You are on page 1of 1

Maraknya peristiwa mengakhiri hidup dengan bunuh diri menjadi sebuah fenomena menarik.

Bagi bangsa Indonesia, bunuh diri bukanlah sebuah tradisi budaya turun-temurun sebagaimana yang terjadi di Jepang dengan harakirinya. Namun, pada kondisi empirik kita temukan justru pada akhir-akhir ini fenomena mengambil jalan pintas bunuh diri menjadi sebuah alternatif yang banyak dipilih tak hanya kalangan orang dewasa, tetapi juga oleh remaja, bahkan anak-anak yang masih bersekolah di tingkat dasar.Pertanyaannya kemudian, mengapa fenomena bunuh diri ini menjadi ngetren bagi semua umur dalam upaya menyelesaikan masalah yang dihadapi? Lantas apa yang harus dilakukan oleh para orang tua, kalangan pendidik, dan masyarakat pada umumnya? Faktor pencetus Ada banyak teori tentang bunuh diri. Salah satunya yang kerap menjadi acuan adalah yang diajukan oleh Durkheim, sang sosiolog Prancis. Durkheim (Suicide, 1897) mengelompokkan fenomena bunuh diri menjadi tiga kelompok, yaitu 1) egoistik, 2) altruistik, 3) anomik.Teori lain tentang bunuh diri adalah bunuh diri absurditas, bunuh diri eksistensialis, bunuh diri karena patologis, bunuh diri romantis, dan bunuh diri heroik. Namun, apa pun teori yang dipakai, para pakar psikologi dan sosiologi tetap merasa tidak mudah untuk menguak misteri bunuh diri. Banyak hal yang terkadang tidak dapat dijelaskan dengan konsep teori semacam itu. Apalagi, jika hal tersebut dikaitkan dengan budaya daerah tertentu, harakiri di Jepang atau pulung gantung di Gunung Kidul Yogyakarta, atau juga jika dikaitkan dengan ritual agama, seperti fenomena bunuh diri massal. Jarak antara situasi tertekan yang dialami dan peristiwa bunuh diri yang dilakukan dapat berlangsung sekejap, dalam hitungan menit, jam. Merujuk pada beberapa contoh kasus bunuh diri sebagaimana yang dipaparkan di atas, tampaknya peristiwa bunuh diri pada anak dan remaja sering berhubungan dengan stresor yang terjadi sesaat.Tatkala ditambah lagi dengan persoalan yang menurut mereka sulit dipecahkan, mereka mengalami kebuntuan, tidak ada orang yang dianggap peduli, maka bunuh diri terkadang menjadi jalan akhir yang ditempuh. Mengajar kelenturan pada anak Bunuh diri pada remaja menjadi sebuah indikasi adanya ketidakmampuan anak dan remaja dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi. Sementara itu, bagi pelaku bunuh diri kemampuan mengadaptasinya tidak ada sehingga begitu mengalami kebuntuan dalam masalah yang dihadapi, seketika yang terlintas adalah melepaskan diri dari masalah tersebut, bukan menyelesaikannya. Sejak kecil setiap individu pasti mengalami satu masalah, dari yang sifatnya sederhana hingga yang kompleks. Pada situasi semacam inilah dibutuhkan kemampuan untuk melakukan adaptasi terhadap situasi. Diterbitkan di: 30 Maret, 2008 Mohon dinilai :12345 Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/1797575-fenomena-bunuh-diripelajar/#ixzz1vCsc2vlq

You might also like