You are on page 1of 4

Budaya Tradisi Harus Lestari Karena Globalisasi Cuma Mitos Belaka 1

Saat ini masyarakat Indonesia, baik yang muda maupun yang tua, selalu direcoki dengan keberadaan globalisasi. Semua yang terjadi, dan seringnya dianggap negatif, selalu menjadikan globalisasi menjadi sesuatu yang harus dan wajib dipersalahkan. Termasuk dalam perubahan budaya tradisis masyarakat di Indonesia. penulis bisa menjelaskan mulai dari para generasi muda masyarakat Indonesia. Gaya hidup mereka yang terlalu kebarat-baratan, atau istilah sekarangnya terlalu kekorea-koreaan, sering medapat kritik pedas dari para generasi tua, dan tidak jarang juga dari para sesama generasi muda yang merasa tidak terkena dampak globalisasi. Hal diatas adalah sebuah ke-unyu2-an yang galau3. Karena pada dasarnya globalisasi tidak bisa dicegah. Mencegah globalisasi berarti berusaha mencegah proses sintesis yang terjadi secara alamiah. Tidak hanya itu, mereka yang tidak mendukung globalisasi hanya akan memperlihatkan diri mereka sebagai manusia naf, bodoh dan radikal. Naif karena menganggap globalisasi sedang tidak terjadi, bodoh karena memahami globalisasi terlalu dangkal dan radikal karena mencegah globalisasi dengan menutup diri dari perkembangan zaman yang juga sudah pasti akan terjadi diseluruh belahan dunia. Dengan kata lain, kenapa kita harus bersusah payah mencegah sesuatu yang pasti terjadi. Globalisasi dalam sisi kebudayaan, telah terjadi sejak pertemuan antar dua budayayang diklaim oleh para ahli sejarah disebabkan oleh perdagangandan pada akhirnya menyebabkan suatu masyarakat mengenal budaya lain selain budaya mereka sendiri. Meskipun globalisasi selalu merujuk pada dominasi ekonomi, Pada dasarnya kekhawatiran tanpa dasar selalu terjadi pada dominasi budaya. Hal tersebut juga tidak dapat disangkal terlalu jauh karena melihat fakta depan mata hal tersebut sedang terjadi tapi apakah itu sesuatu yang buruk bagi budaya kita?. Iya jika kita menggangap bahwa globalisasi itu ada tapi jika kita menganggap bahwa globalisasi itu sebenarnya hanya mitos4, maka lain lagi ceritanya. Cohcrane dan Pain (Cochrane & Pain, 2004) menegaskan bahwa ada tiga jenis pendekatan teoritits yang mencoba menjelaskan posisi globalisasi. Dua diantaranya paling

Diikutkan dalam Lomba Menulis: Mengapa Budaya Tradisi Harus Lestari Oleh Pujastungkara Agung pada 6 Oktober 2012. 2 Lucu 3 Tidak jelas, cemas, bingung 4 Mitos yang dimaksudkan oleh penulis bukan berarti sesuatu yang tidak ada.

dominan, Globalis dan Tradisionalis, dan yang satu, Transformasionalis, dianggap berada pada tahapan yang berbeda. 1. Para globalis adalah mereka yang percaya bahwa globalisasi itu ada dan memiliki dampak yang dapat memungkin kan terjadi dominasi budaya. hal ini pada akhirnya membuat pendekatan ini tepecah menjadi dua, yaitu: a. Para globalis positif beranggapan bahwa dampak dari globalisasi seharusnya dapat diterima karena globalisasi telah terjadi. Dengan terjadinya globalisasi maka akan tercipta masyarakat global yang mempunyai nilai toleransi yang mapan dan dewasa. b. Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi membawa dampak dominasi sehingga dianggap merusak. Maka dari itu dampak globalisasi harusnya dicegah untuk mengurangi dominasi yang terjadi sebagai dampak dari globalisasi 2. Para tradisionalis hanya beranggapan bahwa globalisasi adalah tahap lanjutan dari dampak perkembangan ekonomi, teknologi dan budaya. sehingga globalisasi itu hanya mitos. 3. Para transformasionalis berada ditengah dua pendekatan tidak menolak dan juga tidak menerima sepenuhnya. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung". Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan.

Penjelasan diatas sangat sederhana namun tepat akan tetapi masih menyisakan perdebatan besar yang tidak akan pernah selesai. Khususnya pada masalah budaya. Jika memang globalisasi ada maka bisa dipastikan budaya tradisi Indonesia terancam akan tetapi kita juga tidak bisa menafikan keberadaannya karena dampaknya telah ada, apalagi berusaha mengambil posisi aman hal tersebut tidaklah etis apalagi dengan penjelasan sederhana. Namun pada dasarnya globalisasi memanglah sebuah mitos, akan tetapi bukan yang seperti para Tradisionalis ungkapkan. Mitos yang dimaksud bukanlah sebagai sesuatu yang tidak dapat dijelaskan tapi mitos justru dapat dijelaskan karena kita akan berkutat pada sistem makna.

Menurut Roland Barthes, Mitos adalah system tanda dengan makna konotatif yang terbentuk pada tataran kedua dan merupakan asosiasi dari penanda yang menjadi tanda dengan makna denotative pada tataran pertama dan petanda baru5. Secara sederhana mitos dalam teori semiotika Barthes menjelaskan bahwa makna globalisasi telah bergeser sebanyak dua kali sehingga makna sesungguhnya telah hilang sepenuhnya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa pada akhirnya pandangan teoritis di atas tetap menjadi perdebatan besar hingga sekarang. Semua karena kita memperdebatkan sesuatu pada makna yang tidak seharusnya. Jika memang globalisasi adalah sebuah mitos yang menyebabkan perdebatan tanpa akhir maka tidak ada jalan kembali kecuali mengganggapnya demikian. Menjawab permasalahan tersebut, penulis menawarkan konsep Glokalisasi sebagai jawaban dari perdebatan tentang globalisasi itu sendiri. Hal ini juga nantinya merujuk pada jawaban mengapa budaya tradisi harus lestari. Glokalisasi adalah konsep yang dimaknai secara sederhana sebagai sebuah penggabungan antara ide global dan pertimbangan lokal. Dengan kata lain, konsep-konsep budaya global pada akhirnya harus berhadapan dengan pertimbangan nilai-nilai budaya lokal sehingga konsepkonsep budaya global tidak lagi dianggap momok menyeramkan bagi nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia. Ide global pada akhirnya menghadapi tiga pilihan, diterima sepenuhnya, diterima dan termodifikasi dan ditolak dengan mentah. Penulis dapat memberikan dua buah ilustrasi tentang Glokalisasi di Indonesia dalam bidang budaya. 1. Musik Metal di Indonesia6 Indoensia merupakan Negara muslim terbesar di dunia sehingga nilai-nilai islam sangat melekat kuat pada masyarakatnya. Hal inilah yang menjadi filter bagi musik metal yang dikenal musik pemberontak atas segala aturan sehingga membentuk aliran musik metal baru, yaitu metal satu jari. Aliran ini pada akhirnya hanya mengambil semangat musik metal saja sambil tetap menjaga keimanan terhadap TYME. 2. Hip-Hop di Indonesia Pada tahun 2003, sebuah grup musik bergenre hip-hop berdiri yang dikenal dengan nama Jogja HipHop Foundation (JHP). Seperti yang kita ketahui bersama bahwa musik hip-hop adalah budaya global yang berasal dari Amerika Serikat. Para artis yang bergenre ini

Diambil dari blog penulis sendiri-- http://catatanaco13.blogspot.com/search/label/Tugas%20Kuliah?updatedmax=2012-05-02T14:48:00%2B07:00&max-results=20&start=5&by-date=false 6 Dapat dilihat pada blog penulis sendiri-- http://catatanaco13.blogspot.com/2012/05/globalisasi-metal-distribusiidentitas.html

dikenal dengan gaya hidupnya yang bebas, seperti narkoba dan free sex. Akan tetapi JHP berhasil melakukan modifikasi terhadap musik hiphop yaitu dengan cara menjadikan musik hiphop sebagai ide untuk memberikan bingkisan cantik dalam menyampaikan nilai-nilai lokal pada masyarakat Jogjakarta pada khususnya.

Dua ilustrasi diatas memberikan penegasan bahwa globalisasi itu memang ada, akan tetapi keberadaanya menjadi sebuah mitos yang dikenal dengan istilah Glokalisasi sehingga kita tidak perlu menegasikan keberadaan globalisasi apalagi takut terhadap dampaknya. Dengan demikian perdebatan telah selesai. Dan ternyata globalisasi sebagai mitos tidaklah terlalu buruk bagi budaya kita. Akan tetapi, dengan memahami bahwa Glokalisasi adalah pergesakan antara ide global dan pertimbangan lokal maka kita dapat mengetahui jawaban mengapa budaya tradisi harus dilestarikan. Hal tersebut dikarenaka didalam budaya tradisi terdapat nilai-nilai lokal yang nantinya dapat menjadi filter terhadap ide global yang dikhawatirkan dapat menciptakan dominasi budaya dan menghapuskan budaya masyarakat Indoensia. Budaya tradisi merupakan kunci utama dalam menghadapi mitos globalisasi dan dampaknya. Tanpa adanya budaya tradisi maka kita, pada akhirnya, hanya akan mampu melihat budaya kita terdominasi oleh arus glabalisasi yang memang tidak akan pernah berhenti.

Sumber Referensi:

1. Cochrane, A., & Pain, K. (2004). A Globalizing Society? (D. Held, Ed.) London and New York: Routledge. 2. Catatanaco13@blogspot.com Data Diri Penulis

Nama Alamat No Telepon Email Asal Institusi Alamat Institusi No Telp Institusi

: Ayub Wahyudi : Jl. Pancoran Barat IV B No. 8, Jakarta Selatan 12770 : +6285255559195 : aw.nasrun13@gmail.com : Universitas Paramadina : Jl. Gatot Subroto Kav. 97, Jakarta Selatan 12790 : +6221-79181188

You might also like