You are on page 1of 48

dari redaksi

perubahan pola hidup termasuk diet harus dilakukan. Pada leading article yang kedua membahas tentang terapi citicoline pada penderita Stroke. Citicoline yang berperan dalam meningkatkan fosfatidilkholin yang dibutuhkan mempertahankan keutuhan fosfolipid membran sel dan glutamin telah teruji melalui berbagai penelitian baik pada hewan maupun pada manusia dalam penanganan stroke. Pada edisi kali ini, kami menampilkan 2 buah rubrik leading article yang pertama mengenai Gout dan Hiperurisemia. Gout dengan latar belakang masalah gangguan metabolik yaitu hiperurisemia, masih menjadi masalah yang serius. Hal ini karena manifestasinya yang tidak terbatas pada sendi, namun juga bisa menimbulkan gangguan fungsi ginjal hingga kondisi gagal ginjal kronik, jantung dan mata. Dengan adanya edukasi yang baik dan

daftar isi
45 Dari Redaksi 46 Petunjuk Penulisan
Leading Article

47 Gout dan Hiperurisemia 55 Efek Terapi Citicoline terhadap Perbaikan


Struktur dan Fungsi Membran Sel Otak pada Penderita Stroke Original Article (Case Report)

Kami tetap menyajikan berbagai article case report dan medical review yang bisa menambah wawasan untuk kalangan dokter. Kami juga menampilkan beberapa liputan acara simposium antara lain Citicoline in Vascular Disease: An Overview dan Comprehensive Management of Cardiovascular Disease in Daily Practice. Selamat membaca!!!! REDAKSI

58 Ekstraksi Benda Asing Laring (Rotan)


dengan Neuroleptik

61 Systemic Mastocytosis 65 Peran Adiponektin terhadap Kejadian


Resistensi Insulin pada Sindrom Metabolik
MEDICINUS

Medical Review

Ketua Pengarah/Pemimpin Redaksi Dr. Raymond R. Tjandrawinata Redaktur Pelaksana Dwi Nofiarny, Pharm., Msc. Staf Redaksi dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni, dr. Lydia Fransisca Hermina Tiurmauli Tambunan, Liana W Susanto, M biomed., dr. Lubbi Ilmiawan, dr. Novita Pangindo Manoppo, dr. Prihatini, Puji Rahayu, Apt., dr. Ratna Kumalasari, Tri Galih Arviyani, SKom. Peer Review Prof.Arini Setiawati, Ph.D, Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D, Prof.Dr.Med. Puruhito,M.D.,F.I.C.S., F.C.T.S, Prof DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK Redaksi/Tata Usaha Jl. RS Fatmawati Kav 33, Cilandak, Jakarta Selatan Tel. (021) 7509575, Fax. (021) 75816588, Email: medical@dexa-medica.com

71 Nyeri dan Sistem Imun: Sejauh Mana


Keterkaitannya - Suatu Tinjauan Molekuler

45

74 Calender Events
Meet the Expert

76 dr. Salim M. Harris, SpS(K) 79 Symposium Events 86 Literatur Services 87 Events

Radang Sendi SUMBANGAN TULISAN Redaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto dan materi lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Redaksi berhak mengedit atau mengubah tulisan/susunan bahasa tanpa mengubah isi yang dimuat apabila dipandang perlu.

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

instructions for authors

Petunjuk Penulisan
Redaksi menerima tulisan asli/tinjauan pustaka, penelitian atau laporan kasus dengan foto-foto asli dalam bidang Kedokteran dan Farmasi. 1. Tulisan yang dikirimkan kepada Redaksi adalah tulisan yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dalam bentuk cetakan. Keaslian dan keakuratan informasi dalam tulisan menjadi tanggungjawab penulis 2. Tulisan berupa ketikan dan diserahkan dalam bentuk disket, diketik di program MS Word dan print-out dan dikirimkan ke alamat redaksi atau melalui e-mail kami. 3. Pengetikan dengan point 12 spasi ganda pada kertas ukuran kuarto (A4) dan tidak timbal balik. 4. Semua tulisan disertai abstrak dan kata kunci (key words). Abstrak hendaknya tidak melebihi 200 kata. 5. Judul tulisan tidak melebihi 16 kata, bila panjang harap di pecah menjadi anak judul. 6. Nama penulis harap di sertai alamat kerja yang jelas. 7. Harap menghindari penggunaan singkatan-singkatan 8. Penulisan rujukan memakai sistem nomor (Vancouver style), lihat contoh penulisan daftar pustaka. 9. Bila ada tabel atau gambar harap diberi judul dan keterangan yang cukup. 10. Untuk foto, harap jangan ditempel atau di jepit di kertas tetapi dimasukkan ke dalam sampul khusus. Beri judul dan keterangan yang lengkap pada tulisan. 11. Tulisan yang sudah diedit apabila perlu akan kami konsultasikan kepada peer reviewer. 12. Tulisan disertai data penulis/curriculum vitae, juga alamat email (jika ada), no. telp/fax yang dapat dihubungi dengan cepat. ConToh PenUliSan DafTaR PUSTaKa Daftar pustaka di tulis sesuai aturan Vancouver, diberi nomor sesuai urutan pemunculan dalam keseluruhan tulisan, bukan menurut abjad. Bila nama penulis lebih dari 6 orang, tulis nama 6 orang pertama diikuti et al. Jumlah daftar pustaka dibatasi tidak lebih dari 25 buah dan terbitan satu dekade terakhir. aRTiKel Dalam jURnal 1. artikel standar Vega KJ,Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996; 124(11):980-3. Lebih dari 6 penulis: Parkin DM, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J Cancer 1996; 73:1006-12 2. Suatu organisasi sebagai penulis The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996; 164:282-4 3. Tanpa nama penulis Cancer in South Africa (editorial). S Afr Med J 1994; 84:15 4. artikel tidak dalam bahasa inggris Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996; 116:41-2 5. Volum dengan suplemen Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82 6. edisi dengan suplemen Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Womens psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97 7. Volum dengan bagian Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6 8. edisi dengan bagian Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 1):377-8 9. edisi tanpa volum Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4 10. Tanpa edisi atau volum Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the cancer patient and the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33 11. nomor halaman dalam angka romawi Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii BUKU Dan monogRaf lain 12. Penulis perseorangan Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996 13. editor sebagai penulis Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New York:Churchill Livingstone; 1996 14. organisasi sebagai penulis Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program. Washington:The Institute; 1992 15. Bab dalam buku Catatan: menurut pola Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p, bukan tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya). Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis and Management. 2nded. New York:Raven Press; 1995.p.465-78 16. Prosiding konferensi Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996 17. makalah dalam konferensi Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.p.1561-5 18. laporan ilmiah atau laporan teknis Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor: Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-cal equipment billed during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860 Diterbitkan oleh unit pelaksana: Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research: Work Force and Education Issues. Washington:National Academy Press; 1995. Contract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and Research 19. Disertasi Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The elderys access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington Univ.; 1995 20. artikel dalam koran Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5) 21. materi audio visual HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): MosbyYear Book; 1995 maTeRi eleKTRoniK 22. artikel jurnal dalam format elektronik Morse SS. Factors in the emergence of infection diseases. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 screens]. Available from: URL:HYPERLINK 23. monograf dalam format elektronik CDI, Clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995 24. arsip komputer Hemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando [FL]: Computerized Educational Systems

46

MEDICINUS

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

leading article

Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPNCM Jakarta

Rudy Hidayat

abstrak. Hiperurisemia dapat menimbulkan manifestasi gout di berbagai jaringan, mulai dari sendi, ginjal, jantung , mata dan organ lain. Artritis gout merupakan manifestasi yang paling banyak, dan perlu penanganan yang komprehensif dan jangka panjang. Upaya mengatasi serangan akut, mencegah serangan berulang dan mencegah berbagai komplikasi lainnya hingga kecacatan menjadi fokus perhatian. Dalam upaya pencegahan komplikasi, selain edukasi yang tepat serta mengubah pola hidup, diperlukan beberapa uratelowering agent seperti allopurinol atau probenesid. Kata kunci: hiperurisemia, gout, artritis, urate-lowering agent

Pendahuluan
Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat darah diatas normal. Secara biokomiawi akan terjadi hipersaturasi yaitu kelarutan asam urat di serum yang melewati ambang batasnya. Batasan hiperurisemia secara ideal yaitu kadar asam urat diatas 2 standar deviasi hasil laboratorium pada populasi normal.1,2 Namun secara pragmatis dapat digunakan patokan kadar asam urat >7 mg% pada laki-laki, dan >6 mg% pada perempuan, berdasarkan berbagai studi epidemologi selama ini. Keadaan hiperurisemia akan beresiko timbulnya arthritis gout, nefropati gout, atau batu ginjal. Hiperurisemia dapat terjadi bisa terjadi akibat peningkatan metabolisme asam urat (overproduction), penurunan ekskresi asam urat urin (underexcretion), atau gabungan keduanya.1,3 Sedangkan gout (pirai) adalah penyakit yang sering ditemukan, merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan, akibat gangguan metabolism berupa hiperurisemia. Manifestasi klinik deposisi urat meliputi arthritis gout, akumulasi kristal di jaringan yang merusak tulang (tofus), batu urat, dan nefropati gout.1,4,5

undersecretion pada 80-90% kasus dan overproduction pada 10-20% kasus.1,3,4,6 Sedangkan kelompok hiperurisemia dan gout sekunder, bisa melalui mekanisme overproduction, seperti ganguan metabolism purin pada defisiensi enzim gucose-6-phosphatase atau fructose-1-phospate aldolase. Hal yang sama juga terjadi pada keadaan infark miokard, status epileptikus, penyakit hemolisis kronis, polisitemia, psoriasis, keganasan mieloproliferatif dan limfoproliferatif; yang meningkatkan pemecahan ATP dan asam nukleat dari inti sel. Sedangkan mekanisme undersecretion bisa ditemukan pada keadaan penyakit ginjal kronik, dehidrasi, diabetes insipidus, peminum alkohol, myxodema, hiperparatiroid, ketoasidosis dan keracunan berilium. Selain itu juga dapat terjadi pada pemakaian obat seperti diuretik, salisilat dosis rendah, pirazinamid, etambutol dan siklosporin.1,3,4,6 Hiperurisemia diketahui juga berkaitan dengan adanya berbagai keadaan gangguan metabolik seperti diabetes melitus, hipertrigliseridemia, obesitas, sindrom metabolik, dan hipotiridism.1 Dan sebaliknya hiperurisemia diduga menjadi faktor risiko hipertensi, aterosklerosis dan penyakit jantung koroner.1,6

47 51

epidemiologi
Prevalensi hiperurisemia kira-kira 2,6-47,2% yang bervariasi pada berbagai populasi. Sedangkan prevalensi gout juga bervariasi antara 1-15,3%. Pada suatu studi didapatkan insidensi gout 4,9% pada kadar asam urat darah >9 mg/dL, 0,5% pada kadar 7-8,9%, dan 0,1% pada kadar <7 mg/dL. Insidensi kumulatif gout mencapai angka 22% setelah 5 tahun, pada kadar asam urat >9 mg/dL.1,4

Patogenesis gout
Kadar asam urat dalam serum merupakan hasil keseimbangan antara produksi dan sekresi. Dan ketika terjadi ketidakseimbangan dua proses tersebut maka terjadi keadaan hiperurisemia, yang menimbulkan hipersaturasi asam urat yaitu kelarutan asam urat di serum yang telah melewati ambang batasnya, sehingga merangsang timbunan urat dalam bentuk garamnya terutama monosodium urat di berbagai tempat/jaringan.1,5 Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur yang lebih rendah seperti pada sendi perifer tangan dan kaki, dapat menjelaskan kenapa kristal MSU (monosodium urat) mudah diendapkan di pada kedua tempat tersebut. Predileksi untuk pengendapan kristal MSU pada metatarsofalangeal-1 (MTP-1) berhubungan juga dengan trauma ringan yang berulang-ulang pada daerah tersebut.5 Awal serangan gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam urat serum, meninggi atau menurun. Pada kadar asam urat yang stabil jarang muncul serangan. Pengobatan dengan allopurinol pada

Penyebab hiperurisemia dan gout


Penyebab hiperurisemia sebagai suatu proses metabolik yang bisa menimbulkan manifestasi gout, dibedakan menjadi penyebab primer pada sebagian besar kasus, penyebab sekunder dan idiopatik. Penyebab primer berarti tidak penyakit atau sebab lain, berbeda dengan kelompok sekunder yang didapatkan adanya penyebab yang lain, baik genetik maupun metabolik. Pada 99% kasus gout dan hiperurisemia dengan penyebab primer, ditemukan kelainan molekuler yang tidak jelas (undefined) meskipun diketahui adanya mekanisme

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

MEDICINUS

awalnya juga dapat menjadi faktor yang mempresipitasi serangan gout akut. Penurunan asam urat serum dapat mencetuskan pelepasan kristal monosodium urat dari depositnya di sinovium atau tofi (crystals shedding). Pelepasan kristal MSU akan merangsang proses inflamasi dengan mengaktifkan kompleman melalui jalur klasik maupun alternatif. Sel makrofag (paling penting), netrofil dan sel radang lain juga teraktivasi, yang akan menghasilkan mediatormediator kimiawi yang juga berperan pada proses inflamasi.1,5

Penyebab hiperurisemia sebagai suatu proses metabolik yang bisa menimbulkan manifestasi gout, dibedakan menjadi penyebab primer pada sebagian besar kasus, penyebab sekunder dan idiopatik. Penyebab primer berarti tidak penyakit atau sebab lain, berbeda dengan kelompok sekunder yang didapatkan adanya penyebab yang lain, baik genetik maupun metabolik.

gambaran Klinik gout dan hiperurisemia


Gambaran klinik dapat berupa:1,5 1. Hiperurisemia asimptomatik Hiperurisemia asimptomatik adalah keadaan hiperurisemia (kadar asam urat serum tinggi) tanpa adanya manifestasi klinik gout. Fase ini akan berakhir ketika muncul serangan akut arthritis gout, atau urolitiasis, dan biasanya setelah 20 tahun keadaan hiperurisemia asimptomatik. Terdapat 10-40% subyek dengan gout mengalami sekali atau lebih serangan kolik renal, sebelum adanya serangan arthritis.1,2 2. Arthritis gout, meliputi 3 stadium: 2.1. Artritis gout akut Serangan pertama biasanya terjadi antara umur 40-60 tahun pada laki-laki, dan setelah 60 tahun pada perempuan. Onset sebelum 25 tahun merupakan bentuk tidak lazim arthritis gout, yang mungkin merupakan manifestasi adanya gangguan enzimatik spesifik, penyakit ginjal atau penggunaan siklosporin. Pada 85-90% kasus, serangan berupa arthritis monoartikuler dengan predileksi MTP-1 yang biasa disebut podagra.2 Gejala yang muncul sangat khas, yaitu radang sendi yang sangat akut dan timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apapun, kemudian bangun tidur terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan. Keluhan monoartikuler berupa nyeri, bengkak, merah dan hangat, disertai keluhan sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah, disertai lekositosis dan peningkatan laju endap darah. Sedangkan gambaran radiologis hanya didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak periartikuler. Keluhan cepat membaik setelah beberapa jam bahkan tanpa terapi sekalipun.1,2,5 Pada perjalanan penyakit selanjutnya, terutama jika tanpa terapi yang adekuat, serangan dapat mengenai sendi-sendi yang lain seperti pergelangan tangan/kaki, jari tangan/kaki, lutut dan siku, atau bahkan beberapa sendi sekaligus. Serangan menjadi lebih lama durasinya, dengan interval serangan

48

yang lebih singkat, dan masa penyembuhan yang lama. Faktor pencetus serangan akut antara lain trauma lokal, diet tinggi purin, minum alkohol, kelelahan fisik, stress, tindakan operasi, pemakaian diuretik, pemakaian obat yang meningkatkan atau menurunkan asam urat. Diagnosis yang definitif/gold standard, yaitu ditemukannya kristal urat (MSU) di cairan sendi atau tofus.1,2,5 Untuk memudahkan penegakan diagnosis arthritis gout akut, dapat digunakan kriteria dari ACR (American College of Rheumatology) tahun 1977:1 A. Ditemukannya kristal urat di cairan sendi, atau B. Adanya tofus yang berisi kristal urat, atau C. Terdapat 6 dari 12 kriteria klinis, laboratoris dan radiologis berikut: 1. Terdapat lebih dari satu kali serangan arthritis akut 2. Inflamasi maksimal terjadi dalam waktu satu hari 3. Arthritis monoartikuler 4. Kemerahan pada sendi 5. Bengkak dan nyeri pada MTP-1 6. Artritis unilateral yang melibatkan MTP-1 7. Artritis unilateral yang melibatkan sendi tarsal 8. Kecurigaan adanya tofus 9. Pembengkakan sendi yang asimetris (radiologis) 10. Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis) 11. Kultur mikroorganisme negative pada cairan sendi Yang harus menjadi catatan, adalah diagnosis gout tidak bisa digugurkan meskipun kadar asam urat darah normal.2,5,7 2.2. Stadium interkritikal Stadium ini merupakan kelanjutan stadium gout akut, dimana secara klinik tidak muncul tanda-tanda radang akut, meskipun pada aspirasi cairan sendi masih ditemukan kristal urat, yang menunjukkan proses kerusakan sendi yang terus berlangsung progresif. Stadium ini bisa berlangsung beberapa tahun sampai 10 tahun tanpa serangan akut. Dan tanpa tata laksana yang adekuat akan berlanjut ke stadium gout kronik.5 2.3. Artritis gout kronik = kronik tofaseus gout Stadium ini ditandai dengan adanya tofi dan terdapat di poliartikuler, dengan predileksi cuping telinga, MTP-1, olekranon, tendon Achilles dan jari tangan. Tofi sendiri tidak menimbulkan nyeri, tapi mudah terjadi inflamasi di sekitarnya, dan menyebabkan destruksi yang progresif pada sendi serta menimbulkan deformitas. Selain itu tofi juga sering pecah dan sulit sembuh, serta terjadi infeksi sekunder. Kecepatan pembentukan deposit tofus tergantung beratnya dan lamanya hiperurisemia, dan akan diperberat dengan gangguan fungsi ginjal dan penggunaan diuretik.1,2 Pada beberapa studi didapatkan data bahwa durasi dari serangan akut pertama kali sampai masuk stadium gout kronik berkisar 3-42 tahun, dengan rata-rata 11,6 tahun.1,2 Pada stadium ini sering disertai batu saluran kemih sampai penyakit ginjal menahun/gagal ginjal kronik.5 Timbunan tofi bisa ditemukan juga pada miokardium, katub jantung, system konduksi,beberapa struktur di organ mata terutama sklera, dan laring.1,2 Pada analisa cairan sendi atau isi tofi akan didapatkan Kristal MSU, sebagai kriteria diagnostik pasti. Gambaran radiologis didapatkan erosi pada tulang dan sendi dengan batas sklerotik dan overhanging edge.1,2

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

Gambar 1. Terbentuknya tofi di berbagai tempat (Sumber: www.goutpal. com/tophi.html. cited at May 5th 2009)

Gambar 2. Kristal MSU pada cairan sendi, dengan mikroskop terpolarisasi (Sumber: www.answer.com/topic/gout. cited at May 5th 2009)

3. Penyakit ginjal Sekitar 20-40% penderita gout minimal mengalamai albuminuri sebagai akibat gangguan fungsi ginjal. Terdapat tiga bentuk kelainan ginjal yang diakibatkan hiperurisemia dan gout:1 1. Nefropati urat, yaitu deposisi kristal urat di interstitial medulla dan pyramid ginjal, merupakan proses yang kronik, ditandai dengan adanya reaksi sel giant di sekitarnya. 2. Nefropati asam urat, yaitu presipitasi asam urat dalam jumlah yang besar pada duktur kolektivus dan ureter, sehingga menimbulkan keadaan gagal ginjal akut. Disebut juga sindrom lisis tumor, dan sering didapatkan pada pasien leukemia dan limfoma pasca kemoterapi. 3. Nefrolitiasis, yaitu batu ginjal yang didapatkan pada 10-25% dengan gout primer.

Penatalaksanaan
Tujuan terapi gout adalah: 1. Menghentikan serangan akut secepat mungkin 2. Mencegah serangan akut berulang 3. Mencegah komplikasi akibat timbunan Kristal urat di sendi, ginjal atau tempat lain Modalitas yang tersedia untuk terapi gout dan hiperurisemia: 1. Edukasi Sebagian besar kasus gout dan hiperurisemia (termasuk hiperurisemia asimptomatik) mempunyai latar belakang penyebab primer, sehingga memerlukan pengendalian kadar asam urat

Sebagian besar kasus gout dan hiperurisemia (termasuk hiperurisemia asimptomatik) mempunyai latar belakang penyebab primer, sehingga memerlukan pengendalian kadar asam urat jangka panjang. Perlu compliance yang baik dari pasien untuk mencapai tujuan terapi di atas, dan hal itu hanya didapat dengan edukasi yang baik. Pengendalian diet rendah purin juga menjadi bagian tata laksana yang penting.

jangka panjang. Perlu compliance yang baik dari pasien untuk mencapai tujuan terapi di atas, dan hal itu hanya didapat dengan edukasi yang baik. Pengendalian diet rendah purin juga menjadi bagian tata laksana yang penting.1,5 2. Terapi serangan akut: kompres dingan, kolkisin, OAINS, steroid, ACTH Pada keadaan serangan akut pemberian kompres dingin dapat membantu mengurangi keluhan nyeri. Semua yang meningkatkan dan menurunkan asam urat harus dikendalikan. Tidak diperbolehkan minum alkohol. Penggunakan obat penurun asam urat dihindari, kecuali sebelumnya sudah mengkonsumsinya secara rutin, maka harus diteruskan dan tidak boleh dihentikan.1 Kolkisin mempunyai efek anti inflamasi yang kuat, namun batas amannya sangat sempit, dan sering menimbulkan efek samping. Secara tradisional dulu kolkisin digunakan pada serangan akut arthritis dengan dosis 0,5-0,6 mg tiap jam peroral sampai terjadi tiga hal yaitu keluhan arthritis membaik; muncul efek samping mual, muntah, diare; atau sudah mencapai dosis maksimal sebanyak 10 dosis. Saat ini para ahli lebih menganjurkan pemberian tiap 2-6 jam sehingga tidak menimbulkan banyak efek samping, dan lebih berharap pada efek prevensi serangan berikutnya. Pemberian kolkisin intravena menjadi alternatif, namun dengan risiko efek samping yang lebih besar. Hati-hati pada gangguan fungsi ginjal.1,8 Terapi dengan obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) menjadi pilihan utama untuk diberikan pada serangan akut dengan dosis yang optimal, dengan syarat fungsi ginjal yang masih baik.6 Jenis OAINS termasuk yang selektif COX-2 tidak terlalu berpengaruh terhadap respon klinik, tapi sebaiknya digunakan yang jenis dengan onset kerja cepat, dan dengan pertimbangan efek sampingnya.1,8 Pemakaian kortikosteroid intrartikuler cukup bermanfaat pada arthritis monoartikuler atau yang melibatkan bursa. Sedangkan kortikosteroid sistemik dapat digunakan terutama pada gangguan fungsi ginjal, atau intoleran dengan kolkisin dan OAINS. Dosis steroid yang diperlukan sesuai dengan prednisone 20-60 mg perhari.1,8 Adrenocorticotropic (ACTH) injeksi intramuskuler dapat mengatasi serangan akut pada pemberian pertama kali, meskipun kadang-kadang diperlukan pengulangan 24-48 jam kemudian.1 3. Kontrol hiperurisemia: xanthine oxidase inhibitors, urikosurik 1,5 agent

49

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

MEDICINUS

Gout dengan latar belakang masalah gangguan metabolik yaitu hiperurisemia, masih menjadi masalah yang serius. Hal ini karena manifestasinya yang tidak hanya terbatas pada sendi, namun juga bisa menimbulkan gangguan fungsi ginjal hingga kondisi gagal ginjal kronik, jantung dan mata. Penegakan diagnosis dan penanganan yang tepat diperlukan untuk meminimalisir berbagai komplikasi akibat keadaan ini.
Kontrol hiperurisemia dilakukan dengan diet rendah purin, serta menghindari obat-obatan yang meningkatkan kadar asam urat serum terutama diuretik.1,8 Selanjutkan diperlukan urate lowering agent seperti golongan xanthine oxidase inhibitor, maupun uricosuric agent, dengan catatan tidak boleh dimulai pada saat serangan akut. Pada hiperurisemia asimptomatik terapi farmakologik dimulai jika kadar asam urat serum >9 mg/dL. Sedangkan pada penderita gout telah diketahui bahwa pemberian urate lowering agent juga menjadi faktor pencetus serangan akut, sehingga diberikan juga kolkisin dosis prevensi 0,6 mg 1-3 kali perhari, atau OAINS dosis rendah, dan dimulai setelah tidak adanya tanda-tanda inflamasi akut.1,8,9 Rilonacept, suatu inhibitor IL-1 sedang dikembangkan sebagai obat pencegah serangan akut pada awal terapi penurun asam urat.10 Target terapi adalah menurunkan kadar asam urat serum sampai di bawah 6,8 mg/dL (lebih baik sampai 5-6 mg/ dL).1,8,9 Jenis urate lowering agent yang pertama yaitu golongan xanthine oxidase inhibitor dengan cara kerja penghambatan oksidasi hipoxantin menjadi xantin, dan xantin menjadi asam urat. Obat yang termasuk golongan ini adalah allopurinol. Diberikan mulai dosis 100 mg/hari dan dinaikkan tiap minggu sampai tercapai target (rata-rata diperlukan minimal 300 mg/hari). Pada gangguan fungsi ginjal dosis harus disesuaikan.1 Jenis obat yang lain seperti febuxostat, non-purine xanthine oxidase inhibitor yang juga cukup poten, maupun pegylated recombinant uricase, masih dikembang-

kan.9,11,12 Sedangkan jenis urate lowering agent yang kedua yaitu golongan uricosuric agent, bekerja dengan cara menghambat reabsorsi urat di tubulus renalis. Yang paling sering dipakai adalah probenesid dan sulfinpirazon. Probenesid dengan dosis 0,5-3 gram dibagi 2-3 kali perhari. Sedangkan sulfinpirazon diberikan dengan dosis 300-400 mg dibagi 3-4 kali perhari. Pemakaian obat urikosurik ini lebih diindikasikan pada keadaan dengan ekskresi asam urat di urin <800 mg perhari, dan dengan fungsi ginjal yang masih baik (creatinine clearance >80ml/menit). Risiko batu ginjal semakin besar pada kadar asam urat di urin yang tinggi. Pada beberapa kasus yang sulit dikendalikan dengan obat tunggal, kombinasi uricosuric agent dan xanthine oxidase inhibitor dapat dibenarkan.1,8,9

Kesimpulan
Gout dengan latar belakang masalah gangguan metabolik yaitu hiperurisemia, masih menjadi masalah yang serius. Hal ini karena manifestasinya yang tidak hanya terbatas pada sendi, namun juga bisa menimbulkan gangguan fungsi ginjal hingga kondisi gagal ginjal kronik, jantung dan mata. Penegakkan diagnosis dan penanganan yang tepat diperlukan untuk meminimalisir berbagai komplikasi akibat keadaan ini. Edukasi yang baik dan perubahan pola hidup termasuk diet harus dilakukan. Selanjutnya diperlukan juga terapi farmakologis untuk serangan akut, terapi pencegahan, dan terapi jangka panjang berupa urate-lowering agent, baik golongan xanthine oxidase inhibitor maupun uricosuric agent.
Wortmann RL. Gout and hyperuricemia. In: Firestein GS, Budd RC, Harris ED, Rudy S, Sergen JS, editors. Kelleys Textbook of Rheumatology. 8thed. Philadelphia:Saunders; 2009.p.1481-506 2. Edward NL. Gout: Clinical features. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH, Editors. 3thed. New York:Springer; 2008.p.241-9 3. Putra TR. Hiperurisemia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.hal.1213-17 4. Poor G, Mituszova M. History, Classification and epidemology of crystalrelated artropathies. In: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH, Editors. Rheumatology. 3rded. Edinburg: Elsevier; 2003.p.18931901 5. Tehupeiroy ES. Artrtritis pirai (artritis gout). Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.hal.1218-20 6. Choi HK. Gout : Epidemology, pathology and pathogenesis. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH, Editors. 13thed. New York:Springer; 2008.p.250-7 7. Gibson T. Clinical features of gout. In: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH, Editors. Rheumatology. 3rded. Edinburg: Elsevier; 2003.p.1919-28 8. Terkeltaub RA. Gout: treatment. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH, Editors. 13thed. New York:Springer;2008.p.258-262 9. Emmerson BT. The Management of gout. In: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH, Editors. Rheumatology. 3rded. Edinburg: Elsevier; 2003.p.1925-36 10. Terkeltaub R, Schumacher H, Sundy J, Murphy F, Bookbinder S, Biedermann S, et al. Placebo-controlled pilot study of rilonacept (IL-1 Trap), A long acting IL-1 inhibitor, in refractory chronic active gouty arthritis. Annual Scientific Meeting 2007; American College of Rheumatology 11. Becker MA, Schumache HR, Wortmann RL, MacDonald PA, Eustace D, Palo WA, et al. Febuxostat compared with Allopurinol in Patients with Hyperuricemia and Gout. NEJM 2005; 353(23):2450-61 12. Chohan S, Becker MA. Update on emerging urate-lowering therapies. Current Opinion in Rheumatology 2009; 21(2):143-9

Daftar Pustaka
1.

50

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

IKLAN PROBENID
MEDICINUS

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

profil product

Citicoline

ORAL

Citicoline

citicoline menunjukkan bahwa pada orang dewasa yang sehat, citicoline diserap secara cepat dan tidak lebih dari 1% yang dapat ditemukan dalam feces. Kadar citicoline dalam darah akan meningkat dengan karakteristik bifasik, yakni 1 jam setelah ingesti secara oral dan 24 jam setelah dosis tersebut diberikan.2

mekanisme aksi Citicoline


Prekursor phospholipid Mekanisme dari peranan citicoline sebagai prekursor membran sel telah banyak dipelajari dalam percobaan dengan hewan. Otak menggunakan citicholine lebih banyak untuk sintesa asetilkolin daripada untuk pembentukan phosphatidylcholine. Bahkan dalam keadaan tingkat choline yang rendah di otak, phospatidylcholine dapat dihidrolisa untuk mendapatkan tambahan choline. Tambahan choline eksogen dapat melindungi struktur dan integritas membran sel.1 Perbaikan membran sel neuron Citicoline telah banyak diteliti sebagai terapi untuk pasien stroke. Terdapat 3 teori yang dipostulatkan mengenai bagaimana citicoline dapat membantu penderita stroke. 1. Perbaikan membran sel saraf melalui peningkatan sintesis phosphatidylcholine. 2. Perbaikan neuron kolinergik yang rusak melalui potensiasi dari produksi asetilkolin. 3. Pengurangan dari penumpukan asam lemak bebas pada fokusfokus kerusakan akibat stroke.1 Selain phosphatidylcholine, citicoline juga merupakan molekul penengah pada sintesis sphingomyelin, suatu molekul struktural membran sel saraf lainnya. Pada suatu studi, citicoline menunjukkan kemampuan untuk memulihkan kerusakan spinghomyelin setelah suatu keadaan ischemia.1 Pengaruh pada Neurotransmitter Pada manusia, citicoline diduga dapat meningkatkan kadar neurotransmitter norepinefrin. Pada suatu studi, metabolit dari norepinefrin meningkat setelah seorang subjek menerima citicoline.1 Pada tikus, citicoline meningkatkan norepinefrin pada cortex cerebri dan hipocampus, dopamin pada corpus striatum, serotonin meningkat pada cortex cerebri, striatum dan hipothalamus, dan diduga juga meningkatkan pelepasan acetylcholine.4
MEDICINUS

53

Pengantar
Citicoline adalah suatu molekul organik kompleks yang merupakan molekul pengantara dalam biosintesis phosphatidylcholine, suatu komponen utama membran sel saraf. Percobaan pemberian citicoline eksogen pada hewan dan pada percobaan klinis pada manusia menunjukkan bahwa citicoline dapat memberikan efek kolinergik dan neuroprotektif. Sebagai suatu suplemen makanan, citicoline menunjukkan kegunaan untuk meningkatkan integritas struktural dan fungsional membran sel saraf dan membantu perbaikan membran sel. Beberapa percobaan klinis pada hewan dan manusia mengindikasikan bahwa potensi ini dapat membantu pemulihan difisiensi kognitif, rehabilitasi stroke, pemulihan dari lesi pada otak dan sumsum tulang belakang, penyakit neurologis, dan beberapa kondisi mata.1

Biokimia
Citicoline tergolong dalam kelompok vitamin B. Molekul ini dapat menjalani 3 jalur yang berbeda dalam metabolismenya dalam tubuh. 1. Sintesa membran sel fosfolipid melalui pembentukan phosphatidylcholine. 2. Sintesis asetilkolin. 3. Oksidasi menjadi "betaine", yang berfungsi sebagai donor metil.1 Pada proses sintesa membran sel fosfolipid, pembentukan citicoline dari choline adalah "rate limiting step". Artinya seluruh sintesa membran sel akan segera terhambat apabila proses ini lambat atau terhenti. Citicoline yang diabsorbsi dalam pencernaan akan diserap dalam bentuk choline dan cystidine. Choline yang diserap akan menjadi cadangan choline tubuh untuk mempertahankan membran sel dan juga mencegah disintegrasinya.1

Penggunaan Klinis
Rehabilitasi Pasca Stroke Pada keadaan stroke dan dalam pemulihannya, seringkali sintesis membran sel terganggu, termasuk pembentukan phosphatidylcholine. Citicoline agaknya membantu dengan meningkatkan pembentukan phosphatidylcholine dengan menyediakan choline.3

farmakokinetik
Bioavaibilitas citicoline oral lebih dari 90%.1 Studi pada farmakokinetik

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

Citicoline

ORAL

Stroke Iskemia Terdapat beberapa uji klinis yang membuktikan bahwa citicoline dapat memberikan manfaat pada pasien stroke iskemik. Citicoline dapat meningkatkan pemulihan kesadaran dan tingkat kesadaran pada pasien pasca stroke pada 2 minggu masa pemulihan.4 Uji klinis lainnya mendapatkan hasil serupa, yakni peningkatan fungsi saraf pada pasien pasca stroke berupa peningkatan kekuatan otot, ambulasi dan kognisi. Pada studi ini disimpulkan bahwa pemberian citicoline pada 24 jam pasca stroke dapat meningkatkan pemulihan setelah 3 bulan.5 Studi lainnya juga mendapatkan hasil bahwa terapi dengan citicoline dapat membantu kemungkinan penyembuhan dan pemulihan pasien pasca stroke hingga hampir 2 kali lipat dalam waktu 12 minggu.1 Stroke Hemoragis Keamanan dan efektivitas citicoline diperiksa pada suatu uji klinis terhadap stroke hemoragis. Pasien yang diberikan citicoline tidak menunjukkan adanya efek samping yang berarti dibandingkan dengan placebo. Pada studi ini, citicoline dapat membantu pasien memperoleh kemandiriannya pasca stroke.1 Defisiensi Kognitif Pada uji klinis, beberapa pasien manula yang mengalami gangguan ingatan ringan hingga sedang mengalami perbaikan dalam kemampuan kognitifnya, terutama dalam kemampuan untuk memperhatikan. Efek ini diduga berkaitan dengan neurotransmitter dopamine. Citicoline juga menunjukkan potensi untuk meningkatkan kemampuan verbal pada pasien usia lanjut dengan dosis sekitar 2.000 mg citicoline per hari dan terbukti bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan mengingat pasien lanjut usia apabila diberikan secara oral selama 1 bulan. Secara umum dikatakan bahwa citicoline meningkatkan ingatan dan perilaku yang berkenaan dengan ingatan.1 Alzheimer's Disease Citicoline menunjukkan kemampuan untuk meningkatkan kemampuan kognitif, terutama kemampuan orientasi spasial temporal pada penderita Alzheimer's Disease. Pada uji klinis lainnya, citicoline menurunkan kadar IL 1 beta pada penderita AD setelah penggunaan citicoline selama 3 bulan.1 Terapi pada Kerusakan Sistem Saraf Citicoline diharapkan mampu membantu rehabilitasi memori pada pasien dengan luka pada kepala dengan cara membantu dalam pemulihan darah ke otak. Studi klinis menunjukkan peningkatan kemampuan kognitif dan motorik yang lebih baik pada pasien yang terluka di kepala dan mendapatkan citicoline. Citicoline juga meningkatkan pemulihan ingatan pada pasien yang mengalami gegar otak.1

Penelitian hewan menunjukkan pemulihan dari kerusakan saraf tulang belakang akibat trauma yang lebih baik apabila hewan tersebut diberikan citicoline.1 Kelainan Bipolar dan pemakaian Napza Citicoline dapat memperbaiki memori dan mengurangi pengunaan kokain pada pasien yang menderita kelainan bipolar (bipolar disorder) akibat pemakaian kokain. Dosis yang digunakan bertingkat dari 500 mg pada minggu pertama, 1.000 mg pada minggu kedua, 1.500 mg pada minggu ketiga dan 2.000 mg pada minggu ke 6 hingga 12.1 Kondisi Lainnya Suatu studi klinis menunjukkan bahwa citicoline dapat mengurangi gejala bradykinesia dan kekakuan pada pasien penderita Parkinsons disease yang diberikan citicoline setiap harinya.1 Citicoline juga dapat meningkatkan fungsi retina dan fungsi penglihatan pada pasien dengan glaucoma.1 Percobaan pada hewan menunjukkan efek perlindungan citicoline terhadap neuropati berupa hipersensitivitas dan hiposensitivitas yang disebabkan diabetes.6

54

MEDICINUS

Toksisitas
Citicoline merupakan molekul yang relatif aman untuk dikonsumsi. Pada manusia, gejala-gejala yang pernah dilaporkan hanya berkaitan dengan pencernaan seperti diare dan beberapa gangguan vaskular ringan seperti sakit kepala. Pada kasus yang diteliti, tidak ada perubahan yang berarti dalam hematologi, biokimia, ataupun uji neurologi. Pada percobaan dengan hewan, tidak dapat ditemukan gejala sakit yang dapat diamati setelah penggunaan citicoline melalui rute oral, meskipun dengan dosis terbanyak yang masih mungkin.1

Dosis
Dosis yang dianjurkan untuk penggunaan secara klinis adalah antara 500 mg hingga 2.000 mg tiap hari.

Referensi

1. Anonim. Citicoline monograph. Alternative Medicine Review 2008; 13:50-7 2. Rao AM, Hatcher JF, Dempsey RJ. CDP-choline: neuroprotection in transient forebrain ischemia of gerbils. J Neurosci Res 1999; 58:697-705 3. Adibhatla RM, Hatcher JF, Dempsey RJ. Cytidine-5-disphosphocholine affects CTP-phosphocholine cytidylyltransferase and lyso-phosphatidylcholine after transient brain ischemia. J Neurosci Res 2004; 76:390-6 4. Tazaki Y, Sakai F, Otomo E, et al. Treatment of 21. Acute cerebral infarction with a choline precursor in a multicenter double-blind placebo-controlled study. Stroke 1988; 19:211-6 5. Davalos A, Castillo J, Alvarez-Sabin J, et al. Oral 22. Citicoline in acute ischemic stroke: an individualpatient data pooling analysis of clinical trials. Stroke 2002; 33:2850-7 6. Kamei J, Ohsawa M, Miyata S, Endo K, Hayakawa H. Effects of cytidine 5'-diphosphocholine (CDP-choline) on the thermal nociceptive threshold in streptozotocin-induced diabetic mice. Eur J Pharmacol. 2008 Nov 19; 598(1-3):32-6

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

leading article

Departemen Neurologi, RSUPNCM/FKUI Jkarta

Jan S Purba

55 11 57

abstrak. Stroke yang diakibatkan oleh interupsi aliran darah ke otak menyebabkan angka kematian dan kecacatan dari jutaan manusia. Interupsi aliran darah ini kecuali mengakibatkan kekurangan oksigen dan nutrisi akan mengakibatkan berjenis reaksi biokimiawi sebagai penyebab kematian sel. Kematian sel ini mengakibatkan tanda-tanda klinis berupa gangguan neurologik. Citicoline yang merupakan bahan dasar yang essensial dibutuhkan untuk biosintesis fosfatidilkholine, komponen dari struktur membran neuron untuk dapat berfungsi dalam komunikasi internal dari sistem susunan saraf pusat. Citicoline berperan terhadap pembentukan kholin berguna sebagai biosintesis asetilkholin dan fosfolipid membran neuron dalam hal ini fosfotidilkholine. Citicoline di absorsi di saluran pencernaan dan bisa melewati sawar darah otak. Pemberian citicoline pada penelitian hewan maupun manusia terbukti berperan sebagai kholinergi dan neuroprotektor yang efektif.

Pendahuluan
Stroke merupakan tanda klinis yang disebabkan oleh terhambatnya atau terputusnya aliran darah ke otak sehingga kebutuhan nutrisi serta oksigen terganggu atau terputus. Stroke bisa diakibatkan oleh penyumbatan pembuluh darah di otak yang disebut sebagai stroke iskemik atau bisa akibat pecahnya pembuluh darah di otak yang dikenal sebagai stroke hemorhagik. Akibat terputusnya suplai ini maka sel saraf akan menjadi mati apakah dalam bentuk nekrosis ataupun juga apoptosis.1 Kematian sel ini mengakibatkan tanda-tanda klinis berupa gangguan neurologik. Menurut statistik stroke menyebabkan angka kematian diurutan nomor tiga di dunia setelah penyakit jantung dan kanker. Dari perhitungan statistik angka kecacatan yang permanen mencapai 70% mengalami kecacatan yang ringan dan sisanya sekitar 30% hidup penderita tergantung dari bantuan pihak kedua.2 Walaupun berat otak hanya sekitar 2% dari berat keseluruhan tubuh akan tetapi otak membutuhkan bahan energi sekitar 20% dari kebutuhan tubuh keseluruhan. Secara neuro anatomik daerah otak yang diakibatkan iskemik

dibedakan atas dua bagian yakni core daerah yang infark, serta daerah disekitar core yang disebut sebagai penumbra.3 Kematian sel pada core dan penumbra mempunyai karakteristik yang berbeda yang bisa akibat nekrosis atau apoptosis.1 Secara fisiologik akibat perfusi yang defisit di daerah core menyebabkan gagalnya proses metabolisme serta keseimbangan ion yang berawal dari gangguan suplai energi sel otak. Kesemuanya ini mengakibatkan kehilangan integritas sel dalam beberapa menit setelah onset stroke. Pada penumbra beberapa residu perfusi masih berfungsi melalui sirkulasi kolateral akan tetapi juga tidak memungkinkan mempertahankan metabolisme secara penuh. Hal ini mengakibatkan bertambahnya volume infark dalam kurun waktu yang lama.3

Peran eksitatorik pada Patologi Kematian neuron


Gangguan potensial elektris berupa depolarisasi dari neuron dan glia sebagai akibat dari defisit enegi secara local, menyebabkan terjadinya aktivasi dari voltage-gated kanal Ca++ di neuron serta diiringi oleh sekresi asam amino eksitatorik ke ekstra seluler dalam hal ini ke sinapsis. Akibatnya reseptor glutamat N-metil-D-aspartat (NMDA) dan

Vol. 21, No.4, Edisi November - Desember 2008

MEDICINUS

Abstract. Strokes lead to death or permanent disabilities for millions of people every year when an interruption of the flow of blood to brain cells deprives them of vital oxygen and nutrients. Deprivation of oxygen and nutrients results in a series of biochemical events, leading eventually to cell death and often devastating functional neurological disturbances. Damaging and dying brain cells are very actively using an internal communications network. Most drugs work by interfering with molecules that play important roles within these networks. Citicoline is an essential intermediate in the biosynthesis of phosphatidylcholine, an important component of the neural cell membrane as a part of internal communication network. Produced endogenously, citicoline serves as a choline donor in the metabolic pathways for biosynthesis of acetylcholine and neuronal membrane phospholipids, chiefly phosphatidylcholine. The principal components of citicoline, choline and cytidine, are readily absorbed in the GI tract and easily cross the blood-brain barrier. Exogenous citicoline, has been researched in animal experiments and human clinical trials that provide evidence of its cholinergic and neuroprotective actions.

-amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoksasolproprionat (AMPA) menjadi aktif memacu Ca++ masuk ke dalam sel. Selanjutnya reseptor metabotropik glutamat juga menjadi aktif dengan memblok induksi fosfolipase C dan inositol trifosfat menyebabkan mobilisasi Ca++ yang telah tersimpan di dalam sel. Untuk seterusnya aktivasi reseptor AMPA yang berlebihan juga mengakibatkan gangguan homeostasis diiringi masuknya cairan H2O ke dalam sel sebagai penyebab edema toksik. Kesemuanya ini merupakan faktor penyebab sel lisis yang disebut sebagai nekrosis. Selain itu secara molekuler aktivasi dari fosfolipase, hidroksil fosfolipid skresi asam arakhidonik serta peroksidase lipid berperan juga sebagai penyebab dari kematian sel pada stroke.4,5 Keberadaan asam arakhidonik serta metabolismenya akan menyebabkan terbentuknya oksidan reactive species (ROS) beserta jajarannya4,5,6 memicu terjadinya apoptosis.7 Kejadian ini terjadi pada sel-sel di core sementara sel di penumbra kondisinya agak berbeda dengan yang ditemukan di core di mana kematian sel di penumbra sering akibat terjadinya apoptosis dan inflamasi.8,9

dilkholin, 2) terjadi pemecahan asam lemak bebas di sekitar trauma yang nantinya sebagai penyebab edema dan inflamasi, 3) kehilangan asetilkholin yang berperan sebagai neurotransmisi antar sel di SSP.21,22 Terbentuknya asam arakhidonik serta terjadinya kerusakan fosfolipid yang disebabkan oleh aktivasi enzim fosfolipase yang ditemukan pada iskemik mengakibatkan kerusakan yang berlanjut dari sel neuron.22-24

Peran Citicoline sebagai neuroprotektif


Salah satu tindakan untuk mencegah kerusakan sel otak akibat iskemik selain memperbaiki sirkulasi ke daerah yang infark juga dengan menjaga keutuhan dan memperbaiki komponen membran sel itu sendiri, mencegah enzim fosfolipase yang berperan dalam pemecahan fosfolipid dan pembentukan asam arakhidonat serta mencegah pembentukan radikal bebas. Memperbaiki komponen membran berarti juga menurunkan kegiatan aktivitas fosfolipase dengan demikian menjaga keutuhan fosfolipid dan meningkatkan pembentukan fosfotidilkholin sebagai komponen dari sel membran. Seperti disebut di atas iskemik mengakibatkan kerusakan fosfolipid pada membran sel atau kehilangan fosfatidilkholin, terbentuknya asam arakhidonik akibat pemecahan asam lemak bebas di sekitar trauma yang nantinya sebagai penyebab edema dan inflamasi. Selain itu terjadi kehilangan asetilkholin yang berperan sebagai neurotransmisi antar sel di SSP. Pemberian citicoline pada hewan percobaan mengurangi edema serta meminimalkan pemecahan fosfolipid yang berarti 25 menekan pemecahan asam lemak bebas terutama asam arakhidonik.21,22 Dengan mencegah pelepasan asam arakhidonik berarti juga mencegah proses inflamasi. Citicoline merupakan bahan dasar dari biosintese turunan fosfotidilkholine dari fosfolipid di sel membran.25 Citicoline berfungsi untuk menekan pelepasan asam arakhidonik dan mencegah kerusakan fosfolipid 5,22a setelah terjadi iskhemik.5,22a Citicholine bisa meningkatkan sintese fosfatidilkholin26 dan sfingomielin pada sel dengan kondisi iskhemik22a,23,24 serta menekan aktivitas 26 fosfolipase A2.27 Aktivitas dari fosfolipase yang meningkat saat iskemik diakibatkan oleh lepasnya gutamat yang menstimulasi reseptor NMDA di post sinaptik men22a,23,24 gakibatkan peningkatan intraseluler Ca++ sehingga terjadi hidrolisis dari fosfolipid serta lepasnya asam lemak bebas.28 Selanjutnya citicoline dalam proses me27 tabolismenya akan membentuk kolin, di mana kolin nantinya akan dirubah menjadi glutation. Glutation adalah salah satu antioksidan endogen primer dalam tubuh yang berperan sebagai sistem pertahanan sel otak terhadap serangan radikal bebas. Reduksi jumlah antioksidan glutation ternyata memang ditemukan pada serebral iskemik.29 Proses metabolisme asam arakhidonat pada kondisi iskemik menstimulasi pembentukan radikal bebas serta menekan kegiatan dari antioksidan endogen. Pemberian citicoline berguna sebagai neuroproteksi pada iskemik karena bersifat sebagai bahan pengadaan kardiolipin dan sfingomielin, sumber fosfatidilkholin serta stimulasi sintesis glutation sebagai endogen antioksidan, dan menjamin keseimbangan aktivitas Na+K+-ATPase.30 Dari penjelasan di atas dan dari hasil beberapa penelitian mem-

Peran oksigen dan Radikal Bebas


Konsekuensi dari iskemik dan gangguan reperfusi ini mengakibatkan terbentuknya radikal bebas seperti superoksida, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil. Nitric oxide (NO) sendiri terbentuk melalui aktivasi NOS. Sumber lain akibat pemecahan produksi adenosine diphosphate (ADP) melalui oksidasi xantine dan reaksi iron-catalysed Haber-Weiss. Radikal bebas yang beragam ini akan bereaksi dengan komponen seluler seperti karbohidrat, asam amino, DNA, fosfolipid mengakibatkan percepatan kematian sel-sel tersebut.10 Selanjutnya akibat hipoksia dan keseimbangan ion Ca++ yang terganggu serta keberadaan radikal bebas akan merusak fungsi mitokhondria di neuron. Insufisiensi adenosine three phosphate (ATP) sebagai sumber energi juga akan mengakibatkan pembengkakan mitokhondria yang selanjutnya akan menyebabkan terbentuknya radikal bebas sebagai pemicu terjadinya apoptosis.8,11,12

56

inflamasi pada insufisiensi energi dan oksigen

Tingkat awal dari inflamasi dimulai beberapa jam sesudah onset iskemik melalui ekspresi adesi molekul di endotelium pembuluh darah. Hal ini ditandai dengan keberadaan leukosit di sirkulasi darah. Leukosit bergerak melewati endotelium keluar dari sirkulasi dan penetrasi kejaringan parenkhim otak yang mengakibatkan reaksi inflamasi.13-15 Bagian mayoritas dari inflamasi ditentukan oleh populasi dari sel mikroglia yang disebut juga sebagai efektor imun dari susunan saraf pusat (SSP). Mikroglia adalah fagositik aktif yang mensekresi proinflamasi serta bermacam enzim. Inhibisi terhadap aktivitas mikroglia berefek protektif pada stroke eksperimental16 dan pemberian sitokin antagonis bisa mengurangi volume infark pada hewan percobaan.17 Kelompok sitokin yang bersifat sebagai antiinflamasi seperti tumor growth factor-1 beta (TGF-1 beta), IL-10 sebagai neuroprotektif juga menjadi aktif terhadap stimulasi mikroglia.18-20 Di pihak lain secara molekuler patologis akibat iskemik maka terjadi: 1). kerusakan fosfolipid pada membran sel atau kehilangan fosfati-

Citicoline merupakan bahan dasar dari biosintese turunan fosfotidilkholine dari fosfolipid di sel membrane. Citicoline berfungsi untuk menekan pelepasan asam arakhidonik dan mencegah kerusakan fosfolipid setelah terjadi iskhemik. Citicholine bisa meningkatkan sintese fosfatidilkholin dan sfingomielin pada sel dengan kondisi iskhemik serta menekan aktivitas fosfolipase A2.

MEDICINUS

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

buktikan bahwa penggunaan citicoline pada penderita stroke mendasar pada efek sebagai neuroprotektor serta radikal bebas yang diakibatkan oleh iskemik.31-34

Kesimpulan
Proses kematian sel saraf akibat terhambatnya aliran darah ke otak untuk suplai nutrisi dan oksigen berefek pada terjadinya proses biokimiawi di sel otak. Proses biokimiawi ini berupa terjadinya pemecahan fosfolipid, aktivasi enzim serta terbentuknya aksidan. Tanpa penanggulangan yang cepat dan tepat akan proses biokimiawi ini akan berjlanjut secara berantai sehingga kematian sel berupa nekrosis dan apoptosis akan berlanjut. Citicoline yang berperan dalam meningkatkan fosfatidilkholin yang dibutuhkan mempertahankan keutuhan fosfolipid membran sel dan glutamin telah teruji melalui berbagai penelitian baik pada hewan maupun pada manusia dalam penanganan stroke.

Daftar Pustaka
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

8. 9. 10.

11. 12. 13. 14.

Kristal BS and Brown AM. Apoptogenic Ganglioside GD3 Directly Induces the Mitochondrial Permeability Transition. Biol Chem, 1999; 274: 2316923175. Asia Pacific Consensus Forum on Stroke Management. Organizing Committees (Program, Advisory, and Local). Stroke 29:1730-1736, 1998. Astrup J, Siesjo BK, Symon L. Thresholds of ischemia; the ischemic penumbra. Stroke 1981; 12: 723-725. Rao AM, Hatcher JF, Kindy MS, Dempsey RJ. Arachidonic acid and leukotriene C4: role in transient cerebral ischemia of gerbils. Neurochem Res 1999; 24:12251232. Rao AM, Hatcher JF, Dempsey RJ. Neuroprotection by group I metabotropic glutamate receptor antagonists in forebrain ischemia of gerbil. Neurosci Lett. 2000; 293: 14. Katsuki H, Okuda S. Arachidonic acid as a neurotoxic and neurotrophic substance. Prog Neurobiol. 1995; 46: 607636. Urabe T, Yamasaki Y, Hattori N, Yoshikawa M, Uchida K, Mizuno Y. Accumulation of 4-hydroxynonenal-modified proteins in hippocampal CA1 pyramidal neurons precedes delayed neuronal damage in the gerbil brain. Neuroscience. 2000; 100: 241250. Dirnagl U, Iadecola C, Moskowitz MA. Pathobiology of ischaemic stroke: an integrated view. Trends Neurosci 1999;22:391-397. Lo EH, Dalkara T, Moskowitz MA. Mechanisms, challenges and opportunities in stroke. Nat Rev Neurosci. 2003;4:399-414. Adibhatla RM, Hatcher JF, Larsen EC, Chen X, Sun D, Tsao FH. CDP-choline significantly restores phosphatidylcholine levels by differentially affecting phospholipase A2 and CTP: phosphocholine cytidylyltransferase after stroke. J Biol Chem. 2006;281:6718-6725 Sims NR and Anderson MF. Mitochondrial contributions to tissue damage in stroke. Neurochem Int 2002; 40: 511-526 Kamiya T, Jacewicz M, Nowak TS, Jr, and Pulsinelli WA. Cerebral Blood Flow Thresholds for mRNA Synthesis After Focal Ischemia and the Effect of MK801. Stroke 2005; 36: 2463 - 2467 Becker KJ. Targeting the central nervous system inflammatory response in ischemic stroke. Curr Opin Neurol. 2001;14:349-353 Emsley HC, Tyrrell PJ. Inflammation and infection in clinical stroke. J Cer-

ebral Blood Flow Metab 2002; 22: 1399-1419. 15. Del Zoppo G, Ginis I, Hallenbeck JM, Iadecola C, Wang X, and Feuerstein GZ. Inflammation and stroke: putative role for cytokines, adhesion molecules and iNOS in brain response to ischemia. Brain Pathol 10: 95-112, 2000. 16. Yrjnheikki J, Tikkat, Keinnen R, Goldsteins G, Chan PH and Koistinaho K. A tetracycline derivative, minocycline, reduces inflammation and protects against focal cerebral ischemia with a wide therapeutic window. Proc Natl Acad Sci U S A. 1999; 96: 13496-13500. 17. Nawashiro H, Tasaki K, Ruetzler CA, Hallenbeck JM. TNF- pretreatment induces protective effects against focal cerebral ischemia in mice. J Cereb Blood Flow Metab 1997; 17: 483-490 18. Bogdan C., Paik, J., Vodovotz, Y., and Nathan, C. IL-10 reduces rat brain injury following focal stroke J Biol Chem1992; 267: 23301-23308 19. Strle K, Zhou J H, Shen W H, et al. Interleukin-10 in the brain. Crit Rev Immunol 2001;21:427-449 20. Prehn JH. Transforming growth factor beta 1 prevents glutamate neurotoxicity in rat neocortical cultures and protects mouse neocortex from ischaemic injury in vivo. J Cereb Blood Flow Metab 1993;13:521-525. 21. Weiss GB. Metabolism and actions of CDP-choline as an exogenous compound and administered exogenously as citicoline. Life Sciences 1995; 56; 637-660. 22. Rao AM, Hatcher JF, Dempsey RJ. CDP-choline: neuroprotection in transient forebrain ischemia of gerbils. J Neurosci Res 1999; 58: 697-705. 22a.Rao AM, Hatcher JF, Dempsey RJ. Lipid metabolism in ischemic neuronal death. Recent Res Devel Neurochem. 1999; 2: 533549. 23. Stoffel W, Melzner I. Studies in vitro on the biosynthesis of ceramide and sphingomyelin: a reevaluation of proposed pathways. Hoppe Seylers Z Physiol Chem 1980; 361: 755771. 24. Vos JP, Dehaas CGM, Vangolde LMG, Lopescardozo M. Relationships between phosphatidylcholine, phosphatidylethanolamine, and sphingomyelin metabolism in cultured oligodendrocytes. J Neurochem 1997; 68: 12521260. 25. de la Morena E. Efficacy of CDP-choline in the treatment of senile alterations in memory. Ann N Y Acad Sci 1991; 640: 233-236. 26. Cui Z, Houweling M, Chen MH, et al. A genetic defect in phosphatidylcholine biosynthesis triggers apoptosis in Chinese hamster ovary cells. J Biol Chem 1996; 271: 1466814671. 27. Arrigoni E, Averet N, Cohadon F. Effects of CDP-choline on phospholipase A2 and cholinephosphotransferase activities following a cryogenic brain injury in the rabbit. Biochem Pharmacol 1987; 36: 36973700. 28. Hofmann K, Dixit VM. Ceramide in apoptosis: does it really matter? Trends Biochem Sci 1998; 23: 374377. 29. Shivakumar BR, Kolluri SV, Ravindranath V. Glutathione and protein thiol homeostasis in brain during reperfusion after cerebral ischemia. J Pharmacol Exp Ther 1995; 274: 11671173. 30. Adibhatla RM, Hatcher JF. Citicoline Mechanisms and Clinical Efficacy in Cerebral Ischemia. J Neurosci Res 2002; 70:133139. 31. Adibhatla RM, Hatcher JF, Dempsey RJ. Effects of citicoline on phospholipids and glutathione levels in transient cerebral ischemia. Stroke 2001; 32: 23762381. 32. Adibhatla RM, Hatcher JF, Dempsey RJ. Citicolone : neuroprotective mechanisms in cerebral ischemia. J Neurochem 2002; 80: 12-23. 33. Davalos A, Castillo J, Alvarez-Sabin J et al. Oral citicoline in acute ischemic stroke. An individual patient data pooling analysis of clinical trials. Stroke 2002; 33: 2850-2857. 34. Conant R and Schauss AG. Therapeutic applications of citicoline for stroke and cognitive dysfunction in the elderly: A Review of the Literature. Alternative Med Rev 2004; 9: 17-31

57

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

original article
case report

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran UNHAS / RS. dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

M. Fadjar Perkasa

abstrak. Dilaporkan satu kasus benda asing supraglotis (rotan) yang berhasil di ekstraksi dengan cunam/forceps lurus dengan neuroleptic anesthesia. Penderita mengeluh suara parau (disfonia), namun tidak sesak sejak tertelan rotan yang secara tidak sengaja masuk melalui rongga hidung kemudian tertelan. Pada pemeriksaan laringoskopi indirek tampak benda asing yaitu rotan tertancap pada commissura anterior yang arahnya sejajar dengan plica vocalis kanan. Evaluasi nasoendoskopi memperlihatkan bahwa plica vocalis dapat bergerak baik dan menutup rapat dengan keluhan disfoni berkurang tanpa komplikasi. Penderita dipulangkan disfonia berkurang tanpa komplikasi. Penderita dipulangkan pada hari kedua pascaoperasi dalam keadaan baik.
MEDICINUS Kata kunci : benda asing rotan, neuroleptic anesthesia, nasoendoskopi

Pendahuluan
Benda asing jalan napas merupakan masalah klinis yang memiliki tantangan tersendiri, meskipun belakangan ini telah terjadi kemajuan besar dalam teknik anestesi dan instrumentasi, ekstraksi benda asing jalan napas bukanlah merupakan suatu prosedur yang mudah dan tetap memerlukan keterampilan serta pengalaman dari dokter yang melakukannya.1 Benda asing dalam suatu organ dapat terbagi atas benda asing eksogen (dari luar tubuh) dan benda asing endogen (dari dalam tubuh) yang dalam keadaan normal benda tersebut tidak ada.2 Secara statistik, persentase aspirasi benda asing berdasarkan letaknya masing-masing adalah; hipofaring 5%, laring/trakea 12%, dan bronkus sebanyak 83%. Kebanyakan kasus aspirasi benda asing terjadi pada anak usia <15 tahun; sekitar 75% aspirasi benda asing terjadi pada anak usia 13 tahun. Rasio laki-laki banding wanita adalah 1,4 : 1.3-5 Pada benda asing laring, dapat dipergunakan kateter insuflasi yang dipasang melalui hidung dengan bagian ujung di dalam hipofaring untuk mempertahankan keadaan anestesia dan oksigenasi. Ujung laringoskop kemudian ditempatkan pada vallecula untuk melihat seluruh struktur laring dan untuk melihat benda asing di dalam laring, sehingga dapat dikeluarkan dengan menggunakan forceps yang sesuai. Setelah tindakan ekstraksi benda asing, laring dievaluasi kembali untuk mencari kemungkinan adanya benda asing lainnya.3

58

traksi gigi, belum tumbuhnya gigi molar pada anak usia kurang dari 4 tahun Faktor kejiwaan, antara lain; emosi, gangguan psikis Ukuran, bentuk dan sifat benda asing Faktor kecerobohan, antara lain; meletakkan benda asing di mulut, persiapan makanan yang kurang baik, makan atau minum tergesa-gesa, makan sambil bermain, memberikan kacang atau permen pada anak yang gigi molarnya belum tumbuh.

Patogenesis3
Setelah benda asing teraspirasi, maka benda asing tersebut dapat tersangkut pada 3 tempat anatomis yaitu, laring, trakea atau bronkus. Dari semua aspirasi benda asing, 8090% diantaranya terperangkap di bronkus dan cabang-cabangnya. Pada orang dewasa, benda asing bronkus cenderung tersangkut di bronkus utama kanan, karena sudut konvergensinya yang lebih kecil dibandingkan bronkus utama kiri. Benda asing yang lebih besar lebih banyak tersangkut di laring atau trakea.

gejala Klinis1-4,6
Gejala sumbatan benda asing di dalam saluran napas tergantung pada lokasi benda asing, derajat sumbatan (total atau sebagian), sifat, bentuk dan ukuran benda asing. Benda asing yang masuk melalui hidung dapat tersangkut di hidung, nasofaring, laring, trakea dan bronkus. Benda yang masuk melalui mulut dapat tersangkut di orofaring, hipofaring, tonsil, dasar lidah, sinus piriformis, esofagus atau dapat juga tersedak masuk ke dalam laring, trakea dan bronkus. Gejala yang timbul bervariasi, dari tanpa gejala hingga kematian sebelum diberikan pertolongan akibat sumbatan total. Seseorang yang mengalami aspirasi benda asing saluran napas akan mengalami 3 stadium. Stadium pertama merupakan gejala permulaan yaitu batuk-batuk hebat secara tiba-tiba (violent paroxysms of coughing), rasa tercekik (choking), rasa tersumbat di tenggorok (gagging) dan obstruksi jalan napas yang terjadi dengan segera. Pada sta-

faktor-faktor Predisposisi2
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing ke dalam saluran napas, antara lain: Faktor individual; umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial, tempat tinggal. Kegagalan mekanisme proteksi yang normal, antara lain; keadaan tidur, kesadaran menurun, alkoholisme dan epilepsi. Faktor fisik; kelainan dan penyakit neurologik. Proses menelan yang belum sempurna pada anak. Faktor dental, medical dan surgical, misalnya tindakan bedah, eks-

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

dium kedua, gejala stadium permulaan diikuti oleh interval asimtomatis. Hal ini karena benda asing tersebut tersangkut, refleks-refleks akan melemah dan gejala rangsangan akut menghilang. Stadium ini berbahaya, sering menyebabkan keterlambatan diagnosis atau cenderung mengabaikan kemungkinan aspirasi benda asing karena gejala dan tanda yang tidak jelas. Pada stadium ketiga, telah terjadi gejala komplikasi dengan obstruksi, erosi atau infeksi sebagai akibat reaksi terhadap benda asing, sehingga timbul batuk-batuk, hemoptisis, pneumonia dan abses paru. Benda asing di laring dapat menutup laring, tersangkut di antara pita suara atau berada di subglotis. Gejala sumbatan laring tergantung pada besar, bentuk dan letak (posisi) benda asing. Sumbatan total di laring akan menimbulkan keadaan yang gawat biasanya kematian mendadak karena terjadi asfiksia dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan oleh timbulnya spasme laring dengan gejala antara lain disfonia sampai afonia, apnea dan sianosis. Sumbatan tidak total di laring dapat menyebabkan disfonia sampai afonia, batuk yang disertai serak (croupy cough), odinofagia, mengi, sianosis, hemoptisis, dan rasa subjektif dari benda asing (penderita akan menunjuk lehernya sesuai dengan letak benda asing tersebut tersangkut) dan dispnea dengan derajat bervariasi. Gejala ini jelas bila benda asing masih tersangkut di laring, dapat juga benda asing sudah turun ke trakea, tetapi masih menyisakan reaksi laring oleh karena adanya edema.

laporan Kasus
Nama Umur Jenis kelamin Alamat MRS tanggal : Tn. S : 27 tahun : laki-laki : Kendari : 18 Desember 2007

Seorang pria 27 tahun, datang dengan suara serak yang dialami sejak 1 bulan lalu setelah tertelan rotan saat menebang dahan rotan. Pada awalnya rotan masuk ke dalam rongga hidung kanan, kemudian penderita mencoba mengeluarkan dahan rotan tersebut dengan cara memotong hingga sependek mungkin, akibatnya terjadi perdarahan hidung di mana masih ada sisa potongan dahan rotan dalam rongga hidung kanan. Beberapa saat kemudian penderita menelan bekuan darah, dan sejak saat itu suaranya menjadi serak, batuk tidak ada, sesak tidak ada, nyeri saat berbicara hanya pada awalnya, namun perlahan menghilang. Keluhan hidung dan telinga tidak ada. Pemeriksaan Fisis Keadaan umum : baik/gizi cukup/ sadar stridor (-); sesak (-); Otoskopi : kesan normal tidak ada kelainan Rhinoskopi anterior : kesan normal Faringoskopi : kesan normal Laringoskopi indirek : Epiglottis; Plica ariepiglotica; vallecula; arytenoid: kesan normal. Plica vocalis: tampak benda asing (rotan) tertancap pada komisura anterior yang arahnya sejajar plica vocalis dengan tepi bebas berada di rima glottis. Plica ventricularis: udem (+), hiperemis (+) Fiber endoskopi Epiglottis : edema (-), hiperemis (-). Plica ariepiglotica : edema (-), hiperemis (-). Arytenoid : edema (-) hiperemis (-). Plica vocalis : tampak benda asing (rotan) tertancap pada komisura anterior sejajar dengan plica vocalis kanan, posisinya di antara plica vocalis dan plica ventricularis dan tepi bebas berada di glotis, rotan tersebut menghambat pergerakan plica vocalis sehingga tidak dapat menutup dengan rapat. Plica ventricularis : edema (+), hiperemis (+)

Pemeriksaan Penunjang1-4,6
Pada kasus benda asing di saluran napas dapat dilakukan pemeriksaan radiologis dan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis. Benda asing yang bersifat radioopak dapat dibuat rongent foto segera setelah kejadian, benda asing radiolusen dibuatkan rongent foto setelah 24 jam kejadian, karena sebelum 24 jam kejadian belum menunjukkan gambaran radiologis yang berarti. Biasanya setelah 24 jam baru tampak tanda-tanda atelektasis atau emfisema. Video fluoroskopi merupakan cara terbaik untuk melihat saluran napas secara keseluruhan, dapat mengevaluasi pada saat ekspirasi dan inspirasi dan adanya obstruksi parsial. Pemeriksaan laboratorium darah diperlukan untuk mengetahui adanya gangguan keseimbangan asam basa, serta tanda-tanda infeksi saluran napas.

59

Penatalaksanaan2,3,6
Untuk dapat menanggulangi kasus aspirasi benda asing dengan cepat dan tepat, perlu diketahui dengan baik lokasi tersangkutnya benda asing tersebut. Secara prinsip benda asing di saluran napas dapat ditangani dengan pengangkatan segera secara endoskopik dengan trauma minimum. Umumnya penderita dengan aspirasi benda asing datang ke rumah sakit setelah melalui fase akut, sehingga pengangkatan secara endoskopik harus dipersiapkan seoptimal mungkin, baik dari segi alat maupun personal yang telah terlatih. Penderita dengan benda asing di laring harus mendapat pertolongan segera, karena asfiksia dapat terjadi dalam waktu hanya beberapa menit. Cara lain untuk mengeluarkan benda asing yang menyumbat laring secara total ialah dengan cara perasat dari Heimlich (Heimlich maneuver), dapat dilakukan pada anak maupun dewasa. Menurut teori Heimlich, benda asing yang masuk ke dalam laring ialah pada saat inspirasi. Dengan demikian paru penuh dengan udara, diibaratkan sebagai botol plastik yang tertutup, dengan menekan botol itu, maka sumbatnya akan terlempar keluar. Komplikasi perasat Heimlich adalah kemungkinan terjadinya ruptur lambung atau hati dan fraktur kosta. Oleh karena itu pada anak sebaiknya cara menolongnya tidak dengan menggunakan kepalan tangan tetapi cukup dengan dua buah jari kiri dan kanan. Pada sumbatan benda asing tidak total di laring perasat Heimlich tidak dapat digunakan. Dalam hal ini penderita dapat dibawa ke rumah sakit terdekat yang memiliki fasilitas endoskopik berupa laringoskop dan bronkoskop.

Benda Asing Supraglottik (rotan) Gambar: Skematis posisi benda asing dengan pemeriksaan laring-oskopi indi rek (kanan) dan penampang sagital laring (kiri).

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: dalam batas normal, kecuali leukosit 21.000/mm3. Pemeriksaan radiologis: foto polos posisi PA dan lateral. Kesimpulan: tidak tampak bayangan benda asing.

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

Diagnosis
Benda asing supraglotik (rotan)

Post Op hari II Tanggal: 20 Desember 2007 Ku: Baik, sadar Tensi: 110/70 mmHg; Nadi: 82 x/menit P: 20 x/menit; S: 37C Perdarahan (-), batuk (-), lendir (-) Disfoni minimal, sesak (-)

Instruksi Perawatan

Penatalaksanaan
Ekstraksi benda asing supraglotik dengan bantuan endoskop rigid dengan neuroleptic anesthesia. Jalannya Operasi Penderita baring terlentang dalam anestesi neuroleptik dan pengawasan jalan napas oleh anastesi. Disinfeksi lapangan operasi dengan betadine dan alkohol 70%. Pasang laringoskop suspensi trans oral hingga tampak daerah supraglotik. Tampak benda asing berupa dahan rotan berwarna kecoklatan, panjang sekitar 2,5 cm, beruas-ruas (3 ruas) dari masing-masing ruas terdapat duri-duri kecil, benda asing tampak di superior plica vocalis tertancap pada comissura anterior sejajar dengan plica vocalis kanan dengan salah tepi bebasnya berada pada rima glottis. Plica ventricularis tampak sedikit edema dan hiperemis, perdarahan tidak ada. Forceps dimasukkan lalu benda asing dijepit dan dicoba ditarik keluar, pada percobaan pertama benda asing tidak berhasil ditarik keluar, dicoba lagi, benda asing dijepit dan ditarik ke arah bawah, benda asing patah, dengan bagian sisanya masih tertancap pada comissura anterior, akhirnya benda asing dapat dikeluarkan seluruhnya. Evaluasi ulang tidak tampak lagi benda asing, plica ventricularis; laserai (-), perdarahan (-) Operasi selesai. Post Op Ekstraksi KU: baik, sadar Tensi: 110/70 mmHg; Nadi: 80x/ menit P: 20 x/menit; S: 37,2C Perdarahan (-), batuk (-), lendir (-) Disfonia berkurang, sesak (-) Instruksi Post Op Awasi tanda vital & perdarahan (-) IVFD RL: D5% 20 tts/mnt Inj. Cefotaxim 1 g/8 jam/IV Inj. Dexamethazone 1 amp/8 jam / IV Inj. Tragesic 1 amp/8 jam/IV Inj. Ulsicur 1 amp/8 jam/IV Vocal rest Diet biasa TKTP

Af infus Ganti obat oral Cefadroxyl 3x500 mg Methylprednisolone 3x4 mg Asam Mefenamat 3x500 mg

Diskusi
Dilaporkan satu kasus benda asing supraglotik yang berhasil diekstraksi dengan cunam/forceps lurus dengan anestesi neuroleptik. Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis terdapat riwayat aspirasi benda asing berupa rotan yang secara tidak sengaja masuk melalui rongga hidung, kemudian tertelan dan sejak itu penderita mengeluh disfoni, namun tidak sesak. Pada pemeriksaan laringoskopi indirek tampak benda asing (rotan) tertancap pada komisura anterior yang arahnya sejajar plica vocalis kanan dengan tepi bebas berada di rima glottis, rotan tersebut menghambat pergerakan plica vocalis sehingga tidak dapat menutup dengan rapat, plica ventricularis mengalami udem dan hiperemis. Pada pemeriksaan foto cervicothoracal baik posisi PA dan Lateral yang dilakukan sebelum operasi, tidak terlihat bayangan benda asing (rotan) karena sifatnya yang radiolusen. Dilakukan laringoskopi direk dan ekstraksi benda asing menggunakan cunam/forceps lurus dengan anestesi neurolepsis, dengan pertimbangan bahwa benda asing tersebut dikhawatirkan dapat terlepas dan masuk ke subglotik bahkan akibat insersi ETT apabila dilakukan general anestesi, disamping itu anestesi neurolepsis membuat penderita masih memberikan respon terhadap nyeri dan dapat mengikuti perintah, setelah penderita pulih dari neurolepsis, keluhan disfonia sudah berkurang. Sehari setelah tindakan ekstraksi, keluhan disfoni penderita sudah jauh berkurang tanpa adanya komplikasi, hal ini ditunjukkan melalui evaluasi nasoendoskopi yang memperlihatkan bahwa plica vocalis dapat bergerak dengan baik dan menutup rapat, meskipun plica ventricularis masih sedikit udem dan hiperemis. Penderita dipulangkan pada hari kedua pasca operasi, dalam keadaan baik.
DafTaR PUSTaKa 1. Merchant SN, Kirtane MV, Shah KL, Karnk PP. Foreign bodies in the bronchi (a 10 years review of 132 cases). Journal of Postgraduate Medicine 1984; 30(4):219-23 or Available at http://www.jpgmonline.com/article. asp?issn=0022-3859;year=1984;volume=30;issue=4;spage=219;epage=23; aulast=Merchant;type=0 2. Junizaf MH. Benda asing di saluran napas. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THTKL. Jakarta:FKUI, 2004.h.21331 3. Murray AD. Foreign bodies of airway. 2006. Available at http://emedicine. medscape.com/article/872498-overview 4. Callender T. Laryngo-tracheo-bronchial foreign bodies, 1992. Available at http://www.bcm.edu/oto/grand/2192.html 5. Giannoni CM. Foreign bodies aspiration. 1994. Available at http://www.bcm. edu/oto/grand/31094.html 6. Stewart C. Foreign bodies of the airway: recognition and emergency management. 2002. Available at http://www.strosmith.netcom

MEDICINUS

60

Post Op hari I Tanggal 19 Desember 2007 KU: baik, sadar Tensi: 110/70 mmHg; Nadi: 82 x/menit P: 18 x/menit; S: 36,8C perdarahan (-), batuk (-), lendir (-) Disfonia berkurang, sesak (-)

Instruksi Perawatan Rencana evaluasi nasoendoskopi IVFD RL: D5% 20 tts/mnt Inj. Cefotaxime 1 g/8 jam/IV Inj. Dexamethazone 1 amp/8 jam/IV Inj. Tragesic 1 amp/8 jam/IV Inj. Ulsicur 1 amp/8 jam/IV Vocal rest Diet biasa TKTP

Nasoendoskopi Epiglottis Arytenoid Rima glottis Plica vocalis Plica ventricularis : hiperemis (-); udem (-) : hiperemis (-); udem (-), gerakan baik : celah 3 mm : hiperemis (-); udem (-); gerakan baik (-) : hiperemis (+); udem (-)

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

original article
case report

* Staff Medik Laboratorium Patologi Klinik RS Saiful Anwar/FK Unibraw Malang ** PPDS Laboratorium Patologi Klinik RS Saiful Anwar/FK Unibraw Malang

Anik Widijanti*, Sri Sulistyandari**, Hani Susianti*, Siti Fatonah**

Abstract. A 49 year-old woman suffered hematemesis, abdominal discomfort, nausea, bloating, ascites permagna, and weight loss. Also found retracted papilla mamma, left axilla limphadenopathy diagnosed as chronic fibrosis by anatomic pathologist, and abdominal cutaneus mastocytosis. Radiology examinations show osteolytic bone lesions in 11th and 12th costae, both clavicles, corpus vertebrae and pelvic. Laboratory examination presented increased erythrocyte sedimentation rate, blood urea nitrogen, increased alfa-1, alfa-2 and gamma globulin, decreased in blood albumin. Endoscopic examinations presented fluid accumulation in gastrointestinal tract, failed to gastrointestinal tract biopsy. Laboratory examination, radiologic examination, abdomen ultrasonograph, and anatomy pathologic examination was excluded bone malignancy and/or metastatic, also multiple myeloma. These data highly indicated the diagnosis of systemic mastocytosis. abstrak. Seorang wanita 49 tahun mengalami muntah darah, rasa tidak enak diperut, mual, perut sebah dan membesar, asites permagna dan penurunan berat badan. Retraksi mamma kiri sekitar puting susu dan pembesaran kelenjar limfe ketiak kiri yang pada pemeriksaan patologi anatomi didiagnosis sebagai fibrosis menahun, mastocytosis kulit di abdomen (cutaneus mastocytosis). Pemeriksaan radiologi menunjukkan lesi osteolisis tulang pada kosta 11 dan 12, klavikula, korpus vertebra, dan pelvis. Kelainan laboratorium adalah peningkatan laju endap darah, globulin dan ureum darah, penurunan ringan albumin darah. Pada endoskopi gastrointestinal penuh cairan sehingga tidak dapat dibiopsi. Gambaran radiologi, patologi anatomi, laboratorium dan sumsum tulang menunjukkan tidak ada keganasan atau metastase tulang maupun mieloma multipel. Dari data-data tersebut mengindikasikan bahwa pasien menderita systemic mastocytosis.

61 17

Pendahuluan
Mastocytosis adalah suatu penyakit heterogenus yang ditandai dengan pertumbuhan abnormal dan akumulasi sel mast pada satu atau banyak organ tubuh, seperti kulit, sumsum tulang, organ internal misalnya hati, gastrointestinal, limfa dan kelenjar limfe.1-8 Mastocytosis merupakan kasus yang jarang terjadi, sekitar 80% adalah cutaneus mastocytosis, biasanya pada anak di mana 80% terjadi pada usia kurang dari 6 bulan. Pada orang dewasa biasanya terjadi pada usia dekade 3 atau 4, sedangkan systemic mastocytosis (SM) umumnya melibatkan banyak organ dan terjadi pada usia dekade tiga. Ekstra cutaneus mastocytoma tanpa SM dan tanpa lesi kulit, tumor sel mast unifokal dengan pertumbuhan nondestruktif dan low grade cytology, merupakan kasus yang sangat jarang dan ini banyak terjadi pada paru.3,8 Gambaran klinik mastocytosis sangat bervariasi, dibagi menjadi sistemik atau lokal. Efek sistemik dari kelainan ini adalah pelepasan mediator sel mast ke dalam sirkulasi. Gejala klinik dari pelepasan mediator antara lain adalah anafilaksis, flushing, pruritus, hipotensi, syncope, palpitasi, takikardia, dan urtikaria. Gejala gastrointestinal meliputi mual, muntah, cramp abdominal, kembung dengan/atau tanpa diare. Penyakit tukak peptik yang disebabkan sekresi asam lambung akibat hiperhistamin dapat terjadi pada 50% penyakit SM. Malabsorbsi lebih jarang terjadi, kalaupun ada biasanya ringan. Kelainan lokal biasanya karena pengumpulan sel mast pada organ spesifik dan menyebabkan disfungsi organ tersebut, jika berat dapat diikuti fibrosis dan kegagalan sumsum tulang dengan segala akibatnya.1 Kekambuhan dipicu oleh berbagai rangsangan seperti panas, dingin, tekanan, alkohol dan obat-obatan seperti opiat, antiinflamasi nonsteroid dan estrogen. Penderita yang penyakitnya agresif sering mengalami limfadenopati yang tidak diketahui sebabnya, pembesaran lien atau hepar yang dapat juga

asimptomatik. Organ yang paling sering terkena SM adalah kulit, sumsum tulang, kelenjar limfe, lien, hati, dan gastrointestinal. Prognosis mastocytosis tergantung pada luasnya penyakit dan hubungannya dengan kelainan hematologi.1 Klasifikasi mastocytosis menurut WHO yaitu: 1. cutaneus mastocytosis, 2. indolent systemic mastocytosis (ISM), 3. systemic mastocytosis with an associated clonal hematologic nonmast cell lineage disease (SM-AHNMD), 4. aggresive systemic mastocytosis (ASM), 5. mast cell leukemia (MCL), 6. mast cell sarcoma (MCS), 7. extracutaneous mastocytoma.1,3,4,9 Diagnosis SM ditegakkan berdasarkan kriteria WHO, yaitu adanya 1 kriteria mayor dan 1 kriteria minor atau 3 kriteria minor.1,4,9 Kriteria mayor adalah ditemukannya akumulasi sel mast multipel pada sumsum tulang atau jaringan lain selain kulit pada pemeriksaan biopsi. Terdapat multifocal dense agregates (15 atau lebih sel mast) pada sections tulang atau jaringan extracutaneus. Yang dapat juga dikonfirmasi dengan pengukuran enzim tryptase dengan pemeriksaan imunohistokimia pada jaringan yang terkena. Sedangkan kriteria minor adalah sebagai berikut:1,4,9 1. Pada biopsi sumsum tulang didapatkan sel mast lebih dari 25% spindle shape (elongated) atau pada hapusan sumsum tulang lebih dari 25% sel mast atipikal. 2. Deteksi mutasi Kit dari kodon 816 pada gen receptor. Dapat ditemukan pada darah tepi, sumsum tulang atau organ internal yang lain. 3. Sel mast pada sumsum tulang, darah atau organ internal mengekspresikan CD 117 dengan CD2 atau CD25. 4. Total tryptase serum >20 ng/ml (tidak bisa dipakai pada penderita SM yang berhubungan dengan penyakit clonal hematologic nonmast cell lineage).

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS MEDICINUS

Pada laporan kasus ini akan dibahas penderita yang mengindikasikan systemic mastocytosis, penegakkan diagnosisnya berdasarkan kondisi klinis dan pemeriksaan penunjang terkait.

Gambar 3. Jaringan fibrosis berwarna coklat pada kulit dinding perut

Kasus
Wanita 49 tahun berobat dengan keluhan perut tidak enak, membesar, sebah, mual, muntah sejak 2 bulan, sudah berobat ke poliklinik rumah sakit beberapa kali, diberi obat namun keluhan tetap ada. Dua minggu sebelum masuk rumah sakit yang terakhir penderita mengeluh muntah darah berwarna merah kehitaman satu kali dan perut membesar serta sebah dan mual. Penderita juga mengeluh berat badannya menurun akhir-akhir ini. Pemeriksaan fisik pada penderita didapatkan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 84 kali/menit, frekuensi napas 38 kali/menit dan suhu tubuh 37,5C. Pada pemeriksaan mata, konjungtiva tidak anemis, tidak ikterus, tidak sianosis. Pemeriksaan leher tidak ada kelainan, pada dada didapatkan pembesaran kelenjar ketiak kiri dengan fibrosis, mamma kiri terdapat retraksi pada puting susu. Pemeriksaan fisik (auskultasi dan palpasi serta perkusi) paru dan jantung dalam batas normal.

62

Thorax Foto PA Trachea ditengah, Cor tidak membesar Pulmo tidak ada infiltrat Kedua sinus phrenicus tajam Tulang: tampak lesi osteolitik multipel merata di costae 11,12 dan ujung lateral klavikula kanan dan kiri Kesimpulan: Suspect malignancy DD multiple myeloma

MEDICINUS Gambar 1. Pembesaran kelenjar ketiak kiri dengan fibrosis

Hasil foto lumbosakral AP, lateral dan pelvis AP: Tampak lesi osteolisis multipel, kecil-kecil, bulat, tersebar di korpus vertebra, tulang pelvis dan costae 11,12. Alignment, pedicle, trabekulasi: baik, intervertebra space tidak menyempit, sehingga disimpulkan sebagai menyokong gambaran multiple myeloma.

Gambar 2. Retraksi pada papilla mammae kiri

Pemeriksaan abdomen didapatkan beberapa jaringan fibrosis kulit dengan warna kecoklatan. Pemeriksaan hepar dan lien tidak teraba, didapatkan juga asites, bising usus normal.

Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar hemoglobin 12.3 mg/dl, leukosit 7430 per cmm, trombosit 359.000 per cmm, laju endap darah 110 mm/jam, retikulosit 0.79%, hematokrit 38.2%. Hitung jenis 1/1/0/82/10/6, dengan evaluasi hapusan darah eritrosit normokrom normositer, leukosit kesan jumlah normal dengan limfosit

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

atipikal dan hipersegmentasi, trombosit dalam jumlah normal dengan ditemukan trombosit besar. Pada pemeriksaan urinalisis didapatkan urine warna kuning jernih, berat jenis 1.020, derajat keasaman 6.0, albuminuria negatif, reduksi negatif, urobilinuria negatif, bilirubinuria negatif. Pada pemeriksaan sedimen didapatkan leukosit 4-6 per lapang pandang besar, eritrosit 1-2 per lapang pandang besar, ditemukan epitel dan bakteri. Pada pemeriksaan kimia klinik didapatkan kadar gula darah normal, ureum 76 mg/dl, kreatinin 0.94 mg/dl, asam urat 8.5 mg/dl, protein total 7.34 g/dl, albumin 3.36 g/dl, globulin 4.18 g/dl, alkali fosfatase 196 mU/ml, SGOT 26 U/L, SGPT 23 U/L, gamma glutamyl transferase 14 U/L, bilirubin total 0.46 mg/dl, bilirubin direct 0.18 mg/ dl, bilirubin indirect 0.28 mg/dl, kalsium total 8.63 mg/dl. Pemeriksaan alfa feto protein 8.74 IU/ml. Pada analisa cairan asites didapatkan cairan jernih berwarna kuning, dengan hitung eritrosit 250 per cmm, leukosit 120 per cmm, sel polinuklear 4% dan sel mononuklear 96%, protein 4230 mg/dl, glukosa 118 mg/dl, trigliserida 22 mg/dl, kolesterol 79 mg/dl, LDH 324 /L, tes rivalta positif. Dari hasil pemeriksaan radiologi ditemukan lesi osteolitik pada tulang dan adanya peningkatan ringan kadar globulin darah, penurun-an ringan kadar albumin darah, laju endap darah meningkat, maka dilakukan elektroforesis protein. Hasil elektroforesis protein menunjukkan penurunan albumin dengan peningkatan alfa 1, alfa 2, dan gamma globulin, sehingga menggambarkan suatu inflamasi menahun.

an kulit daerah fibrosis dan biopsi tulang. Dari usulan tersebut ternyata baru dilakukan biopsi kulit dengan hasil sebagai berikut. Hasil biopsi jaringan kulit di daerah abdomen didapatkan jaringan kulit fibrosis, epidermis utuh, di bagian dermis dan subkutis terdapat kelompok-kelompok longgar sel radang mononuklear, di antaranya terdapat sel ukuran sedang-besar, inti di tepi dengan sitoplasma luar bergranula kemerahan. Sebagai kesimpulan nodul kulit abdomen yang dibiopsi adalah mastocytosis, diusulkan evaluasi hapusan darah dan sumsum tulang. Penderita kemudian dirujuk ke rumah sakit Saiful Anwar untuk perawatan lebih lanjut. Untuk menetapkan diagnosis pasti, direncanakan biopsi pada gastrointestinal dengan bantuan endoskopi, atau biopsi tulang dan aspirasi sumsum tulang. Waktu dilakukan endoskopi pada gastrointestinal untuk mengambil jaringan biopsi, ternyata pengambilan biopsi gagal, di mana gaster penuh cairan (diduga akibat adanya fibrosis yang menyebabkan obstruksi gastrointestinal). Rencananya sesudah dilakukan dekompresi dan sesudah cairan gastrointestinal dikeluarkan, akan dilakukan endoskopi ulang untuk mengambil biopsi jaringan. Pemeriksaan yang sudah dilakukan adalah aspirasi sumsum tulang dengan hasil normal. Sebelum dilakukan biopsi ulang saluran gastrointestinal dengan endoskopi maupun biopsi tulang, ternyata penderita sudah meninggal dunia, sehingga diagnosis ystemic mastocytosis secara pasti belum bisa ditegakkan, jadi masih suspek diagnosis saja.

Gambar 3,4: Aspirasi sumsum tulang, normoselular dan tidak ditemukan mastosit

Pembahasan
Pada awalnya diagnosis pada pasien ini sangat membingungkan karena terdapat ketidaksesuaian antara gejala klinik, keluhan penderita dengan hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, patologi anatomi dan radiologi. Setelah dikonsultasikan ke bagian patologi klinik maka dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan perhatian khusus, hasilnya menunjukkan gambaran seperti di atas, jadi kemungkinan kesalahan pemeriksaan laboratorium dapat disingkirkan. Penderita dengan klinis gambaran radiologi osteolitik tulang dengan laju endap darah meningkat, maka dicurigai mieloma multipel atau keganasan mammae yang metastase ke tulang, lalu dilakukan elektroforesis protein dan juga diikuti aspirasi sumsum tulang. Elektroforesis protein menunjukkan penurunan albumin, peningkatan alfa 1, alfa 2, gamma globulin, sehingga menggambarkan suatu inflamasi menahun. Tidak menunjukkan adanya gammopati monoklonal, selain itu pemeriksaan aspirasi sumsum tulang juga normal, sehingga kemungkinan mieloma multipel dan metastase tulang dapat disingkirkan. Kelainan tulang pada SM dapat berupa osteosklerosis maupun osteoporosis, bahkan dapat juga sampai patah tulang, kelainan tulang terjadi pada sekitar 10% SM. Sel mast melepaskan bahan vasoaktif seperti histamin yang akan merangsang osteoblas. Osteoporosis merupakan akibat sekunder dari pelepasan heparin dan prostaglandin D2 dari sel mast, yang akan menginduksi resorpsi tulang oleh osteoklas. Pemeriksaan kelainan tulang dapat dilakukan dengan bone scan, magnetic resonance imaging (MRI), foto rontgen, penanda tulang.10-13 Pada penderita ini terdapat gambaran lisis tulang pada kosta 11,12, clavicula dan pelvis, gambarannya lebih ke osteoporosis. Penderita mengalami muntah darah dengan asites, maka dicari kemungkinan penyakit hati dan saluran empedu. Namun ternyata hasil pemeriksaan laboratorium dan USG abdomen tidak mendukung ke arah sana. Kelainan penderita berupa fibrosis di gastrointestinal,

Hasil USG abdomen didapatkan hepar tidak membesar, sudut tajam, permukaan rata, intensitas echo tidak meningkat, homogen, tidak tampak nodul, kista, kalsifikasi, sistem porta, vaskular tidak melebar. Gall Bladder tidak membesar, dinding tidak menebal, tidak tampak nodul dan batu. Lien maupun pankreas tidak membesar, permukaan rata, intensitas echo tidak meningkat, homogen, tidak tampak nodul, kista, kalsifikasi. Ginjal kanan dan kiri tidak membesar, tepi reguler, intensitas echo tidak meningkat, batas korteks dengan medula jelas, tidak nampak nodul, kista, batu, sinus renalis tidak melebar. Uterus tidak nampak nodul, anteversi centroposisi. Cavum Douglas terisi cairan. Tampak cairan bebas dalam cavum abdomen permagna, sehingga disimpulkan sebagai ascites permagna. Hasil FNAB mammae kanan kiri dan aksila kiri didapatkan fragmen jaringan fibrosis bercampur dengan kelompok jaringan lemak matur dan sel radang mononuklear. Tidak didapatkan sel ganas, disimpulkan sebagai fibrosis beradang menahun, diusulkan biopsi terbuka pada kedua mammae. Setelah pemeriksaan laboratorium, hasil konsultasi, melihat klinis serta radiologis penderita, kami usulkan untuk dilakukan biopsi jaring-

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

63

64

yang dibuktikan dengan adanya muntah darah, asites, dan obstruksi gastrointestinal. Obstruksi gastrointestinal dapat dilihat sewaktu endoskopi di mana lambung penuh cairan, sehingga gagal untuk melakukan biopsi jaringan guna pemeriksaan patologi anatomi. Hal ini sesuai dengan kepustakaan di mana gejala gastrointestinal untuk SM meliputi mual, muntah, rasa penuh di perut, tukak lambung. Bahkan kelainan dapat juga menyebabkan sclerosing cholangitis. Tukak lambung dapat terjadi pada lebih dari 50% kasus SM. Tukak lambung dapat terjadi karena pelepasan histamin oleh mastosit, selain histamin mastosit juga melepaskan berbagai mediator seperti prostaglandin, leukotrien, triptase, plasminogen aktivator jaringan, heparin, TNF- (tumor necrosing factor alfa). SM dapat juga terjadi malabsorbsi meskipun jarang, terutama jika penyakit menjadi progresif.1,2,9 SM dapat terjadi fibrosis hati, namun jarang sampai keseluruhan sel hati menjadi sirosis.3 Hal ini sesuai dengan kasus kami di mana hanya terdapat sedikit kelainan faal hati meskipun sudah terjadi asites permagna. Asites ini mungkin karena fibrosis pada pembuluh darah vena porta (portal fibrosis) dan venopati yang diikuti obstruksi vena akibat infiltrat sel mast.1 SM dapat juga memberi manifestasi pada paru, ovarium dan organ lain, meskipun kasus pada paru dan ovarium merupakan kasus yang sangat jarang.3,15,16 Penderita mengalami pembesaran kelenjar limfe ketiak kiri dengan mammae kiri retraksi pada puting susu, gambaran osteolitik tulang, maka dicurigai suatu karsinoma mammae yang sudah metastase, namun ternyata hasil pemeriksaan FNAB menunjukkan fibrosis menahun, sehingga tidak mendukung sebagai karsinoma mammae, tetapi lebih mendukung ke arah mastositosis. Meskipun diusulkan untuk biopsi mammae langsung dari potongan jaringan, tetapi belum sempat dilaksanakan. Diagnosa SM menurut WHO harus memenuhi satu kriteria mayor dan 1 kriteria minor atau 3 kriteria minor.1,4,9 Kriteria mayor adalah pe-nemuan akumulasi sel mast multipel pada sumsum tulang atau jaringan lain selain kulit pada biopsi. Terdapat multifocal dense agregates (15 atau lebih sel mast) pada sections tulang atau jaringan extracutaneus. Yang dikonfirmasi pemeriksaan tryptase jaringan dengan imunohistokimia. Sedangkan kriteria minor adalah sebagai berikut:1,4,9,14 1. Pada biopsi sumsum tulang didapatkan sel mast lebih dari 25% spindle shape (elongated) atau pada hapusan sumsum tulang lebih dari 25% sel mast atipikal. 2. Deteksi mutasi Kit dari kodon 816 pada gen reseptor. Dapat ditemukan pada darah tepi, sumsum tulang atau organ internal yang lain. 3. Sel mast pada sumsum tulang, darah atau organ internal mengekspresikan CD 117 dengan CD2 atau CD25. 4. Total tryptase serum >20 ng/ml (tidak bisa dipakai pada penderita dengan systemic mastocytosis yang berhubungan dengan penyakit clonal hematologic nonmast cell lineage. Terdapat juga kriteria diagnosis berdasar pada B atau C finding yaitu:1,3 B findings: 1. Sumsum tulang menunjukkan infiltrasi sel mast lebih dari 30% atau serum tryptase total lebih dari 200 ng/ml. 2. Gejala displasia/mieloproliferasi pada non-mast cell lineage tetapi tidak cukup untuk diagnosis neoplasma hematopoiesis sesuai kriteria WHO. 3. Hematomegali tanpa kegagalan fungsi hati, atau splenomegali tanpa hipersplenisme atau limfadenopati. C findings: 1. Disfungsi sumsum tulang dengan manifestasi sitopenia (ANC kurang dari 1.0 cmm atau kadar hemoglobin kurang dari 10 g/dl atau trombosit kurang dari 100.000 cmm) tetapi tidak ada non-mast cell yang sesungguhnya. 2. Hepatomegali palpable dengan kegagalan fungsi hati, asites atau hipertensi portal. 3. Kelainan tulang dengan foci besar dari osteolisis atau patah tulang patologis. 4. Splenomegali palpable dengan hipersplenisme. 5. Malabsorbsi dengan penurunan berat badan karena mastocytosis

gastrointestinal. Pasien didiagnosis indolent SM jika tidak ada B atau C finding dan tidak ada hubungan dengan kelainan clonal hematologi. Smoldering SM jika SM dengan 2 atau lebih B finding tetapi tidak ada C finding. Aggressive SM jika SM dengan 1 atau lebih C finding tetapi tidak ada hubungannya dengan kelainan hematologi dan tidak ada mast cell leucaemia.1,3 Pada kasus ini memenuhi 1 atau lebih C finding tetapi tidak ada kelainan hematologi. Penderita terdapat fibrosis kelenjar limfe, kulit, osteolisis tulang, fibrosis gastrointestinal, muntah darah yang kemungkinan karena tukak lambung dengan atau fibrosis gastrointestinal, fibrosis daerah portal atau infiltrasi sel mast pada vena porta karena adanya asites permagna dan kelainan faal hatinya sendiri ringan. Jadi kemungkinan terdapat infiltrasi sel mast di berbagai organ kelenjar limfe, kulit, tulang, daerah hati dan vena porta serta gastrointestinal, mengindikasikan suatu SM meskipun yang sudah dibuktikan di kulit dan kemungkinan jaringan limfe ketiak serta mammae. Pada kelenjar di ketiak dan mammae kiri didapatkan gambaran fibrosis menahun dengan infiltrasi sel mononuklear yang kemungkinan besar adalah sel mast, namun sayang pada waktu FNAB tidak dilakukan pengecatan khusus untuk sel mast. Pada pembesaran kelenjar limfe biasanya terdapat infiltrat menyeluruh atau para kortikal. Ini disebabkan karena hiperplasia dari germinal centers dan pembuluh darah, eosinofilia, plasmasitosis dan fibrosis.3 Pengecatan sel mast hanya dilakukan sesudah permintaan khusus pada biopsi kulit. Biopsi tulang dan endoskopi ulang untuk pengambilan jaringan dan pemeriksaan sel mast di kedua tempat tersebut belum sempat dilakukan karena penderita meninggal dunia. Pada tulang biasanya terjadi osteosklerosis, tetapi dapat juga kombinasi dengan lesi osteolisis,3 hal tersebut sesuai dengan kasus ini di mana terdapat lisis tulang pada kosta 11,12, klavikula, korpus vertebra dan pelvis. Pada penderita tidak terdapat kelainan gambaran darah tepi dan ini sesuai dengan hasil aspirasi sumsum tulang di mana sumsum tulang masih normal. Serum tryptase, deteksi mutasi, maupun penanda resorpsi dan pembentukan tulang, MRI belum dilakukan, karena alasan/keterbatasan tertentu.

MEDICINUS

Daftar Pustaka
1. 2. 3. 4. 5. 6.

7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.

Worobec AS, Metcalfe DD. Systemic mastocytosis. In: Greer JP, Foerster J, Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, 11th eds. Wintrobes Clinical Hematology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2004.p. 2285-2300 Marbello L, Anghilieri M, Nosari A, Minola E, Cairoli R, Ricci F, et al. Aggressive systemic mastocytosis mimicking sclerosing cholangitis. Haematologia 2004; 89(10):e119-e123 WHO classification of tumours, tumours of haematopoietic and lymphoid tissues. IARC Press, 2001 Gould N. Diagnosis and classification of mastocytosis. 2006-2008 The Mastocytosis Society, Inc. Available from http://www.tmsforacure.org Zettinig G, Becherer A, Szabo M, et al. FDG positron emission tomography in patients with systemic mastocytosis. ARJ 2002; 179:1235-7 Metcalfe DD. The liver, spleen, and lymph nodes in mastocytosis. Mast Cell Physiology Section, Laboratory of Clinical Investigation, National Institute of Allergy and Infectious Diseases, National Institutes of Health, Bethesda, Maryland, USA. J Invest Dermatol 1991; 96:455-65 Pardanani A, Jin-Young Baek, Chin-Yang Li, Butterfield JH, Tefferi A. Systemic mast cell dissease without associated hematologic disorder: a combined retrospective and prospective study. Mayo Clin Proc 2002; 77:1169-75 Viegas M, Horwitz M, Awan S, Chatoo M. Systemic mastocytosis diagnosed following bone biopsy during total knee replacement: a case report. Journal of Orthopedic Surgery 2005; 2(2). Available from http://www.ispub.com Ray S. Final diagnosissystemic mastocytosis. Available from: http://path. upcm.edu/cases/case409/dx.html Yohansson C, Roupe G, Lindstedt, Mellstrom D. Bone density, bone markers and bone radiological features in mastocytosis. Age and Ageing 1996; 25:1-7 Cook JV and Chandy J. Systemic mastocytosis affecting the skeleletal system. The Journal of Bone and Joint Surgery 1989; 71-B:536 Deb A, Tefferi A. Systemic mastocytosis. N Eng J Med 2003; 349:7 Chen CC, Andrich MP, Mican JAM, Metcalfe DD. A retrospective analysis of bone scan abnormalities in mastocytosis: correlation with disease category and prognosis. The Journal of Nuclear Medicine 1994; 35:1471-4 Akin C. Molecular diagnosis of mast cell disorders. JMD 2006; 8(4):412-8 Avila NA, Worobec AS, Ling A, Hijazi Y, Metcalfe DD. Pulmonary and ovarian manifestations of system in mastocytosis. ARJ 1996; 166:969-70 Schmidt M, Dercken C, Loke O, Reimann S, Diederich S, Blasius S, et al. Pulmonary manifestation of systemic mast cell disease. Eur Respir J 2000; 15:623-5

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

medical review

Divisi Metabolik Endokrin Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Olly Renaldi

abstrak. Adiposit menghasilkan dan mensekresi beberapa protein yang berperan sebagai hormon. Hormon yang dikenal sebagai adiponektin, berperan penting dalam proses radang, dan aterosklerotik. Adiponektin merupakan salah satu dari banyak faktor spesifik jaringan adiposa. Adiponektin berperan memperbaiki sensitivitas insulin dan menghambat peradangan vaskuler. Kadar adiponektin di dalam plasma secara bermakna menurun pada subyek yang mengalami obesitas, resistensi insulin, dan pengidap diabetes melitus tipe 2. Adiponektin berperan dalam memodulasi sensitivitas insulin dengan menstimulasi peningkatan penggunaan glukosa dan oksidasi asam lemak melalui posforilasi dan aktivasi AMPK di otot dan hati

Pendahuluan
Sindrom metabolik adalah kondisi yang dicirikan dengan obesitas sentral, hipertensi, resistensi insulin dan dislipidemia aterogenik. Sindrom ini merupakan gangguan mayor dan prevalensinya semakin meningkat di dunia berkembang. Dua faktor risiko utama perkembangan sindrom metabolik terlepas dari faktor genetik adalah kelebihan berat badan atau obesitas dan tidak adanya aktivitas.1 Obesitas adalah faktor risiko utama resistensi insulin, diabetes melitus tipe 2, penyakit jantung, masalah ortopedik, dan banyak penyakit kronik lainnya. Kejadian obesitas secara dramatis meningkat dan telah menjadi epidemik di dunia barat. Penyebab sindrom ini multifaktor. Faktor tersebut meliputi genetik, lingkungan, sosial ekonomi, dan pengaruh kebiasaan kurang aktivitas. Hal ini berkaitan dengan peningkatan terhadap morbiditas dan mortalitas. Obesitas merupakan akibat dari gangguan keseimbangan energi positif kronik. Keseimbangan ini diatur oleh hubungan yang kompleks antara jaringan endokrin dan sistim saraf pusat. Jaringan lemak bertambah, sebagai organ endokrin aktif dengan aktivitas metabolik tinggi. Adiposit menghasilkan dan mensekresi beberapa protein yang berperan sebagai hormon. Hormon tersebut bertanggung jawab terhadap pengaturan asupan dan pengeluaran energi. Hormon yang dikenal sebagai adiponektin, berperan penting dalam proses radang, dan aterosklerotik. Adiponektin merupakan salah satu dari banyak faktor spesifik jaringan adiposa. Adiponektin berperan memperbaiki sensitivitas insulin dan menghambat peradangan vaskuler. Adiponektin berhubungan terbalik dengan leptin. Kadar adiponektin di dalam plasma secara bermakna menurun pada subyek yang mengalami obesitas, resistensi insulin, dan pengidap diabetes melitus tipe 2. Kadar hormon ini meningkat setelah penurunan berat badan. Dua penelitian kasus-kontrol terhadap Indian Pima dan Kaukasia sehat menyimpulkan bahwa kadar adiponektin plasma yang rendah berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes melitus tipe 2.2-4 Hipoadiponektinemia berperan terhadap resistensi insulin dan mempercepat aterogenesis. Penurunan kadarnya diyakini berperan dalam patogenesis penyakit kardiovaskuler yang berhubungan dengan obesitas dan komponen lain

dari sindrom metabolik.4,5 Penelitian terbaru juga menyimpulkan peran adiponektin dalam regulasi aksi insulin, homeostasis energi, obesitas dan resistensi insulin.

Pembahasan
A. Resistensi Insulin Resistensi insulin dikenali sebagai kerusakan mendasar yang terjadi pada obesitas, sindrom metabolik dan diabetes melitus tipe 2. Studi terbaru menunjukkan bahwa jaringan adiposa dan hormon yang dihasilkan dari jaringan adiposa dan sitokin inflamasi berperan penting pada sensitivitas insulin in vitro. Disfungsi jaringan adiposa dapat menyebabkan resistensi insulin sistemik.6 Telah diketahui bahwa resistensi insulin merupakan dasar abnormalitas primer yang memulai dan berkontribusi pada sebagian besar gangguan metabolik dan gangguan lainnya yang terlihat pada sindrom metabolik. Resistensi insulin dan sindrom metabolik juga ditemukan sebagai hasil lipotoksisitas di berbagai organ, termasuk pankreas, otot skeletal dan miokardium. Terdapat bukti yang mengatakan bahwa adiposit mensekresi dan atau mempengaruhi aksi beberapa sitokin, termasuk adiponektin, leptin, tissue factor, angiotensinogen, lipoprotein lipase (LPL), IL-6, plasminogen activator inhibitor factor 1 (PAI-1) dan lain-lain. Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa peningkatan adiposit visceral (obesitas visceral) bertanggung jawab pada resistensi insulin melalui lipotoksisitas dan dilepaskannya asam lemak bebas sirkulasi portal. Begitu juga dengan aksi sejumlah sitokin yang dilepaskan atau yang dimodulasi oleh adiposit. Bukti lain menunjukkan terdapat peningkatan stres oksidatif vaskular secara signifikan pada sindrom metabolik dan sejumlah subjek dengan sindrom metabolik mengalami disfungsi endotel pada tahap awal proses tersebut. Sejumlah abnormalitas yang berkaitan dengan sindrom metabolik dengan sendirinya dapat menyebabkan reaksi inflamasi di tingkat vaskular. Hal ini menimbulkan efek tidak langsung atau mungkin bahwa resistensi insulin dan sindrom metabolik sendiri merupakan hasil reaksi inflamasi. Resistensi insulin memegang peranan penting pada sindrom metabolik.7

65

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

digunakan untuk mendeteksi resistensi insulin secara klinis. Yang paling banyak dipakai dalam penelitian dengan pengukuran yang spesifik adalah cara klem euglikemik hiperinsulinemik. Cara kedua yang kurang invasif adalah dengan metode frequently sampled intravenous glucose tolerance test (FSIVGTT). Cara ketiga merupakan cara yang paling mudah secara klinis adalah pengukuran insulin puasa.9 Metode lain yang sering digunakan adalah metode homeostasis model assesment (HOMA) yang menggunakan insulin puasa dan glukosa puasa dalam menetapkan resistensi insulin dan sekresi insulin. Cara ini lebih sederhana, berdasarkan kadar glukosa dan insulin puasa, berkorelasi kuat dengan klem glukosa baik pada pengidap diabetes melitus tipe 2 (r = 0,83) maupun non diabetes (r=0,92).10 Rumus HOMA untuk menentukan resistensi insulin adalah yang berikut: HOMA IR = Insulin puasa (U/ml) x glukosa puasa (mmol/l) 22,5 Rumus HOMA untuk menentukan fungsi sel :11 HOMA sel = 20 x insulin puasa (U/ml) Glukosa puasa (mmol/l) -3,5 Batas nilai HOMA IR setelah divalidasi dengan metode klem euglikemik hiperinsulinemik pada orang normal tanpa gangguan metabolik dan tidak obesitas sebesar 2,77. Metode HOMA IR juga dapat digunakan untuk penetapan resistensi insulin dalam skala besar atau penelitian epidemiologik.10
MEDICINUS Gambar 1. Patogenesis resistensi insulin dan toleransi glukosa.8

66

Mekanisme utama untuk terjadinya resistensi insulin belum sepenuhnya diketahui tapi telah banyak dipelajari akhir-akhir ini. Melihat jalurnya mulai dari sel sampai ambilan glukosa faktorfaktor yang berperan untuk terjadinya resistensi insulin adalah : A.1. Perubahan pada pemecahan proinsulin Di dalam sel pulau Langerhans proinsulin dibentuk sebagai peptida rantai panjang. Sebelum insulin disekresikan, C-peptide berhubungan dengan rantai-A dan rantai-B dari insulin, yang terpisah dari proinsulin. Insulin dengan struktur yang terdiri dari dua rantai peptida dihubungkan oleh jembatan sulfur. Saat sekresi insulin distimulasi oleh peningkatan kadar gula darah, insulin dan C-peptide disekresikan. Pada diabetes melitus tipe 2 selalu hanya satu dari dua tempat ikatan C-peptide yang lepas, C-peptida yang tersisa berhubungan dengan rantai-A atau rantai-B. Produk yang terbentuk kurang efektif ikatannya dengan reseptor insulin. Dibutuhkan peningkatan jumlah insulin untuk mendapatkan efek yang sama dari insulin.8 A.2. Perubahan pada tempat ikatan insulin Insulin berikatan dengan reseptor insulin yang menyebabkan peningkatan transpor glukosa ke dalam sel. Pada beberapa keadaan seperti pada acanthosis nigricans terdapat antibodi yang menempati reseptor insulin sehingga terjadi resistensi insulin.8 A.3. Perubahan pada reseptor insulin Perubahan struktur dari reseptor insulin yang menginduksi resistensi insulin sangat jarang. Pada beberapa keadaan metabolik fosforilasi serin meningkat, menyebabkan hambatan atau penurunan fosforilasi tyrosine dan mengurangi transfer pesan insulin yang diekspresikan sebagai resistensi insulin.8 Banyak sekali variasi prosedur yang

Pemberian adiponektin pada percobaan binatang dapat meningkatkan oksidasi asam lemak, menurunkan penyimpanan trigliserida dalam hati dan otot, menurunkan kadar trigliserida serum dan kadar asam lemak bebas serta memperbaiki hiperglikemia.

B. Adiponektin Adiponektin merupakan produk gen adiposa yang sebagian besar merupakan gen transkripsi 1 (ap M1) yang secara khusus dan diekspresikan secara berlebihan oleh jaringan adiposa putih, yang terdiri dari 244 protein asam amino dengan struktur kolagen VIII, X dan komplemen C1q. Protein ini dapat diidentifikasi kedalam tiga kelompok melalui pendekatan yang berbeda, dikenal sebagai gelatin-binding protein (GBP28), adipocyte complement-related protein 30 kDa (Acrp30) atau AdipoQ pada tikus.12 Sirkulasi adiponektin dalam darah berupa low molecular weight (LMW) dan high molecular weight (HMW), full length protein dan globular C terminal domain. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa adiponektin HMW berpartisipasi aktif dalam perbaikan sensitivitas insulin dalam metabolisme lipid dan glukosa, sebagai globular domain adiponektin terlibat dalam stimulasi oksidasi asam lemak bebas otot skelet. Mutasi residu glisin yang jarang dalam collagenous domain gen adiponektin dan kekurangan sekresi adiponektin HMW berhubungan dengan risiko mengalami diabetes melitus tipe 2.13-16 Terdapat 2 reseptor adiponektin yaitu AdipoR1 yang diekspresikan di otot skeletal, memiliki afinitas yang tinggi terhadap adiponektin globular dan afinitas yang rendah terhadap adiponektin full length. AdipoR2 diekspresikan di hati dan memiliki afinitas yang sedang terhadap ke 2 bentuk adiponektin. Kerja adiponektin terhadap metabolisme glukosa dimediasi oleh stimulasi AMP activated kinase (AMPK), yang akan meningkatkan oksidasi asam lemak bebas dan ambilan glukosa. Kadar adiponektin yang rendah pada penderita obesitas dan diabetes, mungkin karena kegagalan respon perifer terhadap adiponektin. Penurunan AdipoR1 dan AdipoR2 pada otot skelet tikus, berhubungan dengan penurunan ikatan adiponektin globular dan penurunan aktivasi AMPK.13,16,17 Kadar adiponektin plasma ditemukan 19 menurun pada penderita diabetes dibandingkan penderita nondiabetes. Kadar

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

adiponektin juga mengalami penurunan pada subyek obesitas nondiabetes. Kadar adiponektin yang rendah merupakan faktor risiko independen menjadi diabetes melitus tipe 2. Kadar adiponektin yang rendah ini ditemukan sebelum manifestasi diabetes melitus tipe 2 terjadi. Ekspresi reseptor adiponektin di otot pada penderita diabetes melitus tipe 2 tidak mengalami perubahan, tetapi terjadi gangguan oksidasi asam lemak bebas yang disebabkan adanya kerusakan pada AMPK downstream signalling yang dapat menurunkan sensitivitas adiponektin. Penurunan ekspresi AdipoR1 disebabkan akibat kegagalan respon adiponektin globular.16,18 Pemberian adiponektin pada hewan coba dapat meningkatkan oksidasi asam lemak, menurunkan penyimpanan trigliserida dalam hati dan otot, menurunkan kadar trigliserida serum dan kadar asam lemak bebas serta memperbaiki hiperglikemia.19 Pengobatan dengan PPAR agonis reseptor seperti thiazolidinedione dapat meningkatkan sirkulasi kadar adiponektin pada pengidap diabetes melitus tipe 2 dan khususnya bentuk high molecular weight, yang berhubungan dengan penekanan produksi glukosa hati dan memperbaiki sensitivitas insulin. Penurunan berat badan akan meningkatkan kadar adiponektin HMW. Pemberian thiazolidinedione juga dapat menurunkan lipid intramyoseluler pada tikus diabetes obesitas. Thiazolidinedione juga meregulasi oksidasi asam lemak bebas di jaringan adiposit (bukan di otot skelet) penderita diabetes melitus tipe 2. Polimorfisme adiponektin dipengaruhi oleh kadar adiponektin dan respon glikemik pada penderita diabetes melitus tipe 2. Single nucloeotide polymorphism (SNP) gen adiponektin berhubungan dengan beberapa penderita diabetes melitus tipe 2. Penelitian sebelumnya menunjukkan SNP45 dan SNP276 berhubungan dengan penderita diabetes melitus tipe 2 di Jepang.13,16,20,21 Adiponektin akan terakumulasi pada dinding pembuluh darah yang luka dan kadarnya bergantung pada besarnya hambatan TNF pada sel endotelial aorta dan penurunan produksi TNF di dalam makrofag, adiponektin diperkirakan memiliki efek anti aterogenik dan anti inflamasi. Kadar plasma adiponektin ditemukan menurun pada subyek obesitas, penderita non-insulin-dependent diabetes mellitus, resistensi insulin, dislipidemia dan penyakit kardiovaskular.12 Ekspresi adiponektin yang rendah disebabkan oleh TNF dan glukokortikoid yang kadarnya meningkat pada subyek obesitas dan diabetes melitus tipe 2. Ekspresi adiponektin yang berlebihan ditemukan pada subyek dengan sensitivitas insulin yang meningkat.13 B.1. Mekanisme Kerja Adiponektin B.1.a. Terhadap Metabolisme Lemak dan Karbohidrat Di samping memiliki pengaruh terhadap metabolisme glukosa dan sensitivitas insulin, adiponektin dapat memodulasi kadar lipid dalam plasma. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa adanya korelasi negatif antara adiponektin dengan trigliserida dan small dense LDL (sdLDL) dan memiliki korelasi positif dengan kolesterol HDL (HDL-C). Adiponektin juga mengatur metabolisme lipoprotein kaya trigliserida. Adiponektin meningkatkan oksidasi asam lemak dalam sirkulasi dan di otot skelet melalui aktivasi AMP kinase, sehingga pada kadar adiponektin yang rendah akan terjadi akumulasi trigliserida.22 Adiponektin globular dan adiponektin yang utuh akan menstimulasi fosforilasi dan aktivasi AMPK di otot skelet, sementara adiponektin yang utuh melakukannya di hati. Selain mengaktivasi AMPK, adiponektin menstimulasi fosforilasi Acetyl Coenzyme Carboxylase (ACC), pembakaran asam lemak, ambilan glukosa, produksi laktat di miosit dan juga menstimulasi fosforilasi ACC serta menyebabkan reduksi molekul-molekul yang terlibat dalam proses glukoneogenesis di hati. Stimulasi pemakaian glukosa dan pembakaran asam lemak oleh adiponektin terjadi melalui aktivasi AMPK.23 Domain globular adiponektin akan meningkatkan oksidasi asam lemak di otot dan transpor glukosa melalui aktivasi AMPK

dan inhibisi ACC. Proses aktivasi AMPK ini juga ikut terlibat dalam proses ambilan glukosa yang distimulasi oleh domain globular adiponektin pada adiposit primer pada tikus percobaan.23

Gambar 2. Aktivasi adiponektin terhadap AMPK dan PPAR di dalam hati dan otot skelet. Adiponektin globular dan bentuk utuh akan mengaktivasi AMPK, kemudian menstimulasi fosforilasi ACC, oksidasi asam lemak dan ambilan glukosa. Adiponektin juga mengaktivasi PPAR, menstimulasi oksidasi asam lemak dan menurunkan kandungan trigliserida di otot. Di dalam hati, adiponektin bentuk utuh mengaktivasi AMPK, mereduksi molekul-molekul yang terlibat dalam proses glukoneogenesis dan meningkatkan fosforilasi ACC serta oksidasi asam lemak. Adiponektin juga mengaktivasi PPAR, menstimulasi oksidasi asam lemak dan menurunkan kadar trigliserida dalam hati. Hal ini menyebabkan peningkatan sensitivitas insulin.23

Pengaruh adiponektin pada metabolisme trigliserida adalah dengan melibatkan perubahan intrinsik pada metabolisme lemak di otot skelet dan berpengaruh terhadap aktivitas lipoprotein lipase di otot skelet dan adiposit. Adiponektin dapat menurunkan akumulasi trigliserida di otot skelet dengan meningkatkan oksidasi asam lemak melalui aktivasi acetyl coA oxidase, Carnitine Palmytoyl Transferase-1 (CPT-1) dan AMP kinase. Adiponektin juga dapat menstimulasi Lipoprotein Lipase (LPL), yang merupakan enzim lipolitik yang dapat mengkatabolis VLDL melalui peningkatan ekspresi Peroxisome Proliferators Activator Receptor (PPAR) di hati dan adiposit. Pada tingkat hepatik, adiponektin dapat menurunkan suplai Non Esterified Fatty Acid (NEFA) ke hati pada proses glukoneogenesis, sehingga terjadi penurunan sintesis trigliserida. Kadar adiponektin yang rendah dan dislipidemia pada penderita diabetes melitus tipe 2 berhubungan dengan kadar LPL.22, 24 Efek adiponektin berpengaruh terhadap pengaturan aktivitas lipase hepatik pada penderita diabetes melitus tipe 2. Efek adiponektin pada aktivitas lipase hepatik inilah yang menjelaskan kerja adiponektin dalam meningkatkan kadar kolesterol HDL.25 Familial Combined Hyperlipidemia (FCH) merupakan hiperlipidemia genetik yang paling banyak dijumpai pada manusia. Sekitar 20% penderita penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan FCH. Pada FCH ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida dan atau apolipoprotein B (apoB). Fenotip lain FCH menunjukkan adanya penurunan kadar HDL kolesterol, yang berhubungan dengan obesitas dan resistensi insulin.26 B.1.b. Terhadap Sensitivitas Insulin Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa adiponektin berfungsi sebagai insulin sensitizer dengan menurunkan kadar glukosa hepatik. Kadar adiponektin berkorelasi dengan basal dan penekanan produksi glukosa endogen oleh insulin. Pada hipoadi-

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

67

ponektinemia menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Kadar adiponektin yang rendah pada pengidap yang mengalami resistensi insulin, terlepas apakah termasuk kategori obesitas atau tidak. Temuan ini menunjukkan bahwa hipoadiponektinemia memberikan kontribusi secara langsung terhadap perubahan pengaturan homeostasis glukosa dan penurunan sensitivitas insulin hepatik pada pengidap diabetes.27 Sel yang memiliki kadar peroxisome proliferator activated receptor (PPAR) tertinggi adalah adiposit, sehingga adiposit merupakan sel kandidat yang baik dalam pencarian mediator untuk kerja agonis PPAR. Adiponektin adalah protein yang disekresikan secara spesifik oleh adiposit. Kadarnya akan meningkat sebagai respon terhadap adanya paparan agonis PPAR sehingga kadar adiponektin dalam serum akan meningkat secara signifikan.28

Hipertrigliseridemia merupakan ciri klinis utama dari sindrom resistensi insulin dan seringkali disertai peningkatan kadar Plasminogen Activator Inhibition 1 (PAI-1) plasma. Hipertrigliseridemia merupakan bagian pada proses perkembangan aterosklerosis bersama-sama dengan disregulasi protein yang berasal dari adiposit seperti peningkatan PAI-1 dan hipoadiponektinemia.30
kerusakan vaskular aterosklerotik.30 Hipertrigliseridemia merupakan ciri klinis utama dari sindrom resistensi insulin dan seringkali disertai peningkatan kadar Plasminogen Activator Inhibition 1 (PAI-1) plasma. Hipertrigliseridemia merupakan bagian pada proses perkembangan aterosklerosis bersama-sama dengan disregulasi protein yang berasal dari adiposit seperti peningkatan PAI-1 dan hipoadiponektinemia.30 Peningkatan kadar adiponektin berkaitan dengan kontrol glikemik dan profil lipid yang baik serta mengurangi inflamasi pada penderita diabetes.31

68

MEDICINUS

Gambar 3. Mekanisme kerja adiponektin. Dalam otot skelet, adiponektin meningkatkan fosforilasi reseptor insulin, sehingga dapat meningkatkan sensitivitas insulin. Efek ini juga dapat meningkatkan oksidasi asam lemak melalui aktivasi 5 AMP Kinase. Penurunan asam lemak bebas di dalam hati dan peningkatan oksidasi asam lemak menyebabkan penurunan keluaran glukosa hepatik dan sintesis trigliserida VLDL. Pada endotel vaskular, adiponektin menurunkan adesi monosit terhadap endotel, menekan pembentukan sel busa oleh makrofag dan menghambat proliferasi dan migrasi sel otot polos.29

B.2. Adiponektin dan Diabetes melitus tipe 2 Pada penderita diabetes melitus tipe 2 terjadi penurunan kadar adiponektin yang bermakna dalam plasma. Meskipun kadar adiponektin dalam plasma berkorelasi negatif dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Penderita diabetes memiliki kadar adiponektin plasma yang lebih rendah dibandingkan dengan non diabetes, terlepas adanya faktor IMT. Insulin mengatur pengeluaran berbagai macam protein dari jaringan adiposa. Peningkatan insulin plasma pada penderita diabetes ini bertanggung jawab terhadap penurunan konsentrasi adiponektin plasma. Resistensi insulin kronik pada penderita diabetes melitus tipe 2 bisa berkaitan dengan penurunan adiponektin dalam plasma. Produksi TNF yang berlebihan oleh jaringan adiposa menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Penurunan kadar adiponektin plasma berperan kausatif terhadap perkembangan resistensi insulin.30 Pada penelitian sebelumnya kadar adiponektin plasma ditemukan lebih rendah pada penderita diabetes dengan penyakit arteri koroner. Penelitian ini menunjukkan bahwa adiponektin memiliki sifat anti-aterogenik yang memegang peranan pada perkembangan

C. Peran Adiponektin terhadap Resistensi Insulin C.1. Efek Farmakologis Adiponektin pada Resistensi Insulin Adanya bukti klinis yang menunjukkan hubungan penurunan kadar adiponektin dengan obesitas dan resistensi insulin. Hal ini mendorong para klinisi melakukan percobaan pemberian adiponektin pada tikus guna melihat efek penurunan berat badan, penurunan kadar glukosa, penurunan kadar asam lemak bebas dan trigliserida. Tikus tersebut mengkonsumsi lemak atau sukrosa yang tinggi. Pemberian rekombinan adiponektin dapat mengurangi kadar glukosa serum pada tikus tanpa disertai stimulasi sekresi insulin dan peningkatan insulin untuk menekan produksi glukosa. Adiponektin juga menstimulasi 5 AMP activated protein kinase di dalam otot dan hati. Aksi kerja adiponektin pada metabolisme glukosa dimediasi oleh peningkatan 5 AMP activated protein kinase yang akan oksidasi asam lemak dan ambilan glukosa.19,32 Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa ekspresi mRNA adiponektin adiposa dan kadar adiponektin plasma menurun pada tikus dan monyet yang gemuk. Kadar adiponektin yang rendah ini didahului oleh penurunan sensitivitas insulin dan berkembang menjadi diabetes melitus tipe 2.32 C.2. Hubungan Adiponektinemia dengan Resistensi Insulin Kadar adiponektin berhubungan negatif dengan indeks massa tubuh. Hubungan negatif ini lebih kuat pada adiposit visceral dibandingkan adiposit subkutan. Mekanisme ini mungkin berhubungan dengan sekresi TNF jaringan adiposa visceral yang berlebihan yang menghambat aktivitas adiponektin dan menyebabkan berkurangnya produksi adiponektin. Kadar adiponektin yang rendah juga terjadi pada penderita dengan resistensi insulin, toleransi glukosa terganggu, diabetes melitus tipe 2, hipertensi dan dislipidemia. Pen-

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

C.3. Mekanisme Adiponektin terhadap Peningkatan Sensitivitas Insulin Terdapat perbaikan resistensi insulin setelah pemberian adiponektin. Hal ini ditunjukkan dengan dengan hambatan formasi plak

69

Penurunan kadar adiponektin dalam plasma (hipoadiponektinemia) berkaitan dengan peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT), penurunan sensitivitas insulin, profil lemak dalam plasma yang aterogenik, peningkatan kadar penanda inflamasi, dan peningkatan risiko untuk penyakit kardiovaskular. Oleh karena itu, kadar adiponektin dapat digunakan sebagai suatu indikator yang menjanjikan untuk sindrom metabolik.27

Gambar 4. Peranan reseptor adiponektin34

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

derita diabetes dengan makroangiopati memiliki kadar adiponektin yang rendah dan ditemukan lebih rendah pada populasi Pima Indians dengan prevalensi obesitas dan diabetes melitus tipe 2. Kadar adiponektin yang rendah juga berhubungan dengan penyakit jantung koroner dan infark miokard.22 Penelitian pada binatang roden menghasilkan hipotesis bahwa adiponektin memiliki fungsi sebagai insulin sensitizer dengan menurunkan glukosa hepar dan memiliki peranan pada pengaturan homeostasis glukosa. Data ini didukung oleh penelitian pada manusia bahwa kadar adiponektin berhubungan dengan penekanan produksi glukosa. Hipoadiponektinemia berhubungan dengan resistensi insulin seperti yang telah terbukti pada diabetes gestasional, lipodistropi diabetes dan pada diabetes melitus tipe 2. Kadar adiponektin yang rendah ditemukan pada orang obesitas. Temuan ini menunjukkan bahwa hipoadiponektinemia menimbulkan perubahan pada regulasi homeostasis glukosa dan penurunan sensitivitas insulin pada penderita diabetes.27 Pada studi genetik penderita diabetes dengan kadar adiponektin yang rendah dan mengalami resistensi insulin telah dianalisis oleh Trujillo dan Scherer (2005), ditemukannya lokus pada kromosom 3 (3q27, gen kode pada adiponektin) sebagai lokus pada penderita diabetes dan sindrom metabolik. Sehingga kadar adiponektin yang rendah merupakan prediktor diabetes melitus tipe 2.27 Studi lain menunjukkan bahwa adiponektin dapat memodulasi sensitivitas insulin dengan menstimulasi peningkatan penggunaan glukosa dan oksidasi asam lemak melalui fosforilasi dan aktivasi AMPK di otot dan hati.33 Penurunan kadar plasma adiponektin pada obesitas visceral menyebabkan peningkatan produksi TNF, yang menimbulkan hambatan aktivasi adiponektin dan menurunkan kadar adiponektin.33

aorta pada tikus yang mengalami defisiensi apolipoprotein E setelah 2 minggu pemberian injeksi adiponektin. Adiponektin adalah mediator terjadinya resistensi insulin dan aterosklerosis.33 Mekanisme adiponektin memperbaiki sensitivitas insulin sangatlah kompleks. Data penelitian menunjukkan, pada binatang penurunan resistensi insulin oleh adiponektin disebabkan asam lemak bebas dan perubahan kandungan trigliserida otot. Tikus yang mendapat injeksi adiponektin menghasilkan penurunan kadar asam lemak bebas melalui peningkatan oksidasi asam lemak bebas dalam sel otot. Adiponektin juga menurunkan kadar trigliserida hati dan otot melalui peningkatan ekspresi gen peroxisome proliferator activated receptor (PPAR) dan . Peningkatan kadar trigliserida mempengaruhi aktivasi stimulasi insulin terhadap phosphatidylinositol 3 kinase dan translokasi glucosa transporter protein 4 (GLUT 4) dan ambilan glukosa, yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin, sehingga terjadi penurunan kadar asam lemak bebas dan trigliserida jaringan. Dalam hal ini adiponektin akan memperbaiki sensitivitas insulin. Adiponektin juga meningkatkan stimulasi molekul tyrosine phosphorylation of signaling, reseptor insulin, insulin receptor substrate 1 dan aktin otot skelet.22 Adiposit merupakan organ endokrin yang aktif mensekresi asam lemak bebas dan menghasilkan sitokin dan hormon diantaranya TNF, interleukin, plasminogen activator inhibitor type 1, leptin, adiponektin dan resistin. Adiposit memegang peranan penting dalam pengaturan nafsu makan, pelepasan energi, resistensi insulin dan proses aterogenik. Adiponektin bersifat sebagai insulin sensitizing dan antiaterogenik.33 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa adiponektin memegang peranan penting pada subyek obesitas yang mengalami resistensi insulin. Kadar adiponektin berhubungan dengan sensitivitas insulin. Percobaan pemberian adiponektin globular pada tikus memperbaiki sensitivitas terhadap insulin, penurunan asam lemak bebas dan trigliserida di otot dan hati serta menyebabkan penurunan berat badan.33 Adiponektin globular dan full length meningkatkan fosforilasi AMP activated kinase, merupakan enzim yang memegang peranan terhadap insulin sensitizing dan penurunan kadar glukosa. Adiponektin dapat meningkatkan aktivitas peroxisome proliferator activated receptor , sehingga menurunkan produksi glukosa hati, meningkatkan ambilan glukosa dan oksidasi asam lemak bebas di otot.34

MEDICINUS

Sekresi adiponektin menurun pada subyek obesitas. Kadar yang rendah ini berhubungan dengan resistensi insulin dan berkembang menjadi diabetes. Sekresi adiponektin yang menurun disebabkan oleh adipositokin pro inflamatori seperti IL-6.35 Kadar adiponektin plasma menurun secara bermakna pada subjek diabetes dengan penyakit arteri koroner (CAD). Berbeda dengan ini, kadar plasma leptin tidak berbeda pada subjek diabetes dengan dan tanpa CAD.30 Penurunan kadar adiponektin dalam plasma (hipoadiponektinemia) berkaitan dengan peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT), penurunan sensitivitas insulin, profil lemak dalam plasma yang aterogenik, peningkatan kadar penanda inflamasi, dan peningkatan risiko untuk penyakit kardiovaskular. Oleh karena itu, kadar adiponektin dapat digunakan sebagai suatu indikator yang menjanjikan untuk sindrom metabolik.27 Konsentrasi adiponektin plasma berkolerasi negatif dengan kadar insulin puasa dalam plasma. Profil kadar adiponektin plasma harian menyatakan bahwa kadar adiponektin tidak terpengaruh oleh asupan makanan, berbeda dengan peningkatan kadar insulin plasma.30 Adiponektin memiliki sifat antiaterogenik yang potensial, sehingga penurunan adiponektin plasma pada subjek diabetes dapat memainkan peran pada perkembangan kerusakan vaskular aterosklerotik. Kadar adiponektin plasma berkolerasi secara bebas dengan kadar trigliserida melalui analisis regresi ganda. Hipertrigliseridemia merupakan satu ciri klinis utama dari sindrom resistensi insulin dan seringkali disertai dengan peningkatan kadar PAI-1 plasma. Hipertrigliseridemia dapat mengambil bagian pada perkembangan aterosklerosis bersama-sama dengan disregulasi protein-protein yang berasal dari adiposit, seperti peningkatan PAI-1 dan hipoadiponektinemia.30

Kesimpulan
Adiponektin berperan dalam memodulasi sensitivitas insulin dengan menstimulasi peningkatan penggunaan glukosa dan oksidasi asam lemak melalui fosforilasi dan aktivasi AMPK di otot dan hati.

70

Daftar Pustaka
1. 2. 3.

4. 5. 6. 7. 8.

9.

Martin B, Watkins III JB, Ramsey JW. Evaluating metabolic syndrome in a medical physiology laboratory. Adv Physiolo Educ 2004; 28:195-8 Alice SR, Dora MB, Barbara JN, Madhur S, Ronald LG, Grady SM, et al. Plasma adiponectin and leptin levels, body compositions and glucose utilization in adult women with wide ranges of age and obesity. Diabetes Care 2003; 26:2383-8 Roberto B, Sabrina A, Claudia D, Maria GF, Giovanni P, Riccardo V and Lucia F. Adiponectin Relationship with Lipid Metabolism Is Independent of Body Fat Mass: Evidence from Both Cross-Sectional and Intervention Studies. J Clin Endocrinol Metab. 2004; 89(6):2665-71 Vendrell J, Broch M, Vilarrasa N, Molina A, Gmez JM , Gutirrez C, et al. Resistin, adiponectin, ghrelin, leptin, and proinflammatory cytokines: relationships in obesity. Obes Res. 2004; 12:962-71 Wasim H, Al-Daghri NM, Chetty R, Mc Teran PG, Barnett AH, Kumar S. Relationship of serum adiponectin and resistin to glucose intolerance and fat topography in South Asians. Cardiovascular Diabetology 2006; 5:10 Ruan H and Lodish HF. Regulation of insulin sensitifity by adipose tissue derived hormones and inflammatory cytokines. Cur Opion Lipidol. 2004; 15: 297302 Kern PA, Gina B Di G, Tong Lu, Rassouli N, and Ranganathan G. Adiponectin expression from human adipose tissue: relation to obesity, insulin resistance, and tumor necrosis factor- expression. Diabetes 2003; 52:1779-85 Krans HM. Insulin resistance and metabolic syndrome. In: Adi S, Tjokroprawiro A, Hendromartono, Sutjahjo A, Pranoto A, Murtiwi S, Wibisono, ed. Naskah Lengkap The Mets-The 3rd Stage of Obesity:Prevention and Treatment. Surabaya:Perkeni, 2007.p.126-134 Cefalu WT. Insulin resistance: cellular and clinical concepts. EBM 2001; 266:1326

10. Bonora E, Targher G, Alberiche M. Homeostasis model assessment closely mirrors the glucose clamp technique in the assessment of insulin sensitivity. Studies in subjects with various degrees of glucose tolerance and insulin sensitivity. Diabetes Care 2000; 23:57-63 11. Mattew DR, Hosker JP, Rudenski AS, Naylor BA. Homeostasis model assessment: insulin resistance and -cell function from fasting plasma glukose and insulin concentration in man. Diabetologia 1985; 28:412-9 12. Matsubara M, Maruoka S, and Katayose S. Inverse relationship between plasma adiponectin and leptin concentrations in normal weight and obese women. Eur J Endocrinology 2002; 147:17380 13. Dyck DJ, Heigenhauser GJF, and Bruce CR. The role of adipokines as regulators of skeletal muscle fatty acid metabolism and insulin sensitivity. Acta Physiol; 2006; 186:5-16 14. Fisher FFM, Trujillo ME, Hanif W. Serum high Molecular Weight Complex of Adiponectin Correlates Better With Glucose Tolerance than Total Serum Adiponectin in Indo-Asian Males. Diabetologia 2005; 48:10847 15. Peake PW, Kriketos AD, Campbell LV, Shen Y, and Charlesworth JA. The metabolism of isoforms of human adiponectin: studies in human subjects and in experimental animals. Eur J Endocrinol 2005; 153:40917 16. Rattarasarn C. Physiological and pathophysiological regulation of regional adipose tissue in the development of insulin resistance and type 2 diabetes. Acta Physiol. 2006; 186:8710 17. Vettor R, Milan G, Rossato M and Federspil G. Adipocytokines and insulin resistance. Aliment Pharmacol Ther 2005; 22(2):3-10 18. Arner P. Insulin resistance in type 2 diabetes role of the adipokines. Current Molecular Medicine 2005; 5:333-9 19. Yamauchi T, Komon J, Waki H. The fat derived hormone adiponectin reverses insulin resistance associated with both lipoatrophy and obesity. Nat Med 2001; 7: 9416 20. Boden G, Homko C, Mozzoli M, Showe LC, Nichols C and Cheung P. Thiazolidinediones upregulate fatty acid uptake and oxidation in adipose tissue of diabetic patients. Diabetes 2005; 54: 8805 21. Hara K, Boutin P, Mori Y. Genetic variation in the gene encoding adiponectin is associated with an increased risk of type 2 diabetes in the Japanese population. Diabetes 2002; 51:53640 22. Chan DC, Watts GF, Uchida Y, Sakai N, Yamashita S. Adiponectin and other adipocytokines as predictors of markers of triglyseride rich lipoprotein metabolism. Clin Chem 2005; 51: 578-85 23. Kadowaki T and Yamauchi T. Adiponectin and adiponectin receptors. Endocr Rev 2005; 26:439-51 24. Eynatten VM, Schneider JG, Humpert PM, Rudofsky G, Schmidt N, Barosch P. Decreased plasma lipoprotein lipase in hypoadiponectinemia. Diabetes Care 2004; 27:2925-9 25. Schneider JG, Eynatten VM, Schiekofer S, Nawroth PP, Dugi KA. Low plasma adiponectin levels are associated with increased hepatic lipase activity in vivo. Diabetes Care 2005; 28: 2181-6 26. van der Vleuten GM, van Tits LJH, den Heijer M, Lemmers H, Stalenhoef AFH, and de Graaf J. Decreased adiponectin levels in familial combined hyperlipidemia patients contribute to the atherogenic lipid profile. J Lipid Res 2005; 46: 2398-404 27. Trujillo ME, Scherer PE. Adiponectin - journey from an adipocyte secretory protein to bio marker of the metabotic syndrome. J Intern Med 2005; 257:167-75 28. Bouskila M, Pajvani UB and Scherer PE. Adiponectin: a relevant player in PPAR agonist mediated improvements in hepatic insulin sensitivity? Int J Obesity 2005; 29:S17-S23 29. Chandran M, Philips SA, Ciaraldi T, Henry RR. Adiponectin: more than just another fat cell hormone? Diabetes Care 2003; 26:2442-50 30. Hotta K, Funahashi T, Arita Y, Takahashi M, Matsuda M, Okamoto Y, et al. Plasma concentrations of a novel, adipose-specific protein, adiponectin, in type 2 diabetic patients. Arterioscler Thromb & Vasc Biol. 2000; 20(6):1595-9 31. Schulze MB, Rimm EB, Shai I, Rifai N, Hu FB. Relationship between adiponectin and glicemic control, blood lipids, and inflammatory penandas in men with type 2 diabetes. Diabetes Care 2004; 27:1680-7 32. Haluzik M, Parizkova J, Haluzik MM. Adiponectin and its role in the obesity induced insulin resistance and related complications. Physiol Res 2004; 123-9 33. Okamoto Y, Kihara S, Funahashi T, Matsuzawa Y, Libby P. Adiponectin: a key adipocytokine in metabolic syndrome. Clin Scien. 2006; 110:267-78 34. Goldfine AB and Kahn CR. Adiponectin: linking the fat cell to insulin sensitivity. The Lancet 2003; 362:1431-2 35. Kopp HP, Krzyzanowska K, Mohlig M, Spranger J, Pfeiffer AFH and Schernthaner G. Effects of marked weight loss on plasma levels of adiponectin, markers of chronic subclinical inflammation and insulin resistance in morbidly obese women. Int J Obes 2005; 29:766-71

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

medical review

Departemen Neurologi RSCM/FKUI Jakarta


Abstract. Pain, as defined by International Association for Study of Pain (IASP), can be defined as an unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential tissue damage or described in terms of such damage. Pain can be clinically classified as either nociceptive or neuropathic, although in practice these may coexist. Pain was classically viewed as being mediated solely by neurons. However, it is now recognized that pain and its modulation are not solely mediated by neurons but also involved in neuroimmune interaction. The immune system is involved especially when nerve damage is due to an infectious process or an autoimmune condition. Non-neuronal cells include immune cells in the periphery and glia (astrocyte and microglia) within the brain and spinal cord. Astrocytes and microglia have not only generally been viewed as cells with the major function of activation in response to centrifugal hyperalgesia circuitry but they are also immunocompetent cells and thus can respond like immune cells within the central nervous system. Many of the substances that can be released from astrocytes and microglia are known to be key mediators of hyperalgesia, including nitric oxide (NO), excitatory amino acids (both N-methyl-D-aspartate and non-NMDA agonists), interleukin (IL)-1, IL-6, tumor necrosis factor (TNF), prostaglandins, and nerve growth factor (NGF). The current pharmacological mainstays of clinical management for neuropathic pain are tricyclic antidepressants and certain anticonvulsants. Opioids are still the drugs of choice although they are generally considered to be less effective in neuropathic pain than in inflammatory pain. Drugs that target the glia and its released chemical substances are predicted to be powerful remedies for pain problems. abstrak. Nyeri, seperti yang didefinisikan oleh International Association for Study of Pain (IASP), adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Nyeri diartikan hanya berhubungan secara langsung dengan neuron. Dalam penemuan akhir-akhir ini dinyatakan adanya keterlibatan sistem imun dengan neuron. Hal ini diakibatkan peran glia yang mensekresi mediator inflamasi serta asam amino eksitatorik sebagai mediator hiperalgesia seperti NO, asam amino eksitatorik, NMDA dan agonist non-NMDA, IL-1, IL-6, TNF, prostaglandins, and NGF. Penanggulangan nyeri terutama nyeri neuropatik adalah dengan antidepresan trisiklik dan kelompok antikonvulsan. Terapi dengan opioids juga dilakukan walaupun secara umum kurang efektif terutama untuk nyeri neuropatik. Obat-obat yang targetnya adalah glia dengan mediator proinflamasi diperkirakan sangat bermanfaat.

Jan S Purba

71 27

Pendahuluan
Nyeri, seperti yang didefinisikan oleh IASP, adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Secara klinik, nyeri dapat diklasifikasikan kedalam nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik atau bisa juga kombinasi.1 Secara patologik, nyeri nosiseptif terjadi akibat kerusakan atau cedera jaringan misalnya pada pasca bedah ataupun cedera, akibat kemikalien, termal, osteoartritis sehingga menyebabkan iritasi pada ujung saraf sensorik di perifer, di mana lokasi nyeri yang jelas. Berbeda dengan nyeri neuropatik yang diakibatkan oleh lesi, jaringan saraf memperlihatkan tanda-tanda gangguan sensorik berupa alodinia atau juga hiperalgesia dengan lokasi yang kurang jelas.2 Kornu dorsalis di medula spinalis merupakan lokasi dimana modulasi nyeri dari perifer ditransmisikan menuju otak. Sebagaimana diketahui bahwa timbulnya nyeri bukan hanya dimediasi oleh neuron akan tetapi juga melibatkan sistem imun yang disebut dengan interaksi neuroimun.3-5 Sistem imun akan menjadi aktif

jika terjadi kerusakan jaringan baik dalam keadaan yang steril maupun akibat adanya infeksi seperti herpes zoster, atau juga penyakit-penyakit autoimun seperti Guillain-Barre Syndrome (GBS). Sistem imun juga menjadi aktif jika terjadi kerusakan jaringan karena materi kerusakan sel ini juga dianggap sebagai imunostimulus. Komponen yang bukan bagian dari jaringan saraf di perifer seperti makrofag berperan sebagai sistem imun di perifer sementara di jaringan saraf yang berperan sebagai sistem adalah adalah sel glia.6

Reaksi imun terhadap Kerusakan jaringan


Peran sel glia dan glutamate pada patologi nyeri kronik neuropatik telah terbukti. Sel glia disamping sel pendukung neuron juga berperan sebagai sel yang menyekresi neurotransmiter asam amino eksitatorik misalnya glutamat.7 Glutamat ini akan berpasangan dengan reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) dan -amino-3-hidroksi-5-metil-4isoksasolproprionat (AMPA) pada postsynaptic yang mengakibatkan tanda-tanda patologi spesifik dari nyeri neuropatik. Selain itu sel glia merupakan komponen sel imun di otak yang memproduksi mediator

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

72 66

inflamasi sebagai reaksi terhadap adanya antigen baik yang berasal dari eksternal maupun internal otak sebagai akibat kerusakan jarigan saraf.8-10 Di daerah dimana terjadinya kerusakan jaringan sistem imun disekitarnya akan menjadi aktif dan terjadinya proses regenerasi non-neuronal element seperti sel Schwann, histamin neutrofil dan makrofag serta sel T yang sekaligus menyekresi mediator proinflamasi (TNF-{alpha}, IL-1{beta}, IL-6, CCL2, histamin, PGE2, dan NGF).11 Nyeri patologik merupakan reaksi tubuh terhadap kerusakan jaringan tubuh atau jaringan saraf baik di perifer maupun di sentral yang bisa dimediasi oleh sistem imun. Reaksi imun akan muncul jika jaringan secara langsung kontak atau terpapar dengan antigen berupa mikroorganisme, toksin, bahan kimia, termal yang mengakibatkan terjadinya inflamasi.12 Kejadian ini memberikan reaksi berupa peningkatan suhu tubuh, perubahan kadar ion-ion di plasma, perobahan komposisi darah seperti peningkatan jumlah leukosit, menjadi sakit atau merasa nyeri. Reaksi selanjutnya bisa terjadi perubahan perilaku, perubahan reaksi hormonal misalnya meningkatnya aktivitas aksis HPA serta hormon-hormon simpatetik.13,14 Reaksi nyeri terhadap aksis sistem imunotak akan menginisiasi mediator proinflamasi melalui sel-sel imun yang teraktivasi.15 Pada proses inflamasi, akibat kerusakan jaringan maka leukosit akan bermigrasi ke jaringan tersebut. Leukosit ini bisa menyekresi peptida opioid yang selanjutnya berikatan dengan reseptor opioid pada ujung saraf terminal di daerah yang terinflamasi tersebut. Tujuannya adalah untuk menghilangkan nyeri inflamasi. Migrasi leukosit ini dikontrol oleh kemokin dan molekul adesi. Kelompok neurokin seperti substansi P (SP) juga berperan dalam distribusi nyeri karena sinyal nyeri akan menyebabkan sekresi SP serta asam amino eksitatorik. Aktivitas reseptor natural killer-1 (NK-1) oleh SP dan reseptor AMPA oleh asam amino eksitatorik menyebabkan terrjadinya depolarisasi pada elektrik potensial.9,10 Timbulnya rasa sakit merupakan respons dari komunikasi antara sistem imun dengan otak ditandai oleh sekresi mediator proinflamasi sitokin akibat sel imun yang teraktivasi. Beberapa diantara mediator proinflamasi antara lain NGF, NO, prostanoid, bradikinin, IL-1, IL-6 dan TNF dan histamin. Neutrofil adalah sel inflamasi yang paling cepat memasuki jaringan yang mengalami cedera.16 Kerusakan jaringan saraf perifer ataupun kerusakan jaringan lainnya mengakibatkan makrofag teraktivasi dengan demikian akan menyekresi sitokin proinflamasi (lihat gambar). Inilah yang terjadi sepanjang proses degenerasi Walerian oleh sel Schwann.17 Selain itu sel T dan sel B juga menyekresi mediator inflamasi sitokin yang berkontribusi untuk innate imunity.15

sakan jaringan atau cedera, inflamasi, yang bisa mengakibatkan nyeri neuropatik. Mekanisme nyeri neuropatik di perifer muncul berupa a) ectopic discharges dan ephatic condition, b) pertumbuhan sprouting kolateral, c) coupling antara sistem saraf sensorik dengan saraf simpatetik. Coupling ke saraf simpatetik diakibatkan oleh kerusakan jaringan saraf di mana dalam proses regenerasi bertumbuh menyimpang dari jalur anatomik aslinya. Pada bagian sentral ditemukan beberapa perubahan antara lain a) terjadinya reorganisasi secara anatomik dari sumsum tulang belakang, b) hipereksitabilitas dari sumsum tulang serta c) perubahan pada sistem opioid endogen.2

Sistem imun dengan Susunan Saraf Pusat


Imunosit akan bermigrasi dari sistem sirkulasi ke jaringan yang mengalami inflamasi melalui beberapa tahapan seperti rolling, adhesion, dan transmigrasi lewat dinding pembuluh darah. Proses ini berjalan atas keberadaan intracellular adhesion molecule1 (ICAM-1) pada leukosit dan lapisan endotelium pembuluh darah. ICAM-1 merupakan perantara atau stimulasi produksi opioid yang seterusnya mengakibatkan analgesia terhadap nyeri yang diakibatkan oleh inflamasi.19 Ada beberapa mekanisme masuknya sitokin ke jaringan otak untuk mencapai reseptornya di otak antara lain 1) transport secara aktif, 2) masuk ke dalam otak di mana tidak ditemukan sawar darah otak, 3) melalui ikatan dengan reseptor di dinding pembuluh darah yang kesemuanya ini akan mengubah aktivitas neuron.19

Sistem imun sebagai induksi nyeri


Beberapa penelitian yang berkembang terakhir ini terutama mengenai hubungan nyeri dan sistem imun yakni dengan ditemukannya mediator inflamasi seperti TNF, IL-1, IL-6, NGF dan prostaglandin E2 pada eksudat inflamasi.20 Mediator ini bisa mengakibatkan nyeri berupa hiperalgesia. Pada hewan percobaan, hiperalgesia dapat dipicu dengan penyuntikan lipopolisakarida ke peritoneum yang selanjutnya diketahui bahwa lipopolisakarida ini akan menstimulasi makrofag untuk menyekresi proinflamasi sitokin.15, 21 Seperti telah disebutkan di atas beberapa mediator proinflamasi seperti NGF, NO, IL-1, IL-6 dan TNF akan disekresi oleh sistem imun sebagai reaksi akibat kerusakan atau cedera sel.6,8, 22 Mediasi proinflamasi ini akan menimbulkan nyeri. Pada hewan percobaan dengan pemberian NGF secara sistemik akan mengakibatkan hiperalgesia dan sebaliknya dengan memberikan antagonist akan menghilangkan hiperalgesia tersebut.6,23 Ditemukan juga bahwa sekitar 50% afinitas reseptor NGF (reseptor tirosin kinase A, TrkA) merupakan gen ekspresi nosiseptor seperti brain-derived neurotrophic factor (BDNF) dan substansi P yang kesemuanya akan berperan dalam terjadinya nyeri.24 NO merupakan mediator penting atas terjadinya hiperalgesia yang diinduksi oleh jaringan yang terinflamasi.25, 26 Hal ini dibuktikan dengan memberikan antagonis NO akan menghilangkan hiperalgesia.27 Demikian juga IL-1 berpotensi sebagai mediator proinflamasi pada nyeri neuropatik. Pemberian antagonist IL-1 akan menurunkan perilakun nyeri neuropatik pada hewan percobaan tersebut.20 Walaupun demikian mekanisme aksi dari IL-1 di perifer masih belum jelas. Kemungkinan mekanismenya adalah adanya sinyal kaskade yang kompleks yang akan mengarah pada produksi komponen pronosiseptif atau sel Schwann.21, 22 TNF juga merupakan mediator proinflamasi yang diduga berperan dalam terjadinya nyeri neuropatik. Hal ini dibuktikan adanya korelasi antara ekspresi TNF dengan alodinia atau hiperalgesia pada nyeri neuropatik.11,12 Terjadinya alodinia atau hiperalgesia bisa diperberat dengan menambahkan TNF sementara dengan memberikan antagonis TNF akan memperingan alodinia dan hiperalgesia.27-29

MEDICINUS

glia sebagai modulasi nyeri


Gambar. Reaksi sel glia terhadap patogen (diambil dari Clifford J. Woolf, MD Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-Specific Pharmacologic Management. Ann Intern Med. 2004;140:441-451)

Susunan saraf pusat dan saraf perifer termodulasi akibat keru-

Neuron bukanlah satu-satunya jenis sel yang bertanggungjawab terhadap terjadinya nyeri akan tetapi sel glia pada sumsum tulang belakang juga sangat penting sebagai transmisi menuju sentral di mana stimulus diterjemahkan sebagai nyeri.9,10 Astrosit dan mikroglia bukan hanya berfungsi sebagai sel yang mengatur respons terhadap sirkuit secara

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

sentrifugal penyebab hiperalgesia akan tetapi juga berperan sebagai sel-sel imun di otak. Mikroglia berperan sebagai makrofag di mana p38 sebagian dari kinase dari kelompok mitogen activated protein (MAP) akan menjadi aktif di kornu dorsalis jika terjadi cedera pada jaringan saraf. Jika glia diaktivasi mengakibatkan p38 menjadi aktif sehingga berbagai substansi kimia akan tersekresi serta memperberat nyeri.27,29,30 Mikroglia ini bisa juga teraktivasi tidak hanya oleh kerusakan jaringan saraf sentral akan tetapi juga akibat, invasi mikrobilia dan dalam berbagai kondisi nyeri, yang disebabkan meningkatnya sekresi mediator inflamasi. Dikenal berbagai jenis substansi yang disekresi astrosit dan mikroglia sebagai mediator penyebab hiperalgesia seperti disebut di atas. Astrosit dan mikroglia di medula spinalis berperan sebagai mediator terjadinya hiperalgesia. Astrosit dan mikroglia ini mempunyai reseptor spesifik terhadap beberapa jenis antigen seperti beberapa jenis bakteria dan virus.31 Infasi dari virus atau bakteri akan mengaktifkan astrosit dan mikroglia.32

Strategi Penanggulangan
Meregulasi aktivitas sel glia merupakan terapi yang efektif terhadap nyeri neuropatik. Hal ini akibat aktivasi glia pada kornu dorsalis, bagian dari medula spinalis, yang berperan dalam kegiatannya menyekresi mediator proinflamasi sitokin sebagai penyebab terjadinya nyeri neuropatik. Sampai sekarang obat-obat analgesik terfokus pada saraf perifer dan kornu dorsalis. Akan tetapi efek analgesik untuk nyeri kronik juga berefek terhadap susunan saraf pusat seperti opioid, antidepresan dan antikonvulsan.1,33 Walaupun terapi nyeri tidak dikembangkan atas dasar pendekatan mekanisme yang rasional namun jenis obat-obat seperti disebutkan di atas secara umum digunakan untuk terapi nyeri kronik. Penggunaan opioid tetap mempunyai efek yang tidak diketahui dengan jelas dari subtipe yang mana yang berperan sebagai terapeutik karena mempunyai multipel subtipe dari reseptor yang dikenal seperti 1, 2 and 3.18,34,35 Penggunaan obat antidepresan utamanya karena obat ini berperan untuk inhibisi pembentukan monoamine oxidase (MAO) yang diduga berperan dalam kanal natrium (Na+).36 Sementara pengguaan antikonvulsan terutama untuk nyeri kronik seperti nyeri neuropatik yang berfokus pada reseptor NMDA dengan pengaturan kanal kalsium (Ca++).37

Kesimpulan
Nyeri secara umum baik nosiseptif, neuropatik maupun yang berkaitan dengan psikologik mencakup proses patologis yang sangat luas. Oleh sebab itu dalam penanggulangannya membutuhkan pengetahuan yang mencakup areal tadi. Berkembangnya penelitian tentang nyeri membutuhkan keterlibatan secara multidisipilin dalam penanganannya. Pendalaman tentang peran imun terhadap nyeri membuat berkembangnya penelitian tentang sel glia yang merupakan sel imun di otak. Makrofag di perifer identik dengan sel glia di otak yang akan menyekresi mediator proinflamasi serta asam amino eksitatorik sebagai mediator hiperalgesia seperti NO, asam amino eksitatorik, NMDA dan agonist non-NMDA, IL-1, IL-6, TNF, prostaglandin, dan NGF. Arahan strategi terapi mendasar pada proses patologi yang berlangsung di sel dan jaringan tersebut. Obat-obat yang targetnya adalah glia dengan mediator proinflamasi diperkirakan sangat bermanfaat. Dengan demikian penanggulangan nyeri terutama nyeri neuropatik didasari oleh cara kerja obat antidepresan trisiklik dan kelompok antikonvulsan. Terapi dengan opioids juga dilakukan walaupun secara umum kurang efektif terutama untuk nyeri neuropatik.

Daftar Pustaka
1. 2. 3. 4. 5.

Goucke CR. The management of persistent pain. Med J Aust 2003; 178(9):4447 Bridges D, Thompson SWN, Rice ASC. Mechanisms of neuropathic pain. Br J Anaesth 2001; 87(1):12-26 Machelska H, Stein C. Pain control by immune-derived opioids. Clin Exp Pharmacol Physiol 2000; 27(7):533-6 Watkins LR, Maier SF. The pain of being sick: implications of immune-to-brain communication for understanding pain. Annu Rev Psychol 2000; 51: 29-57 DeLeo JA, Yezierski RP. The role of neuroinflammation and neuroimmune ac-

tivation in persistent pain. Pain 2001; 90:1-6 McMahon SB, Cafferty WB, Marchand F. Immune and glial cell factors as pain mediators and modulators. Exp Neurol 2005; 192:444-62 7. Watkins LR, Milligan ED, Maier SF. Glial proinflammatory cytokines mediate exaggerated pain states: implications for clinical pain. Adv Exp Med Biol 2003; 521:1-21 8. Zielasek J, Hartung HP. Molecular mechanisms of microglial activation. Adv Neuroimmunol 1996; 6:191-22 9. Watkins LR, Milligan ED, Maier SF. Glial activation: a driving force for pathological pain. Trends Neurosci 2001; 24:450-5 10. Watkins LR, Linda R, Maier SF: Beyond neurons: Evidence that immune and glial cells contribute to pathological pain states. Physiol. Rev 2002; 82:981-1011 11. Watkins LR, Wiertelak EP, Goehler LE, Smith KP, Martin D, Maier SF. Characterization of cytokine-induced hyperalgesia. Brain Res 1994; 654:15-26 12. Zuo Y, Perkins NM, Tracey DJ, Geczy CL. Inflammation and hyperalgesia induced by nerve injury in the rat: a key role of mast cells. Pain 2003; 105: 467-79 13. Moalem G, Xu K, Yu L. T lymphocytes play a role in neuropathic pain following peripheral nerve injury in rats. Neuroscience 2004; 129:767-77 14. Maier SF, Watkins LR. Cytokines for psychologists: implications of bidirectional immune-to-brain communication for understanding behavior, mood, and cognition. Psychol Rev 1998; 105:83-107 15. Mason P. Lipopolysaccharide induces fever and decreases tail flick latency in awake rats. Neurosci Lett 1993; 154:134-6 16. Perkins NM, Tracey DJ. Hyperalgesia due to nerve injury: role of neutrophils. Neuroscience 2000; 101:745-57 17. Perrin FE, Lacroix S, Aviles-Trigueros M, David S. Involvement of monocyte chemoattractant protein-1, macrophage inflammatory protein-1 and interleukin-1 in Wallerian degeneration. Brain 2005; 128:854-66 18. Fundytus ME, Schiller PW, Shapiro M, Weltrowska G, Coderre TJ. Attenuation of morphine tolerance and dependence with the highly selective delta-opioid receptor antagonist TIPP. Eur J Pharmacol 1995; 286:105-8 19. Maier SF, Watkins LR. Immune-to-central nervous system communication and its role in modulating pain and cognition: Implications for cancer and cancer treatment. Brain Behav Immun 2003; 17:S125-S31 20. Bennett GJ. Does a neuroimmune interaction contribute to the genesis of painful peripheral neuropathies? Proc Natl Acad Sci USA 1999; 96:7737-8 21. Watkins LR, Deak T, Silbert L, et al. Evidence for involvement of spinal cord glia in diverse models of hyperalgesia. Soc Neurosci Abstr 1995; 21:897 22. Vitkovic L, Bockaert J, Jacque C. Inflammatory cytokine: neuromodulators in normal brain? J Neurochem 2000; 74:457-71 23. Shu XQ, Mendell LM. Neurotrophins and hyperalgesia. Proc Natl Acad Sci USA 1999; 96:7693-6 24. Thompson SW, Bennett DL, Kerr BJ, Bradbury EJ, McMahon SB. Brain-derived neurotrophic factor is an endogenous modulator of nociceptive responses in the spinal cord. Proc Natl Acad Sci USA 1999; 96:7714-8 25. Omote K, Hazama K, Kawamata T, et al. Peripheral nitric oxide in carrageenaninduced inflammation. Brain Res 2001; 912:171-5 26. Thomsen LL, Olesen J. Nitric oxide in primary headaches. Curr Opin Neurol 2001; 14:315-21 27. Schafers M, Svensson CI, Sommer C, Sorkin LS. Tumor necrosis factor- induces mechanical allodynia after spinal nerve ligation by activation of p38 MAPK in primary sensory neurons. J Neurosci 2003; 23:2517-21 28. Sommer C, Lindenlaub T, Teuteberg P, Schafers M, Hartung T, Toyka KV. Anti-TNF-neutralizing antibodies reduce pain-related behavior in two different mouse models of painful mononeuropathy. Brain Res 2001; 913:86-9 29. Schafers M, Brinkhoff J, Neukirchen S, Marziniak M, Sommer C. Combined epineurial therapy with neutralizing antibodies to tumor necrosis factor- and interleukin-1 receptor has an additive effect in reducing neuropathic pain in mice. Neurosci Lett 2001; 310:113-6 30. Tsuda M, Mizokoshi A, Shigemoto-Mogami Y, Koizumi S, Inoue K. Activation of p38 mitogen-activated protein kinase in spinal hyperactive microglia contributes to pain hypersensitivity following peripheral nerve injury. Glia 2004; 45:89-95 31. Watkins LR, Maier SF. Implications of immune-to-brain communication for sickness and pain. Proc Natl Acad Sci USA 1999; 96:7710-3 32. Tyor WR, Glass JD, Griffin JW, et al. Cytokine expression in the brain during the acquired immunodeficiency syndrome. Ann Neurol 1992; 31:349-60 33. Fields HL, Basbaum A. Central nervous system mechanisms of pain modulation. In: Wall PD, Melzack R, editors. Textbook of Pain. Edinburgh: Churchill Livingstone; 1994:243-57 34. Abdelhamid EE, Sultana M, Portoghese PS, Takemori AE. Selective blockage of delta opioid receptors prevents the development of morphine tolerance and dependence in mice. J Pharmacol Exp Ther 1991; 258:299-303 35. Riba P, Ben Y, Smith AP, Furst S, Lee NM. Morphine tolerance in spinal cord is due to interaction between mu- and delta-receptors. J Pharmacol Exp Ther 2002; 300:265-72 36. McQuay HJ, Tramer M, Nye BA, Carroll D, Wiffen PJ, Moore RA. A systematic review of antidepressants in neuropathic pain. Pain 1996; 68:217-27 37. Sindrup SH, Jensen TS. Efficacy of pharmacological treatments of neuropathic pain: an update and effect related to mechanism of drug action. Pain 1999; 83:389-400 6.

73

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

calender events
1. 7th Asian Oceanian Congress of NeuroRadiology (AOCNR) Tanggal: 9-11 July 2009 Tempat: Bali International Convention Center, Nusa Dua, Bali Sekretariat: INDONESIAN SOCIETY of NEURORADIOLOGY Department Radiological Dr. Soetomo General Hospital Jl. Prof. DR. Moestopo No. 6-8, Surabaya atau PT. Global Echo Organizer Convex Jl. Kebon Sirih Timur 4, Jakarta Pusat - Indonesia Telp.: +62-21-3149318 / 3149319 Mobile: +62-21-32244117-118-119 faks: +62-21-3153392 2. 3rd Congress of the Indonesian Spine Society (ISS) Tanggal: 17-18 Juli 2009 Tempat: Mercure Convention Centre, Ancol, Jakarta Sekretariat: ISS Cabang Jakarta - Rumah Sakit Gading Pluit Lt. 7 Ruang 706 Jl. Boulevard Timur Raya Kelapa Gading Jakarta Utara 14250 Telp.: 021-4520201 ext 8706 faks: 021-45866059 3. 7th National Biennial Meeting PERDOSSI Tanggal: 24-26 Juli 2009 Tempat: The Grand Aston Hotel, Medan Sekretariat: PERDOSSI cabang Medan Dept. Neurologi FKUSU RSUP H. Adam Malik Lt. 2, Jl. Bunga Lau No. 17, Medan - Indonesia Telp.: 061-8360885 Fax: 061-8360885 / 8214754 E-mail: perdossi_mdn@yahoo.com Contact Person: dr. Aldy S Rambe, SpS (08126022270); dr. Alfansuri Kadri (08126010064) 4. KONAS PERKENI VIII Topik: Perkembangan Endokrinologi Mutakhir dan Terintegrasi untuk Meningkatkan Pelayanan pada Masyarakat Tanggal: 29 Juli-01 Agustus 2009 Tempat: Hotel Discovery Kartika Plaza, Kuta, Bali Sekretariat: Divisi Endokrinologi dan Metabolisme Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah (Gedung Angsoka Lt. IV) Jl. Diponegoro, Denpasar, Bali Telp.: 0361-7872587 / 246274 faks: 0361-235982 E-mail: perkeni_bali@yahoo.com Website: http://www.konasperkeni2009.com 5. 16th International Symposium on Critical Care and Emergency Medicine 2009 Tanggal: 30 Juli-1 Agustus 2009 Tempat: Grand Hyatt Hotel, Nusa Dua, Bali Sekretariat: CITRA EVENT ORGANISER Jl. Raya Kalibata No. 5 Pancoran Jakarta Selatan 12750, INDONESIA E-mail: qcitra@yahoo.com Website: http://www.criticalcare2009.org Contact Person: Eggy (+628568111077); Henny (+628174955654) 6. 4th National Symposium on Vascular Medicine Topik: Integrative approach on vascular disease: from prevention to intervention Tanggal: 30 Juli-1 Agustus 2009 Tempat: Ritz Carlton Hotel, Jakarta Sekretariat: Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jl. S. Parman Kav. 87 Slipi, Jakarta Telp.: 021-5684085 / 5684093 (ext 2831) faks: 021-56963795 7. KOGI XIV Surabaya Topik: Carring with Science Bring Pogi to the global Community Tanggal: 6-9 Agustus 2009 Tempat: Shangri-La Hotel, Surabaya Sekretariat: POGI cabang Surabaya Department/SMF Obstetri Ginekologi FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo Jl. Mayjend. Prof. dr. Moestopo 6-8 Surabaya 60286, Jawa Timur, Indonesia Telp.: +62-21-5031304 faks: +62-31-5037732 PIN PB PAPDI VII Medan Topik: Updated in Diagnostic Procedure and Treatment in Internal Medicine Tanggal: 7-9 Agustus 2009 Tempat: Grand Aston City Hall, Medan Sekretariat: PAPDI Cabang Sumatera Utara Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUP H. Adam Malik Jl. Bunga Lau No. 17, Medan 20136 Sumatera Utara - Indonesia Telp.: 061-8363009 faks: 061-8363009 atau PB PAPDI Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jl. Salemba Raya No. 6, Jakarta 10430 Telp.: 021-31931384 / 31930808 ext 6703 fax: 021-3148363 9th International Congress on AIDS in Asia and the Pacific (ICAAP 9) Tanggal: 9-13 Agustus 2009 Tempat: Bali International Convention Centre, Nusa Dua, Bali Sekretariat: The 9th ICAAP Secretariat Menara Eksekutif 8th floor, Jl. MH Thamrin Kav. 9, Jakarta 10330, Indonesia Telp.: +62-21-39838845 / 46 faks: +62-21-39838847 Tanggal: 15-17 Oktober 2009 Tempat: Discovery Kartika Plaza, Bali Sekretariat: Pharma-Pro (Medical Conference Organiser) Taman Palem Lestari, Perkantoran Fantasi Blok W/29, Jl. Kamal Raya Outer Ring Road, Cengkareng, JAKARTA 11830 Telp.: +62-21-55960180 faks: +62-21-55960179 E-mail: pharmapro@cbn.net.id Website: http://www.pharma-pro.com 11. Seminar dan Workshop Laparoskopi untuk Infertilitas Tanggal: 17-19 Oktober 2009 Tempat: Auditorium Sarwono Lt. 1 Gedung A/ Public Wing RSCM Sekretariat: RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Telp.: 021-3928720, 68275657 faks: 021-3928719 Contact Person: Sdr. Rima/Frany 12. Asia Pacific Conference of Gynecologic Surgery Tanggal: 28-31 Oktober 2009 Tempat: Novotel Hotel, Mangga Dua, Jakarta Sekretariat: POGI Jaya Klinik Raden Saleh Jl. Raden Saleh Raya No. 49, Jakarta Pusat Telp.: 021-3148858 faks: 021-3148858 Contact Person: Wiwin, Iin dan Lucky (Telp.: 021-3148858) 13. PiT X PeRDoSKi menyikapi Perkembangan Bioteknologi infeksi Kulit dalam Rangka meningkatkan Profesionalisme dan Kompetensi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Tanggal: 29-31 Oktober 2009 Tempat: Hotel Sol Elite Marbella, Anyer, Banten Sekretariat: SMF Kulit dan Klelamin RSUD TANGERANG Jl. A. Yani No. 9, Tangerang Banten, Indonesia atau PP PERDOSKI Department I.K. Kulit & Kelamin RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jl. Diponegoro 71, Jakarta 10430 Telp.: 021-3904517 / 5523507 ext. 330 / 5526686 ext. 330 14. Kongres Nasional PDSKJI 2009 Topik: Revitalisasi Profesionalisme Organisasi PDSKJI Tanggal: 2-4 November 2009 Tempat: Manado Convention Center, SULUT Sekretariat: Perhimpunan Dokter Spesialis Jiwa Indonesia (PDSKJI) Bagian Ilmu Penyakit Jiwa FKUI/RSCM RS. Jiwa Soeharto Heerdjan Jakarta Jl. Prof. DR. Latumeten No. 1, Jakarta Barat

MEDICINUS

8.

74

9.

10. The 5th International Congress of Asia Pacific Hernia Society (APHS) 2009

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

75

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

meet the expert

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia Cabang Jakarta

P
MEDICINUS

ada kesempatan ini kami berkesempatan berbincangbincang dengan Dr. Salim Harris, SpS(K), yaitu Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia Cabang Jakarta untuk periode 2007-2011. Ditemui saat acara Simposium & Workshop Citicoline in Vascular Disease: An Overview yang diadakan pada tanggal 2 Mei 2009 yang bertempat di Hotel Le Meridien. Pada acara ini Dr. Salim Harris berpartisipasi sebagai pembicara. Berikut wawancara kami dengan Dr. Salim Harris, SpS (K) sebelum acara dimulai. Redaksi MEDICINUS (RM): Mengapa Dr. Salim lebih memilih spesialisasi di bidang Neuro? Dr. Salim Harris (SH): Sebenarnya ini pertanyaan yang gampang tapi jawabnya susah. Memang sejujurnya sih kalau berbicara mengapa saya memilih neurologi padahal sebelumnya saya tidak terpikir untuk menjadi seorang Neurologist. Jadi terpikir saja tidak bagaimana saya harus memilih. Mungkin ditengah jalan Allah memberi petunjuk dan semua itu ada hikmahnya jadi apabila makna tersebut ditanamkan dalam diri kita insya Allah tidak ada yang tidak indah. Jadi kembali kepada permasalahan kenapa saya memilih menjadi seorang Neurologist. Terus terang saya katakan saya tidak pernah berpikir untuk bisa menjadi Neurologist apalagi menjadi seorang Konsultan Serebrovaskular (Stroke). Apalagi menjadi seorang dosen Fakultas Kedokteran Indonesia (FKUI), tidak terpikirkan. Mungkin itu memang sudah jalan Tuhan untuk ke arah situ. Dan saya memang tidak memfokuskan ke arah situ. Memang sedikit kompleks ya. Karena pada saat itu memang ada keterlambatan mau masuk ke bagian atau spesialisasi mana nih sebenarnya. Kemudian akhirnya

tekuni sehingga dimanapun saya berada itu pasti saya tekuni. Itu prinsip hidup saya. Saya tidak akan pernah melihat itu dalam bentuk porsi kecil tapi semua yang kecil itu akan menjadi suatu potensi yang sangat besar. Jadi tidak ada manusia atau hewan yang tidak bermanfaat buat kehidupan manusia. Karena itu kita harus saling tolong menolong, bekerjasama dan saling silaturahmi. Sehingga tidak mustahil apa yang kamu lihat tidak bermanfaat sekarang akan menjadi penolong kita dikemudian hari nanti. RM: Kalau di putar kembali ke belakang, apakah menjadi seorang dokter itu memang sudah menjadi cita-cita dokter ? SH: Kalau menjadi dokter citacita dari masa kecil sebetulnya tidak ya. Sebenarnya saya itu seorang pecinta gambar. Saya lebih menyenangi kalau berbicara soal gambar. Sampai sekarangpun saya masih suka menggambar. Kalau ditanya lebih senang kemana mungkin saya lebih memilih arsitek ketika menamatkan SMA pada saat itu. Memang saya mempunyai nilai eksakta yang paling tinggi waktu itu. Pada saat itu saya tidak berpikir untuk mengambil kuliah kedokteran. Mengapa? Banyak hal-hal yang saya alami terhadap dokter yang ada dilingkungan saya kurang sempurna. Artinya dokter konotasi saya hanya orang yang senang menyakiti orang sehingga orang tersebut menjadi tambah sakit ketika disuntik segala macam. Ini saya berbicara saat saya masih kecil ya. Sehingga saya jadi lebih takut kepada dokter. Pendekatan zaman dulu sekitar tahun 70-an mungkin sangat berbeda dengan dokter sekarang. Mungkin karena faktor waktu dan sebagainya. Karena dokter zaman dulu yang saya rasakan tidak ada komunikasi dengan keluarga yang ada hanya mengomeli lalu mengobati

76

masuklah ke Neuro. Dan waktu itu masuk ke Neuro memang peminatnya sedikit sekali. Kemudian sayapun mengikuti ujian masuk spesialis Neurologi ternyata hasilnya dinyatakan lulus. Jadi, ya sudah diteruskan saja. RM: Kenikmatan apa yang Dr. Salim rasakan ketika sudah masuk di bagian Neurologi? SH: Sejujurnya saya tidak termasuk kategori orang yang mudah bosen. Saya itu memang orangnya ya apabila saya punya itu, saya sudah sangat bersyukur. Kalau bisa saya tingkatkan tapi ini tidak akan saya lepas. Jadi prinsip hidup saya seperti itu. Nah keberadaan seperti ini saya sadari sekecil apapun nikmat yang ada itu, kalau bisa kita kembangkan akan menjadi suatu hal yang besar sekali. Jadi itu yang saya

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

dan kemudian pasien pulang. Makanya ketika saya menjadi dokter sekarang itu... ya...anda boleh cek, saya menjadi dokter mempunyai motto bahwa my patient is my friend dan apabila saya mempunyai pasien yang lebih tua maka saya akan menyapanya dengan kata-kata yang lebih kekeluargaan. Saya tidak pernah membuat suatu jarak antara saya dengan pasien saya. Jadi kembali ke masa kecil saya waktu itu saya merasa riskan untuk menjadi seorang dokter. Karena ada perasaan takut pada dokter. Tapi diperjalanan karena orangtua saya ingin saya menjadi seorang dokter waktu itu ya saya akhirnya mengambil kuliah dikedokteran. Jadi bisa dikatakan orangtualah yang sebenarnya memotivasi saya untuk masuk di kedokteran. RM: Jadi setelah dijalani masuk di kedokteran ternyata jadi menikmatinya ya? SH: Ya, saya jadi menikmatinya. Itu tadi yang saya katakan bahwa apa yang saya jalani tidak akan saya lepas. Jadi prinsip hidup saya, apapun yang Allah berikan kepada saya akan saya jalani. Dan saya tidak akan pernah melepas sesuatu yang sudah saya miliki dan semudah apa yang orang lihat karena jelek atau kurang bagus. Itu tidak pernah. Artinya dalam segala hal, saya akan menjaga dengan baik karena saya tahu sekecil apapun dimata orang, itu yang saya punya, saya miliki dan menurut saya suatu saat akan membuat orang itu akan terkaget-kaget akan kebagusan yang dimilikinya tersebut. Demikian juga dalam hal ilmu Kedokteran, sekolah dan sebagainya yang tadinya orang melihat sebelah mata sekarang orang tidak lihat sebelah mata lagi. RM: Dengan banyaknya kegiatan yang dokter Salim lakukan, bagaimana caranya dokter bisa terlihat bugar seperti ini? SH: Memang kalau kita ingin berbicara jujur, itu ada 2 hal. Yang pertama yaitu ada hati yang punya senang. Segala hal yang membuat kebahagiaan artinya membuat tertawa ini semuanya akan memberikan kebugaran. Yang kedua yaitu kebugaran dalam bentuk yang pertama emosional karena dia berpengaruh pada fisik, yang kedua yaitu penyiksaan fisik dalam arti kata bahwa fisik itu tidak boleh dikasih terleha-leha harus dibina untuk bekerja. Jadi fisik itu harus diolah. Inilah yang kita kenal dengan exercise. Jadi fisik itu jangan dimanjakan tapi buatlah fisik itu bekerja. Harus disadari bahwasannnya fisik kita ini akan hilang kalau kita tidak gunakan. Kalau saya sebagai orang Islam itu ada dikatakan NikmatKu mana lagi yang kau

dustakan. Pernyataan tersebut begitu dalam maknanya. Kita mempunyai tangan tapi kita masih saja suka menyuruh orang. Kita mempunyai kaki tapi kita jarang pakai kaki kita. Kita punya mata tapi yang kita lihat cuma yang maksiat saja. Dan semua yang kita punya kita gunakan yang hasilnya negatif. Kalau ini disadari, apabila nikmat Allah itu diambil baru kita tahu nikmat tersebut ada. Kamu tidak akan sadar kalau kamu mampu menikmati nikmat Allah yang berupa penglihatan apabila Allah belum cabut mata kamu menjadi buta. Sehingga kamu rindu ingin melihat kembali. Kamu akan rindu jalan apabila kamu sudah lumpuh nantinya. Nah ini yang ditanamkan di hati kita mulailah kita nikmati bekerja, nikmati olahraga. tanpa olahraga tidak mungkin aliran darah yang kecil akan masuk ke yang paling kecil. Bina badan kita, tempa badan kita. Usahakan jalan kaki minimal 1000 langkah, kemudian carilah kesenangan, kenikmatan artinya bukan harus diberi dengan mahal, tapi tertawalah. Ada fase-fase disitu bahwa Anda merasa suatu kondisi yang sangat menyenangkan. Seper-ti bergaul, itu sebuah terapi untuk psikis kita. Kita mampu mengembangkan psikis kita untuk dibina kemudian fisik kita dibina karena yang selama ini kita bina adalah pikiran kita. Itu salah satu kunci kalau menurut pandangan saya yang pertama adalah kebahagiaan jadi kita mesti bikin happy-happy jangan pusing terus, kita harus tetap tersenyum, senyumnya harus lepas. Kalau ada yang lucu tertawalah. Yang kedua yaitu bina tubuh anda dengan cara exercise. RM: Kalau begitu dokter rajin berolahraga ya ? SH: Kalau bicara soal olahraga itu bicara soal satu target. Kalau olahraga konotasinya lebih tinggi. EXERCISE artinya kita mampu burning yourself inside. Orang lebih senang ke sauna ketimbang jalan kaki untuk mengeluarkan keringat. Kalau anda berjalan kaki untuk mengeluarkan keringat dirumah saja, seperti tadi pagi saya berjalan mutermuter di dalam rumah. Itu sudah exercise untuk mengeluarkan keringat yang mana dibakarnya dari dalam (burning inside). Nah sekarang misalnya anda pergi untuk burning outside, dipanasin di luar untuk mengeluarkan keringat, seperti duduk santai-santai sambil disauna keluar keringat. Itu kan berarti hanya mau keluar keringat saja tapi bukan seperti itu seharusnya. You have to burning yourself by exercise and then you sweating.

RM: Kalau dokter Salim punya waktu luang, biasanya digunakan untuk apa? SH: Jujur saja bisa dibilang, saya praktis tidak mempunyai waktu luang. Yang ada dalam satu minggu itu ada satu hari untuk keluarga. Karena waktu luang saya praktis hanya ada buku, ngajar, laptop dan menonton TV. RM: Bagaimana dengan anggota keluarga, apakah tidak ada yang protes mengenai kesibukan dokter? SH: Dalam satu minggu itu saya tidak pernah mau lepas satu hari untuk keluarga. Jadi satu hari itu biasanya hari minggu, saya benar-benar gunakan untuk keluarga dan tidak ada orang yang bisa ganggu saya dengan kelurga. Saya berusaha hari Minggu itu adalah hari keluarga. Setelah acara ini, sorenya saya bersama keluarga pergi bersama ke rumah kami yang di luar kota. Di sana saya pelihara binatang. Dari semut yang paling kecil, yang hitam itu sahabat saya. Ha..ha..ha...Jadi kalau anda melihat beragam semut, ada yang hitam dan kecil tapi tidak bikin gatal itu sahabat saya. Itu semua membuat saya mempunyai suatu kenikmatan tersendiri. RM: Kenapa ya dok, semut-semut itu bisa menarik perhatian dokter Salim? SH: Saya sendiri tidak tahu, itu hobi saya dari kecil..ha..ha..ha. RM: Pastinya dokter Salim sering mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah. Dari sekian banyaknya kegiatan ilmiah yang dokter ikuti, yang mana yang paling berkesan untuk dokter Salim? SH: Yang paling berkesan buat saya adalah semua. Yang saya ikuti semuanya itu berkesan. Karena saya harus membuat sesuatu itu begitu indah. Karena setiap orang yang akan menjadi speaker mempunyai beban kerja yang lebih berat dari pada audiens. Dia harus learning. Nah disitu kenikmatannya. Kenapa nikmatnya? Nikmatnya kita adalah learning. Jadi semakin banyak saya bicara semakin banyak belajar. Itu adalah salah satu kebahagiaan buat saya. Semakin saya banyak belajar otomatis saya akan semakin bugar. Hal ini sebenarnya yang diexercise otaknya kan. Jadi semakin banyak bekerja maka akan semakin bugar. Hal apa saja..ya semua. Jadi kalau ditanya yang paling menarik yang mana di acara kegiatan ilmiah tersebut. Saya jawab ya semuanya...karena semuanya itu dipelajari benar-benar sehingga kita menemukan hal-hal baru yang belum dibaca kemarin. Kemudian apa yang akan kita pelajari tersebut? Otomastis kita hubung-

77

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

78

kan dengan pasien kita seperti kasus sekarang. Berapa banyak foto-foto pasien saya masukkan dan pasien yang baru-baru. Dan otomatis pengetahuan saya bertambah lagi. Dengan adanya membaca buku lagi, lihat literatur baru-baru lagi maka bertambah lagi ilmunya. Jadi kalau ditanya kegiatan ilmiah apa yang paling mengesankan? Semuanya saya katakan paling mengesankan baik mengesankan karena capeknya, karena ketertarikkannya, karena adanya terobosan-terobosan baru dalam bukunya, karena kesibukkan waktunya, karena kepuasannya dalam memberikan nafkah buat keluarga dengan cara halal. Itu suatu kenikmatan yang luar biasa. Anda bisa bayangkan anda bekerja dan belajar setengah mati selama kurang lebih 3 hari, 2 hari membaca buku dan anda tuangkan dalam bentuk ilmu dan dipresentasikan. Kemudian anda diberikan honorarium dan honorarium itu merupakan keringat anda yang halal. Dan itu anda berikan makan untuk anak istri. Apakah itu bukan suatu kebahagiaan? Buat saya, itu merupakan suatu kenikmatan dari Tuhan yang tidak terkirakan karena Tuhan mengatakan berilah keluargamu dengan barang halal. Jangan pernah menjadi pembicara mendapatkan slide yang sudah jadi. Kalau ada titipan, masukkan saja titipan tersebut tapi bikinlah sendiri slide-nya tersebut. Tidak ada satupun slide saya yang dibuat orang, semuanya saya bikin sendiri termasuk adanya animasi dalam slide saya dan itu membuat kepuasan tersendiri. Jadi kita tahu kapan kita harus berpindah ke slide berikut pada saat presentasi. Karena saya yang tahu dengan baik materi yang akan saya sajikan tersebut. Bagi saya pribadi itu merupakan kebahagiaan. RM: Bagaimana hubungan dokter dengan pasien? Tentunya dokter mempunyai pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Bisa diceritakan sedikit tentang pengalaman-pengalaman tersebut? SH: Ya..kuncinya yaitu yang pertama saya sebagai seorang profesional digerakan pada dasar Al Quran surat Al Maidah ayat 8. Apa itu yang dikatakan dalam surat tersebut? Yaitu berkata jujur, berbuat jujur, berbuat baik dan ini adalah merupakan kunci. Kalau dikupas arti dalam surat Al Maidah ayat 8 itu maknanya adalah Apabila kamu akan baik, kamu akan bertaqwa kepada yang punya diri kita. Kamu harus berbuat adil karena yang adil dan jujur itu

adalah taqwa. Nah ini adalah makna dari Al Maidah ayat 8. Kalau pernyataan itu sudah berada di hati kita, sehingga tidak ada kebohongan. Karena orang yang bohong itu adalah orang yang capek. Dia harus selalu mengingat-ingat kebohongannya. Kalau hari ini dia bohong kepada sepuluh orang pasien. Setelah satu minggu pasien tersebut datang kembali dan dokter tersebut pusing karena dia harus memikirkan apa yang mesti dikatakan kepada pasien tersebut. Jadi pendekatan ke pasien adalah pendekatan manusiawi yang berdasarkan surat Al Maidah ayat 8, yaitu kejujuran, kebaikan dan keadilan. Yang kedua tidak ada merasa kursi kita lebih tinggi dari kursi pasien kita. Karena didasari bahwa pasien itu adalah guru yang paling tinggi. Pasien itu memberikan informasi yang kita pelajari sehingga dia yang membimbing kita untuk menegakkan diagnosa. Tidak meremehkan pasien. Kalau kita sudah lihat ini, kita tidak meremehkan pasien dan sudah berlaku jujur maka jadi tinggal satu lagi, yaitu relationship. Bagaimana anda membina relationship sehingga pasien anda merasa nyaman, yaitu tidak mebuat seolah-olah dokter itu tangan kanannya Tuhan. Sebenarnya dokter itu adalah profesi yang membantu pasien untuk memberikan proses penyembuhan yang diberikan oleh Allah SWT. Apakah dokter bisa menyembuhkan pasien apabila pasiennya diam saja? Tentu saja dokter tidak bisa memberikan suatu diagnosa kepada pasien apalagi mengobati kalau pasiennya tidak mau berkomunikasi. RM: Untuk perkembangan di neuro ini, penyakit-penyakit apa saja yang sering ditemui? SH: Sekali lagi saya katakan jangan berpikir kecil kepada sesuatu yang kecil. Jangan pernah menganggap remeh kepada sesuatu yang anda lihat remeh. Neurologi adalah ilmu yang mungkin sebagian kecil atau sebagian besar dikatakan tidak berkembang itu mustahil sama sekali. Neurologi itu perkembangannya luar biasa. Apa saja sekarang mempunyai nilai perkembangan yang luar biasa. Apa yang mau disebut epilepsi, apa yang mau disebut dengan stroke, apa yang mau disebut dengan infeksi dan semua penyakit autoimun maupun penyakit degeneratif. Itu mempunyai suatu jendela-jendela terobosan baru yang begitu luas dicakrawala. Coba kita umpamakan orang mengatakan dulu sakit

MEDICINUS

stroke itu mati sebelah, hopeless, tidak punya harapan. Kemudian berkembang ilmu kedokteran sampai sekarang berkembang yang namanya stem cell. Wow, dengan adanya stem cell sekarang, orang mulai pada kaget. Karena kita mampu membuat sel otak kembali. Ini kan merupakan suatu trobosan yang luar biasa. Kemudian dari ilmu preventif seperti homocystein yang dulu tidak diketahui merupakan penyebab stroke pada anak usia 8 tahun. Pada tahun 1933 anak umur 8 tahun menderita arterosklerosis. Sekarang sudah diketahui homocystein. Darimana homocystein itu? Dari makanan yang kita makan. Obatnya gampang sekali. Kenapa kita tahu dari dulu? B6, B12, asam folat. Jadi seolah-olah yang di samping kita yang kecil tidak pernah kita sadari. Ini kan cuma B6, ini kan cuma B12, nggak tahunya bisa mencegah begitu dahsyatnya penyakit yang satu ini yaitu kematian. Jadi tidak ada statement yang mengatakan bahwa sesuatu yang kecil itu akan selamanya kecil. Lihatlah yang kecil itu sebagai sesuatu yang besok akan menggantikan kita. Jadi itulah filosofi hidup yang perlu buat pribadi saya kembangkan. RM: Pertanyaan terakhir, apakah dokter Salim mempunyai pesan-pesan untuk para dokter-dokter muda sebagai pengganti dikemudian hari? SH: Ya...pesan terakhir saya buat dokter muda yaitu sebagai seorang manusia, dikatakan jika seorang manusia meninggal maka akan meninggalkan tiga hal yaitu amal perbuatan, anak yang soleh dan ilmu yang bermanfaat. Setiap saya mengajar saya katakan saya akan mendidik kalian sebagian daripada ilmu kedokteran untuk menjadikan kalian dokter. Tolong amalkan ilmu yang saya berikan pada jalan Allah. Setidak-tidaknya kamu tidak menzalimi pasien kamu. Sehingga saya nanti kalau sudah meninggal saya akan mendapatkan kiriman-kiriman pahala dari kalian. Jadi untuk itu, yang penting sekali lagi saya landaskan disini yang pertama jangan pernah berbicara dusta pada pasien kita. Yang kedua jangan pernah menjanjikan yang punya Allah. The future is Allah. Jangan bilang penyakit ini akan sembuh besok. Tapi katakanlah insya Allah. Jadi ini kunci dari keberhasilan yang mudah-mudahan jadi orang-orang yang bermanfaat buat bangsa, agama dan keluarga kita. Itu yang bisa saya sampaikan. GLH

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

symposium events

Simposium & Workshop Citicoline in Vaskular Disease: An Overview


2 mei 2009
Hotel Le Meridien, Jakarta-Pusat

cara Symposium & Workshop Citicoline in Vaskular Disease: An Overview diselenggarakan oleh PT Inmark yang bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tanggal 2 Mei 2009 di Hotel Le Meridien Jakarta. Acara dimulai pukul 09.30 dan dibuka oleh dr. Riwanti Estiasari, SpS yang memberikan sambutan selaku ketua panitia. Kemudian simposium dimulai pada pukul 09.45 WIB dengan dua moderator yaitu dr. Yetti Ramli, SpS (K) dan dr. M. Kurniawan, SpS. Moderator pada materi simposium yang pertama adalah dr. M. Kurniawan, SpS dengan pembicara pertama dr. Salim Haris SpS (K) yang merupakan konsultan neurologist dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Beliau menyampaikan materi mengenai The Role of Citicoline in the Prevention of Cognitive Decline among Patients with Chronic Hypertension. Dalam materi yang disampaikan, dr. Salim Haris, SpS (K), beliau terlebih dahulu menjelaskan gambaran otak manusia, fungsi otak seperti cognitive function yaitu ingatan (memory), perhatian (attention), berbahasa (language), dan executive function yaitu general information, calculation, abstract thinking, planning and problem solving. Kemudian beliau membahas hubungan antara cognitive decline, chronic hipertension, dementia dan

obat citicoline. Kejadian penyakit chronic hypertension merupakan salah satu faktor yang berperan terhadap terjadinya cognitive decline yang kemudian dapat mengarah ke demensia. Pasien dengan cognitive decline belum tentu demensia, akan tetapi jika cognitive decline dibiarkan terus menerus akan menjadi demensia. Tipe dari demensia antara lain alzeimers dementia, vascular dementia dan gabungan dari keduanya yaitu mix dementia. Demensia vaskular dapat disebabkan karena kejadian hipertensi, lalu mengalami stroke atau silent stroke atau atrofi yang kemudian berlanjut mengarah ke demensia. Dari berbagai macam studi, dr. Salim Haris menyampaikan bahwa jika pasien mengalami stroke, sebanyak 26-31% pasien akan mengalami demensia 3 bulan setelah serangan stroke. Oleh karena itu dr Salim menyampaikan strategi yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian demensia vaskular, yang pertama adalah dengan pemberian obat-obat antihipertensi pada penderita hipertensi yang dapat mengontrol atau menurunkan tekanan darah sehingga dapat menurunkan insidensi demensia vaskular, yang kedua dengan memberikan obat-obat neuroprotective untuk mengurangi terjadinya nekrosis maupun apoptosis sel saraf. Dr. Salim Haris juga mengemu-

kakan sedikit tentang citicoline di mana disebutkan bahwa citicoline merupakan rate limiting intermediate pada biosintesis phosphatidyl choline. Citicoline dapat memberikan benefit pada beberapa kondisi patologis seperti pada CNS injury di mana membran sel mengalami kerusakan yang menyebabkan kematian pada sistem saraf. Dari beberapa penelitian juga disampaikan oleh dr. Salim Haris bahwa citicoline dapat mengurangi kejadian cerebral edema (cytotoxic edema maupun vasogenic edema). Setelah materi dari dr. Salim Haris, SpS (K), acara simposium kembali dilanjutkan dengan materi kedua yang diberikan oleh Bapak Raymond R. Tjandrawinata, PhD, dengan moderator dr. Yetti Ramli, SpS (K). Bapak Raymond merupakan Molecular Pharmacologist PT Dexa Medica Group yang menyampaikan materi Molecular Pharmacology of Citicoline. Bapak Raymond mengupas mengenai citicoline yang dipandang dari sudut farmakologi molekularnya, yaitu melihat farmakologi obat secara molekular dan bagaimana efek-efek suatu obat dilihat dari ekspresi gen maupun ekspresi proteinnya. Phosphatidyl choline (Ptd Cho) akan mempertahankan homeostasis membran sel otak. Ptd Cho kemudian akan dipecah menjadi choline dan menjadi substrat serta prekusor pembentukan neurotransmiter asetilkolin. Sintesis Ptd Cho tergantung dari

Jika terjadi iskemia di otak, maka jumlah Ptd Cho berkurang karena jumlah enzim CCT berkurang, hal ini bisa terjadi karena adanya inflamasi yang banyak terjadi pada kasus iskemia dan adanya program cell death (apoptosis). Neuronal iskemia dapat menyebabkan hal-hal antara lain, meningkatkan pengeluaran protein mediator inflamasi yaitu interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis faktor- (TNF-), serta menstimulasi enzim phospholipase A2 (PLA2) yang akan meningkatkan asam arakidonat. Banyaknya TNF- akan mempengaruhi sintesis dari Ptd Cho dengan cara menghambat aktivitas CCT melalui degradasi proteolitik dari enzim tersebut. Jika PLA2 ditingkatkan aktivitasnya oleh adanya TNF-, maka akan meningkatkan jumlah asam arakidonat yang selanjutnya meningkatkan oxidative stress dan akan segera memicu kematian sel. Jika kita meningkatkan konsentrasi citicoline di dalam darah maka secara otomatis PLA2 akan terdeaktivasi dan aktivitas PLA2 akan turun sehingga jumlah asam arakidonat juga menurun, be-

79

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

adanya citicoline dan choline di dalam sel-sel otak. Enzim yang berperan dalam sintesis Ptd Cho adalah phosphocholine cytidylyl transferase (CCT) di mana jika enzim ini jumlahnya berkurang homeostatis sel-sel otak tidak dapat dipertahankan.

gitu juga dengan jumlah reactive oxygen species (ROS) yang bisa menyebabkan kematian sel. Citicoline yang ada di dalam darah akan dimetabolisme menjadi Ptd Cho yang selanjutnya akan menjadi neurotransmiter asetilkolin. Seiring meningkatnya asetilkolin, BCL-2 juga akan meningkat di mana BCL-2 merupakan gen yang digunakan sebagai marker terhadap mekanisme antiapoptosis. Jika BCL-2 meningkat maka apoptosis akan menurun sehingga dapat melindungi otak terhadap kematian sel. Bapak Raymond di akhir sesinya menyimpulkan materi yang diberikan yaitu antara lain, kejadian iskemia dapat menyebabkan kematian sel melalui program

apoptosis. Program apoptosis ini diatur oleh adanya keseimbangan antara hidrolisis dan sintesis dari Ptd Cho. Enzim CCT merupakan rate-limiting enzyme dari sintesis Ptd Cho. Citicoline dapat meningkatkan konsentrasi Ptd Cho dengan meningkatkan ekspresi enzim CCT. Citicoline yang diberikan dari luar dapat melindungi sel saraf dengan cara menekan atau menurunkan ekspresi PLA2 dan protein yang menyebabkan apop-tosis. Setelah kedua pembicara menyampaikan materinya, sesi berikutnya dilanjutkan dengan diskusi tanya jawab yang kurang lebih berlangsung selama 30 menit. Para peserta simposium sangat antusias ditandai dengan begitu banyaknya para peserta yang melontarkan pertanyaan.

Kemudian sesi berikutnya adalah workshop, yang dimulai pukul 12.30 WIB. Sebelumnya peserta dipaparkan suatu kasus yang disampaikan oleh dr. Taufik Mesiano. Mulai dari anamnesis pasien, riwayat penyakit, penegakan diagnosis dan treatment yang diberikan. Dalam workshop ini peserta diharapkan tanggapannya apakah dalam penanganan kasus tersebut sudah sesuai ataukah masih ada yang perlu ditambahkan. Kemudian setelah pemaparan kasus, dilanjutkan dengan pemberian materi workshop oleh dr. Yetti Ramli, SpS (K) yaitu How to Screen Patient Dementia. Dalam penjelasan yang disampaikan dr. Yetti, dikemukakan dengan jelas membedakan pasien dengan gangguan kognitif dan pasien yang telah mengalami

demensia sampai bagaimana cara mendeteksi pasien demensia. Dr. Yetti juga menyampaikan beberapa alat yang dapat membantu menegakkan diagnosis demensia. Menurut dr. Yetti, pasien dikatakan demensia ketika sudah ada penurunan memori dan ditambah dengan penurunan fungsi kognitif yang lain seperti ataksia, gangguan pendengaran, dll. Pemeriksaan yang dilakukan terhadap pasien demensia antara lain dilakukan anamnesis, kemudian pemeriksaan fisik dan selanjutnya pemeriksaan neurologi. Acara ini berakhir sekitar pukul 13.00 WIB dan ditutup oleh dr. Kurniawan, SpS. Kemudian dilanjutkan dengan makan siang bersama. Ana, Cosmas, Marlin

80

Simposium 40 Tahun Dexa Medica Comprehensive Management of Cardiovascular Disease in Daily Practice
2 mei 2009
Hotel JW Marriot, Jakarta

MEDICINUS

imposium ini diadakan oleh PT Dexa Medica bekerja sama dengan Pengurus Pusat Perhimpunan Kardiovaskular Indonesia (PP PERKI) untuk menyambut HUT Ke-40 Dexa Medica Terus Berbakti (27 September 2009). Ada 4 sesi dalam simposiun ini yaitu DR. RMW Kaligis, SpJP (K), FIHA, yang membawakan makalah Global Risk Reduction of Cardiovascular Disease, Prof. DR. dr. Idris Idham, SpJP (K), FIHA, FESC, FACC, FasCC, yang menyam-

paikan makalah Changing Concept Management in Lipid Disorders to Reduce Coronary Heart Disease, Prof. DR. dr. Budhi Setianto, SpJP (K), FIHA, yang mempresentasikan makalah Point to Remember, Dual Antiplatelet Agent in CAD, dan Managing Director Dexa Medica, Ir. Ferry Soetikno, MBA dengan makalah berjudul The Role of Pharmaceutical Manufacturer in Indonesia Healthcare, serta sebagai moderator yaitu Prof. DR. dr. Harmani Kalim, MPH, SpJP (K), FIHA. Simpo-

sium dibuka dengan sambutan dari Ketua PP PERKI, DR. Sunarya Soerianata, SpJP (K), FIHA, FACC, FasCC.

Global Risk Reduction of Cardiovascular Disease DR. RMW Kaligis, SpJP (K), FIHA
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian terbesar di dunia (WHO report, 2003). Beberapa faktor risiko yang berperan antara lain tekanan darah, rokok, berat badan kurang

maupun berlebih, alkohol, kolesterol, sanitasi dan higiene, rendahnya asupan buah dan sayur, dan aktivitas fisik. Dalam salah satu penelitian hipertensi ditunjukkan bahwa dengan tekanan darah sistolik yang sedikit lebih tinggi daripada normal dan pada umur lebih dari 60 tahun, akan lebih berisiko terkena Ischaemic Heart Disease (IHD). Penelitian lain menunjukkan bahwa dengan menurunkan tekanan darah dan kolesterol, angka kematian akan berkurang dengan lebih

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

37

38

MEDICINUS

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

optimal daripada jika hanya menurunkan salah satunya saja. Semakin banyak faktor risiko maka akan semakin tinggi pula angka kejadian kardiovaskular. Pasien penyakit kardiovaskular kurang lebih 80% menderita hipertensi dan 90% mempunyai lebih dari 3 faktor risiko. Dr. Kaligis juga memaparkan perhitungan CV RISK dengan Framingham Heart Study Risk Scores, yaitu dengan menggunakan tabel dimana tiap faktor risiko akan mempunyai score tersendiri dan score tersebut kemudian dijumlahkan, maka akan diketahui berapa persen kemungkinan kita terkena penyakit kardiovaskular setelah 10 tahun kedepan. Faktor risiko yang dinilai antara lain umur, kolesterol LDL, HDL, tekanan darah, diabetes, dan perokok. Faktor risiko (dislipidemia, hipertensi, hipoksia/iskemia, diabetes, rokok dan obesitas) dapat menyebabkan arterosklerosis yang kemudian menjadi kejadian kardiovaskular (stroke, infark miokard, gagal jantung, maupun angina). Melakukan terapi hanya pada salah satu faktor risiko tidaklah cukup. Kurang lebih kejadian kardiovaskular tidak dapat dihindari apabila hanya diberikan terapi statin saja (studi 4S, AFCAPS, Care, LIPID, dll), demikian juga pemberian terapi antihipertensi saja tidak dapat menghindarkan kejadian kardiovaskular sebanyak dari populasi (studi SHEP, MRC-O, SystEur, PROGRESS).

ing population, maka diperkirakan pada tahun 2020 sekitar 25 juta orang meninggal akibat kardiovaskular

dapat menurunkan angka mortalitas, morbiditas, serta meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Seperti terlihat pada gambar berikut ini:

Gambar 2: Dengan terapi antihipertensi (sumber: slide Dr. Kaligis)

Oleh karena itu, strategi yang harus dilakukan untuk mengurangi CHD maupun CVD adalah dengan memberikan terapi terhadap semua faktor risiko. Tata laksana hipertensi yang berlaku sekarang ini menyatakan pentingnya penanganan semua faktor risiko dengan strategi terapi yang tepat (ESH/ESC 2002; WHO/ISH 2003; JNC 7 2003; BHS IV 2005; CHEP 2006), demikian pula halnya dengan tatalaksana pencegahan penyakit CV (European Joint Task Forca 2003; JBS 2 2005). Meremehkan faktor risiko dapat menyebabkan terapi kardiovaskular tidak optimal. Sebaliknya, penanganan faktor risiko kardiovaskular secara keseluruhan merupakan kunci untuk mengurangi kejadian kardiovaskular.

tiap tahunnya.

Changing Concept Management in Lipid Disorders to Reduce Coronary Heart Disease Prof. DR. dr. Idris Idham, SpJP (K), FIHA, FESC, FACC, FasCC
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Sekitar 17 juta orang meninggal karena penyakit kardiovaskular tiap tahun, terutama akibat serangan jantung dan stroke. Adanya peningkatan mortalitas dan morbiditas dalam age-

Menurut the Third Report of the NaPada simposium ini juga disam- tional Cholesterol Education Program paikan bahwa telah terjadi peru- (NCEP) Expert Panel on Detection, bahan konsep dalam penatalak- Evaluation, and Treatment of High sanaan terhadap dislipidemia, Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III [ATP III]) bahwa antara lain: 1.Dulu penatalaksanaan terha- kolesterol LDL diidentifikasi sedap dislipidemia hanya ber- bagai target utama pada terapi untujuan untuk mengontrol ka- tuk menurunkan kolesterol. Studidar lipid dengan fokus yang studi yang ada memperlihatkan hanya terbatas pada dislipi- bahwa konsentrasi kolesterol LDL demia saja, sekarang bertujuan yang tinggi dalam darah merupauntuk mencegah kemungki- kan faktor risiko utama pada pennan terjadinya efek samping yakit kardiovaskular (PJK). Studiutama, dengan fokus bahwa studi tersebut juga menunjukkan dislipidemia sebagai bagian bahwa penurunan kadar kolesdari risiko menyeluruh pada terol LDL akan mengurangi risiko utama kejadian kardiovaskular. pasien. 2. Sekarang sasaran terhadap nilai LDL bergantung pada risiko NCEP ATP III mengklasifikasikan menyeluruh yang mungkin pasien ke dalam 3 kelompok risiko timbul, dengan metode peng- untuk menentukan sasaran kolesgunaan obat dari awal dan se- terol LDL dan tahapan dimulaicara agresif. Dulu sasaran pen- nya pemberian obat (statin) pada gobatan hanya pada nilai LDL ketiga kelompok risiko: saja dengan Kelompok Sasaran Kadar Kadar metode pengrisiko kolesterol kolesterol kolesterol gobatan yang LDL dan LDL dan konservatif. perubahan pertimbangkan
gaya hidup 160

83

Gambar 1: Dengan terapi Statin

Saat ini terapi dislipidemia memiliki target untuk menurunkan LDL, menurunkan TG, dan me-ningkatkan HDL. Namun yang juga perlu diperhatikan mengenai clinical end point dari terapi yang dipilih. Apakah terapi tersebut selain memiliki efek di atas juga

pemberian obat

0-1 faktor risiko

<160

190 (160-189 pemberian obat opsional) 160 (risiko PJK <10%) 130 (risiko PJK 10-20%) 130 (100-129 pemberian obat opsional)

2 faktor risiko

<130

130

PJK atau risiko yang sama dengan PJK

<100

100

risiko 10 tahun PJK, berdasarkan ATP III. risiko yang sama dengan PJK seperti penyakit serebrovaskular, diabetes mellitus, aneurisma aorta.

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

Perubahan gaya hidup merupakan faktor yang sangat penting dalam penanganan dislipidemia, pada pasien dengan risiko penyakit kardiovaskular. Pada prinsipnya pasien dianjurkan untuk meng-urangi berat badan, meningkatkan aktivitas fisik sesuai dengan keadaan dan kemampuannya, dan perubahan dalam pola diet. Pasien dianjurkan untuk meng-urangi asupan lemak total <200 mg/hari dan lemak jenuh (saturated fatty acid) <7% dari total kalori dan meningkatkan asupan lemak tidak jenuh rantai tunggal dan ganda (mono dan poly unsaturated fatty acid).

Points to Remember Dual Antiplatelet in CAD Prof. DR. dr. Budhi Setianto, SpJP (K), FIHA
Atherotrombosis merupakan penyebab kematian paling besar di dunia (WHO, 2001). Manifestasi klinis atherotrombosis dimulai dari aterosklerosis kemudian atherotrombosis dimana trombosis ini akan menyebabkan terjadinya angina tidak stabil, infark miokard, iskemia, stroke, dan kematian kardiovaskular lainnya. Untuk mencegah terbentuknya atau progresi aterotrombosis inilah peran antiplatelet dibutuhkan. Aspirin merupakan oral antiplatelet yang bekerja menghambat enzim siklo-oksigenase pada jalur pembentukan mediator inflamasi sehingga tidak terbentuk tromboksan A2. Sedangkan Clopidrogel bekerja menghambat ikatan ADP dengan reseptornya di platelet. Masing-masing mekanisme menghambat terjadinya agregasi platelet sehingga diharapkan mencegah terbentuknya arterotrombosis (primary prevention) atau menghambat progresi atherotrombosis (secondary atau tertiary prevention). Penggunaan dual antiplatelet (Aspirin + Clopidrogel) diharapkan dapat mencegah terbentuknya atherotrombosis atau menghambat progresi atherotrombosis dengan lebih intens. Akan tetapi hasil analisa retrospektif dari uji klinis CHARISMA terhadap po-

pulasi pasien dengan primary prevention tidak mendukung penggunaan dual antiplatelet sebagai primary prevention untuk pasien dengan risiko tinggi terhadap kejadian atherotrombosis. Pada populasi pasien dengan risiko tinggi atherotrombosis, terjadinya kejadian kematian kardiovaskular pada pasien yang mendapatkan terapi aspirin+clopidrogel justru meningkat dibanding terapi aspirin+plasebo (CV death: 3,9% versus 2,2%, P= 0,01). Relative risk ratio tidak berbeda bermakna antara kelompok dual antiplatelet dengan kelompok single antiplatelet dan risiko pendarahan pada kelompok dual antiplatelet meningkat. Penyebab peningkatan kematian kardiovaskular pada pasien yang menerima terapi dual antiplatelet belum dapat dijelaskan. Hasil analisa ini merupakan hasil analisa post hoc retrospektif. Oleh sebab itu, lebih lanjut lagi dibutuhkan evaluasi prospektif untuk penggunaan dual antiplatelet sebagai primary prevention. Tetapi penggunaan dual antiplatelet sebagai secondary prevention masih dapat dipertimbangkan. Uji Klinis CHARISMA menunjukkkan bahwa event rate (%) dual antiplatelet tidak berbeda bermakna dengan event rate (%) single antiplatelet. Akan tetapi, uji-uji lainnya (seperti: CLARITY, CURE, PCI-CURE, dan CREDO) menunjukkan event rate (%) yang lebih rendah pada kelompok dual antiplatelet dibandingkan dengan kelompok single antiplatelet. Namun perlu juga diperhatian, persentase kemungkinan pendarahan pada kelompok terapi dual antiplatelet lebih besar daripada terapi single antiplatelet. Dr. Budhi juga memberikan paparan mengenai tatalaksana antitrombosis untuk pasien ACS (Acute Coronary Syndrome), yaitu untuk pasien yang tidak menggunakan stent, pasien dengan Bare metal stent, pasien dengan drug eluting stent, dan pasien PCI (Percutaneus Coronary Intervention). Pada dasarnya terapi dual antiplatelet pada pasien ACS direkomendasikan, kecuali

terdapat risiko tinggi terhadap kejadian pendarahan. Sebagai ringkasan, rekomendasi pemakaian dual antiplatelet adalah sebagai berikut:
Indikasi Primary prevention of CV events Secondary prevention of stroke ACS, tanpa stent Bare-metal stent Drug-eluting stent Pasien CAGB Durasi Hindari Hindari 1-12 bln 1-12 bln 12 bln Dihentikan 5-7 hr sebelum prosedur bypass Selamanya??

krisis ekonomi global, terutama pada industri-industri farmasi di Indonesia. Tiga dimensi utama dalam industri farmasi yaitu: a) Dimensi SoSHORT sial b) Ekonomi B c) Research dan teknologi B a) Dimensi sosial Konsumsi obat per C kapita tiap negara dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini karena semakin me-ningkatnya penyakit-penya-kit degenerasi di kalangan masyarakat. Jika dilihat dari tahun 2005, maka kemungkinan 25 tahun ke depan akan terjadi peningkatan risiko masyarakat menderita penyakit-penyakit degenerasi. Dengan semakin meningkatnya risiko terkena penyakitpenyakit tersebut, maka usia harapan hidup masyarakat akan semakin tinggi sehingga kebutuhan masyarakat akan obat pun semakin meningkat. Masyarakat tidak hanya membutuhkan obat yang ala kadarnya (misalnya: dulu ketika terkena penyakit tertentu, maka hanya diberikan antibiotik) namun membutuhkan obat yang lebih tepat untuk mengobati penyakitnya.
A A

Pasien DM, LM, LV thrombus (CHF, AF)

SORT: Strength of Recommendation Taxonomy ACS : Acute Coronary Syndrome CAGB: Coronary Artery Bypass Graft

MEDICINUS

84

Dalam tatalaksana kedokteran, paparan dr. Budhi Setianto di atas dapat menjadi dasar pertimbangan praktisi, yaitu pertimbangan risk-benefit ratio dalam pemillihan antiplatelet untuk pencegahan atherothrombosis. Menutup topik dual platelet ini, dr. Budhi juga mengungkapkan bahwa para klinisi dan pasien sangat tertolong dengan adanya first generic clopidrogel (VACLO, Dexa Medica) yang telah dibuktikan bioekivalen dengan PLAVIX, Sanovi Aventis dalam studi BABE.

The Role of Pharmaceutical Manufacturer in Indonesia Healthcare Ir. Ferry Soetikno, MBA
Saat ini dunia sedang mengalami krisis ekonomi global. Hal ini menyebabkan terjadinya banyak pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan-karyawan industri. Beberapa negara yang terlihat terkena dampak dari krisis ekonomi global ini antara lain negara-negara di Eropa, Amerika, China, dan Kamboja yang membawa dampak terjadinya job crisis di negara-negara tersebut. Diharapkan Indonesia tidak terkena imbas dari adanya

Dengan melihat kebutuhan masyarakat akan obat-obatan mulai saat ini hingga beberapa waktu ke depan, industri farmasi diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan akan obat. Industri farmasi sudah selayaknya melakukan product selection dalam memproduksi obat-obatan. Product selection dalam industri farmasi terdiri dari original products dan generic. Original products berkaitan dengan obat-obat original yang dipasarkan kepada masyarakat, biasanya dikenal

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

dengan sebutan obat paten. Tentunya harga dari obatobat tersebut cukup tinggi, sehingga hanya masyarakat golongan menengah ke atas yang dapat menggunakan obat-obatan tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan obatobatan dengan kualitas sama dengan harga yang relatif rendah sehingga dapat menjadi konsumsi seluruh lapisan masyarakat terutama masyarakat menegah ke bawah. Disinilah industri farmasi menjalankan perannya dalam dimensi sosial, yaitu dengan menghasilkan obatobatan generic yang memiliki kualitas sama dengan original products namun dengan harga yang relatif rendah. Adapun definisi dari obat generic adalah obat-obatan yang telah kehilangan masa patennya (off patent). Kebutuhan akan obat generic ini dalam setiap tahunnya meningkat sebesar 10%. Hal ini menunjukkan bahwa obatobat generik mulai mendapat kepercayaan dari dokter dan pasien yang menggunakannya. Di Indonesia obat generik terdiri dari branded generic dan obat generik berlogo. Pak Ferry mengharapkan agar para dokter sebagai orang yang berada di garis depan bertemu dengan pasien menyampaikan dan meyakinkan pasien bahwa obat-obat generik memiliki kualitas sebaik obat-obat original products. b) Dimensi ekonomi Dalam dimensi ekonomi, industri farmasi memiliki peran dalam melakukan investasi dan komitmen. Bentuk investasi yang dilakukan oleh industri farmasi berupa pembangunan pabrik dengan mengikuti kaidah-kaidah GMP (Good Manufacturing Practice). Dalam hal investasi, penting bagi industri farmasi untuk melihat kapasitas yang dimilikinya. Industri farmasi harus mampu menilai kapasitas yang dimilikinya sebagai sebuah aset atau

c) Dimensi research dan teknologi Saat ini kebanyakan obat yang dipasarkan di masyarakat merupakan obat-obat paten milik Multi National Companies (MNC). Hak paten merupakan intellectual property right. Industri farmasi di Indonesia belum banyak yang menghasilkan produk baru yang memiliki hak paten. Adapun kebanyakan produknya adalah me too products. Semakin banyaknya me too products, maka semakin tinggi persaingan di pasaran. Dalam mengatasi hal ini, industri farmasi membutuhkan suatu strategi baru agar tetap mampu menghasilkan output. Salah satu strategi yang dipakai oleh PT Dexa Medica yaitu strategic alliance. Strategic alliance merupakan suatu strategi mengadakan hubungan aliansi dengan MNC. Modal utama dalam melakukan strategi ini adalah TRUST. Dexa Medica dalam hal ini telah banyak menjalin aliansi dengan MNC seperti Pfizer, Novartis, Menarini, Sanofi Aventis dan lainnya. Salah satu ben-

Sebagai kesimpulan dari materi yang disampaikan yaitu: 1. Industri farmasi mempunyai peran penting dalam pelayanan kesehatan. 2. Tiga dimensi yang telah dijelaskan sebelumnya masih memiliki banyak tantangan yang harus dihadapi.
Lydia, Meta, Mita, Natalia

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

liabilitas (tanggungan). Jika salah menilai maka hal tersebut dapat mengganggu jalannya usaha industri farmasi. Pabrik dan sumber daya manusia merupakan sebuah aset bagi industri farmasi yang perlu terus dibangun. Selain investasi, industri farmasi diharapkan memiliki komitmen dalam menjalankan usahanya sesuai dengan GMP dengan menghasilkan produk-produk farmasi yang terjamin kualitasnya. Dengan produk yang terjamin kualitasnya maka industri farmasi dapat melakukan ekspor ke negara luar. Peran industri farmasi dalam melakukan ekspor merupakan bentuk keikutsertaan industri farmasi dalam membangun perekonomian negara karena ekspor yang dilakukannya termasuk dalam ekspor non migas.

tuk strategi aliansi PT Dexa Medica yaitu dengan Sanofi Aventis dengan meluncurkan VACLO sebagai first generic to launch setelah original product dari Pfizer kehilangan patennya. Sebagai bukti bahwa VACLO memiliki kualitas yang sama dengan original productnya ditunjukkan melalui uji bioekuivalensi (BE). Peran lain dalam dimensi research dan teknologi ini adalah pengembangan New Drugs Delivery System (NDDS) dan obat-obat yang berbahan baku dari alam (Dexa Laboratory of Biomolecular and Sciences). Mengakhiri presentasinya, Pak Ferry memperlihatkan foto-foto beberapa prestasi yang telah diraih PT Dexa Medica hingga saat ini, diantaranya yaitu, saat PT Ferron Par Pharmaceutical melakukan ekspor untuk pertama kalinya ke United Kingdom. Merupakan suatu prestasi yang membanggakan karena PT Dexa Medica terbukti mampu menembus regulasi yang sangat ketat yang berlaku di negara tersebut.

85

literatur services

Pembaca yang budiman, Jurnal MEDICINUS melayani permintaan literatur services hanya dengan melalui Tim Promosi Dexa Medica Group. Di bawah ini akan diberikan daftar isi beberapa jurnal terbaru yang dapat anda pilih. Bila anda menginginkannya, mohon halaman ini difotokopi, artikel yang dimaksud diberi tanda dan dikirimkan ke atau melalui Tim Promosi.

Triple-combination

pharmacotherapy

for

o o

novel agents on the horizon for cancer therapy. Ca Cancer J Clin 2009; 59:111-37 growth factors and adipocytokines in prepubertal children born small for gestational age. Diabetes Care 2009; 32:714-9

medically ill smokers. a randomized trial. Annals of Internal Medicine 2009; 150:447-54

intravenous esomeprazole for prevention of recurrent peptic ulcer bleeding. a randomized trial. Annals of Internal Medicine 2009; 150:455-64

insulin therapy and glycemic control in hospitalized patients with diabets during enteral nutrition therapy. Diabetes Care 2009; 32:594-6

o
MEDICINUS

abnormal functional specialization within medial prefrontal cortex in high-functioning autism: a multi-voxel similarity analysis. Brain 2009; 132:869-78

a simplified approach to the treatment of uncomplicated hypertension: a cluster randomized, controlled trial. Hypertension 2009; 53:646-53

86

Blood ammonia levels in liver cirrhosis: a clue for the presence of portosystemic collateral veins. BMC Gastroenterology 2009; 9:21

Cardiac outcomes after screening for asymptomatic coronary artery disease in patients with type 2 diabetes: The DiaD study: a randomized controlled trial. JAMA 2009; 301(15):1547-55

Spinal cord stimulation in the treatment of refractory angina: systemic review and meta-analysis of randomized controlled trials. BMC Cardiovascular Disorders 2009; 9:13

o Cognitive function at 3 years of age after fetal exposure to antiepileptic drugs. The New England Journal of Medicine 2009; 360:1597605

o systemic review and meta-analysis: probia


otics in the treatment of irritable bowel syndrome. BMC Gastroenterology 2009; 9:15

meta-analysis of duloxetine vs pregabalin and gabapentin in the treatment of diabetic peripheral neuropathic pain. BmC neurology 2009; 9:6

o Valsartan for prevention of recurrent atrial


fibrillation. The New England Journal of Medicine 2009; 360:1606-17

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

events

Stimuno Terpilih Sebagai Most Recommended Brand 2009


timuno terpilih sebagai Most Recommended Brand (produk yang paling direkomendasikan konsumen) untuk kategori Sistem Imunitas Anak. Penghargaan ini dalam ajang Word of Mouth Marketing Award 2009 diberikan oleh onbee Marketing Research (Octovate Consulting Group) dan Majalah SWA. Penyerahan dilakukan di Hotel Shangri-La, Jakarta, Kamis, 16 April 2009 oleh pimpinan onbee Marketing Research didampingi pimpinan Majalah SWA kepada Head of Marketing & Sales OTC PT Dexa Medica, Sylvia A. Rizal, mewakili Managing Director PT Dexa Medica Ferry Soetikno. Penghargaan ini didasarkan pada hasil survei Word of Mouth Marketing Index (WOMMI) yang dilakukan oleh onbee dan Ma-

Corporate Communications Dexa Medica

BoSKa, Best Brand 2009 di afrika Barat


OSKA meraih penghargaan sebagai merek terbaik di seluruh Afrika Barat tahun 2009 (The West African Branding Excellence Awards 2009). Boska menjadi pemenang penghargaan kategori pain reliever. Penghargaan diberikan oleh The Institute of Brand Management of Nigeria (IBMN) di Sheraton Hotel and Towers, Ikeja, Lagos, Nigeria, pada 8 April 2009. Penghargaan ini merupakan pertama kalinya diberikan oleh IBMN kepada berbagai produk dan jasa mulai dari FMCG (Fast Moving Consumer Goods), OTC (Over The Counter) products, print & electronic media, local airline, perbankan, hingga courier service. Hadir pada acara penghargaan tersebut adalah Chief Regulatory Officer NafdacNational Agency for Food and Drug Administration & Control (Badan POM Nigeria), Dr. Mat-

87

Sertifikat West Africa's Best Pain Reliever Brand of The Year 2009 yang diterima BOSKA dari The Institute of Brand Management of Nigeria.

ty O. N. Udoye BSc., MSc., PhD, mewaki-li Director General NAFDAC, Dr. Paul Orhii. BOSKA produk dari Dexa Medica berkhasiat sebagai antianalgesik untuk menyembuhkan sakit kepala, demam serta rasa

nyeri di badan, yang telah dipasarkan ke luar negeri, yaitu Nigeria, sejak tahun 1998. Tablet BOSKA bertanda bintang 5, melambangkan tingginya kualitas BOSKA. Konsumen di Nigeria yang te-

lah mengkonsumsi BOSKA mengakui efektivitas yang dirasakan secara cepat. Kepuasan pelanggan dan kualitas yang telah teruji ini, menjadikan Brand BOSKA kuat dan semakin dipercaya. BOSKA juga peduli terhadap brand social responsibility, terbukti dengan mengadakan Boska Football Cup di kalangan muda kota Lagos sejak 2007-2009 dan di kota Kano pada tahun ini. Merupakan rekor kompetisi yg melibatkan tim terbanyak di Nigeria. Penghargaan untuk produkproduk OTC diberikan berdasarkan penilaian yang meliputi tingkat consumer acceptance, quality reliability, market share dominace, optimum satisfaction, juga resilience value and durability. Selama ini, BOSKA memang telah dikenal sebagai produk yang memenuhi semua kriteria penilaian tersebut. Corporate Communications Dexa Medica

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

jalah SWA. Survei WOMMI baru kali pertama dilakukan di Indonesia. Survei tersebut melibatkan 1.850 responden (1.000 random sampling dan 850 booster sampling) di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar. Usia Responden 15-55 tahun dengan tingkat sosial ekonomi dari A sampai E. Survei dilakukan dengan mengukur empat variabel utama, yaitu talking (tingkat merek tersebut dibicarakan oleh konsumen), promoting (tingkat merek tersebut dipromosikan oleh konsumen), selling (tingkat merek tersebut dijual/direkomendasikan oleh konsumen) dan social network (jaringan sosial yang dimiliki konsumen).

Head of Marketing and Sales OTC PT Dexa Medica, Sylivia A. Rizal, saat menerima penghargaan Most Recommended Brand 2009 untuk STIMUNO, yang diberikan oleh onbee Marketing Research.

ibu negara ani Yudhoyono Singgah di Stand ogBdexa

tand OGBdexa di IndoMedica Expo, Jakarta Convention Center (JCC) Hall B, Senayan, mendapat kunjungan Ibu Negara, Ani Yudhoyono, pada Jumat, 8 Mei 2009. Ibu Negara didampingi oleh Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Soedibyo, Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, Ketua Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB), Ny. Hendarman Supandji, dan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes. Kunjungan tersebut dilakukan setelah Ibu Negara menyerahkan penghargaan Dokter Kecil Award

2009 di tempat yang sama. Ketika singgah ke stand OGBdexa, Head of Marketing & Sales OGBdexa, Tarcisius T. Randy, dan Head of Marketing & Sales OTC Dexa Medica, Sylvia A. Rizal, sempat berbincang-bincang sejenak dengan Ibu Negara. Stand OGBdexa menginformasikan kegiatan edukasi, kegiatan sosial pengobatan gratis, penyuluhan kesehatan kepada masyarakat luas dan ragam penghargaan yang diperoleh Dexa Medica. IndoMedica Expo yang diselenggarakan oleh PB IDI berakhir hari Minggu, 10 Mei 2009. Corporate

Communications Dexa Medica

Ibu Negara Ani Yudhoyono mendapat penjelasan tentang OGB dan Stimuno saat berkunjung ke stand OGBdexa pada acara IndoMedica Expo 2009, di Jakarta.

MEDICINUS

88

Pakar Berbagai negara hadir di Indonesian Digestive Disease Week 2009

ejumlah pakar dari berbagai Negara (USA, Jepang, India, dan Indonesia) hadir dalam Indonesian Digestive Disease Week (IDDW) 2009 yang berlangsung mulai 14-16 Mei 2009 di Jakarta.

Pada 14 Mei 2009, dilangsungkan The 5th International Endoscopy Workshop yang berlangsung di Auditorium Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RS. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Program ini menyajikan live demonstration tin-

dakan operasi dengan teknik Endoscopy. Tampil antara lain, Prof. Roy Soetikno (USA) bersama sejumlah pakar lain seperti Prof D. Nageshwar Reddy, MD (India), dr. Marcellus Simadibrata, PhD, SpPD-KGEH (Indonesia) melakukan live demonstration tindakan operasi menggunakan teknik Endoscopy, dihadapan sekitar 50 dokter, yang melihat secara langsung melalui layar lebar di Auditorium Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pada sesi pertama dilakukan live demonstration: Diagnostic Upper GI Endoscopy & Colonoscopy, Sclerotherapy/Ligation of Esophageal Varices and Fundal Varices Histoacryl Injection. Prof. Roy dan Prof. Reddy melakukan demo bergantian, sambil melakukan tanya-jawab dengan para dokter yang antusias

menyaksikan jalannya operasi dari layar lebar. Sebuah kemajuan teknologi kedokteran, di mana dalam proses operasi, pasien tidak perlu dilakukan pembedahan. Prof. Roy Soetikno selain melakukan live demonstration, juga diminta memberikan komentar saat dr. Marcellus live demonstration, melakukan tindakan Endoscopy kepada pasien yang menderita hepatic chirrosis, pada live demonstration sesi ke dua. Ada empat sesi live demonstration dalam program dari The 5th International Endoscopy Workshop 2009 ini. Dr.H.Chudahman Manan, SpPDKGEH ikut memandu jalannya live demonstration yang berlangsung hingga sore hari. Kegiatan IDDW 2009 selanjutnya pada 15-16 Mei 2009 berupa Simposium dan Plenary Lecture. Corporate Communications Dexa Medica

Prof. Roy Soetikno bersama sejumlah pakar melakukan live demonstration tindakan operasi menggunakan teknik Endoscopy, pada The 5th International Endoscopy Workshop, di Jakarta.

Vol. 22, No.2, Edisi Juni - Agustus 2009

Vol. 22, No.1, Edisi Juni - Agustus 2009

MEDICINUS

IKLAN KEPPRA

IKLAN HOSPITAL EXPO

You might also like