You are on page 1of 14

BAB II FILSAFAT DALAM KEBUDAYAAN KUNO

Pada awal bagian telah dijelaskan arti atau hakikat filsafat. Tetapi bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia filsafat umumnya sepakat bahwa hakikat filsafat akan jauh lebih dikenal bila orang terjun langsung ke dalam dunia filsafat dalam arti mulai berfilsafat. Salah satu cara yang paling ampuh untuk mengembangkan kemampuan berfilsafat adalah mempelajari pemikiran para filsuf yang berkembang dalam peta perkembangan filsafat. Dalam uraian ini kita hendak mengawali proses berfilsafat dengan pertama-tama merujuk pada pemikiran yang berkembangan pada jaman Yunani Kuno. Telah menjadi kesepakatan umum bahwa negeri Yunani merupakan tanah kelahiran Filsafat Barat dalam abad ke-6 sM. Pertanyaannya, bagaimanakah proses kelahirannya? Pertanyaan ini perlu dirujuk pada situasi Yunani saat itu.

YUNANI

1.

Pergeseran dari Mitos ke Logos


Pada kurang lebih abad ke-7 sM sampai abad ke-6 sM kehidupan masyarakat Yunani

didominasi oleh pengaruh keagamaan yang sangat kuat. Orang Yunani percaya bahwa Yang Maha Kuasa atau Yang Transenden menjelmakan dirinya dalam kekuatan-kekuatan alam. Kekuatan alam ini kemudian dipersonifikasikan sebagai seorang pribadi yang lasim disebut dewa. Begitu kebudayaan Yunani Kuno dicirikhaskan oleh kepercayaan akan adanya dewadewa. Para dewa diyakini dekat dan turut berperan dalam kehidupan manusia. Manusia sadar dan yakin bahwa seluruh hidup dan peristiwa yang terjadi dalam realitas senantiasa bersumber pada dewa. Maka berhadapan dengan peristiwa kelahiran, kematian, atau bencana alam seperti gunung meletus, banjir yang meluap, dsb, bagi orang Yunani semua peristiwa itu merupakan karya para dewa. Keyakinan dan penghayatan tersebut mewujud dalam apa yang disebut mitos dan mitologi. Kata mitos atau mite berasal dari kata Yunani mythos yang berarti kata atau perkataan. Sebagai suatu istilah teknis, mitos dapat dipakai untuk menyatakan apa yang

tidak dapat hadir secara kelihatan. Maka mitos secara sederhana dapat dikatakan sebagai kisah atau cerita tentang asal usul dunia dan alam semesta dan manusia yang berasal dari para dewa. Atau kisah tentang perkejaan dewa-dewa dalam kehidupan dunia manusia dan alam semesta. Ada empat karakteristik mitos. Pertama, mitos selalu berbicara tentang para dewa dalam hubungannya dengan manusia dan dunia, dalam arti segala sesuatu terjadi dalam alam semesta berasal dari para dewa. Kedua, karena mitos memuat kisah suci tentang asal mula manusia dan alam semesta, maka mitos hanya dapat dibacakan atau diceritakan di tempat-tempat suci, misalnya di tempat ibadah atau kuil para dewa. Ketiga, mitos harus dikisahkan pada waktu-waktu khusus atau waktu-waktu suci, misalnya pada waktu ibadat atau pemujaan kepada para dewa. Keempat, mitos tidak dapat berubah. Sifat sedemikian memperlihatkan bahwa mitos berbeda dengan cerita biasa atau cerita kepahlawanan yang dapat diceritakan oelh siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Mitos perlu dibedakan dari mitologi. Mitologi berasal dari gabungan kata mythos dan logos yang secara harafiah berarti kata tentang perkataan atau kata-kata tentang apa yang tak kelihatan. Demikian mitologi dimaksudkan sebagai penafsiran atau interpretasi mengenai mitos yang dijadikan doktrin atau ajaran resmi agama. Karakteristik mitologi jika dibandingkan dengan mitos adalah bahwa mitos pada dasarnya tidak bisa berubah, sedangkan mitologi bisa berubah bila dipandang interpretasi tersebut tidak lagi relevan. Karakteristik lain, jika mitos diterima begitu saja tanpa interpretasi, maka mitologi umumnya dapat diciptakan oleh mereka yang berkepentingan demi tujuan tertentu dan dapat diganti sesuai kehendak interpretator. Mitos harus diceritakan pada waktu khusus, tempat khusus di mana semua orang yang hadir dalam peristiwa itu dihantar kembali pada situasi primordial atau situasi awal penciptaannya oleh para dewa. Atas cara itu semua orang yang ikut serta dalam peristiwa mitis memperoleh keterangan tentang asal usul dan hakikatnya sebagai manusia dalam alam semesta. Dalam arti ini mitos memiliki fungsi epistemik dalam arti memberikan penjelasan atau pengetahuan tentang keadaan hakiki manusia dan alam semesta. Itulah pengetahuan yang diyakini sebagai ajaran penyelamatan yang harus diketahui oleh setiap orang. Oleh karena itu keterangan-keterangan mitos dan mitologi cenderung diterima begitu saja atas dassr kepercayaan religius tanpa pengujian kritis rasional.

Demikian berabd-abad lamanya atau sekurang-kurangnya sejak abad ke-8 hingga abad ke-6 sM, masyarakat Yunani hidup dalam iklim yang dicirikhaskan oleh kepercayaan mitos dan mitologi. Mitos dan mitologi menjadi saran eksplanatif asal usul realitas. Akan tetapi pada permulaan abad ke-6 muncullah suatu kecenderungan baru untuk meninggalkan kemapanan mitos dan mitologi. Hal itu ditandai dengan penemuan logos. Proses pergeseran mitos ke logos ini amat dipengaruhi oleh dua kondisi. Pertama, keterbukaan masyarakat Yunani pada waktu itu terhadap pengaruh budaya luar. Dalam awal abad ke-6 sM datanglah ke Yunani khususnya kota Athena, berbagai orang dari berbagai bangsa. Maka terjadilah pluralisme atau kemajemukan penduduk di mana kota Athena mulai mengenal tradisi dan kultur bangsa-bangsa lain. Konsekuensi dari keterbukaan ini adalah kebiasaankebiasaan dan tradisi kebudayaan Yunani yang dulunya mapan, kini mulai dipertanyakan termasuk kewibawaan mitos dan mitologi. Kepercayaan dan keyakinan orang Yunani mulai diuji dan dipertanyakan. Para penduduk baru yang datang ke Athena mulai mengajukan berbagai pertanyaan yang menggugat kebiasaan-kebiasaan lama yang berlaku. Begitu kebiasaan-kebiasaan orang Yunani mulai digugat. Disisi lain keterbukaan ini juga ternyata membawa dampak yang rumit pada kehidupan sosial politik. Kemajemukan penduduk dan budaya mendatangkan berbagai persoalan baru yang tidak mudah untuk diselesaikan, misalnya kebutuhan akan aturan dan konstitusi yang mengatur kehidupan bersama. Kedua, kondisi sosial politik. Kurang lebih pada pertengahan abad ke-7 sM, muncullah di Yunani kebudayaan masyarakat baru yang disebut polis. Polis dimaksudkan sebagai negara kota yang secara administratif dan konstitusional memiliki otonomi untuk mengurus kepentingannya sendiri. Ciri khas polis adalah keterbukaan para warganya menerima unsur-unsur baru dalam hidup. Setiap anggota masyarakat dapat secara bebas mengungkapkan pendapatnya tentang kebijakan-kebijakan yang mengatur kehidupan bersama. Di pusat polis yang disebut agora (pasar dalam arti luas) menjadi tempat perdebatan dan percakapan diadakan. Di agora inilah setiap orang secara bebas mengemukakan pendapatnya. Dalam iklim seperti itulah mulai muncul berbagai interpretasi tentang mitos dan mitologi. Orang Yunani mulai menggugat dan mempertanyakan berbagai kebiasaan lama yang dipandang kurang lagi memadai, termasuk kewibawaan mitos dan mitologi yang

dianggap tidak memberikan keterangan yang memuaskan tentang realitas. Keteranganketerangan mitos dan mitologi dipandang tidak memuaskan, sementara pelbagai peristiwa alam terus membangkitakan rasa ingin tahu. Orang mulia bertanya tentang dari mana datangnya manusia? Mengapa manusia lahir dan kemudian mati? Mengapa ada realitas? Dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu orang-orang Yunani mulai menyelidiki fenomenfenomen dibalik realitas. Orang mulai mencari prinsip-prinsip dasar atau arkhe dari realitas dengan tidak mendasarkan diri pada keyakinan spiritual mitos dan mitologi, tetapi pada logos atau rasio. Logos atau rasio digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomen yang terjadi dalam realitas. Hal ini disebabkan karena keterangan-keterangan mitos dan mitologi dipandang tidak lagi mampu menjelaskan berbagai fenomen yang dihadapi manusia. Proses peralihan dari mitos ke logos inilah yang menandai lahirnya filsafat.

2.

Prinsip Dasar Realitas


Usaha untuk meninggalkan kekuatan mitos dan mitologi ditandai dengan peristiwa

penemuan logos atau rasio dipandang sebagai sarana utama dalam menjelaskan realitas. Dengan logos orang berusaha untuk memahami dan mempertanyakan berbagai peristiwa yang terjadi dalam realitas. Manakah prinsip dasar (arkhe) dari realitas? Pertanyaan ini dijawab oleh tiga filsuf pertama yakni: Thales, Anaximandros, dan Anaximenes.

2.1

Thales (abad ke-6 sM)


Menjawab pertanyaan dasar, manakah prinsip-prinsip dasar realitas, Thales yang

digelari Aristoteles sebagai filsuf pertama menjawab bahwa air merupakan prinsip pertama atau asas pertama dari realitas. Alasannya, karena segala sesuatu dalam realitas mengandung air dan karena air pula segala sesuatu dapat hidup. Air mempunyai pelbagai bentuk (cair, beku, dan uap) yang dapat menyatu dengan segala sesuatu. Thales bahkan menduga bahwa bumi kita terapung di atas permukaan air. Oleh karena sifat air yang menyatu dalam segala sesuatu maka baginya airlah yang menjadi prinsip asali realitas.

2.2

Anaximandros (c.a. 610-540 sM)


Anximandros mulanya sependapat dengan Thales bahwa realitas mestinya berasal

dari sesuatu. Ada suatu prinsip dasar yang mendasari segala sesuatu dalam realitas. Tetapi bagi Anaximandros prinsip dasar tersebut haruslah berasal dari sesuatu yang tak terbatas, sesuatu yang melampaui realitas yang terbatas. Maka bagi Anaximandros dasar dari segala sesuatu ialah yang tak terbatas (to aperion) yang bersifat ilahi, abadi, dan meliputi segala sesuatu.

2.3

Anaximenes (Tak diketahui riwayat hidupnya, tetapi agaknya lebih muda dari Anaximandros)
Seperti dua filsuf sebelumnya, Anaximenes yakin bahwa alam semesta pun memiliki

prinsip dasar. Prinsip dasar realitas menurut Anaximandros adalah udara. Karena udara melingkupi segala sesuatu dan bahkan manusia bisa hidup hanya karena udara. Kendati udara tidak kelihatan dan tak terbatas, tetapi dapat dirasa dan dialami. Uraian di atas memperlihatkan bahwa satu pertanyaan yang sama bisa mendapatkan jawaban yang berbeda. Jawaban ketiga filsuf ini memang nampak berbeda. Kendati demikian satu hal yang sama dalam pemikiran mereka adalah usaha mereka untuk menjelaskan arke atau prinsip dasar realitas tidak berdasarkan mitos dan mitologi, melainkan berdasarkan logos atau rasio. Thales, Anaximandros, Anaximenes berupaya untuk memberikan keterangan-keterangan yang rasional atas persoalan-persoalan fundamental yang dihadapi dalam hidup. Maka filsafat di sini berarti bertanya secara rasional dan mencari jawaban atas prinsip-prinsip pertama atau arkhe dari realitas.

3.

Perubahan atau Transformasi


Peristiwa penemuan logos mengakibatkan kekuatan mitos dan mitologi semakin lama

semakin ditinggalkan orang. Orang Yunani mulai menggeser kekuatan mitos dan mitologi dan menggantinya dengan logos sebagai instrumen atau alat untuk menjelaskan realitas.

Upaya ketiga filsuf pertama untuk menemukan prinsip asal realitas dengan menggunakan rasio memperlihatkan kecenderungan baru itu. Usaha untuk memahami realitas dengan instrumen utama rasio terus dikembangkan oleh para pemikir Yunani sesudah Thales, Anximandros, dan Anximenes. Kendati demikian seperti akan kita temui bahwa pusat perhatian mereka bukan lagi pada prinsip dasar realitas, melainkan pada perubahan yang selalu dialami manusia. Dengan kata lain, titik tolak perhatian para filsuf sesudah para filsuf pertama adalah upaya mereka untuk menjelaskan perubahan atau transformasi. Menurut pengalaman realitas selalu berada dalam perubahan yang terus menerus. Ada siang dan malam, ada terang dan gelap, ada tua dan muda, dst. Berhadapan dengan berbagai fakta perubahan itu, muncul pertanyaan, bagaimana perubahan yang terus menerus terjadi dapat dimengerti? Adakah sesuatu yang menjadi sumber perubahan tersebut? Ada sesuatu yang menetap dibalik segala sesuatu yang berubah? Dan apakah perubahan itu sungguh-sungguh riil? Kalau perubahan itu riil, bagaimana menjelaskannya secara rasional? Pertanyaan ini dihadapi beberapa filsuf Yunani. Di sini dikemukakan dua teori dari dua filsuf yakni Herakleitos dan Parmenides.

3.1

Herakleitos (k.sl. 540-475 sM)


Berhadapan dengan pertanyaan dasar, apakah perubahan itu sungguh-sungguh riil,

Heraklitos memberi suatu jawaban positif. Herakleitos yakin bahwa segala sesuatu senantiasa berada dalam perubahan yang terus menerus. Tidak ada sesuatupun yang menetap dalam realitas. Baginya hakikat realitas adalah perubahan dalam arti realitas menjadi realitas karena perubahan. Tanpa perubahan realitas tidak menjadi realitas. Herakleitos menggunakan simbolisme sungai untuk menggambarkan betapa segala sesuatu dalam realitas mengalami perubahan terus-menerus ibarat air sungai yang mengalir. Ia berkata, Anda tidak bisa turun dua kali ke dalam air sungai yang sama. Maksudnya, sungai selalu mengalir terus menerus dan airnya berganti-ganti sehingga seseorang tak dapat menginjakkan kakinya ke dalam air sungai yang sama lebih dari satu kali. Segalanya mengalir bagaikan sungai dan termasyurlah perkataan panta rhei kau uden menei. Itu berarti bagi Herakleitos perubahan pada dasarnya bercorak riil dalam arti sungguh-sungguh terjadi sebagaimana dialami manusisa. Jika hakikat realitas adalah

perubahan, apakah yang menjadi sumber perubahan itu? Atau, manakah prinsip perubahan itu? Herakleitos menjawab pertanyaan fundamental ini dengan menunjuk pada Api Abadi sebagai prinsip perubahan. Tetapi Api sebagai prinsip perubahan tidak dimengerti sebagaimana air menurut Thales atau udara dalam pandangan Anximenes. Air dan udara dalam pandangan para filsuf pertama itu dimengerti sebagai anasir asali atau dasar realitas. Sedangkan Api dalam pandangan Herakleitos menunjuk pada sumber transformasi yang dapat menerima segala sesuatu dan mengubah segala sesuatu. Mengapa Api? Karena api dapat berubah (besar-kecil), tetapi juga bisa mengubah segala sesuatu menjadi bentuk lain. Nyala api dapat membakar kayu, mengubahnya menjadi arang dan abu. Dalam proses transformasi Api tetap Api. Jelas di sini Api tidak hanya diidentifikasikan dengan sesuatu yang mengubah, tetapi juga dengan prinsip perubahan itu sendiri. Maka baginya prinsip perubahan adalah Api. Api yang digunakan Herakleitos sebenarnya menunjuk pada Logos universal atau Rasio yang diyakini meresap dalam segala sesuatu. Api atau rasio itulah yang disebut sebagai the one. Segala sesuatu (dalam arti the many) ada dalam (the one) dan Api ada dalam segala sesuatu. Api atau rasio universal mempersatukan segala sesuatu. Oleh karena api yang bercorak rasional itu meresap dalam realitas maka realitas bercorak rasional dalam arti dapat diketahui. Manusia sebagai bagian dari realitas mewarisi Api abadi itu dan memungkinkan tu mereka untuk berpikir. Pertanyaannya, bagaimana hal itu dapat dikenal? Bagi Herakleitos proses penjelmaan itu dikenal melalui oposisi-oposisi. Ia berkeyakinan bahwa akar dari segala sesuatu adalah oposisi atau perbedaan. Tanpa perbedaan dunia tidak dapat dibentuk. Hanya dalam perbedaan unsur-unsur baru dapat lahir. Tetapi pada dasarnya perbedaan-perbedaan atau yang banyak (the many) itu menemui kesatuaanya dalam Yang satu (the one). Maksudnya, pelbagai bentuk yang berubah-ubah dan tampaknya saling bertentangan itu sebetulnya disatukan secara harmonis dalam Yang satu yaitu logos universal. Dalam Api (rasio) segala sesuatu yang bertentangan disatukan.

3.2

Parmenides (k.l. 515 sM)

Uraian di atas memperlihatkan bahwa bagi Herakleitos realitas senantiasa berada dalam perubahan. Dari perubah yang menetap, lahirlah segala yang ada dari the one sebagai sumber asali. Parmenides kemudian tampil dengan menolak konsep perubahan seperti itu sebagaimana yang dikemukakan Herakleitos. Bagi Parmenides, jika ada suatu prinsip dasar dibalik segala sesuatu yang berubah, maka secara logis konsep perubahan menjadi kabur, dan fenomen perubahan pada dasarnya hanyalah ilusi. Mengapa? Karena bagi Parmenides apa yang ada, ada secara mutlak; atau tidak ada sama sekali. Ada secara mutlak dalam arti apapun yang ada, ada. Kita tidak dapat menerima bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam eksistensi atau ada, datang dari ketiadaan (not being). Berarti apa yang ada, ada: dan yang tidak ada, tidak ada (being, is, not being, is not). Bagi Parmenides, bila orang mengatakan B berasal dari sesuatu yang telah ada (A) maka sebetulnya tidak ada sesuatu yang baru, sebab sebelum B ada, ia sebenarnya sudah berada dalam A. Dalam arti itu bagi Parmenides sebenarnya tidak ada sesuatu yang baru atau tidak ada perubahan. Baginya berpikir berarti berpikir tentang sesuatu; dan karena itu kita tidak mungkin berpikir tentang sesuatu yang berubah dari tidak ada menjadi ada. Dengan kata lain, berpikir tentang ketiadaan eksistensial (not-being) adalah kemustahilan. Realitas (Being) ialah apa yang ada, dan bukan sesuatu yang lain. Dalam arti itu bagi Parmenides konsep perubahan sebagaimana dikemukakan Herakleitos perlu ditolak. Meskipun Parmenides berhasil menunjukkan kekaburan perubahan dalam pandangan Herakleitos namun ia tidak berhasil menghapus konsep perubahan tersebut dari percakapan sehari-hari. Kenyataan membuktikan bahwa dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berhadapan dengan pelbagai peristiwa dan perubahan yang menimpa hidupnya. Itu berarti perubahan tetap menjadi bagian pengalaman hidup manusia. Kendati demikian penolakkan Parmenides mengingatkan manusia pada lapisan dunia lain yakni lapisan ontologis atau metafisik atau realitas yang sebenarnya dari kehidupan manusia yang sering tidak tersentuh. Kebanyakan orang seringkali hanya mengenal lapisan dunia inderawi atau apperance dan memandangnya sebagai realitas yang sebenarnya. Dalam lapisan dunia inderawi perubahan selalu dialami, tetapi pada lapisan ontologi terdapat sesuatu yang tetap. Dalam konteks itu baik Herakleitos maupun Parmenides masing-masing memberi

penekanan yang berbeda. Herakleitos menekankan dunia onologis atau metafisik (reality). Apapun kelemahannya tetapi kedua filsuf ini mengingatkan kita pada dua dunia yang selalu dialami manusia dalam pengalaman hidupnya.

4.

Retorika dan Dialektika


Uraian di atas kiranya cukup memperlihatkan usaha para filsuf untuk memberikan

keterangan-keterangan rasional atas berbagai fenomen yang terjadi dalam realitas. Para filsuf pertama telah berusaha untuk mencari prinsip dasar realitas maupun menjelaskan perubahan yang terjadi dalam realitas dengan rasio sebagai instrumen hakiki. Rasio berfungsi sebagai sarana eksplanatif dalam arti rasio menjadi sarana untuk mengerti dan menjelaskan hakikat realitas. Kesamaan dasar dari usaha para filsuf pada masa itu ialah perhatian yang terpusat pada realitas secara keseluruhan. Baik Thales, Anaximandros, Anximenes maupun Herakleitos dan Parmenides, mereka umumnya memusatkan perhatian mereka pada peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam realitas pada umumnya. Kendati memusatkan perhatian pada realitas pada umumnya mereka tetap memperlihatkan jawaban filosofis yang amat beragam tentang kosmos. Interpretasi yang beragam terhadap realitas di satu sisi mengakibatkan skeptisisme tentang kemampuan akal budi manusia untuk menemukan kebenaran tentang alam semesta, tetapi di lain pihak dapat pula merangsang munculnya arah filsafat yang baru. Jika para filsuf pertama telah memusatkan perhatian mereka atas alam semesta pada umumnya, maka kaum sofis dan Sokrates tampil sebagai pembaharu yang mengubah orientasi filsafat kepada studi tentang manusia. Mereka tidak lagi mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang prinsip-prinsip dasar realitas. Bagi mereka filsafat harus terpusat secara langsung pada perilaku manusia. Pertanyaan yang dihadapi berbunyi, entahkah pikiran manusia dapat mencapai kebenaran tertinggi dan universal? Apakah pikiran manusia bisa mencapai pengetahuan yang absolut. Pertanyaan-pertanyaan ini semakin sulit dijawab karena dikemukakan dalam konteks multi kultural Yunani. Bangsa Yunani yang terdiri dari pelbagai suku dan budaya, karena itu kebenaran dan kebaikan universal berarti kebenaran dan kebaikan yang dapat diterima semua pihak. Mungkinkah terdapat suatu konsep universal tentang kebaikan jika manusia tak mampu mengetahui

kebenarab universal? Pertanyaan ini dijawab oleh kedua kelompok orang yakni kaum sofis dan Sokrates.

4.1

Kaum Sofis
Kata sofis berasal dari bahasa Yunani sophistis yang berarti orang bijaksana

atau orang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu. Dalam abad ke-5 sM nama itu dipakai dalam arti sarjana atau cendekiawan. Tetapi sejak abad ke-4 sM nama tersebut dipakai untuk menyebut guru-guru yang berkeliling dari kota ke kota terutama untuk mengajar kaum muda. Mereka (sofis) selalu menganggap diri sebagai pemilik kebijaksana dan karena mereka memiliki kebijaksanaan mereka selalu berusaha untuk memberikan kebijaksanaan atau pengetahuan itu kepada orang lain, terutama pada kaum muda. Semangat ini tentu berbeda dengan seorang philosophos senantiasa mencintai kebijaksanaan maka ia selalu berusaha untuk mencarinya. Jiwa seorang philosophos adalah selalu mencari pengetahuan atau kebijaksanaan. Kaum sofis umumnya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, serta memiliki pengetahuan yang luas dan lengkap tentang banyak kebudayaan dan tradisitradisi. Mereka menaruh minat yang amat besar pada bidang prosa dan gramatika serta ketrampilan berdebat. Kemashyuran dan reputasi mereka terutama terletak pada usaha mereka dalam melatih kaum mida agar mampu mengungkapkan pikiran secara jelas dan efektif. Percakapan yang jelas dan kekuatan persuasif merupakan faktor penting dalam pelbagai pertemuan. Mereka berpendapat bahwa suatu kebenaran amat tergantung pada cara berbicara dan kepandaian persuasi. Semakin pintar seseorang dalam berbicara dan semakin mampu seseorang membujuk orang lain dengan kata-kata indah, semakin ia memperoleh kebenaran. Bagi mereka, kebenaran amat tergantung dari kepintaran mengutarakan kata-kata. Oleh karena itu retorika (ilmu berpidato) menjadi pisau debat yang paling ampuh. Konsekuensi dari pandangan ini adalah relativisme dan skeptisisme. Relativisme dalam arti kebenaran bersifat relatif karena kebenaran tergantung pada kesepakatan manusia dalam mencapai kebanaran itu, sarana utama yang digunakan adalah debat. Dalam situasi seperti itu adat istiadat semua orang dipandang memiliki kebenarannya sendiri-

sendiri. Orang Athena, orang Sparta dan orang Barbar, masing-masing memiliki kebenarannya sendiri-sendiri. Tidak ada kebanaran universal dan mutlak. Dalam konteks relativisme ini kaum sofis gampang dapat memperdaya kaum muda dengan mengatakan bahwa tidak ada kebenaran dan kebaikan obyektif. Semua yang baik, baik secara relatif, apa yang baik dapat menjadi jahat. Konsekuensi langsung dari relativisme adalah skeptisisme dalam arti sikap meragukan atau sikap tidak percaya bahwa pikiran manusia bisa mencapai pengetahuan yang mutlak dan kebenaran universal. Manusia mulai skeptis atau meragukan kemampuan rasionalnya yang mampu mencapai pengetahuan dan kebenaran tertinggi.

4.2

Sokrates
Banyak orang Athena mengira bahwa Sokrates adalah seorang sofis. Padahal, ia

justru menampilkan diri sebagai kritikus terbesar terhadap kaum sofis. Jika kaum sofis menganut relativisme dan skeptisisme, maka Sokrates amat yakin bahwa pikiran manusia mampu mencapai suatu pengetahuan tertinggi dan kebenaran universal. Sokrates adalah filsuf pertama Yunani yang berpendapat bahwa filsafat harus memusatkan perhatian pada manusia. Dengan kata lain, manusia harus menjadi obyek penting dalam studi filsafat karena berbicara tentang manusia berarti berbicara tentang kehidupan manusia. Semboyannya yang terkenal, Kehidupan yang tak pernah diuji atau dipertanyakan, tidak layak dihidupi. Bagi Sokrates kehidupan yang diuji atau dipertanyakan adalah kehidupan yang dipikirkan dan disadari dalam arti kehidupan yang harus dijalani dengan pengetahuan dan pengetahuan berarti kebijaksanaan. Dengan itu Sokrates menghubungkan pengetahuan dengan tindakan atau kehidupan dengan pendapat bahwa mengetahui yang baik sama dengan melaksanakan yang baik. Pengetahuan identik dengan kebijaksanaan. Sokrates amat sadar bahwa mengatasi relativisme dan skeptisisme kaum sofis, ia harus menemukan dasar yang sungguh-sungguh kokoh bagi landasan pengetahuan yang meyakinkan. Dasar itu ditemukan Sokrates bukan dalam alam semesta di luar diri manusia, melainkan dalam diri manusia sendiri yakni jiwa (psykhe). Menurut Sokrates, jiwa manusia memiliki kemampuan untuk dua aktivitas sekaligus yakni aktivitas mengetahui dan aktivitas menghendaki atau bertindak. Aktivitas mengetahui menunjuk pada kemampuan jiwa manusai untuk mencapai atau menangkap sesuatu di luar dirinya. Jiwa

manusia merupakan suatu intelegensi dan karakter yang berfungsi untuk mengetahui dan untuk mempengaruhi atau bahkan mungkin untuk mengarahkan dan mengontrol setiap aktivitas yang dilakukan seseorang. Keyakinan ini menghantar Sokrates untuk tiba pada kesimpulan bahwa bila seseorang memiliki pengetahuan tentang yang baik maka ia akan terdorong untuk berbuat yang baik. Oleh karena itu bagi Sokrates jiwa yang baik harus diisi dengan pengetahuan karena hanya dengan pengatahuan manusia bisa melakukan yang baik. Semakin banyak jiwa seseorang mengetahui, semakin banyak ia berbuat yang baik. Demikian Sokrates menemukan jiwa sebagai landasan yang kokoh untuk pengetahuan. Sokrates amat yakin bahwa konsepnya tentang jiwa dan aktivitasnya memungkinkan manusia untuk mencapai pengetahuan yang dapat diandalkan sebagai dasar moralitas. Tetapi bagaimana pengetahuan itu dapat dicapai? Atau bagaimanakah jiwa manusia dapat diisi dengan pengetahuan? Pengetahuan tersebut dijawab Sokrates dengan mengatakan bahwa cara yang paling pasti untuk mengisi jiwa dengan pengetahuan adalah melalui metode dialektika atau praksisi percakapan atau lasim dikenal dengan dialog. Dialektika dimulai dari suatu problem dan melalui dialog setiap partisipan dipaksa atau didorong untuk menjelaskan ide-idenya sehingga akan diperoleh suatu hasil akhir berupa definisi yang jelas tentang apa yang dimaksudkan pada awal dialog. Dalam dialog Euthyphro misalnya, Sokrates memperlihatkan dirinya sebagai seorang bidan yang berpura-pura tidak mengetahui tentang pokok tertentu dan memancing lawan bicaranya untuk mengungkapkan segala pengetahuan yang dimilikinya tentang pokok tersebut. Dengan mengemukakan pertanyaan yang berurut, Sokrates bertindak bagaikan seorang bidan yang membedah rahim intelektual agar melahirkan pengetahuan tertinggi. Karena itu, metode dialektikanya disebut juga ilmu kebidanan intelektual (maieutike tekhne = seni kebidanan). Dalam metode ini Sokrates tidak saja mengajukan pertanyaan, tetapi juga mengoreksi konsep yang tidak lengkap dari lawan bicaranya. Atas cara ini lawan bicara dituntun kepada ekspresi kebenaran yang diketahuinya. Metode ini berdasar pada keyakinan Sokrates bahwa jiwa manusia mengandung kemampuan untuk mengetahui sesuatu. Oleh karena jiwa manusia memiliki kualitas mengetahui itu maka dialog dipandang sebagai sarana utama untuk melahirkan pengetahuan itu dari rahim intelektual seseorang. Percakapan atau dialog antara Sokrates

dengan Euthyphro di depan istana raja Arkhon menjadi satu contoh menarik dialektika yang dikemukakan Sokrates ini.1 Sasaran akhir dari dialektika sebagaimana diperlihatkan dalam dialog Euthyphro adalah definisi. Menurut Sokrates, definisi ialah ide yang jelas dan teguh. Baginya, konsep itu melandasi lapisan realitas yang berubah-ubah, tetapi harus terdapat sesuatu yang sama dan menetap yang merajut semua peristiwa partikular tersebut. Yang menetapkan atau tak terubahkan itulah yang disebut definisi atau hakikat. Kita sering membandingkan antara ada rumah yang indah, lebih indah dan sangat indah. Mengapa kita bisa membuat perbandingan itu? Sokrates mengatakan bahwa perbandingan itu mungkin dilakukan karena kita berpikir tentang hakikat keindahan atau ide keindahan. Semua rumah; entah rumah itu indah, lebih indah atau sangat indah, tetapi semuanya berpartisipasi dalam ide keindahan. Rumah-rumah merupakan benda-benda partikular yang mendapat kesamaannya dalam ide keindahan yang sifatnya menetap. Ide keindahan itulah yang disebut hakikat yang bercorak universal. Manusia pun memiliki unsur-unsur partikular yang berbeda misalnya; ada yang tinggi dan ada yang rendah, ada yang gemuk dan kurus, ada yang hitam dan yang putih, dst. Kendati memiliki unsur-unsur partikular yang berbeda, mereka semua disebut manusia. Ide manusia itulah yang disebut hakikat atau definisi. Melalui pembuktian seperti itulah Sokrates memperlihatkan bahwa pengetahuan yang sejati adalah mungkin dan pengetahuan itu lebih dari sekedar meneliti fakta-fakta. Pengetahuan harus dihubungkan dengan kekuatan akal budi untuk menemukan hakikat realitas, yaitu elemen pemersatu yang tetap sesudah fakta-fakta partikular lenyap. Pengetahuan yang terbatas pada fakta-fakta partikular akan menghantar orang untuk menyimpulkan bahwa segala sesuatu berbeda-beda dan tidak ada dua hal yang persis sama. Itulah yang diajarkan kaum sofis ketika mereka menyebarkan pandangan bahwa kebaikan dan keadilan bercorak relatif. Melalui metode dialektik yang menghantar pada definisi, Sokrates berhasil memperlihatkan bahwa pengetahuan sejati atau pengetahuan tertinggi dan kebaikan universal adalah mungkin. Jiwa manusia memungkinkan manusia untuk

Kisah dialog antara Sokrates dengan Euthyphro yang direkam Plato dapat dibaca dalam buku, Pengantar Berfilsafat, karya Drs. Yong Ohoitimur, MA, Jakarta: Gapura, 1997. Hlm. 37-39

mengetahui kebenaran universal atau absolut. Dengan ini Sokrates berhasil membuktikan kekeliruan ajaran kaum sofis tentang relativisme dan skeptisisme.

Dualisme Plato

You might also like