You are on page 1of 8

NAD

KALIMANTAN BARAT

SULAWESI TENGAH

MALUKU UTARA PAPUA BARAT

JABODETABEK

MALUKU PAPUA

Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center


Peta Kekerasan di Indonesia (Mei-Agustus 2012)
Ringkasan Eksekutif Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) melakukan pemantauan secara sistematis dan kontinu di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan JakartaBogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Pada periode Mei-Agustus 2012 tercatat 2.344 insiden kekerasan yang mengakibatkan 291 tewas, 2.406 cedera dan 272 bangunan rusak.1 Pada periode ini, kekerasan didominasi oleh insiden konflik (65%). Jenis kekerasan lain yang dipantau adalah kriminalitas (26%), kekerasan dalam rumah tangga/KDRT (6%) dan kekerasan aparat (3%). Pada periode ini, insiden yang perlu diperhatikan adalah kekerasan terkait identitas, sengketa sumber daya, dan isu separatisme. Insiden kekerasan terkait identitas yang perlu dicermati adalah perang suku di Papua yang mengakibatkan tujuh tewas dan 335 cedera, serta bentrokan di Maluku yang mengakibatkan 49 cedera. Konflik sumber daya mengakibatkan 23 tewas, meningkat empat kali lipat dibandingkan periode Januari-April 2012. Dampak tewas dalam kategori ini didominasi oleh sengketa tambang emas di Pulau Buru, Maluku, yang mengakibatkan 11 tewas dan 22 cedera. Sengketa tanah, baik antar-warga maupun antara warga dan perusahaan, mengakibatkan sembilan tewas dan 16 cedera. Beberapa insiden lain terjadi di Papua yang berkaitan dengan isu separatisme dan mengakibatkan 12 tewas dan 26 cedera. Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center (THC) kali ini juga mengupas fenomena kekerasan pelajar yang telah terjadi sejak lama. Berdasarkan data SNPK, pada periode Januari 2005-Agustus 2012 terjadi 1.303 insiden kekerasan pelajar yang mengakibatkan 100 tewas dan 1.286 cedera. Kekerasan pelajar menjadi perhatian berbagai pihak karena selalu berulang dan menyangkut masalah yang kompleks. Kekerasan tersebut dipicu oleh aksi balas dendam dan ketersinggungan, persoalan identitas dan rivalitas antar-sekolah/kampus, serta hubungan asimetris antara junior-senior di dalam sekolah/ kampus.

NTT

Edisi 02/November 2012

Fenomena kekerasan pelajar diperburuk oleh lemahnya pemantauan/pengawasan sekolah terhadap tindakan kekerasan pelajar serta tidak memadainya mekanisme pelaporan dan konseling. Disamping itu, lemahnya pengawasan Dinas/Kementerian Pendidikan membuat sekolah kurang memperhatikan kekerasan yang dilakukan oleh pelajar. Kekerasan pelajar ini juga dipengaruhi oleh lemahnya peran orang tua dalam mengawasi anak-anak mereka. Kekerasan di media dipercaya menciptakan pandangan bahwa kekerasan merupakan norma umum dalam menghadapi perbedaan. Kekerasan pelajar juga terkait dengan lambatnya penanganan aparat kemanan dan tidak tegasnya sanksi terhadap pelaku kekerasan. Berdasarkan analisis mengenai fenomena kekerasan pelajar, kajian ini memandang bahwa persoalan kekerasan pelajar ini harus diselesaikan secara komprehensif. Kajian ini memberikan rekomendasi diantaranya: (1) sekolah sebaiknya melakukan pemutusan rantai kekerasan dengan menciptakan momen orientasi yang bebas kekerasan dan membubarkan kelompok/geng di dalam sekolah/kampus; (2) sekolah/kampus sebaiknya mewadahi dialog rutin antar-sekolah/kampus untuk meminimalisir permusuhan/ rivalitas; (3) pemerintah sebaiknya membuat peraturan yang dapat mendorong institusi pendidikan lebih memperhatikan kekerasan pelajar; (4) pemerintah juga sebaiknya meningkatkan koordinasi antar kementerian/ lembaga lainnya untuk menggali permasalahan dan merumuskan kebijakan dalam menangani kekerasan pelajar; (5) media disarankan menerapkan self-censorship secara bijak untuk mengurangi pandangan umum bahwa kekerasan dapat dipergunakan dalam menyikapi perbedaan; (6) aparat keamanan disarankan bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan tetapi tetap memegang peraturan yang berlaku; dan (7) pendidikan karakter sebaiknya diperkuat di dalam kurikulum pendidikan agar tercipta generasi yang toleran dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan.

Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini bertujuan menggambarkan tren kekerasan yang dipantau pada periode Mei-Agustus 2012 dan membahas secara khusus kasus kekerasan pelajar. Kajian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pengambil kebijakan di tingkat nasional maupun lokal, serta lembaga masyarakat sipil 1 Angka ini berdasarkan data SNPK yang diterima THC pada 17 Oktoyang bergerak dalam bidang manajemen konflik. ber 2012 dan dapat berubah karena proses pemutakhiran data.
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
1 The Habibie Center

KOTAK 1: Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center ini diterbitkan melalui program SNPK, yang bertujuan menyediakan data dan analisis kekerasan yang akurat dan cepat bagi pemerintah dan masyarakat sipil di Indonesia dalam mendukung penyusunan kebijakan dan program dalam bidang konflik yang berbasis data. Program ini diimplementasikan sejak 2012 melalui kerjasama antara The Habibie Center, Kedeputian I Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra), dan Bank Dunia dengan hibah dari The Korea Economic Transitions and Peacebuilding Trust Fund. Sebagai bagian dari program SNPK, saat ini sedang dibangun database untuk mencatat seluruh insiden kekerasan yang terjadi di provinsi sasaran secara reguler. Database SNPK adalah milik Kemenkokesra. Data ini direncanakan akan tersedia secara online untuk publik. Database ini untuk sementara mencakup sembilan provinsi di Indonesia. Seperti ditunjukkan oleh penelitian-penelitian di bidang konflik sebelumnya, surat kabar lokal di Indonesia merupakan sumber informasi yang paling tepat untuk mengumpulkan data kekerasan secara sistematis dan kontinu. Mengikuti hal itu, SNPK membangun database menggunakan 34 surat kabar lokal di sembilan provinsi sasaran, meski sumber-sumber lain juga dipergunakan secara rutin untuk proses verifikasi. Agar analisis data dapat berjalan maksimal, database menggunakan definisi kekerasan secara luas, yaitu: sebuah tindakan yang mengakibatkan dampak fisik secara langsung. Untuk setiap insiden kekerasan, sejumlah variabel kunci dicatat dalam database, termasuk: tanggal dan lokasi kejadian; dampak fisik terhadap manusia dan harta benda; pemicu dan bentuk kekerasan; aktor yang terlibat dan senjata yang digunakan; serta upaya penghentian kekerasan dan hasilnya. Saat ini portal data sedang dibangun sehingga nantinya database dapat diakses secara gratis oleh publik. Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini dipublikasikan oleh The Habibie Center secara berkala setiap 4 bulan sekali dengan tujuan menjelaskan tren dan pola baru yang muncul di provinsi sasaran program SNPK. Isi Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini merupakan pandangan tim SNPK-The Habibie Center.

Bagian 1. Pola dan Tren Kekerasan di Sembilan Provinsi Pada periode Mei-Agustus 2012 tercatat 2.344 insiden kekerasan yang mengakibatkan 291 tewas, 2.406 cedera, dan 272 bangunan rusak (Gambar 1).2 Beberapa insiden yang penting diperhatikan adalah bentrokan di Maluku dalam pawai Obor Pattimura yang mengakibatkan 49 cedera dan rangkaian bentrokan terkait sengketa tambang emas di Gunung Botak mengakibatkan 11 tewas dan 22 cedera. Insiden lain yang penting dicatat adalah beberapa perang suku di Papua yang mengakibatkan tujuh tewas dan 335 cedera. Di samping itu, sejumlah insiden terkait isu separatisme di Papua mengakibatkan 12 tewas, 26 cedera, dan 13 bangunan rusak.
Gambar 1. Insiden dan Dampak Kekerasan di Sembilan Provinsi (Januari-Agustus 2012)

isu identitas dan sumberdaya. Dibandingkan periode sebelumnya, pada periode ini jumlah insiden terkait isu identitas meningkat lebih dari dua kali lipat dan dampak tewas akibat kekerasan terkait isu sumber daya meningkat hampir empat kali lipat.

Gambar 2. Perbandingan Insiden dan Dampak Kekerasan di Sembilan Provinsi (Jan-Apr 2012 dan Mei-Agust 2012)
2.563
3000 2500 2000 1500 1000 500 0

2.135 696

2.344

2.406

314

325

291

157

272

800 700 600 500 400 300 200 100 0


Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus

Januari-April

Mei-Agustus

Total Insiden

Tewas

Cedera

Pemerkosaan

Bangunan Rusak

Data SNPK membagi jenis kekerasan menjadi empat kategori yaitu konflik kekerasan, kriminalitas, KDRT, dan kekerasan aparat (tabel 1). Pada periode ini kekerasan masih didominasi oleh insiden konflik (65%). Kondisi ini konsisten dengan periode sebelumnya. 1.a. Konflik Kekerasan Di Provinsi Papua, pada periode ini tercatat tujuh tewas, 335 cedera dan enam bangunan rusak akibat perang suku antara warga Kwamki Lama dan Kwamki Baru, Kabupaten Mimika. Fenomena perang suku di Mimika ini sudah berlangsung sejak lama. Data SNPK menunjukkan bahwa pada periode 1998-2011 terjadi 73 insiden perang suku di Mimika yang mengakibatkan 62 tewas, 849 cedera, dan 77 kerusakan bangunan. Perang suku di Papua diantaranya dipicu oleh ketersinggungan, balas dendam, dan perusakan properti milik salah satu pihak. Pemerintah daerah dan aparat keamanan tidak hanya mencoba untuk menghentikan insiden kekerasan tetapi juga telah berusaha membangun perdamaian dengan beberapa cara, misalnya mempertemukan pihak yang bertikai dalam upacara bakar batu dan patah panah.
2

Jumlah Insiden

Tewas

Cedera

Bangunan Rusak

Jika dibandingkan dengan periode sebelumnya, tidak terdapat variasi insiden dan dampak yang besar pada periode ini (Gambar 2). Akan tetapi terdapat variasi isu yang berkembang. Jika pada periode Januari-April 2012, isu yang menonjol adalah insiden terkait Pemilukada di NAD dan kasus sengketa tanah di Maluku maka yang penting diperhatikan pada periode Mei-Agustus adalah insiden kekerasan terkait
2 Data Januari-April yang disajikan dalam Gambar 1 lebih tinggi daripada data pada Catatan Kebijakan THC Edisi 01/Juli 2012 yang dipublikasikan pada 31 Juli 2012. Peningkatan 155 insiden, 12 tewas, 91 cedera dan 14 kerusakan bangunan terjadi karena pemutakhiran data yang dilakukan secara terus-menerus berdasarkan informasi baru dari lapangan.

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

The Habibie Center

Tabel 1. Insiden dan Dampak Kekerasan Menurut Jenis Kekerasan di Sembilan Provinsi (Mei-Agustus 2012)3
Jenis Kekerasan Konflik -Sumber Daya -Tata Kelola Pemerintahan -Politis -Separatisme -Identitas -Harga Diri -Main Hakim Sendiri -Tidak Jelas3 Kekerasan Aparat Kriminalitas KDRT Total Total Insiden 1.516 79 63 67 24 89 495 380 319 80 601 147 2.344 Tewas Cedera 192 23 0 0 12 15 61 41 40 16 53 30 291 1.958 81 50 38 26 540 555 426 242 79 274 95 2.406 Pemerkosaan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 136 21 157 Bangunan Rusak 261 39 28 19 13 36 38 53 35 0 9 2 272

KOTAK 2: Definisi Mengingat luasnya cakupan insiden kekerasan maka program SNPK menggunakan beberapa definisi penting untuk membedakan jenis kekerasan, yaitu: Konflik kekerasan adalah jenis kekerasan yang terjadi karena adanya sengketa yang melatarbelakangi atau diperselisihkan dan pihak tertentu yang menjadi sasaran. Definisi konflik kekerasan tersebut mencakup insiden-insiden berskala kecil yang hanya melibatkan beberapa individu dan/atau insiden besar antar-kelompok. Kriminalitas dengan kekerasan adalah insiden kekerasan yang terjadi tanpa adanya sengketa yang diperselisihkan sebelumnya dan target tertentu. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah seluruh tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anggota keluarga lainnya, di mana anggota keluarga tersebut tinggal satu atap/satu rumah, termasuk di dalamnya kekerasan yang dilakukan anggota keluarga terhadap pembantu rumah tangga. Kekerasan aparat adalah seluruh tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan formal dalam merespons tindak kriminalitas. Tindakan tersebut termasuk kekerasan yang dianggap sesuai dengan atau melebihi wewenang mereka.

Di Provinsi Maluku, insiden konflik kekerasan antar-agama yang menyita perhatian adalah bentrokan pada pawai Obor Pattimura pada 15 Mei 2012. Insiden ini mengakibatkan sedikitnya 49 cedera, tiga rumah, dan 10 kendaraan bermotor dibakar. Bentrokan tersebut menyebabkan ditundanya peresmian prasasti Deklarasi Ambon.4 Pecahnya insiden ini diperburuk dengan beredarnya pesan singkat (SMS) yang menyebutkan bahwa insiden lebih besar akan terjadi menjelang pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat Nasional XXIV di Kota Ambon. Insiden ini direspons tokoh-tokoh adat dan lintas-agama dengan menyampaikan himbauan dan mengirimkan SMS untuk meng-counter provokasi. Beberapa pihak berpendapat bahwa aparat terkesan lambat dalam merespons bentrokan. Ini terlihat dari tidak dihentikannya pembakaran rumahrumah di perbatasan Batumerah-Mardika. Di samping itu, upaya penangkapan pelaku tidak dilakukan meskipun polisi mengaku telah mengantongi identitas mereka. Sebagai wilayah pasca-konflik, Ambon rentan terhadap insiden kekerasan terkait isu antar-agama. Menurut data SNPK, setiap tahun sejak Perjanjian Malino II disepakati, selalu terjadi kekerasan terkait isu agama. Pada tahun 2011 terjadi 18 insiden kekerasan terkait isu antar-agama yang mengakibatkan 10 tewas dan 170 cedera. Data ini menunjukkan bahwa persoalan tersebut sangat penting diperhatikan untuk menghindari kemungkinan terjadinya insiden berskala besar di masa depan. Sebanyak 23 orang tewas akibat insiden kekerasan terkait isu sumber daya. Angka tewas ini meningkat tajam dibandingkan dengan periode sebelumnya (enam orang). Sebagian besar korban tewas berasal dari sengketa tambang emas di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku. Tambang emas ini dikelola oleh masyarakat meskipun belum mendapatkan izin dari pemerintah. Masyarakat memperebutkan hak atas wilayah tambang dan akses masuk lokasi pertambangan.
3 Sebanyak 319 (21%) insiden konflik kekerasan dikategorikan sebagai tidak jelas karena masalah yang diperselisihkan oleh kedua pihak tidak diketahui. Insiden-insiden dalam kelompok ini penting untuk dicatat karena jumlah dan dampaknya besar. 4 Deklarasi Ambon merupakan hasil pertemuan pemuda dunia untuk perdamaian dan harmoni pada 30 September-2 Oktober 2011, di Ambon, Maluku.

Pada Mei 2012 terjadi bentrokan yang mengakibatkan dua tewas dan delapan cedera. Aparat keamanan tidak tegas mengusut kasus tersebut sehingga kekerasan kembali terjadi pada awal Juli dengan dampak lebih besar, yaitu sembilan tewas dan 14 cedera. Meskipun Bupati Buru telah menutup tambang tersebut pada pertengahan Juli 2012, aktivitas penambang masih terus berlangsung hingga sekarang. Kekerasan lain pada kategori sumber daya adalah 31 insiden sengketa tanah yang mengakibatkan sembilan tewas, 16 cedera dan sembilan bangunan rusak. Pada periode ini, konflik kekerasan terkait sengketa tanah didominasi oleh sengketa antar kelompok masyarakat, misalnya sengketa batas desa dan batas lahan di NTT dan Maluku. Di samping itu, terdapat juga sengketa masyarakat dengan perusahaan tambang/perkebunan kelapa sawit, seperti persoalan ganti rugi dan penyerobotan tanah ulayat, misalnya di NAD dan Papua. Pada periode ini tercatat 55 insiden terkait Pemilukada yang sebagian besar (55%) terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sisanya terjadi di enam wilayah yang lain.5 Konflik kekerasan di NAD bisa dikategorikan menjadi dua. Pertama, kekerasan pasca-Pemilukada putaran pertama tingkat provinsi dan kabupaten/kota terjadi sebanyak 16 insiden mengakibatkan 11 cedera dan lima bangunan rusak.6 Insideninsiden dalam kategori ini diantaranya adalah pelemparan granat ke rumah Zakaria Saman (mantan Menteri Pertahanan GAM) dan pemukulan terhadap Irwandi Yusuf pada pelantikan Gubernur NAD pada Juni 2012. Kedua, kekerasan pada Pemilukada putaran kedua tingkat kabupaten/kota7 terjadi sebanyak 14 insiden yang mengakibatkan 11 cedera
5 Misalnya, empat insiden di Kota Singkawang-Kalimantan Barat, tiga insiden di Maluku Tengah-Maluku, empat insiden di Halmahera Tengah-Maluku Utara, dan dua insiden di Kabupaten Jayapura-Papua. 6 Pemilukada putaran pertama pada 9 April 2012 dimenangkan oleh pasangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf. Pemilukada putaran pertama tersebut mengalami empat kali penundaan karena konflik antar-elit, intimidasi dan kekerasan. Menurut Kompas.com, 14 April 2012, sejak Oktober 2011 sampai 10 Januari 2012 terjadi 14 insiden kekerasan yang mengakibatkan 12 tewas dan 14 cedera. Kekerasan terus berlanjut hingga pemungutan suara, yang mengakibatkan 48 cedera dan 14 bangunan rusak. Uraian lebih dalam terdapat pada Catatan Kebijakan THC Edisi 01/Juli 2012. 7 Di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Barat Daya, Nagan Raya dan Kota Sabang.
3

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

The Habibie Center

dan satu bangunan rusak. Insiden kekerasan pada putaran kedua ini diantaranya pembakaran posko Partai Aceh di Aceh Tamiang, pembakaran kendaraan milik calon walikota dari Partai Aceh di Kota Sabang. Insiden lain berupa bentrokan antara masyarakat dengan satgas Partai Aceh di Aceh Barat Daya dan di Nagan Raya. Di sisi lain, Pemilukada Provinsi DKI Jakarta berlangsung aman walaupun beberapa pihak sempat mengkhawatirkan akan terjadi kekerasan. Salah satu bentuk respons terhadap kekhawatiran tersebut adalah pengerahan 16.605 personel gabungan Polri dan TNI.8 Menurut Humas Polda Metro Jaya, pengerahan ribuan personel ini diantaranya untuk mengantisipasi potensi kekerasan bernuansa SARA, misalnya penjagaan ketat kawasan Pecinan Glodok (Jurnas. com, 19 September 2012). Respons tersebut muncul pada Pemilukada putaran kedua karena adanya politisasi isu SARA dan intimidasi. Insiden terkait isu separatisme di Provinsi Papua mengakibatkan 12 orang tewas dan 26 cedera. Dampak tersebut sebagian besar ditimbulkan oleh insiden penembakan oleh pihak separatis terhadap warga, PNS, dan aparat keamanan, serta penembakan oleh aparat keamanan terhadap pihak separatis di enam kabupaten/kota.9 Selain itu, terjadi kerusuhan di Kota Jayapura pada 4 Juni 2012 setelah aparat kepolisian termasuk Brimob membubarkan massa Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang hendak melakukan demonstrasi menuntut referendum. Massa KNPB menyerang sejumlah warga dengan senjata tajam hingga satu orang tewas dan enam orang luka-luka. Kerusuhan tersebut juga mengakibatkan puluhan rumah dan bangunan rusak. Kerusuhan dan penjarahan terjadi juga pada 14 Juni 2012 pasca-penembakan Wakil Ketua KNPB, Mako Tabuni. Insiden ini mengakibatkan lima warga cedera serta puluhan kendaraan dan bangunan terbakar. Insiden kekerasan ini bukan merupakan hal yang baru. Data SNPK menunjukkan bahwa pada periode 1998-2011 telah terjadi 215 insiden kekerasan yang mengakibatkan 258 tewas, 641 cedera, dan 104 kerusakan bangunan. Bentrokan antara warga Indonesia dan Timor Leste terkait Zona Netral di perbatasan kedua negara. Bentrokan tersebut terjadi pada 31 Juli 2012 di perbatasan Kecamatan Bikomi Nilulat, Kabupaten Timor Tengah Utara, dengan Distrik Oekusi karena adanya dugaan penyerobotan lahan di zona netral/damai oleh pemerintah Timor Leste.10 Selama ini di wilayah tersebut terdapat aktivitas pertanian masyarakat kedua negara. Bentrokan dipicu oleh pembangunan kantor imigrasi dan bea cukai Timor Leste yang menjorok hingga 20 meter ke wilayah Indonesia (Kompas.com, 26 Juli 2012). Sebagai upaya penyelesaian sengketa tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengirim Tim 1711 yang akan menyampaikan
8 Personel tersebut terdiri dari anggota gabungan Polda 4.427, gabungan Polres sebanyak 7.397, BKO Korp Brimob Polri 2.100, BKO Gabungan staf Mabes Polri 505, dan BKO TNI Kodam Jaya 2.200 (Tempo.co, 12 September 2012). 9 Hampir 50% insiden tersebut terjadi di Kota Jayapura, sementara sisanya menyebar di Kabupaten Deiyai, Keerom, Kepulauan Yapen, Paniai, dan Puncak Jaya. 10 Di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste masih terdapat wilayah yang disengketakan (unresolved dan unsurveyed segment), termasuk di dalamnya zona netral yang ditetapkan pada Technical Subcommittee Border Demarcation Regulation (TSC/BDR) ke-21 di Bandung (3-4 Juli 2008) dan TSC/BDR ke-22 di Dili pada 27-29 Mei 2009 (www.tni.mil.id), 15 Agustus 2012). Konflik ini sudah berlangsung sejak lama dan upaya penyelesaian konflik sudah pernah dilakukan. Pascabentrokan pada November 2011 diadakan penyelesaian secara adat oleh pemerintah Kabupaten Timor Tengah Utara, Danrem 161 Wirasakti Kupang dan Pemerintah Distrik Oekusi, Timor Leste (Kompas.com, 5 Agustus 2012). 11 Tim ini terdiri dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Bakorsurtanal, Markas Besar TNI dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan.

laporan kepada presiden untuk dibahas pada pertemuan bilateral kedua negara. Penyerangan oleh oknum aparat terhadap masyarakat sipil di Papua dan Maluku. Di Wamena, Papua, pada 6 Juni 2012, sekelompok oknum anggota TNI melakukan penyerangan dan perusakan sebagai balasan atas tewasnya dua rekan mereka oleh warga. Insiden tersebut mengakibatkan satu tewas, tujuh cedera, dan 16 rumah, dan satu kantor desa dibakar. Di Teluk Ambon, Maluku, pada 16 Juni 2012, sekelompok oknum anggota TNI membakar dan merusak belasan rumah warga untuk mencari pelaku penikaman dalam perkelahian yang menewaskan salah satu rekan mereka. Dalam kedua insiden tersebut terlihat bahwa para oknum anggota TNI tidak memilih jalur hukum, tetapi melakukan kekerasan yang terkesan sebagai upaya balas dendam. Penganiayaan oleh seorang kepala sekolah mengakibatkan 90 siswa sekolah dasar (SD) cedera di NTT. Insiden ini terjadi pada 6 Mei 2012 di SD Inpres Moklain, Kecamatan Rote Tengah, Rote Ndao. Penganiayaan ini berawal dari perintah kepala sekolah kepada murid-muridnya agar membawa air untuk mengisi bak air toilet sekolah. Menjumpai bak air tidak terisi penuh, kepala sekolah tersebut marah dan memukuli siswa kelas satu sampai enam saat upacara pagi. Hampir seluruh korban harus dibawa ke Puskesmas terdekat untuk mendapatkan pengobatan, dua diantaranya mengalami cedera serius sehingga harus dirawat. Puluhan orang tua korban yang mendatangi sekolah dapat ditenangkan oleh seorang tokoh masyarakat sehingga insiden yang lebih besar tidak terjadi. Pelaku diamankan polisi kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Database SNPK juga mencatat insiden penganiayaan, pengeroyokan atau bentrokan/tawuran antar-pelajar. Pada periode Mei-Agustus tercatat 63 insiden yang mengakibatkan sembilan tewas dan 51 cedera. Sebagian besar insiden (48%) dan korban tewas (78%) terjadi di Jabodetabek. Kekerasan pelajar menjadi perhatian berbagai pihak karena selalu berulang dan jumlah korban cenderung meningkat. Fenomena ini akan dibahas lebih dalam pada bagian dua kajian ini. 1.b. Kriminalitas, KDRT, dan Kekerasan Aparat Pada periode Mei-Agustus 2012, insiden kriminalitas tercatat sebanyak 601, turun 18% dibandingkan periode sebelumnya. Insiden kriminalitas didominasi oleh perampokan (57%), yang mengakibatkan 27 tewas dan 206 cedera. Mayoritas insiden perampokan terjadi di Jabodetabek dan 23% diantaranya menggunakan senjata api organik atau rakitan. Hal ini mengindikasikan bahwa senjata api masih marak digunakan. Dalam kategori kriminalitas juga tercatat 136 korban pemerkosaan, terdiri dari 134 perempuan dan dua anak-anak. Pada periode Mei-Agustus 2012, database SNPK mencatat 147 insiden KDRT yang menyebabkan 30 tewas, terdiri dari 14 perempuan, tiga laki-laki, dan 13 anak-anak. Disamping itu, insiden KDRT juga mengakibatkan 95 korban cedera dan 21 korban pemerkosaan. Data KDRT yang tersaji dalam database SNPK pada hakikatnya menunjukkan fenomena puncak gunung es. Hal ini antara lain disebabkan korban enggan melapor, tidak dapat melapor, atau lembaga layanan tidak tersedia untuk menerima pelaporan (Catahu Komnas Perempuan 2011).12
12 Sesuai dengan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sepanjang tahun 2011 Komnas Perempuan mencatat 113.878 kasus KDRT: 91% kekerasan psikis, 3,6% kekerasan fisik dan seksual, 3% kekerasan ekonomi, dan 1,2% kekerasan lainnya.
4

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

The Habibie Center

Terkait kekerasan aparat, data SNPK mencatat 80 insiden yang mengakibatkan 16 tewas dan 79 cedera.13 Data tersebut menunjukkan penurunan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Total korban tewas dalam kategori ini terjadi karena penggunaan senjata api, misalnya baku tembak antara polisi dengan kelompok perampok dan sindikat pembuat senjata rakitan, atau pelaku kejahatan melawan dengan mencoba merebut senjata aparat. Sementara itu, tercatat juga insiden penganiayaan terhadap tahanan, penembakan terhadap pencuri yang diminta menunjukkan persembunyian kawanannya, atau penembakan terhadap pelaku perampokan yang berusaha kabur dalam beberapa kasus penyergapan.14 2. Kekerasan dalam Dunia Pelajar Gambaran Umum Kekerasan dalam dunia pelajar kembali menjadi sorotan akibat beberapa kasus yang terjadi akhir-akhir ini. Kekerasan tersebut terjadi di tingkat sekolah menengah dan perguruan tinggi. Misalnya, pada 24 September 2012, tawuran terjadi antara pelajar SMA 6 dan SMA 70 Jakarta. Dua hari kemudian, tawuran juga terjadi antara pelajar SMK Kartika Zeni dan SMK Yayasan Karya 66 Jakarta. Kedua insiden ini mengakibatkan dua pelajar tewas. Di tingkat perguruan tinggi, dua mahasiswa tewas dan delapan lainnya luka-luka akibat tawuran di Universitas Negeri Makassar (UNM) pada 11 Oktober 2012. Selain itu, kekerasan juga terjadi dalam bentuk perundungan (bullying)15 pada masa orientasi bagi pelajar baru. Pada pertengahan Juli 2012, misalnya, kasus perundungan mengakibatkan 14 pelajar SMA 3 Semarang dan lima pelajar SMA Don Bosco Jakarta cedera. Pada kejadian lain, seorang mahasiswa baru Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Banten tewas karena dihantam dengan pelat keras oleh seniornya. Kekerasan pelajar menjadi penting untuk diperhatikan karena terjadi di dunia pendidikan yang bertujuan menyiapkan generasi muda terdidik. Di sisi lain, kekerasan ini dapat menimpa siapa pun. Misalnya, ada pelajar yang menjadi korban pengeroyokan hanya karena memakai seragam sekolah tertentu. Dalam kasus lain, ada pelajar yang menjadi korban pelampiasan kekerasan karena pelaku tidak menemukan lawan yang disasar. Banyak dari korban kekerasan mengalami cedera berat atau cacat permanen. Selain itu, kekerasan juga mengakibatkan terganggunya proses belajar mengajar karena penutupan sementara sekolah-sekolah yang terlibat kekerasan. Dampak psikologis juga menimpa para korban karena pengalaman traumatis mereka setelah mengalami kekerasan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan rasa aman, banyak pelajar mengganti seragam atau harus bergerombol saat berangkat dan pulang sekolah. Fenomena kekerasan pelajar ini selanjutnya akan diuraikan berdasarkan analisis terhadap data SNPK, wawancara dengan berbagai pihak terkait, dan studi pustaka.
13 Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyebutkan dugaan kekerasan oleh oknum polisi di 22 Kepolisian Daerah (Polda) dalam proses penangkapan maupun interogasi. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga menyebutkan setidaknya terdapat 23 kasus kekerasan dan tindak pidana lain yang diduga dilakukan oknum polisi di beberapa wilayah selama tahun 2011 (Kompas.com, 8 Oktober 2012). 14 Wewenang polisi telah diatur dalam Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Prosedur Tetap Kepala Kepolisian RI No.1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarki. 15 Perundungan adalah suatu tindakan dengan menggunakan kekuatan atau kekuasaan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang baik secara verbal, fisik, maupun psikologis, sehingga membuat korban merasa tertekan, takut dan tak berdaya (Yayasan Sejiwa, 2005).

Kasus kekerasan pelajar adalah fenomena yang telah terjadi sejak lama. Data SNPK di sembilan provinsi menunjukkan dalam delapan tahun terakhir (2005-2012) telah terjadi 1.303 insiden kekerasan antar-pelajar yang mengakibatkan 100 tewas dan 1.286 cedera.16 Jika melihat tren insiden dan dampaknya (Gambar 3), maka kekerasan ini seakan telah melekat pada dunia pendidikan.
Gambar 3. Kekerasan Pelajar di Sembilan Provinsi Periode Januari 2005-Agustus 2012
250

200

150

100

50

0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Jan-Agust 2012

Total Insiden

Tewas

Cedera

Bentuk kekerasan pelajar yang paling dominan adalah penganiayaan dan pengeroyokan (51%) serta bentrokan/ tawuran (27%), seperti yang terlihat pada Gambar 4. Penganiayaan tidak hanya terjadi karena ada persoalan antara korban dan pelaku, tetapi dapat juga menimpa korban yang sama sekali tidak memiliki persoalan dengan pelaku. Misalnya, pelajar SMK 39 Jakarta tewas ditusuk pelajar lain sebagai pelampiasan karena pelaku tidak menemukan musuh yang ditunggu. Penganiayaan juga dapat memicu kekerasan yang lebih besar. Tawuran antara mahasiswa Fakultas Hukum (FH) dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Tanjung Pura, Kota Pontianak, dipicu oleh penganiayaan terhadap salah satu mahasiswa FKIP sehari sebelumnya. Sentimen kelompok atau identitas sering kali dipakai untuk memobilisasi pelajar lain hingga tawuran berpotensi mengakibatkan dampak per insiden yang besar.
Gambar 4. Bentuk dan Dampak Kekerasan Pelajar di Sembilan Provinsi (Januari 2005-Agustus 2012) Penganiayaan dan Pengeroyokan Bentrokan Perkelahian Lainnya 0 Lainnya Total Insiden Tewas Cedera Bangunan Rusak 97 1 24 17 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600

Perkelahian 194 12 155 5

Bentrokan 347 32 368 59

Penganiayaan dan Pengeroyokan 665 55 739 19

Kekerasan pelajar merupakan fenomena perkotaan. Berdasarkan data SNPK tahun 2005-2012, 71% kekerasan pelajar terjadi di wilayah perkotaan. Sebagian besar insiden terjadi di Jabodetabek. Sisanya menyebar di kota-kota di provinsi yang lain, misalnya Kupang-NTT PontianakKalimantan Barat, Ambon-Maluku, dan Jayapura-Papua. Hal ini dapat terjadi karena kompleksnya persoalan di wilayah perkotaan.17
16 Misalnya, pihak kepolisian mencatat delapan insiden perkelahian massal pelajar yang mengakibatkan enam tewas di DKI Jakarta pada tahun 1989 (M. Mustofa dalam Jurnal Masyarakat No.7/2000). 17 Menurut Hendricus Simarmata, ahli perencanaan perkotaan
5

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

The Habibie Center

Pemicu dan Pendorong Kekerasan antar-Pelajar Identitas kerap menjadi pemicu terjadinya kekerasan di kalangan pelajar. Menurut Karina Adistiana, Psikolog UI (wawancara, 2 Oktober 2012), pelajar berada dalam usia yang sedang mengeksplorasi diri. Dalam tahap eksplorasi tersebut, tekanan teman sebaya (peer pressure) menjadi bagian yang berpengaruh sehingga pelajar lebih cenderung mendengar pendapat dari teman sebaya dari pada orang tua/guru. Selain itu, agar diterima sebagai anggota sebuah kelompok, bahkan tidak jarang para pelajar masuk ke dalam kelompok/geng kekerasan yang terdapat di sekolah/kampus mereka. Dalam upaya menanamkan dan memperkuat identitas kelompok, para senior sering memanfaatkan masa orientasi untuk merekrut pelajar yang potensial menjadi anggota kelompok/geng mereka. Perekrutan tersebut mempertimbangkan aspek fisik dan gaya/penampilan pelajar baru. Pelajar yang menolak bergabung mengalami berbagai tekanan, mulai tindakan intimidasi atau ancaman secara psikis hingga kekerasan fisik. Proses penanaman identitas ini akhirnya membangun solidaritas di antara anggota sehingga mereka bangga menjadi bagian kelompok kekerasan. Beberapa pelajar mengaku menggunakan kekerasan/ tawuran sebagai cara untuk menjaga nama besar sekolah/ kampus dan mendapatkan penghormatan dari orang di luar kelompok (wawancara, 2 Oktober 2012). Kekerasan pelajar juga terkait dengan beberapa hal lain. Pertama, balas dendam dan ketersinggungan. Kedua, kebanggaan berlebihan atas almamater dan rivalitas antarinstitusi pendidikan. Persoalan rivalitas antar-sekolah/kampus mengakibatkan pelajar mudah dimobilisasi untuk melakukan kekerasan terhadap lawannya. Ketiga, ketidakpuasan atas proses pergantian pimpinan di lingkungan institusi pendidikan, seperti bentrokan antara mahasiswa yang menentang dan mendukung pelantikan Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara. Keempat, dampak hubungan asimetris antara junior dan senior, misalnya di dalam masa orientasi yang berujung pada perundungan. Kekerasan yang dialami pelajar di masa orientasi berpotensi terjadi lagi karena korban cenderung melakukan kekerasan serupa di masa depan (Ulfah M. & Mira A.R. dalam Jurnal Psikohumanika No.II/2009). Faktor-faktor yang Memperburuk Kekerasan Pelajar Lemahnya pemantauan/pengawasan sekolah. Pihak sekolah sebenarnya memiliki peran pembinaan terhadap pelajar berdasarkan Permendiknas No. 39 Tahun 2008, yang salah satu isinya berkaitan dengan pembinaan budi pekerti atau akhlak mulia. Namun, implementasi Permendiknas tersebut belum terlihat dalam pembinaan pelajar. Sejauh ini, kegiatan-kegiatan pelajar belum berisi materi-materi yang sensitif kekerasan. Di sisi lain, lemahnya pengawasan juga terlihat pada tidak efektifnya pelaksanaan tata tertib sekolah/ kampus sehingga pelaku kekerasan terkesan dibiarkan tanpa hukuman/pembinaan, seperti penuturan seorang mantan
Universitas Indonesia (wawancara, 3 Oktober 2012), pesatnya laju urbanisasi memicu berkurangnya ruang publik di kota-kota besar. Padahal ruang publik bisa menjadi landasan kehidupan sosial perkotaan yang lebih beradab (Shaftoe, 2008). Kebijakan tentang tata ruang kota sebenarnya telah diatur, misalnya dalam UU No. 26 Tahun 2007. Akan tetapi, penataan ruang belum memperhatikan pemberdayaan sosial masyarakat. Sejauh ini pemerintah juga telah menciptakan wacana Kota Layak Anak melalui Permeneg PP dan PA No.11 Tahun 2011. Peraturan tersebut bertujuan untuk mentransformasikan hak-hak anak ke dalam kebijakan dan program pemerintah, misalnya membangun ruang berekspresi/ruang komunitas, tempat bermain dan berkreasi, serta lingkungan sekolah yang ramah dengan rute transportasi yang aman.

pelaku tawuran (wawancara, 2 Oktober 2012) bahwa selama ikut tawuran, pihak sekolah tidak pernah memberikan sanksi, apalagi mengeluarkan saya dan teman-teman. Pihak sekolah/kampus belum melakukan pemantauan kasuskasus kekerasan pelajar melalui pendataan yang sistematis. Padahal, data tersebut bisa digunakan untuk melacak pelaku dan korban, dampak serta motif kekerasan. Data ini bisa juga menjadi basis bagi proses konseling sehingga penyelesaian kasus kekerasan secara komprehensif bisa dilakukan. Tidak memadainya mekanisme pelaporan insiden kekerasan dan fasilitas konseling di sekolah untuk korban kekerasan. Meskipun tersedia, fasilitas konseling lebih ditujukan untuk menangani pelajar yang melanggar aturan. Tak jarang, pelajar menganggap konselor sebagai musuh dan cenderung menjaga jarak dengan mereka. Di sisi lain, korban kekerasan di sekolah/kampus enggan melapor kepada konselor karena merasa tidak aman dari ancaman pelaku kekerasan. Korban cenderung menceritakan kekerasan yang mereka alami kepada teman-teman terdekat. Kadang kala mereka juga tidak tahu bagaimana dan kepada siapa melaporkan kekerasan tersebut. Lemahnya pengawasan Dinas/Kementerian Pendidikan terhadap sekolah. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan untuk mengawasi, mengevaluasi secara berkala, dan memberikan sanksi kepada sekolah. Akan tetapi, hal tersebut lebih dititikberatkan pada aspek manajerial dan akademis. Kemampuan sekolah menangani kekerasan pelajar tidak menjadi salah satu bahan evaluasi padahal sekolah juga harus bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan tersebut. Dikedepankannya pengembangan aspek kognitif dalam kurikulum pendidikan nasional dengan mengabaikan aspek afektif. Keberhasilan proses pendidikan yang dititikberatkan pada nilai atau angka mendorong pihak sekolah, pengajar, dan pelajar untuk berlomba-lomba mencapai tingkat kelulusan dengan mengejar nilai. Orientasi pada sisi kognitif menegasikan hakikat pendidikan yang menjadi alat pembudayaan masyarakat seperti tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Orientasi tersebut membuat aspek afektif terabaikan. Padahal aspek ini dapat membantu pelajar mengembangkan sikap, mental, dan kepribadian yang positif. Akibatnya, beban pelajaran semakin berat ditanggung pelajar. Kondisi ini memicu rasa frustasi sebagian pelajar sehingga melakukan kekerasan, seperti dikatakan seorang mantan pelaku kekerasan, tawuran buat kita menjadi pelepas stres, apalagi setelah selesai ujian (wawancara, 2 Oktober 2012). Lambatnya penanganan aparat keamanan terhadap kekerasan pelajar. Data SNPK periode 2005-2012 menunjukkan bahwa aparat kepolisian melakukan intervensi pada setengah dari total 347 kasus bentrokan/tawuran. Sebesar 91% dari upaya intervensi tersebut berhasil menghentikan kekerasan. Ini mengindikasikan bahwa aparat keamanan mampu menghentikan kekerasan jika mereka tanggap dan tegas dalam melakukan penanganan. Akan tetapi, aparat keamanan terkesan lamban dan hanya bertindak reaktif dalam menangani kekerasan pelajar tersebut. Misalnya, keberadaan aparat kepolisian dalam jumlah besar justru terlihat pasca-tawuran SMA 6 dan SMA 70 akhir September silam. Seorang warga (wawancara, 4 Oktober 2012) mempertanyakan kenapa baru sekarang banyak polisi datang? Warga dan pedagang sudah biasa melihat anak-anak berantem di sini tapi polisi jarang ada. Contoh lainnya adalah tawuran antara mahasiswa UKI dan YAI di Jakarta pada Mei 2012 (Kompas.com, 15 Mei 2012). Meskipun lokasi tawuran tersebut tidak jauh dari pos polisi
6

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

The Habibie Center

di Jalan Diponegoro, aparat keamanan baru datang setelah tawuran berlangsung selama hampir satu jam. Lemahnya sanksi bagi pelaku kekerasan pelajar. Misalnya, pada insiden tawuran SMA 6 dan SMA 70 pada Mei 2012, aparat hanya mendata dan mendatangkan orang tua pelaku. Padahal insiden tersebut mengakibatkan lima pelajar luka-luka (Merdeka.com, 29 Mei 2012).18 Aparat juga tidak bertindak tegas terhadap pelaku tawuran setahun sebelumnya yang menyebabkan beberapa pelajar luka berat karena adanya kesepakatan antara kedua sekolah. Sebenarnya, terdapat aturan hukum pidana yang bisa diterapkan kepada pelajar dalam kategori dewasa (18 Tahun). Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA, pasal 80) juga memungkinkan penerapan sanksi pidana bagi pelajar dalam kategori anak (18 Tahun) dengan mempertimbangkan proses mediasi antara pelaku dan korban. Di sisi lain, Undang-undang Sistem Peradilan Anak juga memungkinkan upaya penyelesaian di luar jalur peradilan (diversi). Pada tataran tertentu, mediasi atau diversi memang dapat menjadi pertimbangan penting dalam penyelesaian kasus kekerasan pelajar (anak). Akan tetapi, ketika pihak yang terlibat tawuran selalu sama maka perlu dipertimbangkan penerapan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan hukum. Walau demikian, pelajar yang terkena sanksi pidana atau dikeluarkan dari sekolah tetap harus mendapatkan pembinaan agar tidak terjerumus dalam kekerasan yang lebih besar. Lemahnya peran orang tua/keluarga mengawasi keterlibatan pelajar dalam aksi kekerasan. Orang tua dianggap tidak cukup memberikan perhatian dan cenderung menyerahkan pengawasan anak mereka kepada sekolah, padahal sekolah memiliki keterbatasan dalam memantau seluruh aktivitas pelajar. Salah satu orang tua pelajar yang anaknya diduga terlibat kekerasan (wawancara, 22 Oktober 2012) mengungkapkan keterkejutannya atas penangkapan anaknya oleh pihak kepolisian. Orang tua sering menyalahkan sekolah dan kelompok pelajar ketika anaknya terlibat dalam kekerasan. Maraknya tayangan kekerasan di media. Tayangan berisi kekerasan di media dipercaya beberapa kalangan dapat menciptakan pandangan bahwa kekerasan dianggap sebagai norma umum dalam menyikapi perbedaan.19 Berdasarkan Laporan Pengawasan KPI periode Januari-September 2012, terdapat 192 pengaduan masyarakat terkait tayangan TV yang bernuansa kekerasan. Ini menunjukkan bahwa anggota masyarakat juga prihatin terhadap banyaknya tayangan kekerasan. Menurut pihak KPI (wawancara, 19 Oktober 2012), tayangan berulang-ulang atas suatu insiden kekerasan dapat membuat kesan bahwa kekerasan merupakan hal biasa di Indonesia. Kurangnya penyelesaian yang komprehensif dan terpadu. Penyelesaian kekerasan pelajar cenderung dilakukan kasus per kasus. Upaya mediasi, kegiatan bersama antara sekolah/ kampus yang saling berseteru, deklarasi perdamaian, serta pembinaan lewat lokakarya/seminar memang dibutuhkan, namun terkesan hanya bersifat seremonial karena tidak membicarakan akar masalah kekerasan. Penyelesaian kekerasan dan rivalitas dengan melebur sekolah yang
18 Insiden kekerasan lain yang tidak mendapatkan sanksi hukum diantaranya adalah tawuran mahasiwa Fakultas Teknik dengan Fakultas Seni dan Rupa Universitas Negeri Makassar, Juni 2012, yang mengakibatkan beberapa mahasiswa cedera dan motor rusak. Aparat tidak melakukan penangkapan padahal ada pelaku yang menggunakan senjata api rakitan dalam insiden tersebut (Metrotvnews.com, 18 Juni 2012). Selanjutnya, aparat juga tidak menangkap pelaku tawuran antara mahasiswa UKI dan YAI di Jakarta pada 17 Oktober 2012 (Kompas.com, 17 Oktober 2012). 19 Meskipun demikian, para pakar komunikasi masih belum sepakat tentang pengaruh media terhadap perilaku kekerasan.

bertikai atau menghapus program/jurusan bukanlah solusi yang efektif karena cenderung merugikan pelajar yang tidak terlibat.20 Rencana relokasi untuk mengatasi persoalan rivalitas terkesan sebagai cara instan untuk menghentikan kekerasan tanpa memperhitungkan dampak jangka panjang terhadap proses pendidikan. Upaya menggali akar masalah kekerasan pelajar pernah dilakukan dengan membentuk kelompok kerja (Pokja) penanggulangan kekerasan di bawah Direktorat Kesiswaan Kementerian Pendidikan tahun 1999-2000. Sayangnya, upaya tersebut hanya berlangsung singkat. Saat ini, Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membentuk tim khusus untuk merespons maraknya insiden kekerasan. Diharapkan tim ini dapat menggali akar masalah kekerasan pelajar dan merumuskan solusi menyeluruh untuk mengatasi persoalan tersebut. Rekomendasi Untuk merespons fenomena kekerasan pelajar ini, kami mengajukan beberapa rekomendasi yang perlu dipertimbangkan oleh berbagai pihak terkait. Jangka Pendek Pihak sekolah/kampus sebaiknya segera menciptakan masa orientasi yang bebas dari kekerasan dan upaya kaderisasi kelompok/geng, serta membubarkan kelompok/geng yang ada. Hal ini bisa dilakukan dengan mengawasi kegiatan orientasi pelajar baru maupun aktivitas kelompok/geng pelajar. Pihak sekolah/ kampus harus melaksanakan peraturan dengan tegas atau membuat peraturan jika memang belum tersedia terkait tindak atau kelompok kekerasan. Peraturan ini dapat membuat pelajar baru enggan bergabung dalam kelompok/geng. Partisipasi pelajar penting dalam penyusunan peraturan tersebut. Pihak sekolah/kampus sebaiknya menyediakan fasilitas konseling dan pengaduan tindak kekerasan yang memadai serta didukung dengan sumber daya yang profesional. Pihak sekolah/kampus sebaiknya memulai proses pengikisan rivalitas dengan melakukan dialog atau kegiatan bersama (joint activities) antara kelompok pelajar secara rutin dengan format yang lebih nyaman bagi semua pihak dan tidak bersifat elitis. Pihak sekolah/kampus sebaiknya bekerja sama dengan aparat kepolisian dan masyarakat sekitar dalam membangun sistem keamanan dan pengawasan terpadu. Hal ini dapat diwujudkan dengan melakukan patroli ke tempat-tempat berkumpul pelajar dan titik-titik rawan kekerasan. Kementerian/lembaga pemerintah yang berhubungan dengan pendidikan dan pengembangan anak/pemuda sebaiknya melakukan sinergi dan koordinasi dalam merumuskan kebijakan strategis dan menyeluruh terkait fenomena kekerasan pelajar. Koordinasi ini dapat difasilitasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebaiknya segera mengeluarkan peraturan penanganan kasus kekerasan di institusi pendidikan. Peraturan ini

20 SMA 70 Jakarta merupakan peleburan antara SMA 9 dan SMA 11 di tahun 1980-an karena para siswa kedua sekolah tersebut sering terlibat perkelahian. Peleburan berhasil menghilangkan permusuhan di antara mereka. Akan tetapi, setelah peleburan SMA 70 justru sering terlibat tawuran dengan SMA 6 Jakarta.
7

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

The Habibie Center

diharapkan bisa menindak tegas pelaku dan melindungi korban kekerasan serta memiliki instrumen untuk memberikan sanksi kepada institusi pendidikan yang terkait kekerasan. Pihak kepolisian dituntut lebih proaktif dalam aspek pengamanan fasilitas transportasi yang selama ini kerap menjadi lokasi kekerasan. Hal ini bisa dilakukan dengan penambahan personil kepolisian dalam penjagaan pada waktu pulang-pergi di jalur-jalur transportasi sekolah/ kampus. Di samping itu, pihak kepolisian juga dituntut tegas dalam menindak para pelaku kekerasan dengan mempertimbangkan hak-hak anak. Pihak keluarga (orang tua) juga harus melakukan pengawasan terhadap kegiatan dan perilaku anak mereka. Pengawasan ini bisa dilakukan mulai di level keluarga (rumah) dan bersinergi dengan sekolah/ kampus. Komunikasi secara intensif antara orang tua dan sekolah perlu ditingkatkan agar kedua pihak mengetahui perkembangan pelajar, baik di dalam maupun di luar sekolah. Media massa sebaiknya melakukan self-censorship dalam menampilkan berita dan memilih tayangan lainnya, tidak menampilkan kekerasan secara vulgar, serta mempertimbangkan waktu penayangan. Jangka Menengah Sekolah/kampus dituntut untuk memfasilitasi kegiatankegiatan ekstrakurikuler dengan kualitas lebih baik, menarik untuk diikuti, dan mempertimbangkan kebutuhan pelajar, terutama untuk memenuhi kebutuhan afeksi pelajar yang kurang diperhatikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebaiknya sesegera mungkin merumuskan sistem pendidikan yang proporsional, baik dari aspek kognitif maupun afektif, sesuai masukan dari berbagai pihak, misalnya budayawan, ilmuwan, pakar pendidikan, dan tokoh agama. Pihak Kementerian sebaiknya mengevaluasi beban pelajaran secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan akademik dan pengembangan diri pelajar. Pemerintah pusat dan daerah wajib memberikan dukungan infrastruktur yang sensitif terhadap proses pendidikan. Keberadaan ruang-ruang publik, khususnya di kota-kota besar, harus direalisasikan sesuai dengan standar dan kebutuhan pelajar. Pemerintah juga harus -

menyediakan transportasi yang aman dan nyaman untuk para pelajar. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menggalakkan dan mendorong percepatan implementasi kebijakan Kota Layak Anak. Pihak-pihak terkait, seperti masyarakat sipil, praktisi pendidikan, pemerhati masalah anak juga harus proaktif dalam menyebarkan gagasan anti-kekerasan, misalnya melalui lokakarya/seminar, advokasi ke sekolah/kampus, serta bekerja sama dengan media massa. Jangka Panjang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebaiknya mulai mempertimbangkan untuk memperkuat pendidikan karakter (character building) dalam kurikulum dan implementasinya. Prinsip-prinsip multikulturalisme, anti-diskriminasi, dan penghargaan terhadap HAM dalam pendidikan karakter tersebut perlu lebih ditekankan untuk mengikis perilaku kekerasan sehingga tercipta generasi yang toleran dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
-oooOooo-

Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini dipublikasikan oleh The Habibie Center secara berkala setiap 4 bulan sekali dengan tujuan menjelaskan tren dan pola baru yang muncul di provinsi sasaran program SNPK. Isi Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini merupakan pandangan tim SNPK-The Habibie Center. Jika memerlukan informasi lebih lanjut silakan hubungi nvms@habibiecenter.or.id. Edisi berikutnya akan menganalisis data JanuariDesember 2012 dan terbit pada bulan Februari 2013.

The Habibie Center didirikan oleh Bacharuddin Jusuf Habibie dan keluarga sebagai organisasi independen, non-pemerintah dan non-profit sejak tahun 1999. Visi The Habibie Center adalah menciptakan masyarakat demokratis secara struktural berdasarkan moralitas dan integritas nilai-nilai budaya dan agama. Misi The Habibie Center adalah pertama, untuk mendirikan masyarakat demokratis secara struktural dan kultural yang mengakui, menghormati dan mempromosikan hak asasi manusia, melakukan studi dan advokasi isu-isu tentang perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia dan kedua, untuk meningkatkan manajemen sumber daya manusia yang efektif dan sosialisasi teknologi.

The Habibie Center Jl. Kemang Selatan no.98 Jakarta Selatan 12560, Indonesia Telp. 62 21 780 8125 / 62 21 781 7211 Fax. 62 21 780 8125/62 21 781 7212 | E-mail: nvms@habibiecenter.or.id www.habibiecenter.or.id
facebook.com/habibiecenter
@habibiecenter 8

You might also like