1. TEORI PRODUKSI & PRODUKSI MENURUT PANDANGAN ISLAM
Produksi, distribusi dan konsumsi sesungguhnya merupakan satu rangkaian kegiatan ekonomi yang tidak bisa dipisahkan. Ketiganya memang saling mempengaruhi, namun harus diakui produksi merupakan titik pangkal dari kegiatan itu. Tidak akan ada distribusi tanpa produksi. Dari teori ekonomi makro kita memperoleh informasi. Kemajuan ekonomi pada tingkat individu maupun bangsa lebih dapat diukur dengan tingkat produktivitasnya dari pada kemewahan konsumtif mereka. Atau dengan kemampuan ekspornya ketimbang agregat impornya (Sukirno, 1981). Dari sisi pandangan konvensional, biasanya produksi dilihat dari tiga hal, yaitu apa yang diproduksi, bagaimana memproduksinya, dan untuk siapa barang/jasa diproduksi. Cara pandang ini untuk memastikan bahwa kegiatan produksi cukup layak untuk mencapai skala ekonomi. Dalam produksi itu terjadi, ekonomi konvensional menempatkan tenaga kerja sebagai salah satu dari empat faktor produksi, tiga faktor lainnya adalah sumber alam, modal dan keahlian. Dalam memandang faktor tenaga kerja inilah terdapat sejumlah perbedaan. Paham ekonomi sosialis misalnya memang mengakui faktor tenaga kerja merupakan faktor penting. Namun faham ini tidak memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap hak milik individu, sehingga faktor tenaga kerja atau manusia turun derajatnya menjadi sekedar pekerja atau kelas pekerja. Sedangkan paham kapitalis yang saat ini menguasai dunia, memandang modal atau kapital sebagai unsure yang terpenting, dan oleh sebab itu para pemilik modal atau para kapitalis yang menduduki tempat yang sangat strategis dalam ekonomi kapitalis.
2. PRODUKSI DALAM PANDANGAN ISLAM
Prinsip dasar ekonomi islam adalah keyakinan kepada Allah SWT sebagai Rabb dari alam semesta. Ikrar akan keyakinan ini menjadi pembuka kitab suci umat Islam, dalam ayat : 4OOCEc4 7 E` O) g4OEOO- 4`4 O) ^O- 4Og- +OuLg)` _ Ep) O) CgO e4CE Og ]NO-E4-4C ^@ Aritnya : Dan dia telah mendudukkan untukmu apa yang dilangit dan apa yang dibumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir (al- Jaatsiyah : 13). Rabb yang seringkali diterjemahkan Tuhan dalam bahasa Indonesia, memiliki makna yang sangat luas, mencakup antara lain pemeliharaan (al- Murabbi), penolong (al-Nashir), pemilik (al-Malik), yang memperbaiki (al- Mushlih), tuang (al-Sayyid), dan wali (Al-Wali). Konsep ini bermakna bahwa ekonomi Islam berdiri atas kepercayaan bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, pemilik dan pengendali alam raya yang dengan takdir-Nya menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam dengan ketetapan-Nya (Sunatullah). Dengan keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut dari Allah Rabb semesta alam, maka konsep produksi didalam ekonomi islam tidak semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk mencapai maksimalisasi keuntungan akhirat. Ayat 77 surat al-Qashash mengingatkan manusia untuk mencari kesejahteraan akhirat tanpa melupakan urusan dunia, tetapi sejatinya mereka sedang berlomba-lomba mencapai kebaikan diakhirat. Subhanallah Islampun sesungguhnya menerima motif-motif berproduksi seperti pola pikir ekonomi konvensional tadi. Hanya bedanya lebih jauh Islam juga menjelaskan nilai-nilai moral disamping ultilitas ekonomi. Bahkan sebelum itu Islam menjelaskan mengapa produksi harus dilakukan menurut ajaran Islam, manusia adalah khalifatullah atau wakil Allah dimuka bumi dan berkewajiban untuk memakmurkan bumi dengan jalan beribadah kepada-Nya. Dalam surat al-Amin ayat 165 Allah berfirman : 4O-4 Og~-.- :UEE_ E-j^UE= ^O- E74O4 7_u4 -O *u4 eE_4OE1 74OUl41g O) .4` 7>-47 Ep) El+4O 7C)O= g^- +O^^)4 EOO4 l7gOO ^g) Artinya : Dan Dia yang menjadikan kamu penguasa-penguasa dibumi dan Dia meninggalkan sebagia kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang (QS Al-Anam: 165). 7E4UEE_ E-j^UE= O) ^O- }g` g-gu4 4OOLE4g E-^OE 4pOUEu> ^j Artinya : Kemudian kamu jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) dimuka bumi sesudah mereka, supaya kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat (QS. Yunus : 14) Islam juga mengajarkan bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang banyak manfaatnya bagi orang lain atau masyarakat. Fungsi beribadah dalam arti luas ini tidak mungkin dilakukan bila seseorang tidak bekerja atau berusaha. (Iljas, 2002). Dekian, bekerja dan berusaha itu menempati posisi dan peranan yang sangat penting dalam Islam. Sangatlah sulit untuk membayangkan seseorang tidak bekerja dan berusaha, terlepas dari bentuk dan jenis pekerjaannya, dapat menjalankan fungsinya sebagai Khalifatullah dan bisa memakmurkan bumi serta bermanfaat bagi masyarakat. Dalam peran sebagai khalifathullah yang membawa Rahmatan Lil Alamin inilah, seseorang produsen tentu tidak akan mengabaikan masalah ekstenalitas seperti pencemaran. Bagi Islam, memproduksi sesuatu bukanlah sekedar untuk dikonsumsi sendiri atau dijual kepasar. Dua motivasi itu cukup, karena masih terbatas pada fungsi ekonomi. Islam secara khas menekankan bahwa setiap kegiatan produksi harus pula mewujudkan fungsi sosial. Ini tercermin dalam QS. Al-Hadiid ayat 7 : W-ONLg`-47 *.) g).Oc4O4 W-Og^4 Og` 7UEE_ 4-gU^C4-OG` gO1g W 4g~-. W-ONL4`-47 7Lg` W-OE^4 +O EO;_ OO)lE ^_ Artinya : Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta mu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang- orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar (QS. Al-Hadiid : 7). Kita harus melakukan hal ini karena memang dalam sebagian harta kita melekat hak orang miskin, baik yang meminta ataupun tidak meminta. (QS.Adz-Dzariyat : 19 dan QS.Al-Maarij : 25) agar mampu mengmban fungsi sosial seoptimal mungkin, kegiatan produksi harus melampaui surplus untuk mencukupi keperluan konsumtif dan meraih keuntungan finansial sehingga bisa kontribusi kehidupan sosial. Melalui konsep inilah, kegiatan produksi harus bergerak diatas dua garis optimalisasi. Tingkatan optimal pertama adalah mengupayakan berfungsinya sumber daya insani kearah pencapaian kondisi full employment, dimana setiap orang bekerja dan menghasilkan suatu karya kecuali mereka yang udzur syai seperti sakit dn lumpuh. Optimalisasi berikutnya adalah dalam hal memproduksi kebutuhan primer (dhruriyyat), lalu kebutuhan sekunder (hajiyyat), dan kebutuhan tersier (thsiniyyat) secara profesional. Tentu saja Islam harus memastikan hanya memproduksi suatu yang halal dan bermanfaat buat masyarakat (thayyib). Target yang harus dicapai secara bertahap adalah kecukupan setiap individu, swasembada ekonomi umat dan kontribusi untuk mencukupi umat dan bangsa lain. Pribadi dan masyarakat muslim itu produkstif dan kontributif bagi kesejahteraan dan keadaan umat manusia. Tidak ada ajaran selain Islam yang menguduskan kerja produksi seperti ini. lata Al-Qardhawi (Qhardawi, 1997). Dalam memandang tenaga kerja, islam berada pada posisi yang moderat. Faktor tenaga kerja, bekerja dan berusaha itu adalah penting, namun bekerja dan berusaha haruslah dijalan yang halal dan pekerja perlu tetap dijaga harkat dan martabatnya dan tidak bisa hanya dipandang sebagai faktor produksi saja. Pada prinsipnya Islam juga lebih menekankan berproduksi demi untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, bukan hanya sekedar memenuhi segelintir orang memiliki uang, sehingga memiliki daya beli yang lebih baik. Karena itu bagi Islam, produksi yang surplus dan berkembang baik secara kuantatif maupun kualitatif, tidak dengan sendirinya mengindikasikan kesejahteraan bagi masyarakat. Apalah artinya produk yang menggunung jika hanya didistribusikan untuk segelintir orang yang memiliki uang banyak. Sebagai modal dasar produksi, Allah telah menyediakan bumi beserta isinya bagi manusia, untuk diolah bagi kemaslahatan bersama seluruh umat manusia. Hal ini terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 22 : Og~-.- EE_ N7 4O- V-4Og 47.EOO-4 w7.E4) 44O^4 =}g` g7.EOO- w7.4` E4Ou= gO) =}g` g4OEEV- +~^ejO 7- W E W-OUE^_` *. -41-E^ +^4 ]OUu> ^gg Artinya : Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari Langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu ; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah : 22). Firman Allah senada pula terhadap pada QS Al-Hijr : 20. QS Az-Zukhruf : 10, QS Thaha : 53, QS Al-Araf : 10, QS Al-Mulk : 15, dan masih banyak lagi. 3. PRINSIP-PRINSIP PRODUKSI DALAM EKONOMI ISLAM Salah satu definisi produksi adalah aktivitas menciptakan manfaat dimasa kini dan mendatang. Proses produksi bisa dilakukan oleh satu orang saja, misalnya seorang penyanyi yang mengolah udara, alat-alat pernapasan, alat- alat pengucapan, pita suara, daya seni dan keterampilannya menghasilkan suatu nyayian solo yang indah, atau sebuah perusahaan tekstil besar dengan ribuan karyawan tekstil untuk dijual kemancanegara. Disamping pengertian diatas, pengertian produksi juga merujuk kepada prosesnya yang mentranspormasikan input menjadi output. Segala jenis input yang masuk dalam proses produksi untuk menghasilkan output disebut faktor produksi. Ilmu ekonomi menggolongkan faktor produksi kedalam capital (termasuk didalamnya tanah, gedung, mesin-mesin, dan inventori/persendian), material (bahan baku dan pendukung, yakni semua yang dibeli perusahaan untuk menghasilkan output termasuk listrik, air dan bahan baku produksi), serta manusia (labour). Input dapat dipisah-pisahkan dalam kelompok yang lebih kecil lagi. Manusia sebagai faktor produksi misalnya bisa dibedakan menjadi manusia terampil dan tidak terampil. Juga dapat digolongkan kedalamnya adalah enterpreneurship (kewirausahaan) dari pemili dan pengelola perusahaan. Kewirausahaan sendiri dimaksudkan sebagai kemampuan untuk mengendalikan organisasi usaha, mengambil resiko untuk menciptakan kegiatan usaha. Enterpreneurship (kewirausahaan) tidak dapat dipisahkan dengan manajemen, kedua hal ini saling menunjang dalam keberhasilan proses produksi. Unsur kewirausahaan ini belakangan dengan cukup penting sebagai salah satu faktor produksi yang berbeda karakteristiknya dengan faktor manusia sebagai tenaga kerja, sehingga para ekonomi menggolongkannya sebagai faktor produksi yang berdiri sendiri. Didalamnya termasuk manajemen perusahaan. Akan tetapi keat dan young dalam Managenal Economics (2003), berargumentasi bahwa antar enterpreneurship dan manajemen pun terdapat perbedaan karakteristik yang mendasar, manajemen, katanya merupakan kemampuan pengelolaan dan pengaturan berbagai tugas menajerial untuk mencapai tujuan perusahaan, bukan kemampuan dan keberanian mengambil resiko dan menciptakan kegiatan usaha, sebagaimana merupakan ciri utama enterpreneurship. Karenanya ada pula ekonom yang memisahkan manajemen sebagai satu faktor produksi tersendiri. Menurut Yusuf Qardhawi, faktor produksi yang utama menurut Al-Quran adalah alam dan kerja Manusia. Produksi merupakan perpaduan harmonis antara alam dengan manusia. Firman Allah dalam surat Huud ayat : 61 _O)4 E1O -~ w)U= _ 4~ O4C W-+:;N- -.- 4` 7 ;}g)` O) ++OOEN W 4O- 74=^ =}g)` ^O- 74OEu4-c-4 OgOg +NOg^4c O W-EO+O> gO^O) _ Ep) O).4O _UC@O~ _UO_O` ^g Artinya : Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudia bertobatlah kepada-Nya, sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rakmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya) QS Huud : 61) Bumi adalah lapangan sedangkan manusia adalah pekerja penggarapnya yang sungguh-sungguh sebagai wakil dari sang pemilik lapangan tersebut. Untuk menggarapnya dengan baik, sang pemilik memberi modal awal berupa fisik materi yang terbuat dari tanah yang kemudian ditiupkannya roh dan diberinya ilmu. Dalam al-Quran digambarkan kisah penciptanya Adam antara lain pada Surat Al-Baqarah ayat 30 dan 31 : ^O)4 4~ CG4O gOj^UEUg O)E+) gN~E} O) ^O- LOEO)UE= W W-EO7~ NE^_` OgOg }4` O^NC OgOg lgOEC4 47.4`g].- }^44 E)Ol=O+^ Eg;O4 +Eg-+^4 El W 4~ EO)E+) NU;N 4` 4pOUu> ^@ =^U44 4E1-47 47.E;-- E_^U7 gE)=O47 O>4N gOj^UE^- 4 O)+O7*):^ g7.Ec) g7^E- p) +L7 4-g~g= ^@ Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi. Mereka berkata : Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) dibumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, pada hal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?Tuhan berfirman : Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman : Sebutlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar (QS Al-Baqarah : 30-31). Maka ilmu merupakan faktor produksi terpenting yang ketiga dalam pandangan Islam. Teknik produksi, mesin serta system menajemen merupakan buah dari ilmu dan kerja. Modal adalah hasil kerja yang disimpan. Jelaslah bahwa dalam setiap kegiatan ekonomi manusia adalah pemegang peranan penting, termasuk dalam proses produksi. Pemahaman terhadap peran manusia dalam proses produksi oleh para ekonomi konvensional tampak berevolusi. Semua manusia hanya dipandang dari jumlah fisiknya ketika dipandang sebagai tenaga kerja atau labor. Sadar bahwa disamping tenaga manusia juga memiliki aspekketerampilan yang sifatnya lebih nonfisik, kemudian dibedakan antara tenaga kerja terampil dan tidak terampil. Selanjutnya dibedakan pula manusia antara pemilik, pengelola dan pekerja. Manusia sebagai faktor produksi, dalam pandangan Islam, harusdilihat dalam konteks fungsi manusia secara umum yakni sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Sebagai mahluk Allah yang paling sempurna, manusia memiliki unsur rohani dan unsur materi, yang keduanya saling melengkapi. Karenanya unsur rohani tidak dapat dipisahkan dalam mengkaji proses produksi dalam hal bagaimana manusia memandang faktor-faktor produksi yang lain menurut cara pandang Al-Quran dan Al-Hadist. Rosulullah memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi sebagai berikut : 1. Tugas manusia dimuka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya. Allah menciptakan bumi dan langit beserta segala apa yang ada diantara keduanya karena sifat Rahmaan dan Rahiim-Nya kepada manusia. Karenanya sifat tersebut juga harus melandasi aktivitas manusia dalam pemanfaatan bumi dan langit dan segala isinya. 2. Islam selalu mendorong kemajuan dibidang produksi. Menurut Yusuf Qhardawi, Islam membuka lebar penggunaan metode ilmiah yang didasarkan kepada penelitian, eksperimen dan perhitungan. Akan tetapi Islam tidak membenarkan penuhanan terhadap hasil karya ilmu pengetahuan dalam arti melepaskan dirinya dari Al-Quran dan Hadist. 3. Teknik produksi diserahkan kepada keinginan dan kemampuan manusia. Nabi pernah bersabda : Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian. 4. Dalam berinovasi dan bereksperimen, pada prinsipnya agama Islam menyukai kemudahan, menghindari mudharat dan memaksimalkan Manfaat. Dalam islam tidak terdapat ajaran yang memerintahkan membiarkan segala urusan berjalan dalam kesulitannya, karena pasrah kepada keberuntungan atau kesialan, karena berdalih dengan ketetapan dan ketentuan Allah, atau karena tawakah kepada-Nya, sebagaimana keyakinan yang terdapat didalam agama selain Islam. Sesungguhnya Islam mengingkari itu semua dan menyeruh bekerja dan berbuat, bersikap hati- hati dan melaksanakan selama persyaratan. Tawakal dan sabar adalah konsep penyerahan hasil kepada Allah SWT. Sebagai pemilik hak prerogatif yang menentukan segala sesuatu setelah usaha dan persyaratan dipenuhi dengan optimal. Adapun kaidah-kaidah dalam berproduksi antara lain adalah : 1. Memproduksi barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi. 2. Mencegah kerusakan dimuka bumi, termasuk membatasi polusi, memlihara keserasian dan ketersediaan sumber daya alam. 3. Produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat serta mencapai kemakmuran. Kebutuhan yang harus dipenuhi harus berdasarkan prioritas yang ditetapkan agama, yakni terikat dengan kebutuhan untuk tegaknya akidah/agama, terpeliharanya nyawa, akal dan keturunan/kehormatan, serta untuk kemakmuran rakyat. 4. Produksi dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari tujuan kemandirian umat. Untuk itu hendaklah umat memiliki berbagai kemampuan, keahlian dan prasarana yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan spiritual dan material. Juga terpenuhinya kebutuhan pengembangan peradaban, dimana dalam kaitan tersebut para ahli fiqih memandang bahwa pengembangan dibidang ilmu, industri perdagangan, keuangan merupakan fardhu kifayah, yang dengannya manusia bisa melaksanakan urusan agama dan dunianya. 5. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik kualitas spiritual maupun mental dan fisik. Kualitas spiritual terkait dengan kesadaran rohaniahnya, kualitas mental terkait dengan etos kerja intelektual, kreatifitasnya serta fisik mencakup kekuatan fisik, kesehatan, efisiensi dan sebagainya. Menurut islam kualitas rohaniah individu mewarnai kekuatan- kekuatan lainnya, sehingga membina kekuatan ruhiah menjadi unsur penting dalam produksi Islam. Dalam Islam menurut Muhammad Abdul Manan (1992), prilaku produksi tidak hanya menyadarkan pada kondisi permintaan pasar, melainkan juga berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Pendapat ini didukung oleh M.M Metwally (1992) yang menyatakan bahwa fungsi kepuasan perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh variabel tingkat keuntungan tetapi juga oleh variabel pengeluaran yang bersifat charity atau good deeds. Sehingga fungsi ultilitas dari pengusaha muslim adalah sebagai berikut : U max = U (F,G) Dimana : F = tingkat keuntungan G = tingkat pengeluaran untuk goog deeds/charity Menurut Matuwally, pengeluaran perusahaan untuk charity akan meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan, karena G akan menghasilkan efek penggandaan (multiplier effects) terhadap kenaikan kemampuan beli masyarakat. Kenaikan kemampuan beli masyarakat itu pada gilirannya akan meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan. Disamping itu secara makro pun terjadi perubahan struktur permintaan barang. Tanpa adanya mekanisme charity atau good deeds tersebut, yang dalam Islam diwajibkan dalam bentuk zakat, golongan miskin tidak akan mampu mengaktualisasikan permintaannya karena ketiadaan daya beli. Akibatnya golongan produsen tidak akan berfikir untuk memproduksi barang dan jasa bagi golongan miskin. Demikian pula tidak akan tumbuh desaign produk serta inovasi- inovasi cerdas untuk golongan yang terpinggirkan tersebut. Sebaiknya inovasi akan marak pada barang dan jasa yang permintaannya ada didepan mata, permintaan dari golongan mampu yang memiliki daya beli, didukung oleh fasilitas pembiayaan yang memihak mereka. Barang dan jasa pemenuhan kebutuhan golongan miskin terlantarkan, sedangkan barang dan jasa pemuas keinginan golongan mampu serba tersedia. Dari penjelasan diatas dapatlah kita memahami pertentangan head to head antara charity dengan riba. Kita melihat bagaimana peran system keuangan berdasarkan riba sangat mendukung system ekonomi yang bersifat individualistis dan hedonis, sedangkan sedekah atau charity sangat bersifat alturistis, dermawan dan penuh kesetiakawanan sosial. Itu sebabnya Sayyid Quth secara tegas mendefinisikan bahwa riba adalah lawannya sedekah, saat ini ia menafsirkan ayat- ayat tentang terkutuknya riba di surat al-Baqarah ayat 275 dan seterusnya. Islam mewajibkan sedekah dari mereka yang mampu untuk membantu golongan miskin dan negara diberi wewenang untuk mengelola sedekah tersebut. Berdasarkan wewenang tersebut, negara diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan pokok dari seluruh masyarakat. Mekanismen transfer kesejahteraan dari golongan mampu kepada golongan muskin itu pada hakikatnya merubah potensi konsumsi barang mewah dari golongan mampu menjadi konsumsi riil kebutuhan dasar golongan miskin. Dengan demikian tingkat minimal komsunsi masyarakat ada pada tingkat tingkat kunsumsi kebutuhan primernya. Dipasar harga kebutuhan pokok tidak akan menjulang atau menurun melebihi keadaan normal karena dari sisi permintaan negara menjaganya pada tingkat yang menjamin kebutuhan Masyarakat, sedangkan disisi penawaran pun tersedia karena mengedepankan motif pemenuhan kebutuhan masyarakat. Didalam usaha modern baru belakangan ini didasari perlunya kepedulian sosial perusahaan terhdap masyarakat sekeliling demi kepentingan perusahaan sendiri. Perubahan yang terjadi diluar lingkungan suatu perusahaan akan mempengaruhi kinerja perusahaan tersebut. Dengan demikian, Perusahaan akan tumbuh dengan baik bila lingkungan yang ada disekitarnya mengakui keberadaan dan memberikan dukungan positif terhadap pelaksanaan kerja perusahaan tersebut. Upaya yang dilakukan antara lain dengan menciptakan keserasian hubungan antara perusahaan dengan masyarakat sekitar (termasuk pemerintah daerah). Keserasian hubungan tersebut diharapkan dapat menciptakan suatu hubungan yang fungsional antara perusahaan dan masyarakat. Konsep tersebut dikenal dengan Cooperate Social Responsibility (CSR). Pada prinsipnya perusahaan mengalokasikan sebagian kecil dari profit yang dicatatnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosialnya. Untuk Badan Usaha Milik Negara di Indonesia, besaran itu diwajibkan berkisar antara 1,5 % sampai 3 % dari profit. Perusahaan perlu memperhatikan seluruh faktor yang mengelilinginya dalam satu kesatuan system yang pada akhirnya akan memperlancar jalannya perusahaan itu sendiri. Dalam konteks ini perusahaan difahami sebagai suatu system terbuka, Sehingga perubahan yang terjadi diluar lingkup perusahaan akan mempengaruhi perusahaan itu sendiri. Dengan demikian perusahaan akan tumbuh dengan baik bila masyarakat berkembang dengan baik pula. Perumusan secara umum konsep tersebut sebagai berikut : 1. Dunia usaha membutuhkan lingkungan sosial yang baik demi kelancaran jalannya operasi perusahaan. 2. Kepedulian duania usaha terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat berarti mengundang rasa aman dan tenteram bagi aktivitas masing-masing. 3. Guna mendapatkan akseptasi yang luas dari kalangan masyarakat dunia usaha sebagai institut ekonomi harus dapat mengikuti nilai umum yang berasal dari harapan positif masyarakat. 4. Membantu menaikkan citra dan gengsi perusahaan dimata publik/masyarakat. Meskipun kedermawanan sosial dari perusahaan selain disadari urgensinya oleh system ekonomi konvensional, akan tetapi jika yang melandasinya bukan keimanan dan paradigma Al-Quran dan As-Sunnah, akan didapatkan hasil yang berbeda. Kedermawanan sosial secara parsial tidak akan mengatasi permasalahan Manusia secara umum. Diperlukan transformasi yang berdasarkan pada penataan kembali masyarakat secara keseluruhan dan perubahan sistem ekonomi dengan sejumlah cara tertentu. Disatu sisi harus mejadi transformasi indovidu dari homo economicus menjadi manusia yang utuh lengkap dengan moralitas dan kebutuhannya yang tinggi atas rasa persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi, sedangkan disisi lain harus terjadi proses re-strukturisasi ekonomi secara keseluruhan sehingga seluruh kebutuhan manusia dapat dipenuhi tanpa menimbulkan ketidakstabilan, serta kesenjangan pendapatan dan kekayaan secara substansial dapat dikurangi.