You are on page 1of 9

TUGAS TERSTRUKTUR MATA KULIAH TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN IDENTIFIKASI TANAH LONGSOR DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA STUDI

KASUS DI KULONPROGO, PURWOREJO DAN KEBUMEN

Oleh Nurul Hariadi 0810480066

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2010

1. Latar Belakang Bencana alam tanah longsor sering melanda beberapa wilayah di tanah air. Beberapa faktor alami yang menyebabkan seringnya terjadi bencana tersebut antara lain banyak dijumpainya gunung api baik yang masih aktif maupun yang non aktif terutama Pulau Sumatera bagian barat dan Pulau Jawa bagian selatan. Kedua wilayah tersebut merupakan bagian dari .cincin api. yang melingkari cekung Samudera Pasifik dari Benua Asia sampai Benua Amerika. Selain itu, wilayah Indonesia merupakan pertemuan 3 lempeng Australia, Eurasia dan Pasifik sehingga sering dilanda gempa bumi tektonik. Guncangan gempa tersebut dapat mengakibatkan terjadinya tanah longsor pada daerahperbukitan dengan lereng yang curam (Kompas, 14 Desember 2002). Bencana tanah longsor yang terjadi di berbagai lokasi di Indonesia, umumnya terjadi pada musim penghujan, sehingga dampak yang ditimbulkan tidak hanya terjadi setempat (on site) namun juga disebelah hilirnya (off site), yaitu berupa hasil sedimen yang jumlahnya cukup besar untuk suatu kejadian hujan tertentu. Penyebab tanah longsor terutama disebabkan oleh ketahanan geser batuan yang menurun tajam jauh melebihi tekanan geser dan yang terjadi seiring dengan meningkatnya tekanan air akibat pembasahan atau peningkatan kadar air, disamping juga karena adanya peningkatan muka air tanah. Selanjutnya batuan/tanah penyusun lereng tersebut kondisinya menjadi kritis-labil dan cenderung mudah longsor (Hirmawan, 1994). Bencana tanah longsor selain menimbulkan korban jiwa, harta benda dan material lain yang tidak sedikit juga menimbulkan dampak negatif jangka panjang yaitu berkurangnya (hilangnya) lapisan permukaan tanah (top soil) yang subur sehingga produktifitas tanah menurun. Menurut Soebroto, dkk.(1981), faktor . faktor yang menyebabkan terjadinya gerakan tanah (tanah longsor) adalah topografi (kemiringan lereng), keadaan tanah (tekstur, struktur perlapisan), keairan termasuk curah hujan, gempa bumi dan keadaan vegetasi/hutan dan penggunaan lahan. Dari uraian di atas diperlukan identivikasi tanah yang berpotensi longsor serta berbagai cara pengendaliannya. Pada kajian ini dilakukan identivikasi tanah berpotensi longsor dengan menggunakan teknik Penginderaan Jauh (PJ) yaitu citra Landsat 7 ETM+. Sedangkan teknik pengendaliannya digunakan berbagai metode yang adaptif dengan lingkungan setempat, a.l.: 1) teknik penutupan retakan tanah dengan tanah liat, 2) teknik pengendalian sudut lereng, 3) teknik pemadatan tanah, 4) teknik pengendalian aliran air permukaan dan bawah permukaan/drainase tanah, 5) teknik perbaikan kualitas tanah, dan 6) teknik pengendalian vegetasi/jenis tegakan penutup tanah.

2. Karakteritik dan Kerusakan Lahan 2.1 Karakteristik Geografis Kebumen

I.LetakWilayah : 7o271 - 7o501 Lintang Selatan 109o331 - 109o501 Bujur Timur II. Batas Wilayah :

Sebelah Timur : Kabupaten Purworejo & Kabupaten Wonosobo Sebelah Utara : Kabupaten Banjarnegara Sebelah Barat : Kabupaten Banyumas & Kabupaten Cilacap Sebelah Selatan : Samudera Indonesia III. Luas Wilayah : Kabupaten Kebumen secara administratif terdiri dari 26 kecamatan dengan luas wilayah sebesar 128.111,50 Ha atau 1.281,115 Km2, dengan kondisi beberapa wilayah merupakan daerah pantai dan pegunungan, sedangkan sebagian besar merupakan dataran rendah. Dari luas wilayah Kabupaten Kebumen, pada tahun 2007 tercatat 39.768,00 hektar atau sekitar 31,04% sebagai lahan sawah dan 88.343,50 hektar atau 68,96% sebagai lahan kering. Menurut penggunaannya, sebagian besar lahan sawah beririgasi teknis (46,20%) dan hampir seluruhnya dapat ditanami dua kali dalam setahun, sebagian lagi berupa sawah tadah hujan (33,71%) yang di beberapa tempat dapat ditanami dua kali dalam setahun, serta 20,09% lahan sawah beririgasi setengah teknis dan sederhana. Sedangkan lahan kering digunakan untuk bangunan seluas 35.985,00 hektar (40,73%), tegalan/kebun seluas 28.777,00 hektar (32,57%) serta hutan negara seluas 16.861,00 hektar (19,09%) dan sisanya digunakan untuk padang penggembalaan, tambak, kolam, tanaman kayu-kayuan, serta lahan yang sementara tidak diusahakan dan tanah lainnya.

IV.Iklim Pada tahun 2007 curah hujan di Kabupaten Kebumen lebih rendah dari tahun sebelumnya. Tercatat curah hujan sebesar 2.549,00 mm dan hari hujan hanya 91 hari. Suhu terendah terjadi di stasiun pemantauan Wadaslintang pada bulan Agustus dengan suhu sekitar 15,60C tercatat dengan rata-rata kelembaban udara setahun 82,00% dan kecepatan angin 1,31 meter/detik. Sedangkan pada stasiun pemantauan Sempor suhu terendah 21,20C terjadi pada bulan Agustus dengan rata-rata kelembaban udara setahun 80,00% dan kecepatan angin 2,37 meter/detik.

2.2 Kerusakan Lahan Identifikasi lahan berpotensi longsor melalui citra landsat

Faktor .faktor terjadinya gerakan tanah (tanah longsor) adalah topografi/lereng, Keadaan tanah/batuan termasuk struktur, Keairan termasuk curah hujan, Gempa bumi (baik tektonik maupun vulkanis), keadaan vegetasi dan penggunaan lahan. Tidak semua faktor tersebut dapat diperoleh dari citra landsat 7 ETM+ seperti gempa bumi, curah hujan dan keadaan tanah, oleh karena itu diperlukan data dan peta penunjang seperti peta geologi, peta tanah dan data curah hujan. Peta geologi menggambarkan jenis batuan dan kenampakan tektonis seperti jalur patahan, sesar (fault), sinklinal dan antiklinal. Hal tersebut menunjukkan bahwa daerah kajian merupakan daerah yang rawan bencana gerakan tanah secara tektonik. Untuk jalur sinklinal, antiklinal dan jalur perbukitan lipatan dapat dikenali pada citra landsat. Sedangkan topografi/ lereng dapat diinterpretasi pada citra. Daerah dengan topografi datar dapat dibedakan dengan daerah perbukitan dan pegunungan, yaitu dengan melihat alur - alur sungai yang tampak pada citra. Sedangkan penutupan lahan seperti lahan berhutan dan tidak berhutan (tegalan, lahan kosong, sawah dan pemukiman) dapat diinterpretasi pada citra. Di dalam kajian ini penutupan lahan merupakan salah satu faktor yang digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan tanah longsor dan erosi jurang. Disamping itu kegiatan lapangan (survei lapangan) digunakan untuk mengumpulkan data lapangan dan mengecek hasil deliniasi awal pada citra. Beberapa data yang diamati dan diukur serta dicatat di lapangan untuk kajian ini antara lain koordinat, bentuk lahan, kemiringan lereng, tingkat erosi, relief, batuan singkapan, batuan permukaan, jenis erosi, kedalaman solum tanah, regolit, warna tanah, tekstur drainase permeabilitas dan penutupan lahan dan kerapatan vegetasi. Sedangkan topografi/ lereng dapat diinterpretasi pada citra. Daerah dengan topografi datar dapat dibedakan dengan daerah perbukitan dan pegunungan, yaitu dengan melihat alur - alur sungai yang tampak pada citra. Sedangkan penutupan lahan seperti lahan berhutan dan tidak berhutan (tegalan, lahan kosong, sawah dan pemukiman) dapat diinterpretasi pada citra. Di dalam kajian ini penutupan lahan merupakan salah satu faktor yang digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan tanah longsor dan erosi jurang. Disamping itu kegiatan lapangan (survei lapangan) digunakan untuk mengumpulkan data lapangan dan mengecek hasil deliniasi awal pada citra. Beberapa data yang diamati dan diukur serta dicatat di lapangan untuk kajian ini antaralain koordinat, bentuk lahan, kemiringan lereng, tingkat erosi, relief, batuan singkapan, batuan permukaan, jenis erosi, kedalaman solum tanah, regolit, warna tanah,tekstur drainase permeabilitas dan penutupan lahan dan kerapatan vegetasi. 3. Upaya Pengelolaan Lingkungan Pengelolan lingkungan dimaksudkan untuk mengurangi, mencegah dan menanggulangi dampak negatif serta meningkatkan dampak positif. Kajiannya didasari pula oleh studi kelayakan teknik atau studi geologi yang mencakup geologi teknik, mekanika tanah dan hidrogeologi. Dengan demikian pendekatan dalam menangani lereng rawan longsor selain didasari oleh hasil rekomendasi studi kelayakan teknik atau studi geologi, juga didasari pula oleh pengelolaan lingkungannya. Diharapkan mengenai lereng rawan longsor dapat dikenal lebih jauh lagi sehingga dapat mengantisipasi kekuatan dan keruntuhan suatu lereng. Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan kondisi fisik dan mekanik perlu diketahui pula. Pengaruh kenaikan kadar air, peletakan beban, penanaman vegetasi dan kondisi kegempaan/getaran terhadap tubuh lereng, merupakan kajian yang paling baik untuk mengenal kondisi suatu lereng. Secara umum pencegahan/penanggulangan lereng longsor adalah mencoba mengendalikan faktor-faktor penyebab maupun pemicunya. Kendati demikian, tidak semua faktor-faktor tersebut dapat dikendalikan kecuali dikurangi. Beberapa cara pencegahan atau upaya stabilitas lereng adalah sebagai berikut : (1) Mengurangi beban di puncak lereng dengan cara : Pemangkasan lereng; Pemotongan lereng atau cut; biasanya digabungkan dengan pengisian/pengurugan atau fill di kaki lereng; Pembuatan undak-undak. dan sebagainya (2) Menambah beban di kaki lereng dengan cara : Menanam tanaman keras (biasanya pertumbuhannya cukup lama). Membuat dinding penahan (bisa dilakukan relatif cepat; dinding penahan atau etaining wall harus didesain terlebih dahulu) Membuat bronjong, batu-batu bentuk menyudut diikatkan dengan kawat; bentuk angular atau menyudut lebih kuat dan tahan lama dibandingkan dengan bentuk bulat, dan sebagainya (3) Mencegah lereng jenuh dengan airtanah atau mengurangi kenaikan kadar air tanah di dalam tubuh lereng Kadar airtanah dan mua air tanah biasanya muncul pada musim hujan, pencegahan dengan cara :

Membuat beberapa penyalir air (dari bambu atau pipa paralon) di kemiringan lereng dekat ke kaki lereng. Gunanya adalah supaya muka air tanah yang naik di dalam tubuh lereng akan mengalir ke luar, sehingga muka air tanah turun Menanam vegetasi dengan daun lebar di puncak-puncak lereng sehingga evapotranspirasi meningkat. Air hujan yang jatuh akan masuk ke tubuh lereng (infiltrasi). Infiltrasi dikendalikan dengan cara tersebut. Peliputan rerumputan. Cara yang sama untuk mengurangi pemasukan atau infiltrasi air hujan ke tubuh lereng, selain itu peliputan rerumputan jika disertai dengan desain drainase juga akan mengendalikan run-off (4) Mengendalikan air permukaan dengan cara: Membuat desain drainase yang memadai sehingga air permukaan dari puncak-puncak lereng dapat mengalir lancar dan infiltrasi berkurang. Penanaman vegetasi dan peliputan rerumputan juga mengurangi air larian (run-off) sehingga erosi permukaan dapat dikurangi.

Gambar Beberapa upaya peningkatan stabilitas lereng 4.Teknik Pengendalian Tanah Berpotensi Longsor Teknik pengendalian tanah berpotensi longsor yang disepakati baik di desa Kemanukan maupun Purwoharjo yang dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil pertemuan dan diskusi, yaitu: a) Ujicoba teknik pengendalian kaki tebing/lereng dengan bronjong kawat yang diisi batu kali. b) Ujicoba perbaikan sistem drainase permukaan pada lereng yang telah mengalami gejala adanya retakan tanah dengan pembuatan SPA yang diperkuat dengan drop strukture dari batu c) Ujicoba perbaikan sistem drainase dalam pada tanah diatas bidang lincir dengan lereng terjal melalui pembuatan saluran drainase horizontal yang terbuat dari pipa peralon 3/4"

5. Kesimpulan 5.1 Kondisi Lapisan Tanah di Kulonprogo, Purworejo dan Kebumen Kondisi tanah pada lereng-lereng di daerah Purworejo dan di sekitarnya umumnya berupa tanah resudial dan colluvial yang berpermeabilitas relative tinggi dengan tebal sekitar 3 4 m, kadang-kadang sampai 6 m dan didasari oleh lapisan keras batuan breksi andesit yang relative 0 kedap air. Secara umum, kemiringan lereng di daerah ini berkisar antara 20-40 . Bentuk bidang gelincir yang nampak setelah longsor termasuk tipe bidang gelincir datar, dan terjadi pada lokasi di sekitar pertemuan antara lapisan tanah bagian atas dan lapisan tanah keras atau batuan breksi andesit di bagian bawah. 5.2 Analisis Sebab-sebab Terjadinya Longsoran lereng Kulonprogo, Purworejo dan Kebumen. Kestabilan lereng yang tanahya berlempung sangat dipengaruhi oleh banyaknya air yang meresap di dalam lereng. Infiltrasi air ke dalam tanah, menghilangkan menghilangkan tekanan air pori negative dan menaikkan tekanan air positif yang mengurangi kuat geser tanah. Selain itu, akibat infiltrasi air hujan, berat tanah bertambah. Karena itu longsoran sering terjadi pada lokasi-lokasi di mana air hujan meresap ke dalam tanah kurang padat. Lokasi-lokasi pada bukit yang berbentuk menikung, dimana tempat tersebut merupakan tempat pertemuan aliran air hujan yang berasal dari bukit-bukit di dekatnya, mempunyai longsor yang tinggi. Pada saat dilakukan penggalian lereng untuk jalan atau permukiman, telah terjadi penurunan factor aman kestabilan lereng. Penurunan kestabilan lereng juga dapat terjadi, jika air sunggai atau selokan naik dan mengalir deras, sehingga melunakkan tanah dan menggerus kaki lereng. Pada kasus yang terakhir ini umumnya terjadi saat hujan lebat berkepanjangan. Batas antara dua lapisan yang berkedudukan miring curam dan berbeda karakteristiknya, mempengaruhi stabilitas lereng. Bidang miring pada pertemuan antara tanah yang terletak di permukaan lereng dengan batuan breksi andesit yang mendasarinya berpotensi menjadi bidang gelincir dari tanah yang akan longsor, karena pada bagian ini tahanan tanah dalam menahan geseran lebih rendah. Di samping itu, air hujan yang berinfitrasi kedalam tanah yang lolos air, berakumulasi di atas batuan dan membentuk zona genangan air yang bergerak merembes ke bawah. Zona kaki lereng karena letaknya di bagian bawah, adalah tempat berkumpulnya aliran air tanah, sehingga sering pada bagian ini muncul mata air. Kenaikan kadar air tanah, kecuali menurunkan kuat geser tanah (kenaikan kadar air mengurangi kuat geser tanah yang mengandung lempung) juga menambah beban tanah yang harus ditahan oleh lereng pada bidang longsornya. Beban lereng dapat berupa berat sendiri tanah, tumbuhtumbuhan serta bangunan yang ada pada permukaan tanah, termasuk beban dinamis oleh gempa bumi atau angin.

Daftar Pustaka

Anonymous. 2010. http://boements.heavenforum.com/forum.htm. diakses tanggal 20 september 2010


Hirmawan, F. 1994. Pemahaman Sistem Dinamis Kestabilan Lereng untuk Mitigasi Kebencanaan Longsor. Makalah Penunjang No. 17 Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam. Kerjasama F-Geografi UGM-Bakornas Penanggulanga Bencana, Yogyakarta Zakaria, Zufialdi. 2010. Analisis kestabilan Lereng tanah. http://www.scribd.com/doc/28013183/AnalisisKestabilan-Lereng-Tanah. diakses tanggal 20 september 2010

You might also like