You are on page 1of 10

BAIT DOA UNTUK MIMPI ICA ( Password: khyarina28111118 )

Mengapa begitu mudah orang-orang itu mengeluh? Mencaci dan memaki? Melakukan kekejaman... saat mereka lapar? Apa mereka lupa nantinya perut itu sendiri dapat mengunyah mereka. Ah, biarlah.. biarkan saja mereka dengan kesibukannya, permen karet ini juga sudah cukup mengenyangkan perutku yang sudah dua hari tak tersentuh nasi, dan gadis kecil berbaju merah itu pun berjongkok dengan permen karet yang masih terus dikunyahnya. Dia terus mengunyah, mengunyah, mengunyah, berusaha menghilangkan lapar perutnya. Air matanya pun terus mengalir di pipinya yang kemerahan, menangis menahan lapar dan benarbenar berusaha untuk tidak mengeluarkan keluhan dari bibirnya yang mungil, hingga akhirnya tubuh kecil itu lunglai. Jatuh. Lampu mati. Tirai menutup. Tak lama kemudian tepuk tangan penonton terdengar riuh. Seakan-akan ada ribuan orang di ruangan tersebut. Dari reaksi penonton, tampaknya mereka begitu antusias terhadap drama teaterikal yang baru saja selesai. Pemainnya pun sangat menjiwai peran sehingga itu menjadi daya pikat penonton. Icaa, kamu hebat!, Puji Bunda Ani seraya membawa sebotol air mineral dingin. Bunda berlebihan, sahut Ica singkat sambil mengambil botol air mineral dari tangan Ibu pemilik sanggar itu. Ica tampak gerah sekali, tanpa sadar dia sudah menghabiskan lebih dari setengah botol air mineral itu. Setelah minum, tanpa banyak bicara ia langsung beranjak, niat hatinya hendak mengganti pakaian sebelum Bunda Ani memanggilnya, Ca, sebentar. Ica menoleh, ya, Bun? Bunda salut, kamu belum lama di sanggar ini tapi begitu pintar mendalami peran, apa sebelumnya kamu sudah pernah belajar akting?. Ica tersenyum lalu menjawab, Tergantung perannya juga, Bun. Kebetulan saja peran yang ini cocok. Bunda menatap lekat mata Ica, Cocok?. Ya. Ica cuma menjadi diri sendiri, Lalu ia berbalik arah menuju ruang ganti, tak sabar ingin segera mengganti baju merahnya yang sedari tadi basah oleh peluh keringat. Sementara itu Bunda Ani sekilas melihat gurat kesedihan yang dalam di balik bola mata gadis itu. Marisa. Begitu nama gadis berusia 13 tahun yang telah memukau mata begitu banyak penonton tadi. Gadis belia yang sebatang kara. Ibunya sudah meninggal sejak ia berusia 7 tahun saat kotanya masih dirundung konflik berkepanjangan. Masih jelas sekali dalam
1

ingatan Ica bagaimana saat itu ibunya dengan begitu bersemangat hendak pergi ke pasar untuk membeli ayam yang sudah sejak seminggu yang lalu Ica minta. Ica mau makan ayam, Mak.. Kemarin teman Ica ajak Ica makan di rumahnya, terus ada ayam goreng. Enak sekali Mak, Ica mau makan ayam goreng juga di rumah, rengek Ica. Selama seminggu tak pernah putus kata-kata ayam goreng terlontar dari bibir kecil itu meski berkali-kali Ibunya meminta untuk bersabar sambil mengelus rambut Ica lembut. Sampai tiba hari itu, dimana uang hasil panen padi mereka sudah di tangan, Ibunya segera bersiap-siap hendak ke pasar untuk memenuhi keinginan buah hati tercinta yang telah bersabar selama seminggu. Ica dengan antusias mengantar Ibunya sampai ke pintu depan berharap sang Ibu segera pulang dengan kantong plastik berisi ayam. Tapi hingga hari mencapai tengah Ibu tak kunjung pulang, begitupun dengan Ayah yang sedari pagi pergi ke sawah. Padahal biasanya Ayah selalu pulang siang untuk makan kalau Ibu tak sempat mengantar makanan ke sawah. Ica melirik jam dinding, sekarang bahkan sudah hampir jam 2 siang. Bagaimana mungkin membeli ayam bisa begitu lama. Tapi Ica tetap menunggu, hingga tak berapa lama terdengar ketokan pintu. Maaak..!, dengan girang Ica menuju pintu, tapi yang ia dapati bukanlah Ibunya tapi Kak Ati tetangga sebelah rumah. Kak Ati memegang sebuah kantong plastik hitam, Ini ayam Ica, kata Kak Ati dengan tersenyum sambil menunjukkan kantong plastik hitam itu ke depan wajah Ica lalu dengan lembut mengelus kepala Ica. Kak Ati masakkan ayam gorengnya, ya. Mak Mana?, tanya Ica. Kak Ati tidak menjawab. Mak dimana??, tanya Ica memaksa. Mak belum bisa pulang, Ica, jawab Kak Ati. Kenapa? Memangnya Mak kemana?, lanjut Ica. Ica makan dulu saja, ya. Sebentar lagi Ayah Ica pulang. Setelah menggoreng ayam dan memasak nasi Kak Ati langsung pulang. Ica termangu di depan nasi dan ayam goreng. Dia tidak mau makan sebelum Ibu dan Ayahnya pulang. Dia ingin makan bersama seperti biasanya. Ica terus menunggu tanpa menyentuh ayam goreng itu sedikit pun. Hari telah mencapai senja. Ayam goreng telah dingin. Dan Ica masih duduk di depan nasinya sambil sesekali menahan isakan tangis. Dia tak mengerti, sama sekali tak mengerti mengapa ia ditinggal sendiri, apakah Ibunya marah karena ia merengek minta dibelikan ayam. kalau memang karena itu ia tak akan minta lagi, ia berjanji dalam hati. Tak berapa lama Ayah Ica pulang dan begitu kaget melihat anak semata wayangnya duduk di depan nasi yang masih utuh sambil menangis. Tanpa pikir panjang, segera dipeluk anak gadisnya itu, Nak, makanlah. Mak sekarang sudah tidak bisa pulang ke rumah lagi. Ibu Ica meninggal tertembak saat terjadi kontak senjata dalam perjalanan pulang dari pasar. Esoknya Ibu Ica dikebumikan dan sejak saat itu Ica tidak pernah sanggup lagi makan ayam walau dimasak dengan cara bagaimanapun.
2

Empat tahun setelahnya, Ayah Ica yang seorang petani juga hilang saat terjadi bencana alam Tsunami. Pagi minggu yang cerah, seperti biasa Ayahnya berangkat ke sawah untuk menanam padi. Tapi takdir berkata lain, padi belum sempat ditanam gempa besar datang menggoyahkan bumi yang mereka pijak. Beberapa menit setelah gempa, air bah menggulung-gulung segala apa yang ada. Saat itu Ica dititipkan di rumah Pamannya yang berada di daerah pegunungan sehingga ia selamat dari air bah, namun jasad Ayahnya hingga saat ini ia telah berusia 13 tahun tidak pernah ditemukan. Mungkin sudah dikubur bersama jasad-jasad saudaranya yang lain, pikirnya. Meski begitu, tak pernah putus doa terhantar untuk Ibu dan Ayahnya setiap selesai shalat, dimanapun ia berada, bagaimanapun keadaannya. Setelah tragedi yang menimpanya itu, Ica diasuh oleh Pamannya yaitu adik dari Ibunya selama setahun. Setelah setahun, Pamannya dipindah tugaskan ke luar kota dan Ica berat hati untuk meninggalkan kota kelahirannya meski dibujuk berkali-kali. Pamannya yang tak tega meninggalkan Ica sendiri membawa Ica ke Bunda Ani, rekan sekerjanya yang senang mengumpulkan anak-anak untuk mengajari berbagai kesenian panggung seperti menari, menyanyi dan bermain drama di sanggar miliknya. Sejak itu Ica tinggal bersama Bunda Ani dan sering diajak untuk menjadi salah satu pemeran drama atau pembaca puisi dalam perlombaan atau festival kesenian. Ica telah berhasil membuat Ibu pemilik sanggar ini berdecak kagum demi melihat kemampuannya mendalami peran dan situasi yang saat itu sedang dimainkan. Karena kekagumannya ini pula Bunda Ani hendak meminta Ica untuk menjadi pemeran utama dalam drama teaterikal yang sebulan lagi rencananya akan ditampilkan di festival kesenian ibukota. Bunda Ani percaya Ica pasti mampu menampilkan tontonan yang memuaskan hati penonton seperti tadi. Namun Ica tampak begitu lelah setelah tampil barusan, ia berpikir akan menanyakan hal ini nanti malam saja di rumah. Sampai setelah makan malam, Bunda Ani terus memperhatikan Ica, mencoba mencari waktu yang tepat untuk membicarakannya. Memang, ia selalu berusaha sedapat mungkin menjaga perasaan Ica yang masih labil akibat trauma masa lalunya. Hingga saat ini pun Ica tak pernah mau jika diajak ikut pementasan atau lomba yang mengharuskannya pergi ke luar kota. Semoga saja kali ini berhasil mengajaknya, pikir Bunda Ani. Ica duduk sendirian di teras atas sambil menatap langit. Betapa seringnya ia melakukan itu, mungkin ia merasa bisa sedikit menghibur kerinduannya pada kedua orang tua yang meninggalkannya sebatang kara sejak belia. Bunda Ani langsung mengambil
3

kesempatan itu. Mungkin ini saat yang paling tepat, pikirnya. Segera ia langkahkan kakinya menuju teras dimana Ica sedang termenung dengan membawa segelas susu hangat. Ca, minum susu dulu nih baru Bunda bikin, Bunda Ani memulai pembicaraan. Makasih, Bun, sahut Ica singkat seraya mengambil segelas susu tersebut. Bunda Ani langsung mengambil tempat di sebelah Ica. Bunda perhatikan, Ica kok senang sekali lihat langit malam? Hampir setiap malam duduk disini. Ica tersenyum dengan matanya tak lepas dari langit yang penuh bintang malam ini. Mereka indah sekali, Bunda, jawab Ica. Bunda Ani pun ikut melihat ke langit, Iya, indah. Tapi Bunda, kita hanya tau menikmati keindahannya, kadang tak pernah mau tahu bagaimana kerasnya ia berusaha untuk memancarkan sinar agar bisa kita nikmati. Bunda Ani kaget mendengarnya. Ia tak percaya kata-kata seperti itu bisa keluar dari seorang anak 13 tahun. Ica menatap Bunda sambil tersenyum, Mak yang bilang, Bun, lanjut Ica seperti ingin menjawab keheranan Bunda Ani. Dulu waktu Ica masih kecil, hampir tiap malam kami memandang bulan dan bintang. Mak bilang, sinar bulan dan bintang itu bukan berasal dari mereka sendiri tapi dipantulkan dari matahari. Ia berusaha untuk memantulkan sinar sekuat tenaga agar manusia memiliki penerangan di malam hari walau kadang ia tak dilihat oleh manusia karena berada jauh di atas sana. Tapi ia tak pernah mengeluh, tak pernah berhenti memantulkan sinar, tetap bertahan pada tugasnya di dunia ini. Mak juga bilang, Ica pun tak boleh sedikit-sedikit mengeluh, mesti tabah dan kuat bertahan dalam hidup walau peristiwa apapun yang terjadi pada Ica. Mak juga minta pada Ica, selama bulan masih terus memantulkan sinar, Ica pun harus tetap bersemangat dan percaya kalau Allah sayang pada Ica. Bunda Ani terdiam, di dalam tubuh kecil ini ternyata ada jiwa yang begitu dewasa, pikirnya. Mak juga bilang begitu waktu dulu Ica minta dibelikan ayam, tapi Ica tak bisa sabar. Kasihan Mak. Ica mulai menyeruput susu di gelasnya lalu dengan mata yang berkaca-kaca ia berkata, Karena itu Bunda, bagaimanapun nanti keadaan Ica, Ica akan hidup dengan tabah, Ica akan hidup dengan baik, biar Mak tidak sedih. Tanpa sadar keluar bulir bening dari mata Bunda Ani. Ia seperti diberikan pelajaran hidup malam ini oleh seorang anak yang tadinya hendak dia minta untuk mengikuti pementasan demi keuntungannya tanpa melihat kisah kelam dibalik sosok seorang anak itu sendiri. Susunya sudah habis Bun, kita tidur yuk, Ica beranjak dari tempat duduknya dan masuk ke dalam rumah. Ica...!, panggil Bunda Ani. Setidaknya dia harus mencoba bertanya, pikirnya. Ica menoleh. Sebenarnya Bunda mau ajak kamu untuk jadi pemeran utama dalam drama di festival kesenian ibukota nanti. Kamu mau kan?. Ica, Bunda?.
4

Bunda mengangguk. Ica diam. Tak lama kemudian ia menjawab, Bunda, Ica masih belum siap kalau harus ke luar kota. Ica mau disini saja. Tidak apa-apa kan Bun kalau Ica tidak ikut? Teman-teman yang lain juga hebat kok. Bunda Ani menghela nafas panjang. Sudah ia duga akan mendapat jawaban seperti ini. Mau bagaimana lagi, walau sedikit kecewa tapi yang penting ia sudah mencoba. Bunda Ani bangun dari duduknya kemudian mengelus pundak Ica lembut, Ya sudah, tidak apa-apa. Yuk kita tidur. Icha tersenyum lega karena Bunda Ani bisa mengerti dirinya. *** Asshalaatukhairumminannaum... Kumandang adzan shubuh menyapa telinga Ica dan seperti dikendalikan ia langsung bangun dari tidurnya. Sudah lama ia membiasakan diri bangun saat adzan shubuh dan tidak tidur lagi setelahnya. Awalnya memang berat, tapi sekarang hal itu sudah menjadi suatu kebiasaan baginya. Ia ingat dahulu saat Ibunya masih ada, begitu sering ia menyusahkan Ibunya untuk membangunkan ia shalat shubuh. Sampai-sampai Ibu harus menggendong tubuhnya yang saat itu tak lagi seringan bayi menuju ke kamar mandi untuk berwudhu meski setelah shalat ia langsung tertidur lagi di atas sajadah. Ibunya selalu bilang kalau shalat itu lebih baik daripada tidur dan kalau tidur lagi setelah shalat shubuh rezeki bisa dipatok ayam karena ayam saja tidak tidur setelah berkokok di pagi hari. Sejak ibunya pergi, Ica mulai berusaha melakukan hal-hal yang pernah ia dengar dari Ibunya dulu. Ia tak ingin Ibunya sedih melihat keadaannya setelah ditinggalkan. Tentu saja saat ini ia juga tidak tidur lagi, tangannya tergerak mengambil sapu untuk mulai membersihkan rumah Bunda Ani. Bunda Ani sangat senang Ica dititipkan di rumahnya karena selain ia tidak rewel, tanpa disuruh ia mau membantu pekerjaan rumah. Habis nyapu makan dulu ya, Ca. Ini Bunda bikin teri kacang balado kesukaan Ica. Teri memang favorit Ica, karena itulah yang paling sering dimasak oleh Ibunya dulu. Makan teri selalu dapat membuatnya mengulang memori bahagia ia bersama Ibu dan Ayahnya. Ica duduk di meja mengambil nasinya sementara televisi menayangkan berita pagi. Kalau ikut festival itu nanti Ica bisa masuk tv juga, Bunda Ani masih berusaha meyakinkan Ica. Ica tersenyum saja dan tetap menggeleng. Kenapa Ica sampai sekarang masih tidak mau keluar dari kota ini?, Bunda Ani masih penasaran kenapa Ica begitu enggan, padahal anakanak lain berebut minta ikut berangkat. Ica tidak menjawab, terus mengunyah nasi di mulutnya. Padahal kalau Ica ikut nanti bisa dikenal banyak orang. Kita akan tampil di depan
5

pak presiden, para menteri, dan bapak DPR. Bukan tak mungkin kita bisa ikut pementasan yang lebih besar lagi sampai ke luar negeri. Mak pun pasti senang kalau Ica mau mengembangkan bakat. Kalau ke Kabah Ica mau, jawab Ica cepat. Bunda Ani melongo, Hah? Kabah??. Iya. Mak selalu bilang ingin ke Kabah. Kata Mak, disana doa apapun akan dikabulkan Allah terus bisa mengumpulkan pahala yang banyaaak. Mak juga bilang ingin sekali pergi ke sana bertiga. Mak, Ayah, Ica. Tapi kami belum sempat pergi, jadi Ica ingin pergi ke sana. Nanti Ica mau minta Allah menyampaikan ke Mak dan Ayah kalau Ica sudah di Kabah, begitu Bunda, Ica tersenyum lebar dengan nasi yang penuh di dalam mulut. Tapi kan Kabah jauh sekali, pikir Bunda Ani. Bahkan ia sendiri belum pernah ke sana. Kalau memang Ica tidak berminat berarti Bunda harus mencari pengganti untuk pemeran utamanya. Siapa ya? Bagaimana kalau Hasni?, Bunda melirik Ica. Ica tak merespon, ia tampak terpaku menatap televisi. Matanya tak berkedip dengan mulut yang sedikit terbuka. Bunda Ani jadi penasaran apa yang dilihatnya. Oh, itu Pak Faisal. Salah satu anggota DPR yang baru-baru ini dicurigai terlibat kasus penggelapan uang sampai beratusratus juta tapi tidak ditangkap karena tak cukup bukti. Parah sekali wakil rakyat. Sama sekali tidak mementingkan kebutuhan rakyat. Bunda Ani hendak mengganti saluran televisi sebelum Ica menahannya, Tunggu, Bunda. Ica mau lihat sebentar. Sampai berita tentang anggota DPR tersebut selesai barulah Ica mulai bicara lagi, DPR? Namanya Faisal, Bunda??. Iya, kenapa Ca?, tanya Bunda bingung. Apa di pementasan drama nanti ada bapak itu??, lanjut Ica dengan semangat. Harusnya sih ada karena rencananya bapak presiden pun hadir, jawab Bunda Ani. Ica ikut Bunda...!! Jadi peran apa pun boleh. Yang penting Ica ikut ke sana..!, Ica memohon dengan mata berbinar-binar. Bunda Ani yang seharusnya senang karena Ica sudah mau berangkat untuk pementasan kini malah terheran dalam kebingungannya. Hari yang telah dinanti Ica pun tiba. Ia sudah sangat siap untuk menampilkan kemampuannya di panggung. Bahkan dari sebelum pembukaan acara ia sudah sibuk mengintip ke arah penonton yang baru berdatangan. Bunda Ani dan teman-temannya begitu kagum melihat semangat Ica untuk segera tampil tanpa ada sedikit pun rasa canggung, padahal mereka akan tampil di hadapan para pemimpin negeri. Tapi mereka tak tahu bahwa semangat Ica kali ini berbeda, bukan hanya karena ingin tampil. Ada sesuatu yang ia cari saat ini. Bunda, kapan giliran kita? Ica mau segera maju, Ica terus saja merengek. Siap-siap ya.. Yang lain juga! Sekarang giliran kita, Bunda Ani mengarahkan anakanak sanggarnya. Seketika wajah Ica berseri-seri. Dan seperti yang diharapkan, Ica selalu
6

dapat memukau mata setiap orang yang melihat penampilannya. Kali ini ia berperan menjadi salah satu pahlawan nasional wanita, Cut Nyak Dien. Sampai-sampai ada salah seorang menteri yang berniat akan mengambil sanggar ini untuk dibawa ke luar negeri mewakili Indonesia menampilkan pementasan drama yang membawa kebudayaan negeri sebagai temanya. Sementara semua pandangan teralihkan ke pentas, ada seorang pria setengah baya yang tampak pucat dan terus menunduk pura-pura melihat ponselnya. Saat banyak mata terpukau dan tak lepas dari Ica, mata Ica pun tak lepas dari melirik pria itu. Detik dan menit berjalan begitu cepat hingga ia dan teman-temannya sudah menyelesaikan seluruh isi dari naskah drama. Lampu mati diiringi derasnya tepuk tangan penonton. Tanpa sempat mengganti kostum, Ica langsung lari keluar panggung. Sesaat sebelum ending tadi ia lihat pria itu beranjak dari tempat duduknya dan ia berharap tidak kehilangan pria itu. Bunda Ani panik melihat Ica yang tiba-tiba lari dari pentas. Ica mencarinya kesana kemari, bertanya pada orang-orang yang ada di sekitar hingga ia sampai di luar gedung dan dilihatnya pria itu hendak masuk mobil bersama seorang wanita cantik. Tunggu.....!!, Ica berteriak dan berlari ke arah mereka sebelum mereka sempat pergi. Wanita itu melihat Ica, sepertinya dia menyukai Ica, Mas, itu anak gadis yang di pentas tadi. Dia keluar dengan kostumnya. Waah.. Lucu sekali... Aku pusing, ayo pulang saja, sahut pria itu tanpa membalikkan pandangan. Tunggu.... Ayah..., ucap Ica dengan nafas tersengal-sengal karena lelah berlari. Wanita itu tersentak kaget. Ia langsung membalikkan pandangannya ke pria yang disebut Ayah oleh Ica, mencoba mencari jawaban. Pria itu berbalik. Ia memaksa diri untuk tersenyum, Apa kamu bilang, Nak?. Ica memperhatikan dengan jelas raut wajah pria itu. Kerutan di dahinya, mata, hidung, kumis dan mulutnya, semua memang milik Ayahnya. Serta merta ia memeluk pria itu tanpa mempedulikan apa yang ia tanya. Ayah.. Ayah... Ica kangen, kenapa Ayah tidak mengabari Ica kalau Ayah selamat?, Ica mencoba bertanya dalam perasaannya yang tak menentu saat ini. Pria itu mencoba melepaskan pelukan Ica, Aduh, Nak. Kamu salah orang. Saya mau pulang, maaf.. Ayah.. Masa Ayah tidak ingat Ica?? Ica saja ingat, nama Ayah Faisal..!, Ica bersikeras. Pria itu diam saja. Ayah juga tidak ingat Mak?!. Ia masih diam. Ayah tidak ingat lagi janji Ayah sama Mak, kalau ada rezeki kita bertiga nanti pergi ke Kabah..?! itu juga tidak ingat..?!, Ica mulai emosi, mukanya memerah menahan tangis dan marah yang bercampur aduk. Pria itu tak mau menjawab. Ia berbalik hendak masuk ke mobil sesaat sebelum Ica menendang mobilnya. Mau kemana..?! Ayah mau lari?!, tiba-tiba mata Ica mengarah pada wanita tadi. Oh.. karena perempuan ini
7

Ayah lupa sama Mak..?! Kalau memang iya biar Ica.... Ica baru akan menjambak rambut wanita tadi saat Bunda Ani menangkap tangan Ica dan memeluknya cepat. Ica, kenapa sayang? Maaf Pak, Bu.. Ica tidak pernah begini sebelumnya, dia anak perempuan yang baik. Mungkin sedang capek. Bukan capek, Bunda..! Itu..., belum sempat Ica melanjutkan bicaranya pria itu membuka suara, Kalau memang mau ke sana biar saya siapkan keberangkatannya. Sejenak Ica menghentikan tangisannya, Pergi... Dengan Ayah kan?. Saya tidak sempat, nanti saya minta orang untuk menemani, jawabnya dingin. Ica kembali menangis sambil meronta-ronta dalam pelukan Bunda Ani. Bunda Ani bingung harus berbuat apa, tak pernah ia melihat Ica memberontak seperti ini. Setelah meminta maaf, ia menggendong Ica yang masih menjerit-jerit masuk ke dalam. Ica benci Ayaaaah..! *** Angin berhembus perlahan menerbangkan butiran-butiran pasir. Hawa panas padang pasir memang dapat membuat tubuh terasa kering. Air putih akan selalu menjadi pilihan yang tepat untuk kondisi seperti ini. Dan itu juga yang dipilih oleh seorang wanita muda selagi ia menunggu bus yang akan membawanya ke tanah Mekkah dari Madinah al Munawarah tempat ia berada sekarang. Diteguknya air putih itu beberapa kali sebelum seorang teman memanggilnya, Ica, busnya sudah mau berangkat!. Ah, iya.., ia beranjak untuk segera masuk ke bus, semoga saja kali ini ia mendapat tempat duduk di dekat jendela lagi, pikirnya. Wanita muda itu adalah Marisa. Ia sudah semakin dewasa setelah banyak hal ia alami. Sejak 5 tahun lalu bertemu dengan pria yang dianggap Ayahnya, ia tak pernah lagi menolak tawaran untuk tampil di luar kota dengan harapan suatu saat bisa bertemu Ayahnya kembali. Sampai sekarang pun, saat sanggar Bunda Ani sudah sering melakukan pementasan hingga ke luar negeri, Ica tetap tak pernah lagi melihat sosok Ayahnya. Beberapa bulan setelah kejadian itu, Bunda Ani sempat melihat pria yang disebut Ayah oleh Ica di televisi yang saat itu sedang menayangkan berita mengenai tersangka kasus penggelapan uang. Saat wawancara pers, pria itu mengakui kesalahannya dan ia mengatakan akan mengundurkan diri dari jabatan. Ia pun rela menerima hukuman dari pengadilan tanpa ada sedikitpun pembelaan diri. Setelah itu tak pernah terdengar kabar apa pun lagi tentangnya. Bunda Ani sengaja merahasiakan berita ini dari Ica karena takut emosi Ica terganggu. Kini impian Ica melihat Kabah secara langsung juga akhirnya dapat terwujud. Sanggar mereka memenangkan juara pertama pada lomba pementasan drama teater yang berhadiah umroh, sehingga ia dapat berangkat bersama teman-temannya dan juga Bunda Ani.

Hati Ica sudah berdebar tak sabar ingin bersimpuh langsung di depan Kabah, bus pun berhenti pertanda mereka telah sampai. Cepat-cepat Ica turun, menyimpan barang di hotel dan bersiap menuju rumah Allah. Ica terpaku saat menatap Kabah langsung di hadapannya, di depan matanya. Ia dapati kedamaian yang luar biasa di dalam hatinya, rasa damai yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, yang sungguh tak dapat diceritakan seperti apa indahnya. Subhanallah, seperti ada getaran hebat di dadanya, tanpa sadar air mata itu meleleh juga di pipi. Bahkan hawa panas gurun pasir pun tak berasa lagi, hanya tinggal ia bersama pujipujiannya kepada Sang Khalik. Pantas saja dulu Mak ingin sekali pergi kemari. Seandainya mereka juga ada disini. Mak.. Ayah.., ia bersujud dalam isakannya yang dalam. Tak ada lain yang ia pinta, hanya ingin berkumpul bersama mereka kembali. Jika itu pun tak bisa ia dapatkan di dunia, semoga di akhirat kelak bisa ia rasakan nikmatnya berkumpul dengan orang tua yang telah membuatnya ada di dunia ini. Ica bangun dari sujudnya, ia hapus deraian air mata yang sudah memenuhi seluruh pipi. Baru saja ia hendak mengeluarkan Al-Quran dari tas umroh, matanya tertahan pada seorang petugas yang sedang mengepel lantai di sekitar Kabah. Wajah itu. Tak mungkin ia bisa melupakan wajah itu, yang sudah sangat ia kenal dari kecil. Dan lagi-lagi ia mencoba berlari ke arah pria paruh baya tersebut. Ayah..!, panggilnya dengan begitu yakin. Pria itu hanya melihatnya dengan tatapan bingung. Ayah... Kenapa Ayah bisa ada di sini..?, tanya Ica tak kuasa melihat keadaan pria itu yang menurutnya begitu kurus dan kotor. Pria itu hanya menatapnya, tak tahu mau menjawab apa. Ayah, sudahlah... Tidak perlu disembunyikan lagi, Yah. Ayah nanti ikut pulang dengan Ica saja ya.. Ya?, Ica membujuk pria itu dan langsung memegang tangannya berusaha meyakinkan kalau ia adalah anaknya. Pria itu sangat kaget dan seketika menarik kembali tangannya. Bagaimana anda bisa memegang tangan seorang yang non mahram di depan Kabah?, ia berkata dengan lantang. Ica melongo. Ca, yuk kita tawaf, Bunda Ani menarik tangan Ica dan meninggalkan pria itu dengan keterheranannya. Sejak kejadian 5 tahun lalu, hampir semua bapak-bapak yang Ica jumpai disebut Ayah olehnya. Bunda Ani dan hampir semua teman-temannya sudah tahu tentang hal itu dan sudah menjadi hal yang biasa. Kepribadiannya tidak terganggu, Ica tetap selalu bisa menjadi yang terbaik di pentas, hanya saja bayangan mengenai sosok Ayahnya yang masih hidup tak pernah hilang dari pikirannya. Dimana pun mereka berada, mereka pasti akan tetap menyayangi Ica. Seperti Allah yang selalu sayang Ica, hibur Bunda Ani sambil mengelus pundak Ica. Ica yang tadinya murung kini tersenyum lagi. Betul, Bun. Ica
9

mengerti. Apa pun yang terjadi pada Ica, meski Mak dan Ayah juga tak ada... Ica pasti akan hidup dengan tabah, Ica akan hidup dengan baik, ucap Ica mantap. Bunda Ani tersenyum lirih. Kata-kata yang selalu Ica lontarkan, pikirnya. Setelah ini dia pasti akan bilang.. Agar Mak tidak sedih!, sambung Ica dengan senyum yang membuat suasana di Kabah semakin terasa indah. Labbaikallaahummalabbaiik... Labbaikalasyarikalakalabbaiik...

***

10

You might also like