You are on page 1of 40

LAPORAN KASUS KECIL SEORANG WANITA 55 TAHUN DENGAN PANSITOPENIA, DM TIPE 2 NON OBESE, DISLIPIDEMIA, DAN CHF NYHA II

Oleh : Noor Anggrainy R Denny Adriansyah G0007216 G9911112044

Residen

Pembimbing

dr. Dia Irawati

Prof. Dr. dr. HA. Guntur Hermawan, SpPDKPTI-FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA 2012

DAFTAR MASALAH No Masalah Aktif 1 2 3 4 Pansitopenia DM tipe 2 non obese Dislipidemia F: CHF NYHA II A: LVH, RVH E: AHD, PJK Tanggal 19 November 2012 22 November 2012 21 November 2012 19 November 2012 Keterangan Hb, Hct, AE, AL, AT, GDT Anamnesis, GDS, GDP, G2PP HDL, LDL, TG Anamnesis, Pemeriksaan fisik, Hb, Hct

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA Nama Umur Jenis Kelamin Agama Pekerjaan Alamat Tanggal masuk No. RM : Ny. S : 55 tahun : Perempuan : Islam : Buruh : Nglono Wetan Rt 02/05 Ngijo Jaten Karanganyar : 19 November 2012 : 01160441

B. ANAMNESIS 1. Keluhan Utama Lemas

2. Riwayat Penyakit Sekarang Sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan badannya lemas, lemas dirasakan diseluruh tubuh. Lemas tidak berkurang dengan istirahat atau pemberian makan. Lemas bertambah berat bila beraktivitas, lemas dirasakan terus menerus, gliyer (+), mata berkunang-kunang (+),demam (-), mual (-), muntah (-). Mimisan (-). Muntah darah (-), gusi berdarah (-), bintikbintik merah (-), warna kuning pada tubuh (-), BAB darah (-), batuk darah (-), lebam-lebam pada tubuh (-). Setahun yang lalu pasien pernah mondok karena penyakit serupa, dan ditransfusi sebanyak 4 kantong. Riwayat kehamilan pasien hamil dan melahirkan sebanyak 3 kali, dengan jarak kehamilan sekitar selang satu tahun, persalinan tidak dibantu tenaga medis. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas. Sesak dirasakan ketika pasien melakukan aktivitas berat dan berkurang bila istirahat, Sesak nafas tidak dipengaruhi oleh debu dan suhu, tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi. Penderita biasa tidur dengan 1 bantal. Pasien tidak terbangun pada malam hari karena sesak. BAK lebih dari 10x sehari, warna kuning jernih, darah (-). nyeri (-), sering terbangun karena pipis pada 2

malam hari (-). Pasien sering merasa cepat haus, cepat merasa lapar, mudah mengantuk (+), keluhan tersebut dirasakan kurang lebih sekitar 5 bulan, gatalgatal (-), pandangan kabur (-), tangan kaki kesemutan (-), berat badan menurun (+), riwayat melahirkan bayi lebih dari 4 Kg (-). BAB 1x sehari, warna kuning coklat, keluar benjolan waktu BAB (-).

3. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat DM Riwayat hipertensi Riwayat sakit jantung Riwayat sakit ginjal Riwayat Malaria : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

Riwayat alergi obat/makanan : disangkal Riwayat mondok sakit serupa : (+) Riwayat transfusi Riwayat operasi Riwayat kehamilan : (+) 4 kantong, setahun yang lalu : disangkal : (+) pasien hamil 3 kali dan bersalin 3 kali, jarak antar kehamilan sekitar selang setahun. Persalinan tidak dibantu tenaga medis.

4. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat keluhan serupa Riwayat DM Riwayat hipertensi Riwayat sakit jantung Riwayat sakit ginjal Riwayat stroke : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

5. Riwayat Kebiasaan Riwayat minum jamu-jamuan Riwayat minum alkohol Riwayat minum obat bebas 3 : disangkal : disangkal : disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien adalah buruh. Pasien membayar biaya perawatan di RS dengan jaminan jamkesmas.

C. ANAMNESIS SISTEMIK 1. 2. Keluhan utama Kulit : lemas : kering (-), pucat (+), gatal (-), luka (-), kuning (-),

petechie (-), turgor kulit baik 3. Kepala : pusing (-), gliyer (+), nyeri kepala (-), rambut mudah

dicabut (-), rambut mudah rontok (-), leher cengeng (-) 4. 5. Wajah Mata : wajah bengkak (-) : pandangan kabur (-/-), pandangan ganda (-/-),

berkunang-kunang (+/+), pandangan kabur (-/-) 6. 7. Hidung Telinga : mimisan (-), pilek (-), hidung tersumbat (-), gatal (-) : berdenging (-), pendengaran berkurang (-/-), keluar

cairan (-), keluar darah (-) 8. Mulut : bibir pucat (+), sianosis (-), sariawan (-), mulut kering(-

), luka pada sudut bibir (-), gusi berdarah (-), gigi tanggal (-) 9. Tenggorokan : nyeri telan (-), gatal (-), suara serak (-) : nyeri dada (-), berdebar-debar (-) : sesak napas (-), batuk (-), batuk darah (-), mengi (-),

10. Kardiovaskular 11. Respirasi tidur mendengkur (-) 12. Gastrointestinal

: mual (-), muntah (-), kembung (-), perut terasa penuh (-),

nyeri pertengahan abdomen (-), BAB keluhan (-) 1-2x sehari, konsistensi lunak, BAB hitam (-), BAB darah (-), diare (-) 13. Genitourinaria : BAK 3-4 kali @ -1 gelas belimbing warna urin

kuning, nyeri BAK (-), BAK anyang-anyangen (-), BAK darah (-), batu (-), pasir (-), warna BAK seperti teh (-) 14. Muskuloskeletal : kaku (-), nyeri sendi (-), nyeri otot (-), bengkak (-)

15. Ekstremitas Atas : luka (-/-), nyeri (-/-), tremor (-/-), kesemutan (-/-),

bengkak (-/-), terasa tebal (-/-), ujung jari dingin (-/-), sakit sendi (-/-), panas (-/-), berkeringat (-/-) Bawah : luka (-/-), nyeri (-/-), tremor (-/-), kesemutan (-/-),

bengkak (-/-), terasa tebal (-/-), ujung jari dingin (-/-), sakit sendi (-/-), panas (-/-).

D. PEMERIKSAAN FISIK 1. 2. Keadaan umum Status gizi BB TB IMT 3. Vital sign TD Nadi RR :110/70 mmHg : 100x/ menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup : 20x/ menit : 58 kg : 160 cm : 22.6 kg/m2 (normoweight) : compos mentis, tampak pucat, gizi kesan cukup

Suhu : 36,60C (per aksiler) 4. Kulit : warna sawo matang, kelembaban cukup, ikterik (-), turgor turun

(-), hiperpigmentasi (-), kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), kuning (-), ekimosis (-), pucat (+) 5. Kepala (-), luka (-) 6. Mata : konjungtiva pucat (+/+), ikterik (-/-), oedem palpebra (-/-), : bentuk mesocephal, rambut mudah dicabut (-), alopecia aerata

lensa keruh (-/-), reflex cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm) 7. Telinga : Membran timpani intak, sekret (-), darah (-), nyeri tekan

mastoid (-), tragus pain (-) 8. Hidung : simetris, napas cuping hidung(-/-), sekret (-/-), darah (-/-),

septum di tengah, concha hiperemis (-/-) 9. Mulut : sianosis (-), bibir pucat (+), lidah kotor (-), mukosa basah

(+), papil lidah atrofi (+), ulcus di palatum (-), gigi tanggal (+) 5

10. Tenggorokan : uvula di tengah, tonsil T1 T1, faring hiperemis (-), 11. Leher : trachea ditengah, kelenjar thyroid tidak membesar, KGB tidak membesar, JVP R+3cm. 12. Thorax : bentuk normochest, simetris, atrofi musculus pectoralis (-),

retraksi intercostal(-), spider nevi (-), sela iga melebar (-), pembesaran KGB axilla (-/-) 13. Cor Inspeksi Palpasi Perkusi : Ictus cordis tidak tampak : Ictus cordis tidak kuat angkat, pulsasi parasternal (+) : Batas jantung kanan kesan melebar ke kanan, batas jantung kiri kesan melebar ke caudolateral SIC VI LMCS 1cm Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (+) pansistolik, gallop (-) 14. Pulmo Depan Inspeksi Statis Normochest, melebar. Dinamis Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga tidak melebar. Palpasi Statis Dinamis Simetris. Pergerakan dada kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri Perkusi Kanan Sonor, batas redup relatif paru-hepar di SIC V linea medio clavicularis dextra, batas redup absolut paru-hepar di SIC VI linea medio clavicularis dextra. Kiri Sonor, batas paru-lambung setinggi SIC VIII linea medio clavicularis sinistra. Auskultasi Ka / Ki Suara dasar: vesikuler normal Suara tambahan : wheezing (-/-), RBK (-/-), RBH (-/-) 6 simetris, sela iga tidak

Belakang Inspeksi Statis Dinamis Normochest, simetris, sela iga tidak melebar. Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga tidak melebar Palpasi Statis Dinamis Simetris Pergerakan kanan = kiri, simetris, fremitus raba kanan = kiri. Perkusi Auskultasi Ka / Ki Ka / Ki Sonor / sonor. Suara dasar: vesikuler normal Suara tambahan : wheezing (-), RBK (-/-), RBH (-/-) 15. Punggung costovertebrae (-) 16. Abdomen Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada, distensi (-), venektasi(-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae (-) Auskultasi Perkusi : bising usus (+) normal, metalic sound (-) : tympani, pekak alih (-), undulasi (-), pekak sesisi (+) normal Palpasi : supel, nyeri tekan (-) di regio paraumbilikalis, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba 17. Ekstremitas Superior (Ka / Ki) Edema (-/-), sianosis (-/-), pucat (+/+), akral dingin (-/-), ikterik (-/-), Spoon nail (-/-), clubbing finger (/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan nyeri gerak (-/-), deformitas (-/-), selulitis (-/-) Inferior (Ka / Ki) Edema (-/-), sianosis (-/-), pucat (+/+), akral dingin (-/-), ikterik (-/-), Spoon nail (-/-), clubbing finger (/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan nyeri gerak (-/-), deformitas (-/-), selulitis (-/-) 7 : kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok sudut

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium Darah Pemeriksaan Hematologi Rutin Hb Hct AL AE AT Golongan Darah Index Eritrosit MCV MCH MCHC RDW HDW MPV PDW Hitung Jenis -netrofil -limfosit -monosit -eosinofil -basofil -LUC - retikulosit Kimia Klinik GDS GDP G2PP HbA1c SGOT SGPT Bilirubin total Bilirubin direct Bilirubin indirect Prot. Total Albumin 19/11 2.0 6 0.7 0.80 47 O 21/11 8.6 25 1.2 2.99 32 22/11 9.1 28 1.1 3.31 36 23/11 12.3 36 0.9 4.19 37 Satuan g/dl 106/l 103/l 103/l Nilai normal 12.0 15.6 33 45 4.5 - 11.0 4.10 5.10 150-450

/um Pg g/dl % g/dl Fl % % % % % % % % 153 91 218 166 mg/dl mg/dl mg/dl % u/l u/l mg/dl mg/dl mg/dl g/dl g/dl 8

80-96 28-33 33-36 11.6 14.6 2.2 3.2 7.2 11.1 25 65 55.00-80.00 22.00-44.00 0.00-7.00 0.00-4.00 0.00-2.00 0.50 1.50 60-140 70-110 80-140 4.8 5.9 0-35 0-45 0.00-1.00 0.00-0.30 0.00-0.70 3.2 4.6 3.2 4.6

8 6

Globulin 1.0 Kreatinin 26 Ureum Asam urat Kol. Total HDL Kol. LDL Kol. Trigliserida Besi (SI) TIBC Sat.transferin Feritin Serologi Hepatitis Anti Hbc HbeAg Anti HCV non reaktif HbsAg Homeostasis PT APTT INR Elektrolit 133 Na 3.6 K Ca ion 104 Klorida

3.9 115 18 77 160

g/dl mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl ug/dl ug/dl % ng/ml

0.8 -1.3 < 50 2.4 - 6.1 50 200 31 75 88 186 <150 27 138 228 428 15 45 20.0 200.0

non reaktif non reaktif non reaktif Detik Detik 10.0 15.0 20.0 40.0

136 3.5 1.10

mmol/l mmol/l mmol/l mmol/l

132 146 3.7 - 5.4 1.17-1.29 98-106

Urinalisis Rutin (22 November 2012)


Pemeriksaan Makroskopis Warna Kejernihan Kimia urin Berat jenis pH Leukosit Nitrit Protein Glukosa Keton Urobilinogen Bilirubin Eritrosit Mikroskopis Hasil Yellow Sl. Cloudy 1,005 7,5 Negatif ++ Negatif Normal Negatif Normal Negatif 10 1,015 1,025 4,5 8,0 Negatif Negatif Negatif Normal Negatif Normal Negatif Negatif Satuan Rujukan

/ul mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl /ul

Eritrosit Eritrosit Leukosit Leukosit Epitel Epitel squamosa Epitel transisional Epitel bulat Silinder Hialin Granulated Leukosit Kristal Bakteri Yeast Like Cell Small Round Cell Mukus Sperma Konduktivitas Lain-lain

26.9 5 6 8 3-4 0-1 0-1 0 Negatif 0.6 18.3 0,0

/lpb /uL /uL /lpb /lpk /lpk /lpk

0-1 0-8.7 0-7.4 0-12 Negatif Negatif Negatif 03 Negatif Negatif Negatif 0.0 - 23.0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 3,0 32,0

/lpk /lpk /lpk /LPB /uL /uL /uL /uL 0,0 /uL 20.2 mS/cm Kristal amorf (+), benang mucus (+)

Gambaran Darah Tepi (tanggal 5 April 2012) Eritrosit : Hipokrom, sebagian populasi normokrom (post transfusi/terapi),

mikrosit, anisositosis, normosit, oval, eritroblas (-). Lekosit Trombosit Simpulan Saran : Jumlah menurun, sel muda (-) : Jumlah menurun, penyebaran merata. : Suspek pansitopenia : BMP. Mohon BMP dilakukan di lab.

F. DAFTAR ABNORMALITAS Anamnesis 1. Lemas 2. Sesak nafas saat aktivitas berat berkurang bila istirahat 3. Mondok dengan keluhan serupa 4. Transfusi whole blood 4 kantong 5. Sering pipis, cepat merasa haus, cepat merasa lapar, penurunan berat badan

Pemeriksaan Fisik 6. Conjunctiva anemis (+/+) 7. Papil lidah atrofi 10

8. JVP R+3cm 9. Batas jantung melebar ke lateral 10. Pucat pada bibir, kulit, ujung jari-jari kaki dan tangan

Pemeriksaan Penunjang 11. Hb 2.0 mg/dl, 8.6 mg/dl, 9.1 mg/dl 12. Hct 6%, 25%, 28% 13. Leukosit 0.7x106/l (19 November 2012) 14. Eritrosit 0.8x103/l (19 November 2012) 15. Trombosit 47x103/l (19 November 2012) 16. GDP 218 mg/dl, G2PP 166 mg/dl (22 November 2012) 17. HDL 18 mg/dl, LDL 77 mg/dl, TG 160 mg/dl (21 November 2012)

G. ANALISIS DAN SINTESIS Abnormalitas 1, 3, 4, 6, 9, 10, 11 anemia Abnormalitas 2, 8, 9 CHF NYHA I-II Abnormalitas 12, 13, 14, 15 Pansitopenia Abnormalitas 5, 16 DM Tipe 2 non obese Abnormalitas 17 Dislipidemia

H. PROBLEM 1. Pansitopenia 2. CHF NYHA I-II 3. DM tipe 2 non obese 4. Dislipidemia

I. RENCANA PEMECAHAN MASALAH Problem 1. Pansitopenia Ass : Lemas, riwayat transfusi whole blood 4 kantong, Hb 2.0 mg/dl (19 November 2012), Hct 6% (19 November 2012), Leukosit 0.7x106/l (19 November 2012), Eritrosit 0.8x103/l (19 November 2012), Trombosit 47x103/l (19 November 2012). 11

- Etiologi dd Anemia aplastik MDS Ip Dx Ip Tx : GDT, BMP : - Diet nasi 1700 kkal - Bed rest tidak total - Inf NaCl 0,9% 20 tpm - O2 2 liter per menit - Inj sohobion 1 ampul/24 jam - Transfusi sampai Hb > 10 mg/dl - Inj Ca Gluconas 1 ampul post transfusi 4 kolf Ip Mx Ip Ex : DR3 post transfusi, cek perdarahan : Penjelasan pada pasien dan keluarga tentang penyakit dan

komplikasinya Ip Px : ad vitam ad sanam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

ad fungsionam : dubia ad malam

Problem 2. F: CHF NYHA II A: LVH, RVH E: AHD, PJK Ass : Sesak nafas, JVP R+3 cm, pulsasi parasternal, batas jantung kanan

kesan melebar ke kanan, batas jantung kiri kesan melebar ke caudolateral, bising jantung (+) pansistolik. Ip Dx Ip Tx : Echocardiography : Bed rest tidak total O2 2 liter per menit Infus NaCl 0,9% 20 tpm Inj Furosemid 40 mg/24 jam Captopril tab 3x6,25 mg Ip Mx Ip Ex : Balance cairan : Penjelasan pada pasien dan keluarga tentang penyakit dan

komplikasinya 12

Ip Px

: ad vitam ad sanam

: dubia ad bonam : dubia ad bonam

ad fungsionam : dubia ad malam

Problem 3. DM tipe 2 non obese Ass Ip Dx Ip Tx : GDP 218 mg/dl, G2PP 166 mg/dl : Mikroalbumin test, funduskopi, monofilament test : Diet DM 1700 kkal Metformin 2x500 mg Ip Mx Ip Ex : GDS : Penjelasan pada pasien dan keluarga tentang penyakit, diet, dan

komplikasinya Ip Px : ad vitam ad sanam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

ad fungsionam : dubia ad malam

Problem 4. Dislipidemia Ass: HDL 18 mg/dl, LDL 77 mg/dl, TG 160 mg/dl Ip Dx: Ip Tx: Simvastatin 10 mg 0-0-0-1 Ip Mx: LDL, HDL, TG Ip Ex:Penjelasan pada pasien dan keluarga tentang penyakit, diet, dan komplikasinya

13

TINJAUAN PUSTAKA

A. PANSITOPENIA Pansitopenia adalah kondisi dimana terdapat penurunan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Penurunan jumlah sel darah merah dikenal dengan anemia (Hb <13.5 g/dl untuk pria, dan <12 g/dl), leukopenia (<4.0 x 109/L), trombositopenia (<150x109/L). Pansitopenia bukanlah diagnosis melainkan kumpulan gejala yaitu

trombositopenia, leucopenia, dan anemia. Penyebab pansitopenia tersering disebabkan oleh gangguan pembentukan atau produksi sel darah merah dari sumsum tulang. Contohnya adalah pada penyakit anemia aplastik dan sindrom myelodisplasia yang merupakan diagnosis banding pada pasien dalam kasus ini.

1. Anemia Aplastik a. Definisi Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang (Young et al., 2000). Pada anemia aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia,

granulositopenia, monositopenia dan trombositopenia (Shadduck, 2007). Istilah anemia aplastik sering juga digunakan untuk menjelaskan anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun. Sinonim lain yang sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik (William, 1993). b. Epidemiologi Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun (Salonder, 2001). Analisis retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk pertahun (Shadduck, 2007). The Internasional Aplastic Anemia and 14

Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun (Shadduck, 2007; Salonder, 2000). Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat belum jelas (Shadduck, 2007). Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di Amerika (Niazzi et al., 2007). c. Klasifikasi Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut: A. Klasifikasi menurut kausa (Salonder, 2000): 1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus. 2. Sekunder : bila kausanya diketahui. 3. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya anemia Fanconi. B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (Bakshi, 2008; Shadduck, 2007; Smith et al., 2005): Anemia aplastik berat - Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan <30% sel hematopoietik residu, dan - Dua dari tiga kriteria berikut : netrofil < 0,5x109/l trombosit <20x109 /l retikulosit < 20x109 /l Anemia aplastik sangat berat Sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil <0,2x109/l Anemia aplastik bukan berat Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum 15

tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari tiga kriteria berikut : - netrofil < 1,5x109/l - trombosit < 100x109/l - hemoglobin <10 g/dl

d. Etiologi Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti penyebabnya tidak diketahui (Young et al., 2000; Paquette et al., 2007). Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi virus dan dengan penyakit lain.

Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik (Supandiman, 2003; Young, 2007) Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia) Anemia aplastik sekunder Radiasi Bahan-bahan kimia dan obat-obatan Efek regular Bahan-bahan sitotoksik Benzene Reaksi Idiosinkratik Kloramfenikol NSAID Anti epileptik Emas Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya Virus Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa) Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G) Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia) Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat) 16

Penyakit-penyakit Imun Eosinofilik fasciitis Hipoimunoglobulinemia Timoma dan carcinoma timus Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi Paroksismal nokturnal hemoglobinuria Kehamilan Idiopathic aplastic anemia Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia) Anemia Fanconi Diskeratosis kongenita Sindrom Shwachman-Diamond Disgenesis reticular Amegakariositik trombositopenia Anemia aplastik familial Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.) Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)

Radiasi Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi dimana stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat sensitif (Young, 2007; Young et al., 2000). Bila stem sel hematopoiesis yang terkena maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang dan menyebabkan fibrosis (Salonder, 2001). Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang. Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X). 17

Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang. Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik (Hillman et al., 2005).

Bahan-bahan Kimia Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan anemia aplastik dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang lain seperti insektisida dan logam berat juga berhubungan dengan anemia yang berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia (Hillman et al., 2005).

Obat-obatan Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mieleran atau nitrosourea (Salonder, 2001). Obat-obatan yang menyebabkan Anemia Aplastik (Shadduck, 2007) Kategori Analgesik Anti aritmia Anti artritis Anti konvulsan Garam Emas Karbamazepin, hidantoin, felbamat Resiko Tinggi Resiko Menengah Resiko Rendah Fenasetin, aspirin, salisilamide Kuinidin, tokainid Kolkisin Etosuksimid, Fenasemid, primidon, trimethadion, sodium valproate Klorfeniramin, 18

Anti histamin

pirilamin, tripelennamin Anti hipertensi Anti inflamasi Penisillamin, fenilbutazon, oksifenbutazon Kloramfenikol Captopril, methyldopa Diklofenak, ibuprofen, indometasin, naproxen, sulindac Dapsone, metisillin, penisilin, streptomisin, -lactam antibiotik Amfoterisin, flu itosin Kuinakrine Klorokuin, mepakrin, pirimetamin

Anti mikroba Anti bakteri

Anti fungal Anti protozoa Obat Anti neoplasma Alkylating agen Busulfan, cyc ophosphamide, melphalan, nitrogen mustard

Anti metabolit Fluorourasil, mercaptopurine, methotrexate Antibiotik Sitotoksik Anti platelet Anti tiroid Daunorubisin, doxorubisin, mitoxantrone Tiklopidin Karbimazol, metimazol, metiltiourasil, potassium perklorat, propiltiourasil, sodium thiosianat Klordiazepoxide, Klorpromazine (dan fenothiazin yang lain), lithium, meprobamate, metiprilon Numerous sulfonamides Acetazolamide Klorothiazide, furosemide Klorpropamide, 19

Sedative dan tranquilizer

Sulfonamid dan turunannya Anti bakteri Diuretik Hipoglikemik

tolbutamide Allopurinol, interferon, pentoxifylline Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang disebut resiko tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia aplastik merupakan resiko menengah dan selainnya yang lebih jarang merupakan resiko rendah. Lain-lain

Infeksi Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis, virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia aplastik.. Parvovirus B19 dapat menyebabkan krisis aplasia sementara pada penderita anemia hemolitik kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter, dan lain-lain). Pada pasien yang imunokompromise dimana gagal memproduksi neutralizing antibodi terhadap Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia dapat terjadi (Young et al., 2007; Young, 2007; Hillman, 2005). Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang

trombositopenia. Virus dapat menyebabkan kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan infeksi dan sitolisis sel hematopoiesis atau secara tidak langsung melalui induksi imun sekunder, inisiasi proses autoimun yang menyebabkan pengurangan stem sel dan progenitor sel atau destruksi jaringan stroma penunjang (Young et al., 2000).

Faktor Genetik Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian dari padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia Fanconi. Anemia Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh hipoplasia sumsung tulang disertai pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan seksual, kelainan ginjal dan limpa (Salonder, 2001). 20

Anemia Aplastik pada Keadaan/Penyakit Lain Pada leukemia limfoblastik akut kadang-kdang ditemukan pansitopenia dengan hipoplasia sumsum tulang (Salonder, 2001). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH). Penyakit ini dapat bermanifestasi berupa anemia aplastik. Hemolisis disertai pansitopenia mengkin termasuk kelainan PNH (Salonder, 2001). Kehamilan. Kasus kehamilan dengan anemia aplastik telah pernah dilaporkan, tetapi hubungan antara dua kondisi ini tidak jelas. Pada beberapa pasien, kehamilan mengeksaserbasi anemia aplastik yang telah ada dimana kondisi tersebut akan membaik lagi setelah melahirkan. Pada kasus yang lain, aplasia terjadi selama kehamilan dengan kejadian yang berulang pada kehamilan-kehamilan berikutnya (Shadduck, 2007).

e. Patogenesis Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel (Paquette et al., 2007). Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana 21

berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti (Paquette et al., 2007). Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agenagen ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA (Paquette et al., 2007). Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel. Pembunuhan langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis) (Paquette et al., 2007).

f. Gejala dan Pemeriksaan Fisik Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe deffort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga

mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ.7 Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan (William, 1993). Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi. Terlihat bahwa

22

pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan. Keluhan Pasien Anemia Apalastik (n=70) (Salonder, 2001)
Jenis Keluhan Pendarahan Lemah badan Pusing Jantung berdebar Demam Nafsu makan berkurang Pucat Sesak nafas Penglihatan kabur Telinga berdengung % 83 80 69 36 33 29 26 23 19 13

Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada tabel terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis (Salonder, 2001). Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik (Salonder, 2001)
Jenis Pemeriksaan Fisik Pucat Pendarahan Kulit Gusi Retina Hidung Saluran cerna Vagina Demam Hepatomegali Splenomegali % 100 63 34 26 20 7 6 3 16 7 0

23

g. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Darah Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia yang terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda regenerasi. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis (Salonder, 2001). Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm3 dan trombosit kurang dari 20.000/mm3 menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang dari 200/mm3 menandakan anemia aplastik sangat berat (Salonder, 2001; Shadduck, 2007). Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal. Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit bukan merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic anemia). Pada beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga diagnosisnya menjadi red sel aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu sehingga diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan (Shadduck, 2007). Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional (Salonder, 2001). Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis,

termasuk erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi Fe ke eritrosit yang bersirkulasi (Shadduck, 2007).

24

b. Pemeriksaan sumsum tulang Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan daerah yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit, sel plasma, makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-sel yang lain daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini. Pada kebanyakan kasus gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah (Shadduck, 2007). Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran hiposelular. Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis (misalnya terdilusi dengan darah perifer), atau dapat terlihat hiperseluler karena area fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsi dianjurkan untuk

mengklarifikasi diagnosis (Shadduck, 2007; Young, 2007). Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari 30% sel pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada individu yang berumur lebih dari 60 tahun (Young et al., 2007). International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari 30% sel hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang (Shadduck, 2007).

h. Penatalaksanaan Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk

menghilangkan kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien (Shadduck, 2007). Manajemen awal anemia aplastik adalah sebagai berikut: 25

Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga menjadi penyebab anemia aplastik.

Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan. Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang dibutuhkan.

Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat. Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang dan infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi granulosit dari donor yang belum mendapat terapi G-CSF.

Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien. Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu

transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid (Shaddukc, 2007). Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik (Solander, 2006).

a. Pengobatan Suportif Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular.

26

Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung). Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek (Solander, 2006).

b. Terapi Imunosupresif Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG diindikasikan pada (Solander, 2006) : Anemia aplastik bukan berat Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3 Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis (Solander, 2006). Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.15 Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik (Solander, 2006). Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi sebesar 46% (Solander, 2006). 27

Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi imunosupresif. Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki kadar aldehid dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid. Dengan dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini pertama tidak jelas sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi ATG dan siklosporin (Shadduck, 2007). Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG (Solander, 2006).

c. Transplantasi sumsum tulang Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus Host Disesase/GVHD) (Solander, 2006). Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda (Shadduck, 2007; Smith et al., 2005). Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival yang lebih baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif (Smith et al., 2005). Pasien dengan umur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan (Solander, 2006). Akan tetapi survival pasien yang menerima transplanasi sumsum tulang namun telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih

28

jelek daripada pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali (Shadduck, 2007; Smith, 2005).

2. Sindrom Myelodisplasia Sindroma Dismielopoetik (SDM) primer adalah suatu sindrom yang di tandai oleh displasi darisistem hemopoetik (dysmyelopoesis, dyserthoropoesis, dan

dysthrombopoesis), baik tunggalmaupun campuran, disertai dengan gangguan maturasi dan diferensiasi yang sebelumnya belumdiketahui. Jika penyebabnya diketahui disebut SDM sekunder, misalnya defisiensi vitamin B 12 atau defisiensi asam folat, pengobatan sitostatik, dan sebagainya.SDM pada umumnya terjadi pada usia lanjut dengan rerata umur 60-75 tahun; laki-laki sedikitlebih sering daripada perempuan dan penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui.SDM primer ini meliputi penyakit-penyakit yang sebelumnya disebut sebagai preleukemia, smouldering leukemia, oligoblastic leukemia, hemopoetic dysplasia, sindrom mielodisplastik, primary acquired sideroblastic anemia. Manifestasi klinisnya disebabkan karena adanyasitopeni, baik tunggal maupun kombinasi, yaitu keluhan-keluhan anemi yang membangkang, perdarahan karena trombopeni, dan adanya granulositopeni dengan segala akibatnya. SDM sering ditemukan pada pasien usia lanjut antara umur 60-75 tahun, dan pada sebagiankasus pada umur < 50 tahun; laki-laki sedikit lebih sering daripada perempuan. Keluhan dangejala secara umum lebih dikaitkan dengan adanya sitopenia. Umumnya pasien datang dengankeluhan cepat lelah, lesu yang disebabkan anemia. Perdarahan karena trombositopenia daninfeksi atau panas yang dikaitkan dengan

leukopenia/neutropeni juga dapat menjadi keluhan pasien walaupun sedikit kurang sering. Pada sebagian kecil dan sangat jarang dari pasien terjadisplenomegali atau hepatomegali. Diagnosis SDM dipertimbangkan untuk setiap pasien dewasa yang disertai gejalagejala sebagai berikut : 1. Anemi dan/perdarahan-perdarahan dan/febris yang tidak jelas sebabnya dan refrakter terhadap pengobatan. 2. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan adanya sitopeni dari satu atau lebih sistem darah. 29

3. Adanya sel-sel muda/blas dalam jumlah sedikit (< 30%) dengan atau tanpa monositosis darah tepi. 4. Sumsum tulang dapat hipo, normo, atau hiperselular dengan disertai displasi sistem hemopoesis (anomali Pelger-Huet, perubahan megaloblastik, peningkatan ringan sel-sel blas dan sebagainya) 5. Namun gambaran-gambaran tersebut tidak dapat dimasukkan dalam diagnosis yang jelas dari penyakit-penyakit lain seperti ITP, leukemi, anemi aplastik, dan lain-lain. Diagnosis SDM ditetapkan bila ada butir 1 ditambah paling sedikit tiga dari butir 2. Sebenarnya untuk diagnosis SDM perlu dibantu dengan pemeriksaan pembiakan sel-sel sumsum tulang dan pemeriksaan sitogenetik. Sitogenetik sumsum tulang dapat memberikan informasi prognosis dan adanya abnormalitas kromosom yang merupakan kunci untuk membedakan SDM primer dan sekunder. Kromosom abnormal sumsum tulang ditemukan pada 30 50 % pasien SDM de novo. Berbagai kelainan sitogenetik pada SDM termasuk delesi, trisomi, monosomi dan anomali struktur. Penggolongan SDM menurut kriteria FAB adalah Refractory

Anemia (RA), Refractory Anemia with Ringed Sideroblast (RARS), Refractory Anemia with Excessive Blast (RAEB), RAEB in Transformation to Leukemia (RAEBt), dan Chronic Myelo-Monocytic Leukemia (CMML). Penggolongan lain yang diusulkan WHO untuk SDM adalah Refractory Anemia (RA), Refractory Anemia with Ringed Sideroblast (RARS), Refractory

Cytopenia with Multilineage Dysplasia (RCMD), Refractory Anemia with Excessive Blast (RAEB-type 1 = 5 9 % blast in blood or marrow and RAEB-type 2 = 10 19 % blast in blood or marrow), 5q-syndrome, therapy-related myelodysplastic

syndrome, dan Myelodysplastic syndrome unclassified. SDM seharusnya dibedakan dengan myeloproliferative disorder yang lain dan beberapa variasi dari SDM sekunder termasuk defisiensi nutrisi, proses infeksi, efek obat dan toxic exposures. Beberapa regimen terapi telah digunakan pada pasien SDM, tetapi sebagian besar tidak efektif di dalam merubah perjalanan penyakitnya. Karena itu pengobatan pasien SDM tergantung dari usia, berat ringannya penyakit dan progresivitas penyakitnya. Pasien dengan klasifikasi RA dan RAEB pada umumnya bersifat indolent sehingga tidak perlu pengobatan spesifik, cuma suportif saja. 30

Cangkok Sumsum Tulang (Bone Marrow Transplatation) Cangkok sumsum tulang alogenik merupakan pengobatan utama pada SDM terutama dengan usia < 30 tahun, dan merupakan terapi kuratif, tetapi masih merupakan pilihan < 5% dari pasien.

Kemoterapi Pada fase awal dari SDM tidak dianjurkan untuk diberikan kemoterapi, umumnya diberikan pada tipe RAEB, RAEB-T, CMML. Sejak tahun 1968 pengobatan ARA-C dosis rendah yang diberikan pada pasien SDM dapat memberikan response rate antara 50 75 % dan respons ini tetap bertahan 2 14 bulan setelah pengobatan. Dosis ARAC yang direkomendasikan adalah 20 mg/m2/hari secara drip atau 10 mg/m2/hari secara subkutan setiap 12 jam selama 21 hari.

GM-CSF atau G-CSF Pada pasien SDM yang mengalami pansitopeni dapat diberikan GM-CSF atau GCSF untuk merangsang diferensiasi dari hematopoetic progenitor cells. GM-CSF diberikan dengan dosis 30 500 mcg/m2/hari atau G-CSF 50 1600 mcg/m2/hari (0,1 0,3 mcg/kgBB/hari/subkutan) selama 7 14 hari.

Lain-lain Piridoksin, androgen, danazol, asam retinoat dapat digunakan untuk pengobatan pasien SDM. Piridoksin dosis 200 mg/hari selama 2 bulan kadang-kadang dapat memberikan respon pada tipe RAEB walaupun sangat kecil. Danazol 600 mg/hari/oral dapat memberikan response rate 21 33 % setelah 3 minggu pengobatan. Faktor resiko untuk berkembangnya MDS antara lain, Usia. Studi populasi di Inggris menemukan bahwa secara kasar insiden meningkat dari 0,5 dalam 100.000 populasi yang berusia dibawah 50 tahun menjadi 89 dalam 100.000 populasi pada orang yang berusia 80 tahun atau lebih. Predisposisi genetik. Sindrom familial telah dilaporkan, namun jarang. Paparan lingkungan. Khususnya dengan Benzene dan pelarut kimia lainnya. Terapi sebelumnya. Termasuk pengobatan radiasi dan agen kemoterapi lainnya. 31

3. Dislipidemia 1. Definisi Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Dislipidemia mengacu pada kondisi dimana terjadi abnormalitas profil lipid dalam plasma.Kelainan fraksi lipid yang paling utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida (TG) serta penurunan kolesterol HDL. Berbagai perubahan profil lipid tersebut saling terkait satu dengan lain sehingga tidak dapat dibicarakan sendiri-sendiri (Anwar, 2004). 2. Kriteria Diagnosis Angka patokan untuk kadar lipid normal sebenarnya sulit ditentukan karena angka normal untuk seseorang belum tentu normal untuk orang lain yang disertai faktor risiko penyakit kardiovaskuler (PKV). Walaupun demikian, National Cholesterol Education Program (NECP) telah membuat suatu batasan yang dapat dipakai secara umum tanpa melihat faktor risiko penyakit kardiovaskuler seseorang. Kolesterol total < 200 200 239 >240 Kolesterol LDL < 100 100 129 130 159 160 189 > 190 Kolesterol HDL < 40 > 60 Trigliserid < 150 150 199 200 499 > 500

Optimal Diinginkan Tinggi Optimal Mendekati optimal Diinginkan Tinggi Sangat tinggi Rendah Tinggi Optimal Diinginkan Tinggi Sangat tinggi

Tabel Klasifikasi Kolesterol Total, LDL, HDL, dan Trigliserid menurut NCEP (Adam, 2006).

32

3. Penatalaksanaan a. Terapi Non Farmakologis Pilar utama pengelolaan dislipidemia adalah upaya non farmakologis yang meliputi modiflkasi diet, latihan jasmani serta pengelolaan berat badan. Tujuan utama terapi diet disini adalah menurunkan resiko PKV dengan mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol serta mengembalikan kesimbangan kalori, sekaligus memperbaiki nutrisi. Perbaikan keseimbangan kalori biasanya memerlukan peningkatan penggunaan energi melalui kegiatan jasmani serta pembatasan asupan kalori (Anwar, 2004). Terapi diet dimulai dengan menilai pola makan pasien, mengidentifikasi makanan yang mengandung banyak lemak jenuh dan kolesterol serta seberapa sering keduanya dimakan. Jika diperlukan ketepatan yang lebih tinggi untuk menilai asupan gizi, maka perlu dilakukan penilaian yang lebih rinci, yang biasanya membutuhkan bantuan ahli gizi.Penilaian pola makan penting untuk menentukan apakah harus dimulai dengan diet tahap I atau langsung ke diet tahap ke II. Hasil diet ini terhadap kolesterol serum dinilai setelah 4-6 minggu dan kemudian setelah 3 bulan. Dari beberapa penelitian, diketahui bahwa latihan fisik dapat meningkatkan kadar HDL dan Apo AI, menurunkan resistensi insulin, meningkatkan sensitivitas dan meningkatkan keseragaman fisik, menurunkan trigliserida dan LDL, dan menurunkan berat badan. Setiap melakukan latihan jasmani, perlu diikuti 3 tahap yaitu: 1) Pemanasan dengan peregangan selama 5-10 menit 2) Aerobik sampai denyut jantung sasaran yaitu 70-85 % dari denyut jantung maximal ( 220 - umur ) selama 20-30 menit. 3) Pendinginan dengan menurunkan intensitas secara perlahan selama 5-10 menit. Frekwensi latihan sebaiknya 4-5 x/minggu dengan lama latihan

sepertidiutarakan diatas. Dapat juga dilakukan 2-3x/ minggu dengan lama latihan 45-60 menit dalam tahap aerobik (Anwar, 2004). b. Terapi Farmakologis Bila terapi Non Farmakologi tidak berhasil, maka kita dapat memberikan bermacam-macam obat normolipidemia tergantung dari jenis dislipidemia yang 33

terjadi. Beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan adalah kemampuan dari obat-obat tersebut dalam memengaruhi Kolesterol HDL, LDL, Trigliserida, Fibrinogen, dan juga diperhatikan pengaruh atau efek samping dari obat-obat tersebut (Anwar, 2004). Saat ini dikenal sedikitnya 6 jenis obat yang dapat memperbaiki profil lipid serum yaitu bile acid sequestran, HMG-CoA reductase inhibitor (statin), derivat asam fibrat, asam nikotinik, ezetimibe, dan asam lemak omega-3. Selain itu, saat ini telah dipasarkan obat kombinasi dari dua jenis penurun lipid dalam satu tablet seperti Advicor (Lovastatin dan niaspan) dan Vytorin (simvastatin dan ezetimibe) (Adam, 2006)

4. Diabetes Melitus Tipe 2 A. Pengertian Diabetes Mellitus tipe-2 (DM tipe-2) adalah suatu kelompok kelainan metabolisme yang ditandai oleh hiperglikemia kronis sebagai akibat adanya defek sekresi insulin, kinerja insulin, atau kombinasi kedua duanya. Hiperglikemia kronis pada DM tipe II dihubungkan dengan terjadinya kerusakan jangka panjang, disfungsi, kegagalan berbagai organ tubuh, terutama pada mata, ginjal, syaraf, jantung, dan pembuluh darah. B. Diagnosis DM Berbagai keluhan dapat ditemukan pada diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini : Keluhan klasik DM Keluhan lain : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvae pada wanita. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui cara, yaitu : 1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa darah sewaktu (GDS) 200 mg/dl atau glukosa darah puasa (GDP) 126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. 34

2. Dengan TTGO : Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dl (11,1 mmol/L), TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air. Tetapi meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitive dan spesifik disbanding dengan pemeriksaan glukosa darah puasa, namun memiliki keterbatasan karena sulit dilakukan berulang ulang, dan dalam praktek sangat jarang dilakukan. C. Faktor Resiko DM Adapun faktor resiko DM antara lain : Faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi : Ras dan etnik Riwayat DM dalam garis keturunan (genetic) Umur. Risiko untuk menderita intolerasi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM Riwayat melahirkan bayi melahirkan dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional(DMG) Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi : Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2) Kurangnya aktivitas fisik Hipertensi (>140/90) Dislipidemia (HDL < 35mg/dl atau trigliserida > 250 mg/dl) Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes/intolerasi glukosa dan DM tipe 2.

35

Faktor lain yang terkait dengan resiko diabetes : Penderita polycystic ovary syndrome(PCOS) atau keadaan klinis yang terkait dengan resistensi insulin. Penderita sindrom metabolik(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu(GDPT) sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit kardiovakuler seperti stroke,PJK, atau PAD(peripheral arterial disease) D. Immunocompromise pada DM Immunocompromise adalah suatu keadaan dengan satu atau lebih

ketidaknormalan fungsi pertahanan tubuh alami dan adaptif sehingga jika terkena infeksi cenderung membahayakan kehidupan penderita. E. Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup diabetisi, yaitu : 1. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM mempertahankan rasa nyaman tercapainya target pengendalian glukosa 2. Jangka panjang : Tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati,

makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir penatalaksanaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas dini DM Untuk tujuan tersebut dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku. Pilar penatalaksanaan DM: 1. Edukasi 2. terapi gizi medis 3. latihan jasmani 4. intervensi farmakologis

36

F. Penyulit DM Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun : 1. Penyulit akut a. ketoasidosis diabetic b. hiperosmolar non ketotik c. hipoglikemi 2. Penyulit menahun a. makroangiopati yang melibatkan : pembuluh darah jantung pembuluh darah tepi pembuluh darah otak b. mikroangiopati : retinopati diabetic nefropati diabetic 3. Neuropati.

37

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Bahri. Dislipidemia sebagai factor resiko penyakit jantung koroner. E-USU repository@ 2004 Universitas Sumatra Utara. Bakshi S. Aplastic Anemia. Available in URL: HYPERLINK

http://www.emedicine.com/med/ topic162.htm Hermawan, Guntur.2006. Bed Side Teaching Ilmu Penyakit Dalam : UNS press. Surakarta. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4th ed. New York: Lange McGraw Hill, 2005. Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds). Current Medical Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill, 2007;51011. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia. Available in URL: HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds). Modern Hematology Biology and Clinical Management 2nd ed. New Jersey: Humana Press, 2007 ;207-16. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PERKENI. Jakarta. 2006 Pp 1-49. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2001;501-8. Supandiman I. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi Medik 2003. Jakarta. Q-communication, 1997;6. Supandiman I. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni, 1997;95-101 Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007. Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow failure disorders and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et al (eds). Post Graduate Haematology 5th edition. USA: Blackwell Publishing, 2005;190-206.

38

Solander H. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2006;637-43. Soegondo S, Soewondo P, Subekti I. 2005. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta : Balai Penerbit FKUI Sudoyo, AW dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Pusat Penerbitan Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta Sudoyo, AW dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Pusat Penerbitan Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee GR, Foerster J, et al (eds). Wintrobes Clinical Hematology 9th ed. PhiladelpiaLondon: Lee& Febiger, 1993;911-43. Young NS, Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. Available in URL: HYPERLINK http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/ Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrisons Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill, 2007:617-25. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68.

39

You might also like