You are on page 1of 13

1

Efek kolaborasi antara inisiasi resusitasi jantung-paru dan Advance cardiac life support pra rumah sakit oleh dokter pada kelangsungan hidup pasien henti jantung diluar rumah sakit: studi observasi berbasis populasi nasional Hideo Yasunaga, Hiromasa Horiguchi, Seizan Tanabe, Manabu Akahane, Toshio Ogawa, Soichi Koike, Tomoaki Imamura

Abstrak Latar belakang: Terdapat data yang tidak konsisten tentang kefektifan dari tindakan advance cardiac life support (ACLS) pre hospital yang dilakukan oleh staf dokter pada hasil akhir pasien dengan henti jantung di luar rumah sakit. Selain itu, pentingnya resusitasi jantung paru (RJP) dan ACLS dan kefektifan dari kombinasi keduanya belum ditunjukkan dengan jelas. Metode: Dengan berbasis daftar prospektif dan populasi nasional seluruh pasien henti jantung di luar rumah sakit di Jepang, peneliti mendaftarkan 95.072 pasien yang henti jantung dan disaksikan oleh penolong sekitar (bystander), dan 23.127 pasien yang disaksikan oleh tenaga medis antara tahun 2005 dan 2007. Peneliti mengelompokkan pasien henti jantung yang disaksikan penolong kedalam Grup A (ACLS oleh teknisi terlatih tanpa RJP), Grup B (ACLS oleh teknisi terlatih dengan RJP), Grup C (ACLS oleh dokter tanpa RJP), Grup D (ACLS oleh dokter dengan RJP). Hasil data berupa kelangsungan hidup selama 1 bulan dan dampak neurologis yang ditentukan dengan katagori performa neurologis. Hasil: Diantara 95.072 pasien henti jantung yang disaksikan, 7.722 (8,1%) tetap hidup selama 1 bulan, termasuk 2.754 (2,9%) dengan performa yang baik dan 3.171 (3,3%) dengan status vegetatif bahkan lebih parah. RJP dilakukan pada 42% pasien henti jantung. Dibandingkan dengan Grup A, kelangsungan hidup dan performa lebih tinggi secara signifikan pada Grup B (odds ratio (OR); 95% confidence interval, 2,05 sampai 2,42; P<0,01) dan Grup D (OR, 2,80; 95% confidence interval, 2,28 sampai 3,43; P<0,01), tidak ada perbedaan signifikan yang terlihat pada Grup C (OR, 1,18; 95% confidence interval, 0,86 sampai 1,61; P=0,32). Terjadinya kematian dan status vegetatif setelah satu bulan lebih tinggi di Grup C (OR, 1,92; 0,95% confidence interval, 1,55 sampai 2,37; P<0,01). Kesimpulan: Dalam studi ini, RJP secara signifikan memperbaiki kelangsungan hidup pasien henti jantung di luar rumah sakit dengan keluaran yang baik pada performa neurologis. Grup dengan RJP dan ACLS oleh dokter memiliki hasil yang terbaik. Hanya melakukan ACLS oleh dokter tanpa melakukan RJP meningkatkan jumlah pasien dengan keluaran neurologis yang buruk.

Pendahuluan Keberhasilan menyelamatkan pasien dengan henti jantung menjadi masalah publik yang sudah sangat lama disejumlah negara (1,2). Henti jantung di luar rumah sakit dilaporkan dengan kelangsungan hidup yang bervariasi (2-8), dan variasi ini berbeda antar negara dalam hubungannya dengan kelangsungan hidup, seperti yang dideskripsikan dalam American Heart Association (9). Secara ideal, komunitas dan pelayanan medis kegawatdaruratan harus mengoptimalisasi empat jalur: akses cepat ke telepon, RJP dini (10), defibrilasi dini dengan defibrillator eksternal (11), dan tindakan ACLS (12,13). Sejumlah studi telah menjelaskan tentang efek independen RJP yang dipasangkan dengan penggunaan defibrillator (11). Tindakan ACLS pra rumah sakit dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien masih kontroversial (7,10,12,13), sejak lebih dari 40 tahun setelah Pantridge dan Geddes memperkenalkan konsep tindakan ACLS pada henti jantung yang bahkan dapat dilakukan dalam ambulan (1). Masalah siapa orang yang melakukan ACLS juga menjadi faktor yang mempengaruhi hasil keluaran pasca henti jantung. Beberapa studi juga telah menilai efek dari kemampuan dokter melakukan ACLS (12,13), tetapi studi ini dilakukan pada area geografis yang terbatas. Selain itu, pentingnya RJP dan ACLS dan keefektifan dari kombinasi keduanya pada kelangsungan hidup pasien dan hasil baik setelahnya belum ditunjukkan dengan jelas. Tujuan dari studi ini adalah untuk menganalisis efek kolaborasi RJP dan ACLS dengan atau tanpa dokter pada kelangsungan hidup pasien henti jantung dan performa neurologisnya dalam 1 bulan.

Metode Pelayanan Kegawatdaruratan Medik di Jepang Di Jepang, terdapat Fire and Disaster Management Agency of Japan (FDMA) yang menjadi supervisi sistem pelayanan kagawatdaruratan medis di Jepang. Tim ambulan dikelola oleh tiga staf pelayanan kegawatdaruratan medis salah satunya adalah Emergency life-saving Technician (ELST). ELST ini merupakan orang terpilih

yang dilatih secara khusus melakukan prosedur ACLS yang merujuk pada panduan AHA dan International Liaison Committee on Resuscitation (11,14,15,16). Kemampuan ELST mencakup penggunaan defibrillator, insersi oesophagal obturator atau laryngeal mask airway, dan pemasangan infus. Hanya beberapa ELST yang dilatih secara khusus untuk dapat melakukan intubasi endotracheal (14). Di Jepang, setiap wilayah memiliki staf dokter dan pelayanan

kegawatdaruratan medis masing-masing (14,17). Pada bulan April 2009, terdapat sekitar 4000 rumah sakit dengan ruang kegawatdaruratan, dan 218 pusat kegawatdaruratan dan critical care center pada 47 daerah di Jepang. Delapan puluh enam dari 218 pusat sudah mengelola sistem ACLS pra rumah sakit (19). Dua puluh tujuh dari 48 dokter tim ambulan bekerja 24 jam sehari sedangkan 21 lainnya hanya bekerja pada siang hari (18). Dalam ambulan, tim dokter dapat melakukan tindakan medis sesuai dengan diagnosis dan keputusan, diantaranya adalah menggunakan defibrillator eksternal, intubasi endotracheal, kateter intravena sentral, infus katekolamin, lidocaine, atropine, agen anestesi dan agen trombolitik.

Sumber Data Pada Bulan Januari 2005 FDMA melakukan studi observasi secara luas, berbasis populasi, mencakup seluruh pasien henti jantung di Jepang (11). Staf pelayanan medis kegawatdaruratan disetiap senter merekam data pasien henti jantung menggunakan bentuk Ustein-style (18) bersama dengan dokter dalam menangani pasien. Data anonim dikirim melalui media elektronik ke database FDMA. Database tersebut berisi: jenis kelamin, umur, penyebab henti jantung, status saksi, keberadaan RJP, waktu kolaps, emergency call, kedatangan ambulan, inisiasi RJP dan defibrilasi, inisial ritme, informasi dari pelayanan medis kegawatdaruratan; kelangsungan hidup selama 1 bulan; dan defisit neurologis setelah 1 bulan, yang ditunjukkan dengan Glasgow-Pittsburgh cerebral performance category (CPC) (9,20).

Subjek Dalam studi ini, peneliti mendaftarkan semua pasien henti jantung yang disaksikan oleh orang sekitarnya atau pelayanan kegawatdaruratan medis, yang mendapat RJP dan tidak, yang melalui ACLS diluar rumah sakit, dan yang dikirimkan ke pelayanan medis dari 1 Januari 2005 sampai 31 Desember 2007. Pasien henti jantung yang disaksikan memiliki prognosis memiliki kelangsungan hidup kuat, sedangkan pasien yang tidak disaksikan dikaitkan dengan tidak memiliki kelangsungan hidup yang kuat (9). Pasien yang diekslusi jika henti jantung tidak disaksikan atau jika status henti jantung tidak didokumentasikan. Peneliti membagi pasien henti jantung yang disaksikan menjadi 4 grup: pertama Grup A: ACLS oleh ELST tanpa RJP; Grup B: ACLS oleh ELSTs dengan RJP; Grup C: ACLS oleh dokter tanpa RJP; Grup D: ACLS oleh dokter dengan RJP. Untuk pasien henti jantung yang disaksikan oleh pelayanan medis, kelompok dibagi menjadi dua, yaitu grup ditangani ACLS diluar rumah sakit oleh ELST atau grup yang di ACLS oleh dokter.

Hasil pendataan Hasil data termasuk kelangsungan hidup 1 bulan dan status neurologis setelah satu bulan, ditetapkan dengan Glasgow-Pittsburgh CPC: CPC1 performa baik; CPC2 performa moderat; CPC3 disabilitas cerebral berat; CPC4 status vegetatif; CPC5 mati batang otak. Dalam database, de facto kasus kematian batang otak tetap dianggap masih hidup jika pasien belum didiagnosis dengan kriteria untuk mati batang otak tetapi sudah diberi kode CPC5.

Analisis Peneliti melakukan perbandingan univariat pada karakteristik pasien dan variabel hasil menggunakan chi-square dan analisis variat. Analisis regresi logistik dilakukan sebagai model efek RJP, ACLS dan faktor lain pada hasil. Signifikan yang digunakan P<0,05. Semua analisis statistik dikerjakan menggunakan PASW Statistics version 18.00 (SPSS Inc, Chicago, IL, USA).

Hasil Selama periode studi, peneliti mengidentifikasi 95.072 pasien henti jantung yang disaksikan bystander (29.215 tahun 2005, 31.849 tahun 2006, dan 34.008 tahun 2007) dan 23.127 pasien henti jantung yang disaksikan oleh pelayanan medis (7.554 tahun 2005, 7.717 tahun 2006, dan 7.856 tahun 2007).

Tabel 1 menunjukkan data demografik pasien henti jantung yang disaksikan bystander (orang sekitar). Keseluruhannya, 39.994 pasien (42,1%) mendapat RJP dan 3.513 pasien (3,7%) mendapat ACLS oleh dokter. Waktu dari mulai kolaps sampai dimulainya RJP mediannya adalah 2 menit di Grup B dan Grup D dengan RJP, dan 10 menit di Grup A dan Grup C tanpa RJP. Tabel 2 menunjukkan kelangsungan hidup selama 1 bulan dan CPC pada pasien henti jantung dan pasien dengan VF yang berasal dari jantung. Diantara 95.072 pasien, pasien yang dapat hidup sampai 1 bulan sebanyak 8,1% termasuk 2,9% dengan keluaran performa yang baik dan 3,3% dengan status vegetatif atau lebih buruk. Pasien dengan status vegetatif atau lebih buruk diantara semua yang hidup adalah 41,4% (3.171 dari 7.722). Perbedaan signifikan ditemukan dalam kemampuan bertahan hidup selama 1 bulan dan performa neurologis otak antara Grup

A dan Grup B (P<0,01), antara Grup C dan Grup D (P<0,01) dan antara Grup B dan Grup D (P<0,01). Sebagai perbandingan pada Grup A dan Grup C, peningkatan signifikan ditemukan pada kemampuan bertahan hidup selama 1 bulan (6,7% dan 11,6%, P<0,01) dan status vegetatif (3,1% dan 6,1%, P<0,01), sedangkan perbedaan pada performa tidak signifikan (1,9% dan 2,7%, P=0,41). Diantara 11.970 pasien henti jantung dengan VF (ventrikel fibrilasi), mereka yang bertahan hidup selama 1 bulan sebanyak 24,3%, termasuk 12,0% dengan keluaran performa baik dan 6,4% dengan status vegetatif bahkan lebih buruk. Tingkat status vegetatif atau status lebih buruk paling tinggi pada Grup C (11,8%).

Tabel 3 menunjukkan hasil analisis regresi logistik untuk hasil selama satu bulan dari pasien henti jantung dan pasien dengan inisiasi VF. Diantara semua pasien henti jantung tingkat kelangsungan hidup dan keluaran performa neurologis berhubungan secara signifikan dengan semakin tuanya usia dan interval respon pertolongan. Tingkat keluaran performa neurologis secara signifikan lebih tinggi pada Grup B dibandingkan dengan Grup A (odds ratio (OD) 2,23; P<0,001), tetapi tidk berbeda secara signifikan antara Grup A dan Grup C (OR 1,18; P=0,317). Grup D menunjukkan tingkat tertinggi (OR 2,80; P<0,001). Kejadian status vegetatif atau

status lebih buruk dari vegetatif paling tinggi pada Grup C (OR, 1,87; P<0,001). Tren yang sama terlihat pada pasien dengan VF.

Tabel 4 menunjukkan demografis dan hasil dari pasien henti jantung yang disaksikan oleh pelayanan kesehatan, dan Tabel 5 menunjukkan analisis regresi logistiknya. Grup yang ditangani dengan ACLS oleh dokter menunjukkan ketahanan hidup secara keseluruhan yang lebih tinggi (OR 1,27; P=0,013) dan performa neurologis yang paling baik (OR 1,47; P<0,001), sedangkan kejadian menjadi status vegetatif atau status lebih buruk lagi tidak berbeda antara kedua grup (OR 0,92; P=0,646).

Diskusi Tingkat ketahanan hidup dari serangan jantung diluar rumah sakit di banyak negara tetap rendah (2-8). Sejumlah studi menunjukkan bahwa RJP merupakan faktor paling mendasar dalam meningkatkan ketahanan hidup pasien (3-6,9). Studi saat ini, RJP secara signifikan meningkatkan ketahanan hidup dengan performa neurologis yang baik. Salah satu temuan signifikan dalam studi ini adalah peningkatan dari ketahanan hidup pasien selama 1 bulan dan performa neurologis yang baik dalam satu bulan pada pasien yang mendapat ACLS dari dokter. Laporan sebelumnya menunjukkan bahwa dokter dalam tim ACLS bukan faktor independen yang meningkatkan ketahanan hidup, tetapi studi tersebut hanya terdiri dari 539 pasien dalam suatu wilayah yang terbatas (13). Sejauh yang peneliti ketahui, studi ini merupakan yang pertama dalam menunjukkan efek peningkatan ketahanan hidup dari tindakan ACLS oleh dokter dalam seting nasional. Sistem dokter yang menjadi staf tim ambulan digunakan pada banyak negara Eropa (9,13,21,22). Paramedis di Amerika Serikat diizinkan untuk melakukan pertolongan ALS karena dokter tim ambulan dirasa kurang efisien dimanfaatkannya (9). Di Jepang, memperbanyak staf

dokter di ambulan mungkin cukup sulit karena pendeknya umur daripada dokter kegawatdaruratan (17).

Penemuan penting lainnya adalah konfirmasi tentang tingginya ketahanan hidup dengan jeleknya hasil performa neurologis pada tindakan ACLS yang dilakukan oleh dokter tanpa melakukan RJP. ACLS yang dilakukan oleh dokter bisa memperkuat efek dari RJP. Dengan kata lain, kombinasi antara RJP dan ACLS oleh dokter dianggap sebagai cara terbaik untuk membawa pasien kembali dari kolaps dan membawa kebaikan setelahnya. Dalam banyak kasus tanpa tindakan RJP, penundaan yang krusial dalam mendapatkan pertolongan pertama menyebabkan banyak pasien mengalami kerusakan otak permanen. Pertolongan oleh dokter tanpa melakukan tindakan RJP dapat meningkatkan konsekuensi yang tidak baik, dan kadang putus asa. Mata kita harus terbuka melihat fakta bahwa lebih dari 40% pasien yang mampu bertahan hidup diklasifikasikan dalam kelompok status vegetatif atau de facto kematian batang otak. Kemudian fakta lain bahwa lebih dari 50% pasien yang mendapat tindakan ACLS tanpa RJP menjadi status vegetatif atau de facto kematian batang otak. Ini merupakan kenyataan dari posedur pelayanan tindakan medis untuk pasien henti jantung. Studi kami menjelaskan bahwa prioritas harus diberikan pada peningkatan RJP untuk meningkatkan hasil neurologis yang baik pada pasien henti jantung.

10

Mengajarkan tentang bagaimana bersikap dalam situasi gawat darurat merupakan masalah kesehatan yang umum di seluruh dunia. Program pelatihan di sekolah bisa menjadi cara yang terbaik untuk melatih seluruh penduduk (23,24). Di Jepang, pelatihan RJP dilakukan untuk jutaan penduduk setiap tahun, dan peserta penerima surat izin mengemudi (SIM) juga harus menyetujui dan mengikuti program pelatihan RJP di sekolah mengemudi (14). Studi kami mengungkapkan RJP hanya dilakukan pada 42% pasien di Jepang, angka ini lebih banyak dibandingkan dengan negara lain (2,25). Kerja keras harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas dari tindakan RJP. Idealnya, tindakan ACLS oleh dokter harus dihubungkan dengan tindakan RJP. Beberapa keterbatasan dalam studi ini harus diketahui. Salah satunya adalah randomized trial tidak mungkin dapat dikerjakan dalam tipe studi ini, yang mempertimbangkan masalah etika dan informed consent. Meskipun grupnya besar, studi ini berbasis nonrandomized observational study dan berisiko dengan potensi bias. Pertama, dan yang paling penting, pelayanan medis oleh dokter di luar rumah sakit hanya terdapat pada area yang terbatas di sekitar pusat unit kegawat daruratan medis yang spesifik. Terdapat hubungan antara hasil dari pemberian pertolongan setelah sirkulasi darah pasien kembali mengalir spontan dan kondisi pasien setelahnya, contohnya dalam manajemen hipotermia (26-28). Tidak semua rumah sakit dapat melakukan manajemen hipotermia yang baik. Peneliti tidak dapat menyesuaikan dengan faktor ini karena tidak memiliki informasi tentang penatalaksanaan yang dilakukan setelah pasien sampai di rumah sakit. Kedua, mirip seperti kebanyakan survei berbasis registrasi, validitas dan integritas dari data menjadi batasan potensial meskipun hal tersebut sudah diatasi dengan jumlah sampel yang banyak. Terakhir, hasil jangka panjang seperti tingkat lama keluarnya pasien dari rumah sakit atau ketahanan hidup selama satu tahun belum dapat dinilai.

Kesimpulan RJP meningkatkan secara signifikan ketahanan hidup pasien henti jantung diluar rumah sakit dengan performa neurologis yang baik. Kombinasi antara RJP dan

11

ACLS oleh dokter merupakan cara terbaik untuk meningkatkan hasil keluaran tindakan pertolongan. ACLS oleh dokter tanpa melakukan RJP meningkatkan insidensi keluaran neurologis yang jelek. Prioritas harus diberikan untuk meningkatkan tindakan RJP, dan ACLS oleh dokter harus dikaitkan dengan RJP.

Temuan Kunci Diantara 95.072 pasien dengan henti jantung 7.722 (8,1%) pasien hidup selama 1 bulan, termasuk 2.754 (2,9%) dengan performa neurologis yang baik dan 3.171 (3,3%) dengan status vegetatif bahkan lebih buruk. Lebih dari 40% pasien bertahan hidup selama 1 bulan masuk dalam status vegetatif atau de facto kematian batang otak. Kombinasi antara RJP an ACLS oleh dokter merupakan cara terbaik untuk meningkatkan hasil keluaran. Pertolongan bantuan hidup oleh dokter tanpa melakukan RJP meningkatkan kejelekan status pasien menjadi status vegetatif atau bahkan lebih buruk lagi.

Referensi 1. Pantridge JF, Geddes JS: A mobile intensive-care unit in the management of myocardial infarction. Lancet 1967, 2:271-273. 2. Stiell IG, Wells GA, Field B, Spaite DW, Nesbitt LP, De Maio VJ, Nichol G, Cousineau D, Blackburn J, Munkley D, Luinstra-Toohey L, Campeau T, Dagnone E, Lyver M, Ontario Prehospital Advanced Life Support Study Group: Advanced cardiac life support in out-of-hospital cardiac arrest. N Engl J Med 2004, 351:647-656. 3. Iwami T, Nichol G, Hiraide A, Hayashi Y, Nishiuchi T, Kajino K, Morita H, Yukioka H, Ikeuchi H, Sugimoto H, Nonogi H, Kawamura T: Continuous improvements in chain of survival increased survival after out-ofhospital cardiac arrests: a large-scale population-based study. Circulation 2009, 119:728734. 4. Kim C, Fahrenbruch CE, Cobb LA, Eisenberg MS: Out-of-hospital cardiac arrest in men and women. Circulation 2001, 104:2699-2703. 5. Arrich J, Zeiner A, Sterz F, Janata A, Uray T, Richling N, Behringer W, Herkner H: Factors associated with a change in functional outcome between one month

12

and six months after cardiac arrest: a retrospective cohort study. Resuscitation 2009, 80:876-880. 6. Peberdy MA, Silver A, Ornato JP: Effect of caregiver gender, age, and feedback prompts on chest compression rate and depth. Resuscitation 2009, 80:1169-1174. 7. Rea TD, Eisenberg MS, Becker LJ, Murray JA, Hearne T: Temporal trends in sudden cardiac arrest: a 25-year emergency medical services perspective. Circulation 2003, 107:2780-2785. 8. Wachelder EM, Moulaert VR, van Heugten C, Verbunt JA, Bekkers SC, Wade DT: Life after survival: long-term daily functioning and quality of life after an out-of-hospital cardiac arrest. Resuscitation 2009, 80:517-522. 9. Cummins RO, Ornato JP, Thies WH, Pepe PE: Improving survival from sudden cardiac arrest: The Chain of Survival concept. Circulation 1991, 83:1832-1847. 10. Kvaloy JT, Skogvoll E, Eftestol T, Gundersen K, Kramer-Johansen J, Olasveengen TM, Steen PA: Which factors influence spontaneous state transitions during resuscitation? Resuscitation 2009, 80:863-869. 11. Kitamura T, Iwami T, Kawamura T, Nagao K, Tanaka H, Hiraide A: Nationwide public-access defibrillation in Japan. N Engl J Med 2010, 362:994-1004. 12. Olasveengen TM, Lund-Kordahl I, Steen PA, Sunde K: Out-of hospital advanced life support with or without a physician: effects on quality of CPR and outcome. Resuscitation 2009, 80:1248-1252. 13. Estner HL, Gunzel C, Ndrepepa G, William F, Blaumeiser D, Rupprecht B, Hessling G, Deisenhofer I, Weber MA, Wilheim K, Schmitt C, Schomig A: Outcome after out-of-hospital cardiac arrest in a physician-staffed emergency medical system according to the Utstein style. Am Heart J 2007, 153:792-799. 14. Tanigawa K, Tanaka K: Emergency medical service systems in Japan: past, present, and future. Resuscitation 2006, 69:365-370. 15. ECC Committee, Subcommittees and Task Forces of the American Heart Association: 2005 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation 2005, 112:IV1IV203. 16. International Liaison Committee on Resuscitation: 2005 international consensus on cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care science with treatment recommendations. Resuscitation 2005, 67:181-314. 17. Ohshige K, Shimazaki S, Hirasawa H, Nakamura M, Kin H, Fujii C, Okuchi K,Yamamoto Y, Akashi K, Takeda J, Hanyuda T, Tochikubo O: Evaluation of out-of-hospital cardiopulmonary resuscitation with resuscitative drugs: a prospective comparative study in Japan. Resuscitation 2005, 66:53-61. 18. Kai T: Development of prehospital emergency medical system: doctor car system [in Japanese]. Kyukyu Igaku 2009, 33:503-506.

13

19. Health Policy Bureau, Ministry of Health, Labour Welfare: The List of Emergency and Critical Care Centers in Japan. [http://www.wam.go.jp/ wamappl/bb11GS20.nsf/0/8f7f4a9f85da3368492575ef00058d35/$FILE/ 20090710_1sankou7_3.pdf]. 20. Jacobs I, Nadkarni V, Bahr J, Berg RA, Billi JE, Bossaert L, Cassan P, Coovadia A, DEste K, Finn J, Halperin H, Handley A, Herlitz J, Hickey R, Idris A, Kloeck W, Larkin GL, Mancini ME, Mason P, Mears G, Monsieurs K,Montgomery W, Morley P, Nichol G, Nolan J, Okada K, Perlman J, Shuster M,Steen PA, Sterz F, et al: Cardiac arrest and cardiopulmonary resuscitation outcome reports: update and simplification of the Utstein templates for resuscitation registries: a statement for healthcare professionals from a task force of the International Liaison Committee on Resuscitation. Circulation 2004, 110:3385-3397. 21. Nikkanen HE, Pouges C, Jacobs LM: Emergency medicine in France. Ann Emerg Med 1998, 31:116-120. 22. Kruger AJ, Skogvoll E, Castren M, Kurola J, Lossius HM, The ScanDoc Phase 1a Study Group: Scandinavian pre-hospital physician-manned emergency medical services - same concept across borders? Resuscitation 2010, 81:427-433. 23. Connolly M, Toner P, Connolly D, McCluskey DR: The ABC for life programme teaching basic life support in schools. Resuscitation 2007, 72:270279. 24. Fleischhackl R, Nuernberger A, Sterz F, Schoenberg C, Urso T, Habart T, Mittlboeck M, Chandra-Strobos N: School children sufficiently apply life supporting first aid: a prospective investigation. Crit Care 2009, 13:R127. 25. Lopez-Herce J, Alvarez AC: Bystander CPR for paediatric out-of-hospital cardiac arrest. Lancet 2010, 375:1321-1322. 26. The Hypothermia after Cardiac Arrest Study Group: Mild therapeutic hypothermia to improve the neurologic outcome after cardiac arrest. N Engl J Med 2002, 346:549-556. 27. Bernard SA, Gray TW, Buist MD, Jones BM, Silvester W, Gutteridge G, Smith K: Treatment of comatose survivors of out-of-hospital cardiac arrest with induced hypothermia. N Engl J Med 2002, 346:557-563. 28. Sunde K, Pytte M, Jacobsen D, Mangschau A, Jensen LP, Smedsrud C, Draegni T, Steen PA: Implementation of a standardised treatment protocol for post resuscitation care after out-of-hospital cardiac arrest. Resuscitation 2007, 73:29 39.

You might also like