You are on page 1of 17

UNIVERSITAS AL-AZHAR DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEMAJUAN ISLAM BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Islam masuk ke Mesir pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab. Ketika itu, beliau memerintahkan Amr bin al-Ash membawa pasukan tentara Islam untuk mendudukinya. Setelah menduduki daerah ini, Amr bin al-Ash langsung menjadi gubernur di sana (632660) dan menjadikan kota Fustat (dekat Cairo) sebagai ibu kotanya. Pada masa selanjutnya, yang memerintah Mesir berturut-turut adalah Kekhilafahan Umayyah dan Abbasiyah, Tulun (868-905), Ikhsyd (935-969), Fatimiyah (909-1171), Ayyubiyah (1174-1250) yang ditandai dengan Perang Salib (1096-1273), dan Mamluk (1250-1517). Pada masa sesudahnya Mesir menjadi bagian dari Kekhalifahan Utsmaniah. Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, merupakan kiblat keilmuan dunia Islam, dan gudang dari segala macam ilmu, al- Azhar merupakan sebuah benteng keilmuan Islam, dimana para penuntut ilmu dari berbagai bangsa di penjuru dunia. Karena tingginya kedudukan al- Azhar di mata umat Islam, tidak mengherankan kalau orang menyebutnya kiblat ilmu keislaman dan gudang dari segala macam ilmu pengetahuan. Di usianya yang sudah mencapai lebih dari satu milenium, Al-Azhar masih terus memancarkan pesonanya ke seluruh muka bumi. Didirikan oleh Dinasti Syiah Fatimiah pada tahun 972 M, Al-Azhar bukan saja merupakan salah satu perguruan tinggi tertua di dunia, tetapi juga menjadi salah satu benteng yang kokoh dari peradaban Islam Sunni. Makalah ini bermaksud membahas tentang sejarah awal berdirinya Universitas al-Azhar, dan aktivitas yang pernah dilaksanakan di lembaga tersebut. Di samping itu akan dilakukan juga analisis bagaimana pengaruh lembaga tersebut bagi perkembangan ilmu pengetahuan setelah Islam mengalami kemunduran dan ketika lahirnya modernisme dalam Islam.

B. Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas, bisa dirumuskan hal- hal yang akan dibahas pada makalah ini sebagai berikut : 1. Sejarah berdirinya Universitas Al-Ahzar 2. Al-Ahzar Sebagai Lembaga Pendidikan 3. Pengaruh Al-Azhar terhadap kemajuan Islam

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah berdirinya Universitas Al-Ahzar Membicarakan sejarah berdirinya Universitas Al-Azhar, tentu tidak bisa dipisahkan dengan sejarah masuknya Islam ke Mesir, keadaan Mesir pada masa pemerintahan Dinasti Fathimiyah, serta mulai di bangunnya Masjid Al-Azhar, yang selain sebagai tempat ibadah, juga pada perkembangan berikutnya berfungsi sebagai lembaga pendidikan.

1. Mesir Sebelum dibangunnya Al-Azhar Islam masuk ke Mesir pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab. Ketika itu, beliau memerintahkan Amr bin al-Ash membawa pasukan tentara Islam untuk mendudukinya. Setelah menduduki daerah ini, Amr bin al-Ash langsung membangun masjid Amr bin alAsh, membangun kota Fushtath (Old Cairo), dan menggali Teluk Amirul mukminin, yang menghubungkan sungai Nil dengan laut merah. Lalu ia ditunjuk menjadi gubernur di sana (632 M/21 H). Kegiatan keilmuan dikota Fusthath berkembang dengan diadakannya halaqoh-halaqoh di Masjid Amru, dan melahirkan para ulama, imam-imam mujtahid, seperti Abdullah bin Amru, Abdullah bin Luhaiah, dan Laits bin Saad, bahkan, Imam Muhammad bin Idris
2

Asy-syafii memiliki pojok tersendiri sebagai tempat beliau mengajar dan menyebarkan mazhabnya di Masjid Amru ini. Ketika Ahmad bin Thulun memerintah Mesir (253-270 H)-seorang keturunan Turki yang lahir di Baghdad-, ia membangun masjid yang megah yang diberi nama Masjid Ibnu Thulun dan membangun kota Ahmad bin Thulun, lalu menjadikannya ibukota pemerintahannya. Masjid Ibnu Thulun ini pun berkembang menjadi pusat keilmuan islam di Mesir pada masa itu.1 2. Mesir pada Masa Pemerintahan Daulah Fathimiyah Dinasti Fathimiyah berdiri menjelang abad ke 10 ketika kekuasaan Dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan daerah kekuasaannya yang luas tidak lagi terkoordinasikan. Kondisi ini telah membuka peluang bagi kemunculan dinasti-dinasti kecil di daerah-daerah terutama yang gubernur dan sultannya memiliki tentara sendiri. Diantara dinasti kecil yang memisahkan diri itu adalah dinasti Fatimiyah. Dinasti Fatimiyah sendiri mengambil nama dari Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah SAW. Dinasti Fatimiyah ini muncul di Afrika Utara pada akhir abad ketiga Hijriyah dibawah pimpinan Ubaidillah Al-Mahdi yang memiliki mazhab Syiah Ismailiyah. Pada tahun 909 M kelompok Syiah Ismailiyah di Afrika Utara ini dapat mengonsolidasikan gerakannya, sehingga pemimpin gerakan ini Ubaidillah Al-Mahdi mengumumkan berdirinya Dinasti Fatimiyah yang terlepas dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Ia memperkuat dan mengonsolidasikan khalifahnya di Tunisia dengan bantuan Abdullah al-SyiI seorang dai Ismailiyah yang sangat besar perannya dalam mendirikan Dinasti Fathimiyah. Pada tahun 362 H/973 M, Khalifah Muidz Lidinillah memindahkan ibu kota Dinasti dari Qairuwan di Tunisia ke al-Qahirah di Mesir. Pada tahun itu pula diresmikannya Masjid AlAzhar yang didalamnya berdiri Universitas Al-Azhar, yang berfungsi sebagai pusat

Muhammad Abdul Munim Khafaji, Al-Azhar Fi Alfi Am, Kairo : Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, dan Beirut : lamul Kutub, 1988, Jilid I, Cet II , hlm. 13-18

pengkajian Islam dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan dengan mendasarkan pada mazhab Syiah Ismailiyah.2 3. Masjid Al-Azhar Masjid Al-Azhar dimulai peletakan batu pertamanya pada 24 Jumadil Ula 359 H (April 970 M), dan mulai dibuka untuk shalat Jumat pada 7 Ramadhan 361 H (972 M). Adapun halaqoh halaqoh ilmiah dimasjid ini dimulai pada tahun 365 H (976 M). Dan menjadi universitas Islam yang besar pada tahun 378 H (988 M). Pada awal pembangunannya, masjid yang dibangun oleh Jauhar As-siqily ini bernama Masjid Al-Qahirah sesuai dengan nama ibu kota pemerintahan yang baru. Namun berangsur-angsur penyebutannya berganti menjadi Masjid Al-Azhar setelah dibangunnya istana-istana yang megah pada masa al-Aziz Billah, yang terkenal dengan sebutan al-qushr az-Zahr, sehingga masjid resmi negara, juga disebut Masjid al-Azhar.3 Namun pendapat lain menyatakan penamaan Al-Azhar diambil dari az-Zahra, julukan Fatimah, putri Nabi Muhammad SAW, dan istri Ali Bin Abi Thalib, imam pertama Syiah 4. Ataupun penamaan dengan Al-Azhar itu dikarenakan masjid ini merupakan masjid termegah -dikelilingi benteng-benteng yang kokoh- dan paling membanggakan. Atau bisa juga sebagai sebuah optimisme keberadaan masjid ini akan menjadi masjid yang paling bersinar.5

B. Al-Azhar Sebagai Lembaga Pendidikan Munculnya al-Azhar sebagai lembaga pendidikan dimulai ketika pemerintahan Dinasti Fatimiyyah dipegang oleh Khalifah al-Aziz Billah. Usaha yang dilakukan olehnya adalah dengan memerintahkan Ya`kub ibn Killis untuk melaksanakan kegiatan belajar secara terusmenerus. Dari usaha yang dilakukan Ibn Killis banyak umat Islam yang belajar, melakukan
2

Suwito dkk, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana Prenada Media, 2008, Cet. II, h. 122-123 lihat juga Muhammad Abdul Munim Khafaji hlm. 20-23 3 Muhammad Abdul Munim Khafaji, op.cit. h. 41 4 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Grafindo Persada, 1998, Cet VII, hlm. 282. Lihat juga Muhammad Abdul Munim Khafaji hlm. 27 5 Muhammad Abdul Munim Khafaji, op.cit. hlm. 27. Sebagai catatan Al-Azhar dalam bahasa Arab artinya yang paling tercerahkan

diskusi, mendengarkan cerita, dan kegiatan semacam ini dilaksanakan secara rutin sehingga pada saat itu dimulailah babak baru perubahan Masjid al-Azhar menjadi universitas. (Madrasah al-`ulya) atau (Jami`ah al-Azhar). Perkembangan kegiatan pendidikan di al-Azhar semakin menunjukkan wujudnya karena didukung oleh kepiawaian beberapa ulama sebagai guru yang mengajarkan ilmunya di universitas al-Azhar. Terdapat sejumlah nama-nama ulama Syiah seperti, Abu Hasan alNu`man (ahli fikih ahlul bait), Muhammad ibn Nu`man, Husein ibn Nu`man, Hasan ibn Zaulaq (ahli fikih dan sejarah Mesir), dan Al-Amir Mukhtar Abdul Malik Muhammad ibn Abdul Malik Ahmad al-Hadani. Pada masa dinasti Fatimiyah ini, masjid menjadi tempat berkumpulnya ulama fiqh khususnya ulama yang menganut mazhab Syiah Ismailiyyah. Mereka berkumpul membuat buku tentang mazhab Syiah Ismailiyah yang akan diajarkan kepada masyarakat. Diantara tokoh yang membuat buku antara lain Yaqub bin Killis. Ia adalah seorang keturunan Yahudi Muslim dan seorang menteri (wazir) yang sangat mencintai ilmu dan seni. Khalifah al-Muidz memilihnya dikarenakan bangsa Yahudi terkenal dengan ketekunan dan keuletannya. Di setiap hari Jumat, Killis membacakan buku fiqh fatimy ini didepan masyarakat. Dan ia juga berinisiatif mengadakan perkumpulan dengan para fuqoha, ahli kalam, dan ahlul jadal.6 Khalifah Muidz juga mengumpulkan para penulis di istana untuk menyalin buku-buku seperti : Al-Quran, Hadits, Fiqh,Sastra hingga ilmu kedokteran.Ia memberikan penghargaan khusus bagi para ilmuwan ini dan menugaskan mereka untuk menjadi imam di masjid istana. Begitu tingginya perhatian pemerintah terhadap ilmu pengetahuan hingga kebutuhan untuk penyalinan naskah tersebut pun tersedia, seperti tinta dan kertas.7 Perkembangan kebudayaan Islam pada masa ini mencapai kondisi yang sangat mengagumkan. Hal ini disebabkan berkembangnya penerjemahan dan penerbitan sumbersumber pengetahuan dari bahasa asing seperti Bahasa Yunani, Persia, dan India kedalam Bahasa Arab, yang banyak mendorong para wazir, sultan , dan umar untuk melahirkan tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dan sastra.

6 7

Ibid. hlm. 29 Suwito dkk, hlm. 125

Pada masa al-Aziz (putra Muidz), ia mulai membuka pendidikan fiqh, filsafat dan teologi ala mazhab Fatimiah, dan menunjuk 30 ulama yang dipersiapkan untuk menyebarkan paham Syiah. Lalu pada tahun 988 M, Ia mulai meresmikan pendidikan formal di Masjid alAzhar.Untuk memuluskan misi, terdapat dua ulama yang ditugaskan untuk mengajarkan fiqh Syiah Ismailiyah, yaitu Abu al-Hasan Ali bin Numan dan Abu Yaqub bin Killis. Pelajaran Fikih merupakan pelajaran yang sangat penting, karena fikih merupakan materi yang menyentuh langsung kehidupan sehari-hari. Sedangkan paham fikih yang paling popular di masa itu, yaitu fikih mazhab Imam Syafii.8 Untuk meneguhkan faham Syiah Ismailiyah, ada sejumlah buku yang dijadikan kurikulum utama, yaitu Daaim al-Isla, al-Iqtishar, al-Risalah al-Waziriyah fi al-fiqh alSyiI, Ikhtilaf Ushulal-Madzahib, al-Yanbu, al-Majlis wa al-Musayarat.9 Setelah Dinasti Fatimiyyah runtuh dan kekuasaan berada di tangan Dinasti Ayubiyyah, hingga akhirnya berhasil direbut oleh Dinasti Mamluk keberadaan al-Azhar tidak berkembang sebagaimana pada masa kekuasaan Dinasti Fatimiyyah. Rentang waktu tidak aktifnya al-Azhar sebagai sarana kegiatan keagamaan maupun keilmuan cukup lama lebih kurang selama satu abad. Ada dua faktor yang menyebabkan pada kedua masa setelah masa kekuasaan Dinasti Fatimiyyah al-Azhar tidak difungsikan. Pertama, adanya perbedaan faham yang dianut oleh keduanya, yaitu di mana Dinasti Fathimiyyah menganut faham Syiah, sedangkan Dinasti Ayubiyyah menganut faham sunni10; Kedua, ketika kekuasaan berada di tangan Dinasti Mamluk, dunia Islam dalam keadaan kemelut akibat penaklukan yang dilakukan oleh tentara Tar-Tar (Mongol) terhadap Baghdad. Pada masa kekuasaan Dinasti Ayubiyyah terjadi stagnasi perkembangan kegiatan pendidikan di al-Azhar selama hampir satu abad yaitu dari tahun 1171-1267 M. Bahkan Dinasti ini mendirikan banyak madrasah disekitar masjid al-Azhar, yang ditujukan khususnya bagi generasi muda pada zaman itu. Hal ini disebabkan karena para pendiri Dinasti Ayubiyyah ini beraliran Sunni yang berlandaskan mazhab Imam Syafii dan berusaha mengurangi pengaruh Syiah Ismailiyyah diwilayah kekuasaan mereka. Meskipun demikian
8

Muhammad Abdul Munim Khafaji, op.cit. hlm 29, Lihat juga Zuhairi Misrawi, Al-Azhar Menara Ilmu,Reformasi,dan Kiblat Keulamaan, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2010,hlm 132 9 Ibid hlm 35 10 Muhammad Abdul Munim Khafaji, op.cit. hlm 84

kegiatan pembelajaran di al-Azhar tetap berlangsung meskipun hanya mengandalkan usaha pribadi orang-orang yang respek terhadap ilmu agama. Khususnya ketika anak Sultan Salahuddin yang bernama Sultan al-Aziz Imaduddin Usman pada tahun 1193-1198 M, datang seorang ulama yang bernama Abdul Latif al-Baghdadi ke Mesir untuk mengajarkan ilmu mantiq dan bayan. Demikian pula Abu Qasim al-Manfukati, Jalaluddin al-Suyuthi, alSahruri, dan Ibn Farid. Ketika kekuasaan beralih ke tangan Dinasti Mamalik, al-Azhar yang dinonaktifkan selama hampir satu abad dibuka kembali. Masa ini merupakan masa kemelut bagi dunia Islam. Pada masa ini dunia Islam mendapat serbuan secara besar-besaran oleh tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan. Dalam keadaan yang demikan justeru al-Azhar dijadikan sebagai tempat pelarian ulama dan ilmuwan Muslim baik di Timur maupun di Barat, salah satunya adalah Ibn Khaldun, seorang filsuf dan ahli sejarah yang datang ke alAzhar tahun 784 H/1382 M dan mengajarkan hadist serta fikih Imam Malik.11 Sejak saat itu banyak ilmuwan Muslim yang berdatangan ke al-Azhar untuk mengajarkan ilmu yang mereka miliki, dan dengan demikian banyak pula pelajar Muslim yang belajar dan menimba ilmu di sana. Sehingga al-Azhar menjadi penting kedudukannya bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Banyaknya pelajar yang menimba ilmu di universitas al-Azhar pada saat itu menurut para orientalis merupakan zaman keemasan bagi perkembangan al-Azhar.

Perkembangan Kegiatan Pendidikan di Al-Azhar Pada tahap awal perkembangannya sebagai lembaga pendidikan dilaksanakan sistem pembelajaran yang mempergunakan kelas. terdapat empat kelas dalam kegiatan pembelajaran di al-Azhar yaitu: Pertama kelas umum yang diperuntukkan bagi orang yang ingin mempelajari Al-Quran dan penafsirannya; Kedua, kelas mahasiswa yang belajar dengan cara mengajukan pertanyaan kepada guru (dosen) untuk menemukan jawabannya; Ketiga, kelas
11

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam 2003. Ensiklopedi Islam 3 . Cet. Ke-12. PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta. Hlm. 203

Darul Hikam sebagai kelas formal untuk umum yang dibuka pada hari Senin, dan kelas khusus untuk mahasiswa pilihan yang dibuka pada hari kamis; Keempat yaitu kelas khusus bagi wanita.12 Metodologi dan kurikulum pengajaran yang dilaksanakan di universitas al-Azhar adalah, mula-mula belajar dengan metode halaqah (melingkar) di mana guru dikelilingi oleh murid dalam membahas suatu permasalahan. Metode kitabah (menulis) mulai dilakukan pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk, di mana pemerintah memerintahkan kepada ulama untuk membukukan bahan pengajarannya. Teknik penulisan yang dipakai pada waktu itu adalah, ringkasan-ringkasan, Syarah atau penerangan beberapa masalah dalam matan, Hawasyi (catatan pinggir), serta taqarir (laporan).13 Metode diskusi (niqasy) dan dialog (hiwar) juga diterapkan pada waktu itu, di mana guru melontarkan permasalahan, lalu dijawab oleh murid, guru hanya bertindak sebagai fasilitator. Sementara itu kurikulum yang mula-mula dipergunakan adalah fiqih, ilmu al-Quran, dan ilmu agama lainnya, selain itu dimasukkan juga ilmu sejarah, kedokteran, ilmu hitung, logika, dan sebagainya. Dalam pengelolaannya pada masa-masa awal berdirinya universitas al-Azhar belum dikelola secara memadai, sistem pengelolaan dipegang langsung oleh panglima atau wazir (perdana menteri). Pada masa Dinasti Ottoman, ditunjuklah seorang ulama yang bertanggungjawab sepenuhnya terhadap segala urusan yang berkaitan dengan peribadatan dan pendidikan. Ulama tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Syaikh al-Azhar. Jabatan syaikh al-Azhar untuk pertama kali dibentuk pada tahun 1101 H/1690 M, dengan Syaikh Muhammad Abd al-Khurashi al-Maliky, sebagai syeikh al-Azhar yang pertama14. Semenjak itu syekh al-Azhar lah yang berhak memberikan penilaian reputasi ilmiah bagi tenaga pengajar, mufti, dan hakim. Sejak saat itu hingga sebelum tahun 1872 M, ijazah yang diberikan kepada anak didik tidak melalui ujian, akan tetapi berdasarkan keputusan pribadi masing-masing guru.

12 13

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990, hlm. 174, Ibid 14 Muhammad Abdul Munim Khafaji, op.cit. hlm 228

Sistem pendidikan yang dilaksanakan pada kurun ini adalah, Pertama, setiap mata kuliah ada seorang guru besar, dan mahasiswa berusaha mendampingi guru besar; Kedua, mahasiswa mungkin hanya mendapat ijazah dari satu mata kuliah, sedangkan yang lain tidak; Ketiga, Setiap mahasiswa yang memiliki kemampuan berfatwa diberikan kesempatan mengajar; Keempat, Setiap mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih mata kuliah yang diminatinya." 15 Mencermati perkembangan al-Azhar sebagai lembaga pendidikan sejak berdiri hingga tahun 1872 M, mengalami perkembangan fluktuatif. Hal ini ditandai dengan adanya kebijakan khalifah yang membekukan kegiatan di Masjid al-Azhar pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin al-Ayubi dari Dinasti Ayubiyyah, dan sekitar 17 tahun pada masa kekuasaan Dinasti Mamluk. Ketika dunia Islam berada dalam tekanan tentara Mongol dengan penghancuran Bahdad, dan pengusiran umat Islam di Andalusia, barulah kegiatan keilmuan dihidupkan kembali.

Perkembangan al-Azhar Pada Abad Modern Perkembangan al-Azhar pada kurun modern ditandai dengan usaha pembaruan dalam pengelolaan Universitas al-Azhar pada bulan Pebruari tahun 1872 M. Usaha tersebut dilakukan oleh Syekh Muhammad Abbasi al-Mahdi al-Hanafi yang merupakan Syekh alAzhar ke-21 yang bermazhab Hanafi.16 Di antara usaha pembaruan yang dilakukannya adalah, calon alim (Sarjana) harus menempuh ujian dihadapan tim penguji yang beranggotakan 6 orang syekh yang mewakili berbagai disiplin ilmu yang berbeda. Keenam orang syekh tersebut untuk menguji bidang fikih, tauhid, hadist, tafsir, dan ilmu bahasa Arab seperti nahu, saraf, ma`ani, bayan, badi`, dan ilmu mantiq. Kandidat yang berhasil lulus dalam ujian tersebut berhak mendapatkan al-Syahadah al-`alamiyah (ijazah kesarjanaan). Pada bulan Maret 1885 keluar Undang-Undang mengenai peraturan tenaga pengajar di al-Azhar. Seseorang dapat menjadi tenaga pengajar di al-Azhar setelah ia dapat
15

Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004, Hlm 190-191 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,op.cit. hlm 204

16

menyelesaikan buku-buku induk dalam dua belas bidang studi seperti disebutkan di atas. Kandidat yang lulus dalam ujian mendapat kualifikasi ke`aliman, yaitu al-Darajat al-Ula (tingkat pertama), al-Darajat al-Saniyah (tingkat kedua), dan al-Darajat al-Salisah (tingkat tiga)17. Lulusan pada tingkat ketiga berhak mengajarkan buku-buku tingkat tinggi, yang lulus pada tingkat kedua mengajar untuk buku-buku tingkat menengah, dan lulusan tingkat pertama hanya berhak mengajarkan buku-buku tingkat dasar. Pada tahun 1896 untuk pertama kalinya dibentuk al-Idarah al-Azhar (Dewan Administrasi al-Azhar). Usaha pertama yang dilakukan oleh dewan tersebut adalah, dengan mengeluarkan peraturan yang membagi masa belajar atau masa studi menjadi dua periode: Pertama, Pendidikan Dasar (al-Syahadah al-Ahliyah) selama 8 tahun. Mereka yang berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan ini, diperkenankan untuk menjadi imam dan khatib. Fakta ini menarik untuk dicermati, karena untukmenjadi imam shalat dan khatib Jumat bukanlah hal yang mudah. Seorang imam dan khatib harus mempunyai kualifikasi keilmuan yang sudah matang di al-Azhar, yang dibuktikan dengan sertifikat kelayakan (syahadah alahliyah). Sedangkan jenjang yang kedua, yaitu masa belajar selama empat tahun. Mereka yang sudah mendapatkan Syahadah al-Ahliyah dapat melanjutkan hingga empat tahun lagi untuk mendapatkan ijazah yang dikenal dengan Syahadah al-Alamiyyah. Gelar ini merupakan gelar tertinggi bagi mereka yang belajar di al-Azhar. Mereka umumnya sudah memiliki kepakaran dan basis keislaman yang sangat kuat, karena harus hafal al-Quran secara keseluruhan. Para pengajar di al-Azhar adalah orang-orang yang sudah mendapatkan Syahadah al-Alamiyyah18. Usaha pembaruan selanjutnya dilakukan oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905). Pada mulanya ide pembaruan yang direkomendasikannya mendapat tantangan dari banyak ulama, tetapi setelah al-Azhar dipegang oleh Syekh al-Nawawi, Ia mendapatkan peluang untuk melakukan pembaruan. Usaha-usaha yang dilakukan Abduh dalam lapangan pendidikan membawa perubahan besar dalam sistem pendidikan yang dilaksanakan di universitas al-Azhar, diantaranya, pembentukan Dewan Pimpinan al-Azhar yang terdiri dari
17 18

Abudin Nata, op.cit. hlm 191 Lihat juga Muhammad Abdul Munim Khafaji, op.cit. hlm 181 Zuhairi Misrawi, op.cit. hlm206

10

ulama besar empat mazhab, menertibkan administrasi Al-Azhar dengan menentukan honor yang layak bagi pengajar, membangun ruangan khusus untuk rektor, pembantu rektor, dan unsur lainnya, masa belajar diperpanjang dan masa libur diperpendek.19 Begitu pula dalam hal sistem pembelajaran, di mana menurutnya uraian pelajaran yang bertele-tele yang dikenal dengan Syarah al-Hawasyi agar dihilangkan, agar dibangun Ruaq al-Azhar yang dapat memenuhi kebutuhan pemondokan bagi guru-guru dan mahasiswa. Sementara itu dalam hal pembaruan kurikulum Muhammad Abduh merasakan munculnya dualisme sistem pendidikan dan melihat bahaya yang akan timbul dari sistem tersebut, sebagaimana pandangannya sebagai berikut: Ke dalam al-Azhar perlu dimasukkan ilmu-ilmu modern agar ulama Islam mengerti kebudayaan modern dan dengan demikian dapat mencari penyelesaian yang baik bagi persoalan-persoalan yang timbul dalam zaman modern. Memperbaharui sistem pelajaran di al-Azhar akan mempunyai pengaruh yang besar dalam berkembangnya usaha-usaha pembaruan dalam Islam. Begitu pula dengan memasukkan ilmu pengetahuan modern ke dalam al-Azhar dan juga dengan memperkuat ilmu agama di sekolah-sekolah pemerintah, sehingga jurang yang memisahkan golongan ulama dari golongan ahli ilmu modern akan diperkecil. Usaha pembaruan Muhammad Abduh terhadap al-Azhar berdasarkan fakta yang dikemukakan di atas lebih dilatarbelakangi oleh kondisi sejarah bangsa Mesir khususnya dan dunia Islam umumnya yang terjebak dalam dualisme sistem pendidikan. Meskipun demikian dari usaha pembaruan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dapat dipandang sebagai peletak dasar bagi pengembangan Universitas al-Azhar modern sebagaimana yang kita saksikan saat ini. Pada tahun 1908 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 yang mengatur tentang pembagian jenjang pendidikan di al-Azhar, yang dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu, pendidikan dasar (awwaliyat), pendidikan menengah (tsanawiyat), dan pendidikan tinggi (`aliyat) dengan lamanya belajar masing-masing 4 tahun.20 Berdasarkan pembagian tersebut

19 20

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam.op.cit. hlm 257 Ibid hlm. 204

11

pada kurun tersebut seseorang dapat menyelesaikan pendidikan di al-Azhar jika menempuh ketiga jenjang pendidikan yang ditawarkan adalah selama 12 tahun. Akan tetapi ketika kepemimpinan al-Azhar dipegang oleh Syekh Salim al-Basyari, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1329 H/1911 M yang menegaskan posisi alAzhar sebagai lembaga keilmuan keislaman terbesar, dan juga mengubah rentang waktu penyelesaian studi di al-Azhar menjadi masing-masing 5 tahun untuk setiap tingkatannya. Di samping itu pembentukan Majelis Tinggi al-Azhar (Majelis al-Azhar al-`Ala), dan Organisasi Ulama terkemuka al-Azhar (Haiah Kubar li al-Azhar)21. Juga pembentukan Badan Administrasi (Majlis Idrah lil Azhar) untuk setiap tingkatannya, serta peraturan kepegawaian al-Azhar22. Pada tahun 1930 pada masa kepemimpinan Syeikh Muhammad Musthofa al-Maraghi, syeikh al-Azhar yang ke 32, dilakukan pembaruan kembali dengan dikeluarkannya UndangUndang Nomor 49 Tahun 1930 yang mengatur jenjang studi di al-Azhar. Pembagian jenjang studi yang dimaksud adalah, jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan tinggi kejuruan (takhasus). Pendidikan dasar selama 4 tahun, pendidikan menengah 5 tahun, pendidikan tinggi tingkat pertama 4 tahun, dan pendidikan tinggi kejuruan selama 5 tahun. Khusus pendidikan tinggi kejuruan diatur dalam dua bentuk yaitu, pendidikan kejuruan karir (mihnah), dan pendidikan kejuruan kehakiman (qada`). Fakultas yang ada pada waktu itu adalah Fakultas Ushuluddin, Syari`ah, dan Bahasa Arab 23. Pada masa ini untuk pertama kali dipergunakan kata Universitas al-Azhar (al-Jami`ah alAzhar) sebagai pengganti sebutan Masjid Raya al-Azhar (Jami al-Azhar). Pada masa kepemimpinan Syekh Mahmud Syaltut sebagai rektor al-Azhar ke-41, keluar Undang-Undang Nomor 103 Tahun 1961 yang mengatur tentang Organisasi al-Azhar. Dalam undang-undang tersebut dikemukakan tentang pengaturan tersendiri mengenai pemeliharaan al-Quran, di smaping itu ditetapkan pula pendirian fakultas baru seperti, Fakultas Kedokteran, Fakultas pertanian, Fakultas Teknik, di samping fakultas yang sudah ada sebelumnya.
21

Yaitu suatu tim yang beranggotakan 30 orang Ulama yang harus memenuhi syarat-syarat keilmuan dan kecakapan tertentu 22 Muhammad Abdul Munim Khafaji, op.cit. hlm 195-198 23 Muhammad Abdul Munim Khafaji, op.cit. hlm 202

12

Dalam undang-undang tersebut khususnya pasal 3 ayat 8 diatur tentang lembaga-lembaga al-Azhar yang terdiri dari: Majelis Tinggi al-Azhar (Majlis al-A`la li al-Azhar), Lembaga Riset Islam (Majm al-Buhuts al-Islamiyah), Biro Kebudayaan dan Misi Islam (Idrah alTsaqafah al-Bu`uts al-Islamiyah), Universitas al-Azhar (al-Jami`ah al-Azhar), dan Lembaga Pendidikan Dasar dan Menengah (al-Mahid al-Azhariyah). Universitas al-Azhar menurut pasal 33 undang-undang tersebut adalah, lembaga pendidikan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tingkat universitas atau penelitian yang bertujuan untuk memelihara, mempelajari, dan menyebarluaskan turast (warisan) Islam24. Secara lebih rinci, tujuan universitas al-Azhar adalah: 1) Mengemukakan kebenaran dan pengaruh warisan Islam terhadap kemajuan umat manusia dan jaminannya terhadap kebahagiaan dunia dan akhirat; 2) Memberikan perhatian penuh terhadap warisan ilmu, pemikiran khazanah kebudayaan Islam -Arab; 3) Menyuplai dunia Islam dan negara-negara Arab dengan ulama yang aktif yang beriman, percaya terhadap diri sendiri, mempunyai keteguhan mental dan ilmu yang mendalam tentang akidah, syariat, dan bahasa al-Quran; 4) Mencetak ilmuwan agama yang aktif dalam semua bentuk kegiatan, karya, kepemimpinan dan menjadi teladan yang baik; 5) Meningkatkan hubungan kebudayaan dan ilmiah dengan universitas dan lembaga ilmiah Islam di luar negeri25. Perkembangan lainnya yang cukup monumental adalah, pada tahun 1962 dibuka Kulliyatul Bant atau al-Azhar Women`s College oleh DR. Zainab Rashid. Fakultas yang didirikan tersebut ditempatkan di gedung-gedung baru dengan jumlah mahasiswi tiga ribu lebih yang datang dari berbagai dunia Islam. Pada tahun 1297 H/1879 M berdiri perpustakaan al-Azhar yang memiliki 7.700 jilid buku, dan pada permulaan abad modern tercatat 36.624 jilid buku, yang terdiri dari 10.932 buku yang ditulis dengan tangan, dan kemudian meningkat menjadi 66.624 jilid buku26. Buku-buku tersebut dikoleksi dalam enam tempat di dalam masjid, yaitu Madrasah Aqbigha, Madrasah Thibristiyah, Ruaq Turki, Ruaq al-Abbasi, Ruaq Maghrib, dan Ruaq Sawwam. Buku-buku yang ada meliputi bidang masahif (al-Quran), qira`ah, ulumul quran, ulumul
24 25

Ibid hlm. 205 Lihat juga http://www.azhar.edu.eg/pages/history.htm diakses pada tanggal 5 Desember 2012 Abudin nata, op.cit.hlm 193 26 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam.op.cit. hlm 205

13

hadist, musthalahah al-Hadist, fikih empat mazhab, turast, hikmah tasyri`, fikih umum, ilmu kalam, mantiq, adab al-bahs, filsafat, tasawwuf, adab, dan tarikh tasri`. Sedangkan dalam bidang ilmu umum meliputi, pendidikan, geografi, ekonomi, politik, geometri, aritmatik, sosiologi, hukum. Kedokteran, pertanian, topografi, kimia, fisika, olah raga, teknik, militer, musik, gambar, syariat non-Muslim, sistem periodik, statistik, dan bahasa-bahasa Barat dan Timur.

C. Pengaruh Al-Ahar terhadap Kemajuan Islam Mencermati dari perkembangan al-Azhar dalam kurun modern pantas apabila keberadaan Universitas al-Azhar dipandang sebagai lembaga pendidikan tinggi yang banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan intelektualisme Islam modern. Meskipun secara bersamaan modernisasi yang dilakukan dalam tubuh universitas al-Azhar merupakan proses modernisasi yang berkembang dalam rangka mengembangkan keberadaan universitas al-Azhar sebagai lembaga pendidikan Islam terbesar dalam sejarahnya. Keberhasilan al-Azhar dalam mencetak ulama dan intelektual Muslim yang memiliki integritas keilmuan yang cukup mapan, merupakan sumbangan besar al-Azhar bagi kemajuan intelektualisme Islam modern. Di antara ulama yang lahir dan didibesarkan oleh al-Azhar seperti, Imam Subki, Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqolani, dan lain sebagainya27. Buah pena dan pikiran para ulama sekaligus ilmuwan tersebut sampai saat ini dapat kita saksikan dan kita pelajari. Peran penting dan pengaruh besar al-Azhar di Mesir dan dunia Islam pun semakin nyata. Posisinya pun tak tergantikan di mata umat Islam. Sebagai sebuah pusat keilmuan, peran sentral dan pengaruhnya di dunia Islam tidak lagi kita pertanyakan. Bila al-Qayrawan merupakan universitas tertua di dunia, maka al-Azhar adalah universitas dengan pengaruh terbesar di dunia Islam. Hingga saat ini, al-Azhar kerap ditunjuk sebagai perwakilan umat Islam di berbagai forum internasional. Bahkan, masyarakat Indonesia masih memahami bahwa belajar di Mesir berarti menimba ilmu di al-Azhar.
27

Mahmud Yunus, op.cit. hlm 176

14

Di samping kedudukannya sebagai sebuah institusi keilmuan Islam, al-Azhar juga memiliki pengaruh besar dalam kehidupan politik. Pada masa dinasti Turki Utsmani misalnya, al-Azhar mempunyai semacam kekuatan untuk menentukan Gubernur Mesir dengan syarat-syarat tertentu. Al-Azhar juga bisa menurunkan sang gubernur bila terbukti tidak lagi amanah, adil dan bijaksana. Menyadari akan peran al-Azhar yang begitu besar dan pengaruh yang sangat luas, para penguasa Mesir Modern kemudian melakukan seribu macam cara untuk melemahkan alAzhar. Sejak masa Muhammad Ali usaha tersebut sudah mulai dilancarkan. Saat itu, Ia dengan begitu gencar mendirikan institusi-institusi pendidikan dan keilmuan sebagai tandingan bagi al-Azhar. Ia pun berusaha keras untuk melepaskan pengaruh al-Azhar di Mesir. Sikap dan kebijakan serupa terus dilakukan oleh para pemimpin Mesir berikutnya. Mereka berusaha menghalangi al-Azhar untuk mengambil peran dalam ranah politik. Pada saat yang sama, mereka mempergunakan Islam dan para ulamanya untuk mewujudkan tujuan politiknya. Sebagai contoh, mari kita simak bagaimana rezim Muhammad Naguib dan kemudian Jamal Abdul Naser melemahkan al-Azhar. Bermula dari akhir 1952, dengan pengesahan undang-undang no. 180 tentang penghapusan wakaf swasta. Sebagai konsekuensinya, maka tanah-tanah wakaf yang menjadi sumber ekonomi utama al-Azhar dikuasai negara dan diserahkan kepada Departemen Perbaikan Pertanian. Rezim juga menghapus pengadilanpengadilan syariah di Mesir, sehingga peran al-Azhar dalam praktek kehidupan rakyat Mesir semakin terbatas. Ditambah lagi dengan dikeluarkannya undang-undang no. 103 tahun 1961 tentang pengaturan ulang struktur al-Azhar. Undang-undang yang pada satu sisi mampu mengatur struktur baru bagi al-Azhar, namun di sisi lain menyebabkan kontrol negara atas alAzhar semakin besar. Alhasil, al-Azhar pun sangat jarang mengeluarkan sikap atau pernyataan yang berseberangan atau menentang rezim yang berkuasa. Posisi al-Azhar di mata umat Islam sebagai rujukan tertinggi dalam permasalahan fatwa dan dakwah pun mulai melemah. Kontrol serta pengawasan rezim yang begitu ketat dan ruang gerak al-Azhar berubah menjadi
15

sangat terbatas. Di awal revolusi Mesir tahun 2011 lalu, al-Azhardalam lingkup sebuah institusipun tidak mengeluarkan pernyataan yang dengan tegas mendukung revolusi rakyat tersebut. Kondisi inilah yang kemudian memaksa para ulama al-Azhar untuk bergerak dari luar alAzhar sebagai sebuah institusi. Mereka memandang bahwa langkah tersebut memungkinkan mereka untuk bisa bergerak lebih leluasa. Sehingga muncullah berbagai organisasi-organisasi pergerakan Islam dan, al-Azhar tetap menjadi institusi pendidikan yang banyak menelurkan tokoh-tokoh pergerakan tersebut. Pasca revolusi, berbagai usaha untuk mengembalikan dan mengembangkan peran, pengaruh dan kedudukan al-Azhar di mata umat Islam gencar dilakukan. Undang-undang independensi al-Azhar, termasuk didalamnya perubahan tata cara pemilihan Grand Syeikh alAzhar, adalah langkah-langkah awal menuju titik terang tersebut.

BAB III PENUTUP A. Simpulan Munculnya al-Azhar sebagai lembaga pendidikan bermula ketika Khalifah al-Mu`izz Lidinillah pada tahun 362 H/973 M memindahkan ibu kota Daulat Fatimiyyah dari kota Qairawan di Tunisia ke Qahirah di Mesir, dan pada tahun 975 M ia meresmikan pendirian Perguruan al-Azhar yang berdasarkan Mazhab Syiah Ismailiyyah. Hal ini yang melatarbelakangi pendiriannya sebagai alat bagi kepentingan penguasa Bani Fatimiyyah yang ingin menanamkan kekuasaannya berdasarkan pendekatan ajaran Syiah. Al-Azhar sejak berdirinya mengalami pasang-surut perkembangan, sesuai dengan keadaan politik dalam negeri Mesir. Pada masa pemerintahan Dinasti Ayubiyyah dan 17 tahun masa pemerintahan Dinasti Mamalik, yang beraliranSunni, hampir satu abad Masjid al-Azhar tidak difungsikan masjid resmi Negara, dan juga sebagai lembaga
16

pendidikan. Bahkan didirikan madrasah-madrasah tandingan yang diperuntukkan bagi generasi muda dan masyarakat umum pada masa itu. Hal ini dilakukan sebagai kounter bagi ajaran Syiah dan sebagai langkah sistemik bagi penyebaran ajaran Sunni di Mesir. Sehingga sejak masa pemerintahan Dinasti Mamalik sampai sekarang ini, al-Azhar dikokohkan sebagai benteng peradaban Islam Sunni. Sejak kejatuhan dunia Islam oleh tentara Mongol, al-Azhar tampil sebagai tempat pelarian para sarjana Muslim baik dari Barat mupun dari Timur. Sejak saat itu al-Azhar memasuki babak baru dalam perkembangannya sebagai lembaga pendidikan, dan momentum tersebut memberikan spirit baru bagi perkembangan al-Azhar sebagai lembaga pendidikan. Dalam kiprahnya sebagai lembaga pendidikan mengalami perkembangan yang senantiasa meningkat dari waktu kewaktu. Berbagai upaya pengembangan dilakukan dalam berbagai bidang kegiatan di alAzhar, seperti bidang administrasi, bidang kelembagaan, bidang kurikulum, tenaga pengajar, mutu lulusan, honor dosen, asrama mahasiswa, hingga kepada perpustakaan universitas. Semua usaha pengembangan yang dilakukan berlangsung hingga sekarang ini, sebagai bagian integral dalam upaya memodernisasi universitas al-Azhar. Buah dari usaha tersebut hingga saat ini al-Azhar telah menghasilkan banyak ulama dan ilmuwan yang karyanya dapat kita pelajari hingga saat ini.

A. KATA PENUTUP Alhamdulillahi robbil lamin, penyusunan makalah ini dapat terselesaikan dengan izin Allah swt. Tentulah makalah ini, masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Semoga apa yang penulis kemukakan disini, bermanfaat bagi diri penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Dan tak lupa saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan sebagai masukan dan penyempurnaan dari makalah ini.

17

You might also like