You are on page 1of 32

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Tidur adalah suatu proses fundamental yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Manusia dewasa memerlukan tidur rata-rata 6-8 jam/hari. Tidur terdiri dari stage nonrapid eye movement sleep (NREM) dan stage rapid eye movement sleep (REM). Lebih dari separuh tidur total adalah fase NREM sedangkan 20-35% adalah fase REM. Gangguan tidur sering terjadi pada fase REM.1 Bentuk gangguan tidur yang paling sering ditemukan adalah sleep apnea (henti nafas pada waktu tidur), dan gejala yang paling sering timbul pada sleep apnea adalah mendengkur.3 Mendengkur Mendengkur merupakan masalah yang sosial dan masalah kesehatan. tidur,

merupakan

masalah

mengganggu

pasangan

menyebabkan terganggunya pergaulan, menurunnya produktivitas, peningkatan risiko kecelakaan lalu lintas dan peningkatan biaya kesehatan pada penderita OSA. Pendengkur berat lebih mudah menderita hipertensi, stroke dan penyakit jantung dibandingkan orang yang tidak mendengkur dengan umur dan berat badan yang sama.3 Menurut studi yang ada, mendengkur dan OSA meningkatkan risiko hipertensi dua hingga tiga kali, serta meningkatkan risiko dua kali lipat penyakit koroner atau serangan jantung. Pendengkur dan penderita OSA juga berisiko terserang stroke dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak dengan OSA dan mendengkur.1

Mendengkur dan OSA umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama pria, usia pertengahan, dan obesitas. Sekitar 50 juta orang Amerika tidur mendengkur, dan 20 juta orang Amerika menderita sleep apnea syndrom. Hal ini bertanggung jawab terhadap peningkatan keluhan dari pasangan dan yang lebih penting membawa peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan kematian dini.3 I.2 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,

patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, komplikasi dan terapi dari obstructive sleep apnea. 1.3 Metode Penulisan Referat ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada beberapa literatur.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah keadaan apnea (penghentian aliran udara selama 10 detik atau lebih sehingga menyebabkan penurunan saturasi oksigen 2-4%) dan hipopnea (pengurangan aliran udara >30% untuk minimal 10 detik dengan desaturasi oksihemoglobin >4% atau pengurangan dalam aliran udara >50% untuk 10 detik dengan desaturasi oksihemoglobin >3%) ada sumbatan total atau sebagian jalan napas atas yang terjadi secara berulang pada saat tidur selama non-REM atau REM sehingga menyebabkan aliran udara ke paru menjadi terhambat. Sumbatan ini menyebabkan pasien menjadi terbangun saat tidur atau terjadi peralihan ke tahap tidur yang lebih awal.1,3 Obstructive Sleep Apnea merupakan bagian dari sindrom henti nafas. Sindrom henti napas saat tidur dibagi menjadi 3 tipe yaitu tipe sentral, tipe obstruksi dan tipe campuran. Pada tipe sentral terjadi aliran udara ini disebabkan berhentinya upaya bernapas selama beberapa saat akibat otak gagal mengirimkan sinyal ke diafragma dan otot dada untuk mempertahankan siklus pernapasan. Sedangkan pada tipe obstruksi terjadi hambatan aliran udara ke paru-paru.3,5,6 Mendengkur adalah tanda pernapasan abnormal yang terjadi akibat obstruksi sebagian sehingga aliran udara yang masuk akan menggetarkan palatum molle dan jaringan lunak sekitarnya. Keadaan ini dipermudah dengan relaksasi lidah, uvula dan otot di saluran napas bagian atas. Obstruksi dapat terjadi sebagian (hipopnea) atau total (apnea).1,3

II.2 Epidemiologi OSA pertama kali dipublikasikan pada tahun 1956 oleh Sidney Burwell, lebih dari 50 tahun yang lalu dan kepentingan klinisnya saat ini semakin dikenali. Prevalensi OSA di negara-negara maju diperkirakan mencapai 2- 4% pada pria dan 1-2% pada wanita. Pria lebih sering mengalami OSA dan seringkali (tetapi tidak harus) juga menderita obesitas. Prevalensi OSA pada pria 2-3 kali lebih tinggi dari wanita. Belum diketahui mengapa OSA lebih jarang ditemukan pada wanita.1,3 Prevalensi OSA pada anak-anak sekitar 3% dengan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun. Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah hipertrofi tonsil dan adenoid, tetapi dapat juga akibat kelainan struktur kraniofasial seperti pada sindroma Pierre Robin dan Down. Frekuensi OSA mencapai puncaknya pada dekade 5 dan 6, dan menurun pada usia di atas 60-an. Tetapi secara umum frekuensi OSA meningkat secara progresif sesuai dengan penambahan usia.1,2,3 OSA terdapat pada lebih dari 40% individu dengan IMT 30 kg/ m2 atau individu dengan sindrom metabolik. Pasien dengan penyakit kardiovaskular

memiliki prevalens OSA yang tinggi, 50% pasien dengan hipertensi, 50% pasien dengan fibrilasi atrium yang membutuhkan tindakan kardioversi, 33% pasien dengan fibrilasi atrium saja, 33% pasien dengan penyakit jantung koroner, 50% pasien dengan stroke akut dan 30-40% pasien dengan gagal jantung dan disfungsi sistolik.1

II.3 Anatomi dan fisiologi laring

Gambar 1: Saluran Nafas Atas Normal dan yang mengalami gangguan


II. 3.1 Anatomi

Laring atau organ pembentuk suara, merupakan jalan nafas bagian atas, yang terletak antara trakea dan pangkal lidah. Dari luar dibagian atas leher sebelah depan, laring membentuk suatu tonjolan yang disebut jakun atau Adams Apple. Bentangan tegak laring adalah dari vertebra servikal IV VI. Ukurannya sangat bervariasi, tergantung dari umur dan jenis kelamin. Ukuran terbesar terdapat pada pria dewasa, yaitu panjang (vertikal) sekitar 4,5 cm, lebar (tranversal) sekitar 4,25 cm, Tebal (sagital) sekitar 3,5 cm dan keliling sekitar 13,5 cm. Laring bagian atas lebih luas dari bagian bawah dan merupakan ruangan berbentuk piramid segitiga terbalik, dengan basis dibelakang atas dan puncak segitiga dibawah. Piramid tersebut tersusun oleh beberapa kartilago yang dihubungkan dengan ligamen dan digerakkan oleh

sejumlah otot. Laring dilapisi oleh membran mukosa yang melanjutkan kefaring di atas maupun dibawah ke trakea13. Ruang laring membentang dari pintu masuk yang disebut aditus laring sampai tepi bawah kartilago krikoid. Oleh rima glotis, ruang laring dibagi dua, bagian atas yang disebut vestibulum laring atau ruang supraglotis dan bagian bawah disebut ruang infraglotis. Rima glotis merupakan bagian yang tersempit dari ruang laring dan berada pada ketinggian basis kartilago aritenoid. Bentuk dan lebar rima glotis tergantung pada waktu respirasi dan waktu fonasi. Bentuk rima glotis pada saat inspirasi seperti belah ketupat13. Laring dilapisi mukosa yang merupakan lanjutan mukosa mulut dan faring diatas, dan mukosa ini terus melanjut kebawah sebagai mukosa trakea dan bronkus. Sebagian mempunyai epitel gepeng berlapis dan sebagian lagi adalah kolumner bersilia. Kartilago laring jumlahnya ada 9, dimana 3 kartilago berpasangan dan 3 lagi adalah tunggal. Kartilago yang tunggal adalah kartilago tiroid, krikoid, dan epiglotis. Sedangkan kartilago yang berpasangan terdiri atas kartilago aritenoid, kornikulata dan kunieformis. Kartilago krikoid, tiroid dan aritenoid disebut kerangka pokok laring, sedangkan kartilago epiglotis, konikulata atau santorini, dan kuneiformis (wrisbergi) merupakan kerangka tambahan13. Otot-otot laring dibagi menjadi otot-otot ekstrinsik yang perlekatannya pada laring dan bangunan disekitarnya, dan otot-otot instrinsik yang seluruh perlekatannya pada bangunan laring itu sendiri. Otot-otot ekstrinsik terdiri atas: Otot depresor (M. omohioid, M.sternohioid, dan M. sternotiroid) dan Otot elevator (M. milohioid, M. stilohioid, M. tirohioid, M. stilofaring, M. palatofaring, M. konstriktor faring media dan konstriktor faring inferior). Otot-otot instrinsik mempunyai fungsi untuk fonasi, menegakkan plika vokalis, untuk membuka atau menutup plika vokalis. Otot-otot instrinsik meliputi m. krikotiroid, m. krikoaritenoid posterior, m.krikoaritenoid lateral, m. aritenoid tranvesal, m. aritenoid oblik dan m. tiroaritenoid13. Untuk persarafan laring merupakan cabang dari N.Vagus yang menjadi ramus internus dan ramus eksternus n. laring superior, n. rekuran inferior, dan

saraf simpatis. Ramus internus n. laring superior bersifat sensoris, sedangkan ramus eksternus n. laring superior bersifat motorik untuk m.krokotiroid13. Vaskularisasi laring berasal dari cabang a. Laring superior yang merupakan cabang dari a. Tiroid superior, sedangkan a. Laring inferior merupakan cabang dari a. Tiroid inferior. Saluran limfe laring adalah vasa limfatika laring superior sesuai dengan a. Laring superior dan berakhir pada kelenjar limfe pada percabangan a. Karotis komunis. Vasa limfatika inferior laring sebagian menuju kekelenjar limfe pra-trekea, sebagian lagi mengikuti atau sesuai dengan a. Tiroid inferior untuk berakhir pada kelenjar linfe servikal profunda13. Pembagian laring berdasarkan kepentingan klinik yang berkaitan dengan lokasi suatu kelainan yang timbul, maka laring dibagi menjadi 3 bagian : 1. Supraglotis tidak lain adalah daerah vestibulum laring, yang meliputi epiglotis, plika ariepliglotis, aritenoid dan plika ventrikularis. 2. Glotis adalah daerah laring setinggi plika vokalis. Daerah ini meliputi plika vokalis, rima glotis dan komisura anterior serta komisura posterior. 3. Subglotis adalah daerah dibawah plika vokalis sampai tepi bawah kartilago krikoid13. II.3.2 Fisiologi laring Laring mempunyai fungsi cukup banyak, tetapi secara keseluruhan dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Fungsi fonasi atau sumber suara Suara merupakan alat komunikasi yang sangat penting. Untuk itu diperlukan suara yang baik, jelas dan terang. Untuk mendapatkan suara yang baik harus dipenuhi beberapa syarat, seperti diketahui bahwa fungsi otot laring memegang peranan penting dalam pembentukan suara dasar ini. Fungsi otototot laring adalah membuka, menutup, dan menegangkan plika vokalis. Oleh karena itu untuk mendapatkan suara yang baik, selain udara yang diperlukan cukup, harus pula dipenuhi syarat lain sebagai berikut:

a. Plika vokalis harus dapat aduksi dan abduksi dengan baik atau aproksimasi baik (= pendekatan baik). b. Plika mempunyai ketegangan yang baik. c. Plika vokalis mempunyai fibrasi yang baik. Bila salah satu dari tiga syarat tersebut diatas tidak dipenuhi, maka akan terjadi kelainan suara, dari disfoni sampai afoni. Bila dasar dari suara atau sumber suara sudah baik, selanjutnya tergantung dari resonator atau artikulasi mana yang digunakan untuk mendapatkan suara dan kata yang diinginkan. Disamping itu, tidak boleh dilupakan adanya koordinasi dari pusat13. 2. Saluran pernafasan Laring merupakan saluran nafas bagian atas dan sekaligus merupakan batas dengan saluran nafas bagian bawah. Laring juga merupakan saluran nafas yang paling sempit, oleh karena itu tidak dapat disangkal lagi bahwa laring merupakan saluran nafas yang sering mendapat gangguan. Gangguan laring yang paling serius adalah menjadi sempitnya rima glotis yang memang sudah kecil. Akibatnya, orang tidak cukup lagi mendapatkan udara dari luar dan badan atau paru tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan oksigen. Penderita akan menjadi sesak (dipsnea) dan bahkan dapat menjadi biru (syanosis). Gangguan saluran nafas yang terjadi dilaring mempunyai gejala yang jelas. Selain gejala sesak nafas, syanosis, juga diketemukan gejala spesifik yaitu : stidor dan suara serak13. 3. Fungsi proteksi Fungsi proteksi ini terjadi bila ada benda asing yang masuk sampai diatas glotis, maka laring yang mempunyai reflek menyebabkan plika vokalis menutup, kemudian membatukkan dan mengeluarkan benda asing tersebut. Disamping itu laring juga membantu mengeluarkan substansi yang mengganggu dengan reflek batuk. Untuk menjaga agar makanan-minuman tidak masuk laring, maka laring juga menutup selama terjadi proses menelan, regurgitasi maupun muntah13.

4. Fungsi fiksasi Laring merupakan alat fiksasi dengan organ-organ disekitarnya. Disamping itu laring juga merupakan alat fikasasi udara didalam rongga dada jika laring menutup, misalnya pada saat orang berlari13. 5. Fungsi deglutasi Laring membantu proses penelanan pada waktu makanan sudah berada difaring. Laring diangkat keatas oleh otot-otot ekstrinsik sehingga epiglotis tertahan oleh pangkal lidah dan makanan meluncur masuk esofagus. 6. Fungsi sirkulasi Akibat tekanan dari percabangan trakea, bronkus dan parenkim menyebabkan suatu aksi memompa dari sirkulasi darah. 7. Fungsi tusif = batuk Batuk terjadi secara reflek, berguna untuk melemparkan keluar benda-benda asing yang masuk kedalam saluran nafas bagian atas. 8. Fungsi ekspektorasi Bersama dengan fungsi tusif, fungsi ekspektorasi berguna untuk

mengeluarkan benda asing yaitu sekret yang terkumpul didalam bronkus dan laring. 9. Fungsi emosional Laring membantu proses ekspirasi dari emosi seperti berteriak, mengeluh, menangis, menggigil pada saat marah13.

II.4 Penyebab mendengkur pada OSA Ketika kita bernafas, Aliran udara masuk dan keluar secara berlanjut dari hidung dan mulut ke paru-paru. Ada beberapa suara relatif ketika duduk dan bernafas pelan. Ketika kita berolahraga, udara bergerak lebih cepat dan memproduksi suara ketika bernafas. Ketika tidur, area dibelakang tenggorokan
9

kadang menyempit. Sedikit aliran udara yg melewatinya bisa menyebabkan jaringan disekitarnya berfibrasi, yang menyebabkan snoring. Snoring pada tiap-tiap orang bervariasi penyebabnya, pemyempitan jalan udara napas bisa terjadi di daerah hidung, mulut, dan tenggorokan3. Berikut ini adalah Beberapa penjelasan penyebab terjadinya snoring, antara lain b. Berat badan Ketika kita kelebihan berat badan, jaringan tenggorokan menjadi kurang lunak dan mudah menjadi bervibrasi saat bernafas4. Kita berpikir bahwa, orang yang gemuk berleher pendek berbakat snoring. Bagaimanapun, wanita yg kurus berleher pendek bisa snoring sama kerasnya. pada umumnya, semakin tua orang, dan semakin gemuk, snoring akan lebih parah3. b. Napas mulut Snoring juga dapat diakibatkan sering bernafas lewat mulut. Pada pernafasan normal, Orang bernafas idealnya melalui hidung. Hidung memiliki sifat memberi kelembaban, menghangatkan, dan menyaring udara yg masuk. Ketika kita bernafas melalui mulut mekanisme ini tidak terjadi. Paru2 kita masih mampu untuk menerima udara dingin, kering dan udara yg kotor., tetapi kita semua tahu bahwa bernafas dgn udara kering, dingin dan kotor sangat tidak nyaman. karena itu tubuh kita secara normal ingin bernafas dengan hidung. Kita normalnya akan bernafas dengan memakai hidung, beberapa orang tidak bisa bernafas dengan hidung karena ada obstruksi pada jalur nafas, hal ini bisa karena deviasi septum, alergi dan infeksi sinus atau adenoid yang besar yang bisa membatasi aliran udara melalui hidung3, Hal ini akan memaksa kita bernafas melalui mulut. bernafas melalui mulut dimana jaringan lebih lunak4 Pada orang dewasa penyebab utama biasanya karena deviasi akibat hidung yang patah atau alergi, pada anak biasanya karena adenoid yg besar menyebabkan obstruksi. Pada keadaan seperti ini orang harus bernafas menggunakan mulut, dan biasanya pernafasan mulut menyebabkan snoring karena aliran udara melalui mulut menyebabkan vibrasi jaringan3.

10

c. Jalan napas yang sempit Tonsil pada tubuh kita, dibuat untuk melawan infeksi, terletak di balakang mulut pada tiap sisi dari oropharynx. Lidah adalah otot besar yang penting untuk mengarahkan makanana ketika kita mengunyah dan menelan. penting juga untuk membentuk suara ketika kita berbicara, lidah melekat pada mandibula . Ketika lidah bagian belakang terlalu besar atau terputar ke belakang hal ini mempersempit jalan aliran udara di pharynx yang menyebabkan vibrasi dan snooring3. c. Tahapan tidur Snoring bisa terjadi pada salah satu atau semua tahapan tidur. Snoring umumnya terjadi pada tahapan REM, karena hilangnya tegangan otot sangat khas pada tahap ini. Pada stadium REM, otak mengirim sinyal pada otot tubuh kecuali otot pernafasan untuk relaksasi. Sayangnya, lidah, palatum dan tenggorokan bisa kolaps ketika otot relaksasi. hal ini akan memperburuk snoring3. e. Posisi tidur Ketika kita tidur, kita biasanya berbaring, Gaya gravitasi akan menarik semua jaringan tubuh ke bawah. tetapi jaringan pharynx sangat lunak. Oleh karena itu ketika kita berbaring gravitasi akan menarik palatum, tonsil dan lidah kebelakang. Hal ini akan menyebabkan turbulensi udara, vibrasi jaringan dan snoring. dan ketika posisi tubuh tiba-tiba dirubah maka jaringan tidak lagi tertarik dan snoring akan berkurang3. f. Obat, alkohol Snoring terjadi akibat vibrasi jaringan ketika kita bernafas. Beberapa obat termasuk alkohol menyebabkan relaksasi jaringan otot palatum, lidah, leher dan pharynx ketika kita tidur. Ketika otot jaringan kolaps, hal ini menyebabkan mengecilnya jalur udara dan meningkatkan vibrasi jaringan. Beberapa obat membuat kita tidur lebih dalam yang akan menyebabkan snoring3. Alkohol dan beberapa jenis obat seperti transquillisers bisa berefek terhadap sistem syaraf pusat, menyebabkan relaksasi otot temasuk yang berada di tenggorokan4.

11

g. Umur dan jenis kelamin - Umur merupakan salah satu faktor, semakin tua, otot tenggorokan semakin lemah, dan kelemahan otot menyebabkan jaringan sekitar bervibrasi4.

- Peningkatan kasus sesuai pertambahan umur - Pada usia 30-60th sekitar2% wanita dan 4% pria memiliki sleep apnea dan 60% dr usia lanjut beresiko tinggi - Pria 7-10x >beresiko menderita obstruksi sleep apnea daripada wanita - Sebagian besar penderita OSA berumur >40thn, Peningkatan BB dan menurunnya tonus otot lanjut akan meningkatkan OSA5. h. Lain-lain - Orang kulit hitam lebih beresiko daripada kulit putih - Sering pada wanita postmenopouse - Riwayat keluarga dan genetik berperan penting - Hipertyroid, polio dan distrofi otot bisa merupakan factor penyebab selain infeksi sinus, alergi dan tumor hidung - Anatomi mulut, memiliki palatum yang pendek dan tebal atau tonsil yg lebar di belakang tenggorokan (adenoid) akan menghalangi jalan nafas5.

II.5 Patofisiologi Mendengkur dan OSA Faring adalah struktur yang sangat lentur. Pada saat inspirasi, otot-otot dilator faring berkontraksi 50 mili-detik sebelum kontraksi otot pernafasan sehingga lumen faring tidak kolaps akibat tekanan intrafaring yang negatif oleh karena kontraksi otot dinding dada dan diafragma. Pada waktu tidur aktivitas otot dilator faring relatif tertekan (relaksasi) sehingga ada kecenderungan lumen faring menyempit pada saat inspirasi. Mengapa hal ini terjadi hanya pada sebagian orang, terutama berhubungan dengan ukuran faring dan faktor-faktor yang mengurangi dimensi statik lumen sehingga menjadi lebih sempit atau menutup pada waktu tidur. Faktor yang paling berperan adalah:
12

obesitas pembesaran tonsil posisi relatif rahang atas dan bawah Selain itu obstruksi nasal menyebabkan peningkatan resistensi aliran udara dan memperburukkan OSA. Obstrusi nasal yang mengakibatkan usaha

pernafasan melalui mulut semasa tidur sehingga terjadi relaksasi otot genioglosus akibatnya lidah tergeser ke belakang.3 Suara mendengkur timbul akibat turbulensi aliran udara pada saluran nafas atas akibat sumbatan. Tempat terjadinya sumbatan biasanya di basis lidah atau palatum. Sumbatan terjadi akibat kegagalan otot-otot dilator saluran nafas atas menstabilkan jalan nafas pada waktu tidur di mana otot-otot faring berelaksasi, lidah dan palatum jatuh ke belakang sehingga terjadi obstruksi.3

Gambar 2 : Sumbatan parsial dan total saluran nafas atas Trauma pada jaringan di saluran nafas atas pada waktu mendengkur mengakibatkan kerusakan pada serat-serat otot dan serabut-serabut saraf perifer. Akibatnya kemampuan otot untuk menstabilkan saluran nafas terganggu dan meningkatkan kecenderungan saluran nafas untuk mengalami obstruksi. Obstruksi yang diperberat oleh edema karena vibrasi yang terjadi pada waktu mendengkur

13

dapat berperan pada progresivitas mendengkur menjadi sleep apnea pada individu tertentu.3 Obstructive Sleep Apnoea (OSA) ditandai dengan kolaps berulang dari saluran nafas atas baik komplet atau parsial selama tidur. Akibatnya aliran udara pernafasan berkurang (hipopnea) atau terhenti (apnea) sehingga terjadi desaturasi oksigen (hipoksemia) dan penderita berkali-kali terjaga (arousal). Kadang-kadang penderita benar-benar terbangun pada saat apnea di mana mereka merasa tercekik. Lebih sering penderita tidak sampai terbangun tetapi terjadi partial arousal yang berulang, berakibat pada berkurangnya tidur dalam atau tidur gelombang lambat. Keadaan ini menyebabkan penderita mengantuk pada siang hari, kurang perhatian, konsentrasi dan ingatan terganggu. Kombinasi hipoksemia dan partial arousal yang disertai dengan peningkatan aktivitas adrenergik menyebabkan takikardi dan hipertensi sistemik. Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya dan datang ke dokter hanya karena teman tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras (fase preobstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase apnea obstruktif).3 Tidur terdiri dari 2 fase yaitu rapid eye movement (REM) atau tidur aktif dan non rapid eye movement (NREM) atau tidur tenang. Pada individu normal siklus tidur NREM dan REM akan terjadi secara bergantian dengan interval tidur REM 10-20 menit setiap 90-120 menit. REM meliputi 25% dari waktu tidur ditandai oleh pergerakan bola mata yang cepat terutama pada elektrookulogram, hilangnya tonus otot tubuh dan meningkatnya aktivitas simpatis (meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah). Selama tidur REM kontrol pernapasan sering irregular, episode apnea singkat selama 10-20 detik relatif umum terjadi Pada tahap NREM aktivitas mental minimal atau tidak ada, sistem kardiovaskular-

14

respirasi sebagian besar diatur oleh faktor metabolik. Tidur NREM mempengaruhi aktivitas simpatis, penurunan denyut jantung, tekanan darah secara bertahap dari tingkat I hingga aktivitas simpatis terendah yaitu pada tingkat IV.1 Prinsip utama pada OSA yaitu terdorongnya lidah dan palatum ke belakang hingga menempel pada dinding faring posterior menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring. Tidur berbaring (supine) dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas akibat pergerakan mandibula, palatum mole dan lidah ke arah belakang. Faktor struktural dan fungsional berperan penting dalam menentukan tekanan kritis kolaps saluran napas. Penyempitan saluran napas akibat mikrognatia, retrognatia, hipertrofi tonsil, makroglosia dan akromegali juga dapat meningkatkan risiko terjadinya OSA. Sistem saraf pusat berperan penting dalam OSA kombinasi aktivitas otot saluran napas atas yang menurun pada saat tidur disertai struktur faring kecil membentuk tekanan kritis kolaps saluran napas atas. Aktivasi kemoreseptor oleh hipoksemia dan hiperkapnia selama apnea mengakibatkan hiperventilasi disertai proses terbangun mendadak yang tidak disadari.1 Pada pasien obesitas terjadi peningkatan deposit lemak disekeliling leher dan ruang parafaring menyebabkan penyempitan dan kompresi salur napas atas dan mengganggu otot dilator yang mempertahankan patensi salur napas atas. Obesitas bisa mengurangi volume paru yang menyebabkan pengurangan functional residual capacity. Perubahan dalam volume paru secara signifikan menurunkan ukuran faring salur napas atas melalui efek mekanikal traksi trakea dan toraks yang dikenal tracheal tug meningkatkan resiko collapse.7

15

II.6 Gambaran Klinis Gejala yang dapat ditemukan pada penderita OSA adalah mendengkur, mengantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada waktu tidur, apnea, nokturia, sakit kepala pada pagi hari, penurunan libido sampai impotensi dan enuresis, mudah tersinggung, depresi, kelelahan yang luar biasa dan insomnia. Kebanyakan penderita mengeluhkan kantuk yang sangat mengganggu pada siang hari sehingga menimbulkan masalah pada pergaulan, pekerjaan dan meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas.1,2,3 Penderita OSA seringkali juga menderita obesitas. Kesadaran tentang adanya hubungan antara OSA dan obesitas yang sangat tinggi dapat mengurangi kesadaran akan kemungkinan adanya OSA pada orang yang tidak gemuk (nonobese). Hanya sekitar 50% penderita yang didiagnosis OSA juga menderita obesitas.2 Gejala Mendengkur Mengantuk yang berlebihan pada siang hari Tersedak Tidur tidak nyeyak Letih dan lesu sepanjang hari Penurunan konsentrasi Riwayat OSA dalam keluarga Obesitas Mandibula/maksila hipoplasia Penyempitan orofaring Pembesaran tonsil atau lidah Obstruksi nasal dan nasofaringeal Tanda

Tabel 1 : Gejala dan Tanda OSA II.7 Diagnosis Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya dan datang ke dokter hanya karena partner tidur mengeluhkan suara mendengkur

16

yang keras (fase pre-obstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase apnea obstruktif).1,3,6 The Epworth sleepiness scale digunakan untuk menilai ngantuk pada siang. OSA disuspek pada pasien dengan skor diatas 10.2,7

Situation

Chance of dozing

Sitting and reading Watching TV Sitting inactive in a public place (e.g a theater or a meeting) As a passenger in a car for an hour without a break Lying down to rest in the afternoon when circumstances permit Sitting and talking to someone Sitting quietly after a lunch without alcohol

____________ ____________

___________ ____________

____________ ____________ ____________

In a car, while stopped for a few minutes in traffic

______

Penilaian skor Epworth sleepiness scale 0 = no chance of dozing 1 = slight chance of dozing 2 = moderate chance of dozing 3 = high chance of dozing

17

Pengukuran BMI, tekanan darah, dan lingkaran lilit leher adalah parameter yang penting dalam parameter pemeriksaan OSA. Dari pemeriksaan fisik harus di identifikasi posisi dan ukuran tulang maksilla dan mandibula dan karakteristik fasial juga harus diidentifikasikan.7 Pemeriksaan fisik dilakukan pada hidung, orofaring, hipofaring, laring, leher untuk menentukan adanya obstruksi pada bagian tersebut: i. Hidung :deviasi septum,hypertrofi adenoid, tumor atau polip nasal, hipertrofi konka ii. Orofaring : palatum molle yang besar, hipertrofi tonsil palatine, makroglosia, penebalan(banding) dinding posterior faring iii. Hipofaring : Collapse dinding faring lateral, tumor hipofaring, hipertrofi tonsil lingual, retrognathia dan micrognathia iv. v. Laring : paralisis pita suara, tumor laring Leher : ukur lilit leher

Fiberoptic nasopharyngoscopy adalah teknik yang digunakan untuk evaluasi jalan napas. Alat ini adalah penting untuk identifikasi tempat dan lokasi obstruksi : nasal, retropalatal atau retrolingual. Kebaikan dan limitasi Muller maneuver juga digunakan untuk pemeriksaan untuk prediksi preoperative terhadap keefektifan intervensi bedah berdasarkan beberapa studi yang dilakukan. Muller maneuver dilakukan pada pasien sadar yang menghasilkan tekanan negative dengan melakukan inhalasi/inspirasi dengan menutup mulut dan hidung yang akan menyebabkan collapse pada salur napas.7

18

Gambar 3 : Muellers Manuver

Cephalometric radiograph image 2 dimensi yang dihasilkan member infomasi tulang rangka dan jaringan lunak . ini bisa mengkonfirmasikan pasien OSA melalui displacement tulang hyoid ke inferior, ruang udara posterior yang sempit, palatum molle yang lebih panjang dari pasien non-OSA.7

Diagnosis pasti penderita OSA dan CSA dengan pemeriksaan polisomnografi. Polisomnografi adalah pemeriksaan Gold standard untuk diagnose OSA. Pada OSA untuk melihat episode berhentinya aliran udara yang berulang diikuti dengan upaya respirasi kontinue sedangkan pada CSA untuk melihat episode apnea berulang diikuti dengan hilangnya upaya ventilasi, gerakan napas terhenti karena hilangnya pergerakan iga dan abdomen juga aktiviti elektromiografi diafragma. Polisomnografi merupakan alat uji diagnostik menevaluasi gangguan tidur, dilakukan pada saat malam hari di laboratorium tidur. Pemeriksaan terdiri dari elektroensefalogram (EEG), elektromyogram (EMG), elektrookulogram (EOG), parameter respirasi, electrocardiogram (ECG),

19

saturasi oksigen dan mikrofon untuk merekam dengkuran. Penderita dimonitor selama 6 jam 10 menit.5

20

Gambar 4: Gambaran Polisomnogram

21

Screening OSA dapat dilakukan dengan kuesioner Berlin yang bertujuan untuk menjaring pasien terjadi OSA. Kuesioner ini terdiri dari 3 bagian yaitu bagian pertama berisi tentang apakah mereka mendengkur, seberapa keras, seberapa sering dan apakah sampai mengganggu orang lain. Bagian kedua berisi tentang kelelahan setelah tidur, seberapa sering merasakan lelah dan pernahkah tertidur saat berkendaraan. Bagian ketiga berisi tentang riwayat hipertensi, berat badan, tinggi badan, umur, jenis kelamin dan Body Mass Index (BMI). Seseorang dinyatakan berisiko tinggi OSA bila memenuhi paling sedikit 2 kriteria di atas. Kuesioner ini mempunyai validiti yang tinggi.3,5 Kategori beratnya apnea tidur berdasarkan AHI terdiri dari apnea tidur ringan dengan AHI 515, saturasi oksigen 86% dan keluhan ringan, apnea tidur sedang dengan AHI 1530, saturasi oksigen 8085% dan keluhan mengantuk dan sulit konsentrasi, apnea tidur berat dengan AHI 30, saturasi oksigen kurang dari 80% dan gangguan tidur.5

II.8 Terapi A. Terapi Non-Bedah Terapi OSA mengalami perubahan yang revolusioner ketika Sullivan et al. memperkenalkan nasal Continuous Positive Airway Pressure (nCPAP). Prinsip nCPAP sangat sederhana yaitu dengan pemberian tekanan positif melalui hidung maka setiap kecenderungan jalan nafas untuk menyempit dan menutup dapat diatasi dan dinding jalan nafas dapat distabilkan sehingga menekan suara dengkur, menormalkan kualitas tidur dan menghilangkan gejala pada siang hari. Efektifitas pengobatan dengan cara ini mencapai 90-95%.3,6 Selain itu, Bi-level PAP merupakan suatu alat Bantu resprasi noninvasif yang mengalirkan tekanan

22

inspirasi (IPAP) dan ekspirasi (EPAP) yang berbeda kepada pasien yang bernapas spontan untuk menjaga jalan napas atas tetap terbuka. Dengan mengalirkan tekanan rendah selama fase ekspirasi, tekanan total yang ada di jalan napas kemudian dapat diturunkan sehingga mendekati pernapasan normal. Bi-level memiliki aliran tambahan untuk mendapatkan ventilasi yang diingingkan pada pasien dengan berbagai masalah respirasi dan telah digunakan pada terapi OSA. Keuntungan metode ini adalah menurunkan kerja pernapasan (work of breathing).6 CPAP adalah teknik yang sering digunakan dalam tatalaksana non surgical OSA dan merupakan tatalaksana terapi pertama OSA. CPAP mengurangi dengkur dan apnea dan membaiki symptom ketiduran pada siang. American college of Chest Physicians merekomendasikan penggunaan CPAP pada pasien dengan RDI > 30 kali/ jam dan kepada semua pasien yang simptomatik dengan RDI 5-30 kali/jam. CPAP 90-95% effective dalam eliminasi OSA dan keefektifannya tergantubg pada compliance dan keteraturan penggunaan pasien.8

Gambar 5: nasal Continuous Positive Airway Pressure Pada penderita OSA yang mengalami obesitas dianjurkan penurunan berat badan. Perlu dilakukan perubahan gaya hidup termasuk diet, olah raga, dan medikamentosa. Berdasarkan penelitian, penurunan

23

berat badan 10% - 15% dikaitkan dengan penurunan 50% kejadian apnea dan perbaikan keadaan klinis. Beberapa laporan kasus menunjukkan gejala OSA dapat diatasi dengan mengurangi berat badan. Posisi tidur dapat membantu menghilangkan gejala OSA. Beberapa pasien mengalami perbaikan setelah tidur dengan posisi miring atau telungkup (pronasi).5 Salah satu pendekatan terapi terbaru adalah penggunaan alat mandibular advancement dengan beberapa variasinya. Alat ini dipasang pada gigi dan menahan mandibula dan lidah ke depan (protrusi parsial dari rahang bawah) sehingga dapat memaksimalkan diameter faring dan mengurangi kemungkinan kolaps pada waktu tidur. Alat ini hanya digunakan pada penderita OSA yang tidak dapat menjalani operasi dan penderita OSA yang ringan sampai sedang khususnya yang tidak gemuk atau pada penderita yang intoleran terhadap CPAP. Tetapi perlu diingat alat ini dapat mempengaruhi oklusi dan sendi temporomandibula sehingga pemakaiannya diperlukan seorang ortodontic karena pembuatannya tergantung individu.3

Gambar 6: Mandibular Splint B. Terapi Bedah Sebagian penderita tidak dapat menerima pengobatan dengan nCPAP karena beberapa sebab, di antaranya klaustrofobia, suara bising

24

dari mesin dan karena timbulnya efek samping seperti hidung tersumbat dan mukosa hidung serta mulut yang kering. Banyak pasien yang tidak mau penggunakan alat CPAP karena tidak nyaman dan mengurangi nilai estetika, sehingga diusahakan bentuk lain terapi OSA.3,5 Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang menyebabkan obstruksi saluran nafas sesuai dengan hasil pemeriksaan sleep endoscopy. Beberapa prosedur operasi dapat dilakukan: 1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSA dengan tonsil yang besar, tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplet dan tidak memerlukan terapi CPAP.6 2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP). Metode ini uvula serta jaringan faring yang berlebih diangkat sehingga ruang faring bertambah serta membuat kaku dinding faring yang akan mencegah kolaps. Metode ini angka keberhasilannya 50% dalam menyembuhkan OSA. Komplikasi metode ini adalah terjadinya regurgitasi nasofaring saat minum namun hanya bersifat sementara karena akan berkurang dalm 3 bulan.3 3. Pembedahan pada daerah hidung seperti septoplasti, bedah sinus endoskopik fungsional dan konkotomi bisa menjadi terapi yang efektif bila sumbatan terjadi di hidung. Kelainan hidung harus dicari pada penderita yang mengalami gejala hidung pada pengobatan dengan CPAP.4 4. Laser-Assisted Uvulopalatoplasty. Teknik yang digunakan

oleh sebagian besar ahli bedah menghapus bagian segitiga jaringan berdekatan dengan setiap sisi akar dari uvula diikuti

dengan pengurangan 50% dari uvula distal sehingga memperpendek

25

dan

meningkatkan

ukuran

dan

posisi

uvulopalatal

kompleks.3,6 5. Maxillofacial (Skeletal) Surgery. Teknik ini meningkatkan ukuran saluran udara bagian atas dengan menggerakkan pangkal lidah jauh dari hypopharyngeal posterior dan dinding orofaringeal, penurunan collaps jalan napas. Pasien ada yang dipilih berdasarkan tingkat keparahan mereka apnea (sedang sampai berat), adanya kelainan kraniofasial, seperti micrognathia atau retrognathia, atau kegagalan untuk menanggapi terapi lain.3,6 6. Radiofrequency Tissue Volume Reduction. Teknik ini dengan memasukkan elektroda ke berbagai bagian langit-langit lunak dan menerapkan energi panas, jaringan lunak akan mengalami 'lesi termal akan timbul fibrosis jaringan. prosedur ini dapat diulang beberapa kali dan dalam beberapa sasaran situs dari saluran udara bagian atas, termasuk tonsil dan pangkal lidah.3,6 7. pemasangan implan Pillar pada palatum. `Implan Pillar atau implan palatal merupakan teknik yang relative baru, merupakan modalitas dengan invasi minimal. Digunakan untuk penderita dengan habitual snoring dan OSA ringan sampai sedang. Prosedur ini bertujuan untuk memberi kekakuan pada palatum mole. Tiga buah batang kecil diinsersikan ke palatum mole untuk membantu mengurangi getaran yang menyebabkan snoring.6 8. Trakeostomy- tatalaksana surgical yang gold standard dan terakhir apabila metode lain tidak berhasil adalah trakeostomy. Trakeostomy dilakukan dengan by pass obstruksi salur napas atas. Indikasi

26

trakeostomy

adalah

pasien

dengan

cor

pulmunale,

obesity

hypoventilation syndrome, aritmia, pasien yang tidak toleransi CPAP dan intervensi surgical lain gagal.8

Gambar 7: Assessment and management of obstructive sleep apnea

27

II.8 Komplikasi OSA dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia, di antaranya:1-5 1. Neuropsikologis: kantuk berlebihan pada siang hari, kurang konsentrasi dan daya ingat, sakit kepala, depresi. 2. Kardiovaskuler: takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung, angina, penyakit jantung iskemik, gagal jantung kongestif, stroke. 3. Respirasi: hipertensi pulmonum, cor pulmunale. 4. Metabolik: diabetes, obesitas. 5. Genito-urinari: nokturia, enuresis, impotensi. 6. Hematologis: polisitemia. Dari penelitian epidemiologis diketahui adanya hubungan antara OSA dengan hipertensi, stroke dan penyakit jantung iskemik. Timbulnya penyakit kardiovaskular pada penderita OSA diduga sebagai akibat stimulasi simpatis yang berulang-ulang yang terjadi pada setiap akhir fase obstruktif. Pada penderita OSA juga terjadi pelepasan faktor-faktor protrombin dan proinflamasi yang berperan penting pada terjadinya aterosklerosis.1 Terjadinya gangguan kardiovaskuler pada penderita OSA diperkirakan melalui dua komponen:1,3 1. Efek mekanis dari henti nafas terhadap tekanan intratorakal dan fungsi jantung. 2. Hipoksemia yang terjadi berulang-ulang mengakibatkan perangsangan simpatis yang berlebihan dan disfungsi sel-sel endotel. Sekitar 40% penderita OSA mengalami hipertensi ketika bangun tidur. OSA dikenal sebagai faktor risiko yang independen pada hipertensi. Bagaimana

28

OSA menyebabkan peningkatan tekanan darah belum sepenuhnya diketahui. Ada kemungkinan peranan hiperaktivitas simpatis dalam peningkatan tekanan darah pada penderita OSA. Mekanisme lain yang berpotensi meningkatkan tekanan darah pada penderita OSA adalah hiperleptinemia, resistensi insulin, peningkatan kadar angiotensin II dan aldosteron, disfungsi sel-sel endotel, dan gangguan fungsi barorefleks.1 OSA diduga merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya penyakit aterosklerosis pada pembuluh darah arteri. Banyak peneliti

mengemukakan beberapa kemungkinan mekanisme efek aterosklerotik dari OSA, di antaranya:1 Peningkatan tekanan darah yang berulang akibat hiperaktivitas simpatis dan stres oksidatif. Disfungsi sel endotel yang mengakibatkan peningkatan kadar endotelin-I dalam plasma, penurunan produksi nitrit-oksida, dan peningkatan respons peradangan terbukti dengan meningkatnya kadar C-reactive protein dan interleukin-6. Beberapa penelitian memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara OSA dan infark miokard. Mekanismenya mungkin melalui efek tidak langsung dari hipertensi, aterosklerosis, desaturasi oksigen, hiperaktivitas sistem saraf simpatis, peningkatan koagulopati dan respons inflamasi.1,3 Insidensi OSA yang tinggi (45-90%) ditemukan pada penderita stroke. Kemungkinan peran OSA dalam patogenesis stroke di antaranya melalui proses aterosklerosis, hipertensi, berkurangnya perfusi serebral akibat penebalan dinding arteri karotis, output jantung yang rendah, peninggian tekanan intrakranial, peningkatan koagulopati dan peningkatan risiko terbentuknya bekuan darah akibat

29

aritmia. Karena tingginya insidensi OSA dan potensi efeknya terhadap morbiditas dan mortalitas, pemeriksaan untuk mendiagnosis dan terapi OSA dianjurkan dilakukan pada penderita stroke.1 Aritmia dapat terjadi pada penderita OSA terutama berupa sinus bradikardi, sinus arrest, dan blokade jantung komplet. Risiko untuk terjadinya aritmia berhubungan dengan beratnya OSA. Mekanisme terjadinya aritmia pada penderita OSA kemungkinan melalui peningkatan tonus vagus yang dimediasi oleh kemoreseptor akibat apnea dan hipoksemia.1

Gambar Patofisiologi OSA terhadap CVD. PNA = Parasympathetic Nervous System Activity. PO2 = Partial Pressure of Oxygen. PCO2 = Partial Pressure of Carbon Dioxide. SNA = Sympathetic Nervous System Activity. HR = Heart Rate. BP = Blood Pressure. LV = Left Ventricular.

30

BAB III KESIMPULAN

1. Obstructive sleep apnea adalah sebuah gangguan tidur yang berarti henti nafas saat tidur dengan gejala utama mendengkur. 2. OSA terjadi karena lidah dan palatum jatuh ke belakang sehingga terjadi obstruksi. 3. Gejala dari OSA adalah mendengkur, mengantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada waktu tidur, apnea, nokturia, sakit kepala pada pagi hari. 4. Diagnosis OSA paling banyak diklasifikasikan menurut American Academy of Sleep Medicine. 5. Komplikasi dari OSA adalah hipertensi, serangan jantung dan stroke. 6. Terapi OSA adalah terapi non bedah dan terapi bedah.

31

DAFTAR PUSTAKA

1.

Febriani, Debi dkk. Hubungan Obstructive Sleep Apnea Kardiovaskular. Jurnal Kardiologi Indonesia 2011; 32:45-52.

Dengan

2. Committee Advisory, 2005. Sleep Apnea-Assesment and Management of Obstructive Sleep Apnea in Adult. 3. Rodriguez, Hector P. Berggren, Diana A-V. Biology and treatment of Sleep Apnea. Otolaryngology chapter 6, 2006; 71-82. 4. Hormann, Karl. Verse, Thomas. Sleep Disordered Breathing. Surgery for Sleep Disordered Breathing. 2005; 1-10. Antariksa, Budhi. Patogenesis, Diagnosti dan Patogenesis OSA (Obstructive sleep Apnea). Dept pulmonologi dan Respirasi. FKUI. Jakarta. Prasenohadi. Penatalaksanaan Obstructive Sleep Apnea. Dept Pulmunologi dan Respirasi. FKUI. Jakarta. Paul W. Flint, Bruce H. Haughey, Valerie J. Lund, John K. Niparko, Mark A. Richardson, K. Thomas Robbins, J. Regan Thomas, Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery 5th Edition, Chapter 18: Sleep Apnea and Sleep Disorders ; 250-261. Anil K Lalwani, Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology Head and Neck Surgery 2nd Edition, Lange Current Series, 536-542

5.

6.

7.

8.

32

You might also like