakteristik

konsep ini memfokuskan pada hak-hak minimum dan standar ekonomi, kebudayaan,dan sosial dari umat manusia.

37 38

Ibid, halaman 4. Ibid, halaman 4. 39 Ibid, halaman 4

20

Economic citizenship adalah pandangan perlunya keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara sebagai mahkluk ekonomi. Hak warga negara adalah memperoleh barang dan jasa dengan harga wajar sepadan dengan kualitasnya. Pada sisi lain, di bidang ekonomi warga mempunyai kewajiban membayar barang dan jasa yang telah dibelinya, baik secara kontan maupun melalui kartu kredit. Tingginya tunggakan kartu kredit di Indonesia menunjukkan bahwa economic citizenship memang belum berkembang di sini. Menurut Kakabdse et al, konsep ini berasal dari corporate citizen, dengan ciri-ciri member perhatian bukan hanya pada peran korporasi di dalam masyarakat dan dampaknya pada pelanggan dan pemegang saham, melainkan juga pada upaya mendorong kelompok miskin masuk dalam kegiatan ekonomi secara aktif guna menciptakan keanggotaan ekonomi secara penuh.
40

World citizenship adalah pandangan perlunya keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara sebagai warga dunia. Warganegara suatu negara pada dasarnya adalah juga wargadunia, karena batas-batas fisik sebuah negara sudah menjadi semakin kabur dengan adanya teknologi informatika dan komunikasi. Sebagai contoh, pesta piala dunia tahun 2010 di Afrika Selatan telah mampu menyedot perhatian masyarakat seluruh dunia. Sebagai wargadunia, perlu adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, termasuk yang berkaitan dengan penyediaan barang publik berskala global (global public goods) seperti oksigen, lingkungan hidup, keamanan, kesehatan dan lain sebagainya. Artinya semua pihak perlu menaruh perhatian pada hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat seluruh dunia, karena yang akan terkena dampaknya adalah semua penduduk planet bumi. Menurut Kakabadse et al , ada dua konsep tentang warga dunia ini yakni 1) konsep cosmopolitan, dan 2) konsep kewarganegaraan global (global citizenship). Adapun karakteristik dari konsep ini yaitu bahwa tidak cukup dengan satu kebudayaan untuk melihat dunia sebagai sebuah komunitas tunggal. Konsep ini tidak hanya diterapkan pada komunitas local tetapi juga pada umat manusia global dari komunitas dunia. Virtual citizenship adalah pandangan perlunya keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara. Seseorang yang telah mempunyai alamat website, alamat email, atau alamat jejaring sosial seperti facebook atau twitter pada dasarnya masuk ke dalam kelompok virtual
40

41

Ibid, halaman 4

21

41

Ibid, halaman 4.

22

citizen, karena sudah menjadi warga dunia maya. Di dalam dunia maya terdapat pula hak dan kewajiban yang perlu dipenuhi oleh para warganya. Pandangan yang menyeimbangkan antara hak dan kewajiban dalam dunia maya itulah yang dinamakan virtual citizenship. Sebagai contoh orang yang menggunakan kamus digital Wikipedia secara gratis sudah selayaknya memberikan sumbangan sukarela, karena pengembangan kamus digital tersebut memerlukan biaya. Demikian pula apabila men-download antivirus Smadav secara gratis, dan sudah merasakan manfaatnya, perlu memikirkan untuk memberikan donasi, agar pengembangan program antivirus tersebut dapat terus berlanjut. Menurut Kakabadse et al, konsep virtual citizenship didefinisikan secara beranekaragam seperti netizen ataupun cybercitizen. Konsep ini menggambarkan para pengguna internet perlu mempunyai tanggungjawab pada komunitas virtual dengan cara yang sama dengan tanggungjawabnya pada komunitas secara fisik.
42

Perubahan yang terjadi pada organisasi dan masyarakat akan mendorong terjadinya perubahan pada kepemimpinan, karena antara masyarakat sebagai pengikut dengan pemimpin terjadi interaksi yang intensif. Sekaitan dengan hal tersebut, Charlene Li menggambarkan perlunya ada kepemimpinan yang terbuka dengan memanfaatkan teknologi sosial. Menurut Li, ada sepuluh elemen untuk membangun kepemimpinan yang terbuka, yang terbagi ke dalam dua kategori besar yakni : 1) information sharing: 2) decision making. Di dalam information sharing terdapat enam elemen yakni : a) explaining; b) updating; c) conversing; d) open mic; e) crowdsourcing; f) platforms. Sedangkan di dalam decision making terdapat empat elemen yakni a) centralized; b) democratic; c) self-managing; d) distributed.
44 43

42 43

Ibid, halaman 4. Li, Charlene, 2010. Open Leadership How Social Technology Can Transform The Way You Lead. JosseyBass. USA. 44 Ibid, halaman 22 dan 23.

23

DAF TAR PUSTAKA


A. Buku
Bennis, Warren and Robert Townsend; 1995. Reinventing Leadership Strategies to Empower The Organization. William Morrow and Company Inc. New York. Campo, S. Schiavo- and P.S.A. Sundaram, 2001. To Serve and To Preserve : Improving Public Administration in A Competitive World, Asian Development Bank. Cheema, G.S and Rondinelli. G.A (editors) 1983. Decentralization and Development : Policy Implementation in Develoing Countries, Beverly Hills, Sage. Christensen, Clyaton, M and Michael E. Raynor; 2003. The innovators Solution Creating and Sustaining Successful Growth. Harvard Business School Press, Boston, Massachusetts Drucker, Peter F; 2001. The Essential Drucker The Best of Sixty Years of Peter Druckers Essential Writtings on Manageme nt. Harper Collins Publishers. New York. Grindle, Merilee, S. 2007. Going Local Decentralization, Democratization, and The Promise of Good Governance. Princenton University Press, Princenton and Oxford, Holmes, Douglas 2003. eGov-eEBusiness Strategies for Government. Reprinted. Nicholas Brealey Publishing. Finland. Johansson, Frans; 2004. The Medici Effect : Breakthrough Insights of The Intersection of Ideas, Concepts and Cultures. Terjemahan Haris Priyatna. Pt Serambi Ilmu Semesta, Jakarta; Kakabadse,Andrew; Nada Kakabadse, and Kalu N. Kalu, editors. 2009. Citizenship A Reality Far From Ideal. Palgrave MacMillan. Great Britain. Kuhn, Thomas. S. 2000. The Structure of Scientific Revolution : Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. Terjemahan. Penerbit Remaja Rosdakarya, Bandung. Lathrop, Daniel & Laurel Ruma, 2010. Open Government : Collaboration, Transparency and Participation in Practice. ORelly Media, Inc. U SA. Li, Charlene, 2010. Open Leadership How Social Technology Can Transform The Way You Lead. Jossey-Bass. USA. Litvack, Jennie; Junaidi Achmad, and Richard Bird, 1999. Rethinking Decentralization in Developing Countries, The World Bank Washington D.C, USA
24

Nixon, Paul G; Vassiliki N. Koutrakou and Rajash Rawal; 2010. Understanding E-Government in Europe Issues and Challenges. Routledge Taylor & Francis Group, London and New York. Noveck, Beth Simone, 2009. Wiki Government : How Technology Can Make Government Better, Democracy Stronger, and Citizen More Powerful. Osborne, David and Ted Gaebler; 1992. Reinventing Government How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. A William Patrick Book. U SA. Osborne, David and Peter Hutchinson; 2006. The Price of Government Getting The Results We Need in an Age of Permanennt Fiscal Crisis. Paperback Edition; Basic Books; New York. Popovich, Mark G;editor. 1998. Creating High-Performance Government Organizations. Jossey- Bass A Wiley Imprint.. New York. Prahalad, C.K and M.S. Krishnan; 2008. The New Age of Innovation Driving Co-Created Value Through Global Networks. McGraw-Hill, USA. Sadu Wasistiono, et al, 2002. Evaluasi Pelaksanaan Otonomi daerah Sebagai Upaya Awal Merevisi UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999.. Prosiding Seminar Nasional. Diterbitkan oleh Pusat Kajian Pemerintahan STPD N. Cetakan kedua. Savas, E.S. 1987. Privatization The Key to Better Government; Chatham House Publishers, Inc; Chatham, New Jersey. Sharma, Robin, 2010. Leadership Wisdom from the Monk Who Sold His Ferrari- The 8 Rituals of The Best Leaders. Harper Element. London, Soros, George,2000. Open Society Reforming Global Capitalism S. Schiavo-Campo and P.S.A. Sundaram, 2001. To Serve and To Preserve : Improving Public Administration in A Competitive World, Asian Development Bank. The World Bank, Independent Evaluation Group. 2008 . Decentralization in Client Countries An Evaluation of World Bank Support, 1999-2007.

B. Sumber-sumber Lain
UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
25

UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah. Konsep semifinal Revisi UU Nomor 32 Tahun 2004. Wikipedia

26

You might also like