Professional Documents
Culture Documents
أ
اي
ABU SALMA AL-ATSARI اﻝت ﻝ
Free Downloaded Article HTTP://ABU-SALMA.CO.CC
H
ari Senin, 26 Januari 2009 mendatang, negeri kita akan mengalami gerhana
matahari. Gerhana matahari yang terjadi, menurut ahli astronomi
merupakan gerhana matahari annular (cincin) yaitu ukuran lingkaran bulan
terlihat lebih kecil daripada lingkaran matahari, sehingga saat puncak gerhana,
matahari akan terlihat sebagai cincin. Jalur Gerhana Matahari Annulus 2009 ini
akan dimulai dari Samudera Hindia sekitar selatan perairan benua Afrika pada Pk
06.06 GMT (pk 15.06 WIB) kemudian menelusuri Samudera Hindia lalu masuk
daratan Sumatera bagian Selatan, Kalimantan Barat-Tengah-Timur, sebagian
propinsi Gorontalo sebelum berakhir di perairan Selatan Mindanao, Philipina pada
Pk. 09.52 GMT (Pk. 18.52 WIB). Di Indonesia, gerhana matahari akan bermula pada
pukul 15.20 WIB dan berakhir pada pukul 17.50 WIB, dengan puncak gerhana pada
pukul 16.40 WIB. Gerhana ini bisa terlihat di wilayah Indonesia di pulau Sumatera,
Jawa dan Kalimantan.
Masyarakat Arab sendiri, mereka juga memiliki keyakinan bahwa gerhana terjadi
terkait dengan kelahiran dan kematian orang tertentu. Oleh karena itu, ketika
terjadi gerhana di zaman Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam pada hari putera
terkasih beliau Ibrâhîm wafat, orang-orang mengatakan : “gerhana matahari ini
terjadi oleh sebab wafatnya Ibrâhîm”. Mendengar hal ini, Rasûlullâh Shallallâhu
‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda Allôh.
Terjadinya gerhana matahari dan bulan itu bukanlah disebabkan oleh kematian
atau kelahiran seseorang. Apabila kalian mendapati kedua gerhana ini, maka
berdoalah kepada Allôh dan sholatlah sampai selesainya gerhana.” (Muttafaq
‘alaihi dari Mughîrah bin Syu’bah Radhiyallâhu ‘anhu)
Disebabkan masih banyaknya masyarakat kita yang belum faham tentang masalah
sholat gerhana, dan apa saja yang seharusnya kita lakukan di saat terjadinya
gerhana, maka saya susun risalah ringkas ini, semoga dapat bermanfaat baik bagi
diri penyusun sendiri, keluarganya, rekan-rekannya dan seluruh kaum muslimin.
Penulis tidak lupa untuk meminta kepada rekan-rekan penuntut ilmu atau
asâtidzah yang membaca risalah ini, apabila ada yang kurang tepat, keliru atau
salah, maka penulis dengan lapang dada dan besar hati menerima segala nasehat,
masukan dan kritikan yang konstruktif.
Kata Kusûf menurut bahasa artinya adalah at-Taghoyyar ila as-Sawâd (berubah
menjadi gelap). Jika dikatakan kasafat hâluhu artinya jika keadaannya berubah,
jika dikatakan kasafa wajhuhu apabila rona wajahnya berubah. Apabila dikatakan
wa kasafat asy-Syamsu artinya apabila matahari mulai gelap dan cahayanya mulai
pudar. (Fathul Bârî karya Ibnu Hajar II/526).
Kata Khusûf secara bahasa artinya adalah an-Nuqshôn (berkurang). Jika dikatakan
‘ainun khâsifah artinya adalah apabila pengelihatannya sudah tidak tajam lagi.
Jika dikatakan Bi`ru makhsufah, artinya adalah apabila airnya telah terkuras
habis. (al-I’lâm bi Fawâ`idi ‘Umdatil Ahkâm IV/264)
Jadi, apabila dikatakan kusûf atau khusûf asy-Syamsi wal Qomari artinya adalah
perubahan dan berkurangnya cahaya matahari dan bulan, dan kedua kata ini
bermakna satu. (al-Mughnî V/321).
Adapula yang berpendapat bahwa kusûf adalah khusus untuk matahari sedangkan
khusûf adalah khusus untuk bulan. Pendapat inilah yang dipilih oleh Tsa’lab, dan
dikatakan lebih fasih oleh al-Jauharî. (Subulus Salâm II/496).
Yang râjih adalah, apabila kata kusûf dan khusûf disebutkan berbarengan maka
artinya berbeda, kusûf untuk gerhana matahari dan khusûf untuk gerhana bulan.
Namun, apabila disebutkan secara bersendirian, maka bermakna satu, yaitu satu
dengan lainnya saling mencakup. Dan pendapat inilah yang dipegang oleh Faqîhuz
Zamân, al-‘Allâmah Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullâhu. Wallôhu
a’lâm. (asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zâdil Mustaqni’ V/229)
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum sholat gerhana. Jumhur (mayoritas)
ulama berpendapat bahwa sholat gerhana hukumnya adalah sunnah mu`akkadah
(sunnah yang sangat ditekankan). Bahkan sampai ada yang mengklaim bahwa
hukum sunnah mu`akkadah ini adalah dengan dasar ittifaq al-Fuqohâ`
(kesepakatan ulama ahli fikih). Imam Nawawî rahimahullâhu juga berpendapat
demikian, beliau mengatakan:
Pendapat Imam Nawawî ini perlu ditinjau ulang. Sebab, ada sebagian ulama yang
berpandangan bahwa sholat gerhana hukumnya adalah wajib. Sebagaimana
dituturkan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâhu, beliau berkata :
ﻜﻲ ﻋﻦ ﺇﻻ ﻣﺎ ﺣ، ﻭﱂ ﺃﺭﻩ ﻟﻐﲑﻩ،ﺎ ﻭﺻﺮﺡ ﺃﺑﻮ ﻋﻮﺍﻧﺔ ﰲ ﺻﺤﻴﺤﻪ ﺑﻮﺟﻮ،ﺎ ﺳﻨﺔ ﻣﺆﻛﺪﺓﻓﺎﳉﻤﻬﻮﺭ ﻋﻠﻰ ﺃ
ﻭﻛﺬﺍ ﻧﻘﻞ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ، ﻭﻧﻘﻞ ﺍﻟﺰﻳﻦ ﺑﻦ ﺍﳌﻨﲑ ﻋﻦ ﺃﰊ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﺃﻧﻪ ﺃﻭﺟﺒﻬﺎ،ﻣﺎﻟﻚ ﺃﻧﻪ ﺃﺟﺮﺍﻫﺎ ﳎﺮﻯ ﺍﳉﻤﻌﺔ
ﺎ ﻭﺍﺟﺒﺔﻣﺼﻨﻔﻲ ﺍﳊﻨﻔﻴﺔ ﺃ
“Jumhur berpendapat bahwa hukumnya (sholat gerhana) adalah sunnah
mu`akkadah. Abû ‘Awânah menegaskan di dalam Shahîh-nya bahwa hukumnya
wajib. Saya tidak melihat ada orang lain yang berpendapat demikian, kecuali yang
ﺎ ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺑﻮﺟﻮﺏ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻜﺴﻮﻑ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﻓﻌﻠﻬﺎ ﻭﺃﻣﺮ
Pendapat yang râjih adalah : sholat gerhana hukumnya adalah wajib. Sebagaimana
dituturkan oleh Faqîh az-Zamân, al-‘Allâmah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâhu beliau
berkata :
Pendapat ini pula yang dipegang oleh Syaikhunâ Masyhur Hasan Âlu Salmân
hafizhahullâhu di dalam buku beliau al-Qoul Mubîn fî Akthâ’il Mushollîn.
Ketika terjadi gerhana, baik gerhana matahari dan bulan, dianjurkan dan
disunnahkan untuk melakukan sebagai berikut :
1. Merasa takut kepada Allôh Ta’âlâ di kala terjadi gerhana. Sebagaimana sabda
Nabi Shallallâhu ‘alaihi Sallam :
ﻤﺎ ﻋﺒﺎﺩﻩ ﻑ ﻭﻟﻜﻦ ﺍﷲ ﳜﻮ، ﻻ ﻳﻨﻜﺴﻔﺎﻥ ﳌﻮﺕ ﺃﺣﺪ،ﺇﻥ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻭﺍﻟﻘﻤﺮ ﺁﻳﺘﺎﻥ ﻣﻦ ﺁﻳﺎﺕ ﺍﷲ
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda diantara tanda-tanda Allôh.
Gerhana matahari dan bulan terjadi bukan disebabkan oleh kematian seseorang.
Akan tetapi Allôh bermaksud menakuti hamba-hamba-Nya dengannya.” (HR
Bukhârî)
Di dalam hadits Abû Burdah dari Abû Mûsâ Radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata :
، ﻭﺭﻛﻮﻉ، ﻓﺄﺗﻰ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﻓﺼﻠﻰ ﺑﺄﻃﻮﻝ ﻗﻴﺎﻡ،ﺎ ﳜﺸﻰ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔﺧﺴﻔﺖ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻓﻘﺎﻡ ﺍﻟﻨﱯ ﹶﻓ ِﺰﻋ
ﻭﻟﻜﻦ، ))ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻳﺎﺕ ﺍﻟﱵ ﻳﺮﺳﻞ ﺍﷲ ﻻ ﺗﻜﻮﻥ ﳌﻮﺕ ﺃﺣﺪ ﻭﻻ ﳊﻴﺎﺗﻪ: ﻭﻗﺎﻝ،ﻭﺳﺠﻮﺩ ﺭﺃﻳﺘﻪ ﻗﻂ ﻳﻔﻌﻠﻪ
(( ﻭﺍﺳﺘﻐﻔﺎﺭﻩ،ﻓﺈﺫﺍ ﺭﺃﻳﺘﻢ ﺷﻴﺌﹰﺎ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻓﺎﻓﺰﻋﻮﺍ ﺇﱃ ﺫﻛﺮ ﺍﷲ ﻭﺩﻋﺎﺋﻪ،ﺎ ﻋﺒﺎﺩﻩ ﻑ ﺍﷲﳜﻮ
“Ketika terjadi gerhana matahari, Nabi Shallallâhu ‘alaihi Sallam sontak berdiri
terkejut dan merasa ketakutan kiamat akan datang. Beliau lantas pergi ke masjid
dan melakukan sholat yang panjang berdiri, ruku’ dan sujudnya. Aku melihat
beliau begitu ajegnya melakukannya. Setelah itu Nabi bersabda : “Gerhana ini
adalah tanda-tanda yang Allôh mengutusnya bukan disebabkan karena kematian
atau kelahiran seseorang. Namun gerhana ini diutus supaya Allôh menakuti hamba-
hamba-Nya. Apabila kalian melihat sesuatu dari gerhana, maka takutlah dan
bersegeralah berdzikir kepada Allôh, berdoa dan memohon pengampunan-Nya.”
(Muttafaq ‘Alaihi)
Al-Hâfizh berkata : “Bisa jadi ketakutan Nabi Shallallâhu ‘alaihi Sallam ketika
terjadinya gerhana merupakan pendahuluan terjadinya tanda-tanda kiamat
(besar), seperti terbitnya matahari dari barat. Bukanlah suatu hal yang mustahil
terjadinya gerhana merupakan perantara terbitnya matahari (dari timur) dengan
terbitnya matahari (dari barat)...” (Fathul Bârî II/546)
Dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallâhu ‘anhumâ beliau berkata bahwa Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda selepas gerhana :
ﻓﺈﺫﺍ ﺭﺃﻳﺘﻢ ﺫﻟﻚ ﻓﺎﺫﻛﺮﻭﺍ ﺍﷲ،ﺇﻥ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻭﺍﻟﻘﻤﺮ ﺁﻳﺘﺎﻥ ﻣﻦ ﺁﻳﺎﺕ ﺍﷲ ﻻ ﳜﺴﻔﺎﻥ ﳌﻮﺕ ﺃﺣﺪ ﻭﻻ ﳊﻴﺎﺗﻪ
“Sesungguhnya matahari dan bulan itu adalah dua tanda dari tanda-tanda Allôh.
Gerhana matahari dan bumi tidaklah terjadi oleh sebab kematian atau kelahiran
seseorang. Apabila kalian melihat gerhana maka berdzikirlah kepada Allôh.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasûlullâh, kami melihat Anda sedang meraih
sesuatu di tengah sholat kemudian kami melihat Anda mundur ke belakang.”
ﺍﺭ ﻣﻨﻈﺮ ﻭﺭﺃﻳﺖ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻓﻠﻢ ﺃ، ﻭﻟﻮ ﺃﺻﺒﺘﻪ ﻷﻛﻠﺘﻢ ﻣﻨﻪ ﻣﺎ ﺑﻘﻴﺖ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ،ﺩﺍ ﺇﱐ ﺭﺃﻳﺖ ﺍﳉﻨﺔ ﻓﺘﻨﺎﻭﻟﺖ ﻣﻨﻬﺎ ﻋﻨﻘﻮ
ﻭﺭﺃﻳﺖ ﺃﻛﺜﺮ ﺃﻫﻠﻬﺎ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ،ﻛﺎﻟﻴﻮﻡ ﻗﻂ ﺃﻓﻈﻊ
“Sesungguhnya aku tadi melihat surga dan aku tadi berupaya meraih setandan
buah-buahan darinya. Seandainya kamu mendapatkannya dan memakannya,
niscaya kamu (tidak butuh lagi makanan) di dunia. Kemudian aku melihat neraka
dan belum pernah aku melihat pemandangan yang ngerinya seperti itu. Dan kulihat
kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita.”
Para sahabat bertanya, “Oleh sebab apa wahai Rasûlullâh?” Rasûlullâh menjawab,
“oleh sebab kekufuran mereka”. Mereka bertanya lagi, “apa karena mereka kufur
kepada Allôh?”. Rasûlullâh menjawab :
ﻣﺎ: ﰒ ﺭﺃﺕ ﻣﻨﻚ ﺷﻴﺌﹰﺎ ﻗﺎﻟﺖ، ﻟﻮ ﺃﺣﺴﻨﺖ ﺇﱃ ﺇﺣﺪﺍﻫﻦ ﺍﻟﺪﻫﺮ ﻛﻠﱠﻪ،ﻳﻜﻔﺮﻥ ﺍﻟﻌﺸﲑ ﻭﻳﻜﻔﺮﻥ ﺍﻹﺣﺴﺎﻥ
ﺍ ﻗﻂﺭﺃﻳﺖ ﻣﻨﻚ ﺧﲑ
“Mereka mengkufuri suami dan kebaikannya. Apabila kalian berbuat baik kepada
salah seorang dari wanita setiap waktu, kemudian dia melihat ada sesuatu yang
kurang baik darimu, dia akan berkata : “aku tidak pernah melihatmu berbuat baik
sedikitpun.”.” (Muttafaq ‘alaihi)
ﻓﺎﺟﺘﻤﻌﻮﺍ،ﺎ ﻳﻨﺎﺩﻱ ﺃﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺟﺎﻣﻌﺔ ﻓﺄﻣﺮ ﺍﻟﻨﱯ ﻣﻨﺎﺩﻳ، ﺧﺴﻔﺖ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ
ﻢ ﺃﺭﺑﻊ ﺭﻛﻌﺎﺕ ﰲ ﺭﻛﻌﺘﲔ ﻭﺃﺭﺑﻊ ﺳﺠﺪﺍﺕ ﻭﺍﺻﻄﻔﻮﺍ ﻓﺼﻠﻰ
“Pada zaman Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam terjadi gerhana matahari,
lalu Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan untuk menyerukan sholat
secara berjama’ah. Kemudian para sahabat berkumpul dan berbaris melakukan
sholat empat kali ruku’ dan sujud di dalam dua rakaat.” (HR an-Nasâ`î dan Abû
Dâwud, dishahihkan oleh al-Albânî di dalam Irwâ` al-Gholîl no 658).
4. Tidak ada adzan dan iqomah pada sholat gerhana. Karena Nabi Shallallâhu
‘alaihi wa Sallam melakukan sholat gerhana tanpa adzan dan iqomah. Barangsiapa
yang melakukan sholat gerhana secara berjama’ah diawali dengan adzan dan
iqomah, maka ia harus menunjukkan dasar dan tuntunannya dari Nabi Shallallâhu
‘alaihi wa Sallam.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar menukil ucapan Ibnu Daqîq al-Îd tentang sholat gerhana,
beliau rahimahullâhu berkata :
: ﻭﺇﺫﺍ ﺭﻓﻊ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﻛﻌﺔ ﻗﺎﻝ،ﺮ ﻓﺮﻛﻊ ﻓﺈﺫﺍ ﻓﺮﻍ ﻣﻦ ﻗﺮﺍﺀﺗﻪ ﻛﺒ،ﺟﻬﺮ ﺍﻟﻨﱯ ﰲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻜﺴﻮﻑ ﺑﻘﺮﺍﺀﺗﻪ
،ﻩ ﺭﺑﻨﺎ ﻭﻟﻚ ﺍﳊﻤﺪ(( ﰒ ﻳﻌﺎﻭﺩ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﰲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻜﺴﻮﻑ ﺃﺭﺑﻊ ﺭﻛﻌﺎﺕ ﰲ ﺭﻛﻌﺘﲔ ))ﲰﻊ ﺍﷲ ﳌﻦ ﲪﺪ
ﻭﺃﺭﺑﻊ ﺳﺠﺪﺍﺕ
“Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam mengeraskan bacaan beliau ketika sholat
gerhana. Apabila beliau selesai membaca al-Qur`ân, maka beliau bertakbir
kemudian ruku’. Ketika bangkit dari ruku’ beliau mengucapkan Sami’a-Llôhu liman
hamidahu Robbanâ walaka-l hamdu, kemudian beliau mengulangi membaca al-
Qur`an di sholat gerhana sebanyak empat ruku’ dan sujud dalam dua raka’at.”
(Muttafaq ‘alaihi)
Yang lebih râjih adalah, mengeraskan bacaan ini dilakukan baik untuk sholat
gerhana di siang hari ataupun sholat gerhana di malam hari, sebagaimana dalam
hadits ‘Â`isyah Radhiyallâhu ‘anhâ di atas. Sebab, sunnah yang disyariatkan di
dalam sholat jama’ah adalah mengeraskan bacaan, sebagaimana di dalam sholat
istisqô’ (sholat minta hujan), sholat Îd dan sholat Tarâwîh. Demikianlah pendapat
yang lebih râjih insyâ Allôh dan pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Ibnu
Qudâmah dan Ibnu Qoyyim al-Jauziyah.
ﻭﺻﻒ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﺭﺍﺀﻩ، ﻓﻘﺎﻡ ﻭﻛﱪ،ﺧﺮﺝ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﱃ ﺍﳌﺴﺠﺪ
Ulama ahli fikih bersepakat bahwa sholat gerhana matahari disunnah untuk
dilaksanakan secara berjama’ah di masjid dan diserukan sebelumnya dengan
seruan : “ash-Sholatu Jâmi’ah”. Syâfi’iyah dan Hanâbilah memperbolehkan untuk
melakukannya secara sendiri-sendiri (munfarid), dengan alasan berjama’ah
hanyalah sebatas sunnah saja, bukanlah merupakan syarat. Sedangkan Hanafiyah
berpendapat, apabila imam tidak datang, maka manusia boleh sholat sendiri-
sendiri di rumah mereka.
Adapun sholat gerhana bulan, Hanafiyah dan Mâlikiyah berpendapat lebih disukai
untuk melaksanakannya secara munfarid sebagaimana sholat-sholat sunnah
lainnya. Sebab, menurut mereka, sholat gerhana bulan belum pernah ada yang
menukilkan pernah dilaksanakan oleh Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam,
padahal gerhana bulan itu lebih sering terjadi ketimbang gerhana matahari.
Mereka juga beralasan bahwa hukum asal sholat yang bukan wajib adalah tidak
dilaksanakan secara berjama’ah dan dilakukan di rumah, sebagaimana sabda Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam :
“Sholatnya seseorang di rumahnya adalah lebih utama, kecuali sholat yang wajib.”
Pendapat yang râjih adalah, tidak ada bedanya antara sholat gerhana matahari dan
bulan. Disunnahkan untuk melakukannya secara berjama’ah di masjid,
sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Qudâmah. Walaupun dibolehkan
melakukannya secara sendiri-sendiri, namun mengamalkannya secara berjama’ah
adalah lebih utama, sebab nabi melakukan sholat gerhana secara berjama’ah dan
disunnahkan untuk mengamalkannya di masjid. (al-Mughnî III/323)
ﻭﺇﺫﺍ ﻫﻲ،ﺃﺗﻴﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﺯﻭﺝ ﺍﻟﻨﱯ – ﺣﲔ ﺧﺴﻔﺖ ﺍﻟﺸﻤﺲ – ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻗﻴﺎﻡ ﻳﺼﻠﻮﻥ
ﺁﻳﺔ؟ ﻓﺄﺷﺎﺭﺕ:ﺖ
ﻓﻘﻠ، ﺳﺒﺤﺎﻥ ﺍﷲ: ﻭﻗﺎﻟﺖ، ﻣﺎ ﻟﻠﻨﺎﺱ؟ ﻓﺄﺷﺎﺭﺕ ﺑﻴﺪﻫﺎ ﺇﱃ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ: ﻓﻘﻠﺖ،ﻗﺎﺋﻤﺔ ﺗﺼﻠﻲ
…ﺃﻱ ﻧﻌﻢ
Imam Bukhârî membuat bab di dalam Shahîh-nya “Bâb ash-Sholâh an-Nisâ` ma’a
ar-Rijâl fî al-Kusûf” (Bab tentang sholatnya kaum wanita bersama pria di sholat
gerhana). Al-Hâfizh mengomentari : “Beliau menunjukkan dengan bab ini untuk
membantah orang yang berpendapat dilarangnya wanita sholat gerhana” (Fath al-
Bârî II/543). Imam Nawawî mengatakan : “hal ini menunjukkan disunnahkannya
sholat gerhana bagi wanita, dan posisinya di belakang kaum pria.” (Syarh Shahîh
Muslim VI/462).
8. Sholat gerhana juga dilakukan walaupun dalam keadaan safar. Dalilnya adalah
sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam :
ﻭﻟﻜﻨﻬﻤﺎ ﺁﻳﺘﺎﻥ ﻣﻦ ﺁﻳﺎﺕ ﺍﷲ ﻓﺈﺫﺍ ﺭﺃﻳﺘﻤﻮﳘﺎ ﻓﺼﻠﻮﺍ،ﺇﻥ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻭﺍﻟﻘﻤﺮ ﻻ ﳜﺴﻔﺎﻥ ﳌﻮﺕ ﺃﺣﺪ ﻭﻻ ﳊﻴﺎﺗﻪ
“Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan terjadi bukanlah disebabkan oleh
kematian atau kelahiran seseorang, namun keduanya merupakan dua tanda dari
tanda-tanda Allôh. Apabila kalian melihatnya, maka sholatlah!.” (HR Bukhârî)
Namun, panjangnya sholat hendaklah tidak sampai memperberat makmum. Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam Ibnu Baz rahimahullâhu di dalam kumpulan
fatwa beliau, Majmû’ Fatâwa wa Maqolât Mutanawwi’ah (XIII/35).
ﻭﻓﻘﻬﺎﺀ ﺃﺻﺤﺎﺏ، ﻭﺍﺑﻦ ﺟﺮﻳﺮ، ﻭﺇﺳﺤﺎﻕ،ﺍﺧﺘﻠﻒ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﰲ ﺍﳋﻄﺒﺔ ﻟﺼﻼﺓ ﺍﻟﻜﺴﻮﻑ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ
ﻭﺩﻟﻴﻞ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ، ﻻ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﺫﻟﻚ: ﻭﻗﺎﻝ ﻣﺎﻟﻚ ﻭﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ،ﺍﳊﺪﻳﺚ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﺑﻌﺪﻫﺎ ﺧﻄﺒﺘﺎﻥ
ﰲ ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﲔ ﻭﻏﲑﳘﺎ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺧﻄﺐ ﺑﻌﺪ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻜﺴﻮﻑ،ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﺔ
“Para ulama berbeda pendapat tentang khutbah sholat gerhana. Asy-Syâfi’î, Ishâq,
Ibnu Jarîr dan fuqohâ` ahli hadits, menyunnahkan khutbah selesai sholat dengan
dua kali khutbah. Sedangkan Mâlik dan Abû Hanîfah tidak menyunnahkan demikian
(yaitu tidak menyunnahkan khutbah setelah sholat gerhana). Dalilnya asy-Syâfi’î
adalah hadits-hadits yang shahih, diantaranya yang terdapat di dalam Shahîhain
dan selainnya, bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam berkhutbah selepas sholat
gerhana.” (Syarh al-Muslim VI/454)
“Para ulama berbeda pendapat tentang khutbah sholat gerhana. Asy-Syâfi’î, Ishâq
dan mayoritas ahli hadits menyunnahkan khutbah. Ibnu Qudâmah berkata : Belum
pernah sampai (riwayat) kepada kami dari Ahmad Rahimahullâhu bahwa ada
khutbah sholat gerhana. Penulis al-Hidâyah dari kalangan Hanafiyah mengatakan :
“tidak ada khutbah sholat gerhana, sebab belum pernah ada nukilan (dari
Rasûlullâh) tentang hal ini. Pendapat ini dibantah sebab banyak hadits yang tsâbit
yang menjelaskan adanya khutbah.
Pendapat yang masyhûr menurut Mâlikiyah adalah tidak ada khutbah sholat
gerhana, padahal Mâlik sendiri meriwayatkan hadits yang menyebutkan adanya
khutbah. Sebagian ulama madzhab Mâliki menjawab bahwa hadits (yang disebutkan
oleh Imam Malik) tidak dimaksudkan untuk khutbah secara khusus, namun
dimaksudkan untuk menjelaskan bantahan kepada sebagian orang yang meyakini
bahwa gerhana terjadi oleh sebab kematian beberapa orang.
Pendapat ini dibantah sebab ada hadits-hadits yang shahih yang menegaskan
bahwa yang dilakukan Rasûlullâh adalah khutbah, sebab memiliki syarat khutbah
yang meliputi hamdalah, pujian, wejangan dan selainnya, sebagaimana terkandung
dalam hadits. Jadi bukan hanya terbatas untuk menjelaskan sebab-sebab
terjadinya gerhana. Hukum asal perkara yang disyariatkan adalah diikuti dan
pengkhususan tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil...” (Fath al-Bârî II/534)
Sifat dan cara khutbah Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam di dalam khutbah sholat
gerhana sebagaimana dalam hadits-hadits yang shahih, terhimpun dalam poin-poin
sebagai berikut :
1. Selepas sholat gerhana, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam naik ke atas mimbar.
(HR an-Nasâ`î : 1498)
2. Kemudian nabi berkhutbah, mengucapkan hamdalah, memuji dan menyanjung
kemudian mengucapkan amma ba’du. (HR al-Bukhârî : 1053)
3. Kemudian Nabi menjelaskan bahwa gerhana matahari adalah dua tanda
diantara tanda-tanda Allôh, yang gerhana terjadi bukanlah disebabkan karena
kematian atau kelahiran seseorang. Lalu Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam
memerintahkan untuk berdzikir kepada Allôh, bertakbir, sedekah,
membebaskan budak, beristighfar dan berdoa. (Muttafaq ‘alaihi)
4. Beliau juga memerintahkan untuk bersegera sholat ketika terjadi gerhana dan
melakukan sholat sampai gerhana selesai. (HR Bukhârî : 1063)
5. Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam menceritakan bahwa beliau melihat
surga dan neraka. Dimana beliau sampai berkeinginan untuk meraih setandan
buah-buahan. Beliau juga menceritakan ngerinya siksa neraka yang apinya
saling melalap satu dengan lainnya dan kebanyakan penghuninya adalah wanita.
(Muttafaq ‘alaihi)
6. Beliau menceritakan tentang fitnah dan siksa kubur. (Muttafaq ‘alaihi)
7. Beliau juga menceritakan tentang hal-hal lain yang bermaksud membuat
manusia menjadi takut dan ingat kepada Rabb-nya. Sebagaimana dalam hadits-
hadits lainnya yang shahih.
11. Bersegera melakukan amal shalih, seperti bedzikir, doa, istighfâr, takbir,
membebaskan budak, bersedekah, sholat dan ber-ta’awwudz (memohon
perlindungan) dari siksa neraka dan kubur. Hadits-haditsnya banyak, sebagiannya
telah disebutkan di atas.
Jadi, sungguh ironi apabila kita menyibukkan diri dengan perbuatan sia-sia, atau
bahkan melakukan kemaksiatan tatkala terjadinya gerhana. Padahal, Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, manusia yang paling mulia, merasa takut dan
bersegera untuk sholat serta banyak berdzikir dan melakukan amal-amal shalih
lainnya. Wallôhul Musta’an
Para ulama berbeda pendapat tentang sifat sholat gerhana. Hanâbilah, Syâfi’îyah
dan Mâlikiyah berpendapat bahwa sholat gerhana dilakukan sebanyak dua rakaat,
dan tiap rakaatnya terdiri dari dua kali berdiri, dua kali membaca al-Qur`ân, dua
kali ruku’ dan dua kali sujud. Adapun Abû Hanîfah, ats-Tsaurî dan an-Nakhâ’î serta
penduduk Kufah, berpendapat bahwa sholat gerhana dilakukan sebanyak dua
rakaat dengan sifat sama seperti sholat sunnah lainnya, yaitu satu kali ruku’,
berdiri dan membaca al-Qur`ân. Namun pendapat mereka ini menyelisihi hadits
yang lebih shahih. (Lihat Syarh Muslim VI/450, Nailul Authâr II/637 dan al-Mughnî
I/450).
Ada pula riwayat hadits yang menjelaskan bahwa sholat gerhana dilakukan
sebanyak dua rakaat, tiap rakaatnya 3 kali ruku’, riwayat lain menyatakan 4 kali
ruku’, riwayat lain menyatakan 5 kali ruku’. Ini semua, menurut Imam Ibnul
Qoyyim adalah tidak benar. Beliau rahimahullâhu berkata :
ﺎ ﻭﺫﻫﺒﺖ ﺍﳊﻨﻔﻴﺔ ﺇﱃ ﺃ.(( ﻭﻳﺮﻭﻧﻪ ﻏﻠﻄﹰﺎ، ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ، ﻭﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ، ﻛﺎﻹﻣﺎﻡ ﺃﲪﺪ،ﻻ ﻳﺼﺤﺤﻮﻥ ﺍﻟﺘﻌﺪﺩ ﻟﺬﻟﻚ
ﺗﺼﻠﻰ ﺭﻛﻌﺘﲔ ﻛﺴﺎﺋﺮ ﺍﻟﻨﻮﺍﻓﻞ
“Bilangan sifat tersebut tidak dibenarkan, diantaranya oleh Imam Ahmad, Bukhârî
dan Syâfi’î, mereka berpandangan hadits-haditsnya gholath/keliru.” (Zâdul Ma’âd
453).
Adapun yang râjih insyâ Allôh, adalah sholat dua rakaat yang tiap rakaatnya terdiri
dari dua ruku’, dua kali berdiri dan membaca al-Qur`ân dan dua kali sujud.
Berikut ini adalah sifat sholat gerhana Rasûlullâh sebagaimana yang ma’tsur di
dalam hadits-hadits yang shahih :