You are on page 1of 7

Tinjauan Pustaka

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2010 Vol,2, No,2

165

Sindrom Metabolik dan Defisiensi Testosteron


Samsul Mustofa *
Abstract
*

Bagian Anatomi Fakultas Kedokeran Universitas YARSI

Correspondence Drs. Samsul Mustofa.MS.. Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas YARSI Jl.Letjen Suprapto Cempaka Putih Jakarta Pusat 10510 Email: samsul_mustofa05@yahoo .co.id

Metabolic syndrome (Mets) is a disease associated with metabolic disorders. This syndrome is known by a description such as low HDL-cholesterol, high triglycerides, increased blood sugar, signs of insulin resistance, the discovery of overweight (which is characterized by increased waist circumference or body mass index), and increased blood pressure. Mets prevalence increases with the addition of age. Some researchers report that low levels of testosterone and SHBG were significantly correlated with the Mets. Other researchers showed that 19% of men with the Mets (WHO criteria) had a lower total testosterone, free testosterone 11% lower, and 18% lower SHBG than controls. Total testosterone to be negatively correlated with insulin levels, insulin resistance, and BMI in male patients with the Mets. This paper aims to examine more deeply about the relationship between Metabolic Syndrome with Testosterone Deficiency based on the source of the article or journal-related. Metabolic Syndrome impact inconvenience for patients. Provision of exogenous testosterone can improve the condition of the patient.

Keyword : m metabolic syndrome, testosterone deficiency, diabetes, obesity

Pengantar Dalam beberapa tahun terakhir, sindrom metabolik (Mets) telah mendapat banyak perhatian karena hubungannya dengan pengembangan diabetes mellitus non-insulin-dependent (non insulin-dependent diabetes mellitus/NIDDM) dan penyakit jantung. Mets merupakan konstelasi kelainan, termasuk kelebihan berat badan (distribusi lemak abdomen visceral), dislipidemia, hipertensi, dan gangguan metabolisme glukosa, dengan resistensi insulin sebagai mekanisme yang mendasari hipotesis patogen. Walaupun ada perbedaan dalam definisi dan kriteria diagnostik yang tepat, pedoman disajikan oleh Adult Treatment Panel III (ATP III) sering dikutip dalam literatur dan disajikan dalam Tabel. Mets berpotensi mempengaruhi banyak aspek fisiologi manusia karena sifatnya yang sistemik. Testosteron merupakan salah satu hormon androgen yang terganggu keseimbangannya, pada pasien laki-laki dengan Mets. Dalam pengaturan dari peningkatan prevalensi dan pemahaman Mets, banyak peneliti yang mempelajari hubungan potensial antara Mets dan testosteron. Wawasan yang diperoleh dari review ini dapat memberikan pilihan terapi untuk penderita Mets. Sindrom Metabolik Sindrom Metabolik (Metabolic syndrome/MetS) merupakan penyakit yang berhubungan dengan gannguan metabolisme. Sindroma ini dikenal dengan adanya gambaran seperti rendahnya HDLkolesterol, tingginya trigliserida, meningkatnya gula

darah, adanya tanda-tanda resistensi insulin, ditemukannya overweight (yang ditandai dengan peningkatan lingkar pinggang atau indeks massa tubuh), dan peningkatan tekanan darah. Prevalensi MetS meningkat sejalan dengan penambahan usia, dan mengenai lebih dari 40% mereka dengan usia diatas 60 tahun. Secara definitif, dikenal 2 macam kelompok kriteria yang diajukan oleh badan kesehatan dunia (WHO) dan National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III), Ketentuan WHO (Grundy, 2004), adanya impaired fasting glucose atau impaired glucose tolerance atau diabetes disertai 2 (dua) atau lebih kriteria berikut : Ratio pinggang : pinggul > 0,85 (wanita) > 0,9 (pria) dan atau BMI > 30 kg/m2 150 mg/dl dan atau HDL-kolesterol < 40 mg/dl 140/90 mm Hg 20 g/min atau ratio albumin : creatinin 30 mg/g

Trigliserida

Tekanan darah Microalbuminuria : laju ekskresi albumin urin

166

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2010 Vol,2, No,2

Tinjauan Pustaka

Ketentuan NCEP ATP III (Kasturi, 2008): Ditemukannya 3 (tiga) atau lebih kriteria berikut :

Obesitas abdominal Lingkar pinggang Trigliserida HDL-kolesterol

> 102 cm untuk pria > 88 cm untuk wanita 150 mg/dl < 40 mg/dl untuk pria < 50 mg/dl untuk wanita 130/85 mm Hg 110 mg/dl

Tekanan darah Gula darah puasa

Adanya perbedaan ketentuan kriteria MetS menggambarkan besarnya variasi gambaran MetS serta permasalahannya yang ditemukan pada masyarakat. Testosteron (17 -hydroxyandrost-4en-3-satu, MW 288) adalah hormon androgen utama yang disintesis dalam testis, ovarium, dan korteks adrenal. Hormon ini berperan penting dalam perkembangan laki-laki normal dan dalam pemeliharaan karakteristik pria, termasuk kekuatan dan massa otot, massa tulang, libido dan spermatogenesis. Pada wanita, testosteron diperkirakan untuk mempengaruhi perkembangan pubertas, fungsi seksual, kepadatan tulang, massa otot, eritropoiesis, energi, fungsi kognitif, dan suasana hati. Biosintesis testosteron terjadi di dalam sel Leydig pada testis diatur oleh suatu rantai sinyal yang kompleks dimulai di otak. Rantai ini disebut sebagai sumbu hipotalamus-hipofisis-gonad (HPG). Hipotalamus mengeluarkan gonadotropin-releasinghormone (GnRH) ke kelenjar hipofisis, yang memicu sekresi leutenizing hormone (LH) dari kelenjar hipofisis. Leutenizing hormone merangsang sel Leydig dari testis untuk memproduksi testosteron. Dandona et al (2009). Pada laki-laki, lebih dari 95% dari testosteron yang beredar disekresikan oleh testis, dengan tingkat produksi 6-7 mg per hari. Hampir setiap hari, pada laki-laki muda yang sehat pada tingkat maksimum 25 nmol/L (720 ng/dL) yang terjadi di pagi hari (sekitar pukul 08.00) dan tingkat minimum 15 nmol/ L (430 ng/dL) terjadi pada malam hari (sekitar pukul 22.00). Dalam jaringan perifer (termasuk kulit dan jaringan adiposa), beredar testosteron enzimatis berubah dari 5 -reduktase dan aromatase menjadi metabolit aktif, dehydrotestosterone (DHT) dan estradiol (E2). Pada pria normal, menghasilkan ratio plasma masingmasing DHT/testosteron dan E2/testosterone adalah 1:10 dan 1:200. Pada wanita, hanya sejumlah kecil testosteron disintesis di ovarium dan adrenal. Pada wanita sehat premenopause memproduksi sekitar 300 mg testosteron per hari, sekitar 5% dari produksi harian pada pria. (Leichtnam et al., 2006).

Testosteron dalam darah dapat dibedakan atas tiga bentuk: bentuk bebas (free), bentuk terikat dengan albumin, dan bentuk terikat dengan globulin (SHBG). Yang berperan aktif dalam metabolisme adalah bentuk bebas (1-2% ), sedangkan bentuk terikat dengan albumin (2560% ) berpotensi menjadi aktif karena lebih mudah menjadi bentuk bebas, bila dibandingkan dengan bentuk terikat dengan globulin ( 3575 % ). (Leichtnam et al., 2006). Dalam keadaan normal, seorang pria mempunyai testosteron bebas 1%-2%, testosteron terikat dengan globulin (seks-hormon-bindingglobulin/SHBG) dengan afinitas tinggi sekitar 30%, dan sisanya terikat dengan afinitas rendah dengan albumin. Hanya testosteron bebas yang dapat masuk ke jaringan tubuh dan mengerahkan dampaknya. Testosteron yang terikat dengan albumin bisa menjadi bebas dalam pembuluh darah kecil, dan memberikan suatu efek biologis. Namun, testosteron yang tetap terikat pada SHBG tidak dapat mengerahkan efeknya (Gurbuz et al., 2008). Makhside (2005) menyampaikan bahwa rendahnya tingkat testosteron dan SHBG secara signifikan berkorelasi dengan Mets dan komponen yang terkait (termasuk ukuran BMI, lingkar pinggang, dan rasio pinggang-tinggi). Secara khusus, Laaksonen et al. (2003) menunjukkan bahwa pria dengan Mets (kriteria WHO) 19% testosteron total lebih rendah, 11% dihitung testosteron bebas lebih rendah, dan 18% SHBG lebih rendah dari kontrol. Para penulis menunjukkan bahwa testosteron total, testosteron bioavailable, dan SHBG yang berbanding terbalik dengan beberapa faktor risiko Mets. Hal ini menunjukkan bahwa testosteron total, testosteron bioavailable, dan SHBG yang berkorelasi positif dengan sensitivitas insulin yang lebih tinggi. Demikian pula, Robeva et al. (2006) menemukan testosteron total menjadi berkorelasi negatif dengan tingkat insulin, resistensi insulin, dan BMI pada pasien laki-laki dengan Mets. Testosteron pada Diabetes Berbagai penelitian epidemiologi beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa penderita diabetes tipe 2 memiliki testosteron rendah. Namun studi tersebut berdasarkan total testosteron yang mungkin tidak secara akurat mencerminkan tingkat aktifitas biologis dari testosteron bebas. Ketidakpekaan terhadap insulin pada tingkat hipotalamus dapat berkontribusi pada perkembangan hypogonadotrophic hipogonadisme, dan berkaitan dengan peningkatan konsentrasi protein inflamasi dalam darah. Protein ini langsung menekan pelepasan Gonadotropinreleasing hormon dari hipotalamus (Dandona et al., 2009). Kadar testosteron serum mencerminkan integritas sumbu hipotalamus-hipofisis-gonad (HPG). Rendahnya tingkat testosteron dalam kasus resistensi insulin (IR) menandakan adanya kerusakan pada satu atau lebih tingkat fungsional dari sumbu HPG. Dalam keadaan IR fungsi sel

Tinjauan Pustaka

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2010 Vol,2, No,2

167

Leydig kemungkinan terganggu, terutama pada proses steroidogenesis, karena adanya perubahan produksi hormon dan sitokin lokal dalam jaringan target dan dalam jaringan adiposa (Traish et al., 2009). Adanya peningkatan glukosa darah pada penderita diabetes akan berpengaruh terhadap penurunan luteinizing hormon (LH) yang mengakibatkan terjadiya penurunan jumlah testoteron (Allan, 2008). Kadar plasma testosteron yang rendah pada umumnya terlihat pada pria dengan diabetes tipe 2 dan resistensi insulin. Fukui et al (2007) menyampaikan bahwa tingkat testosteron serum pada sejumlah besar pasien dengan diabetes tipe 2 lebih rendah. Pengamatan ini menunjukkan bahwa defisiensi androgen memainkan peran sentral dalam berbagai patologi meliputi komponen sindrom metabolik, termasuk diabetes tipe 2, resistensi insulin, obesitas dan disfungsi ereksi (Gambar 1).

Gambar 1. Hubungan antara defisiensi androgen dengan IR, T2D, obesitas, sindrom metabolik dan ED (Trais et al., 2009).

Grossmann et al. (2008) melaporkan bahwa 43% dari laki-laki penderita diabetes tipe 2 mempunyai total testosteron yang rendah, 57% testosteron bebasnya mengalami penurunan. Sedangkan pada penderita diabetes tipe 1, 7% total testosteron mengalami penurunan, dan 20% mempunyai testosteron bebasnya rendah. Dalam studinya ini menunjukkan bahwa pada pria dengan diabetes tipe 2 kadar testosteron lebih rendah dibandingkan pada diabetes tipe 1. Prevalensi Tingginya prevalensi penderita hipogonadisme telah dilaporkan terjadi pada pasien diabetes tipe 2 dari berbagai populasi. Prevalensi bervariasi dalam studi yang berbeda sesuai dengan kriteria yang digunakan untuk diagnosis dan alat tes testosteron.

Penelitian pertama untuk melaporkan prevalensi tingginya hipogonadisme pada diabetes tipe 2 berdasarkan testosteron bebas telah dilaporkan oleh Dhindsa et al. (2004), yang menunjukkan bahwa sepertiga dari pria dengan diabetes tipe 2 (berusia antara 31 75 tahun) memiliki tingkat testosteron bebas rendah. Ini terkait dengan tidak normalnya LH dan FSH dan meyebabkan hypogonadotrophic hipogonadisme. Pada penelitian ini, tingkat total testosteron dan testosteron bebas menurun, sesuai dengan meningkatnya usia dan indeks massa tubuh. Peneliti lain juga melihat tingginya prevalensi hipogonadisme hypogonadotropic pada laki-laki muda dengan diabetes tipe 2 58% laki-laki berusia antara 18 dan 35 tahun yang berpartisipasi dalam penelitian ini ditemukan memiliki hypogonadotropic hipogonadisme (Chandel et al. 2008). Hipogonadisme dan diabetes tipe 2 sering didiagnosis terdapat bersama-sama pada pasien yang sama (Dhindsa et al. 2004; Kapoor et al. 2007). Betancourt-Albrecht dan Cunningham, (2003) melaporkan bahwa 21 % dari 110 laki-laki penderita diabetes berumur 64 tahun mengalami hipogonadisme dibandingkan 13 % dari 875 laki-laki non-diabetes, kadar testosteron di bawah 350 ng/dl. Kadar glukosa puasa dan kadar testosteron total berkorelasi terbalik. Selain itu Tan dan Pu (2002) menemukan bahwa 64% dari laki-laki penderita diabetes berusia 73 tahun memiliki kadar testosteron total di bawah 300 ng/dl, dibandingkan dengan 38% dari laki-laki nondiabetik. Laporan ini menunjukkan bahwa total kadar testosteron rendah lebih sering terjadi pada diabetes dengan usia lebih tua daripada laki-laki nondiabetic pada usia yang sama. Montorsi dan Oettel (2005), melaporkan bahwa antara usia 40 hingga 70 tahun, testoteron total berkurang setiap tahun sekitar 1,6%, testosteron bebas berkurang 2%, dan testoteron terikat berkurang 2% -3%, sedangkan SHBG meningkat setiap tahunnya dengan 1,6%. Traish et al. (2009) juga menyampaikan bahwa di atas usia 50, dengan setiap dekade berturut-turut (sampai 79), prevalensi hipogonadisme meningkat, dengan 55% dari individu dalam kelompok usia 70-79 memiliki hipogonadisme dibandingkan dengan 24% pada kelompok usia 50-59. Sebagai catatan, penuaan terkait dengan penurunan serum testosteron seiring menyebabkan kenaikan kadar LH dan FSH. Obesitas dan testosteron Obesitas adalah fitur kardinal (tanda 2) pada Mets. Mekanisme penurunan testoteron terjadi akibat konversi testosteron menjadi estrogen dalam jaringan lemak perifer yang berlebihan dapat menyebabkan hipogonadisme Beberapa studi telah menunjukkan terjadinya gangguan pada sumbu hipotalamus-hipofisis-gonad pada pria obesitas dengan depresi signifikan yang dihasilkan dalam testosteron total dan testosteron terikat SHBG.

168

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2010 Vol,2, No,2

Tinjauan Pustaka

Beberapa penulis berpendapat bahwa penurunan SHBG kemungkinan dipergunakan untuk normalisasi testosteron bebas dan ini mempunyai korelasi negatif antara testosteron total dan testosteron bebas dengan indeks massa tubuh (BMI). Hipogonadisme lebih umum di pasien diabetes dengan peningkatan BMI, atau mereka yang mengalami obesitas (BMI> 40). Corona et al. (2007) menunjukkan bahwa hipogonadisme mempunyai korelasi yang erat dengan lemak visceral dari diabetes. Gopal et al.(2009) menyampaikan bahwa testosteron total dan testosteron bebas berbanding terbalik dengan indeks massa tubuh (BMI) dan rasio pinggang/pinggul. Mekanisme lain yang mungkin dapat dipergunakan menjelaskan etiologi kadar testosteron rendah dan resistensi insulin berikutnya pada pria obes adalah hyperestrogenemia. Studi sebelumnya menemukan peningkatan kadar serum estradiol dan estron pada pria kegemukan. Selain itu, peningkatan kadar leptin pada obesitas yang menyebabkan penurunan lebih lanjut tingkat androgen pada pria.

menunjukkan bahwa SHBG dan testosteron total berkorelasi berbanding terbalik dengan BMI dan insulin. Pria dengan obesitas sering mempunyai testosteron total rendah sampai sedang tetapi konsentrasi testosteron bebas normal. Suatu kondisi yang menjelaskan adanya hubungan dengan rendahnya konsentrasi SHBG (Rhonden et al. 2005). Namun demikian, Dhindsa et al. (2004) menemukan korelasi yang lemah antara tingkat testosteron bebas dan BMI. Pada laki-laki yang sangat gendut ada penurunan tingkat testosteron bebas, yang dihasilkan dari konversi testosteron perifer menjadi estrogen, yang menurunkan amplitudo pulsatif LH, dan menyebabkan penghambatan pusat produksi androgen. Peningkatan estrogen, yang dibuat dengan cara aromatisasi androgen dalam jaringan adiposa perifer pada pria obesitas, memberikan penjelasan yang mungkin untuk penekanan sumbu hipotalamushipofisis. Dengan demikian, pengamatan penurunan tingkat testosteron pada pria obesitas mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk penurunan sintesis testosteron, penghambatan sintesis SHBG, dan penurunan sekresi gonadotropin. Akibatnya, memungkinkan peningkatan populasi risiko infertilitas (Kasturi, 2008). Defisiensi Testosteron Kekurangan androgen juga dikenal sebagai hipogonadisme, produksi testosteron oleh testis di bawah normal (dengan kadar testosteron kurang dari 7,0 nmol/L atau 200 ng/dL). Hal ini dapat disebabkan karena adanya kerusakan testis (hipogonadisme primer), kemungkinan terjadi karena faktor genetik atau diperoleh sejak perkembangan awal. Hipogonadisme (sekunder) dapat diakibatkan karena cacat bawaan atau diperoleh selama perkembangan yang dapat menggannggu fungsi hipofisis atau hipotalamus (Leichtnam et al., 2006). Manifestasi klinis dari defisiensi androgen tergantung pada usia saat onset dan keparahan dan lamanya kekurangan. Pada laki-laki dewasa, manifestasi ini mungkin termasuk mengurangi rambut tubuh, penurunan kekuatan dan massa otot, meningkatkan massa lemak dan perubahan dalam distribusi lemak, meningkatkan LDL dan reduksi HDL dengan risiko penyakit jantung, penurunan hematokrit, penurunan libido, disfungsi ereksi, ketidaksuburan , osteoporosis, dan depresi mood. Saat ini hipogonadisme juga dipercaya dapat menyertai penyakit sistemik yang berat seperti kanker dan AIDS dan bahwa hipogonadisme transien sering dikaitkan dengan stres fisik dan emosional, yang terjadi sebagai respon terhadap pembedahan dan luka bakar. Defisiensi androgen pada awal pertumbuhan anak, dapat menyebabkan proporsi eunuchoidal, kurangnya perubahan suara, sedikitnya distribusi rambut sekunder pada wanita,

Gambar 2. Siklus hipogonadisme, obesitas, adipocytokine. (Jones, 2007)

Mekanisme yang mendasari hypogonadotrophic hipogonadisme pada pria diabetes tipe 2 belum jelas. Adanya peningkatan massa lemak berlebihan dapat menyebabkan peningkatan aktivitas enzim aromatase yang menyebabkan konversi yang lebih besar dari testosteron ke estrogen. Peningkatan kadar estrogen akan mengakibatkan penekanan gonadotrophin releasing hormon dan gangguan sekresi gonadotropin oleh kelenjar hipofisis. Hal ini menyebabkan pengurangan sekresi baik testosteron dan produksi sperma matang (Dandona et al. 2009). Obesitas juga berhubungan dengan konsentrasi SHBG yang lebih rendah, hal ini kemungkinan sebagai akibat dari peningkatan kadar insulin dalam obes. SHBG sangat relevan pada pria gemuk yang resisten insulin, seperti diketahui, insulin menghambat sintesis SHBG. Beberapa studi telah

Tinjauan Pustaka

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2010 Vol,2, No,2

169

anemia, dan perkembangan otot dan alat kelamin yang kurang dan spermatogenesis dan fungsi seksual tidak dimulai (Leichtnam et al., 2006). Pada wanita, setelah menopause, terjadi penurunan kecepatan produksi darah penurunan produksi estrogen, androgen adrenal dan ovarium, yaitu, DHEA, sulfat DHEA, androstenedione, dan testosteron. Wanita postmenopause memproduksi sekitar 180 mg testosteron per hari. Davis (2001) menggambarkan suatu sindrom klinis pada wanita yang berhubungan dengan kekurangan relatif atau absolut kadar testosterone yang beredar. Sindrom ini, disebut sindrom defisiensi androgen perempuan (mode), ditandai oleh penurunan motivasi atau perasaan kurang enak, kelelahan terus-menerus, dan libido yang rendah. Testosteron dan Disfungsi Ereksi Pada pria dengan gangguan disfungsi ereksi (ED), mempunyai kadar testosteron bebas rendah dan berkorelasi dengan berkurang relaksasi kavernosus, endotel dan sel otot polos dalam menanggapi agen vasoaktif, yang tidak tergantung pada umur pria. Pada penelitian preklinik menunjukkan bahwa pengurangan androgen dapat menyebabkan atrofi jaringan penis dan perubahan pada struktur saraf penis. Selain itu juga terjadi penurunan ekspresi protein endotel dan neuronal nitric oxide synthases (Enos dan nNOS), dan fosfodiesterase tipe-5 (PDE-5), yang berperan penting dalam fisiologi ereksi normal (Gurbuz et al.,2008). Beberapa orang percaya bahwa peranan androgen terhadap fisiologi ereksi terutama melalui efek pada sistem saraf pusat melalui efek libido dan dorongan seksual dari fungsi corpus cavernosum. Para peneliti telah menunjukkan bahwa kadar serum testosteron dan testosteron bebas secara signifikan lebih rendah pada pasien dengan ED jika dibandingkan dengan orang normal (Aversa et al.,2003). Beberapa penulis melaporkan bahwa ED berkaitan dengan diabetes terutama pada laki-laki muda, dengan kemungkinan tertinggi terjadi pada rentang usia 26-35. Sun et al. (2006) menemukan bahwa 20.0% dari laki-laki dengan ED menderita diabetes melitus dibandingkan dengan 7,5% dari kelompok non-ED pria menderita diabetes. Sementara itu Traish et al. (2009) menyampaikan bahwa prevalensi ED pada pasien dengan diabetes 70,6% dalam survei terhadap 7.689 orang. Disampaikan juga bahwa prevalensi ED pada pria Jepang penderita diabetes tiga kali prevalensi ED (60%) dibandingkan dengan kontrol sehat non-diabet (20%). Secara keseluruhan, studi tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara diabetes dan ED, dengan kondisi baik menjadi faktor risiko yang lain.

Terapi Testosteron Untuk pria dengan gejala mengalami hipogonadisme, terapi penggantian testosteron adalah pilihan yang direkomendasikan dalam rangka meningkatkan fungsi seksual, menjaga karakteristik seksual sekunder, rasa kesejahteraan dan kepadatan mineral tulang, serta untuk meningkatkan massa otot dan mengurangi massa lemak. Baik dalam bentuk yang berbeda: injeksi intramuskular, gel atau patch, dan kapsul oral. Testosteron dapat mendorong peningkatan antigen spesifik prostat dan volume sel darah merah (Leichtnam et al., 2006; Dandona et al., 2009). Efek terapi metabolik testosteron telah dibuktikan pada pria dengan NIDDM dan hipogonadisme. Dalam penelitiannya, Boyanov et al. (2003) menyampaikan bahwa pria paruh baya dengan NIDDM, obesitas (viseral), dan gejala defisiensi androgen mengalami perbaikan setelah diobati dengan undecanoate testosteron setiap hari selama 3 bulan. Para penulis menunjukkan efek yang menguntungkan pada kontrol glikemik, resistensi insulin, kolesterol total, dan adipositas visceral. Studi-studi ini menunjukkan peran yang mungkin untuk terapi testosteron pada pria dengan NIDDM dan hipogonadisme, dengan peningkatan di berbagai kekurangan metabolik pada pasien komorbid. Dengan demikian, studi masa depan diperlukan untuk menilai keberhasilan dalam mengoptimalkan kadar testosteron dalam serum orang yang mengalami hipogonadisme dengan DM. Studi tersebut akan sangat penting, sebagai terapi penggantian testosteron eksogen (Kasturi, 2008). Konsentrasi testosteron, perlu dipantau mengikuti terapi testosteron. Kontra-indikasi untuk terapi testosteron adalah kanker prostat dan kanker payudara. Laki-laki muda dengan hypogonadotropic hipogonadisme yang ingin menjadi atau tetap subur perlu dirawat dengan suntikan gonadotropin atau obat yang mendorong peningkatan gonadotropin (Dandona et al., 2009). Simpulan Sindrom Metabolik (Metabolic syndrome/MetS) merupakan penyakit gannguan metabolisme. Prevalensi MetS meningkat sejalan dengan penambahan usia. Berakibat pada kelainan fisiologis pada pasien dan ada bukti yang cukup bahwa penyakit ini dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan testosteron. Terjadi penurunan jumlah testosterone baik pada testosteron total, testosteron bebas dan SHBG dan berkorelasi negatif dengan tingkat insulin, resistensi insulin, dan BMI pada pasien laki-laki dengan Mets. Pemberian testosteron eksogen dapat memperbaiki kondisi menjadi lebih baik dari penderita Mets.

170

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2010 Vol,2, No,2

Tinjauan Pustaka

Daftar Pustaka Allan C (2008). Diabetes and sexual and reproductive health. A fact sheet for men with diabetes.Andrology Australia . www.andrologyaustralia.org Aversa A, Isidori AM, Spera G, Lenzi A, Fabbri A. (2003) Androgens improve cavernous vasodilation and response to sildenafil in patients with erectile dysfunction. Clin Endocrinol (Oxf). 58: 6328. Betancourt-Albrecht M and Cunningham GR (2003). Hypogonadism and diabetes. International Journal of Impotence Research (2003) 15, Suppl 4, S14S20. Boyanov MA, Boneva Z, Christov VG. (2003). Testosterone supplementation in men with type 2 diabetes, visceral obesity and partial androgen deficiency. Aging Male. 6(1):17. Chandel A, Dhindsa S, Topiwala S, et al. (2008). Testosterone concentration in young patients with diabetes. Diabetes Care. 31: 2013-7. Corona G, Mannucci E, Petrone L, Balercia G, Paggi F, Fisher AD, Lotti F, Chiarini V, Fedele D, Forti G, Maggi M. (2007) NCEP-ATPIII-defined metabolic syndrome, type 2 diabetes mellitus, and prevalnce of hypogonadism in male patients with sexual dysfunction. J Sex Med; 4: 1038-1045. Dandona P, Dhindsa S, Chandel A, Topiwala S (2009). Low testosterone in men with type 2 diabetes a growing public health Diabetes Voice June 2009 Volume 54 Davis S. (2001). Testosterone deficiency in women. J. Reprod. Med. 46:291 Y 296 . Dhindsa S, Prabhakar S, Sethi M, Bandyopadhyay A, Chaudhuri A dan Dandona P. (2004) Frequent occurrence of hypogonadotropic hypogonadism in type 2 diabetes. J Clin Endocrinol Metab. 89 5462 5468. Fukui M, Soh J, Tanaka M, Kitagawa Y, Hasegawa G, Yoshikawa T, Miki T, Nakamura N. (2007). Low serum testosterone concentration in middle-aged men with type 2 diabetes. Endocr J. 54:871-877. Gopal RA, Bothra N, Acharya SV, Ganesh, Bandgar T, Menon PS, Shah NS. (2009). Treatment of hypogonadism with testosterone in type 2 diabetes mellitus. Department of Endocrinology, KEM Hospital,Parel, Mumbai-12 Grossman M, Thomas ME, Sanagiotopoules S, Sharpe K, MacIsaac RJ, Clark S, Zajac JD, Jerums G. (2008). Low testosterone levels are common and associated with insulin resistance in men with diabetes. J Clin Endocrinol Metab. Grundy S.M. (2004). What is the contribution of obesity to the metabolic syndrome? Endocrinology and Metabolism Clinics, Vol.33, No.2. Gurbuz N, Mammadov E, Usta MF (2008) Hypogonadism and erectile dysfunction: an overview. Asian J Androl. 10: 3643). Jones TH, 2007. Testosterone Associations with Erectile Dysfunction, Diabetes, and the Metabolic Syndrome. european urology supplements 6, 847857 Kapoor D, Aldred H, Clark S, Channer K, Jones T. (2007). Clinical and Biochemical Assessment of Hypogonadism in Men With Type 2 Diabetes. Diabetes Care. 30: 911-917. Kasturi SS, Tannir J, dan Brannigan R. (2008). The Metabolic Syndrome and Review Male Infertility. Journal of Andrology, Vol. 29, No. 3

Laaksonen DE, Niskanen L, Punnonen K, Nyyssonen K, Tuomainen TP, Salonen R, Rauramaa R, Salonen JT. (2003). Sex hormones, inflammation and the metabolic syndrome: a population-based study. Eur J Endocrinol. 149(6):601608. Leichtnam ML, Rolland H, Wuthrich P, Guy RH (2006). Testosterone Hormone Replacement Therapy: Stateof-the-Art and Emerging Technologies. Pharmaceutical Research, Vol. 23, No. 6, 1117-1132 Makhside N. (2005). Hypogonadism and metabolic syndrome: implications for testosterone therapy. J Urol. 3 (174):827834. Montorsi F, Oettel M. (2005) Testosterone and sleeprelated erections: an overview. J Sex Med; 2: 771 84. Rhonden EL, Ribeiro EP, Teloken C dan Souto CAV (2005). Diabetes mellitus is associated with subnormal serum levels of free testosterone in men. BJU International. 96, 867 870. Robeva R, Kirilov G, Tomova A, Kumanov P. (2006). Low testosterone levels and unimpaired melatonin secretion in young males with metabolic syndrome. Andrologia. 38(6):216220. Sun P, Cameron A, Seftel A, Shabsigh R, Niederberger C, Guay A. (2006). Erectile dysfunction-an observable marker of diabetes mellitus? A large national epidemiological study. J Urol.176:1081-1085. Tan RS, Pu SJ. (2002) Impact of obesity on hypogonadism in the andropause. Int J Androl; 25: 195 201. Traish AM, Saad F, Guay A (2009). The Dark Side of Testosterone Deficiency: II. Type 2 Diabetes and Insulin Resistance. Journal of Andrology, (30), 1.

You might also like