You are on page 1of 13

PENYEBAB HEMOPTISIS PADA KASUS TUBERKULOSIS

Sebelum kita membahas mengenai penyebab terjadinya hemoptisis atau batuk darah dalam kasus tuberkukosis, saya akan membahas patofisiologi penyakit tuberculosis. Patofisiologi Penyebaran infeksi Tuberkulosis. Penyebaran infeksi tuberculosis ke bagian tubuh nonpulmonal dikenal sebagai TB miliaris. TB ini diakibatkan oleh invasi aliran darah oleh basilus tuberkel (tuberkel Ghon). Biasanya invasi ini terjadi akibat reaksi lambat infeksi dorman dalam paru atau di tempat lain dan menyebar melalui darah ke organ lainnya. Basil yang memasuki aliran darah dapat berasal dari focus kronis yang mengalami ulserasi ke dalam pembuluh darah atau perbesaran tuberkel yang melapisi permukaan dalam duktus torakik. Organisme bermigrasi dari focus infeksi ke dalam aliran darah, terbawa ke seluruh tubuh, dan berdiseminasi melalui semua jaringan , dengan tuberkel miliaris kecil yang yang berkembang dalam paru-paru, limpa, hepar, meninges, dan organ lainnya. Perjalanan klinis tuberculosis miliaris dapat beragam dari infeksi akut, berkembang secara progresif dengan demam tinggi sampai proses indolen dengan demam tingkat rendah, anemia, dan perlemahan tubuh secara keseluruhan. Pada awalnya, mungkin tidak terdapat tanda lokalisasi kecuali perbesaran limpa dan menurunnya jumlah leukosist. Namun demikian, dalam beberapa minggu, rongent dada menunjukkan ketebalan kecil yang menyebar secara difus di seluruh bidang kedua paru; penyebaran ini merupakan tuberkel miliaris yang secara bertahap ukurannya akan meningkat. Kemungkinan TB pada tempat nonpulmonal dalam tubuh mengharuskan pasien dipantau dengan sangat cermat terhadap bentuk infeksi yang sangat serius ini. Perawat dengan cermat memantau tanda vital dan mengamati lonjakan suhu tubuh juga perubahan fungsi ginjal dan kognitif. Beberapa tanda fisik dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik dada, tetapi pada tahap ini, pasien menderita batuk hebat, dispnea, dan sianosis. Pengobatan pada TB paru. Penyebaran kuman Mikrobacterium tuberkolusis bisa masuk melalui tiga tempat yaitu saluran pernafasan , saluran pencernaan dan adanya luka yang terbuka pada kulit. Infeksi kuman ini sering terjadi melalui udara ( airbone ) yang cara penularannya dengan droplet yang mengandung kuman dari orang yang terinfeksi sebelumnya .(Sylvia.A.Price.1995.hal 754).

Penularan tuberculosis paru terjadi karena penderita TBC membuang ludah dan dahaknya sembarangan dengan cara dibatukkan atau dibersinkan keluar. Dalam dahak dan ludah ada basil TBC-nya , sehingga basil ini mengering lalu diterbangkan angin kemana-mana. Kuman terbawa angin dan jatuh ketanah maupun lantai rumah yang kemudian terhirup oleh manusia melalui paru-paru dan bersarang serta berkembangbiak di paru-paru. (

dr.Hendrawan.N.1996,hal 1-2 ) Pada permulaan penyebaran akan terjadi beberapa kemungkinan yang bisa muncul yaitu penyebaran limfohematogen yang dapat menyebar melewati getah bening atau pembuluh darah. Kejadian ini dapat meloloskan kuman dari kelenjar getah bening dan menuju aliran darah dalam jumlah kecil yang dapat menyebabkan lesi pada organ tubuh yang lain. Basil tuberkolusis yang bisa mencapai permukaan alveolus biasanya di inhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari 1-3 basil. Dengan adanya basil yang mencapai ruang alveolus, ini terjadi dibawah lobus atas paru-paru atau dibagian atas lobus bawah, maka hal ini bisa membangkitkan reaksi peradangan. Berkembangnya leukosit pada hari hari pertama ini di gantikan oleh makrofag.Pada alveoli yang terserang mengalami konsolidasi dan menimbulkan tanda dan gejala pneumonia akut. Basil ini juga dapat menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional, sehingga makrofag yang mengadakan infiltrasi akan menjadi lebih panjang dan yang sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epitelloid yang dikelilingi oleh limfosit,proses tersebut membutuhkan waktu 10-20 hari. Bila terjadi lesi primer paru yang biasanya disebut focus ghon dan bergabungnya serangan kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon. Kompleks ghon yang mengalami pencampuran ini juga dapat diketahui pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin.Beberapa respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas.Pada proses ini akan dapat terulang kembali dibagian selain paru-paru ataupun basil dapat terbawa sampai ke laring ,telinga tengah atau usus.(Sylvia.A Price:1995;754). Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa adanya pengobatan dan dapat meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dengan perbatasan bronkus rongga. Bahan perkijauan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung, sehingga kavitas penuh dengan bahan perkijauan dan lesi mirip dengan lesi

berkapsul yang tidak lepas.Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.(Syilvia.A Price:1995;754). Mycobacterium Tuberculosis diingesti oleh makrofag, tetapi dapat lolos dari fagolisosom untuk kemudian bermultiplikasi kemudian dalam sitoplasma. Respon imun yang hebat menyebabkan destruksi jaringan setempat (kavitasi pada paru) dan efek sistemik yang diperantarai oleh sitokin (demam dan penurunan berat badan). Bermacam-macam antigen telah diidentifikasi sebagai kemungkinan penentu virulensi, termasuk lipoarabinomanan (menstimulasi sitokin) dan superoksida dismutase (memacu intramakrofag). Batuk darah (hemaptisis) adalah batuk darah yang terjadi karena penyumbatan trakea dan saluran nafas sehingga timbul sufokal yang sering fatal. Ini terjadi pada batuk darah masif yaitu 600-1000cc/24 jam.Batuk darah pada penderita TB paru disebabkan oleh terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kapitas.(Hood Al sagaff dkk:1995;85-86). kelangsungan hidup

Tuberkulosis Primer Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulanbulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau sarang (focus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian

bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis local), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis local + limfadenitis regional = kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kolmpleks primer ini selanjutnya dapat menjadi: Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotic, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan 10% di antaranya dapat terjadi reaktivitas lagi karena kuman yang dormant. Berkomplikasi dan menyebar secara : a) per kontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya, b) secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus, c) secara limfogen, ke organ tubuh lain-lainnya, d) secara hematogen, ke organ tubuh lainnya. Semua kejadian di atas tergolong dalam perjalanan tuberculosis primer. Tuberkulosis Paska Primer (Tuberkulosis Sekunder) Kuman yang dormant pada tuberculosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa (tuberculosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alcohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru (bagian apical posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paruparu dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histosit dan sel DatiaLanghans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.

TB pasca primer juga dapat berasal dari inifeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi: Direabsoebsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat. Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini lmula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal menebal karena infiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijauan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi leh makrofag, dan yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkijauan lain yang jarang adalah crytic

disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut. Di sini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat: a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan mssuk lambung dan selanjutnya ke usus jadi TB usus. Sarang ini selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan terdahulu. Bisa juga terjadi TB endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila rupture ke pleura; b. memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma; c. bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga menyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. KAdang-kadang berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang disebut stellate shaped. Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni: 1) sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan yang lengkap dan sempurna; 3) Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbadi kembali, sebaiknya diberi pengobatan yang sempurna juga.

Batuk/ Batuk Darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

SITUASI TUBERCULOSIS DI INDONESIA 1. Epidemiologi Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya. Indonesia merupakan negara dengan percepatan peningkatan epidemi HIV yang tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan sebagai epidemic terkonsentrasi (a concentrated epidemic), dengan perkecualian di provinsi Papua yang prevalensi HIVnya sudah mencapai 2,5% (generalized epidemic). Secara nasional, angka estimasi prevalensi HIV pada populasi dewasa adalah 0,2%.Sejumlah 12 provinsi telah dinyatakan sebagai daerah prioritas untuk intervensi HIV dan estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia sekitar 190.000- 400.000. Estimasi nasional prevalensi HIV pada pasien TB baru adalah 2.8%. Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap tahunnya. Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan Negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 di antaranya terdeteksi BTA+. Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama. Meskipun secara nasional menunjukkan perkembangan yang meningkat dalam penemuan kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di tingkat provinsi masih menunjukkan disparitas antar wilayah (Tabel 3). Sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka penemuan kasus (CDR) 70% dan hanya 5 provinsi menunjukkan pencapaian 70% CDR dan 85% kesembuhan.

Tabel 3. Pencapaian target pengendalian TB per provinsi 2009 CDR 70% SR 85 % CDR <70 %

Jabar, Sulut, Maluku, DKI Bali, Sulbar, Babel, Sumbar, Jakarta, Banten (5) Kalteng, Jatim, Sulsel, Jateng, Lampung, NTB, Jambi, NAD, Kalsel, Sumsel, Sultra, Kepri, Sumut, Gorontalo, Bengkulu, Kalbar, NTT Kaltim, Sulteng (23)

SR < 85 %

Tidak Ada

Papua Barat, Papua, DIY, Malut, Riau (5)

Dengan angka nasional proporsi kasus relaps dan gagal pengobatan di bawah 2%, maka angka resistensi obat TB pada pasien yang diobati di pelayanan kesehatan pada umumnya masih rendah. Namun demikian, sebagian besar data berasal dari Puskesmas yang telah menerapkan strategi DOTS dengan baik selama lebih dari 5tahun terakhir. Probabilitas terjadinya resistensi obat TB lebih tinggi di rumah sakit dan sektor swasta yang belum terlibat dalam program pengendalian TB nasional sebagai akibat dari tingginya ketidakpatuhan dan tingkat drop out pengobatan karena tidak diterapkannya strategi DOTS yang tinggi. Data dari penyedia pelayanan swasta belum termasuk dalam data di program pengendalian TB nasional. Sedangkan untuk rumah sakit, data yang tersedia baru berasal dari sekitar 30% rumah sakit yang telah melaksanakan strategi DOTS. Proporsi kasus TB dengan BTA negatif sedikit meningkat dari 56% pada tahun 2008 menjadi 59% pada tahun 2009. Peningkatan jumlah kasus TB BTA negatif yang terjadi selama beberapa tahun terakhir sangat mungkin disebabkan oleh karena meningkatnya pelaporan kasus TB dari rumah sakit yang telah terlibat dalam program TB nasional. Jumlah kasus TB anak pada tahun 2009 mencapai 30.806 termasuk 1,865 kasus BTA positif. Proposi kasus TB anak dari semua kasus TB mencapai 10.45%. Angka-angka ini merupakan gambaran parsial dari keseluruhan kasus TB anak yang sesungguhnya mengingat

tingginya kasus overdiagnosis di fasilitas pelayanan kesehatan yang diiringi dengan rendahnya pelaporan dari fasilitas pelayanan kesehatan.

2. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Hasil survei prevalensi TB (2004) mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku menunjukkan bahwa 96% keluarga merawat anggota keluarga yang menderita TB dan hanya 13% yang menyembunyikan keberadaan mereka. Meskipun 76% keluarga pernah mendengar tentang TB dan 85% mengetahui bahwa TB dapat disembuhkan,akan tetapi hanya 26% yang dapat menyebutkan dua tanda dan gejala utama TB. Cara penularan TB dipahami oleh 51% keluarga dan hanya 19% yang mengetahui bahwa tersedia obat TB gratis. Mitos yang terkait dengan penularan TB masih dijumpai di masyarakat. Sebagai contoh, studi mengenai perjalanan pasien TB dalam mencari pelayanan di Yogyakarta telah mengidentifikasi berbagai penyebab TB yang tidak infeksius, misalnya merokok, alkohol, stres, kelelahan, makanan gorengan, tidur di lantai, dan tidur larut malam. Stigma TB di masyarakat terutama dapat dikurangi dengan meningkatkan pengetahuan dan persepsi masyarakat mengenai TB, mengurangi mitos-mitos TB melalui kampanye pada kelompok tertentu dan membuat materi penyuluhan yang sesuai dengan budaya setempat. Survei pada tahun 2004 tersebut juga mengungkapkan pola pencarian

pelayanankesehatan. Apabila terdapat anggota keluarga yang mempunyai gejala TB, 66% akan memilih berkunjung ke Puskesmas, 49% ke dokter praktik swasta, 42% ke rumah sakit pemerintah, 14% ke rumah sakit swasta dan sebesar 11% ke bidan atau perawat praktik swasta. Namun pada responden yang pernah menjalani pengobatan TB, tiga FPK utama yang digunakan adalah rumah sakit, Puskesmas dan praktik dokter swasta. Analisis lebih lanjut di tingkat regional menunjukkan bahwa Puskesmas merupakan FPK utama di KTI, sedangkan untuk wilayah lain rumah sakit merupakan fasilitas yang utama. Keterlambatan dalam mengakses fasilitas DOTS untuk diagnosis dan pengobatan TB merupakan tantangan utama di Indonesia dengan wilayah geografis yang sangat luas.

3. Sejarah Pengendalian TB Nasional Inisiasi pengendalian TB di Indonesia dapat ditelusuri sejak masa pra-kemerdekaan. Terdapat empat tonggak penting yang menandai perkembangan implementasi dan pencapaian program pengendalian TB (Tabel 4). Tabel 4. Tonggak pencapaian utama dalam pengendalianTB di Indonesia Tahun Pra 1995 Tonggak Pencapaian Pra-kemerdekaan: Program TB dilakukan oleh pihak swasta bagi kelompok masyarakat tertentu. 1995 Program Pengendalian TB Nasional dimulai 1969: Kemoterapi jangka panjang selama 1-2 tahun 1987: Ujicoba strategi DOTS 1992: Indonesia mengadopsi DOTS sebagai strategi nasional penanggulangan dengan ekspansi bertahap 1995- 1999 1999 Ekspansi DOTS bertahap keseluruh Puskesmas Gerdunas-TB (Policy: DOTS dilaksanakan di seluruh Unit Pelayanan Kesehatan) Inisiasi DOTS di Rumah Sakit 2000-2005 2006-2010 Intensifikasi strategi DOTS dengan peningkatan kualitas Konsolidasi dan implementasi inovasi dalam strategi DOTS nggak pencapaian Fase Sebelum Strategi DOTS (pra-1995) Fase ini dimulai sejak awal abad ke 20 dan ditandai dengan berdirinya fasilitas diagnostik dan sanatorium di kota-kota besar. Dengan dukungan dari pemerintah Belanda, diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan Rontgen, diikuti dengan penanganan TB melalui hospitalisasi. Studi prevalensi TB pertama kali dilakukan pada tahun 1964 di karesidenan Malang dan kota Yogyakarta. lima tahun kemudian (1969), program pengendalian TB nasional dengan pedoman penatalaksanaan TB secara baku dimulai di Indonesia. Pada periode 1972-1995 penanganan TB tidak lagi berbasis hospitalisasi, akan tetapi melalui diagnosis dan pelayanan TB di fasilitas kesehatan primer, yaitu di Puskesmas. Pengobatan TB menggunakan dua rejimen pengobatan menggantikan pengobatan konvensional (2HSZ/10H2S2) dan strategi penemuan kasus secara aktif secara bertahap. Pada tahun 1993,

the Royal Netherlands TB Association (KNCV) melakukan ujicoba strategi DOTS di empat kabupaten di Sulawesi Tahun 1994, NTP bekerja sama dengan WHO dan KNCV melakukan uji coba implementasi DOTS di provinsi Jambi dan Jawa Timur.

Persiapan dan Implementasi Strategi DOTS (1995-2000) Setelah keberhasilan uji coba di dua provinsi ini, akhirnya Kementerian Kesehatan mengadopsi strategi DOTS untuk diterapkan secara nasional pada tahun 1995. Pada fase 1995-2000, pedoman nasional disusun dan strategi DOTS mulai diterapkan di Puskesmas. Seperti halnya dalam implementasi sebuah strategi baru, terdapat berbagai tantangan di lapangan dalam melaksanakan kelima strategi DOTS. Untuk mendorong peningkatan cakupan strategi DOTS dan pencapaian targetnya, dalam fase ini dilakukan dua Joint External Monitoring Mission oleh tim pakar internasional.

Ekspansi dan Intensifikasi DOTS (2000-2005) Rencana strategi nasional Pengendalian TB disusun pertama kali pada periode ini sebagai pedoman bagi provinsi dan kabupaten/kota untuk merencanakan dan melaksanakan program pengendalian TB. Pencapaian utama selama periode ini adalah: (1) Pengembangan rencana strategis 2002-2006; (2) Penguatan kapasitas manajerial dengan penambahan staf di tingkat pusat dan provinsi; (3) Pelatihan berjenjang dan berkelanjutan sebagai bagian dari pengembangan sumberdaya manusia; (4) Kerja sama internasional dalam memberikan dukungan teknis dan pendanaan (pemerintah Belanda, WHO, TBCTA-CIDA, USAID, GDF, GFATM,KNCV, USAID, WHO, tetap dapat dipertahankan. Selain mencapai target global, Indonesia juga telah menunjukkan berbagai perkembangan dalam menghadapi tantangan baru program pengendalian TB, yaitu: a. Keterlibatan pihak pemangku kepentingan utama, seperti halnya Organisasi berbasis Masyarakat yang besar seperti Muhamadiyah, NU, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan di Kementerian Kesehatan, organisasi-organisasi profesi di bawah Ikatan Dokter Indonesia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dll. b. Peningkatan jumlah rumah sakit yang melaksanakan strategi DOTS secara signifikan dan peningkatan notifikasi kasus dari rumah sakit;

c. Pengembangan lima laboratorium yang telah terjamin mutunya untuk melaksanakan kultur dan DST melalui sertifikasi oleh laboratorium internasional; Pelayanan TB juga diselenggarakan di praktik swasta, rutan/lapas, militer dan perusahaan, yang seperti halnya rumah sakit, tidak berada di dalam koordinasi Subdit Tuberkulosis. Dengan demikian kerja sama antar Ditjen dan koordinasi yang efektif oleh subdit TB sangat diperlukan dalam menerapkan program pengendalian TB yang terpadu. Pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten/kota merupakan tulang punggung dalam program pengendalian TB. Setiap kabupaten/kota memiliki sejumlah FPK primer berbentuk Puskesmas, terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), Puskesmas Satelit (PS) dan Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM). Pada saat ini Indonesia memiliki 1.649 PRM, 4.140 PS dan 1.632 PPM. Selain Puskesmas, terdapat pula fasilitas pelayanan rumah sakit, rutan/lapas, balai pengobatan dan fasilitas lainnya yang telah menerapkan strategi DOTS. Tenaga yang telah dilatih strategi DOTS berjumlah 5.735 dokter Puskesmas, 7.019 petugas TB dan 4.065 petugas laboratorium. Pada tingkat Kabupaten/kota, Kepala Dinas Kesehatan pada tahun 2002 serta di provinsi Yogyakarta dan Bali pada tahun 2004-2005. Untuk akselerasi DOTS di rumah sakit, sekitar 750 dari 1645 RS telah dilatih dengan pendanaan dari GFATM TB Round 1, Round 5 dan USAID. Selain itu, dengan pendanaan dari TBCAP-USAID melalui KNCV, ditempatkan Technical Officer untuk inisiasi DOTS di rumah sakit di beberapa provinsi besar. Koordinasi di tingkat pusat dengan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan semakin intensif. Dua pedoman telah disusun, yaitu pedoman manajerial pelayanan TB dengan strategi DOTS di rumah sakit dan pedoman diagnosis dan terapi TB di rumah sakit. Selain itu Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan juga melakukan penilaian ke beberapa rumah sakit yang telah menerapkan DOTS. Penguatan aspek regulasi dalam implementasi strategi DOTS di rumah sakit akan diintegrasikan dengan kegiatan akreditasi rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit. Volume Jakarta: EGC. Stephen Gillespie dan Kathleen Banford. 2009. At a Glance Mikrobiologi Medis dan Infeksi. Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga. W. Sudoyo. 2006. Buku Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Brunner & Suddarth. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC Dyah Erti Mustikawati. 2011. Stop TB Terobosan Menuju Akses Universal Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014.
http://www.pppl.depkes.go.id /_asset /_regulasi/STRANAS_TB.pdf Last Update 10 Maret 2012

You might also like