You are on page 1of 38

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Sectio Caesarea (SC) 1. Pengertian Sectio Caesarea Operasi caesarea menurut Dunn dikutip oleh Kasdu (2003), sebagai persalinan untuk melahirkan janin dengan berat 500 gram atau lebih melalui pembedahan di perut dengan menyayat dinding rahim. Sementara Wiknjosastro (2002), mendefinisikan Sectio Caesarea (SC) sebagai pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. Menurut Mochtar (1998), Sectio Caesarea (SC) adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut dan vagina, atau Sectio Caesarea (SC) adalah suatu histerektomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim. Sedangkan Hecker & Moore (2001), menjelaskan Sectio Caesarea (SC) sebagai kelahiran janin melalui insisi pada dinding rahim anterior. Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka dapat disimpulkan operasi Caesarea (SC) adalah Pembedahan untuk melahirkan janin dari dalam rahim dengan membuka dinding perut dan dinding uterus dengan membuat sayatan melalui dinding depan perut dan vagina. 2. Teknik Sectio Caesarea Ada beberapa jenis Sectio Caesarea (SC). Menurut Wiknjosastro (2002), jenis / teknik dibedakan dalam Sectio Caesarea transperitonealis

profunda, Sectio Caesarea klasik atau Sectio Caesarea korporal dan Sectio Caesarea eksrtaperitoneal. Sectio Caesarea transperitonealis profunda adalah Dauercatheter dipasang dan wanita berbaring dalam letak Trendelenburg ringan. Diadakan insisi pada dinding perut pada garis tengah dari simfisis sampai beberapa sentimeter di bawah pusat. Setelah peritoneum dibuka, dipasang spekulum perut, dan lapangan operasi dipisahkan dari rongga perut dengan suatu kain kasa panjang atau lebih. Peritoneum pada dinding uterus depan dan bawah dipegang dengan pinset, plika vesiko-uterina dibuka dan insisi ini diteruskan melinyang jauh ke lateral, kemudian kandung kencing dengan peritoneum di depan uterus didorong ke bawah dengan jari (Wiknjosastro, 2002). Pada segmen bawah uterus, yang sudah ditutup lagi oleh peritoneum serta kandung kencing dan yang biasanya sudah menipis, diadakan insisi melintang sebesar 10 cm dengan ujung kanan dan kiri agak melengkung ke atas untuk menghindari terbukanya cabang-cabang arteri uterina. Karena uterus dalam kehamilan tidak jarang memutar ke kanan, sebelum dibuat insisi, posisi uterus diperiksa dahulu dengan memperhatikan ligamenta rotunda kanan dan kiri. Ditengah-tengah, insisi diteruskan sampai dinding uterus terbuka dan ketuban tampak. Kemudian luka terahir ini dilebarkan dengan gunting berujung tumpul mengikuti sayatan yang telah dibuat lebih dahulu. Ketuban dipecahkan, dan air ketuban yang keluar diisap. Kemudian spekulum perut diangkat dan tangan dimasukkan ke dalam uterus di belakang kepala janin dan dengan memegang kepala

dari belakang dengan jari-jari tangan penolong, diusahakan lahirnya kepala melalui lubang insisi (Wiknjosastro, 2002). Sectio Caesarea klasik insisi dibuat pada korpus uteri. Pembedahan ini, lebih mudah untuk dilakukan, hanya dilakukan apabila ada halangan untuk melakukan sectio caesarea transperitonecdis profunda (misalnya melekat eratnya uterus pada dinding perut karena sectio caesarea yang sebelumnya dilakukan insisi di segmen bawah uterus mengandung bahaya perdarahan banyak berhubungan dengan letaknya plasenta pada plasenta previa) (Wiknjosastro, 2002). Kurang disukainya pembedahan jenis ini disebabkan oleh lebih besamya bahaya peritonitis, dan kira-kira 4 kali lebih besar bahaya ruptura uteri pada kehamilan yang akan datang. Oleh karena itu sesudah sectio caesarea klasik sebaiknya dilakukan sterilisasi atau histerektomi (Wiknjosastro, 2002). Sectio Caesarea ekstraperitoneal dahulu dilakukan untuk

mengurangi bahaya infeksi puerperal, akan tetapi dengan kemajuan pengobatan terhadap infeksi, pembedahan ini sekarang tidak banyak lagi dilakukan. Pembedahan ini sekarang tidak banyak lagi dilakukan. Pembedahan tersebut sulit dalam tekniknya dan sering kali terjadi sobekan peritoneum tidak dapat dihindarkan (Wiknjosastro, 2002). Sementara Kasdu (2003), membedakan jenis operasi sesar menjadi 2 yaitu sayatan melintang dan vertikal. Adapun jenis sayatannya, operasi berlangsung sekitar 45-60 menit, tetapi proses melahirkan bayi sendiri hanya berlangsung 5-10 menit Pemilihan jenis sayatan ini tergantung pada

10

perut pada operasi caesarea sebelumnya, kembar siam, tumor (mioma uteri) di segmen bawah uterus, hipervaskularisasi (pembuluh darah meningkat) di segmen bawah uterus pada plasenta previa, kanker serviks, risiko bahaya perdarahan apabila di lakukan tindakan sayatan melintang berhubung letak plasenta, misalnya pada plasenta previa, janin letak lintang, atau kembar dengan letak abnormal dan apabila akan melakukan histerektomi setelah janin di lahirkan (Kasdu, 2003). Terdapat kerugian dari operasi caesarea dengan jenis sayatan melintang, antara lain: lebih berisiko terkena peritonitis (radang selaput perut), memiliki resiko empat kali lebih besar terkena rupture uteri pada kehamilan selanjutnya, otot-otot rahimnya lebih tebal dan lebih banyak pembuluh darahnya sehingga sayatan ini lebih banyak mengeluarkan darah. Akibatnya, lebih banyak parut di daerah dinding atas rahim. Oleh karena itu, pasien tidak dianjurkan hamil lagi, jika menggunakan anestesi lokal, sayatan ini akan memerlukan waktu dan obat lebih banyak (Kasdu, 2003). 3. Indikasi Sectio Caesarea Ada empat alasan penyebab dilakukannya operasi caesarea. Menurut Kasdu (2003), antara lain keselamatan ibu dan janin ketika persalinan harus berlangsung, tidak terjadi kontraksi, distosia (persalinan macet) sehingga menghalangi persalinan alami, dan bayi dalam keadaan darurat sehingga harus segera dilahirkan, tetapi jalan lahir tidak mungkin dilalui janin.

11

Dengan demikian sebagai berikut: 1) Bayi terlalu besar

indikasi

dilakukannya operas!

sesar adalah

Berat bayi lahir sekitar 4.000 gram atau lebih (giant baby), menyebabkan bayi sulit keluar dari jalan lahir, umumnya pertumbuhan janin yang berlebihan (macrosomia) karena ibu menderita kencing manis (diabetes mellitus). Apabila dibiarkan terlalu lama di jalan lahir dapat membahayakan keselamatan janinnya. Selain janin besar, janin dengan berat badan kurang dari 2.500 gram, lahir prematur, dan dismatur (intrauterine growth retardation) atau pertumbuhan janin tehambat, juga menjadi pertimbangan dilakukannya persalinan dengan operasi. 2) Kelainan letak bayi Ada 2 kelainan letak janin dalam rahim, yaitu letak sungsang dan letak lintang. Keadaan janin sungsang apabila letak janin dalam rahim memanjang denga kepala berada di bagian atas rahim, sementara pantat berada di bagian bagian rongga rahim. Langkah terakhir untuk mengantisipasi hal yang terburuk karena persalinan yang tertahan akibat janin sungsang adalah operasi. Letak lintang atau miring yang biasa di sebut dengan oblique adalah kelainan yang biasa terjadi. Letak yang demikian menyebabkan poros janin tidak sesuai dengan sah jalan lahir. Keadaan ini menyebabkan keluarnya bayi terhenti dan macet dengan presentasi tubuh janin di dalam jalan lahir. Apabila keadaan ini

12

dibiarkan terlalu lama dapat mengakibatkan janin kekurangan oksigen (O2) dan menyebabkan kerusakan pada otak janin. Oleh karena itu harus dilakukan operasi untuk mengeluarkannya. 3) Ancaman gawat janin (fetal distress) Keadaan janin yang gawat pada tahap persalinan, memungkinkan untuk segera dilakukannya operasi. Apabila ditambah dengan kondisi ibu yang kurang menguntungkan. Janin pada saat belum lahir mendapat oksigen (O2) dari ibunya melalui ari-ari dan tali pusat. Apabila terjadi gangguan pada ari-ari (akibat ibu menderita tekanan darah tinggi atau kejang rahim), serta pada tali pusat (akibat tali pusat terjepit antara tubuh bayi), maka suplai oksigen (O2) yang disalurkan ke bayi akan berkurang pula. Akibatnya janin akan tercekik karena kehabisan nafas. Kondisi ini dapat menyebabkan janin mengalami kerusakan otak, bahkan tidak jarang meninggal daa rahim. Apabila proses persalinan sulit dilakukan melalui vagina maka bedah casarea merupakan jalan keluar satu-satunya. 4) Janin abnormal Janin sakit atau abnormal, misalnya gangguan Rh, kerusakan genetik, dan hidrosepalus (kepala besar karena otak berisi cairan), dapat menyababkan memutuskan dilakukan tindakan operasi. 5) Faktor plasenta Ada beberapa kelainan plasenta yang dapat menyebabkan keadaan gawat darurat pada ibu atau janin sehingga hams dilakukan persalinan

13

dengan operasi yaitu Plasenta previa, Plasenta lepas (solutio plasenta), Plasenta accreta, Vasa previa. a) Plasenta previa Posisi plasenta terletak di bawah rahim dan menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir. Keadaan ini akan mengakibatkan kepala janin tidak turun dan masuk ke jalan lahir. Janin dengan plasenta previa, umumnya akan memilih letak sungsang atau letak melintang. Keadaan ini akan menyulitkan janin lahir secara alami. Tindakan persalinan pada plasenta previa ini biasanya akan dilakukan dengan operasi. b) Plasenta lepas (solutio plasenta) Kondisi ini merupakan keadaan plasenta yang lepas lebih cepat dari dinding rahim sebelum waktunya. Persalinan dengan operasi dilakukan untuk menolong janin segera lahir sebelum janin mengalami kekurangan oksigen atau keracunan air ketuban. c) Plasenta accerta Plasenta accerta merupakan keadaan menempelnya plasenta di otot rahim. Apabila sisa yang menempel di otot rahim banyak maka kemungkinan perlu dilakukan histerektomi (operasi pengangkatan rahim). d) Vasaprevia Keadaan pembuluh darah di selaput ketuban berada di mulut rahim (osteum uteri), jika pecah dapat menimbulkan perdarahan banyak

14

yang membahayakan janin dan ibunya. Untuk mengurangi risiko pada ibu dan janin maka persalinan dilakukan dengan operasi. 6) Kelainan tali pusat Berikut ini ada dua kelainan tali pusat yang biasa terjadi yaitu prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung), dan terlilit tali pusat. Prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung) adalah keadaan penyembuhan sebagian atau seluruh tali pusat berada di depan atau di samping bagian terbawah janin atau tali pusat sudah berada di jalan lahir sebelum bayi. Dalam hal ini, persalinan harus segera dilakukan sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada bayi, misalnya sesak nafas karena kekurangan oksigen (O2). Terlilit tali pusat atau terpelintir menyebabkan aliran oksigen dan nutrisi ke janin tidak lancar. Jadi, posisi janin tidak dapat masuk ke jalan lahir, sehingga mengganggu persalinan maka kemungkinan dokter akan mengambil keputusan untuk melahirkan bayi melalui tindakan sectio caesaerea. 7) Bayi kembar (multiplle pregnancy) Tidak selamanya bayi kembar dilakukan secara caesarea.

Kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi. Bayi kembar dapat mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan melalui persalinan alami. Hal ini diakibatkan, janin kembar dan cairan ketuban yang berlebihan membuat janin mengalami kelainan letak. Oleh karena itu, pada kelahiran kembar dianjurkan dilahirkan di rumah sakit karena

15

kemungkinan sewaktu-waktu dapat dilakukan tindakan operasi tanpa direncanakan. Meskipun dalam keadaan tertentu, bisa saja bayi kembar lahir secara alami. Faktor Ibu menyebabkan ibu dilakukannya tindakan operasi, misalnya panggul sempit atau abnormal, disfungsi kontraksi rahim, riwayat kematian pre-natal, pernah mengalami trauma persalinan dan tindakan sterilisasi. Berikut ini, faktor ibu yang menyebabkan janin harus dilahirkan dengan operasi. 8) Usia Ibu yang melahirkan untuk pertama kalinya pada usia sekitar 35 tahun memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi perempuan dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang memiliki penyakit yang beresiko, misalnya tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kencing mam's (diabetes melitus) dan pre- eklamsia. Eklamsia (keracunan kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang sehingga seringkali menyebabkan dokter memutuskan persalinan dengan operasi caesarea. 9) Tulang panggul Cephalopelvic disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin dan dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Kondisi tersebut membuat bayi susah keluar melalui jalan lahir.

16

10) Persalinan sebelumnya caesarea Persalinan melalui bedah caesaerea tidak mempengaruhi persalinan selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak. Umumnya operasi caesarea dilakukan lagi pada persalinan kedua apabila operasi sebelumnya menggunakan sayatan vertikal (corporal). 11) Faktor hambatan panggul Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku sehingga tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bemafas. Gangguan jalan lahir ini bisa terjadi karena adanya mioma atau tumor. Keadan ini menyebabkan persalinan terhambat atau macet, yang biasa disebut distosia. 12) Kelainan kontraksi rahim Jika kontraksi lahir lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate uterine action) atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat melebar pada proses persalinan, menyebabkan kepala bayi tidak terdorong atau tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar. Apabila keadaan tidak memungkinkan, maka dokter biasanya akan melakukan operas! caesarea. 13) Ketuban pecah dini Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi harus segera dilahirkan. Kondisi ini akan membuat air ketuban merembes keluar sehingga tinggal sedikit atau habis.

17

14) Rasa takut kesakitan Pada umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami akan mengalami rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit di pinggang dan pangkal paha yang semakin kuat. Kondisi tersebut sering menyebabkan seorang perempuan yang akan melahirkan merasa ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya. Sehingga untuk menghilangkan perasaan tersebut seorang perempuan akan berfikir melahirkan melalui caesarea (Kasdu, 2003).

Adapun indikasi sectio caesarea menurut Hecker & Moore (2001), antara lain : Ibu dan janin yaitu Dictocia meliputi: ketidakseimbangan sefalopelvik, kegagalan induksi persalinan dan kerja rahim yang abnormal dari ibu yaitu Penyakit pada ibu meliputi: eklamsia / pre-eklamsia berat, DM, penyakit jantung dan kanker servikalis, Pembedahan rahim sebelumnya, dan Sumbatan pada jalan lahir. Kemudian dari Janin meliputi: gangguan pada janin, prolap tali pusat dan malprestasi janin seperti sungsang, letak lintang dan kening. Indikasi dari Plasenta meliputi: plasenta previa dan abrosio plasenta.

4. Resiko Operasi Caesaerea Resiko operasi Sectio Caesaerea menurut Kasdu (2003), antara lain alergi yaitu resiko ini terjadi pada pasien yang alergi terhadap obat tertentu., perdarahan dapat mengakibatkan terbentuknya bekuan-bekuan

18

darah pada pembuluh darah balik di kaki dan rongga panggul. Selain itu, perdarahan juga banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabangcabang arteri uteria ikut terbuka atau karena atonia uteri. Kehilangan darah yang cukup banyak mengakibatkan syok secara mendadak. Kalau perdarahan tidak teratasi, kadang perlu tindakan histerektomi, terutama pada kasus atonia uteri yang berlanjut. Cedera pada organ lain Jika tidak dilakukan secara hati-hati, kemungkinan pembedahan dapat

mengakibatkan terlukanya organ lain, seperti rektum atau kandung kemih. Penyembuhan luka caesarea yang tidak sempurna juga dapat mengakibatkan infeksi pada organ rahim atau kandung kemih. Parut dalam rahim yaitu seorang perempuan yang telah mengalami pembedahan akan memiliki parut dalam rahim. Oleh karena itu, pada tiap kehamilan serta persalinan berikutnya memerlukan pengawasan yang cermat sehubungan dengan bahaya rupture uteri meskipun juga operasi dilakukan secara sempurna resiko ini sangat kecil terjadi, kadang-kadang demam setelah operasi tidak bisa dijelaskan penyebabnya. Namun kondisi ini bisa terjadi karena infeksi pada luka Caesarea, dan faktor Mempengaruhi produksi ASI yaitu efek pembiusan akan mempengaruhi produksi ASI jika dilakukan pembiusan total (narkose), namun apabila dilakukan dengan pembiusan total (narkose), namun apabila dilakukan dengan pembiusan regional (spinal) tidak banyak mengganggu produksi ASI (Kasdu, 2003).

19

5. Komplikasi sectio caesarea Hecker & Moore (2001), menyatakan bahwa komplikasi ibu pada sectio caesarea mencakup komplikasi periode masa nifas yang normal dan komplikasi setiap prosedur pembedahan utama. Komplikasi yang paling penting pada sectio caesarea adalah Perdarahan, Perdarahan mungkin terjadi akibat kegagalan mencapai homeostatis di tempat insisi rahim atau akibat atonia uteri, yang dapat terjadi setelah pemanjangan masa persalinan. Sepsis, Sepsis sesudah pembedahan, frekuensi dari komplikasi ini jauh lebih besar bila dilaksanakan selama persalinan atau bila terdapat infeksi dalam rahim. Antibiotik profilaksis selama 24 jam banyak mengurangi insiden masalah ini. Cedera pada sekeliling struktur yaitu Usus besar, kandung kemih, pembuluh darah di dalam ligamen yang lebar, dan uterus terutama cenderung terjadi cedera. Hematuria yang singkat dapat terjadi akibat terlalu antusias dalam menggunakan retratis di daerah dinding kandung kemih. 6. Pengkajian fokus klien dengan sectio caesarea Adapun pengkajian fokus pada klien dengan post operasi caesarea (4 jam sampai 5 hari pasca partum) menurut Doengoes (2001), adalah: a. Sirkulasi Klien akan mengalami kehilangan darah selama prosedur pembedahan kurang lebih 600 - 800 ml.

20

b. Integritas ego Sebagian klien dapat menunjukkan labilitas emosional, dari kegembtraan sampai ketakutan, marah ataupun menarik diri. Klien atau pasangan dapat memiliki atau salah terima peran dalam pengalaman kelahiran. Mungkin juga klien dan keluarga dapat mengekspresikan ketidakmampuan untuk menghadapi situasi baru. c. Eliminasi Klien biasanya akan terpasang kateter urinarius indwelling. Pehatikan warna urin: urin berwarna jemih atau pucat, klien akan mengalami perubahan bising usus seperti samar atau tidak ada bising usus. d. Makanan / cairan Klien akan mengalami abdome yang lunak dengan tidak ada distensi pada awal. e. Neurosensori Klien akan mengalami kerusakan dan kerusakan sensasi dibawah tingkat anestesia spinal epidural. f. Nyeri atau ketidaknyamanan Klien akan mengeluh ketidaknyamanan dari berbagai sumber, misalnya trauma bedah atau insisi, nyeri penyerta, distensi kandung kemih atau abdomen, efek-efek anestesia. g. Pernafasan Klien akan mengalami bunyi paru yang jelas dan vesikular.

21

h. Keamanan Balutan abdomen klien akan tampak sedikit noda atau kering dan utuh. Jalur parenteral, bila digunakan paten dan sisi bebas eritema, bengkak dan adanya nyeri tekan. i. Seksualitas Klien akan mengalami kontraksi fundus yang kuat dan terletak di umbilikus, aliran lokhea sedang dan bebas bekuan berlebihan. j. Pemeriksaan diagnostik Jumlah darah lengkap (hemoglobin/hematokrit): mengkaji perubahan dari kadar operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada pembedahan. Urinalisis meliputi: kultur urine, darah, vaginal dan lokhea; pemeriksaan tambahan didasarkan pada kebutuhan individual.

B. Nyeri 1. Pengertian Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. Nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut Smeltzer & Bare (2002), keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu yang mengatakannya. International Association for the Study of Pain atau IASP (Perry & Potter, 2005), mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori

22

subyektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakn jaringan aktual ayau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian di mana terjadi kerusakan. Caffery sebagaimana dikutip oleh Perry & Potter (2005), menyatakan nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja ketika seseorang mengatakan bahwa ia merasa nyeri. Guyton & Hall (1997), juga menjelaskan bahwa nyeri merupakan sensasi tidak menyenangkan yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh. Nyeri seringkali dijelaskan dalam istilah proses distruktif jaringan seperti ditusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi, pada perasaan takut, mual dan mabuk. Terlebih lagi, setiap perasaan nyeri dan intesitas sedang sampai kuat disertai oleh rasa cemas dan keinginan kuat untuk melepaskan diri dari atau meniadakan perasaan itu. Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh, timbul bila ada jaringan rusak dan hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan memindahkan stimulus nyeri. Nyeri adalah pengalaman sensori nyeri dan emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh. seringkali dijelaskan dalam istilah proses distruktif, jaringan seperti ditusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi, perasaan takut, mual dan takut.

23

2. Proses fisiologik nyeri Price & Wilson (2005), menjelaskan bahwa proses fisiologik nyeri terdapat empat proses tersendiri: transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. Transduksi nyeri adalah proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor nyeri. Transmisi nyeri melibatkan proses penyaluran impuls dari tempat transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal di medula spinalis dan jaringan neuronnenuron pemancar yang naik dari medula spinalis ke otak. Modulasi nyeri melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desendens dari otak yang dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktivitas di reseptor nyeri aferen primer. Jadi, persepsi nyeri adalah pengalaman subyektif nyeri yang bagaimanapun juga dihasilkan oleh aktivitas transmisi atau saraf. Adapun proses terjadinya nyeri menurut Lindamen & Athie (Hartanti, 2005), adalah dimulai ketika bagian tubuh terluka oleh tekanan, potongan, sayatan, dingin atau kekurangan oksigen pada sel, maka bagian tubuh yang terluka akan mengeluarkan berbagai macam subtansi intraseluler dilepaskan ke ruang ekstraseluler maka akan mengiritasi nosiseptor. Saraf ini akan merangsang dan bergerak sepanjang serabut saraf atau neurotransmisi yang akan menghasilkan subtansi yang disebut dengan neurotransmiter seperti prostaglandin dan epineprin, yang

24

membawa pesan nyeri dari medula spinalis ditransmisikan ke otak dan dipersepsikan sebagai nyeri. 3. Teori nyeri Price & Wilson (2005), telah menyimpulkan sejumlah teori untuk menjelaskan mekanisme neurologik yang mendasari sensasi nyeri, antara lain: a. Teori spesifisitas Teori ini menyatakan bahwa nyeri berjalan dari reseptor-reseptor nyeri spesifik melalui jalur neuroanatomik tertentu ke pusat nyeri di otak dan bahwa hubungan antara stimulus dan respon nyeri bersifat langsung dan invariabel. Teori pemisahan (spesificity) menurut Long (Hartanti,2005), menerangkan bahwa reseptor-reseptor nyeri tertentu menyalurkan impuls ke seluruh jalur nyeri ke otak. Tidak memperhitungkan aspek fisiologis dari persepsi dan respon nyeri. b. Teori pola atau penjumlahan (pattern) Teori ini menyatakan bahwa penjumlahan input sensori kulit di sel-sel tanduk dorsal menimbulkan pola khusus impuls saraf yang memicu nyeri. Nyeri dihasilkan oleh stimulasi intens dari reseptorreseptor nonspesifik, dan bahwa penjumlahan impuls-impuls itulah yang dirasakan sebagai nyeri. Salah satu konsep kunci pada teori ini adalah bahwa terbentuk sirkuit-sirkuit saraf dalam kelompokkelompok interneuron spinal setelah suatu cedera, sehingga nyeri dapat berlanjut tanpa stimulasi (Price & Wilson, 2005). Adapun teori pola

25

yang dikemukakan oleh Long (Hartanti, 2005), adalah nyeri yang terjadi karena efek-efek kombinasi intensitas stimulus dan jumlah impuls pada dorsal ujung dari sum-sum tulang belakang, termasuk aspek fisiologi. c. Teori pengendalian gerbang Wall (Smeltzer & Bare, 2002), menjelaskan teori gerbang kontrol adalah dimana terjadi interaksi antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang mengirim sensasi tidak nyeri menurunkan transmisi impuls nyeri melalui sirkuit gerbang penghambat. Sel-sel inhibitor dalam kornu drsalis medula spinalis mengandnung enkefalin, yang menghambat transmisi nyeri. Teori ini menjelaskan bagaimana aktivitasa tertentu menurunkan persepsi nyeri. Respon pertama individu yang terpukul ibu jarinya oleh palu adalah memasukkan ibu jari ke mulut atau dalam air dingin. Price & Wilson (2005), menyatakan bahwa teori kontrol gerbang nyeri berusaha menjelaskan variasi persepsi nyeri terhadap stimulasi yang identik. d. Teori endorfin-enkefalin Price & Wilson (2005), menyatakan bahwa kemajuan terpenting dalam pemahaman mekanisme mengenai mekanisme nyeri adalah ditemukannya reseptor opiat di membran sinaps. Reseptor opiat terutama di daerah subtansia grisea periakuaduktus atau PAG, nukleus rafe medial, dan kornu dorsalis medula spinalis. Obat narkotik eksogen bukan

26

(misal morfin) dan antagonis narkotika (misal nalakson) mengikat reseptor-reseptor ini. Sedangkan opiat dan opoid menghambat nyeri. Terdapat tiga golongan utama peptida opid endogen, yang masing-masing berasal dari prekursor yang berlainan dan memiliki distribusi anatomik yang sedikit berbeda: golongan enkefalin, beta endorfin, dan dinorfin (Price & Wilson, 2005).

4. Jenis-jenis nyeri Price & Wilson (2005), mengklasifikasikan nyeri berdasarkan lokasi atau sumber, antara lain: a. Nyeri somatik superfisial (kulit) Nyeri kulit berasal dari struktur-struktur superfisial kulit dan jaringan subkutis. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri di kulit dapat berupa rangsang mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Apabila kulit hanya yang terlibat, nyeri sering dirasakan sebagai penyengat, tajam, meringis atau seperti terbakar, tetapi apabila pembuluh darah ikut berperan menimbulkan nyeri, sifaf nyeri menjadi berdenyut. b. Nyeri somatik dalam Nyeri somatik dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi dan arteri. Struktur-struktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri kulit dan cenderung menyebar ke daerah sekitarnya.

27

c. Nyeri visera Nyeri visera mengacu kepada nyeri yang berasal dari organ-organ tubuh. Reseptor nyeri visera lebih jarang dibandingkan dengan reseptor nyeri somatik dan terletak di dinding otot polos organ-organ berongga. Mekanisme utama yang menimbulkan nyeri visera adalah peregangan atau distensi abnormal dinding atau kapsul organ, iskemia dan peradangan. d. Nyeri alih Nyeri alih didefinisikan sebagai nyeri berasal dari salah satu daerah di tubuh tetapi dirasakan terletak di daerah lain. Nyeri visera sering dialihkan ke dermatom (daerah kulit) yang dipersarafi oleh segmen medula spinalis yang sama dengan viksus yang nyeri tersebut berasal dari masa mudigah, tidak hams di tempat organ tersebut berada pada masa dewasa. e. Nyeri neuropati Sistem saraf secara normal menyalurkan rangsangan yang merugikan dari sistem saraf tepi (SST) ke sistem saraf pusat (SSP) yang menimbulkan perasaan nyeri. Dengan demikian, lesi di SST atau SSP dapat menyebabkan gangguan ata hilangnya sensasi nyeri. Yeri neuropatik sering memiliki kualitas seperti terbakar, perih atau seperti tersengat listrik. Pasien dengan nyeri neuropatik menderita akibat instabilitas sistem saraf otonom (SSO). Dengan deminkian, nyeri

28

sering bertambah parah oleh stres emosi atau fisik (dingin, kelelahan) dan mereda oleh relaksasi.

Sementara itu Smeltzer & Bare (2001), mengklasifikasikan nyeri berdasarkan durasinya, yaitu: a. Nyeri akut Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi. Nyeri ini umumnya terjadi kurang dari 6 bulan dan biasanya kurang dari 1 bulan. Untuk tujuan definisi nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri berlangsung dari beberapa detik hingga 6 bulan. b. Nyeri kronik Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronik dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyembuhannya. Nyeri kronik sering didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama 6 bulan atau lebih, meskipun dapat berubah antara akt dan kronik.

29

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri menurut Perry & Potter (2005), antara lain: a. Usia Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak dan lansia. Perbedaan perkembangan yang ditemukan diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. b. Jenis kelamin Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara makna dalam respon terhadap nyeri. Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam mengekspresikan nyeri. Toleransi nyeri sejak lama telah menjadi subyek penelitian yang melibatkan pria dan wanita, akan tetapi toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap individu tanpa memperhatikan jenis kelamin c. Kebudayaan Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Menurut Clancy dan Vicar (Perry & Potter, 2005), menyatakan bahwa sosialisasi budaya menetukan perilaku psikologis seseorang. Dengan demikian, hal ini

30

dapat mempengaruhi pengeluaran fisiologis opiat endogen dan sehingga terjadilah persepsi nyeri. d. Makna nyeri Pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu tersebut. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara berbedabeda paabila nyeri tersebut memberikan kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan tantangan. Misalnya seorang wanita yang melahirkan akan mempersepsikan nyeri, akibat cedera karena pukulan pasangannya. Derajat dan kualitas nyeri yang dipersiapkan nyeri klien berhubungan dengan makna nyeri. e. Perhatian Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat sedangkan upaya pengalihan dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain, maka perawat menempatkan nyeri pada kesadaran yang perifer. Biasanya hal ini menyebabkan toleransi nyeri individu meningkat, khususnya terhadap nyeri yang berlangsung hanya selama waktu pengalihan. f. Ansietas Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola bangkitan otonom adalah

31

sama dalam nyeri dan ansietas. Price (Potter, 2005), melaporkan suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistim limbik dapat memproses reaksi emosi seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbik dapat memproses reaksi emosi seseorang terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri. g. Keletihan Keletihan meningkatkan persepsi nyeri, rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada setiap individu yang menderita penyakit dalam jangka lama. Apabila keletihan disertai kesulitan tidur, maka persepsi nyeri terasa lebih berat dan jika mengalami suatu proses periode tidur yang baik maka nyeri berkurang. h. Pengalaman sebelumnya Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berati bahwa individu akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Apabila individu sejak lama sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh maka rasa takut akan muncul, dan juga sebaliknya. Akibatnya klien akan lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri. i. Gaya koping Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat merasa kesepian, gaya koping mempengaruhi mengatasi nyeri.

32

j. Dukungan keluarga dan sosial Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri adalah kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka terhadap klien. Walaupun nyeri dirasakan, kehadiran orang yang bermakna bagi pasien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan. Apabila tidak ada keluarga atau teman, seringkali pengalaman nyeri membuat klien semakin tertekan, sebaliknya tersedianya seseorang yang memberi dukungan sangatlah berguna karena akan membuat seseorang merasa lebih nyaman. Kehadiran orang tua sangat penting bagia anak- anak yang mengalami nyeri. 6. Penilaian klinis nyeri a. Pengkajian nyeri Adapun pengkajian nyeri menurut Smeltzer & Bare (2001), adalah: 1) Deskripsi verbal tentang nyeri Individu merupakan penilai terbaik dari nyeri yang dialaminya dan karenanya harus diminta menggambarkan dan membuat tingkat nyerinya, informasi yang diperlukan harus menggambarkan nyeri individual dalam beberapa cara sebagai berikut: Intensitas nyeri yaitu Individu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada skala verbal, Karakteristik nyeri termasuk letak nyeri, durasi nyeri, irama nyeri dan kualitas nyeri, Faktor yang meredakan nyeri misalkan gerakan, istirahat, obat-obat, dan sebagainya, dan apa yang dipercaya pasien dapat membantu mengatasi nyerinya, Efek

33

nyeri terhadap kehidupan sehari-hari misalnya tidur, pola makan, konsentrasi. sosial, gerakan, kerja dan aktivitas lain. Dan Kekhawatiran individu tentang nyeri meliputi berbagai masalah yang luas, seperti beban ekonomi, prognosis, pengaruh terhadap peran dan perubahan citra diri. 2) Skala nyeri Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsian verbal (verbal descriptor scala/ VDS) dirangking dari tidak nyeri sampai nyeri tidak tertahankan. Alat VDS ini kemunginan klien memilih sebuah katagorik untuk mendeskripsi nyeri. Skala penilaian numerik (numerik rating scala/ MRS) lebih sering digunakan sebagai alat pendeskripsi kata. Klien menilai menggunakan skala 0-10 dan skala ini paling efektif untuk mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik dengan nilai 0= tidak nyeri, 1-3= tipe nyeri ringan, 4-6= tipe nyeri sedang, 7-9= tipe nyeri berat dan 10= tipe nyeri sangat berat dan lebih terperinci yaitu 0= tidak ada nyeri, 1= nyeri seperti gatal, tersetrum atau nyut-nyutan, 2= seperti melilit atau terpukul, 3= seperti mules atau perih, 4= seperti kaku atau kram, 5= seperti tertekan, 6= nyeri seperti terbakar atau tertusuk-tusuk, 7-9= sangat nyeri tapi masih bisa dikontrol oleh klien dengan aktivitas yang bisa dilakukan, dan 10= sangat nyeri dan tidak dapat dikontrol oleh klien. Sedangkan skala analog visual

34

(SAV) merupakan suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya (Potter Perry, 2006).

C. Manajemen Nyeri Price & Wilson (2005), menyatakan bahwa metode untuk

mengendalikan nyeri yaitu: 1. Terapi dan modalitas fisik Meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi kulit seperti: a. Pijat atau massase Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakan adalah pemijatan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah tekanan dan stimulasi yang bervariasi terhadap berbagai titik-titik pemicu mifasial di seluruh tubuh. Pijat akan melemaskan ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi lokal. b. Stimulus saraf dengan listrik melalui kulit Terdiri dari suatu alat yang digerakkan oleh baterai yang mengirim impuls listrik lemah melalui elektroda yang diletakkan di tubuh. Elektroda umumnya diletakkan di atas atau dekat dengan bagian yang nyeri untuk meredahkannya. c. Akupuntur Akupuntur adalah teknik kuno dari Cina berupa insersi jarum halus ke dalam berbagai titik pemicu di seluruh tubuh untuk meredahkan nyeri.

35

Akupuntur digunakan secara luas di Cina dan pernah digunakan untuk melakukan bedah mayor tanpa pemakaian anestesi. Pemakaian akupuntur memerlukan pelatihan khusus. Efektivitas metode ini d. Akupresure Merangsang titik-titik pemicu adalah pemberian tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang di sebut dengan akupresure. e. ROM (range of motion) ROM dapat digunakan untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah nyeri yang berkaitan dengan kekakuan dan imobilitas (Price & Wilson, 2005). f. Aplikasi panas Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama diketahui sebagai metode yang efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot. Panas dapat disalurkan melalui konduksi (botol air panas, bantalan pemanas listrik, lampu, kompres basah panas), konveksi (whirpool, sitz bath, berendam air panas) atau konversi (ultrasongrafi, diatermi) (Price & Wilson, 2005). g. Aplikasi dingin Aplikasi dingin lebih efektif untuk nyeri akut (luka bakar, tersayat, terkilir). Dingin dapat disalurkan dalam bentuk berendam atau kompres air dingin, kantung es, aquamatic K pads, dan pijat es. Aplikasi dingin mengurangi aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi perdarahan serta edema. Terapi dingin menimbulkan efek

36

analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls yang mencapai ke otak lebih sedikit (Price& Wilson, 2005).

2. Strategi kognitif-perilaku Price & Wilson (2005), menyatakan bahwa strategi kognitif perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri dan memberi pasien perasaan yang lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Walaupun sebagian besar metode kognitif-perilaku menekan salah satu relaksasi atau pengalihan, pada prakteknya keduanya tidak dapat dipisahkan. Strateginya yaitu: a. Relaksasi Relaksasi menurut mander (2004), adalah metode pengendalian. Priharjo (Hartanti, 2005), relaksasi adalah suatu usaha menurunkan nyeri atau menjaga agar tidak terjadi nyeri yang lebih berat dengan menurunkan tegangan otot. Price & Wilson (2005), menyatakan pada metode-metode yang menekankan relaksasi otot, fasilitator meminta pasien untuk memfokuskan diri ke kelompok otot yang berbeda dan secara voluntar mengontraksikan dan melemaskan otot-otot tersebut secara berurutan. Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah olahraga pernapasan dalam, meditasi dan mendengarkan musik-musik yang menenangkan. Teknik-teknik relaksasi akan mengurangi rasa cemas, ketegangan otot dan stres emosi sehingga memutuskan siklus nyeri-stres-nyeri, saat nyeri dan stres saling memperkuat.

37

b. Teknik pengalihan atau distraksi Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan

memfokuskan perhatian pasien pada stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton televisi, membaca buku, mendengarkan musik dan melakukan percakapan adalah contoh-contoh umum pengalihan (Price & Wilson, 2005). Smeltzer & Bare (2001) menyatakan bahwa seseorang yang kurang menyadari adanya nyeri atau memberikan sedikit perhatian mengenai nyeri akan sedikit terganggu oleh nyeri dan lebih toleransi terhadap nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desendens, yang mengakibatkan lebih sedikit stimulasi nyeri yang ditransmisikan ke otak. Perry & Potter (2005), mengemukakan salah satu distraksi yang paling efektif adalah musik, yang dapat menurunkan nyeri fisiologis, stres dan kecemasan dengan megalihkan perhatian seseorang dari nyeri. Guzzeta dalam (Perry & Potter, 2005), menyatakan bahwa musik terbukti menunjukkan efek, yaitu menurunkan frekuensi denyut jantung, mengurangi kecemasan dan depresi, menghilangkan nyeri, menurunkan tekanan darah dan mengubah persepsi waktu. Musik harus didengarkan minimal 15 menit agar dapat memberikan efek terapeutik. c. Penciptaan khayalan dengan tuntunan atau imajinasi terbimbing Penciptaan khayalan dengan tuntunan adalah suatu bentuk pengalihan fasilitator yang mendorong pasien untuk

38

memvisualisasikan atau memikirkan pemandangan atau sensasi yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatian menjauhi nyeri. Teknik ini sering dikombinasikan dengan relaksasi (Price & Wilson, 2005). Smeltzer & Bare (2001), menyatakan bahwa imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirangsang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu. Sebagai contoh imajinasi terbimbing untuk relaksasi dan meredakan nyeri dapat terdiri atas menggabungkan nafas berirama lambat dengan suatu bayangan mental relaksasi dan kenyamanan. Dengan mata terpejam individu diinstruksikan untuk membayangkan bahwa dengan setiap nafas yan diekshalasi secara lambat, ketegangan otot dan

ketidaknyamanan dikeluarkan menyebabkan tubuh menjadi rileks dan nyaman. Setiap kali menghirup nafas, pasien harus membayangkan energi penyembuh dialirkan ke bagian tubuh yang nyeri. Setiap kali nafas dihembuskan, pasien menginstruksikan untuk membayangkan bahwa udara yang dihembuskan membawa pergi nyeri dan ketegangan. Pasien harus menginformasikan bahwa imajinasi

terbimbing dapat berfungsi hanya pada beberapa orang saja. d. Hipnosis Hipnosis adalah suatu metode kognitif yang bergantung pada bagaimana memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri. Metode ini juga bergantung pada kemampuan terapis untuk menuntun perhatian pasien ke bayangan yang paling konstruktif. Intervensi Pengalihan

39

juga bergantung pada kemampuan terapis untuk menuntun perhatian pasien ke bayangan yang paling konstruktif. Intervensi pengalihan paling efektif apabila digunakan untuk nyeri akut tetapi juga dapat efektif pada teori bahwa apabila terdapat dua rangsangan yang terpisah, fokus pada satu akan menghilangkan fokus yang lain. Semakin besar rasa nyeri semakin komplek rangsangan pengalih yang harus diberikan (Price & Wilson, 2005). Perry & Potter (2005), mengemukakan hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melaluui pengaruh sugesti positif. Smeltzer & Bare (2001), menyatakan bahwa hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah analgesik yang dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis. Teknik ini membantu dalam memberikan pereda nyeri terutama dalam situasi sulit (luka bakar). e. Umpan balik hayati atau biofeed back Umpan-balik hayati adalah suatu teknik yang bergantung pada kemampuan untuk memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter fisiologik tertentu kepada pasien sehingga pasien dapat belajar mengendalikan parameter tersebut termasuk suhu kulit, ketegangan otot, kecepatan denyut jantung. tekanan darah dan gelombang otakalat umpan balik hayati mengubah parameter-parameter fisiologik menjadi sinyal visual yang dilihat oleh pasien. Pasien mula-mula dikenalkan kepada respon yang terkait dengan stres kemudian diajar bagaimana mengendalikan respon mereka. Walaupun umpan balik hayati telah

40

digunakan untuk mengatasi berbagai masalah nyeri kronik, namun pemaikaian metode ini paling sering adalah untuk mengobati nyeri kepala (Price & Wilson, 2005).

D. Relaksasi Nafas Dalam 1. Pengertian Relaksasi nafas dalam adalah teknik yang dilakukan untuk mengurangi nyeri pada thalamus yang dihantarkan ke korteks serebri, dimana korteks serebri sebagai pusat nyeri (Mirnawati, 2007). 2. Tujuan Tujuan dilakukannya relaksasi nafas dalam menurut Mimawati (2007), adalah agar klien dapat mengurangi nyeri. 3. Efek relaksasi Perry & Potter (2005), menyatakan bahwa ada 9 efek relaksasi, yaitu: (1) Relaksasi dapat menurunkan nadi, tekanan darah dan pernafasan, (2) Relaksasi dapat menurunkan konsumsi oksigen, (3) Relaksasi dapat menurunkan ketegangan otot, (4) Relaksasi dapat menurunkan kecepatan metabolisme, (5) Relaksasi dapat meningkatkan kesadaran global, (6) Relaksasi dapat mengurangi perhatian terhadap stimulus lingkungan, (7) Relaksasi dapat membuat tidak adanya perubahan posisi volunter, (8) Relaksasi dapat meningkatkan perasaan damai dan sejahtera, dan (9) Relaksasi dapat mengubah kewaspadaan menjadi santai dan dalam.

41

4. Prosedur relaksasi Prosedur relaksasi nafas dalam menurut Mimawati (2007), melalui hitungan 1 sampai 3, Perlahan udara dihembuskan melalui mulut, Anjurkan bernafas beberapa kali dengan irama normal, Ulangi kembali untuk menarik nafas dan menghembuskan nafas secara perlahan-lahan, Usahakan klien tetap konsentrasi yang tertuju pada daerah yang nyeri, Anjurkan klien untuk mengulangi prosedur hingga nyeri berkurang, dan Rapikan klien kembali. Stewart (Hartanti, 2005), menyatakan bahwa prosedur relaksasi adalah sebagai berikut: Pasien menarik nafas dalam dan mengisi paru-paru dengan udara dalam hitungan 1 sampai 3, Perlahan-lahan dihembuskan sambil membiarkan tubuh menjadi kendor dan merasakan betapa nyaman hal tersebut, klien bernafas dalam irama normal sampai 3 detik, lakukan kembali hal tersebut dan perawat meminta klien untuk konsentrasi pada daerah tubuh yang terasa hangat dan ringan, Setelah klien merasa rileks, pasien dianjurkan bernafas pelan-pelan.

E. Penelitian Terkait Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan adanya hubungan antara teknik relaksasi dan nyeri. Penelitian yang dilakukan oleh Irawati (2003), tentang Perbedaan Intensitas Nyeri Kala I Persalinan Normal Sebelum dan Sesudah Diberikan Teknik Relaksasi Napas Dalam di Puskesmas Srondol Semarang, menunjukkan hasil bahwa nyeri persalinan kala I yang

42

dirasakan ibu sebelum pemberian teknik relaksasi nafas dalam yaitu tidak nyaman (skala nyeri 2 ) sebesar 13,3 %, menderita (skala nyeri 3) sebesar 16,7%, sangat menderita (skala 4) dan menyiksa (skala nyeri 5) sebesar 30%, sedangkan setelah pemberian teknik relaksasi nafas dalam yaitu kondisi tidak nyaman (skala nyeri 2 ) turun menjadi 6,7%, menderita (skala nyeri 3) 53,3%, sangat menderita (skala nyeri 4) 26,7%, dan menyiksa (skala nyeri 5) turun menjadi 13,3%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan nyeri sebelum dan setelah dilakukan teknik relaksasi pada persalinan kala I (p < 0.05). Penelitian lain dilakukan oleh Yustini (2002), tentang Hubungan Relaksasi Pernafasan Dalam dengan Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pemasangan Keteter Menetap Program Sectio Sesaria di Rumah Sakit Sultan Agung Semarang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 30 sampel penelitian yang dilakukan teknik relaksasi pernafasan dalam, 22 sampel mengeluh nyeri sedang dan 8 sampel merasa nyeri berat, sedangkan pada 30 sampel yang tidak dilakukan teknik relaksasi pernapasan dalam 9 sampel mengeluh nyeri sedang dan 21 sampel mengeluh nyeri berat. Secara statistik penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara teknik relaksasi dan penurunan nyeri pada pemasangan kateter menetap (p < 0.05).

43

F. Kerangka Teori Post Operasi sectio Caesarea

Faktor Internal 1. Usia 2. Emosi 3. Kelelahan 4. Rasa Nyeri Sebelumnya 5. Pengetahuan

Nyeri

Nyeri Teratasi

1.

Menagemen Farmakollogi Analgetik 2. Managemen non Farmakologi a. Relaksasi b. Distraksi c. Stimulasi Kutaneus

Faktor Eksternal 1. Budaya 2. Lingkungan 3. Dukungan 4. Pengobatan

Gambar 2.1. KerangkaTeori G. Kerangka Konsep Variabel Independen nyeri sebelum diberi teknik relaksasi nafas dalam Variabel Dependen nyeri setelah diberi teknik relaksasi nafas dalam

Pemberian relaksasi nafas dalam Gambar 2.2. Kerangka Konsep

44

H. Variabel Penelitian Variabel independen (bebas) dalam penelitian ini adalah nyeri sebelum diberi teknik relaksasi nafas dalam, dan variabel dependen (terikat) dalam penelitian ini adalah tingkat nyeri setelah diberi teknik relaksasi nafas dalam.

I. Hipotesis Penelitian Ada pengaruh relaksasi nafas dalam dengan tingkat nyeri pada pasien post operasi SC di Rumah Sakit DR. Soesilo Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal.

You might also like