You are on page 1of 24

297

Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
EPILOG
Apa yang Dimaksud dengan Ilmu Perpustakaan dan Informasi sebuah
diskusi Berkesinambungan
Putu Laxman Pendit
PENDAHULUAN
Pada musim gugur tahun 2003, pengurus Universitas Humboldt di Berlin memutuskan untuk
membubarkan salah satu departemennya, Institut fr Bibliothekswissenschaft. Alasan yang mendasari
keputusan pembubaran ini, sebagaimana diceritakan oleh Haukue (2005), antara lain adalah
ketidakjelasan status Bibliothekswissenschaft (terjemahan bebas: ilmu perpustakaan) itu sendiri. Para
pengurus Universitas Humboldt, yang notabene adalah induk bagi Institut, rupanya tidak sepenuhnya
mengerti hakikat ilmu tersebut. Sudah barang tentu ini adalah keputusan yang mengejutkan, terutama
jika mengingat bahwa institut di Berlin itu sebenarnya adalah satu-satunya jurusan yang bertahan dengan
Bibliothekswissenschaft, dan bahwa Jerman adalah salah satu negara dengan tradisi kepustakawanan
yang panjang dan serius.
Dalam sejarah Eropa, buku teks tentang kepustakawanan justru pertama terbit di Jerman tahun
1834, ditulis oleh Martin Schrettinger dan Friedrich Adolf Ebert. Bangsa Jerman pula yang mengawali
sistem pendidikan dan pelatihan pustakawan, juga dimotori oleh Schrettinger, yang waktu itu bekerja
untuk perpustakaan Universitas Freiburg. Baru setelah beberapa dasawarsa kemudian, yaitu tahun
1882, Inggris menyelenggarakan program sertifkasi lewat Library Association (lihat Lerner, 1998).
Pada masa awal kepustakawanan Jerman, banyak pula pengelola perpustakaan yang menjadi terkenal
setelah mengembangkan pengetahuan lebih spesifk, misalnya GottIried Wilhelm Leibniz (flsuI dan
ahli matematika) dan Johann WolIgang von Goethe (flsuI).
Mengapa negara yang memiliki akar tradisi kepustakawanan begitu kuat itu justru ingin menutup
institut yang mengembangkan ilmu perpustakaan? Sebenarnya penutupan sekolah dengan alasan efsiensi
dan 'perkembangan zaman juga terjadi di wilayah lain di Jerman dan di berbagai negara dengan tradisi
kepustakawanan kuat, seperti Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat. Sebagian besar sekolah di negara-
negara itu menanggalkan afliasi mereka ke ilmu perpustakaan, atau setidaknya mengubah nama jurusan
dan kurikulum inti mereka untuk menjawab apa yang mereka anggap sebagai tuntutan perubahan.
Namun, kasus di Jerman menjadi unik karena salah satu alasannya adalah ketidakjelasan ilmu.
Sebagai reaksi atas keputusan pengelola Universitas Humboldt, pada musim semi di tahun 2004,
beberapa veteran pengajar didukung para mahasiswa universitas tersebut berupaya 'membela diri
demi keberlangsungan ilmu perpustakaan di Jerman. Caranya adalah dengan menghimpun pendapat
dan tulisan para ahli dari berbagai negara untuk menjelaskan secara ilmiah, apa yang dimaksud dengan
ilmu perpustakaan. Hasil upaya ini adalah sebuah naskah akademik yang kemudian terbit menjadi
buku, Bibliothekswissenschaft quo vadis? = Library Sciencequo vadis?: Eine Disziplin zwischen
Traditionen und Visionen; ProgrammeModelle-Forschungsaufgaben. Isi buku ini secara amat
komprehensif mencoba menjawab beberapa isu penting, seperti kaitan antara tradisi dan persepsi publik
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
298
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
tentang ilmu perpustakaan, relevansinya dengan perkembangan teknologi digital, dan kegunaan atau
makna sosial dari ilmu perpustakaan di sebuah masyarakat. Berbagai penulis, pemikir, dan profesor dari
negara tetangga ikut berpartisipasi, mengajukan gagasan-gagasan ilmiah tentang ilmu perpustakaan.
Berkat upaya 'pembelaan yang cukup gigih, akhirnya pada Februari 2005 pengurus Universitas
Humboldt di Berlin memutuskan untuk membatalkan pembubaran dan membiarkan ilmu perpustakaan
mengembangkan program-programnya. Seperti kebanyakan flm-flm Hollywood, kisah di Jerman itu
berujung pada happy ending, walau harus dibuka oleh keterkejutan dan dibumbui oleh upaya dramatis
para dosen dan mahasiswanya untuk bertahan hidup. Kisah itu memang dapat kita pakai untuk mengawali
artikel ini, dan secara khusus kita dapat memakai frasa di judul buku yang terbit di Berlin: quo vadis?
Relevansi untuk Indonesia dan Pendapat Para Doktor
Berbeda dari di Jerman, kita di Indonesia belum pernah menghadapi keraguan yang begitu
gamblang dan formal tentang hakikat ilmu perpustakaan, apalagi sampai upaya menutup sebuah
jurusan/departemen. Sebaliknya, sejak dua dekade ini justru bertumbuhan sekolah-sekolah yang
mencantumkan 'Ilmu Perpustakaan dan InIormasi di nama mereka. Walau begitu, tidak mungkin pula
kita dapat sepenuhnya memungkiri bahwa belum semua pihak di Indonesia memahami hakikat ilmu ini,
termasuk di antara kita sendiri yang diam-diam maupun terang-terangan tidak terlalu mampu dengan
jelas menerangkan apa yang dimaksud ilmu perpustakaan dan informasi (selanjutnya IP&I).
Jika kita sendiri kemudian bertanya quo vadis, kita melakukan refeksi, bukan mempersoalkan
ada-tidaknya IP&I. Kita tidak meragukannya, melainkan justru ingin lebih menegaskannya. Terlebih-
lebih lagi, kita melakukan refeksi itu sebagai tanggung jawab seorang ilmuwan kepada masyarakat
Indonesia; semacam akuntabilitas dari pihak yang telah dipercaya menyandang gelar ilmiah dalam
bidang perpustakaan dan informasi. Dengan maksud itulah artikel ini ditulis, didahului oleh sebuah
penghimpunan pendapat dari para doktor (Dr.) peserta Seminar dan Lokakarya Ilmiah Nasional
Information for Society. Scientihc Point of Jiew di Pusat Dokumentasi dan InIormasi Ilmiah, LIPI
pada tanggal 20-21 Juli 2011.
Ada tujuh Dr. yang berpartisipasi mengirim pendapat tertulis.
1
Pendapat mereka tersebut
merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikirim panitia segera setelah seminar usai. Pertanyaan itu
amatlah sederhana: apa yang dimaksud ilmu perpustakaan dan informasi? Bagaimana prospeknya,
dan apa saja topik yang perlu dikaji? Saya sebagai penulis artikel ini kemudian bertugas menghimpun
jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut dan menjadikannya sebuah tulisan yang padu seperti yang
sekarang Saudara baca ini. Perlu kiranya saya menyampaikan terlebih dahulu bahwa jawaban-jawaban
tersebut bukanlah dalam bentuk artikel ilmiah. Sebagian bahkan hanya berupa jawaban non-formal
dalam bentuk surat elektronik yang mengandung dua sampai lima paragraf. Sebagian lain berupa tulisan
(terpanjang lima halaman) yang berisi daftar rujukan. Hal tersebut disebabkan memang begitulah yang
dicanangkan; Panitia memang sekadar membentuk sebuah himpunan pendapat spontan yang menjadi
masukan awal bagi diskusi berkelanjutan.
Dari pendapat-pendapat yang masuk, terdapat dua kategori jawaban dasar terhadap pertanyaan
Apa yang dimaksud IP&I, yaitu
1. Jawaban yang mengaitkan IP&I dengan kegiatan operasional sebuah institusi (khususnya
perpustakaan), termasuk administrasi, manajemen, dan teknik-proseduralnya, dan
1
Diurut sesuai waktu menyerahkan pendapat (dari yang pertama menyerahkan): Dr. Udjang, Dr. Laksmi, Diao Ai Lien,
Ph.D., Dr. Pudji Muljono, Dr. Ilham Prisgunanto, Dr. Retno, dan Dr. Zulfkar Zen.
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
299
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
2. Jawaban yang mengaitkan IP&I dengan manusia dan masyarakat yang menjalankan maupun
memanfaatkan institusi tersebut.
Pendapat pertama misalnya, diwakili Dr. Udjang yang menyatakan bahwa IP&I pada umumnya
merupakan 'studi tentang bagaimana mengoperasikan perpustakaan. Ia mengatakan bahwa di internet
ada beberapa defnisi, tetapi tidak menyertakan alamat rujukan. Jika kita bertanya kepada Paman
Google, nampaknya Dr. Udjang merujuk ke defnisi-defnisi ini.
2
The study of collecting, preserving, cataloging, and making available books and other documents
in libraries (defnisi yang keluar dari Google kalau mengetik 'what is library science).
the study of the principles and practices of library administration (wordnetweb.princeton.edu/perl/
webwn)
Library science (often termed library studies or - now dominating - library and information science)
is an interaisciplinary or multiaisciplinary hela that applies the practices, perspectives, ana tools
of management, information technology, education, and other areas to libraries; the collection,
organization, preservation, and dissemination of information resources; and the political economy
of information. (en.wikipedia.org/wiki/Libraryscience)
Hal yang sudah pasti dari defnisi-defnisi itu adalah bahwa IP&I memang berkosentrasi pada praktik
operasional, yaitu bagaimana sebuah institusi yang bernama perpustakaan atau lainnya beroperasi,
khususnya dalam hal pengumpulan, pengorganisasian, dan penyebaran sumber daya informasi. Hal ini
serupa dengan pendapat Dr. Retno yang menyatakan bahwa ilmu perpustakaan pada dasarnya adalah
studi tentang bagaimana mengoperasikan perpustakaan dengan beberapa cabang, termasuk pelayanan
publik, pelayanan teknis, dan administrasi. Demikian pula pendapat Dr. Zulfkar Zen yang menyatakan,
Saya berkesimpulan bahwa terdapat tiga ranah ilmu perpustakaan, yaitu (a) informasi (b) organisasi
inIormasi, dan (c) sistem simpan dan temu kembali inIormasi.
Sementara pendapat kedua diwakili misalnya, oleh Dr. Laksmi yang menyatakan bahwa, 'Seluruh
kegiatan yang berkisar pada informasi merupakan hasil konstruksi seluruh pihak yang terkait.
Akibatnya, seluruh atau sebagian besar fenomena pada bidang informasi perlu dilihat dari perspektif
sosiologi. Dengan kata lain, Dr. Laksmi lebih melihat IP&I sebagai salah satu rumpun ilmu sosial
dalam pengertian ilmu tentang hubungan antarmanusia. Hal ini mirip dengan apa yang disampaikan
Dr. Ai Lien ketika ia mencoba mempersoalkan apa yang disebutnya 'inti IP&I, yaitu: Bagaimana
IP&I melihat manusia (secara individu maupun kelompok) sebagai pencipta dan pengguna informasi.
Dr. Ai Lien segera mengaitkan 'inIormasi dan 'manusia, sekaligus memberikan kemungkinan dua
pendekatan (individual dan kelompok). Individual mungkin maksudnya adalah sisi kognitif, sedangkan
kelompok adalah sisi sosial.
Selain dua kategori umum di atas, beberapa pendapat memperlihatkan perhatian yang lebih spesifk.
Sebagai contoh, menurut Dr. Prisgunanto, IP&I berbicara tentang transfer pesan dalam upaya rehnement
atau penyempurnaan. Menggunakan sisi pandang ilmu komunikasi, ia menyinggung persoalan entropi
atau keadaan luar biasa yang menyebabkan orang galau dan tidak pasti. Dengan berkomunikasi manusia
menggunakan kemampuan mengingat (memory) untuk menghilangkan kegalauan dan ketidakpastian
2
Terakhir diunduh tanggal 17 November 2011.
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
300
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
ini. Mengutip sebagian dari isi bukunya, Praktik Komunikasi Dalam Kehidupan Sehari-hari (Jakarta,
Teraju, 2004), Dr. Prisgunanto menyatakan,
Pola pencarian informasi untuk menghilangkan ketidakpastian ini adalah bagian dari komunikasi.
Bisa jadi orang akan mencari informasi dengan menanyakan kembali kepada komunikator atau
mencari melalui literatur, situs internet atau jejaring sosial yang dapat menjawab dan menenangkan
kegalauan tadi (entropi). Di sinilah inti dari kajian-kajian IP&I.
Pendapat spesifk juga diajukan Dr. Retno yang menggagas agar peran baru ilmu perpustakaan
diarahkan untuk dapat mewujudkan pusat belajar dan pengetahuan bagi pengguna dalam posisinya
masing-masing secara intelektual. Perpustakaan dapat menjadi pendukung mekanisme komunikasi
inovasi secara interaktif. Penekanannya adalah pada interaksi ide yang memperluas proses belajar dan
memIasilitasi penciptaan pengetahuan baru. Gagasan ini tentunya amat berkaitan dengan pendekatan
pengelolaan sumber daya pengetahuan (knowledge resources management). Menurut Dr. Retno,
Sebagai organisasi pembelajar, perpustakaan harus memberikan kepemimpinan yang kuat
dalam manajemen pengetahuan. Melampaui pengetahuan eksplisit, perpustakaan juga harus
mengembangkan cara untuk menangkap semua pengetahuan yang implisit namun penting bagi
penggunanya, organisasinya, dan untuk operasi internal perpustakaan.
Perpustakaan dan Kepustakawanan
Kecuali Dr. Retno yang sepintas menyentuh peran perpustakaan dalam masyarakat antara Iungsi
mendukung demokrasi dan dukungan untuk proses belajar individu, di dalam pendapat-pendapat di
atas tidak ada seorang pun yang secara implisit berusaha menjelaskan tentang kata perpustakaan di
dalam IP&I. Institusi ini seolah-olah hanya ada di latar belakang, dan hanya terlihat sebagai sekumpulan
operasi teknis prosedural, sebuah wadah, wahana, atau sebuah bangunan fsik. Semua pendapat lebih
banyak merujuk ke kata inIormasi. Namun pada saat yang sama, para doktor juga menyebut-nyebut
soal lulusan dari pendidikan IP&I, yakni pustakawan. Tidak ada yang menyebut-nyebut tentang proIesi
inIormasi. Apakah dengan demikian perpustakaan sebenarnya hanyalah objek kajian, sedangkan
ilmunya adalah ilmu inIormasi?
Lebih dari satu dekade yang lalu, Biggs sudah menyinggung hal ini dan menegaskan (atau mungkin
menggerutu) bahwa ilmu perpustakaan tidak pernah ada, melainkan yang ada adalah kepustakawanan
(librarianships). Ia mengambil posisi lebih tegas karena berkonsentrasi pada produk sekolah-sekolah
IP&I yang memang bertujuan menghasilkan para pustakawan. Menurutnya,
Librarianship (I have never felt comfortable calling it library science) is not a discipline, nor
has it the potential to become one. (.) There is no unihea science, no aiscipline, therefore, the hela
does not yield theory or attract many theorists or scientists or even very many serious intellectuals
(1991: 192).
Biggs mengatakan, kepustakawanan adalah sebuah professional study, bukan sebuah 'academic
discipline karena hanya berkonsentrasi pada persoalan-persoalan teknis yang membutuhkan
pemecahan praktis. Untuk memecahkan persoalan inilah diperlukan berbagai ilmu dan teori, mulai dari
ekonomi, sosiologi, psikologi, matematik, ilmu komputer, linguistik (untuk klasifkasi dan analisis isi
buku, misalnya), sejarah, ilmu hukum (misalnya, untuk persoalan hak cipta), manajemen, ilmu politik,
flsaIat, sampai kimia (misalnya, untuk persoalan pelestarian bahan pustaka). Jadi, kesimpulan Biggs,
perpustakaan dan pustakawan adalah objek bagi ilmu-ilmu tersebut, sama halnya dengan rumah sakit
dan segala kegiatan di dalamnya adalah objek dari berbagai ilmu (mulai dari manajemen, ilmu hukum,
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
301
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
sampai ilmu gizi).
Sebagaimana diakuinya sendiri, Biggs memang lebih berkonsentrasi pada kebutuhan pendidikan
yang berorientasi menghasilkan profesi pustakawan. Menarik untuk dicatat di sini, sebagian besar doktor
yang ikut memberi pendapat untuk artikel ini datang dari pihak akademisi penyelenggara pendidikan
IP&I. Pandangan mereka tentang IP&I dalam kaitan dengan profesionalisme menyerupai pandangan
Biggs.
3
Nampaknya memang tak ada dalam pertimbangan Biggs bahwa profesi ini berkiprah di sebuah
institusi yang memiliki tradisi dan sejarah panjang. Ulasan tentang IP&I yang mengarah ke pendidikan
profesi dan profesionalisme pustakawan cenderung mengabaikan keberadaan institusi perpustakaan.
Sebaliknya, untuk dapat mengapresiasi perpustakaan sebagai institusi, kita memang sejenak harus
melihat kepada sejarah perpustakaan di dalam masyarakatnya, dan bukan hanya pada profesionalisme
pekerjanya. Dalam hal ini kita harus berterima kasih kepada Alfred Hessel, pustakawan Jerman, yang
pada tahun 1950 menulis Geschichteder Bibliotheken dan merintis kajian sejarah perpustakaan.
4
Walaupun perhatiannya lebih pada Eropa, karangan Hessel ini patut dicatat karena menekankan pada
perkembangan perpustakaan sebagai agen sosial yang dipengaruhi oleh pola budaya zamannya. Lalu
ada karya Johnson (1965) yang membahas perkembangan perpustakaan dan pengaruhnya terhadap
budaya di Barat. Ia juga secara cermat berupaya melacak segala institusi yang berurusan dengan
kegiatan mengoleksi, menyimpan, dan menyediakan rekaman grafs (graphic records). Michael Harris
melanjutkan pekerjaan yang dimulai Johnson dan berupaya memasukkan topik ideologies of reading
dengan mempertimbangkan konsep kendali/kontrol (libraries as power), kenangan/memori (libraries
as cultural symbols), dan komoditas (libraries as markets). Upaya mengatikan perpustakaan dengan
ideologi dan politik ini semakin jelas antara lain dalam karya Volodin (2002)
5
.
Di luar Eropa tercatat karya Marshall (1983), yang menulis ketika menjabat Direktur Perpustakaan
Universitas Bombay, India. Secara spesifk, Marshall mengulas tentang India, AIrika, dan Dunia Baru
(Amerika dan Amerika Latin). Sementara itu, sejarah tentang perpustakaan di Cina ditulis oleh Xie
Zhuohua. Ditulis dalam bahasa Cina, buku ini menyatakan bahwa sejak Dinasti Zhou (Abad ke-11 sampai
ke-8 SM) sudah ada sejarahwan yang ditunjuk kerajaan untuk mengurusi berkas-berkas yang menjadi
koleksi awal arsip dan perpustakaan Cina. Kemudian, juga diuraikan perkembangan perpustakaan dan
perbukuan di Cina mulai dari Dinasti Shang (17661154 SM) sampai tahun 1949, namun buku ini tidak
bicara sama sekali tentang perpustakaan setelah berdirinya RRC.
6
Buku-buku sejarah tersebut memperlihatkan dengan jelas dua hal penting: (1) Sebagai institusi
perpustakaan bersifat universal, dan (2) Perkembangannya amat berkaitan dengan perkembangan
masyarakatnya, khususnya perkembangan sosial dan budayanya, dan khususnya lagi perkembangan
kekuasaan dan kecendekiawanan. Kajian-kajian lebih spesifk mengungkapkan bagaimana perpustakaan
ikut mengubah dunia pendidikan dan pengetahuan melalui pendekatan kekuasaan. Kajian Milde
(1971), misalnya, melacak kaitan antara peran bangsawan dalam pengembangan perpustakaan dan
3
Secara lebih spesifk, Dr. Zulfkar Zen dari Departemen Ilmu Perpustakaan dan InIormasi, Universitas Indonesia,
misalnya mengatakan Usia pendidikan ilmu perpustakaan sudah lebih setengah abad, telah meluluskan ribuan
pustakawan terdidik, mereka membangun dan mengembangkan perpustakaan di tanah air ini. (italic oleh penulis).
4
Jerman untuk sebagian pengamat sejarah perpustakaan merupakan the birthplace of library history (lihat Volodin, 2000, hal.
458)
5
Buku ini adalah buku pertama setelah era Soviet tentang perpustakaan-perpustakaan Rusia. Sebelumnya di masa Uni
Soviet, sejarah perpustakaan terbagi dua, yaitu sejarah perpustakaan di Uni Soviet, dan sejarah perpustakaan asing.
Akibatnya, banyak fakta sejarah yang dihilangkan dengan alasan ideologis Volodin, kemudian menempatkan semua
perpustakaan Rusia dalam konteks sejarah dunia untuk memperlihatkan pengaruh dunia terhadap Rusia dan sebaliknya.
Jelas terlihat betapa ideologi dan politik sangat memengaruhi perkembangan perpustakaan. (ulasan oleh Irina L. Lynden,
di Library Quarterly, Vol. 73, No. 4, Oct., 2003, hal. 472-474).
6
Sebagaimana diulas Lee-hsia Ting di Libraries & Culture, Vol. 25, No. 2 hal. 276.
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
302
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
universitas di Jerman. Kajian Saunders (1991) mengulas bagaimana Jean-Baptiste Colbert, seorang
menteri di zaman Louis XIV mengembangkan perpustakaan pribadi Raja sebagai sumber inIormasi
bagi administrasi pemerintahan. Boleh dikatakan, inilah cikal bakal dari arsip dan perpustakaan nasional
di Perancis. Sementara Winkelman (1974) mengungkapkan betapa di bawah Dinasti Sung (961279)
tradisi kecendekiawanan dan kepustakawanan Cina memasuki masa kematangan, bukan hanya karena di
saat itu muncul banyak penulis besar, tetapi juga karena penguasa mengizinkan pencetakan literatur
sekuler, mendorong pertumbuhan sekolah, dan memIasilitasi pembuatan bibliograf.
Peran ideologi dan kekuasaan di sebuah masyarakat semakin jelas jika kita melihat perkembangan
peran perpustakaan umum.
7
Dari perspektif sejarah, semua jenis perpustakaan sebetulnya lahir dari
keinginan untuk menghimpun pengetahuan atas dasar penguasaan manuskrip dan buku. Kegiatan ini
biasanya dilakukan oleh sekelompok orang, barulah kemudian dibuka untuk umum. Mulai dari sejarah
Yunani (lihat Jackson, 1974), sejarah Islam (Habbas, 1994), sampai sejarah Kristen (Jackson, ibid),
perpustakaan pada mulanya adalah perpustakaan untuk keperluan spesifk dari sekelompok masyarakat.
Ketika abad ilmu pengetahuan dan liberalisme terbit di Eropa, barulah muncul permikiran perpustakaan
untuk umum. Pada awalnya, prinsip perpustakaan sangatlah berorientasi penyebaran (diseminasi),
terutama penyebaran agama, baru kemudian penyebaran pengetahuan. Koleksinya sangat ditentukan
oleh prinsip-prinsip tentang kebenaran dan kebaikan yang ditentukan oleh elit tertentu di masyarakat.
Selain itu, hampir semua perpustakaan untuk umum di abad-abad sebelum abad ke-19 terdapat di kota-
kota besar, menjadi simbol-simbol dari pemusatan pengetahuan.
8
Dalam khasanah perpustakaan umum dunia, Inggris dikenal sebagai tempat kelahiran perpustakaan
umum modern, karena masyarakat itu sudah sejak tahun 1831 punya ide tentang pendidikan bagi
semua orang (popular education) lewat penyediaan bacaan (Kelly, 1977). Negara ini pula yang
memulai konsep perpustakaan umum sebagai 'milik bersama yang ditumbuhkan dengan menggunakan
pendekatan bottom up (khususnya sejak tahun 1919); memungkinkan masyarakat umum menentukan
sendiri apa yang mereka ingin kembangkan. Selain prinsip 'milik bersama di atas, perpustakaan umum
kemudian dianggap bagian dari suatu masyarakat demokratis, khususnya di Amerika Serikat (AS). Di
negeri ini, perpustakaan umum adalah arsenals of a democratic culture (Ditzion, 1947), suatu prinsip
yang kemudian dirayakan sebagai fungsi perpustakaan dalam kebebasan dan demokrasi (lihat misalnya
kumpulan esei oleh Kranich, 2001). Istilah yang pada awalnya berkembang di AS memang adalah
'perpustakaan untuk umum yang bebas (free public libraries) sebagai protes terbuka terhadap adanya
class libraries yang diperuntukkan bagi sejumlah kecil elit cendekiawan di masyarakat. Selain institusi-
institusi perpustakaan di kota besar, sebagian besar perpustakaan umum di AS justru dibangun di desa-
desa. Menurut Jackson (ibid), pertumbuhan pesat perpustakaan umum juga dapat dihubungkan dengan
kebangkitan asosiasi pekerja dan buruh yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan profesionalisme,
perjuangan kelas yang menajam, dan munculnya pemikiran tentang kontrak sosial.
9
Dari pembahasan ringkas di atas, dapatlah dikatakan bahwa kajian-kajian awal tentang perpustakaan
8
Benua Eropa dianggap sebagai tempat kelahiran perpustakaan yang dibuka untuk umum. Hal ini dapat dilihat dari
kenyataan bahwa Itali sudah punya undang-undang perpustakaan umum sejak tahun 1869. Namun, negara-negara di
dunia lain tampaknya juga punya tradisi serupa. Sebagai contoh, Jepang juga sudah membuka perpustakaan umum
pertama kali tahun 1872. Kemudian, Burma mengubah status perpustakaan kerajaan menjadi perpustakaan umum di
tahun 1883. Sementara itu, India sudah punya sistem perpustakaan untuk umum sejak tahun 1662, terutama yang dikelola
oleh para penginjil.
9
Asosiasi-asosiasi masyarakat yang berkesan "kelas menengah", seperti kelompok pekerja, kelompok wanita, kelompok
religious, dan berbagai kelompok kemasyarakatan juga banyak dihubungkan dengan pendirian perpustakaan umum
di AS, bersamaan dengan upaya kelompok-kelompok bisnis independen yang mendirikan perpustakaan untuk umum
sebagai salah satu jalan mengembangkan budaya bisnis yang terbuka.
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
303
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
sebenarnya banyak menyoroti peran sosial-budaya institusi ini. Jika menggunakan apa yang oleh
Rayward (1985) disebut sebagai perspektiI historis IP&I nampaklah bahwa memang ada kajian yang
lebih memfokuskan diri pada institusi perpustakaan, selain pada profesionalisme sebagaimana diangkat
Biggs di awal bagian ini. Rayward mengatakan bahwa pada akhir abad ke-19 kepustakawanan dan
bibliograf bergabung untuk secara kritis, historis, dan analitis memIokuskan perhatian pada sejarah
perbukuan, perpustakaan, dan transmisi teks di dalam masyarakat pada umumnya, sebelum akhirnya
muncul istilah dokumentasi dan konsentrasi ke teknologi inIormasi yang melahirkan kajian-kajian
temu-kembali informasi.
10
Hal serupa dikatakan pula oleh Miksa (1985) yang menegaskan kristalisasi keilmuan dalam bidang
perpustakaan justru dimulai dengan penggunaan pemikiran dan metode ilmu sosial atau sosiologi
di tahun 1920-an dan 1930-an untuk mengkaji institusi perpustakaan, baik dalam konteks internal
(organisasi dan manajemen) maupun eksternal (peran sosial perpustakaan dan konteks sosial sebuah
perpustakaan). Kajian yang fundamental ini memang berbeda dari kajian-kajian yang bermunculan
seusai Perang Dunia II, ketika komputer dan teknologi komunikasi berkembang pesat, yang antara lain
akhirnya melahirkan ilmu informasi.
11
Sepuluh tahun setelah Rayward dan Miksa, giliran Dick (1995) ikut menegaskan bahwa ilmu
perpustakaan memulai the drift toward social science pada tahun 1930-an sebagai bagian dari
penegasan identitas dan disiplin akademik formal, walaupun jauh sebelumnya pustakawan Jerman sudah
menetapkan kepustakawanan sebagai bagian apa yang disebut Wissenschaft. Di dalam artikelnya pula
Dick mengulas betapa para ilmuwan IP&I terlibat dalam perdebatan tentang apakah perlu meminjam
teori dan metodologi dari ilmu-ilmu sosial yang sudah mapan, atau membuat disiplin tersendiri.
Kelompok yang terakhir ini bersemangat menegaskan IP&I adalah ilmu sosial, khususnya yang dikenal
sebagai traditional liberal social sciences dengan ciri khasnya yang positivistik dan mendukung
netralitas ilmu. Pada masa awal ini pula IP&I banyak menggunakan metode-metode kuantitatiI yang
terus menjadi popular sampai awal tahun 1990-an. Kajian oleh Reisman dan Xiaomei (1994), misalnya,
melacak penggunaan operation researchs selama 25 tahun (akhir tahun 1960-an sampai awal tahun
1990-an) dan mereka menganjurkan peningkatan penggunaannya untuk menjamin cost effectiveness
dari sistem perpustakaan.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika dominasi positivisme mulai terus dipertanyakan,
bermunculanlah berbagai pendekatan dan kelompok ilmuwan, mulai dari apa yang disebut Dick sebagai
kelompok normatif, kelompok reformer yang kontekstualis, sampai ke kelompok transformer yang
emansipatif. Pendekatan kritis, misalnya, penggunaan standpoint epistemology (Trosow, 2001) dan teori
tindakan komunikatif (Benoit, 2002) juga semakin popular. Upaya mengimbangi orientasi positivistik
telah pula berkembang sejalan dengan penggunaan konstruktivisme (constructivism) sebagai salah satu
tradisi interpretivis.
12
Konstruktivisme di bidang perpustakaan ini terlihat di penelitian Brenda Dervin
yang merupakan salah satu pionir dengan metodologi yang diberi nama Sense-Making Methodology.
10
Rayward mengatakan bahwa di abad 19 dimulailah perhatian pada masalah-masalah spesifk menyangkut identifkasi
bibliograf, deskripsi fsik, analisis subjek, dan kompilasi bibliograf untuk kepentingan khusus. Hal ini melatarbelakangi
apa yang disebutnya sebagai 'transIormasi bibliograf menjadi dokumentasi yang terjadi di akhir tahun 1890-an,
khususnya ketika Paul Otlet, salah seorang pendiri International Institute oI Bibliography (kemudian berubah menjadi
International Federation for Documentation, FID) memperkenalkan istilah "documentation". Perkembangan teknologi
yang digunakan untuk kegiatan bibliograf dan dokumentasi inilah yang lalu mendorong lagi kemunculan kajian lebih
spesifk terhadap temu-kembali inIormasi, bukan terhadap perpustakaan.
11
Miksa termasuk ilmuwan yang giat mengungkap demarkasi antara ilmu perpustakaan dan ilmu informasi.
12
Tinjauan tentang konstruktivisme dalam IP&I diulas, misalnya, oleh Williamson (2006) yang telah pula melakukan kajian
sebelumnya tentang ekologi inIormasi (Williamson, 1998).
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
304
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
Adapun Elfreda Chatman dianggap pelopor untuk penelitian tentang kelompok-kelompok masyarakat
marjinal seperti perempuan tua, kelompok miskin, dan para pesakitan di penjara. Sementara menurut
Jones (2008) pengembangan IP&I bahkan memperhatikan paradigma 'ilmu tentang kompleksitas (a
science of complexity) yang bersifat non-reduksionis sehingga juga non-positivistik. Dengan paradigma
ini maka akan ada tempat bagi pengembangan humaniora, bukan hanya pada hal-hal yang bersifat
kebendaan.
Dari pembahasan di atas maka jelaslah bahwa di dalam IP&I kata 'perpustakaan justru menjadi
fokus kajian, bukan sebagai sebuah prosedur-operasional, melainkan sebagai sebuah institusi sosial-
budaya. Jelas pula bahwa fokus kajian-kajian terhadap perpustakaan adalah pada pemaknaan institusi
ini oleh masyarakatnya, sejalan dengan perkembangan nilai-nilai di masyarakat itu, khususnya yang
berkaitan dengan pengetahuan dan kekuasaan. Hal ini amat berbeda dengan sinyalemen Biggs di
awal bagian ini yang lebih berkonsentrasi pada kualitas kerja operasional pustakawan. Kajian-kajian
tentang perpustakaan ini juga memperluas konsep 'kepustakawanan (librarianships) menjadi konsep
yang tidak hanya mencakup kinerja pustakawan sebagai seorang yang profesional, tetapi juga kinerja
perpustakaannya sebagai institusi yang memiliki peran, fungsi, dan misi tertentu di masyarakatnya.
Sekaligus juga terlihat bahwa fokus terhadap institusi ini menjadi ciri sekaligus memengaruhi kajian-
kajian tentang informasi yang akan dibahas berikutnya.
Pengertian Informasi dan Ilmu Informasi
Dr. Retno menyatakan bahwa IP&I berkisar pada tiga unsur, yaitu perpustakaan, dokumentasi dan
informasi. Ia memang tidak menjelaskan lebih rinci ketiga unsur itu, namun nampaknya pembagian
tersebut menjadi acuannya untuk membedakan institusi (dalam hal ini 'perpustakaan) dari material
atau kandungan di dalam institusi tersebut. Di dalam pendapat-pendapat para doktor yang dikirim ke
panitia, kata dan isu tentang 'inIormasi juga dibicarakan lebih menonjol daripada kata 'perpustakaan.
Sebagai contoh, terlihat dalam kutipan berikut:
1. Dr. Puji Mulyono menganggap bahwa topik utama IP&I adalah .. kajian pengguna, pemanfaatan
dan preferensi informasi, perilaku pemanfaatan informasi, dampak penggunaan informasi, budaya
membaca, information literacy.
2. Dr. Prisgunanto mengatakan (...) peluang ledakan inIormasi tidak diikuti oleh kalangan
perpustakaan, dokumentasi, dan informasi (Pusdokinfo), ... informasi dalam konteks kepustakawanan
masih dipandang sebagai sebuah bahan literatur atau dokumentasi.
3. Dr. Zulfkar mengatakan, '... kita lebih mengutamakan isinya. Isinya itu adalah inIormasi.
4. Dr. Ai Lien menyebut 'hard core IP&I adalah: (1) Apa itu inIormasi? (2) Pengertian inIormasi
yang seperti apa yang menjadi kajiannya dan untuk manfaat apa? (3) Bagaimana melihat manusia
sebagai pencipta dan pengguna informasi?
Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan 'inIormasi dalam pendapat-pendapat di atas? Apakah
sebagai sebuah bentuk perilaku atau material? Apakah yang dimaksud isi (content) dan apa bedanya
dengan wadah (media)? Apakah informasi sepenuhnya ciptaan manusia sehingga tidak punya sifat
alamiah (natural)? Pendapat-pendapat para doktor di atas memang mencerminkan perbedaan pendapat
dan kontroversi yang sudah berlangsung berabad-abad tentang hakikat inIormasi. Walaupun sebenarnya
diskusi tentang hal ini akan lebih mengarah ke persoalan flosofs daripada persoalan ilmu, agaknya kita
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
305
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
juga harus terlebih dahulu jelas tentang perbedaan makna 'inIormasi ini, sebelum melanjutkan diskusi
tentang ilmu informasi.
Pembicaraan flosofs tentang hakikat inIormasi, atau kini biasa disebut flsaIat tentang inIormasi
(Philosophy of Information) dibidani oleh dua orang, yaitu Norbert Wiener dan Luciano Floridi (lihat
pembahasan amat ekstensif oleh Bynum 2010 dan tulisan lainnya, Bynum 2000, 2004, 2005, 2008,
juga Bynum dan Moore 1998). Wiener merupakan salah seorang pionir ilmu dan teknologi inIormasi
di penghujung tahun 1940-an, sementara Floridi adalah flsuI abad ke-21 yang menggabungkan ilmu
komputer, teori sistem, logika, linguistik, dan flsaIat untuk membahas hakikat inIormasi. Keduanya
dianggap flsuI, berbeda dari tokoh lain yang juga amat penting dalam perkembangan inIormasi,
khususnya dari aspek teknologi, yaitu Claude Shannon, penemu teori matematik tentang informasi
sebagai Ienomena fsik berupa kode (encoded information) untuk ditransmisikan melalui saluran
berkabel maupun nir-kabel.
13
Tahun 1947 Wiener menghasilkan serangkaian tulisan tentang kaitan antara inIormasi dan alam
semesta. Ia menyatakan bahwa information is entropy. Istilah entropy ini diambil dari pemikiran di
bidang ilmu fsika, yaitu hukum termodinamika ciptaan ahli fsika klasik, RudolI Clausius.
14
Wiener
memang menegaskan bahwa informasi mengandung sifat-sifat kebendaan (physical), tetapi bukan
tergolong material (matter) dan bukan pula energi. Informasi ada (terkandung) di dalam setiap benda,
dan entropy dijadikan ukuran inIormasi yang lenyap ketika benda tersebut berubah. Wiener kemudian
menggambarkan kegiatan berpikir sebagai pemrosesan informasi di dalam otak manusia, tetapi otak
(sebagai fsik) tidak menghasilkan inIormasi dalam bentuk zat atau material. Jadi, benda, energi, dan
inIormasi merupakan Ienomena fsik yang berbeda walaupun saling mendukung. Semua objek dan proses
pasti mengandung pola informasi, sehingga muncullah konsep yang sampai sekarang dipercaya, yaitu
bahwa semua benda di alam semesta ini sebenarnya adalah objek informasi (information objects) dan
semuanya mengalami proses informasi (information processes).
Wiener kemudian mengatakan bahwa manusia dan semua makhluk akhirnya juga adalah objek
informasi dan menjalani proses informasi. Akan tetapi, hanya manusia yang punya potensi besar dalam
belajar dan berkreasi. Melalui proses informasi yang mengandung pemelajaran dan kreativitas inilah
manusia berkembang biak secara berbeda dari makhluk (atau benda) lainnya. Perbedaan penting lainnya
adalah manusia juga mampu menciptakan alat buatan (artifsial) untuk membantunya melakukan proses
informasi. Dari sinilah muncul konsep-konsep tentang sistem informasi dan masyarakat informasi
yang di dalamnya mengandung manusia maupun alat atau artefak.
15
Melalui teorinya, Wiener secara
akurat meramalkan kelahiran abad informasi dan mendorong penciptaan berbagai teknologi pemrosesan
informasi, termasuk komputer dan kecerdasan buatan (artihcial intelligence). Ironisnya, Wiener tidak
13
Dalam naskah aslinya, teori Shannon ini disebut sebagai teori matematik tentang komunikasi (the mathematical theory of
communication).
14
Dalam hukum termodinamika dinyatakan bahwa semua benda akan berubah, tetapi: (1) benda atau material (matter) tidak
dapat sepenuhnya dimusnahkan, (2) kuantitas kebendaan tidak dapat diubah, tetapi kualitasnya dapat berkurang. Entropy
adalah suatu tingkat keadaan tidak beraturan ketika terjadi perubahan dalam sebuah sistem kebendaan. Prinsip entropy ini
pulalah yang kemudian digunakan Shannon untuk membuat teori pengukuran kadar informasi secara kuantitatif.
15
Pada tahun 1943 Wiener bersama Arturo Rosenblueth dan Julian Bigelow menulis 'Behavior, Purpose, and Teleology
yang membahas kajian bersama terhadap organisme makhluk hidup dan mesin. Pemikiran mereka inilah yang
menggerakkan berbagai penelitian tentang kaitan yang erat antara mesin (komputer) dan makhluk hidup sehingga
tumbuhlah teknologi komputer dan muncullah Revolusi Informasi. Kelak di kemudian hari pula, pemikir kontemporer
Humberto R. Maturana dan Francisco J. Varela pada tahun 1992 menulis The Tree of Knowledge: The Biological Roots
oI Human Understanding (Boston, 1992), menerapkan konsep-konsep saibernetik dalam cara kerja pikiran (kognisi)
manusia dan cara kerja masyarakat sebagai sistem sosial.
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
306
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
mengalami masa gemilang abad ini dan tidak pula dapat menjawab berbagai masalah yang justru
muncul ketika teknologi inIormasi sudah merebak di masyarakat. Dalam konteks inilah hadir Luciano
Floridi (1999, 2004) yang berambisi melanjutkan olah-pikir Wiener menjadi kajian khusus, yaitu flsaIat
informasi yang kembali menyoal hakikat informasi, kaitannya dengan semesta, manusia, dan teknologi.
Floridi memetakan tiga pendekatan untuk memahami informasi, yaitu pendekatan reduksionis, anti-
reduksionis, dan non-reduksionis.
16
Pandangan reduksionis berupaya menciptakan satu teori terpadu
tentang inIormasi (unihea theory of information) atau UTI (lihat http://www.uti.at/). Sebaliknya, para
penganut anti-reduksionis menekankan keragaman konsep informasi yang tidak mungkin disatukan.
Sementara kaum non-reduksionis mencoba lepas dari dikotomi dan menggantikan pandangan reduksionis
dengan model hierarkis. Floridi memilih pendekatan non-reduksionis, terutama yang memakai perspektif
epistemik. Menurut Floridi, informasi pada umumnya dikaitkan dengan fenomena komunikasi untuk
merujuk ke kandungan semantik.
17
yang bersifat objektif dalam pengertian bersifat eksternal terlepas
dari benak (mind-independent) dan dari diri pelaku komunikasi (informee-independent). Dalam
pengertian ini, informasi mengandung ukuran dan nilai, dapat diformulasikan dalam bentuk berbagai
kode dan Iormat, serta tertanam atau terkandung di berbagai bentuk implementasi fsik atau benda.
Floridi kemudian membuat General Dehnition of Information (GDI) yang menganggap bahwa inIormasi
sebagai kandungan semantik dalam bentuk data + makna/artian.
Floridi lebih jauh mengatakan bahwa kandungan semantik sebuah data bukan hanya merupakan
persoalan bagaimana manusia memberi makna kepada sesuatu, tetapi juga apakah makna ini dapat
bersifat independen dalam arti terlepas dari siapa yang mengartikannya. Sebagai contoh, sebelum
arkeolog akhirnya menemukan cara membaca bahasa hieroglif (bahasa tulisan yang berbasis simbol
dan gambar) di Mesir, bahasa itu sendiri sudah dianggap sebagai sistem semantik oleh orang-orang di
zamannya. Ketika akhirnya orang di zaman kini dapat memahami bahasa itu melalui sistem interpretasi
yang diambil dari bahasa Yunani kuno, tidak berarti bahwa bahasa hieroglifk 'baru ditemukan. Bahasa
itu sudah ada, terlepas dari ada tidaknya manusia modern yang kini mengartikannya. Dengan contoh
ini, Floridi menganggap bahwa data dan informasi yang timbul dapat saja bersifat independen secara
semantik, terlepas dari siapa yang akhirnya mengartikan data atau informasi itu. Dengan kesimpulan
itu maka kandungan semantik atau 'makna pada awalnya belum tentu ada di benak pengguna
sebuah informasi. Ada kemungkinan bahwa sebuah informasi memerlukan apa yang disebut sebagai
enviromental information yang berada di lingkungan seseorang.
Pandangan Floridi yang melanjutkan tradisi Wiener ini amat berpengaruh dalam kajian tentang
hakikat informasi, tetapi bukan satu-satunya pandangan. Sebagaimana diulas Frohmann (2004)
setidaknya ada dua pemikiran lain yang patut diperhitungkan, yaitu kajian fenomenologi informasi
yang diusung GeoIrey Nunberg dan kajian-kajian linguistik berbasis pandangan flsuI Wittgenstein.
Kajian Nunberg berkonsentrasi pada kehidupan sehari-hari sehingga memunculkan pandangan kultural
untuk menambahkan pemahaman kita tentang informasi bukan sekadar hakikat kebendaannya, tetapi
juga latar belakang historisnya. Adapun kajian-kajian ala Wittgensteinian membantu kita memahami
bagaimana praktik-praktik di wilayah sosial dan budaya tertentu memberi makna kepada informasi itu
sendiri. Wittgenstein menyatakan bahwa flsaIat tidak hanya harus menjawab 'apa makna dari sesuatu,
tetapi juga 'apa yang kita maksud dengan makna itu sendiri. Maka persoalan flsaIat inIormasi bukan
16
Lihat website Floridi tentang inIormasi, di sini: http://plato.stanIord.edu/entries/inIormation-semantic/
17
Dalam ilmu bahasa, semantik merupakan komponen yang menggambarkan makna dalam serangkaian simbol atau kata-
kata, dan makna inilah yang langsung berkaitan dengan kejadian atau sesuatu yang hendak digambarkan oleh seseorang
lewat bahasa.
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
307
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
hanya 'apa makna inIormasi, melainkan juga cara bagaimana manusia memberikan makna kepada
informasi.
18
Ruang yang tersedia di sini tentu tidak akan cukup untuk menjelajah semua konsep tentang
hakikat informasi, namun alinea-alinea di atas diharapkan cukup memberikan latar belakang kepada
diskusi selanjutnya tentang hakikat ilmu informasi sebagai topik artikel ini. Selain itu, pembahasan
di atas merepresentasikan pula perbedaan pendapat para doktor yang ikut dalam diskusi ini. Konsep
tentang 'ilmu inIormasi itu sendiri tidak kalah kontroversialnya. Menurut Bawden (2009), kemunculan
ilmu inIormasi pertama dikentarai secara Iormal oleh Alan Gilchrist yang menjadi editor Journal oI
Information Science (sebelumnya bernama The Information Scientist) dan berakar di kalangan peneliti
informasi ilmiah (scientihc information). Pondasi awal dari ilmu ini adalah pandangan Bertie Brookes
pada tahun 1976 yang amat dipengaruhi oleh flsuI Karl Popper, penganjur teori tentang tiga dunia`(the
three worlds).
19
Brookes menyimpulkan bahwa informasi maupun pengetahuan berada dalam ruang
kognitif, sedangkan yang dikaji oleh ilmu informasi adalah Dunia Tiga, yaitu bentuk-bentuk pengetahuan
objektiI. Oleh karena itu, Brookes pula lah yang meletakkan landasan kuantitatiI di masa-masa awal
kelahiran ilmu informasi, khususnya penggunaan statistik, bibliometrika, dan dalil-dalil logaritma untuk
menguantifkasi proses komunikasi inIormasi di masyarakat.
Pondasi awal yang diletakkan Brookes sebenarnya tidak tunggal pula. Sebagaimana diungkap oleh
Cronin (2009), jauh sebelum Brookes menulis tentang hakikat informasi, Pierce Butler di tahun 1933
sudah mengentarai 'isu sosial sebagai bagian dari pembahasan mengenai inIormasi dan pengetahuan.
Hal ini kemudian dipertegas ketika Margaret Egan dan Jesse Shera menulis makalah tentang epistemologi
sosial di tahun 1950-an.
20
Lalu pada tahun 1970-an ProIesor Norman Roberts.
21
menegaskan bahwa
metode ilmu sosial lebih pantas digunakan untuk mengkaji hal-hal yang berhubungan dengan informasi;
sebuah pandangan yang dikembangkan lebih lanjut oleh koleganya, Tom Wilson, menjadi kajian-kajian
tentang perilaku informasi dalam konteks sosial. Dua dekade kemudian, Rob Kling mengedepankan
istilah populer, social informatics (informatika sosial) yang menekankan pentingnya para peneliti
memperhatikan konteks sosial dan budaya dari setiap penerapan teknologi informasi. Itu semua, menurut
Cronin, menegaskan apa yang disebutnya 'tikungan sosiologis dalam ilmu inIormasi (the sociological
turn in information science), sesuatu yang sudah pula dilakukan secara lebih umum oleh para sosiolog
yang aktiI menulis tentang teknologi inIormasi, seperti Daniel Bell, Manuel Castells, dan Frank Webster.
Selain dipengaruhi oleh Brookes yang 'positivistik dan Butler yang 'sosiologis, perkembangan
ilmu informasi tentu saja banyak dipengaruhi pandangan tentang hakikat informasi. Pandangan tentang
informasi sebagai objek melahirkan kajian-kajian matematis dalam ilmu informasi, misalnya kajian
18
Dalam flsaIat bahasa, sebuah simbol mendapatkan maknanya karena ada kegiatan intelektual di dalam benak manusia
yang mengubah sesuatu yang matimisalnya goresan tinta di atas kertas, sebuah citra di layar komputer, atau sebuah
ujaran dari mulut seseorangmenjadi sebuah tanda bermakna. Jadi, jika sebuah tanda mengandung makna, seseorang
yang memahami tanda itu melakukan upaya antara tanda itu dengan maknanya melalui penggunaan pikiran. Dengan kata
lain, tidak mungkin melepas pemaknaan dari manusia sehingga sulit membayangkan informasi sebagai upaya pemaknaan
yang terlepas dari manusia.
19
Secara ringkas: Dunia Satu adalah segala benda fsik atau material, Dunia Dua adalah kondisi mental atau kondisi
subjektif manusia, Dunia Tiga adalah informasi yang dapat dikomunikasikan dalam bentuk yang objektif.
20
Lihat juga artikel Putu Laxman Pendit di Prosiding ini, 'Persoalan Epistemologi dalam Ilmu Perpustakaan dan InIormasi
di halaman 265.
21
Nama Norman Roberts dari Universitas SheIfeld ini perlu juga diabadikan sebagai orang yang amat berperan dalam
kelahiran program pascasarjana pertama di Indonesia untuk bidang IP&I yaitu program S2 Ilmu Perpustakaan, Informasi,
dan Kearsipan yang didirikan di Universitas Indonesia pada tahun 1990 dengan koordinator Sulistyo-Basuki, Putu
Laxman Pendit, dan Binny Buchori.
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
308
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
bibliometrika dan kajian sistem temu kembali (information retrieval). Pada awalnya bibliometrika
disebut statistical bibliography dan menurut Hertzel (2003) proses perubahan menjadi 'bibliometrics
berlangsung mulai tahun 1917 ketika Cole dan Eales melakukan analisis statistik tentang literatur
kedokteran, sampai ke tahun 1944 ketika Gosnell mengkaji koleksi perpustakaan secara statistik, sampai
ke tahun 1968 ketika Pitchard mengaitkan kajian bibliograf dengan komputer dan pembuatan abstrak.
Adalah Pitchard (1969) pula yang membatasi bibliometrika sebagai: Application of mathematical and
statisticical methods to books and other media of communication (hal. 348). Dengan defnisi ini, dia
sekaligus memperluas cakupan bibliometrika ke berbagai bentuk media, selain buku dan artikel di jurnal
ilmiah.
Dalam hal temu kembali, menurut Chu (2003), ada empat orang tokoh pionir, yaitu Mortimer Taube
(19101965) yang memperkenalkan konsep coordinate indexing; Hans Peter Luhn (18961964) yang
dianggap pertama menciptakan aplikasi komputer untuk temu-kembali; Calvin C. Mooers (19191994),
seorang ahli matematik yang menciptakan Mooers` Law Ior InIormation Retrieval Systems; dan Gerard
Salton (19271995), seorang peneliti yang memperkenalkan System for the Manipulation and Retrieval
oI Text (SMART), selain menciptakan berbagai teori dan model. Pondasi yang mereka letakkan kini
menjadi landasan bagi begitu banyak kajian khusus tentang temu kembali. Selain itu, kajian temu
kembali berbantuan komputer semakin meluas sehingga melibatkan pula kajian linguistik-matematik.
Sebagaimana yang diuraikan oleh Liu dan CroIt (2005) teori statistical language modeling digunakan
untuk memahami ketidakteraturan penggunaan bahasa yang amat memengaruhi kinerja sistem informasi.
Demikian pula Khoo dan Na (2006) menjelaskan bagaimana teori relasi semantik (semantic relations)
membantu peneliti memahami kinerja sistem temu kembali dari sisi pemahaman bahasa oleh komputer,
terutama di tengah perkembangan hypertext dan web-based information system pada umumnya.
Pemikiran tentang pemrosesan informasi telah melahirkan pula wacana tentang aspek-aspek
kognitif.
22
Ilmu inIormasi pun kemudian sering memakai pendekatan 'sisi pandang kognitiI atau
cogntive viewpoint.
23
Menurut Ingwersen (1992), salah satu tokoh sentral sisi pandang kognitif ini
adalah M. De Mey yang menyatakan bahwa setiap pemrosesan informasi (baik oleh mesin maupun
oleh manusia) diperantarai oleh pengategorian dan pengenaan konsep. Kategori dan konsep ini
sebenarnya adalah sebuah cara pandang (atau model/tiruan) seseorang (atau sebuah mesin) tentang
dunia sekelilingnya. Michell dan Dewdney (1998) misalnya, menggunakan teori mental models untuk
mengkaji proses layanan rujukan. Menurut Cornelius (2002), pandangan kognitif De Mey inilah yang
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Brookes dan Belkin dua pionir yang dipromosikan secara
amat gigih oleh Ingwersen. Selanjutnya, teori-teori kognisi juga digunakan ketika informasi dikaitkan
dengan makna (meaning) dan proses berpikir. Sebagai contoh, Tague-Sutcliffe (1995), menggunakan
defnisi G. LakoII tentang inIormasi, yang mengatakan bahwa makna tidak dapat hanya dilihat dari sisi
leksikal atau referensial, melainkan juga dari sisi hakikat manusia sebagai makhluk yang berpikir, baik
dalam kapasitasnya sebagai individu maupun sebagai bagian dari sebuah komunitas tertentu.
22
Dalam khasanah ilmu psikologi, berbagai pemikiran tentang pemrosesan informasi kemudian terhimpun dalam apa yang
disebut sebagai 'ilmu kognitiI (cognitive sciences) yang secara Iormal pertama dipakai oleh Christopher Longuet-
Higgins tahun 1973, dalam kaitannya dengan penelitian tentang penggunaan komputer dalam kecerdasan buatan
(artifcial intelligence).
23
Pandangan kognitiI dalam bidang inIormasi dianggap berbeda dari pandangan kognitiI yang lebih spesifk untuk
penyelidikan tentang kerja otak manusia (straightforward cognitivism). Dalam konteks informasi, pandangan kognitif
menekankan pada pengembangan model pemrosesan informasi dalam kerja otak dan kesadaran manusia. Para
penganutnya ingin menyelidiki kaitan antara proses ini dengan pembentukan makna (meaning) dan bukan hanya dengan
proses manipulasi simbol. Selain itu, pandangan ini juga menekankan pada fenomena kondisi kognitif perorangan
(individual cognitive states) sehingga sering juga dikritik sebagai terlalu individu-sentris.
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
309
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
Pandangan kognitif ini tidak sepenuhnya mendominasi pandangan tentang pemrosesan informasi,
sebab lalu ada teori-teori perilaku yang dipakai peneliti ilmu informasi untuk mengkaji perilaku
informasi (information behavior). Tom Wilson adalah salah satu ilmuwan yang sangat aktiI menulis
tentang perilaku informasi. Karya-karyanya banyak dikutip oleh para peneliti bidang informasi sejak
ia mengeluarkan serangkaian model (lihat, misalnya, Wilson 1999). Sampai sekarang pengaruhnya
tetap meluas, terutama melalui situs InformationRNet (http://informationr.net/), dan jurnal elektronik
InIormation Research (http://inIormationr.net/ir/). Secara lebih spesifk, Ellis (1989a, 1989b) dan Ellis,
Cox, dan Hall (1993) meletakkan dasar bagi penelitian tentang pola pencarian inIormasi. Sementara
itu, Dervin (1992) merumuskan model dan teorinya yang amat terkenal, 'Sense Making Theory, untuk
meletakkan perilaku informasi dalam konteks komunikasi, dan Kuhlthau (1991) menyoroti aspek afektif
dalam proses pencarian informasi. Penelitian perilaku informasi lalu juga diletakkan dalam konteks
sistem temu-kembali informasi (misalnya, Ingwersen, 1992; Ingwersen dan Jarvelin, 2004; Saracevic,
1997), atau lebih spesifk lagi dalam konteks pemanIaatan internet (misalnya, Savolainen, 2010;
Savolainen dan Kari, 2004).
Penelitian perilaku menjadi topik laris karena dianggap sangat potensial memberikan solusi bagi
persoalan pemanfaatan sistem informasi (baik berupa perpustakaan maupun institusi lain) melalui
pemahaman tentang tabiat manusia. Seperti yang dikatakan oleh Spink dan Cole (2004) kajian-kajian
perilaku informasi memandang manusia dari empat sisi, yaitu sebagai makhluk yang: selalu ingin
menyelesaikan masalahnya (problem solver), memahami dunianya (sense maker), menemukan informasi
(information seeker) sehari-hari, dan memulung informasi (information forager).
24
Penelitian perilaku
inIormasi pada umumnya juga 'tertanam di dalam berbagai konteks sosial, mulai dari konteks ilmiah,
bisnis, pemerintahan, sampai konteks keluarga (untuk pemetaan tentang ragam penelitian perilaku
informasi ini, lihat Choo, 2006).
Walaupun diletakkan dalam berbagai konteks sosial, pendekatan perilaku mengundang kritik karena
dianggap terlalu berorientasi pada aktivitas individual. Pendekatan sosiologis terhadap informasi mencoba
mengimbangi orientasi individualis ini dengan memanfaatkan teori-teori sosiologi. Cibangu (2010) melihat
bahwa kajian tentang 'interaksi sosial (social interaction) merupakan ciri penentu ilmu informasi yang
berorientasi sosiologi. Selain itu, kajian-kajian ilmu informasi berorientasi sosiologi juga diwarnai secara
khas oleh konsentrasi pada konsep 'masyarakat inIormasi (information society). Sebagaimana diulas
oleh Duff (2000), asal muasal konsep ini dapat dikaitkan dengan dua negara, yaitu Amerika Serikat (AS)
dan Jepang yang mulai tertarik membahas bentuk baru masyarakat mereka di penghujung tahun 1960-an.
Ilmuwan AS, diawali oleh Fritz Machlup dengan bukunya The Production and Distribution of Knowledge
in the United States menulis dari sisi pandang ekonomi. Sementara ilmuwan Jepang, misalnya Yujiro
Hayashi, penulis buku The Information Society: from Hard to Soft Society menggunakan sisi pandang lebih
luas. Konsep-konsep awal yang terlalu umum ini kemudian dikritik Webster (2002) yang mengatakan
seharusnya ada lima defnisi tentang masyarakat inIormasi yang dikaitkan dengan lima hal berbeda, yaitu
teknologi, ekonomi, ketenagakerjaan, geografs, dan kebudayaan.
Keterlibatan sosiolog dalam kajian informasi ini meluas menjadi kajian berbagai aspek kehidupan
bermasyarakat dalam konteks penggunaan teknologi informasi, khususnya yang berupa jaringan
(network). Istilah 'masyarakat berjaringan (network society) menjadi popular dan dikaitkan dengan
24
Dalam bahasa Inggris, kata forager sebenarnya merujuk kepada kegiatan hewan yang berkelana Ake mana-mana mencari
makanan. Kata 'pemulung dipakai di sini karena mengesankan kegiatan yang berkelana, memunguti sesuatu yang
berguna di sepanjang perjalanan untuk dihimpun di satu tempat.
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
310
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
teknologi digital dan kehadiran kelompok-kelompok sosial dalam bentuk jaringan sebagai konfgurasi
utama kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Secara flosofs Castells (1989, 1996) menggambarkan
masyarakat berjaringan dengan lima karakteristik, antara lain berbasis ekonomi kapitalis informasional
(informational capitalist economy), dikelola secara global dengan model jaringan, mengandung konfik
dan resistensi yang seringkali disebabkan oleh kontradisi antara sifat jaringan yang tidak bertempat
(placeless), dan hakikat manusia yang tetap mementingkan keberakaran (rootedness). Konsep tentang
'masyarakat berjaringan ini bukanlah sesuatu yang baru muncul. Sebelumnya ada Daniell Bell dan
Alain Touraine yang meramalkan kelahiran masyarakat berbasis aliran informasi, selain aliran barang.
Kelebihan Castell antara lain karena dia mengaitkan pula konsep masyarakat berjaringan ini dengan
keadaan psikologi seseorang. Dalam teorinya, Castell mengatakan bahwa masyarakat berjaringan
menyebabkan kemungkinan ketidakstabilan dan pola gonta-ganti kepribadian atau identitas, sedemikian
rupa sehingga pola identitas yang tadinya dibentuk oleh industrialisasi menjadi bukan satu-satunya
penentu. Sementara itu, dari sisi budaya, konsep budaya berjaringan (network culture) menjadi penentu
pula bagi pemaknaan informasi dalam kehidupan sehari-hari. Terranova (2004) menyatakan bahwa
inIormasi akhirnya bukanlah semata-mata domain fsik dan juga bukan semata-mata konstruksi sosial,
tetapi juga pengejawantahan hubungan kekuasaan di sebuah masyarakat.
Kita juga musti menyebut kelahiran dari apa yang disebut 'inIormatika sosial (social informatics)
sebagai salah satu aliran sosiologis dalam ilmu informasi. Sebagaimana dikatakan Sawyer (2005),
informatika sosial merupakan kajian tentang perancangan (desain), penerapan, dan penggunaan
teknologi informasi dalam konteks sosial, kultural, dan organisasional. Rob Kling adalah salah satu
tokoh aliran ini (lihat Kling dan Scacchi, 1982; Kling dan Iacono, 1994).
25
Para peneliti dari aliran ini
seringkali bersikap kritis terhadap teknologi informasi, khususnya karena kehadiran teknologi informasi
ini sudah demikian meluas. Secara khusus ada pula yang disebut social computing (lihat Parameswaran
dan Whinston, 2007) untuk membahas aspek sosial dari pengembangan perangkat-lunak baik di tingkat
organisasi, kelompok sosial, maupun masyarakat luas. Teori dan kajian organisasi (organizational
studies) banyak mendapat tempat di aliran-aliran sosial ini yang pada gilirannya juga memengaruhi
perkembangan kajian manajemen pengetahuan (knowledge management). Jelaslah bahwa aliran ini
mendapat pengaruh pandangan sosio-teknis.
26
selain menggunakan teori kritis untuk melihat teknologi
sebagai bagian dari ekonomi dan kekuasaan di sebuah masyarakat.
Bersinggungan dengan kajian informasi di dalam organisasi, khususnya organisasi bisnis, adalah
kajian ekonomi terhadap inIormasi. Menurut Levine dan Lippman (1995), prinsip 'inIormasi sudah
dipakai sejak zaman ekonomi barter, sudah diakui perannya dalam perdagangan di zaman keemasan
Yunani maupun Babilonia, tetapi baru masuk ke bidang ekonomi sebagai kajian serius tahun 1961
ketika dua karya tulis penting muncul di bidang ini, yaitu karya George J. Stigler tentang 'ekonomi
inIormasi dan William Vickrey tentang peran inIormasi dalam proses lelang. Levine dan Lippman
selanjutnya membagi perkembangan kajian ekonomi infomasi dalam lima topik utama, yaitu (a) kajian-
25
Di situs untuk menghormati Kling (http://rkcsi.indiana.edu/), terdapat defnisi Social InIormatics (SI) sebagai 'the body
oI research and study that examines social aspects oI computerization, including the roles oI inIormation technology in
social and organizational change, the uses oI inIormation technologies in social contexts, and the ways that the social
organization oI inIormation technologies is infuenced by social Iorces and social practices.
26
Pendekatan atau teori sosio-teknis (sociotechnical theory) berasal dari kajian-kajian dan rumpun teori organisasi yang
mempelajari perubahan di dalam pabrik dan bengkel ketika teknologi mesin mulai dominan di masyarakat pada abad
ke-20. Pada intinya, teori sistem tekno-sosial mengedepankan prinsip optimatisasi bersama (joint optimization) sehingga
sebuah organisasi dapat secara optimum berunjuk kerja, dan ini hanya dapat dicapai jika dimensi sosial maupun teknisnya
dirancang untuk saling melengkapi (Van De Ven dan Joyce, 1981; Pasmore, Francis, Haldeman dan Shani, 1982).
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
311
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
kajian dasar, khususnya tentang penggunaan pengetahuan dalam industri, (b) kajian nilai informasi, (c)
peran informasi dalam pencarian, penetapan dan penyebaran harga (search and price dispersion), (d)
penggunaan inIormasi dalam spekulasi bisnis, dan (e) hubungan antara inIormasi dan hukum. Walaupun
tidak menjadi dominan, teori-teori ekonomi informasi ikut memberi warna perkembangan ilmu informasi
khususnya dalam kajian manajemen pengetahuan dan kajian terhadap masyarakat informasi.
Masih ada berbagai aliran yang sebenarnya dapat disebut dalam ilmu informasi, namun makalah
ini tidak punya cukup ruang untuk itu, selain bahwa penggambaran di atas kiranya telah cukup
menunjukkan kompleksitas ilmu informasi yang di satu sisi menunjukkan ketidak-sepakatan atau
bahkan ketidak-disiplinan antar-ilmuwan, tetapi di sisi lain menunjukkan pula kekayaan pendekatan
mengingat 'inIormasi itu sendiri merupakan Ienomena yang amat meluas. Secara khusus, uraian di atas
juga disesuaikan dengan keragaman pendapat para doktor sebagaimana telah diuraikan di awal bagian
ini. Menarik untuk dicatat bahwa aspek humaniora tidak terlalu menonjol di dalam pendapat para doktor
sehingga saya pun tidak secara khusus membahasnya di sini. Namun di artikel lain di Prosiding ini, saya
menulis artikel yang lebih spesifk menyebut aspek humaniora (lihat halaman 271).
Pembahasan tentang kompleksitas ilmu informasi ini juga penting untuk mengantarkan artikel ini
ke bagian penutup sebagai bagian yang akan menyimpulkan karakteristik IP&I sebagai ilmu melibatkan
banyak ilmu lain.
Kesimpulan: Interdisiplin, Multidisiplin, atau Transdisiplin?
Salah satu masalah yang harus dihadapi ketika menjelaskan IP&I adalah kata sambung 'dan yang
ada di nama ilmu ini: apakah ini dua ilmu yang dijadikan satu? Penempatan kata 'perpustakaan di depan
kata 'inIormasi juga menimbulkan pertanyaan: apakah yang satu merupakan bagian dari yang lain;
atau yang satu lebih umum dari yang lain. Secara historis kita dapat mengatakan bahwa perpustakaan
sebagai institusi lebih dahulu hadir, namun argumentasi ini tidak terlalu kuat jika akhirnya kita menyadari
bahwa informasi sebagai fenomena alamiah sudah ada sejak manusia ada! Secara keilmuan tidak pula
dapat dikatakan bahwa ilmu perpustakaan hadir lebih dahulu, mengingat fenomena informasi telah
dibahas secara ilmiah oleh ilmu lain yang lahir terdahulu. Daripada berdebat ala perdebatan ayam
dan telur, saya memilih posisi sebagaimana diambil Jeong (2001) yang menggunakan data empirik
dari Dissertation Abstracts untuk menunjukkan posisi IP&I dalam khasanah ilmu. Menurut Jeong,
ilmu informasi dan ilmu perpustakaan merupakan dua disiplin yang pararel. Ia juga membantah asumsi
bahwa 'ilmu perpustakaan adalah sub-disiplin dari ilmu inIormasi atau sebaliknya.
Lebih tepat memang akhirnya untuk menegaskan karakter IP&I sebagai interdisiplin, khususnya
dengan menguraikan kompleksitas ilmu informasi sebagai saya lakukan di bagian sebelumnya. Dalam
hal ini, menurut Paisley (1990) ilmu informasi merupakan bagian dari sebuah konstelasi berbagai
disiplin dan wilayah penelitian interdisipliner yang punya fokus sama; yaitu interaksi dan komunikasi
antarmanusia, khususnya yang melalui alat perantara atau teknologi. Dia merujuk ke cara Fritz Machlup
dan Jesse Shera yang sama-sama menganggap bahwa disiplin informasi memperhatikan salah satu aspek
dari total communication system. Secara lebih lengkap, Paisley menyatakan,
() you will hear mathematicians and engineers speaking of information, while social scientists
speak of communication. Information is a necessary concept to characterize the entity that is
stored and transmitted, whether the entity is as palpable as a library collection or as impalpable as
an electrical impulse. Communication is a necessary concept to characterize the process by which
knowledge is acquired. Information science dwells on information storage and retrieval, devoting
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
312
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
much less attention to the process by which information is communicated and used and to the social
costs ana beneht of knowleage (hal. 7).
Walaupun Paisley menyederhanakan persoalan dengan membuat dikotomi matematis-sosial, ia
juga membantu mencirikan ilmu informasi sebagai multidisiplin yang terdiri atas tiga aspek:
a. Konteks institusional, dalam hal ini berupa sistem perpustakaan, sistem pendidikan, media,
pengelolaan sumber daya informasi, penyediaan jasa informasi, dan sebagainya. Di sini teknologi,
misalnya internet, memang berperan dalam sebuah perpustakaan, tetapi sebuah perpustakaan
tetaplah perpustakaan, bukan teknologi internet. Dalam konteks ini maka ilmu informasi mempelajari
institusinya, bukan teknologinya.
b. Konteks epistemologis, yaitu dalam bentuk keragaman realita yang harus dikaji ilmu informasi
bersama berbagai kajian spesifk yang seringkali amat berbeda, misalnya antara analisis sistem,
linguistik-statistik, saibernetika, dan psikologi kognitif. Ilmu informasi seringkali juga harus
menggabungkan persoalan taksonomi, sistem, dan komunikasi sebab pada akhirnya ketiga aspek
ini menyangkut fenomena yang sama, yakni bagaimana sebuah pengetahuan berpindah dari satu
pihak ke pihak lain di dalam sebuah sistem yang sekaligus dinamis dan berupaya mempertahankan
keseimbangan (equilibrium).
c. Konteks sosial, atau lebih lengkapnya konteks historis-ekonomis-teknologis-sosial! Paisley
memberi contoh ke sebuah seminar di Inggris, Royal Societys Conference of Scientihc Information
di tahun 1948, yang sudah bicara tentang 'inIormasi sebelum ada komputer. KonIerensi ini
berkaitan dengan upaya-upaya di tahun 1950-an dan 1960-an untuk membangun sistem informasi
mendukung pengembangan ilmu pengetahuan. Pada masa pertengahan upaya itu muncullah
teknologi komputer, yang sebetulnya diciptakan untuk mendukung pihak militer. Oleh sebab
itu, ilmu komputer dan ilmu inIormasi seperti 'bersaudara, sebelum akhirnya juga mengait ke
hukum, psikologi, dan sebagainya. Dari sejarah ini pula terlihat bagaimana akhirnya muncul kaitan
antara informasi ilmiah dan bisnis yang melahirkan topik khusus tentang business information dan
information industry.
Paisley menggunakan istilah multidisiplin karena lebih menekankan pada keragaman persoalan
atau topik yang dikaji oleh ilmu inIormasi, sementara Prentice (1990) menekankan sisi 'pendekatan
dan menyatakan ilmu informasi memakai pendekatan interdisipliner (interdisciplinary approach). Dia
menyatakan disiplin sebagai struktur, isi, dan implikasi politik dari sebuah tubuh pengetahuan (body of
knowledge). Dalam dunia modern maka disiplin menjadi semakin kompleks. Ada banyak disiplin yang
berbeda-beda, tetapi mungkin memiliki titik awal dan tujuan yang sama, dan mungkin hanya berbeda
dalam cara masing-masing memandang persoalan (subject matter) yang sama. Di dalam masyarakat,
sebuah disiplin akademik biasanya membentuk organisasi profesional yang menerbitkan jurnal ilmiah,
mengadakan konferensi, atau memberi penghargaan kepada ilmuwan atau peneliti yang dianggap
mumpuni. Selain memiliki organisasi, sebuah disiplin juga biasanya memiliki 'bahasa khusus untuk
memperlancar komunikasi ilmiah antar-ilmuwan, strategi kebenaran (truth strategies) yang mempertegas
perbedaan satu disiplin dari yang lainnnya, dan organisasi pengetahuan.
Sebuah disiplin lahir dan tumbuh dengan berbagai cara, bisa berupa pecahan dari disiplin yang
sudah ada, atau berada di pinggiran dari sebuah disiplin, dan tidak lagi menjadi pusat perhatian disiplin
itu. Bisa juga merupakan gabungan dari berbagai disiplin karena ada kesamaan sehingga berbentuk
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
313
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
disiplin baru atau merupakan beberapa disiplin yang terkait (interdisiplinary). Prentice mencontohkan
bahwa banyak disiplin yang sebenarnya gabungan dari berbagai disiplin lain, seperti terlihat pada tabel
berikut:
Kajian Disiplin yang terlibat
Pengobatan hewan (Vetenary medicine) Genetika, pathology, ilmu-ilmu alamiah dasar
Kerja sosial (Social work) Hukum, ilmu-ilmu perilaku, psikologi.
Perencanaan sosial (Social planning) Kerja sosial, perencanaan regional.
Kedokteran gigi Humaniora dan kedokteran.
Kebijakan energi Hukum, ilmu ekonomi, ilmu politik, administrasi.
Rekayasa (Engineering) Matematika, ilmu-ilmu alam.
Berdasarkan perkembangan ilmu-ilmu itu di Amerika Serikat, Prentice membedakan antara:
a. Interdisipliner (interdisciplinary), yaitu interaksi antara dua atau lebih disiplin, baik yang
berkaitan langsung maupun tidak langsung, melalui program pendidikan dan riset yang bertujuan
mengintegrasikan berbagai konsep, metode, dan analisis ilmiah.
b. Multidisipliner (multidisciplinay), yaitu penggabungan dua atau lebih disiplin menjadi satu.
c. Transdisipliner (transdisciplinarity), yaitu pengembangan teori atau aksioma bersama dari berbagai
disiplin yang sebelumnya tidak pernah berhubungan atau hanya sebagiannya saja berkaitan.
Ilmu informasi, menurut Prentice, menunjukkan karakter interdisipliner. Jika memakai uraian saya
di bagian sebelumnya, disiplin-disiplin yang tercakup dalam ilmu informasi interdisipler ini setidaknya
terdiri atas empat rumpun besar, yaitu matematik-logika (diwakili oleh ilmu statistik, ilmu komputer,
statistik-linguistik), kognisi-perilaku (diwakili oleh psikologi), interaksi antarmanusia (diwakili oleh
sosiologi), dan pemaknaan (diwakili oleh humaniora, walau tidak dibahas di atas). Namun, ilmu
informasi juga dapat dilihat sebagai transdisipliner sebagaimana dijelaskan de Alberquerque et al.
(2009). Menurut mereka, interdisipliner sebenarnya adalah kolaborasi dan penyemaian-silang berbagai
teori untuk tujuan-tujuan penggabungan konsep baru sehingga hasil akhirnya berupa transdisipliner.
Konsep transdisipliner ini dapat dikaitkan dengan apa yang disebut Mode-2 dalam sosiologi ilmu yang
alih-alih menyoal ketertiban ilmiah dan disiplinnya- lebih-lebih menekankan pada kegunaan ilmu dalam
memberikan solusi terhadap masalah-masalah nyata di masa kini.
27
Lebih jauh dikatakan bahwa kajian-kajian transdisipliner seringkali lebih terIokus pada
masalah-masalah yang berada dalam konteks aplikasi non-ilmiah, dalam pengertian terlepas dari
lingkup teori atau disiplin tertentu. Berbeda dari riset-riset terapan yang menggunakan teori tertentu
untuk memecahkan masalah spesifk yang berada dalam lingkup ilmu tertentu maka transdisipliner
mengembangkan komunikasi antar-disiplin untuk melihat masalahnya dari berbagai sudut, termasuk
mencari solusinya secara bersama-sama. Untuk dapat melakukan hal ini maka ilmuwan transdisipliner
perlu terus melakukan dekonstruksi terhadap objek kajian mereka agar dapat dikaitkan dengan berbagai
jenis atau jenjang realita. Bentuk kajian seperti ini amat cocok untuk persoalan-persoalan perpustakaan
7
Dalam sosiologi ilmu, dikenal adanya Mode-1 yang merupakan cara 'tradisional dalam produksi pengetahuan di
kalangan akademisi berdasarkan disiplin tertentu (discipline-based), sementara Mode-2 cenderung melampaui batas-
batas disiplin dan bahkan mengakui produksi pengetahuan di luar lingkup akademik. Ilmu-ilmu yang berkembang
dengan Mode-2 memiliki ciri-ciri hibrid, kompleks, non-linear, refektiI, heterogen, dan transdisiplin. Pembahasan amat
komprehensiI tentang hal ini dilakukan Gibbons, et al. (1994).
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
314
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
dan informasi karena dua alasan utama.
Pertama, kajian transdisiplin lebih tepat menjawab masalah yang telah timbul sejak peradaban
manusia mengenal perpustakaan dan sampai sekarang bergelut dengan informasi. Permasalahannya
merupakan kesinambungan dan terus menerus muncul walau dalam bentuk yang berbeda. Sebagai pihak
yang sudah sejak lama terlibat dalam pengembangan perpustakaan di masyarakat, kita dapat merujuk ke
fenomena umum dan universal yang menjadi objek kajian bersama IP&I. Dalam konferensi di New Delhi
pada 2428 Agustus 1992 (lihat International Federation oI Library Associations, 1994) para pembicara
secara langsung maupun tidak langsung membahas permasalahan universal dalam perpustakaan dan
kepustakawanan sebagai berikut.
a. Persoalan etos kemanusiaan (humanistic ethos) sebagaimana disampaikan Girja Kumar (IFLA
1994, hal. 19) yang melihat bahwa perpustakaan dan kepustakawanan sepanjang masa menghadapi
masalah etika kehidupan, bukan masalah teknis sehingga ia menolak kepustakawanan dijadikan a
mere technique and a subsidiary handmaiden. Hal ini dapat diberlakukan ke semua institusi yang
terlibat dalam informasi.
b. Tugas perpustakaan dan semua institusi sejenis sebagai fasilitator kelancaran arus informasi dan
pelindung hak asasi manusia dalam akses ke inIormasi (pendapat Russel Bowden, IFLA 1994, hal.
29).
c. Peran perpustakaan dan semua institusi sejenis dalam memperlancar proses transformasi dari
informasi dan pengetahuan menjadi social intelligence (pendapat Maria Elena Zapata, IFLA 1994,
hal. 55).
Jelaslah bahwa perpustakaan dan institusi informasi lain pada akhirnya berkaitan dengan kualitas
hidup manusia, terutama kualitas intelektual sebagai lawan dari, misalnya, kualitas material atau kualitas
kesehatan. Pada akhirnya upaya sebuah masyarakat untuk bertahan dan berkembang ditentukan oleh
semua aspek dari kualitas hidup yang didukung oleh institusi perpustakaan dan informasi. Pendapat ini
tidak jauh berbeda dari pandangan Wiener dan Floridi ketika kedua flsuI kontemporer ini membahas
masalah-masalah etika informasi sebagai dampak dari perkembangan teknologi yang amat pesat.
Masalah-masalah ini tidak dapat didekati melalui disiplin tunggal, dan lebih cocok untuk kajian-kajian
transdisipliner.
Kedua, di semua masalah yang telah dikaji melalui berbagai sudut pandang, mulai dari matematik
sampai psikologi sampai ekonomi sebagaimana saya uraikan di atas, terdapat masalah praktis (practice)
yang berhubungan dengan interaksi antar-manusia, khususnya dalam berkomunikasi, dan khususnya
lagi dalam saling bertukar informasi dan pengetahuan. Pengertian praktis di sini harus dibedakan dari
'teknis sebab interaksi antar-manusia tidak selamanya ditentukan oleh keberadaan teknologi. Kalaupun
teknologi itu digunakan dalam interaksi maka praktik penggunaannya itulah yang lebih penting untuk
dikaji, bukan teknik atau prosedur yang diperlukan untuk menjalankannya. Hal ini menandakan bahwa
pada dasarnya IP&I perlu melirik ke apa yang disebut practice-based approaches (lihat misalnya
Huizing dan Cavanagh, 2011). Dalam pendekatan ini interaksi antar-manusia direntang untuk mencakup
agen-agen manusia atau non-manusia yang 'terkoneksi-dalam-aksi. Sebagai contoh, staI perpustakaan,
gedung, katalog, koleksi, komputer, dan bahkan tanda-tanda petunjuk bergabung menjadi satu kesatuan
yang disebut 'jasa melayani pemakai. Interaksi tidak hanya antara staI dan pemakai, tetapi harus
direntang lagi agar mencakup relasi dengan semua organisasi, institusi, dan artefak-artefak perantaranya
seperti kebijakan dan standar, yang semuanya dikejawantahkan dalam interaksi pustakawan-pemakai.
Dengan cara sama, kita dapat melihat bahwa persoalan nyata di masyarakat, baik itu berupa budaya
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
315
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
baca dan keterbelakangan sosial, maupun internet dan kesenjangan digital, pada akhirnya merupakan
persoalan-persoalan praktis yang dapat direntang sehingga menyangkut tidak hanya teknologi (buku,
jaringan komputer), tetapi juga ekonomi dan hukum atau kebijakan. Membaca adalah persoalan praktis,
sama halnya dengan akses ke internet, tetapi keduanya merupakan persoalan ekonomi selain juga
persoalan kognitif dan teknologis. Kejahatan di ruang saiber maupun penelantaran kelompok masyarakat
oleh pemerintah yang otoriter juga sama-sama persoalan praktis yang menyangkut akses ke informasi,
selain juga politik dan budaya. Persoalan-persoalan inilah yang perlu didekati secara transdisipliner
dan berpotensi menjadi kajian-kajian IP&I jika ingin mempertahankan dan mengembangkan sifat
transdisiplinernya. Tentu saja, implikasinya adalah dalam bentuk penelitian-penelitian akademik
yang harus semakin banyak merujuk ke permasalahan nyata di masyarakat dan semakin melibatkan
komunikasi ilmiah antar-ilmuwan dari berbagai disiplin. Di hal yang terakhir inilah kiranya kita di
Indonesia perlu melakukan lebih banyak lagi perbaikan.
Akhir kata, diskusi ini tentu saja harus dianggap sebagai langkah awal untuk terus mempertahankan
kesinambungan pembahasan tentang IP&I tanpa harus melihat bahwa pertanyaan quo vadis di awal
artikel ini sebagai keraguan kita tentang kadar keilmuan kita. Seminar dan Lokakarya Ilmiah Nasional
'InIormation Ior Society: Scientifc Point oI View dan Prosiding ini diharapkan dapat terus menjadi
ajang pertanggungjawaban ilmiah dari semua pihak yang selama ini terlibat dalam pengembangan IP&I
di Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN
Bawden, D. 2009. Smoother pebbles and the shoulders of giants: the developing foundations of
inIormation science. Dalam A. Gilchrist (ed.) Information Science in Transition. London : Facet
Publishing. Hal. 23-44.
Benoit, G. (2002). Toward a critical theoretic perspective in information systems dalam Library
Quarterly, vol. 72, no. 4, hal. 441-471
Biggs, M. 1991. A Perspective on Library Science Doctoral Programs. Journal of Education for Library
and Information Science, 32 (3/4): 188-193.
Bynum, T.W. 2000. The Foundation oI computer ethics. Computers and Society, 30 (2): 613.
. 2004. Ethical challenges to citizens oI the Automatic Age`: Norbert Wiener on the InIormation
Society. Journal of Information, Communication and Ethics in Society, 2 (2): 6574.
. 2005. Norbert Wiener`s vision: the impact oI the Automatic Age` on our moral lives. The
Impact of the Internet on Our Moral Lives, ed. Robert J. Cavalier, Albany: State University of New
York Press. Hal. 1125.
. 2008. Norbert Wiener and the rise oI inIormation ethics. Dalam Moral Philosophy and
Information Technology, ed. W. J. van den Hoven dan John Weckert, Cambridge: Cambridge
University Press. Hal. 825.
. 2010. Philosophy in the inIormation age. Metaphilosophy, 41 (3): 420-441.
Bynum, T.W., dan Moor, J.H. 1998. The Digital Phoenix: How Computers Are Changing Philosophy.
OxIord: Blackwell.
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
316
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
Castells, M. 1989. The Informational City, Information Technology, Economic Restructuring and the
Urban-Regional Process. OxIord : Blackwell.
Castells, M. 1996. The Rise of Network Society. OxIord: Blackwell.
Choo, C.W. 2006. The Knowing Organization. New York: OxIord University Press.
Chu, H. 2003. Information Representation and Retrieval in Digital Age. Medford: Information Today.
Cibangu, S.K. 2010. Information science as a social science. Information Research, 15 (3) paper 434.
[Available at http://InformationR.net/ir/15-3/paper434.html].
Cornelius, I. 2002. Theorizing inIormation Ior inIormation science. Annual Review of Information
Science and Technology, Cronin, B. (ed.), vol. 36, Medford, NJ : Information Today Inc. Hal. 339-
425.
Cornelius, I. 2004. Information and its philosophy. Library Trends, 52 (3): 377386.
Cronin, B. 2009. 'The sociological turn in inIormation science. dalam A. Gilchrist (ed.) Information
Science in Transition. London: Facet Publishing. Hal. 109128.
de Alberquerque, J.P.; Simon, E.J.; WahoII, J.H.; RolI, A. 2009. 'The Challenge oI transdisciplinarity
in inIormation system research: towards an integrative platIorm. dalam Aileen Cater-Steel dan
LatiI Al-Hakim (ed.), Information Systems Research Methods. New York: Information Science
Reference. Hal. 88102.
Dervin, B. 1992. From the minds eye of the user: the sense-making qualitative-quantitative
methodology. dalam Qualitative Research in Information Management, Glazier, J.D, dan R.R.
Powell, Englewood CliIIs, C.O : Libraries Unlimited. Hal. 61-84.
Dervin, B. 2005. 'What methodology does to theory: sense-making methodology as exemplar. Dalam
Theories of Information Behavior, Fisher, K.E, S. Erdelez, dan L. Mc Kehnie (ed.), MedIord, N.J.:
Information Today Inc. Hal. 2529.
Duff, A.S. 2000. Information Societies Studies. London: Routledge.
Dick, A.L. 1995. 'Library and InIormation Science as a social science: neutral and normative
conceptions. The Library Quarterly, 65 (2): 216235.
Ditzion, Sydney H. 1947. Arsenals of a Democratic Culture. Chicago: American Library Association.
Ellis, D. 1989a. 'Behavioral approach to inIormation retrieval system design. Journal of Documentation,
45 (3): 171212.
Ellis, D. 1989b. 'A Behavioral model Ior inIormation retrieval system design. Special Issue. Journal of
Information Science, 15 (4/5): 237247.
Ellis, D., D. Cox dan K. Hall. 1992. 'A Comparison oI the inIormation seeking patterns oI researchers
in the physical and social sciences. Journal of Documentation, 49 (4): 356369.
Floridi, L. 1999. Philosophy and Computing An Introduction. New York: Routledge.
Floridi, L. 2004. 'Open problem in the philosophy oI inIormation. Metaphilosophy, 35 (4): 555582.
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
317
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
Frohmann, B. 2004. 'Documentation redux: prolegomenon to (another) philosophy oI inIormation.
Library Trends, 52 (3): 387407.
Gibbons, M; Limoges, C.; Nowotny, H.; Schwartzman, S.; Scott, P.; dan Trow, M. 1994. The New
Production Of Knowledge: The Dynamics Of Science And Research In Contemporary Societies.
London: Sage.
Habbas, Hisham A. 1994. 'Public libraries in Saudi Arabia. Dalam Information and Libraries in the
Arab World, M. Wise dan A. Olden (editor). London : Library Association Publishing.
Haukue. 2005. 'Library Science - quo vadis? (Re)Discovering Bibliothekswissen schaIt dalam Libraries
- a Voyage of Discovery, World Library and InIormation Congress: 71th IFLA General ConIerence
and Council Oslo, Norway |berkas elektronik, http://www.ifa.org/IV/ifa71/Programme.htm].
Hertzel, D. H. 2003. 'Bibliometrics history. Dalam Drake, Miriam A. (ed) Encyclopaedia of Library
and Information Science, Vol. 1, New York: Marcel Dekker. Hal. 288328.
Hessel, A. 1950. A History of Libraries, penerjemah Reuiben Peiss. Washington, D.C.: Scarecrow Press.
Huizing, A. dan Cavanagh, M. 2011. 'Planting contemporary practice theory in the garden oI inIormation
science. Information Research, 16 (4) paper 497. [Available at http://InformationR.net/ir/16-4/
paper497.html]
Ingwersen, P. 1992. Information Retrieval Interaction. London: Taylor-Graham.
Ingwersen, P. dan Jarvelin, K. 2004. 'InIormation retrieval in context. Dalam Ingwersen, P. dan Belkin,
N. J. (Eds.), Proceedings of the SIGIR 2004 : Workshop on Information Retrieval in Context. New
York: ACM. Hal. 69.
International Federation oI Library Associations. 1994. The Status, Reputation and Image oI the Library
and Information Profession. Proceedings of the IFLA Pre-session Seminar Delhi, 24 28 August
1992, Russel Bowden dan Donald Wijasuriya (ed.). IFLA: The Hague.
Jackson, Sydney L. 1974. Libraries and Librarianship in the West: a brief history. London: McGraw-
Hill.
Jeong, W. 2001. 'Locating inIormation science: changes in Ph.D. dissertations during the past three
decades. Journal of Education for Library and Information Science, 42 (4): 308324.
Johnson, E.D. 1965. A History of Libraries in the WesternWorld. New York: Scare- crow Press.
Jones, B. 2008. 'Reductionism and library and inIormation science philosophy. Journal of
Documentation, 64 (4): 482-495.
Kelly, Thomas. 1977. A History of Public Libraries in Great Britain 1845-1975. London: The Library
Association.
Khoo, C., dan Na, J.C. 2006. 'Semantic relations in inIormation science. Annual Review of Information
Science and Technology, (40): 157228.
Kling, R. dan Scacchi, W. 1982. 'The web oI computing: computer technology as social organization.
Advances in Computers, 21: 1-90.
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
318
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
Kling, R. dan Iacono, S. 1994. Computerization movements and the mobilization oI support Ior
computerization. www.slis.indiana.edu/faculty/kling/pubs/MOBIL94C.htm, diakses September
2005
Kuhlthau, C. 1991. Inside the information search process: information seeking from the users
perspective. Journal of the American Society for Information Science, 42 (5): 361371
Kranich, N. 2001. Libraries & Democracy : the Cornerstones of Liberty. Chicago: American Library
Association.
Lerner, F.A. 1998. The Story Of Libraries: From The Invention Of Writing To The Computer Age. New
York: Continuum.
Levine, D. K. dan Lippman, S.A. (ed.). 1995. The Economics of Information Volume I. Aldershot:
Edward Egar.
Liu, X. dan W.B. CroIt. 2005. 'Statistical language modeling Ior inIormation retrieval. Annual Review
of Information Science and Technology, Cronin, B. (ed.), vol. 39, Medford. NJ : Information Today
Inc. Hal. 331.
Marshall, D.N. 1983. History of Libraries Ancient and Medieval. New Delhi: OxIord and IBH Publishing
Co.
Michell, G. dan Dewdney, P. 1998. 'Mental models theory: applications Ior library and inIormation
science. Journal of Education for Library and Information Science, 39 (4): 275281.
Miksa, F.L. 1985. 'Machlup`s Categories oI Knowledge as a Iramework Ior viewing library and
inIormation science history. The Journal of Library History, 20 (2): 157172.
Milde, W. 1971. 'The Library at WolIenbttel, Irom 1550 to 1618. The Modern Language Review, 66
(1): 101112.
Norman, D. dan Rumelhart, E. 1975. Explorations in Cognition. San Francisco: Freeman.
Paisley, W. 1990. 'InIormation Science as a Multidiscipline. Dalam Information Science The
Interdisciplinary Context, ed. J.M. Pemberton dan A.E. Prentice. New York : Neal-Schuman
Publishers.
Parameswaran, M. dan Whinston, A.B. 2007. 'Research issues in social computing. Journal of the
Association of Information Systems, 8 (6): 336350.
Pasmore, W.; Francis, F.; Haldeman, J. dan Shani, A. 1982. 'Sociotechnical systems: a North American
refection on empirical studies oI the seventies. Human Relations, 35 (12): 11791204.
Pitchard, A. 1969. 'Statistical bibliography or bibliometrics? Journal of Documentation, 25 (4): 348
349.
Prentice, A.E. 1990. 'Introduction. Dalam Information Science The Interdisciplinary Context, ed. J.
M. Pemberton dan A.E. Prentice. New York: Neal-Schuman Publishers.
Rayward, W.B. 1985. 'Library and inIormation science: an historical perspective. The Journal of Library
History (1974-1987), 20 (2): 120136.
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
319
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
Reisman, A. dan Xiaomei Xu. 1994. Operations research in libraries: a review oI 25 years oI activity.
Operations Research, 42 (1): 34-40.
Saracevic, T. 1997. 'The stratifed model oI inIormation retrieval interaction: Extension and
applications. dalam C.S. Schwartz (Ed.), Proceedings of the Annual Meeting of the American
Society for Information Science (ASIS 97), Silver Spring. MD: American Society for Information
Science and Technology. Hal. 39.
Saunders, S. 1991. 'Public administration and the library oI Jean-Baptiste Colbert. Libraries & Culture,
26 (2): 283300.
Savolainen, R. 2010. 'Judging the quality and credibility oI inIormation in Internet discussion Iorums.
Journal of the American Society for Information Science and Technology, 62: 12431256.
Savolainen, R., & Kari, J. 2004. 'Conceptions oI the Internet in everyday liIe inIormation seeking.
Journal of Information Science, 30: 219226.
Sawyer, S. 2005. 'Social inIormatics: overview, principles and opportunities. Bulletin of the American
Society for Information Science and Technology, 31 (5): 912.
Spink, A dan Cole, C. 2004. 'A human inIormation behavior approach to philosophy oI inIormation.
Library Trend, 52 (3): 617-628.
Stigler, G.J. 1961. 'The economics oI inIormation. Journal of Political Economy, LXIX (3): 213225.
Tague-Sutcliffe, J. 1995. Measuring Information An Information Services Perspective. San Diego CA:
Academic Press.
Terranova, T. 2004. Network Culture: Politics of the Information Age. London : Pluto Press.
Trosow, S. (2001). Standpoint epistemology as an alternative methodology for library and information
science dalam Library Quarterly, vol. 71, no. 3, hal. 360-382.
Van de Ven, A., and Joyce, W. 1981. Overview oI perspectives on organization design and behavior.
Dalam Perspectives on Organization Design and Behavior, Van de Ven and Joyce (Eds.). New
York: John Wiley and Sons. Hal. 135.
Vickrey, W. 196). 'Counterspeculation, Auctions, and Competitive Sealed Tenders. Journal of Finance,
XVI (16): 837.
Volodin, B.F. 2000. History of librarianship, library history, or information history: a view from
Russia. Library Quarterly, 70 (4) 446-467.
Volodin, B.F. 2002. The World Library History (dalam bahasa Rusia). St. Petersburg: Professia.
Webster, F. 2002. Theories of the Information Society, 2
nd
ed. London: Routledge.
Williamson, K. 1998. 'Discovered by chance: the role oI incidental inIormation acquisition in an
ecological model oI inIormation use. Library and Information Science Research, 20 (1): 23-40.
Williamson, K. 2006. 'Research in constructivist Irameworks using ethnographic techniques. Library
Trends, 55 (1): 83101.
Wilson, T.D. 1999. 'Models in inIormation behaviour research. Journal of Documentation, 55 (33):
259270.
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan
320
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional: Information for Society: Scientific Point of View
Winkelman, J.H. 1974. 'The Imperial Library in Southern Sung China, 1127-1279. A Study oI the
organization and operation oI the scholarly agencies oI the Central Government. Transactions of
the American Philosophical Society, 64 (8): 1-61.
Apa yang dimaksud dengan ilmu perpustakaan dan informasi - sebuah diskusi berkesinambungan

You might also like