You are on page 1of 14

TETANUS

Oleh :

I Dewa Ayu Vanessa V. M. NIM : H1A 003 022

I. TINJAUAN PUSTAKA Pendahuluan Tetanus merupakan penyakit yang sering ditemukan, dimana masih terjadi di masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Di RSU Dr. Soetomo sebagian besar pasien tetanus berusia > 3 tahun dan < 1 minggu (1). Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama disebabkan kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak usia sekolah, sirkumsisi pada laki-laki, kehamilan dengan abortus. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi, akan tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi dengan angka kematian yang tinggi pula
(2)

. Di negara maju, kasus tetanus jarang ditemui.

Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah (4). Batasan Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut yang disebabkan oleh Clostridium tetani, dengan tanda utama kekakuan otot (spasme), tanpa disertai gangguan kesadaran
(3)

. Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman clostridium tetani, tetapi akibat toksin

(tetanospasmin) yang dihasilkan kuman (1). Etiologi Clostridium tetani termasuk kuman yang hidup tanpa oksigen (anaerob), dan membentuk spora. Spora ini mampu bertahan hidup terhadap lingkungan panas, antiseptic, dan jaringan tubuh, sampai berbulan-bulan. Kuman yang berbentuk batang ini sering terdapat dalam kotoran hewan dan manusia, dan bisa menyebar lewat debu atau tanah yang kotor, dan mengenai luka (5). Clostridium tetani merupakan kuman gram positif, menghasilkan eksotoksin yang neurotoksik, dapat larut dan O2 labil (6).
1

Epidemiologi Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat bertebaran di manamana. Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga melalui : 1. Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar. 2. Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik. 3. OMP, caries gigi. 4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril. 5. Penjahitan luka robek yang tidak steril (1). Patogenesis Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP. Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh,

sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti (3). Gejala Klinis Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2 hari dan kadang lebih satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, dengan interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit; makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin panjang (2). Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu : -Tahap awal Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung. -Tahap kedua Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah (Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut. Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang. (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka.

Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatub erat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas. -Tahap ketiga Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering. Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan pun juga dapat terhenti karena kejang otot ini, sehingga beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan (5). Secara klinis, tetanus dibedakan atas : 1) Tetanus lokal Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka; gejala ini dapat terjadi selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala sisa. Bentuk ini dapat berkembang menjadi bentuk umum; kasus fatal kira-kira 1%. 2) Tetanus umum Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul mendadak, trismus merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai. Spasmus otot maseter dapat terjadi bersamaan dengan kekakuan otot leher dan kesukaran menelan, biasanya disertai kegelisahan dan iritabilitas. Trismus yang menetap menyebabkan ekspresi wajah yang karakteristik berupa risus sardonicus. Kontraksi otot meluas, pada otot-otot perut menyebabkan perut papan dan kontraksi otot punggung yang menetap menyebabkan opistotonus; dapat timbul kejang tetani bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bawah. Selama periode ini penderita berada dalam kesadaran penuh.

3) Tetanus sefalik Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka di kepala, wajah atau otitis media; banyak kasus berkembang menjadi tipe umum. Tetanus tipe ini mempunyai prognosis buruk (2). Komplikasi 1. Laserasi otot 2. Fraktur 3. Eksitasi syaraf simpatis 4. Infeksi sekunder oleh kuman lain 5. Dehidrasi
6.

Aspirasi (6).

Langkah Diagnostik Anamnesis Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak steril, riwayat menderita otitis media supurativa kronik (OMSK), atau gangren gigi. Riwayat anak tidak diimunisasi/ tidak lengkap imunisasi tetanus/ BUMIL/ WUS. Adanya kekakuan lokal atau trismus. Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opisthotonus, perut papan. Kekakuan extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki dan adanya penyulit (3). Pemeriksaan fisik

Diagnosis Banding 1. Infeksi : meningoensefalitis, polio, rabies, lesi orofaring, peritonitis. 2. Gangguan metabolik : tetani, keracunan strichnin, reaksi fenotiasin. 3. Penyakit SSP : status epileptikus, perdarahan atau tumor. 4. Gangguan psikiatri : histeria (6). Web of Caution (Hubungan Sebab Akibat)

Terpapar kuman Clostridium

Eksotoksin Pengangkutan toksin melewati saraf motorik

Ganglion Sumsum Tulang Belakang

Otak

Saraf Otonom

Tonus otot Menjadi kaku

Menempel pada Cerebral Gangliosides Kekakuan dan kejang khas pada tetanus

Mengenai Saraf Simpatis -Keringat berlebihan -Hipertermi -Hipotermi -Aritmia -Takikardi Hipoksia berat O2 di otak Kesadaran

Hilangnya keseimbangan tonus otot Kekakuan otot

Sistem Pencernaan

Sistem Pernafasan

-Ggn. Eliminasi -Ggn. Nutrisi (< dr. kebut)

-Ketidakefektifan jalan jalan nafas -Gangguan Komunikasi Verbal

-PK. Hipoksemia -Ggn. Perfusi Jaringan -Ggn. Pertukaran Gas -Kurangnya pengetahuan Ortu -Dx,Prognosa, Perawatan

(Sumber: Asuhan Keperawatan dengan Tetanus.)

Tatalaksana Terapi dasar tetanus : Antibiotik diberikan selama 10 hari, 2 minggu bila ada komplikasi
6

Penisillin prokain 50.000 IU/kg BB/kali i.m, tiap 12 jam, atau Metronidazol loading dose 15 mg/kg BB/jam, selanjutnya 7,5 mg/kg BB tiap 6 jam

Catatan : Bila ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan antibiotika yang sesuai. Imunisasi aktif-pasif Anti tetanus serum (ATS) 5.000-10.000 IU, diberikan intramuskular. Untuk neonatus bisa diberikan iv; apabila tersedia dapat diberikan Human tetanus immunoglobulin (HTIG) 3000-6000 IU i.m. Dilakukan imunisasi DT/TT/DTP pada sisi yang lain, pada saat bersamaan. Anti konvulsi Pada dasarnya kejang diatasi dengan diazepam, dosis disesuaikan dengan respon klinik (titrasi) : Bila datang dengan kejang diberi diazepam : neonatus bolus 5 mg iv anak bolus 10 mg iv anak 240 mg/hari neonatus 120 mg/hari

Dosis rumatan maximal :

Bila dengan dosis 240 mg/hari masih kejang (tetanus sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/hari, dengan atau tanpa kurarisasi.

Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur dalam botol cairan infus. Bilamana tidak ada syringe pump, diberikan bolus tiap 2 jam (12 x/hari)

Dapat dipertimbangkan penggunaan anti konvulsan lain, seperti magnesium sulfat, bilamana ada gangguan saraf otonom.

Perawatan luka atau port dentree yang dicurigai, dilakukan sekaligus dengan pembuangan jaringan yang diduga mengandung kuman dan spora (debridemant), sebaiknya dilakukan setelah diberi antitoksin dan anti-konvulsi. Terapi suportif Bebaskan jalan nafas

Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan & memindahmindahkan posisi pasien) Pemberian oksigen Perawatan dengan stimulasi minimal Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde nasogastrik, asal tidak memperkuat kejang Bantuan nafas pada tetanus berat atau tetanus neonatorum Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit

Tetanus ringan dan sedang Diberikan pengobatan tetanus dasar Tetanus sedang Terapi dasar tetanus Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas (akibat kejang dan aspirasi) Pemberian cairan parenteral, bila perlu nutrisi secara parenteral. Terapi dasar seperti di atas Perawatan dilakukan di ICU, diperlukan intubasi atau tracheostomi Balans cairan dimonitor secara ketat. Apabila spasme sangat hebat (tetanus berat), perlu ventilasi mekanik dengan pankuronium bromida 0,02 mg/kg bb intravena, diikuti 0,05 mg/kg bb/kali, diberikan tiap 2-3 jam. Apabila terjadi aktifitas simpatis yang berlebihan, berikan b-blocker seperti propanolol/a dan b- blocker labetalol (3). Pencegahan 1. Perawatan luka harus dicegah timbulnya jaringan anaerob pada pasien termasuk adanya jaringan mati dan nanah. 2. Pemberian ATS profilaksis. 3. Imunisasi aktif. 4. Khusus untuk mencegah tetanus neonatorum perlu diperhatikan kebersihan pada waktu persalinan terutama alas tempat tidur, alat pemotong tali pusat, dan cara perawatan tali pusat.

Tetanus berat/sangat berat

5. Pendidikan atau penjelasan kepada orang tua mengenai kebersihan individu dan lingkungan serta cara pemeriksaan dan perawatan di RS dan perlunya pemeriksaan lanjutan (1). I. Imunisasi aktif a. Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali sejak usia 2 bulan dengan interval 4-6 minggu, ulangan pada umur 18 bulan dan 5 tahun (lihat Bab Jadwal Imunisasi). b. Eliminasi tetanus neonatorum dilakukan dengan imunisasi TT pada ibu hamil, wanita usia subur, minimal 5 x suntikan toksoid. (untuk mencapai tingkat TT lifelong-card). II. Pencegahan pada luka

Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang Luka ringan dan bersih Imunisasi lengkap : tidak perlu ATS atau tetanus imunoglobulin Imunisasi tidak lengkap : imunisasi aktif DPT/DT. Imunisasi (-)/tidak jelas : ATS 3000-5000 U, atau tetanus imunoglobulin 250-500 U. Toksoid tetanus pada sisi lain. Imunisasi (+), lamanya sudah > 5 tahun : ulangan toksoid, ATS 3000-5000 U, tetanus imunoglobulin 250-500 U (3).

Luka sedang/berat dan kotor -

Monitoring I. Sekuele

Spasme berkurang setelah 2-3 minggu, namun kekakuan dapat terus berlangsung lebih lama. Kekakuan dapat tetap berlangsung sampai 6-8 minggu pada kasus yang berat. Gangguan otonom biasanya dimulai beberapa hari setelah kejang dan berlangsung selama 1-2 minggu.

II. Tumbuh Kembang

Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu tumbuh kembang anak.

Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh kembang oleh karena hipoksia yang berat (3).

II. LAPORAN KASUS

10

Seorang anak perempuan (nama: Apriani), berumur 3 tahun dirawat yang pertama kali di Bangsal Dahlia Rumah Sakit Umum Mataram sejak tanggal 30 September 2007. Pasien kiriman IGD RSU Mataram, dari heteroanamnesis melalui orang tuanya, didapatkan 7 hari sebelum dirawat pasien panas, sifat panas naik turun dan tidak terlalu tinggi. Setelah 3 hari penderita kejang, kejang di seluruh tubuh dengan durasi + 5 menit dan frekuensi + 10x perhari. Satu hari sebelum dirawat di RSU Mataram pasien rewel, tidak bisa tidur telentang dan leher kaku, pasien tetap sadar. Riwayat terluka, sesak nafas, batuk, pilek, disangkal. Buang air besar, buang air kecil tidak ada keluhan. Riwayat kelahiran Pasien lahir cukup bulan ditolong oleh bidan, langsung menangis, berat badan waktu lahir 2000 gram, panjang badan lupa. Selama hamil ibu pasien tidak ada keluhan dan kontrol ke bidan + 4x, tetapi tidak pernah mendapat suntikan toksoid tetanus; pasien tidak mendapat imunisasi lengkap. Pasien adalah anak ketiga, ibunya sebagai ibu rumah tangga berumur 27 tahun, tamat SD. Ayahnya seorang buruh berusia 30 tahun, tamat SD. Sejak pasien lahir sampai sekarang tinggal di Bengkel. Lingkungan sekitar banyak terpapar kotoran kuda karena transportasi sehari-hari menggunakan cidomo. Pemeriksaan fisik Saat masuk rumah sakit, pasien tampak sakit sedang, sadar (GCS 15), tidak sesak, tidak sianosis, berat badan 9 kg, suhu 370C, pernafasan 27 x/menit, nadi 80 x/menit, tekanan darah 90/60 mmHg. Didapat muka meringis dan spasmus (risus sardonicus), konjungtiva tidak pucat, pupil bulat, refleks pupil positif, isokor. Terdapat trismus, mulut tidak bisa dibuka lebar, gigi geligi baik, telinga kanan tidak ada kelainan, liang telinga kiri hiperemi dan terdapat sekret berupa pus berwarna kuning kental, mengalir keluar liang telinga + 2 cc. Terdapat kaku kuduk, epistotonus, opistotonus, posisi miring ke kiri dengan badan kaku. Bunyi jantung I-II normal, bising dan irama derap tidak ada. Paru vesikuler, ronchi dan mengi tidak ada. Perut kaku, turgor cukup, hati dan limpa sulit dinilai. Bising usus normal, reflek patologis tidak dijumpai, reflek fisiologis (+). Ekstremitas kaku, kulit dan tulang belakang tidak ada kelainan.

11

Pemeriksaan laboratorium Hb 11,3 g/dl, eritrosit 3,67 juta/l, hematokrit 36,2 vol%, leukosit 8700/l, trombosit 539.103 mm3. Urine dan feces dalam batas normal. Pemeriksaan khusus : DDR (-) dan Widal (-). Diagnosis kerja Observasi tetanus umum dan OMA telinga sinistra. Penatalaksanaan Pasien diterapi Inj. ATS 10.000 IU/hari/iv; Procain Penicillin 450.000 IU/12 jam/im; Inj. Diazepam 5 mg/8 jam, bila kejang 5 mg bolus setiap kejang; Paracetamol 1 cth/8 jam/oral; Infus D5% 0,225%; Diit cair 3 x 200 cc. OMA di telinga kiri diterapi dengan H2O2 3% dan dibersihkan. Tiga hari sesudah perawatan pasien masih lemah tapi berangsur-angsur membaik, kejang berkurang. Kemudian terapi dilanjutkan tetapi Diazepam diberikan peroral 3 x 5 mg. Lima hari sesudah perawatan pasien membaik, panas turun, kejang berkurang, badan kaku tidak dijumpai, terapi diberikan Procain Penicillin 450.000 IU/iv dan Diazepam 5 mg/8 jam/oral. Hari ke enam setelah perawatan; pasien sudah bisa jalan, kejang tidak ada, badan kaku tidak dijumpai terapi Diazepam 5 mg/3 jam/oral. Pada tanggal 6 Oktober 2007 pasien pulang dengan baik.

III. ANALISIS KASUS Telah diajukan kasus tetanus umum pada anak akibat OMA di telinga kiri yang merupakan tempat masuk kuman (port d'entree). Diagnosis awal: observasi tetanus

12

umum dan OMA di telinga kiri serta wajah meringis dan spasmus (risus sardonicus); dijumpai gejala trismus, epistotonus, opistotonus, perut papan dan kejang umum. Faktor risiko kasus ini ialah tidak diimunisasi lengkap dan aspek sosial dimana orang tuanya berpendidikan SD dan mempunyai penghasilan rendah sebagai buruh serta lingkungan sekitar banyak terpapar kotoran kuda karena transportasi sehari-hari menggunakan cidomo, fasilitas kesehatan yang ada tidak dimanfaatkan karena ketidaktahuan manfaat imunisasi. Penyakit ini merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi; sesuai dengan hasil yang diperoleh dari program imunisasi, saat ini cakupan imunisasi di seluruh Indonesia untuk DPT198,3%, DPT2 91,4%, DPT3 90,5%, dengan angka drop out 8% (data Sub Dit Imunisasi Dir Jen P2M PLP Depkes RI).

DAFTAR PUSTAKA

13

1.

Ningsih, S., and Witarti, N., 2007. Asuhan Keperawatan Dengan Tetanus. from : www.pediatrik.com/perawat_pediatrik/061031-joiq163.doc.

Available
2.

Accested : Oct 16, 2007. Lubis, U. N., 2004. Tetanus Lokal pada Anak. Available from : Ismoedijanto, and Darmowandowo, W., 2006. Tetanus. Available from : Silalahi, L., 2004. Tetanus. Available from : www.tempointeraktif.com. Tami, 2005. Tetanus, Infeksi yang Mematikan. Available from : www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15. Accested : Oct 16, 2007.
3.

www.pediatrik.com. Accested : Oct 16, 2007.


4.

Accested : Oct 16, 2007.


5.

www.jilbab.or.id/content/view/456/36/. Accested : Oct 16, 2007.


6.

Suraatmaja, S., and Soetjiningsih, 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu

Kesehatan Anak RSUP Sanglah. Fakultas Kedokteran Udayana. Denpasar.

14

You might also like