You are on page 1of 2

TPA Sampah, Ancaman Kesehatan Lingkungan dan Pangan

Oleh: Erwin Azizi Jayadipraja, S.KM., M.Kes TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Sampah adalah tempat mengkarantinakan sampah atau menimbun sampah yang diangkut dari sumber sampah sehingga tidak mengganggu lingkungan. Dibalik manfaat yang begitu besar, ternyata keberadaan TPA sampah memiliki dampak negatif. Oleh karena keberadaan Tempat Pambuangan Akhir Sampah di suatu daerah diprediksikan dapat menimbulkan dampak negatif, maka terlebih dahulu harus dilakukan study ANDAL dalam perencanaan pembangunan TPA sampah. Beberapa dampak negatip yang telah diprediksi akan timbul diusahakan dikelola sehingga tidak melampaui nilai ambang batas yang telah ditetukan oleh Pemerintah RI dalam Peraturan Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (AMDAL). Acuan Normatif pengelolaan sampah seberanya telah diatur dalam Standar Nasional Indonesia, yakni SNI 19-2454-2002 tentang tatacara teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan. Produksi sampah per orang adalah 0,5 kg/hari, sehingga diasumsikan dengan jumlah penduduk 1.000.000 orang akan menghasilkan sampah 500.000 kg/hari. Tingginya produksi sampah tentu saja membutuhkan perhatian khusus, karena jika tidak ditangani dengan baik, seluruh wilayah akan menjadi tempat penampungan sampah. Ada beberapa metode atau cara penimbunan sampah, seperti: a. Metoda Open Dumping b. Metoda Control Landfill c. Metoda Sanitary Landfill d .Metoda Improved Sanitary landfill e. Metoda Semi Aerobic Landfill Hingga saat ini di Indonesia, metode yang banyak diadopsi adalah metode Open Dumping. Cara ini cukup sederhana yaitu dengan membuang sampah pada suatu legokan atau cekungan tanpa mengunakan tanah sebagai penutup sampah, cara ini sudah tidak direkomendasi lagi oleh Pemerintah RI karena tidak memenuhi syarat teknis suatu TPA Sampah, Open dumping sangat potensial dalam mencemari lingkungan, baik itu dari pencemaran air tanah oleh Leachate (air sampah yang dapat menyerap kedalam tanah/pencemaran air tanah), lalat, bau serta binatang seperti tikus, kecoa, nyamuk, pelepasan gas metana yang disebabkan oleh pembusukan sampah organik (metana adalah gas rumah kaca yang berkalikali lebih potensial daripada karbon dioksida, dan dapat membahayakan penduduk suatu tempat); dan gangguan sederhana (mis., debu, bau busuk, kutu, dan gangguan estetika). Bahaya secara langsung maupun tidak langsung dari keberadaan TPA Sampah sebenarnya telah banyak diteliti. Loredana Musmeci, dkk (2010) dalam Environmental Issues of Helath Concern melakukan pemetaan dengan Geographic Information system untuk melihat wilayah penyebaran dampak akibat tempat pembuangan sampah di Italia. Dalam penelitiannya

disebutkan bahwa radius 1 km dari lokasi pembuangan sampah adalah wilayah yang memiliki risiko paparan terbesar. Pencemaran lingkungan oleh Leachete atau biasa disebut lindi jika masuk kedalam air tanah dapat mengontaminasi sumber air masyarakat. Air tercemar tersebut jika dikonsumsi masyarakat, maka dapat menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit gangguan sistem pencernaan dan dermatitis. Arifin, dkk (2005) dalam Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Venteriner mengungkapkan bahwa ditemukannya kandungan logam berat Pb, Cd dan Hg pada tubuh sapi potong yang dipelihara di TPA Jatibarang, Semarang. Didapatkan kandungan logam berat dalam darah sapi potong, seperti Pb, Hg dan Cd masing-masing sebesar 283,6 ppm; 87,3 ppm dan 719,8 ppm. Di lingkungan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah, keberadaan ketiga jenis logam berat tersebut semakin meningkat seiring dengan peningkatan aktivitas industry dan domestik yang semakin kompleks. Karena sifat logam yang akumulatif, paparan ternak yang digembalakan di tempat tersebut terhadap logam berat toksik semakin intensif, sehingga kemungkinan masuknya logam-logam tersebut ke dalam rantai makanan manusia menjadi semakin besar. Selain pencemaran logam berat, tidak hanya sapi, melainkan hewan ternak lain yang dipelihara di TPA Sampah memiliki risiko besar terkontaminasi pestisida dan B3 (bahan berbahaya dan beracun) lain. Dengan demikian hal ini berakibat hasil daging yang akan dikonsumsi masyarakat menjadi tidak berkualitas. Resiko kesehatan lingkungan dengan adanya TPA Sampah mungkin dapat diminimalisir dengan adanya studi ANDAL saat perencanaan pembangunan TPA Sampah, namun, masyarakat juga kini harus cerdas dan kritis jika dihadapkan dengan ancaman pangan dari daging yang tercemar yang akan mempengaruhi kesehatan masyarakat. UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan dan UU No. 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan juga harus menjadi pedoman masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan terhadap daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Karena adanya risiko penyakit yang bersifat Zoonosis (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan kepada manusia) atau dapat juga melalui daging (Meat-borne disease), selain itu daging juga dapat mengandung residu obat hewan dan hormone, cemaran logam berat, petisida atau zat-zat berbahaya lain, sehingga daging juga dikategorikan sebagai potensi berbahaya bagi kesehatan manusia (Potentially Hazardous Food). Agar daging dapat tetap bermutu baik, aman dan layak dikonsumsi, maka perlu penanganan daging yang aman dan baik mulai dari peternakan sampai konsumsi (Safe from Farm to Table Concepts).

You might also like