You are on page 1of 50

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

PengertianBahasaIndonesia

Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap menggunakan bahasa Indonesia. Ia merupakan bahasa yang penting di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dilihat dari kedudukannya dalam khazanah kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa Indonesia memiliki dua pengertian, yaitu sebagai bahasa nasional dan sebagaibahasanegara.

Bahasa Indonesia, dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, didasarkan pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, terutama butir ketiga yang berbunyi: "Kami putra dan putrid Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Sementara dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 yang berbunyi, "Bahasa negara adalah bahasa Indonesia".

Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki beberapa fungsi. Pertama, sebagai lambang kebanggaan nasional. Artinya, bahwa bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai social budaya yang mendasari rasa kebangsaan bangsa Indonesia.

Fungsi kedua dari bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional adalah sebagai lambang jati diri atau identitas nasional. Artinya, bahwa bahasa Indonesia merupakan cerminan kepribadian bangsa Indonesia secara eksistensi. Selain sebagai lambang jati diri atau identitas nasional, bahasa Indonesia dalam kedudukannnya sebagai bahasa nasional juga memiliki fungsi sebagai alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda latar belakang sosial, budaya, dan bahasanya. Artinya, bahwa bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat Bahasa Indonesia 1

komunikasi

di

seluruh

pelosok

Indonesia.

Fungsi terakhir yang dimiliki oleh bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah sebagai alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah. Artinya, bahwa dengan adanya bahasa Indonesia dan penggunaan bahasa Indonesia bangsa Indonesia mendahulukan kepentingan nasional ketimbang kepentingan daerah, suku ataupun golongan. Tadi telah dipaparkan, bahwa bahasa Indonesia juga berkedudukan sebagai bahasa negara. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki beberapa fungsi. Pertama sebagai bahasa resmi negara.

Sebagai bahasa resmi negara, bahasa Indonesia digunakan untuk berbagai keperluan kenegaraan, baik lisan maupun tulis, seperti pidato-pidato kenegaraan, dokumen-dokumen resmi negara, dan sidang-sidang yang bersifat kenegaraan. Semua itu dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya.

Fungsi kedua bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa negara adalah sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan. Dalam fungsinya ini, bahasa Indonesia digunakan sebagai sarana penyampai ilmu pengetahuan kepada anak didik di bangku pendidikan dari tingkat taman kanakkanak sampai dengan perguruan tinggi, baik negri maupun swasta. Selain sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan, bahasa Indonesia, sebagai bahasa negara, juga memiliki fungsi sebagai bahasa resmi dalam perhubungan pada tingkat nasional, baik untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan maupun untuk kepentingan pemerintahan. Artinya, bahwa bahasa Indonesia tidak saja hanya digunakan sebagai alat komunikasi timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat luas, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi penduduk di seluruh pelosok Indonesia.

Fungsi terakhir dari bahasa Indonesia sebagai bahasa negara adalah sebagai bahasa resmi di dalam kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan Bahasa Indonesia 2

teknologi modern. Artinya, bahwa bahasa Indonesia dipakai sebagai alat untuk mengembangkan dan membina iptek dan kebudayaan nasional sehingga tercipta satu ciri khas yang menandakan satu kesatuan negara Indonesia dan bukannya kedaerahan. 1.2 Tujuan Tujuan saya membuat makalah Bahasa Indoensia ini, agar para pembaca bisa lebih mengerti dan memahami apa sebenarnay bahasa indenesia itu. Sarana untuk menyelaraskan hal yang bisa membuat bimbang mengenai tata cara pemakaian alenia, membuat paragraf, menentukan kalimat dedukti dan indukti lalu masih banyak hal yang lain yang bisa diambil dari makalah ini. Makalah ini juga bertujuan untuk mneyelesaikan tugas ahir mata kuliah bahasa Indonesia. Menggali seberapa dalam kita memahami pelajara yang diberikan oleh Bok.Yusuf selaku dosen pembimbing mata kuliah ini.

1.3 Rumusan Masalah a. Mengetahui sejarah bahasa Indonesia b. Pembelajaran bahasa Indonesia c. mengetahi jenis jenis karangan d. Narasi e. Ciri cirri karangan narasi f. Eksposisi g.Tujugan pembelajaran bahasa Indonesia h. Tenik mengarang i. Evaluasi pembelajaran mengarang j. inkonsisten orang dewasa

Bahasa Indonesia 3

Daftar Isi BAB I


1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan 1.3 Rumusan Masalah 1 3 3

BAB II 2.1 Sejarah Indonesia 2.2 Ragam Bahasa 2.3 Perkembangan Ilmu Komunikasi di Indonesia 2.4 Perkembangan Bahas 2.5 Strategi pembelajaran di Indonesia 2.6 Pendekataan Pembelajaran 2.7 Metode pembelajaran 2.8 Tehnik Pembelajaran 2.9 Pengertian Karangan 2.10 Tujuan Mengarang 2.11 Jenis jenis karangan 2.12 Narasi 2.11 Ciri karangan Narasi 2.12 Citi yang karangan itu 2.13 Pola Pengembangan 2.14 Eksposisi 2. 18. Deskripsi 2.19 Alenia 2.15 Argumen 2.16 Pembelajaran Mengarang 2.17 Materi pembelajaran mengarang 2.18 Metode Pembelajaran mengarang 2.19 Evaluasi ` 2.20 Infomasi orang Dewasa BAB III

5 6 11 17 19 19 20 26 27 27 28 30 31 31 33 34 36 39 39 40 41 42 44 48

Bahasa Indonesia 4

SejarahBahasaIndonesia

Untuk dapat meraih kedudukannya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang.

Telah diketahui bersama bahwa bahasa Indonesia yang kita gunakan saat ini berasal dari bahasa Melayu. Ada beberapa alasan yang menyebabkan diangkatnya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Pertama, bahwa bahasa melayu merupakan lingua franca (bahasa yang dipergunakan sebagai alat komunikasi sosial di antara orang-orang yang berlainan bahasanya) di Indonesia.

Jauh sebelum bahasa Indonesia ada dan dipergunakan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara di Indonesia, bahasa Melayu sudah terlebih dahulu menjadi alat komunikasi di Indonesia. Ini dapat dilihat dari banyaknya prasasti-prasasti pada zaman kerajaan Sriwijaya (kisaran abad VII) yang ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu, seperti prasasti di Talang Tuwo, Palembang yang berangka tahun 684, prasasti di Kota Kapur, Bangka Barat yang berangka tahun 686, ataupun prasasti Karang Brahi yang berangka tahun 686.

Selain itu, keberadaan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Indonesia juga dapat dilihat dari daftar kata-kata yang disusun oleh seorang Portugis bernama Pigafetta pada tahun 1522. Daftar tersebut dia susun berdasarkan kata-kata dari bahasa Melayu yang ada dan tersebar penggunaan di kepulauan Maluku. Atau juga pada surat keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah kolonial Belanda. Surat keputusan yang bernomor K.B. 1871 No. 104 menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah bumi putera diberi dalam bahasa Daerah, kalau tidakdipakaibahasaMelayu.

Alasan kedua yang meyebabkan diangkat bahasa Melayu sebagai bahasa Bahasa Indonesia 5

Indonesia adalah kesederhanaan sistem bahasa Melayu yang tidak memiliki tingkatan. Tidak seperti bahasa Jawa yang memiliki tingkatan seperti kromo, kromo madya, dan ngoko, bahasa Melayu tidak mengenal sistem tingkatan seperti itu. Bahasa Melayu tidak mengenal tingkatan-tingkatan dalam sistem berbahasanya inilah yang menciptakan kesan bahasa Melayu mudah untuk dipelajari.

Selain itu, diterima dan diangkatnya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia disebabkan karena kerelaan berbagai suku di Indoensia untuk menerima bahasa Melayu sebagai bahasa nasional bangsa Indonesia. Bentuk kerelaan ini puncaknya terjadi pada Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 yang melahirkan teks Naskah Sumpah Pemuda, yang salah satu butirnya berbunyi, "Kami putra dan putrid Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Alasan keempat atau alasan terakhir yang menyebabkan diangkatnya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia adalah kesanggupan bahasa Melayu untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas. Kesanggupan ini dibuktikan dengan keberadaan bahasa Melayu yang merupakan alat perhubungan antara orang-orang yang berlainan bahasanya di Indonesia. Sebagai alat perhubungan tersebut, bahasa Melayu telah mampu membuktikan kemampuannya dalam menterjemahkan segala perilaku dan bentuk-bentuk budaya yang ada di Indonesia, sehingga mereka yang berada di luar wilayah kebudayaan Indonesia pun dapat memahami segala bentuk dan perilaku kebudayaan yang ada di Indonesia.

RagamBahasaIndonesia

Dalam praktek pemakaiannya bahasa memiliki banyak ragam. Secara sederhana, ragam bahasa dapat diartikan sebagai variasi pemakaian bahasa Bahasa Indonesia 6

yang timbul sebagai akibat adanya sarana, situasi, norma dan bidang pemakaian bahasa yang berbeda-beda. Merujuk pada pengertian tersebut, maka ragam bahasa dapat dilihat dari empat segi, yaitu: (a) segi sarana pemakaiannya, (b) segi situasi pemakaiannya, (c) segi norma pemakaiannya, dan (d) segi bidang pemkaiannya.

Berdasarkan segi sarana pemakaiannya, bahasa Indonesia dapat dibedakan atas dua ragam, yakni tulis dan lisan. Ragam bahasa Indonesia tulis adalah variasi bahasa Indonesia yang dipergunakan dengan medium tulisan. Sementara ragam bahasa Indonesia lisan adalah ragam bahasa Indonesia yang diungkapkan dalam bentuk lisan.

Antara ragam bahasa lisan dan bahasa tulis terdapat beberapa perbedaan, sebagai berikut:

a. Ragam bahasa lisan menghendaki adanya orang kedua yang bertindak sebagai lawan bicara orang pertama yang hadir di dapan, sedangkan dalam ragam tulis keberadaan orang kedua yang bertindak sebagai lawan bicara tidak harus ada atau hadir di hadapan.

b. Dalam ragam bahasa lisan unsur-unsur fungsi gramatikal seperti subjek, predikat dan objek tidak selalu dinyatakan, bahkan terkadang (dan tak jarang) unsure-unsur tersebut ditinggalkan. Ini disebabkan karena bahasa yang digunakan tersebut dapat dibantu oleh gerak, mimik, pandangan, anggukan atau intonasi. Sementara pada ragam bahasa tulis fungsi-fungsi gramatikal senantiasa dinyatakan dengan jelas. Ini semata karena ragam tulis menghendaki agar orang yang "diajak bicara" mengerti isi dari sebuah tulisan yang disampaikan.

c. Ragam bahasa lisan terikat pada kondisi, situasi, ruang, dan waktu. Sementara ragam bahasa tulis tidak, karena ia memuat kelengkapan unsurunsur fungsi gramatikal dan ketatabahasaan.

d. Ragam bahasa lisan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya dan panjang atau pendeknya suara, sementara ragam bahasa tulis dilengkapi dengan tanda Bahasa Indonesia 7

baca,

huruf

besar

dan

huruf

miring.

Selain dilihat dari segi sarana pemakaiannya, ragam bahasa Indonesia juga dapat dilihat dari situasi pemakaiannya. Dari segi situasi pemakaiannya, ragam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi ragam bahasa Indonesia resmi dan ragam bahasa Indonesia tak resmi.

Ragam bahasa Indonesia resmi disebut juga ragam bahasa Indonesia formal. Ia merupakan ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam situasi formal. Sebagai ragam bahasa yang digunakan dalam situasi resmi atau formal, keberadaannya ditandai dengan pemakaian unsur-unsur kebahasaan yang memperlihatkan tingkat kebakuan yang tinggi.

Ragam bahasa Indonesia resmi memiliki bentuk ragamnya yang berupa lisan dan tulis. Dalam bentuk lisan, ragam bahasa Indonesia resmi dapat dijumpai pada pembicaraan-pembicaraan di seminar-seminar ataupun pada pembacaan teks-teks pidato kenegaraan. Sementara dalam bentuk tulis, ragam bahasa Indonesia resmi dapat dijumpai dalam teks-teks pidato kenegaraan.

Selain ragam bahasa Indonesia resmi, dari segi situasi pemakaiannya, bahasa Indonesia juga terdiri dari ragam bahasa Indonesia tak resmi. Ragam ini disebut juga ragam bahasa Indonesia informal. Ia merupakan ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam situasi tak resmi. Secara sederhana, ragam bahasa ini dapat dilihat dari pemakaian unsur-unsur bahasa yang memperlihatkan tingkat kebakuan yang rendah.

Sebagaimana ragam bahasa Indonesia resmi, ragam bahasa Indonesia tak resmi juga memiliki bentuknya, baik berupa lisan ataupun tulis. Dalam bentuk lisan, ragam bahasa Indonesia ini biasanya dengan mudah dapat kita jumpai dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Sementara dalam bentuk tulis, ragam bahasa Indonesia ini dapat dengan mudah ditemukan dalam Bahasa Indonesia 8

sejumlah teks-teks sastra, baik apakah itu novel, cerita pendek, ataupun puisi.

Dari segi norma pemakaiannya, bahasa Indonesia terdiri dari dua ragam, baku dan tidak baku.

Ragam bahasa Indonesia baku adalah ragam bahasa Indonesia yang pemakaiannya sesuai dengan kaidah tatabahasa Indonesia yang berlaku, baik apakah itu secara ejaan, maupun ketatabahasaan secara lebih spesifik. Ia biasanya, baik secara lisan ataupun tulis, identik dengan ragam bahasa Indonesia resmi. Ini karena dalam situasi resmi, ragam bahasa Indonesia yang digunakan senantiasa mengacu pada kaidah-kaidah tatabahasa yang baku.

Ragam bahasa Indonesia tidak baku adalah ragam bahasa Indonesia yang pemakaiannya menyimpang dari kaidah yang berlaku. Ragam bahasa Indonesia ini, baik dalam bentuk tulis maupun lisan, berkaitan erat dengan ragam bahasa Indonesia tak resmi. Ini karena dalam situasi tak resmi, bahasa Indonesia baku tidak digunakan. Misalnya, di dalam pergaulan sehari-hari, penggunaan bahasa Indonesia baku akan membuat kondisi pergaulan menjadi kaku dan terkesan resmi.

Bahasa Indonesia, dalam ragamnya, juga dapat dilihat dari segi bidang pemakaiannya. Dalam segi bidang pemakaiannya, apakah itu dalam lisan ataupun tulis, bahasa Indonesia memiliki banyak ragam, antara lain: bahasa Indonesia jurnalistik, bahasa Indonesia sastra, bahasa Indonesia ilmiah, dsb. Ini karena banyaknya bidang kehidupan yang dimasuki oleh bahasa Indonesia dan setiap bidang tersebut memiliki cirinya masing-masing yang

membedakan antara satu bidang dengan lainnya. Istilah komunikasi (communication) berasal dari kata: common, yang berarti sama, dengan maksud sama makna, sehingga secara sederhana dapat dikatakan bahwa komunikasimerupakan proses penyampaian persepsi,

Bahasa Indonesia 9

pikiran dan rasa antara komunikator dengan komunikan. Bentuk dan cara komunikasi yang diciptakan manusia sesungguhnya terus berkembang sepanjang zaman, termasuk bahasa yang digunakan sebagai perantara. Status ilmu komunikasi di Indonesia diperoleh melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107/82 Tahun 1982. Sebelumnya dibeberapa universitas, terdapat beberapa nama yang berbeda, seperti di Universitas Padjadjaran Bandung dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang menggunakan nama Publisistik, serta Universitas Indonesia yang telah lama mengganti nama Publisistik menjadi Ilmu Komunikasi Massa. Beberapa tokoh yang telah berjasa memasukkan ilmu komunikasi ke Indonesia antara lain Drs. Marbangun, Sundoro, Prof. Sujono Hadinoto, Adinegoro, Prof. Dr. Mustopo, Dr. Phil Astrid S. Susanto dari Jerman Barat (1964) dan Dr. M. Alwi Dahlan dari Amerika Serikat (1967). Periode 1920-1945 khalayak tidak berperan secara aktif, hal ini dikarenakan tidak diberikannya peluang bagi masyarakat untuk dapat menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya yang disebabkan masyarakat Indonesia berada dibawah tekanan penjajahan. Pada periode 1945-1965 khalayak secara pasti mulai berperan secara aktif. Berbeda dengan masa kemerdekaan, di masa Orde Lama Peran pemerintah di masa Orde Lama terlihat sangat dominant. Hal ini dibuktikan dengan adanya penerapan situasi darurat perang (SOB), dimana Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1 Oktober 1958. Pada periode ke tiga 1965- 1998 khalayak kembali berperan pasif seperti di masa kemerdekaan. Hanya saja kondisi ini bukan dikarenakan minat intelektual masyarakat yang rendah, tetapi lebih disebabkan karena peran pemerintah yang dominan yang mengakibatkan masyarakat tidak dapat dengan bebas menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya melalui media. Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada Bahasa Indonesia 10

1978, berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden. Periode ke empat tahun 1998- sekarang, khalayak kembali menggeliat aktif. Pasca 1998 setelah runtuhnya rezim Orde Baru Khalayak dapat sebebas-bebasnya menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya melalui media tanpa harus ada kekhawatiran akan mendapatkan tekanan dari pemerintah. Pada era ini jurnalisme radio mulai semarak, stasiun radio di Jakarta seperti Elshinta, Sonora dan Trijaya FM mulai memproduksi laporan berita. Langkah itu diikuti sejumlah stasiun radio di daerah seperti Nikoya, Banda Aceh. Kata kunci: komunikasi, perkembangan ilmu komunikasi, khalayak. Istilah komunikasi yang semula merupakan fenomena sosial, kemudian menjadi ilmu yang secara akademik berdisiplin mandiri, dewasa ini dianggap amat penting sehubungan dengan dampak sosial yang menjadi kendala bagi kemaslahatan umat manusia akibat perkembangan teknologi. Ilmu komunikasi apabila diaplikasikan secara benar akan mampu mencegah dan menghilangkan konflik antarpribadi, antarkelompok,

antarsuku, antarbangsa dan antarras, membina persatuan umat manusia penghuni bumi. Pentingnya studi komunikasi karena permasalahan-permasalahan yang timbul akibat komunikasi. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia secara tidak kodrati harus hidup bersama manusia lain, baik demi kelangsungan hidupnya, keamanan hidupnya, maupun demi keturunannya. Dalam pergaulan hidup manusia di mana masing-masing individu satu sama lain beraneka ragam itu terjadi interaksi, saling mempengaruhi demi kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing. Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antarmanusia. Yang dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya.

Bahasa Indonesia 11

1.2 Perkembangan Ilmu Komunikasi di Indonesia Di Indonesia, ilmu komunikasi yang kita kaji saat ini sebenarnya merupakan hasil dari suatu proses perkembangan yang panjang. Status ilmu komunikasi di Indonesia diperoleh melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107/82 Tahun 1982. Keppres itu yang kemudian membawa penyeragaman nama dari ilmu yang dikembangkan di Indonesia, termasuk ilmu komunikasi. Sebelumnya dibeberapa universitas, terdapat beberapa nama yang berbeda, seperti di Universitas Padjadjaran Bandung dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang menggunakan nama Publisistik, serta Universitas Indonesia yang telah lama mengganti nama Publisistik menjadi Ilmu Komunikasi Massa. Dalam perkembangannya, kendati telah terjadi perkembangan yang penting mengenai paradigma ilmu komunikasi dimana telah muncul paradigma baru yang diuraikan oleh B. Aubrey Fisher dengan sebutan perspektif psikologis, mekanis, dan pragmatis , di Indonesia hingga saat ini ternyata masih saja berkiprah pada paradigma lama atau klasik yang dinamakan perspektif mekanistis. Hampir semua penelitian empiris komunikasi manusia di Indonesia berdasar pada perspektif mekanistis dimana yang menjadi objek penelitian adalah alam atau fisik saja. Kekecewaan dan kritik terhadap kajian ini memang telah tumbuh, bersamaan dengan semakin berkembangnya teori dan pengkajian ilmu komunikasi. Namun, mekanistis masih saja dipakai walau minat baru, gagasan baru, dan teori baru telah tumbuh dan berkembang. Komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan media massa. Komunikasi massa dikatakan sebagai suatu objek studi karena semakin lama, peran media sebagai institusi penting dalam masyarakat kian meningkat.

Berdasarkan kedua hal tersebut diatas, maka komunikasi massa memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut : Serempak Bahasa Indonesia 12

Meluas Segera Anonim (tidak saling kenal) Melembaga Komunikasi searah Influence (mempengaruhi) Menginformasikan

Perkembangan Komunikasi Massa di Indonesia Berikut perkembangan komunikasi massa di Indonesia : 1920-1945 Di masa ini khalayak tidak berperan secara aktif, hal ini dikarenakan tidak diberikannya peluang bagi masyarakat untuk dapat menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya. Masyarakat Indonesia berada dibawah tekanan penjajahan, sehingga minat intelektual masyarakat Indonesia relatif rendah. Di sisi lain, media berperan aktif terutama sebagai alat perjuangan. Akan tetapi keberadaan media masih terkukung dalam semangat kedaerahan yang tak terelakkan, bahkan sampai penjajah meninggalkan Indonesia. Kondisi ini ditambah dengan adanya tekanan dari pemerintahan penjajah. Sensor yang teramat ketat dimana tidak ada berita yang tersiar tanpa persetujuan gubernur jenderal membuat media tidak dapat bergerak dengan bebas.

Tahun 1945-1965 Berbeda dengan masa kemerdekaan, di masa Orde Lama khalayak secara pasti mulai berperan secara aktif. Segala gagasan, kreasi, dan pikiran mulai dengan bebas dituangkan khalayak di dalam media. Namun walau demikian, tidak semua gagasan, kreasi, dan pikiran khalayak dapat tersalurkan dalam media secara baik. hal ini dikarenakan sistem yang diterapkan oleh pemerintahan penjajah kembali diterapkan (walau tidak sepenuhnya) oleh pemerintahan Orde Lama dibawah kepemimpinan Bahasa Indonesia 13

Soekarno. Peran pemerintah di masa Orde Lama terlihat sangat dominant. Hal ini dibuktikan dengan adanya penerapan situasi darurat perang (SOB), dimana Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1 Oktober 1958. Aturan tersebut mengakibatkan banyak media yang diberangus dan juga penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian dan majalah kemudian dipertegas dengan Penpres No.6/1963. Tahun 1965- 1998 Di masa Orde Baru, khalayak kembali berperan pasif seperti di masa kemerdekaan. Hanya saja kondisi ini bukan dikarenakan minat intelektual masyarakat yang rendah, tetapi lebih disebabkan karena peran pemerintah yang dominan yang mengakibatkan masyarakat tidak dapat dengan bebas menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya melalui media. Peran media di masa Orde Baru sebenarnya sudah lebih aktif dibanding pada saat masa Orde Lama. Namun, lagi-lagi sistem pemerintahan penjajah masih diterapkan oleh pemerintahan Soeharto. Represi bahkan sudah dijalankan bahkan sejak pada awal era Orde Baru, orde yang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen. Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan Bahasa Indonesia 14

peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar. Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon, dan diijinkan terbit kembali setelah masing-masing pemilik Koran tersebut meminta maaf kepada pemimpin nasional (Soeharto). Proses komunikasi berjalan dengan sangat selektif. Hal ini terlihat dengan adanya golongan yang sangat dominan di dalam proses komunikasi tersebut, yakni pemerintah. Pada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara cerdik berhasil merumuskan sistem pers baru yang orisinil yakni Pers Pancasila, satu labelisasi gaya Indonesia dari konsep development journalism (atau dalam kategori Siebert, Peterson, dan Schramm termasuk dalam jenis social responsibility pers). Konsep Pers Pembangunan atau Pers Pancasila (sering didefinisikan sebagai bukan pers liberal juga bukan pers komunis) secara resmi dirumuskan pertama kali dalam Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan 1980-an.. Rumusan tersebut berbunyi: Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila , dalam arti pers yang orientasi sikap dan tingkah lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila, dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 45 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri. Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui hakekat dan fungsi itu Pers Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggungjawab.

Bahasa Indonesia 15

Istilah Pers Pancasila merupakan cerminan keinginan politik yang kuat dan ideologisasi korporatis saat itu yang menghendaki pers sebagai alat pemerintah. Akibatnya fungsi pers sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif seperti didefinisikan dalam Pers Pancasila, tidak bisa terwujud. Pers Indonesia periode akhir 1970-an hingga 1998 semata-mata menjadi corong (mouthpiece) pemerintah, kehilangan independensi dan fungsi kontrolnya. Berbagai pembatasan yang dibuat rezim Soeharto membuat wartawan tak bebas menulis. Pada era ini lah muncul apa yang disebut--secara sinis sebagai budaya telepon. Peringatan melalui telepon ini bisa dilakukan oleh siapa saja di kalangan aparat pemerintah, untuk mencegah media menulis laporan tertentu yang tidak disukai pemerintah. Selain itu pada pertengahan 1980-an juga mulai lazim kebiasaan pejabat militer dan pemerintah berkunjung ke kantor redaksi media cetak untuk memberikan informasi penting dan ketentuan tak tertulis apa yang boleh dan tidak boleh ditulis. Berbagai bentuk sensorsip ini mendorong pengelola media menggunakan gaya bahasa eufimistik untuk menghindarkan teguran dan pembredelan. Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin pintar untuk melakukan swa-sensor (self censorship). Akibatnya sebagian besar media cetak saat itu bisa dikatakan menjadi corong pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabat tinggi pemerintah dan militer akan dicetak dan dijadikan laporan utama (headline) oleh pers.

Tahun 1998- sekarang Pasca 1998 setelah runtuhnya rezim Orde Baru, khalayak kembali menggeliat aktif. Khalayak dapat sebebas-bebasnya menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya melalui media tanpa harus ada kekhawatiran akan mendapatkan tekanan dari pemerintah. Begitu juga media, dapat berperan secara aktif khususnya dalam mengambil peran sebagai penyalur/penengah bagi khalayak dan hubungannya dengan pemerintah. Penerbitan pers yang semula dibatasi perizinan kemudian Bahasa Indonesia 16

leluasa menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten, bahkan kecamatan, terbit tabloid baru. Di Ujung Pandang, misalnya, yang semula cuma memiliki 5 penerbitan pers, kurang dari setahun melonjak mencapai lebih dari 45 penerbitan pers. Pada era ini jurnalisme radio mulai semarak, stasiun radio di Jakarta seperti Elshinta, Sonora dan Trijaya FM mulai memproduksi laporan berita. Langkah itu diikuti sejumlah stasiun radio di daerah seperti Nikoya, Banda Aceh. Permohonan untuk pendirian stasiun radio baru mencapai 32. Sedangkan untuk media televisi, meskipun lima stasiun TV yang terbelit utang, Departeman Penerangan sampai Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untuk delapan stasiun baru, enam diantaranya untuk siaran nasional. Persoalannya frekwensi yang tersedia untuk siaran nasional tinggal satu. Di era reformasi ini, peran pemerintah tidak dominan dibanding era-era sebelumnya. Pemerintah memberikan kebebasan kepada media sesuai dengan tugas dan fungsinya

Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang strategi pembelajaran Bahasa Indonesia dan efektivitasnya terhadap pencapaian tujuan belajar, kajian pustaka penelitian ini akan difokuskan pada (1) pembelajaran bahasa, (2) strategi pembelajaran Bahasa Indonesia, meliputi metode dan teknik pembelajaran Bahasa Indonesia, dan (3) hasil pembelajaran

1.3 Pembelajaran Bahasa Pembelajaran merupakan upaya membelajarkan siswa Degeng (1989). Kegiatan pengupayaan ini akan mengakibatkan siswa dapat mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efisien. Upaya-upaya yang dilakukan dapat berupa analisis tujuan dan karakteristik studi dan siswa, analisis sumber belajar, menetapkan strategi pengorganisasian, isi pembelajaran, menetapkan strategi penyampaian pembelajaran, menetapkan strategi pengelolaan pembelajaran, dan menetapkan prosedur pengukuran hasil pembelajaran. Bahasa Indonesia 17

Oleh karena itu, setiap pengajar harus memiliki keterampilan dalam memilih strategi pembelajaran untuk setiap jenis kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, dengan memilih strategi pembelajaran yang tepat dalam setiap jenis kegiatan pembelajaran, diharapkan pencapaian tujuan belajar dapat terpenuhi. Gilstrap dan Martin (1975) juga menyatakan bahwa peran pengajar lebih erat kaitannya dengan keberhasilan pebelajar, terutama berkenaan dengan kemampuan pengajar dalam menetapkan strategi pembelajaran. Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pebelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995). Hal ini relevan dengan kurikulum 2004 bahwa kompetensi pebelajar bahasa diarahkan ke dalam empat subaspek, yaitu membaca, berbicara, menyimak, dan mendengarkan. Sedangkan tujuan pembelajaran bahasa, menurut Basiran (1999) adalah keterampilan komunikasi dalam berbagai konteks komunikasi. Kemampuan yang dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai, dan mengekspresikan diri dengan berbahasa. Kesemuanya itu dikelompokkan menjadi kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan.

Sementara itu, dalam kurikulum 2004 untuk SMA dan MA, disebutkan bahwa tujuan pemelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia secara umum meliputi (1) siswa menghargai dan membanggakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara, (2) siswa memahami Bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi,serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan, (3) siswa memiliki kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional,dan

kematangan sosial, (4) siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis), (5) siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan

Bahasa Indonesia 18

(6) siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Untuk mencapai tujuan di atas, pembelajaran bahasa harus mengetahui prinsip-prinsip belajar bahasa yang kemudian diwujudkan dalam kegiatan pembelajarannya, serta menjadikan aspek-aspek tersebut sebagai petunjuk dalam kegiatan pembelajarannya. Prinsip-prinsip belajar bahasa dapat disarikan sebagai berikut. Pebelajar akan belajar bahasa dengan baik bila (1) diperlakukan sebagai individu yang memiliki kebutuhan dan minat, (2) diberi kesempatan berapstisipasi dalam penggunaan bahasa secara komunikatif dalam berbagai macam aktivitas, (3) bila ia secara sengaja memfokuskan pembelajarannya kepada bentuk, keterampilan, dan strategi untuk mendukung proses pemerolehan bahasa, (4) ia disebarkan dalam data sosiokultural dan pengalaman langsung dengan budaya menjadi bagian dari bahasa sasaran, (5) jika menyadari akan peran dan hakikat bahasa dan budaya, (6) jika diberi umpan balik yang tepat menyangkut kemajuan mereka, dan (7) jika diberi kesempatan untuk mengatur pembelajaran mereka sendiri (Aminuddin, 1994).

1.4 Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia Pembicaraaan mengenai strategi pembelajaran bahasa tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pendekatan, metode, dan teknik mengajar. Machfudz (2002) mengutip penjelasan Edward M. Anthony (dalam H. Allen and Robert, 1972) menjelaskan sebagai berikut.

1.5 Pendekatan Pembelajaran Istilah pendekatan dalam pembelajaran bahasa mengacu pada teoriteori tentang hakekat bahasa dan pembelajaran bahasa yang berfungsi sebagai sumber landasan/prinsip pengajaran bahasa. Teori tentang hakikat bahasa mengemukakan asumsi-asumsi dan tesisi-tesis tentang hakikat bahasa, karakteristik bahasa, unsur-unsur bahasa, serta fungsi dan pemakaiannya sebagai media komunikasi dalam suatu masyarakat bahasa. Teori belajar Bahasa Indonesia 19

bahasa mengemukakan proses psikologis dalam belajar bahasa sebagaimana dikemukakan dalam psikolinguistil. Pendekatan pembelajaran lebih bersifat aksiomatis dalam definisi bahwa kebenaran teori-teori linguistik dan teori belajar bahasa yang digunakan tidak dipersoalkan lagi. Dari pendekatan ini diturunkan metode pembelajaran bahasa. Misalnya dari pendekatan berdasarkan teori ilmu bahasa struktural yang mengemukakan tesis-tesis linguistik menurut pandangan kaum strukturalis dan pendekatan teori belajar bahasa menganut aliran behavioerisme diturunkan metode pembelajaran bahasa yang disebut Metode Tata Bahasa (Grammar Method).

1.6 Metode Pembelajaran Istilah metode berarti perencanaan secara menyeluruh untuk menyajikan materi pelajaran bahasa secara teratur. Istilah ini bersifat prosedural dalam arti penerapan suatu metode dalam pembelajaran bahasa dikerjakan dengan melalui langkah-langkah yang teratur dan secara bertahap, dimulai dari penyusunan perencanaan pengajaran, penyajian pengajaran, proses belajar mengajar, dan penilaian hasil belajar. Dalam strategi pembelajaran, terdapat variabel metode pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu strategi pengorganisasian isi pembelajaran, (b) strategi penyampaian pembelajaran, dan (c) startegi pengelolaan pembelajaran (Degeng, 1989). Hal ini akan dijelaskan sebagai berikut. (a) Strategi Pengorganisasian Isi Pembelajaran Adalah metode untuk mengorganisasikan isi bidang studi yang telah dipilih untuk pembelajaran. Mengorganisasi mengacu pada tindakan seperti pemilihan isi, penataan isi, pembuatan diagram, format, dan lain-lain yang setingkat dengan itu. Strategi penyampaian pembelajaran adalah metode untuk menyampaikan pembelajaran kepada pebelajar untuk menerima serta merespon masukan yang berasal dari pebelajar. Adapun startegi pengelolaan pembelajaran adalah metode untuk menata interaksi antara pebelajar dengan variabel pengorganisasian dan penyampaian isi pembelajaran. Bahasa Indonesia 20

Strategi pengorganisasian isi pembelajaran dibedakan menjadi dua jenis, yaitu strategi pengorganisasian pada tingkat mikro dan makro. Strategi mikro mengacu pada metode untuk mengorganisasian isi pembelajaran yang berkisar pada satu konsep atau prosedur atau prinsip. Sedangkan strategi makro mengacu pada metode untuk mengorganisasi isis pembelajaran yang melibatkan lebih dari satu konsep atau prosedur atau prinsip. Strategi makro lebih banyak berurusan dengan bagaimana memilih, menata ururtan, membuat sintesis, dan rangkuman isi pembelajaran yang paling berkaitan. Penataan ururtan isi mengacku pada keputusan tentang bagaimana cara menata atau menentukan ururtan konsep, prosedur atau prinsip-prinsip hingga tampak keterkaitannya dan menjadi mudah dipahami.

(b) Strategi Penyampaian Pembelajaran Strategi penyampaian pembelajaran merupakan komponen variabel metode untuk melaksanakan proses pembelajaran. Strategi ini memiliki dua fungsi, yaitu (1) menyampaikan isi pembelajaran kepada pebelajar, dan (2) menyediakan informasi atau bahan-bahan yang diperlukan pebelajar untuk menampilkan unjuk kerja (seperti latihan tes). Secara lengkap ada tiga komponen yang perlu diperhatikan dalam mendeskripsikan strategi penyampaian, yaitu (1) media pembelajaran, (2) interaksi pebelajar dengan media, dan (3) bentuk belajar mengajar. (1) Media Pembelajaran Media pembelajaran adalah komponen strategi penyampaian yang dapat dimuat pesan yang akan disampaikan kepada pebelajar baik berupa orang, alat, maupun bahan. Interkasi pebelajar dengan emdia adalah komponen strategi penyampaian pembelajaran yang mengacu kepada kegiatan belajar. Adapun bentuk belajar mengajar adalah komponen strategi penyampaian pembelajaran yang mengacu pada apakah pembelajaran dalam kelompok besar, kelompok kecil, perseorangan atau mandiri (Degeng, 1989).

Bahasa Indonesia 21

Martin dan Brigss (1986) mengemukakan bahwa media pembelajaran mencakup semua sumber yang diperlukan untuk melakukan komunikasi dengan pembelajaran. Essef dan Essef (dalam Salamun, 2002) menyebutkan tiga kriteria dasar yang dapat digunakan untuk menyeleksi media, yaitu (1) kemampuan interaksi media di dalam menyajikan informasi kepada pebelajar, menyajikan respon pebelajar, dan mengevaluasi respon pebelajar, (2) implikasi biaya atau biaya awal melipui biaya peralatan, biaya material (tape, film, dan lain-lain) jumlah jam yang diperlukan, jumlah siswa yang menerima pembelajaran, jumlah jam yang diperlukan untuk pelatihan, dan (3) persyaratan yang mendukungh atau biaya operasional.

(2) Interaksi Pebelajar Dengan Media Bentuk interaksi antara pembelajaran dengan media merupakan komponen penting yang kedua untuk mendeskripsikan strategi penyampaian. Komponen ini penting karena strategi penyampaian tidaklah lengkap tanpa memebri gambaran tentang pengaruh apa yang dapat ditimbulkan oleh suatu media pada kegiatan belajar siswa. Oleh sebab itu, komponen ini lebih menaruh perhatian pada kajian mengenai kegiatan belajar apa yang dilakukan oleh siswa dan bagaimana peranan media untuk merangsang kegiatan pembelajaran.

(3) Bentuk Belajar Mengajar Gagne (1968) mengemukakan bahwa instruction designed for effective learning may be delivered in a number of ways and may use a variety of media. Cara-cara untuk menyampaikan pembelajaran lebih mengacu pada jumlah pebelajar dan kreativitas penggunaan media. Bagaimanapun juga penyampaian pembelajaran dalam kelas besar menuntu penggunaan jenis media yang berbeda dari kelas kecil. Demikian pula untuk pembelajaran perseorangan dan belajar mandiri.

Bahasa Indonesia 22

(c) Strategi Pengelolaan Pembelajaran Strategi pengelolaan pembelajaran merupakan komponen variabel metode yang berurusan dengan bagaimana interaksi antara pebelajar dengan variabelvariabel metode pembelajaran lainnya. Strategi ini berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang strategi pengorganisasian dan strategi penyampaian tertentu yang digunakan selama proses pembelajaran. Paling sedikit ada empat klasifikasi variabel strategi pengelolaan pembelajaran yang meliputi (1) penjadwalan penggunaan strategi pembelajaran, (2) pembuatan catatan kemajuan belajar siswa, dan (3) pengelolaan motivasional, dan (4) kontrol belajar. Penjadwalan penggunaan strategi pembelajaran atau komponen suatu strategi baik untuk strategi pengorganissian pembelajaran maupun strategi penyampaian pembelajaran merupakan bagian yang penting dalam pengelolaan pembelajaran. Penjadwalan penggunaan strategi pengorganisasian pembelajaran biasanya mencakup pertanyaan kapan dan berapa lama siswa menggunakan setiap komponen strategi pengorganisasian. Sedangkan penjadwalan penggunaan strategi penyampaian melibatkan keputusan, misalnya kapan dan untuk berapa lama seorang siswa menggunakan suatu jenis media. Pembuatan catatan kemajuan belajar siswa penting sekali bagi keperluan pengambilan keputusan-keputusan yang terkait dengan strategi pengelolaan. Hal ini berarti keputusan apapun yang dimabil haruslah didasarkan pad ainformasi yang lengkap mengenai kemajuan belajar siswa tentang suatu konsep, prosedur atau prinsip? Bila menggunakan pengorganisasian dengan hierarki belajar, keputusna yang tepat mengenai unsur-unsur mana saja yang ada dalam hierarki yang diajarkan perlu diambil. Semua ini dilakukan hanya apabila ada catatan yang lengkap mengenai kemajuan belajar siswa. Pengelolaan motivasional merupakan bagian yang amat penting dari pengelolaan inetraksi siswa dengan pembelajaran. Gunanya untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. Sebagian besar bidang kajian studi sebenarnya memiliki daya tarik untuk dipelajari, namun pembelajaran gagal menggunakannya sebagai alat motivasional. Akibatnya, bidang studi kehilangan daya tariknya dan yang

Bahasa Indonesia 23

tinggal hanya kumpulan fakta dan konsep, prosedur atau prinsip yang tidak bermakna. Jack C. Richards dan Theodore S. Rodgers (dalam Machfudz, 2002) menyatakan dalam bukunya Approaches and Methods in Language Teaching bahwa metode pembelajaran bahasa terdiri dari (1) the oral approach and stiuasional language teaching, (2) the audio lingual method, (3) communicative language teaching, (4) total phsyical response, (5) silent way, (6) community language learning, (7) the natural approach, dan (8) suggestopedia. Saksomo (1984) menjelaskan bahwa metode dalam pembelajaran Bahasa Indonesia antara lain (1) metode gramatika-alih bahasa, (2) metode mimikrimemorisasi, (3) metode langsung, metode oral, dan metode alami, (4) metode TPR dalam pengajaran menyimak dan berbicara, (5) metode diagnostik dalam pembelajaran membaca, (6) metode SQ3R dalam pembelajaran membaca pemahaman, (7) metode APS dan metode WP2S dalam pembelajaran membaca permulaan, (8) metode eklektik dalam pembelajaran membaca, dan (9) metode SAS dalam pembelajaran membaca dan menulis permulaan. Menurut Reigeluth dan Merril (dalam Salamun, 2002) menyatakan bahwa klasifikasi variabel pembelajaran meliputi (1) kondisi pembelajaran, (2) metode pembelajaran, dan (3) hasil pembelajaran.

(1) Kondisi Pembelajaran Kondisi pembelajaran adalah faktor yang mempengaruhi efek metode dalam meningkatkan hasil pembelajaran (Salamun, 2002). Kondisi ini tentunya berinteraksi dengan metode pembelajaran dan hakikatnya tidak dapat dimanipulasi. Berbeda dengan halnya metode pembelajaran yang didefinisikan sebagai cara-cara yang berbeda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi pembelajaran yang berbeda. Semua cara tersebut dapat dimanipulasi oleh perancang-perancang

pembelajaran. Sebaliknya, jika suatu kondisi pembelajaran dalam suatu situasi dapat dimanipulasi, maka ia berubah menjadi metode pembelajaran. Artinya klasifikasi variabel-variabel yang termasuk ke dalam kondisi Bahasa Indonesia 24

pembelajaran, yaitu variabel-variabelmempengaruhi penggunaan metode karena ia berinteraksi dengan metode danm sekaligus di luar kontrol perancang pembelajaran. Variabel dalam pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu (a) tujuan dan karakteristik bidang stuydi, (bahasa) kendala dan karakteristik bidang studi, dan (c) karakteristik pebelajar.

(2) Metode Pembelajaran Machfudz (2000) mengutip penjelasan Edward M. Anthony (dalam H. Allen and Robert, 1972) menjelaskan bahwa istilah metode dalam pembelajaran Bahasa Indonesia berarti perencanaan secara menyeluruh untuk menyajikan materi pelajaran bahasa secara teratur. Istilah ini lebih bersifat prosedural dalam arti penerapan suatu metode dalam pembelajaran bahasa dikerjakan dengan melalui langkah-langkah yang teratur dan secara bertahap, dimulai dari penyusunan perencanaan pengajaran, penyajian pengajaran, proses belajar mengajar, dan penilaian hasil belajar. Sedangkan menurut Salamun (2002), metode pembelajaran adalah cara-cara yang berbeda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda. Jadi dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran adalah sebuah cara untuk perencanaan secara utuh dalam menyajikan materi pelajaran secara teratur dengan cara yang berbeda-beda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda.

(3) Hasil Pembelajaran Hasil pembelajaran adalah semua efek yang dapat dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari penggunaan metode pembelajaran (Salamun, 2002). Variabel hasil pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu kefektifav, (2) efisiensi, dan (3) daya tarik. Hasil pembelajaran dapat berupa hasil nyata (actual outcomes), yaitu hasil nyata yang dicapai dari penggunaan suatu metode di bawah kondisi tertentu, dan hasil yang diinginkan (desired outcomes), yaitu tujuan yang ingin dicapai yang sering mempengaruhi keputusan perancang pembelajaran Bahasa Indonesia 25

dalam melakukan pilihan metode sebaiknya digunakan klasifikasi variabelvariabel pembelajaran tersebut secara keseluruhan ditunjukkan dalam diagram berikut.

Kondisi

Tujuan dan karakteristik bidang studi

Kendala dan karakteristik bidang studi Strategi penyampaian

Karakteristik siswa

Metode

Strategi pengorganisasian pembelajaran: strategi

Strategi pembelajaran

pengelolaan

pembelajaran

makro dan strategi mikro Hasil Keefektifan, efisiensi, dan daya tarik pembelajaran

Diagram 1: Taksonomi variabel pembelajaran (diadaptasi dari Reigeluth dan Stein: 1983)

Keefektifan pembelajaran dapat diukur dengan tingkat pencapaian pebelajar. Efisiensi pembelajaran biasanya diukur rasio antara jefektifan dan jumlah waktu yang dipakai pebelajar dan atau jumlah biaya pembelajaran yang digunakan. Daya tatik pembelajaran biasanya juga dapat diukur dengan mengamati kecenderungan siswa untun tetap terus belajar. Adapaun daya tarik pembelajaran erat sekali dengan daya tarik bidang studi. Keduanya dipengaruhi kualitas belajar.

1.7 Teknik Pembelajaran Istilah teknik dalam pembelajaran bahasa mengacu pada pengertian implementasi perencanaan pengajaran di depan kelas, yaitu penyajian pelajaran dalam kelas tertentu dalam jam dan materi tertentu pula. Teknik mengajar berupa berbagai macam cara, kegiatan, dan kiat (trik) untuk menyajikan pelajaran dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Teknik pembelajaran bersifat implementasi, individual, dan situasional. Saksomo (1983) menyebutkan teknik dalam pembelajaran Bahasa Indonesia antara lain (1) ceramah, (2) tanyajawab , (3) diskusi, (4) pemebrian tugas dan resitasi, (5) demonstrasi dan eksperimen, (6) meramu pendapat (brainstorming), (7) mengajar di laboratorium, (8) induktif, inkuiri, Bahasa Indonesia 26

dan diskoveri, (9) peragaan, dramatisasi, dan ostensif, (10) simulasi, main peran, dan sosio-drama, (11) karya wisata dan bermain-main, dan (12) eklektik, campuran, dan sertamerta.

2.1 Pengertian Karangan Karangan merupakan hasil akhir dari pekerjaan merangkai kata, kalimat, dan alinea untuk menjabarkan atau mengulas topik dan tema tertentu (Finoza, 2004:192). Menulis atau mengarang pada hakikatnya adalah menuangkan gagasan, pendapat gagasan, perasaan keinginan, dan kemauan, serta informasi ke dalam tulisan dan mengirimkannya kepada orang lain (Syafieie, 1988:78). Selanjutnya, menurut Tarigan (1986:21), menulis atau mengarang adalah proses menggambarkan suatu bahasa sehingga pesan yang disampaikan penulis dapat dipahami pembaca. Semua pendapat tersebut sama-sama mengacu pada menulis sebagai proses melambangkan bunyi-bunyi ujaran berdasarkan aturan-aturan tertentu. Artinya, segala ide, pikiran, dan gagasan yang ada pada penulis disampaikan dengan cara menggunakan lambang-lambang bahasa yang terpola. Melalui lambang-lambang tersebutlah pembaca dapat memahami apa yang

dikomunikasikan penulis. Sebagai bagian dari kegiatan berbahasa, menulis berkaitan erat dengan aktivitas berpikir. Keduanya saling melengkapi. Menurut Syafieie (1988:42), secara psikologis menulis memerlukan kerja otak, kesabaran pikiran, kehalusan perasan, kemauan yang keras. Menulis dan berpikir merupakan dua kegiatan yang dilakukan secara bersama dan berulang-ulang. Dengan kata lain, tulisan adalah wadah yang sekaligus merupakan hasil pemikiran. Melalui kegiatan menulis, penulis dapat mengkomunikasikan pikirannya. Melalui kegiatan berpikir, penulis dapat meningkatkan

kemampuannya dalam menulis. Mengemukakan gagasan secara tertulis tidaklah mudah. Di samping dituntut kemampuan berpikir yang memadai, juga dituntut berbagai aspek terkait lainnya, misalnya penguasaan materi tulisan, pengetahuan bahasa tulis, Bahasa Indonesia 27

dan motivasi yang kuat. Untuk menghasilkan tulisan yang baik, setiap penulis hendaknya memiliki tiga keterampilan dasar dalam menulis, yaitu keterampilan berbahasa, keterampilan penyajian, dan keterampilan

pewajahan. Ketiga keterampilan ini harus saling menunjang atau isi-mengisi. Kegagalan dalam salah satu komponen dapat mengakibatkan gangguan dalam menuangkan ide secara tertulis (Semi, 2003:4) Jadi, sekurang-kurangnya, ada tiga komponen yang tergabung dalam kegiatan menulis, yaitu (1) penguasaan bahasa tulis yang akan berfungsi sebagai media tulisan, meliputi: kosakata, diksi, struktur kalimat, paragraf, ejaan, dan sebagainya; (2) penguasaan isi karangan sesuai dengan topik yang akan ditulis; dan (3) penguasaan tentang jenis-jenis tulisan, yaitu bagaimana merangkai isi tulisan dengan menggunakan bahasa tulis sehingga membentuk sebuah komposisi yang diinginkan, seperti esai, artikel, cerita pendek, makalah, dan sebagainya. Bahasa merupakan sarana komunikasi. Penulis harus menguasai bahasa yang digunakan untuk menulis. Jika dia menulis dalam bahasa Indonesia, dia harus menguasai bahasa Indonesia dan mampu

menggunakannya dengan baik dan benar. Menguasai bahasa Indonesia berarti mengetahui dan dapat menggunakan kaidah-kaidah tata bahasa Indonesia, serta mengetahui dan dapat menggunakan kosa kata bahasa Indonesia. Ia juga harus mampu menggunakan ejaan bahasa Indonesia yang berlaku, yaitu ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (Syafieie, 1988:46). Mengacu pada pendapat di atas, menulis bukan hanya sekedar menuliskan apa yang diucapkan (membahasatuliskan dari bahasa lisan), tetapi merupakan suatu kegiatan yang terorganisasi sedemikian rupa, sehingga terjadi suatu kegiatan komunikasi tidak langsung antara penulis dan pembaca. Seseorang dapat dikatakan telah terampil menulis, jika tujuan penulisannya sama dengan yang dipahami oleh pembaca.

Bahasa Indonesia 28

2.2 Tujuan Mengarang Tujuan utama menulis atau mengarang adalah sebagai sarana komunikasi tidak langsung. Tujuan menulis banyak sekali ragamnya. Tujuan menulis secara umum adalah memberikan arahan, menjelaskan sesuatu, menceritakan kejadian, meringkaskan, dan menyakinkan (Semi, 2003:14154). Menurut Syafieie (1988:51-52), tujuan penulisan dapat

diklasifikasikan sebagai berikut. 1) 2) 3) 4) 5) 6) mengubah keyakinan pembaca; menanamkan pemahaman sesuatu terhadap pembaca; merangsang proses berpikir pembaca; menyenangkan atau menghibur pembaca; memberitahu pembaca; dan memotivasi pembaca.

Selain

itu,

Hugo

Harting

(dalam

Tarigan,

1994:24-25)

mengkalasifikasikan tujuan penulisan, antara lain tujuan penugasan (assingnment purpose), tujuan altruistik (altruistic purpose), tujuan persuasi (persuasive purpose), tujuan penerangan (informational purpose), tujuan penyataan (self-expressive purpose), tujuan kreatif (creative purpose), dan tujuan pemecahan masalah (problem-solving purpose). Tujuan-tujuan penulisan tersebut kadang-kadang berdiri sendiri

secara terpisah, tetapi sering pula tujuan ini tidak berdiri sendiri melainkan merupakan gabungan dari dua atau lebih tujuan yang menyatu dalam suatu tulisan. Oleh karena itu, tugas seorang penulis tidak hanya memilih topik pembicaraan yang sesuai atau serasi, tetapi juga harus menentukan tujuan yang jelas. Penentuan tujuan menulis sangat erat hubungannya dengan bentuk atau jenis-jenis tulisan atau karangan.

2.3 Jenis- Jenis Karangan Mengarang merupakan kegiatan mengemukakan gagasan secara tertulis. Menurut Syafieie (1988:41), tulisan pada hakikatnya adalah Bahasa Indonesia 29

representasi bunyi-bunyi bahasa dalam bentuk visual menurut sistem ortografi tertentu. Banyak aspek bahasa lisan seperti nada, tekanan irama serta beberapa aspek lainya tidak dapat direpresentasikan dalam tulisan. Begitu juga halnya dengan aspek fisik, seperti gerak tangan, tubuh, kepala, wajah, yang mengiringi bahasa lisan tidak dapat diwujudkan dalam bahasa tulis. Oleh karena itu, dalam mengemukakan gagasan secara tertulis, penulis perlu menggunakan bentuk tertentu. Betuk-bentuk tersebut, seperti

dikemukakan oleh Semi (2003:29) bahwa secara umum karangan dapat dikembangkan dalam empat bentuk yaitu narasi, ekposisisi, deskripsi, dan argumentasi.

2.4 Narasi Karangan narasi (berasal dari naration berarti bercerita) adalah suatu bentuk tulisan yang berusaha menciptakan, mengisahkan, dan merangkaikan tindak tanduk perbuatan manusia dalam sebuah peristiwa secara kronologis atau berlangsung dalam suatu kesatuan waktu (Finoza, 2004:202). Narasi bertujuan menyampaikan gagasan dalam urutan waktu dengan maksud menghadirkan di depan mata angan-angan pembaca serentetan peristiwa yang biasanya memuncak pada kejadian utama (Widyamartaya, 1992:9-10). Menurut Semi (2003:29), narasi merupakan betuk percakapan atau tulisan yang bertujuan menyampaikan atau menceritakan rangkaian peristiwa atau pengalaman manusia dari waktu ke waktu. Selajutnya, Keraf (1987:136) mengatakan karangan narasi merupakan Suatu bentuk karangan yang sasaran utamanya adalah tindak tanduk yang dijalin dan dirangkai menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu. Atau dapat juga dirumuskan dengan cara lain; narasi adalah suatu bentuk karangan yang berusaha mengambarkan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat kita simpulkan, secara sederhana narasi merupakan cerita. Pada narasi terdapat peristiwa atau Bahasa Indonesia 30

kejadian dalam suatu urutan waktu. Di dalam kejadian itu ada pula tokoh yang menghadapi suatu konflik. Karangan narasi merupakan salah satu karangan yang dapat dijadikan alat untuk menyampaikan pangetahuan atau informasi kepada orang lain (keraf, 1982:3). Narasi melakukan penambahan ilmu pengetahuan melalui jalan cerita, bagaimana suatu peristiwa itu berlangsung. Karena lebih menekankan jalannya peristiwa, reproduksi masa silam merupakan bidang utama sebuah narasi. Seseorang dapat menginformasikan sesuatu kejadian atau peristiwa pada orang lain dengan latar belakang kejadian yang nyata maupun rekaan. Dalam menulis, penulis dituntut mampu membedakan antara narasi dan deskripsi. Narasi mempunyai kesamaan dengan deskripsi, yang membedakannya adalah narasi mengandung imajinasi dan peristiwa atau pengalaman lebih ditekankan pada urutan kronologis. Sedangkan deskripsi, unsur imajinasinya terbatas pada penekanan organisasi penyampaian pada susunan ruang sebagai mana yang diamati, dirasakan, dan didengar. Oleh karena itu, penulis perlu memperhatikan unsur latar, baik unsur waktu maupun unsur tempat. Dengan kata lain, pengertian narasi itu mencakup dua unsur, yaitu perbuatan dan tindakan yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu.

Ciri-Ciri Karangan Narasi Setiap karangan mempunyai ciri tertentu. Adapun ciri-ciri karangan narasi menurut Semi (2003:31), yaitu : 1) berupa cerita tentang pengalaman manusia; 2) kejadian atau peristiwa yang disampaikan dapat berupa peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi, dapat pula berupa semata-semata imajinasi, atau gabungan keduanya; 3) bedasarkan konflik. karena, tanpa konflik biasanya narasi tidak menarik;

Bahasa Indonesia 31

4) memiliki nilai estetika karena isi dan cara penyampainya bersifat sastra, khususnya narasi berbentuk fiksi; 5) menekankan susunan kronologis (catatan: deskripsi menekankan susunan ruang); dan 6) biasanya memiliki dialog.

Karangan narasi bisa berisi fakta bisa pula berisi fiksi atau rekaan yang direka atau dikhayalkan oleh pengarangnya. Narasi yang berisi fakta adalah biografi, otobiografi, kisah sejati, dan lain-lain. Sedangakan narasi yang berisi fiksi seperti novel, cerpen, dan cerita bergambar (Marahami, 2005:96). Selain dari itu, Semi (2003:32) juga mengatakan bahwa narasi dibagi atas dua jenis, yaitu narasi informatif yang sering disebut pula narasi ekspositoris, yang pada dasarnya berkencenderungan sebagai bentuk ekposisi yang berkecenderungan memaparkan informasi dengan bahasa yang lugas dan konfliknya tidak terlalu kelihatan. Kedua narasi artistik, narasi ini umumnya berupa cerpen atau novel. Menurut Keraf (1987:133-139), narasi ekpositoris dan narasi sugestis memiliki ciri-ciri yang berbeda. 1) Narasi ekspositoris memiliki ciri-ciri sebagai berikut. a. memperluas pengetahuan; b. menyampaikan informasi mengenai suatu kejadian; c. didasarkan pada penalaran untuk mencapai kesepakatan nasional; dan d. bahasanya lebih cenderung ke bahasa informatif dengan menitik beratkan pada penggunaan kata-kata denotatif.

2) Sedangkan narasi sugestis memiliki ciri-ciri sebagai berikut. a. menyampaikan suatu makna atau amanat yang tersirat; b. menimbulkan daya khayal; c. penalaran hanya berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan makna, sehingga kalau perlu penalaran dapat dilanggar; dan d. bahasanya lebih cenderung ke bahasa figuratif dengan menitik beratkan pada penggunaan kata-kata konotatif. Bahasa Indonesia 32

Berdasarkan kutipan di atas, tujuan narasi

ekspositoris adalah untuk

memberikan informasi kepada para pembaca agar pengetahuannya bertambah luas. Sedangakan narasi sugestis menyampaikan suatu makna kepada pembaca melalui daya khayal yang dimilikinya, sehingga dapat menimbulkan daya tarik bagi pembaca dari daya khayal yang dikembangkan oleh pengarangnya. Jadi, jelas bahwa antara narasi ekspositoris dan narasi sugestis terdapat perbedaan tujuan pengarang dalam menarasikan suatu kejadian atau peristiwa.

Pola Pengembangan Narasi Menurut Semi (2003:30), tulisan narasi biasanya mempuyai pola. Pola sederhana berupa awal peristiwa, tengah peristiwa, dan akhir peristiwa. Awal narasi biasanya berisi pengantar, yaitu memperkenalkan suasana dan tokoh. Bagian awal harus dibuat menarik agar dapat mengikat pembaca. Dengan kata lain, bagian ini mempunyai fungsi khusus untuk memancing pembaca dan mengiring pembaca pada kondisi ingin tahu kejadian selanjutnya. Bagian tengah merupakan bagian yang menjelaskan secara panjang lebar tentang peristiwa. Di bagian ini, penulis memunculkan suatu konflik. Kemudian, konflik tersebut diarahkan menuju klimaks cerita. Setelah konfik timbul dan mencapai klimaks, secara berangsur-angsur cerita akan mereda. Bagian terakhir ini konfliknya mulai menuju ke arah tertentu. Akhir cerita yang mereda ini memiliki cara pengungkapan bermacam-macam. Ada bagian diceritakan dengan panjang, ada yang singkat, ada pula yang berusaha menggantungkan akhir cerita dengan mempersilakan pembaca untuk menebaknya sendiri. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan tulisan dengan teknik narasi dilakukan dengan mengemukakan rangkaian peristiwa yang terjadi secara kronologis. Dalam karangan ini, bagian-bagian karangan disajikan sesuai dengan kejadian dalam waktu tertentu. Bagian pertama menyajikan kejadian satu, kemudian disusul dengan kejadian kedua, menyajikan bagian kedua dan seterusnya. Bahasa Indonesia 33

Teknik pengembangan narasi diidetikkan dengan penceritaan (storitelling), karena teknik ini biasanya selalu digunakan untuk menyampaikan sesuatu cerita. Karangan-karangan berbentuk cerita pada umumnya merupakan karangan fiksi. Namun, teknik narasi ini tidak hanya digunakan untuk mengembangkan tulisantulisan berupa fiksi saja. Teknik narasi ini dapat pula digunakan untuk mengembangkan penulisan karangan nonfiksi (Syafieie, 1988:103). Seorang siswa dapat menuliskan darmawisata, seorang wartawan menuliskan laporan kunjungannya ke suatu negara, seorang arkheologi menuliskan jalannya panggalian sejarah yang dilakukannya. Untuk menganalisis sebuah narasi dengan lebih cermat perlu kita ketahui narator dalam cerita. Menurut Parera (1993:9), secara umum narator dalam narasi dapat bagi tiga. 1) Narator bereaksi, di sini tokoh yang menceritakan cerita itu merupakan karakter utama. Ia menceritakan cerita itu dalam persona pertama. 2) Narator sebagai pengamat, di sini narator sebagai pengamat dari pinggir lapangan. Ia menceritakan cerita ini dalam persona ketiga. 3) Narator sebagai mahatahu, di sini narator tidak termasuk dalam cerita dan tidak berada dalam cerita. Ia berada di atas segala-galanya, ia tahu semua yang terjadi dalam cerita itu. Ia menceritakan dalam persona ketiga.

2.5 Eksposisi Kata ekposisi dipungut dari kata bahasa Inggris exposition sebenarnya berasal dari kata bahasa latin yang berarti membuka atau memulai (Finoza, 2004:204). Menurut Widyamartaya (1992:9-10), ekposisi bertujuan menyampaikan gagasan yang berupa fakta atau hasil-hasil pemikiran dengan maksud untuk memberitahu atau menerangkan sesuatu seperti masalah, mafaat, jenis, proses, rencana, atau langkahlangkah. Jadi, ekposisi adalah tulisan yang bertujuan menjelaskan atau memberikan informasi tentang sesuatu. Menurut Semi (2003:35), bila suatu tulisan yang berupa ekposisi berkecenderungan untuk lebih menekankan pembuktian dari suatu proses penalaran, mempengaruhi pembaca dengan data yang lengkap, berkeinginan mengubah pandangan pembaca agar Bahasa Indonesia 34

menerima pendapat penulis, tulisan ekposisi itu secara lebih khusus disebut argumentasi. Bila tulisan ekposisis berkecenderungan untuk menonjolkan perincian atau detail sehingga seolah-olah lengkap bagaikan foto keadaan yang dijelaskan itu sehingga mampu menggugah perasaan pembaca sehingga pembaca bagaikan diajak menyaksikan sendiri peristiwa itu, dan tulisan itu lebih banyak menggunakan susunan ruang, tulisan ekposisi tersebut secara lebih khusus dinamakan deskipsi. Dengan demikian, secara garis besar hanya ada dua jenis tulisan, yaitu narasi ada ekposisi, ekposisis dapat pula membentuk diri menjadi argumentasi atau deskripsi.

Sehubungan dengan hal di atas, pada dasarnya ciri-ciri narasi sama dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh deskripsi dan argumentasi. Adapun ciri-ciri karangan ekposisi menurut Semi (2003:37), yaitu 1) berupa tulisan yang memberikan pegertian dan pengetahuan; 2) menjawab pertanyaan tentang apa, mengapa, kapan, dan bagaimana; 3) disampaikan dengan lugas dengan bahasa baku; 4) menggunakan dengan nada netral, tidak memihak, dan memaksakan sikap penulis terhadap pembaca; Adapun ciri-ciri karangan ekposisi menurut Keraf (1982:4-5), yaitu (a). ekposisi hanya berusaha menjelaskan atau menerangkan suatu pokok persoalan, (b). keputusan suatu ekposisi diserahkan kepada pembaca, (c). gaya cerita ekposisi lebih cenderung berisi informatif, (d). fakta yang dipakai dalam suatu ekposisi hanya sebagai alat kontrasasi, yaitu rumusan kaidah yang dibuat itu lebih konkret.

Bedasarkan ciri tersebut karangan ekposisi hanya berusaha menyampaikan sesuatu pemberitahuan, pengetahuan tanpa mempegaruhi minat dan sikap pembaca, Pembaca diberi kesempatan untuk menerima, memutuskan atau menolak tentang sesuatu yang diuraikan penulis. Gaya penyampaiannya cenderung bersifat informatif, artinya penulis juga memberikan penjelasan untuk gagasan, sehingga pembaca dapat mengetahui lebih dalam tentang sesuatu yang dimaksudkan dari gagasan tersebut. Pemberian informasi penjelasan melalui karangan ekposisi hanya bersifat menguraikan dan memberi pengenalan lanjutan bagi pembaca dan bukan merupakan Bahasa Indonesia 35

suatu pembuktian. Penggunaan bahasa dalam karangan ini tidak dipengaruhi oleh unsur subjektifitas dan emosional. Penulis hanya menjelaskan apa adanya dan tidak membubui dengan kata-kata yang menarik minat dan emosi pembaca. Penggunaan kosakata cenderung bermakna denotatif. Karangan ekposisi berisi uraian atau penjelasan tentang suatu topik. Tujuan utama karangan ini adalah memberi informasi atau pengetahuan tambahan bagi pembaca. Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, pola pengembangan karangan ekposisi biasanya dikembangkan dengan susunan logis dengan pola pengembangan gagasan seperti definitif, klasifikasi, ilustrasi, perbandingan dan pertentangan, dan analisis fungsional (Semi, 2003:37). Karangan ini berisi gambaran mengenai suatu hal atau keadaan sehingga pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasakan hal tersebut. Jenis karangan ekposisi dapat berupa kisah perjalanan, pemaparan suatu peristiwa atau kejadian, bentuk struktur dan tugas organisasi atau laporan kegiatan. Untuk memperjelas uraian, karangan ini dapat dilengkapi dengan grafik atau gambar.

2.6 Deskripsi Deskripsi dipungut dari bahasa Inggris description. Kata ini berhubungan dengan verba to describe (melukis dengan bahasa). Dalam bahasa latin, deskripsi dikenal dengan describere yang berarti menulis tentang membeberkan sesuatu hal, melukis sesuatu hal (Finoza, 2004:197-198). Deskripsi adalah tulisan yang tujuannya memberikan perincian atau detail tentang objek sehingga dapat memberi pengaruh pada sentivitas dan imajinasi pembaca atau pendengar bagaikan mereka ikut melihat, mendengar, merasakan, atau mengalami langsung objek tersebut (Semi, 2003:41). Deskripsi bertujuan menyampaikan sesuatu hal dalam urutan atau rangka ruang dengan maksud untuk menghadirkan di depan mata angan-angan pembaca segala sesuatu yang dilihat, didengar, dicecap, diraba, atau dicium oleh pengarang. (Widyamartaya, 1992:9-10). Jadi, deskripsi adalah bentuk tulisan yang bertujuan memperluas pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan jalan melukiskan hakikat objek yang sebenarnya.

Bahasa Indonesia 36

Supaya karangan ini sesuai dengan penulisannya, diperlukan suatu pendekatan. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan realistis dan pendekatan impresionistis. Penulis ditutut memotret hal atau benda seobjektif mungkin sesuai dengan keadaan yang dilihatnya, dinamakan pendekatan realistis. Sebaliknya, pendekatan impresionistis adalah pendekatan yang berusaha menggambarkan

sesuatu secara subjektif (Finoza, 2004:197-198). Menurut Semi (2003:41), deskripsi ini merupakan ekposisis juga, sehingga ciri umum yang dimiliki oleh ekposisi pada dasarnya dimiliki pula oleh deskripsi. Lebih lanjut, Semi (2003:41) mengatakan bahwa ciri-ciri deskripsi yang sekaligus sebagai pembeda dengan ekposisi adalah sebagai berikut : 1) Deskripsi lebih berupaya memperlihatkan detail atau perincian tentang objek. 2) Deskripsi lebih bersifat memberi pengaruh sensitivitas dan membentuk imajinasi pembaca. 3) Deskripsi disampaikan dengan gaya yang nikmat dengan pilihan kata yang menggugah; sedangkan ekposisi gayanya lebih lugas. 4) Deskripsi lebih banyak memaparkan tentang sesuatu yang dapat didengar dilihat, dan dirasakan sehingga objeknya pada umumnya berupa benda, alam, warna, dan manusia. 5) Organisasi penyampaiannya lebih banyak menggunakan susunan ruang (spartial order).

Di antara ciri-ciri tersebut yang tidak dimiliki oleh ekposisi adalah gaya yang indah dan memikat sehingga memancing sesitivitas dan imajinasi pembaca atau pendengar. Ada pula deskripsi yang disampaikan dengan bahasa yang lugas dan juga tidak memancing sensitivitas pembaca, tapi menekankan pada perincian atau detail dengan mengajukan pembuktian atau banyak contoh (mis. deskripsi tentang keadaan ruang praktik atau deskripsi tentang keadaan daerah yang dilanda tsunami). Oleh sebab itu, karangan deskripsi dibagi atas dua, yaitu deskripsi ekpositoris (deskripsi teknis) dan deskripsi artistik (disebut juga deskripsi literer, impresionistik, atau sugestif) (Semi, 2003:43). Lebih lanjut, Semi (2003:43) mengatakan bahwa

Bahasa Indonesia 37

karangan yang bertujuan menjelaskan sesuatu dengan perincian yang jelas sebagaimana adanya tanpa manekankan unsur impresif atau sugestif kepada pembaca, dinamakan deskripsi ekpositorik. Selain itu juga menggunakan bahasabahasa yang formal dan lugas. Sebaliknya, deskripsi artistik adalah deskripsi yang mengarah kapada pangalaman kepada pembaca bagaikan berkenalan langsung

dengan objek yang disampaikan dengan jalan menciptakan sugesti dan impresi melalui keterampilan penyampaian dengan gaya yang memikat dan pilihan kata yang menggugah perasaan 2.6 Alinea Alinea bukanlah suatu pembagian secara konvensional dari suatu bab yang terdiri atas kalimat-kalimat. Alinea tidak lain adalah suatu kesatuan pikiran, suatu kesatuan yang lebih tinggi atau lebih luas dari kalimat. Alinea merupakan himpunan yang bertalian dalam suatu rangkaian untuk membentuk sebuah gagasan. Oleh karena itu, pembentukan sebuah alinea sekurang-kurangnya mempunyai tujuan : 1) Memudahkan pengertian dan pemahaman dengan menceraikan suatu tema dari temayanglain 2) Meningkatkan konsentrasi terhadap tema alinea dengan memisahkan dan menegaskan perhatian secara wajar dan formal pada akhir kalimat Syarat Alinea yang baik syarat dan efektif pembentukan harus memenuhi syarat alinea berikut :

1) Kesatuan : Semua kalimat yang mendukun alinea itu secara bersama-sama mendukung satu ide

2) Koherensi : Kekompakan hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain yang membentuk alinea tersebut

3) Pengembangan : Pengembangan ide/gagasan dengan menggunakan kalimatkalimat pendukung

4) Efektif : Disusun dengan menggunakan kalimat efektif sehingga ide bias diuraikan dengan tepat 2.7 Argumentasi Bahasa Indonesia 38

Argumentasi adalah tulisan yang bertujuan menyakinkan atau membujuk pembaca tentang pendapat atau penyataan penulis (Semi, 2003:47). Menurut Widyamartaya (1992:9-10), argumentasi bertujuan menyampaikan gagasan berupa data, bukti hasil penalaran, dan sebagainya dengan maksud untuk menyakinkan pembaca tentang kebenaran pendirian atau kesimpulan pengarang atau untuk memperoleh kesepakatan pembaca tentang maksud pengarang. Tujuan utama karangan ini adalah untuk menyakinkan pembaca agar menerima atau mengambil suatu dokrin, sikap, dan tingkah laku tertentu. Adapun ciri-ciri karangan narasi menurut Finoza (2004:207), yaitu 1) mengemukakan alasan atau bantahan sedemikian rupa dengan tujuan mempengaruhi keyakinan pembaca agar menyetujuinya; 2) mengusahakan suatu pemecahan masalah; dan 3) mendiskusikan suatu persoalan tanpa perlu mencapai suatu penyelesaian. Menurut Semi (2003:48), ciri-ciri pengembangan karangan argumentasi-sekaligus merupakan juga ciri pembeda dengan ekposisi adalah sebagai berikut. 1) bertujuan menyakinkan orang lain (ekposisi memberi informasi); 2) berusaha membuktikan suatu penyataan atau pokok persoalan (ekposisi hanya menjelaskan); 3) menggugah pendapat pembaca (ekposisi meyerahkan keputusan kepada pembaca); dan 4) fakta yang ditampilkan merupakan bahan pembuktian (ekposisi menggunakan fakta sebagai alat mengkongkretkan).

Berdasarkan pendapat di atas, argumentasi merupakan karangan yang berusaha menjelaskan suatu masalah dengan menyajikan alasan-alasan. Ketika mengembangan karangan ini, Penulis harus menganalisis dan menjelaskan suatu masalah secara terperinci dan mendalam, alasan-alasan yang dikemukakan harus didukung dengan bukti-bukti yang menyakinkan. Dengan kata lain, argumen adalah suatu proses benalar. Pengarang dapat dapat menggunakan penalarannya dengan metode deduktif induktif. Deduktif merupakan metode benalar yang bergerak dari hal-hal yang Bahasa Indonesia 39

bersifat umum ke hal-hal atau pernyataan yang bersifat khusus. Sebaliknya, induktif adalah metode benalar yang dimulai dengan mengemukakan penyatan yang bersifat khusus kemudian diiringi dengan kesimpulan umum. Pengarang dapat mengajukan penalarannya berdasarkan contoh-contoh, analogi, akibat ke sebab, sebab ke akibat, dan pola-pola deduktif ke induktif. Argumentasi dan ekposisi merupakan bentuk atau jenis tulisan yang paling banyak digunakan di dalam tulisan-tulisan ilmiah. Karangan ini bertujuan membuktikan kebenaran suatu pendapat atau kesimpulan dengan data atau fakta sebagai alasan atau bukti. Dalam karangan ini, pengarang mengharapkan

pembenaran pendapatnya dari pembaca. Adanya unsur opini dan data, juga fakta atau alasan merupakan penyokong opini tersebut.

2.8 Pembelajaran Mengarang Belajar dan mengajar merupakan dua istilah dalam dunia pendidikan yang sangat populer. Kedua istilah itu mengacu kepada suatu proses yang terjadi dalam suatu rangkaian unsur yang saling terkait. Belajar berarti berusaha agar memperoleh kepandaian atau ilmu. Kegiatan ini merupakan suatu proses yang terjadi secara bertahap. Tahap-tahap tersebut terdiri dari informasi, transformasi, dan evaluasi. Informasi menyangkut materi yang akan diajarkan, transformasi berkenaan dengan proses memindahkan materi, dan evaluasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan data tentang tingkat keberhasilan anak didik dalam belajar dan keberhasilan guru dalam mengajar (Djamrah, 2000:20). Jadi, belajar adalah suatu proses yang dilakukan untuk menimbulkan perubahan pada anak didik. Bagaimanapun bentuknya, proses belajar mengajar harus diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam proses belajar mengajar menulis, tujuan tersebut adalah agar siswa memiliki pengetahuan menulis, bersikap positif terhadap ilmu dan aktivitas, serta terampil menulis. Untuk mencapai tujuan di atas, segala sesuatu harus diupayakan sedemikan rupa sehingga proses belajar mengajar menulis tersebut lebih bermafaat. Sehubungan dengan itu, ada beberapa hal perlu diperhatikan dalam pengelolaan proses belajar

Bahasa Indonesia 40

mengajar menulis. Hal itu meliputi materi pembelajaran, tujuan pembelajaran, metode pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran.

Materi Pembelajaran Mengarang Pemilihan dan penyusunan materi ajar dalam proses belajar mengajar menulis harus dirancang sedemikian rupa sehingga materi itu dapat mengarahkan siswa untuk terampil berbahasa Indonesia secara tertulis. Variasi dan bobot kesukaran materi perlu disesuaikan dengan komponen proses belajar mengajar yang lain (siswa, media, dan lain-lain). Bila perlu, materi pembelajaran berasal dari pemikiran, tugas, atau pengalaman siswa.

Tujuan Pembelajaran Mengarang Secara umum tujuan pembelajaran menulis adalah siswa mampu mengekspresikan berbagai pikiran, gagasan, pendapat, dan perasaan dalam berbagai ragam tulisan (Depdiknas, 2003). Oleh karena itu, tujuan proses belajar mengajar menulis hendaknya selalu diarahkan kepada kegiatan terampil menulis. Untuk mencapai tujuan tersebut, guru dalam perencanaan pengajarannya harus memperhatikan poinpoin tertentu yang dapat memudahkannya mencapai tujuan tersebut. Jadi, latihan menulis dengan segala dinamikanya merupakan kunci utama keberhasilan. Siswa harus dibiasakan menulis. Hasil tulisan tersebut didiskusikan,

sehingga mereka mengetahui kelemahan dan keunggulannya. Berdasarkan hal tersebut diputuskan lah suatu tindak lanjut yang mengarah kepada keterampilan menulis siswa. Sekalipun tujuan pengajaran adalah terampil, bukan berarti aspek yang lain (pengetahuan dan sikap) diabaikan. Artinya, di akhir proses belajar mengajar hendaknya siswa terampil menulis dan mengerti dengan kaidah-kaidah menulis. Menurut Raimes (1987) (dalam www.puskur.net) tujuan pembelajaran menulis meliputi (1) memberikan penguatan (reinforcement), (2) memberikan pelatihan (training), (3) membimbing siswa melakukan peniruan atau imitasi (imitation, (4) melatih siswa berkomunikasi (communication), (5) membuat siswa lebih lancar Bahasa Indonesia 41

dalam berbahasa (fluency), dan (6) menjadikan siswa lebih giat belajar (learning). Keenam tujuan pedagogis menulis itu secara berurutan dijelaskan berikut ini.

Untuk mencapai tujuan pembelajaran sebagaimana yang diharapkan, khususnya proses belajar mengajar menulis. Penetapan dan pengelolaan

perencanaan, proses, evaluasi, dan tindak lanjut pembelajaran merupakan hal utama yang harus dikelola dengan tepat.

Metode Pembelajaran Mengarang Metode pengajaran merupakan cara mengajar pengajar dalam proses belajar mengajar yang dibina. Pilihan metode yang tepat sangat membantu tingkat ketercapaian tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, pengajar menulis harus dapat menerapkan metode pengajaran dengan tepat. Persoalan penggunaan media juga perlu mendapat perhatian. Metode pelatihan dan diskusi merupakan dua metode yang ampuh dalam rangka menerampilkan pembelajar menulis. Dalam proses belajar mengajar, siswa disuruh menulis tentang apa saja (sebaiknya materi yang dekat dengan siswa). Hasil tulisan tersebut dikoreksi dan didiskusikan dari berbagai aspek penggunaan bahasa. Untuk kelas yang besar,

pelibatan teman sebaya perlu dilakukan. Dengan kegiatan tersebut, siswa akan mengetahui kelemahan dan keunggulannya dalam hal ketatabahasaan, kelogisan pikiran, dan kaidah-kaidah menulis lainnya. Selain itu, pengajar hendaknya juga mengetahui pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran menulis. Untuk lebih jelas mengenai model atau pendekatan pembelajaran menulis kita perhatikan perbedaan antara pendekatan tradisional dan pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran menulis sebagaimana dikemukakan oleh Tompkins (dalam Gani, 2001:70) pada tabel berikut ini.

Bahasa Indonesia 42

TABEL MODEL/PENDEKATAN TRADISIONAL DAN KETERAMPILAN PROSES DALAM MENULIS

No. 1.

Komponen Pilihan Topik

Pendekatan Tradisional Tugas menulis kreatif yang

Pendekatan Proses Pembelajar memilih topik sendiri, atau topik-topik yang diambil dari bidang studi lain.

spesifik diberikan oleh pengajar.

2.

Pembelajaran

Pengajar hanya sedikit atau tidak memberikan pelajaran. Pembelajar diharapkan menulis sebaik-baiknya.

Pengajar

mengajar

pembelajar

mengenai proses menulis dan mengenai bentuk-bentuk tulisan.

3.

Fokus

Berfokus sudah jadi.

pada

tulisan

yang

Berfokus digunakan menulis

pada

proses

yang ketika

pembelajar

4.

Rasa Memiliki

Pembelajar

menulis

untuk

Pembelajar tulisan sendiri.

merasa

memiliki

pengajar dan kurang merasa memiliki tulisan sendiri. 5. Pembaca Pengajar merupakan pembaca utama. 6. Kerja Sama Hanya sedikit atau tidak ada kerja sama.

Pembelajar

menulis

untuk

pembaca yang sesungguhnya. Pembelajar menulis dengan

bekerja sama dan berbagi tulisan yang dihasilkan masing-masing dengan teman-teman satu

kelompok/kelas. 7. Draft Pembelajar menulis draft tunggal dan harus memusatkan pada isi sekaligus segi mekanik (ejaan, tanda baca, tata tulis). Pembelajar menulis draft kasar (outline) untuk menuangkan

gagasan dan kemudian merevisi dan menyunting draft ini sebelum membuat hasil akhir.

8.

Kesalahan Mekanik

Pembelajar

dituntut

untuk

Pembelajar mengoreksi kesalahan sebanyak-banyaknya menyunting, tetapi selama tekanannya

menghasilkan tulisan yang bebas dari kesalahan.

lebih besar pada isi daripada segi mekanik.

Bahasa Indonesia 43

9.

Peran Pengajar

Pengajar

memberikan

tugas

Pengajar

mengajarkan

cara

menulis dan menilainya jika tulisan sudah jadi

menulis dan memberikan balikan selama pembelajar merevisi dan mengedit/menyunting.

10.

Waktu

Pembelajar

menyelesaikan

Pembelajar

mungkin

tulisan dalam satu jam pelajaran.

menghabiskan waktu tidak hanya satu jam pelajaran untuk

mengerjakan setiap tugas menulis 11. Evaluasi Pengajar mengevaluasi kualitas tulisan setelah tulisan selesai disusun. Pengajar selama sehingga memberikan pembelajar pembelajar balikan menulis, dapat untuk

memanfaatkannya

memperbaiki tulisannya. Evaluasi berfokus pada proses dan hasil.

Berdasarkan kedua pendekatan pengajaran menulis seperti tertera pada tabel , dapat diketahui kelemahan dan keunggulannya. Pada pendekatan tradisional, pengajar memberikan topik tulisan dan setelah siswa mengerjakan tugas tersebut selama satu jam pelajaran, pengajar mengumpulkan pekerjaan siswa untuk dievaluasi. Dengan model pembelajaran seperti ini, biasanya hanya sedikit saja siswa yang dapat menghasilkan tulisan yang baik. Sebagian besar siswa biasanya hanya menghasilkan tulisan yang kurang baik. Menyadari terhadap kenyataan yang tidak menguntungkan bagi upaya pengembangan keterampilan menulis bagi siswa seperti digambarkan di atas, selayaknya dapat diterapkan model atau pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran menulis. Untuk itu, terlebih dahulu perlu diketahui proses kreatif dalam menulis.

Evaluasi Pembelajaran Mengarang Evaluasi berarti memberi penilaian atau cara menilai. Penilaian merupakan upaya pengumpulan informasi untuk mengetahui seberapa jauh kompetensi berbahasa dan bersastra Indonesia yang sudah dicapai oleh siswa setelah beberapa tatap muka di Bahasa Indonesia 44

kelas, pada tenggah semester, akhir semester, atau akhir tahun. Adapun aspek penilaian mencakup tiga ranah (kognitif, afektif, dan psikomotor), Ketiga aspek ini meliputi keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis, baik yang berkaitan dengan bahasa maupun sastra Indonesia (Depdiknas, 2003:15-16). Melalui evaluasi, seorang pengajar dapat (1) mengetahui tingkat ketahuan dan keterampilan menulis siswa, (2) mengetahui keberhasilan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan, dan (3) menentukan kebijakan selanjutnya. Evaluasi proses belajar mengajar menulis hendaknya selalu memperhatikan tujuan pengajaran, materi, dan proses yang telah dilakukan. Sehubungan dengan itu, evaluasi yang tepat menurut hemat penulis adalah kegiatan menulis esai (bentuk tes esai). Dengan kata lain, menulis berdasarkan bentuk gambar susun, komik, atau teks. Kegiatan seperti ini, baik sebagai ransangan untuk pelajar yang masih sederhana tingkat kemampuan berbahasanya. Ransangan-ransangan yang lain dan bentuk tugas yang diberikan hendaknya disesuaikan dengan tingkat kemampuan berbahasa dan berpikir siswa, misalnya menulis berbagai laporan, surat, resensi buku, dan sebagainya (Nurgiantoro, 1988:289). Lebih lanjut, Nurgiantoro, (1988:271) mengatakan tes tugas menulis hendaknya bukan semata-mata tugas untuk (memilih dan) menghasilkan bahasa saja melainkan bagaimana mengungkapkan gagasan dengan mempergunakan bahasa tulis secara tepat. Dengan kata lain, tugas menulis haruslah memeungkinkan terlibatnya unsur linguistik dan ekstralinguistik, memberi kesempatan kepada pelajar untuk berpikir mempergunakan bahasa secara tepat dan juga memikirkan gagasan apa yang dikemukakan.

Evaluasi

pembelajaran

menulis

meliputi

kemampuan

siswa

mengorganisasikan dan mengemukakan gagasan dalam bentuk bahasa yang tepat. Dengan kata lain, penilaian yang dilakukan dalam tes menulis mempertimbangakan kesesuaian judul, penataan, gagasan, paragraf, diksi, ejaan, tanda baca, dan bahasa dalam kaitanya dengan konteks dan isi. Apek-aspek ini tidak dinilai sekaligus,

melainkan melaui proses dan secara bertahap sebagaimana telah ditentukan dalam kurikulum yang berlaku. Bahasa Indonesia 45

2.9 Wawancara Sebagai Salah Satu Media Pembelajaran Menulis Media pembelajaran merupakan sarana yang dingunakan oleh siswa atau guru untuk menunjang proses belajar mengajar. Media dan proses penggunaanya mungkin jarang terpikirkan dalam proses belajar mengajar. Media pembelajaran seharusnya dapat meningkatkan itensitas pengajaran menulis. Dengan media pembelajaran, pengajaran akan semakin bergairah, menarik dan mempermudah proses belajar mengajar. Teks wawancara dapat dingunakan sebagai salah satu media pembelajaran menulis, karena pada hakikatnya, wawancara merupakan tanya jawab dengan seseorang yang diperlukan untuk dimintai keterangan atau pendapatnya mengenai sesuatu hal untuk dimuat di surat kabar, disiarkan melalui radio, atau ditanyangkan pada layar televisi (KBBI 2003:1270). Dengan kata lain, teks wawancara bukan lagi hal yang asing dalam lingkungan siswa. Berpidato adalah menyampaikan suatu hal yang kita ketahui kepada orang lain pada suatu kesempatan atau waktu tertentu. Berpidato sering dijadikan sebagai kegiatan yang dilombakan di acara tertentu. Biasanya perlombaan itu diadakan oleh lembaga-lembaga tertentu khususnya lembaga pendidikan mulai dari SD sampai tingkat perguruan tinggi. Ketika saya duduk di kelas X SMA, tepatnya SMAN Darmaraja saya pernah mengikuti lomba pidato yang dilaksanakan oleh OSIS SMAN Darmaraja. Lomba itu dilaksanakan dalam rangka mengisi kegiatan tengah semester di sekolah. Materi yang akan saya sampaikan pada saat itu tentang pentingnya menuntut ilmu. Peserta yang mengikuti acara ini adalah perwakilan tiap-tiap kelas, dari mulai kelas X, XI, dan kelas XII. Adapun yang bertindak sebagai juri pada saat itu adalah semua guru bahasa indonesia di SMAN Darmaraja. Adapun persiapan yang saya lakukan untuk berpidato ini adalah sebagai berikut. 1.Menentukan tema tentang materi yang akan disampaikan. 2.Menentukan tujuan yang ingin dicapai dari apa yang akan disampaikan itu. 3.Membuat kerangka pidato dan mengembangkannya.

Bahasa Indonesia 46

Setelah mengembangkan kerangka pidato yang telah dibuat kemudian saya melakukan beberapa kali latihan berpidato di depan cermin. Selain itu tidak lupa saya berdoa kepada Allah SWT agar diberikan kelancaran dan hasil yang terbaik. Saat pelaksanaan lomba pidato itu, saya merasa tegang dan kurang percaya diri, tetapi saya harus tawakal apapun yang terjadi pasti itulah yang terbaik dari Allah, karena saya sudah berusaha dengan cara latihan dan berdoa. Ketika nama saya dipanggil untuk maju ke depan, saya merasa sedikit tegang, tetapi saya terus meyakinkan diri . Pidato itu saya mulai dengan ucapan basmalah. Materi yang saya sampaikan pada saat itu intinya mengajak pendengar untuk semangat menuntut ilmu karena memang ada hadis dan ayat Al Qur'an yang isinya bahwa menuntut ilmu itu merupakan kewajiban bagi semua kaum muslimin, baik itu laki-laki maupun perempuan. Saya juga memberikan cara agar kita bisa menuntut ilmu yang bermanfaat, dan cara itu adalah sebagai berikut. 1.Diawali dengan tekad yang kuat untuk menuntut ilmu yang bermanfaat. 2.Berusaha dengan terus menuntut ilmu meskipun banyak rintangannya. 3.Terus berdoa kepada Allah SWT, memohon agar diberikan kemudahan dan kelancaran. 4. Bertawakal atas segala usaha dan doa yang telah digantungkan pada Allah semata. Alhamdulillah saya dapat menyampaikan isi pidato itu dengan baik. Saya sangat bersyukur, karena saya dapat mengalahkan perasaan tidak yakin akan kemampuan diri yang membuat saya tegang dan yang lebih membahagiakan bagi saya dapat meraih juara pertama untuk lomba pidato itu. Dari pengalaman saya mengikuti lomba pidato itu, banyak hikmah yang dapat kita ambil untuk dijadikan bahan renungan untuk menjadi lebih baik. Sebagai manusia tentu kita memiliki kelebihan dan kekurangan tetapi kita harus menjadikan kelemahan diri kita menjadi sesuatu yang bisa kita perbaiki, artinya kita harus terus belajar untuk mengenal kelemahan diri dan berusaha memperbaikinya sehingga diri kita ini menjadi lebih berguna, Rasullah SAW pernah bersabda bahwa sebaikbaiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat. Kita tidak boleh mengalah pada keadaan yang lemah tetapi berusaha mengubah keadaan untuk menjadi lebih baik. Allah SWT berfirman dalam salah satu ayatnya bahwa Allah tidak akan mengubah Bahasa Indonesia 47

nasib suatu kaum sampai mereka mengubahnya sendiri. Pada dasarnya memang itulah tugas manusia untuk selalu berusaha semaksimal mungkin dan berdoa hanya kepada Allah yang disertai dengan tawakal kapada Allah semata.

Berbagi Ilmu
Suatu ketika saya pernah mendengar seorang pemuda yang menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran melalui petuah-petuah yang ia sampaikan. Pemuda itu sering berkomunikasi dengan banyak orang melalui pesawat telepon hanya untuk sekedar menjawab pertanyaan dari orang-orang yang sering mendengarkan ceramahnya. Ia banyakmengkaji tentang isi Al Qur'an dan Al Hadis. Subhanallah, itulah ucapan yang saya panjatkan kepada Allah SWT, ternyata masih ada pemuda yang soleh yang berani menyerukan kebenaran yang merupakan kewajiban seorang muslim, di tengah-tengah banyak pemuda yang masih setia dengan hedonisme. Saya sangat kagum dengan cara pemuda itu berkomunikasi, ia selalu menampilkan sikap yang ramah tamah pada semua orang dan apa yang ia ucapkan sarat dengan ilmu. Meskipun usia pemuda itu masih belasan tahun tetapi sikapnya lebih dewasa dari usianya. Saya juga sering berkomunikasi dengannya, hal yang sering kami diskusikan yaitu hal-hal yang berkaitan dengan masalah agama islam. Meskipun berkomunikasi melalui pesawat telepon genggam tetapi hal itu tidak menjadi penghambat untuk terus bertukar ilmu. saya sempat kecewa karena saya tidak bisa berkomunikasi dengannya selama duatahun. Namun Alhamdulillah kini saya sudah dapat berkomunikasi lagi dengannya, kembali saya bertanya padanya hanya saja yang saya tanyakan sekarang itu tentang universitas karena saya sedang perlu sekali informasi tentang perguruan tinggi yang ia ketahui.

INKONSISTENSI ORANG DEWASA


Jika kita kembali membuka lembaran di bulan November 2007, saat itu geng motor merebak meresahkan masyarakatIndonesia. Tindakan para remaja mulai dari Bahasa Indonesia 48

membuat onar, keributan, penganiayaan, hingga pembunuhan. Sungguh sangat ironis jika kita mengetahui kejadian itu. Pertanyaan kita adalah apa sebenarnya yang terjadi pada remaja? Dalam sebuah buku yang berjudul Meraih Kebahagiaan, yang ditulis oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat menggambarkan sebuah kota bernama Rockdale County di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat. Kota itu kehidupan masyarakat dalam bidang perekonomiannya sangat makmur. Namun pada suatu hari ditemukan seorang anak usia 16 tahun mati taerkapar dalam sebuah perkelahian di tempat parkir sebuah mol. Tanggal 20 Mei 1999 seorang anak remaja menembaki anak-anak sekolah lainnya. Dalam penelitian petugas kesehatan, ditemukan remaja usia 14-17 tahun positif menderita sipilis dan 200 remaja lainnya menderita penyakit kelamin yang menular (sexually transmitted diseases). Wabah sipilis itu kemudian makin marak dengan adanya sek bebas, pesta minuman keras, dan narkoba. Public broadcasting menyiarkan bahwa wabah sipilis ini sebagai sejenis metapora tentang penyakit yang lebih mendalam, yang menggorogoti remaja dewasa ini. Fenomena yang terjadi terhadap remaja itu berada dalam keadaan masyarakat yang bergelimang harta dan kemajuan ekonomi warga Atlanta, lalu apa penyebab dari fenomena yang terjadi pada remaja itu? Menurut salah seorang dosen sosiologi Universitas Minnesto, terjadi kehampaan pada anak usia remaja, hampa dari kehadiran orang dewasa dan hampa dari pengamatan. Jika kita belajar dari Rockdale Country, sudahkah kita melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang terjadi pada remaja-remaja di Indonesia. Sangat ironis jika kita melihat, mendengar dan menghayatinya. Salah satu penyebab anak menjadi nakal karena orang tua yang tidak konsisten terhadap aturan yang ditujukan untuk anak-anak sehingga mereka melihat kecacatan orang dewasa terhadap aturan. Orang dewasa menyerukan untuk mematuhi aturan yang berlaku tapi disisi lain mereka juga melanggar aturan yang telah ditentukan. Mungkin ini sebagai pelajaran untuk kita renungkan, bahwa kita tidak bisa memaksa orang lain untuk konsisten terhadap hukum tetapi memulai dari diri kita sendirilah yang mungkin dapat memotivasi orang lain untuk patuh terhadap hukum. Bahasa Indonesia 49

Bahasa Indonesia 50

You might also like