You are on page 1of 218

TENTANG SEBUAH

LENCANA

Undang-Undang Republik Indonesia 19 Tahun Nomor 1 9 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72: 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

II

SUFYAN SAGENA

TENTANG SEBUAH

LENCANA
Editor: UNI SAGENA

Pustaka Mafaza
Seed Your M ind by The Book! See Your Mind With The Book! d

Diterbitkan

III

TENTANG SEBUAH LENCANA


Sufyan Sagena Pustaka Mafaza, 12.06 Cetakan pertama, Juni 2012 Penyusun: Sufyan Sagena Editor: Uni Sagena Asisten Editor: M. Hasyim Mustamin Sampul dan tata letak: Mafaza Creativa ISBN : 978-602-19269-5-6 Diterbitkan oleh: Penerbit Pustaka Mafaza ZADAHANIVA Group Jl. Trisula 54 Kauman, Solo Telp. 0815-7939-616, Faks. (0274) 589266

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Sagena, Sufyan. Tentang Sebuah Lencana; editor, Uni Sagena.-- Cet. 1. -Solo: Pustaka Mafaza, 2012 xviii + 200 halaman; ukuran 15 x 21 cm

IV

UCAPAN TERIMA KASIH

BUKU ini diterbitkan untuk mengenang Sufyan Sagena dan mewujudkan keinginannya semasa hidup. Semoga dapat bermanfaat bagi orang banyak. Sebagai istri almarhum, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam proses penerbitannya. Dan, juga kepada semua yang telah mendoakan almarhum selama ini. Semoga Allah SWT membalas dengan pahala yang setimpal. Amin.
Majene, 1 Juli 2012

dr. Hj. EVAWATY SUFYAN, M.Kes.

VI

DAFTAR ISI

Ucapan Terima Kasih Daftar Isi Catatan Editor Kata Pengantar -----------------------Bagian Satu: Dari Branding Hingga Karakter Kepemimpinan -- 1 -----------------------1. Urgensi Branding bagi Daerah Otonom 3 2. Mengurai Makna Sebuah Tagline: Bulatkan Tekad, Rapatkan Barisan, Satukan Langkah 11 3. Mewujudkan Kepemimpinan Berkarakter di Daerah 17 4. Memaknai Koordinasi dan Permasalahannya dengan Bijak -- 25 5. Mewujudkan Etika Kepemerintahan 29 6. Menerapkan Transparansi dalam Pelayanan Publik 35 7. Benarkah SKPD Sulbar Lemah? 41 8. Mencermati Keresahan Pejabat Struktural yang Menjadi Korban Kebijakan yang Tidak Akurat 49

VII

------------------------ Bagian Dua: Tentang Lencana dan Pintu Masuk Perubahan -- 55 ------------------------ 1. Selamat Datang Calon Pelayan Masyarakat 57 2. Puasa dan Lencana Pengabdian 63 3. Penilaian Kinerja: Masihkan Menjadi Instrumen Pengembangan SDM? 71 4. Musrenbang: Benarkah adalah Kegiatan yang Sia-sia? 81 5. Partisipasi Masyarakat dan Instrumennya dalam Pembangunan 91 6. Mungkinkah Terjadi Perubahan Pemda? 97 7. Sekali Lagi tentang Perubahan: Pintu Masuk Perubahan 105 8. Menakar Sulbar: Refleksi Lima Tahun Sulawesi Barat 109 ------------------------ Bagian Tiga: Hukum dan Berbagai Dimensinya 113 ------------------------ 1. Agar Hukum Tak Menjadi Bahan Olokan 115 2. Pemilukada dan Netralitas Pegawai Negeri Sipil 121 3. Mencermati Kebijakan dan Kebijaksanaan 131 4. Hukum Sebagai Kenyataan dalam Masyarakat, Mungkinkah 137 5. Memahami Landasan Sosiologis dalam Peraturan Perundangundangan 169 6. Pentingnya Kreativitas dan Inovasi dalam Pengelolaan Retribusi dan Pajak Daerah 173 7. Mendorong Kemandirian Ekonomi Masyarakat Desa 179 8. Menyikapi Dibatalkannya Sejumlah Perda di Sulbar 185 Sumber Tulisan 193 Biodata Penulis 197

VIII

CATATAN EDITOR

SIAPA Sufyan Sagena? Dan apa yang disorotinya dalam tulisan-tulisannya? Buku yang ada di hadapan anda ini bisa memberi jawabnya. Setidaknya sebagai gambaran mengenai kecenderungan pemikirannya, pilihan-pilihan hidupnya, bahkan sosok pribadinya, dan lain-lain yang mungkin serba sekilas dapat tertangkap di dalamnya. Tentu saja tidak semua orang (merasa perlu) mengenalnya, sebab dia hanyalah seorang birokrat di sebuah daerah kecil Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Namun, penerbitan buku ini juga tidak dimaksudkan untuk gagah-gagahan, apalagi untuk tujuan yang pure bisnis. Sederhana saja: untuk merealisasikan hasrat dan harapan seorang Sufyan Sagena yang telah berpulang ke haribaan Ilahi, mendahului terbitnya karya-karyanya ini. Selamanya, dia tidak akan pernah tahu bahwa buku kumpulan tulisannya akan sampai ke khalayak ramai pada hari ke-100 kepergiannya. Selamanya pula, dia tidak akan
IX

pernah tahu akan seperti ini hasilnya, sebab dia sudah punya konsep tersendiri untuk bukunya kelak, yang dulu pernah dia ungkapkan penuh semangat. Karena itu, sejujurnya saya sendiri kurang berpuas hati dengan buku ini sebab saya punya ekspektasi yang tinggi terhadap karya yang bisa dia lahirkan sendiri. Terlebih ketika saya menemukan dalam folder-nya berbagai tulisan setengah jadi yang belum sempat diselesaikan. Sayang rasanya tidak bisa disertakan dalam buku ini, termasuk disertasinya yang saya tahu telah dia susun dengan serius. Saya hanya berharap buku ini bisa menggembirakannya, meski hanya melibatkan nama-nama keluarga saja. Sebab itu pula, saya urung meminta testimoni dari beberapa orang lain, cukuplah ungkapan rasa putrinya saja, Nadya Soraya Aulia (Ola), yang mewakili semuanya. Saya yakin Sufyan Sagena akan bangga membacanya, karena bagi Ola, bapaknya adalah one in a million satu dalam sejuta. Sayapun tidak bisa terlampau objektif di sini, karena menyusun buku ini merupakan momen tersendiri yang berharga. Terlebih lagi bagi sang istri, dr. Evawaty, M. Kes, yang dengan segera menyetujui penerbitan buku ini di saat masih sangat berduka di hari-hari awal kehilangan suami tercinta. Sebab itu, kakanda dr. Evawaty patut merasa bahagia, bahwa meskipun sang kekasih hati telah tiada, namun kehadiran buku ini adalah penanda bahwa Sufyan Sagena tidak pernah benar-benar mati. Tulisannya akan senantiasa berbicara. Kata-katanya tidak akan hilang ditelan
X

angin. Senantiasa akan abadi sampai jauh di kemudian hari, meski kelak putra bungsunya, Ahmad Taufan Nugraha (Opan), akan beranjak dewasa dan pelan-pelan melupakan suara sang bapak, melupakan caranya tertawa, atau caranya marah ketika menyuruhnya belajar dan sembahyang. Demikian pula menjadi pengingat bagi keluarga besar Sufyan Sagena, adik-adik iparnya (Ernawaty Yunus, Emmawaty Yunus, dan Erry Yunus) terutama kami adik-adiknya: M. Nehru Sagena, Ulfah Diana Sagena, Sri Utari Sagena, M. Luthfi Sagena, dan saya sendiri, Uni Sagena. Meski kami sempat limbung kehilangan pengganti ayah, namun kini kami bisa mendongak kembali, mengangkat kepala penuh bangga. Apa yang ditinggalkannya adalah teladan dan spirit belaka. Seperti juga para sahabatnya yang menganggapnya saudara, guru, bahkan orang tua yang dijadikan panutan. Tidak sedikit yang mengagumi sosoknya, meski kerap dia dicap keras dan konon sering melawan arus. Mungkin justru di situlah letak ke-lain-an seorang Sufyan Sagena. Dia punya nyali pasang dada membela apa yang diyakininya sebagai sesuatu yang benar dan berdasar, baik yang menyerang kapasitasnya sebagai pribadi maupun sebagai pejabat daerah. Dan dia tahu segala konsekuensinya, sadar akan harga yang mesti dia bayar, langsung maupun tidak langsung. Tidak heran jika ada yang pernah menilai bahwa Sufyan Sagena terlalu idealis untuk menjadi seorang birokrat - katanya , kerja di pemerintahan itu tidak boleh terlalu
XI

idealis, nanti disingkirkan. Mungkin demikianlah faktanya. Tetapi, saya tidak pernah melihatnya gentar. Dia tetap konsisten dan istiqomah. Baginya, biarlah hidup singkat saja, asalkan bermanfaat dan bermartabat. Bukankah harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama? Maka, bacalah tulisan-tulisannya, Sufyan Sagena kerap menggugat keadaan. Namun dia tidak melulu mengkritisi, melainkan dia juga menawarkan solusi; tidak hanya bertanya, dia juga memberi jawaban; tidak hanya ada keresahan dan kegelisahan, tetapi juga ada optimisme dan ajakan beralih pada apa yang disebutnya siamasei paradigm, suatu prinsip membiasakan kebenaran, dan bukan membenarkan kebiasaan. Mungkin tulisan-tulisannya tidak sesempurna dalam merefleksikan semua maksud itu. Namun, setidaknya dia menjadikan tulisannya sebagai mikrofon untuk berbicara pada saat yang lain diam. Mencatat berbagai peristiwa yang mungkin diabaikan orang lain. Dia memiliki pola dan cara ungkapnya tersendiri, diurai secara logis, sistematis, dan kontekstual. Dia melakukan banyak pembacaan, mengkaji, merujuk pendapat para pakar, menukilkan referensi, dan mengelaborasi pengetahuannya sendiri untuk menjawab berbagai persoalan yang diangkatnya. Pada tataran itu, buku ini ada kontribusi keilmuannya sehingga layak untuk dibaca dalam kalangan pemerintahan pun masyarakat secara umum. Bahkan cukup
XII

relevan dijadikan referensi bagi para pemerhati dan mahasiswa ilmu hukum, politik, dan pemerintahan. Terakhir, saya menghaturkan terima kasih mendalam kepada sejumlah pihak yang berkontribusi dalam buku ini: Prof. Dr. H. Masjaya atas kata pengantarnya yang bernas; Bapak Drs. Muh. Idrus yang merupakan sosok ayah bagi almarhum; Bapak Mithhar Thala Ali atas perhatian dan bantuannya; dan informasi sumber tulisan dari Nursalim Ismail, Naskah M. Nabhan, Muh. Ridwan Alimuddin, serta Manggasali yang mengolah buku ini bersama tim Pustaka Mafaza sehingga dapat terbit, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Kuala Lumpur, Juni 2012

UNI SAGENA Editor

XIII

XIV

KATA PENGANTAR

DANIEL Katz berujar bahwa seorang pemimpin diberi kewenangan dalam mengerahkan pengaruhnya pada dua arah. Ia mengubah struktur sosial yang ada atau ia mencegah sebuah perubahan. Sufyan Sagena memilih yang pertama, dan itu adalah jalan yang sepi. Ia mengamini Karl Popper bahwa sebagai bagian dari instrumen negara yang diberi ruang untuk memimpin, ia memiliki kewenangan sebagai pelopor untuk menciptakan opini publik. Konsekuensi sebagai pelopor, beberapa gagasannya ditolak, kemudian dipertimbangkan, dan akhirnya diterima. Bukan waktu yang instan, tetapi perlu tersedia tahunan waktu untuk menerima argumen atau gagasan baru itu. Ia paham itu. Ia tak menyerah, hingga akhir hayatnya. Pikiran dan pandangan Sufyan Sagena yang dituangkan dalam buku ini pula sangat multidimensi, menarik untuk sarat dengan makna kearifan lokal, dan pesan-pesan moralitas yang bernilai tinggi dalam pembentukan karakter
XV

anak bangsa. Karena itu Sufyan Sagena terus menulis. Ia memanfaatkan media massa lokal untuk menyampaikan argumen dan gagasannya. Gagasan baru yang dilemparkan ke publik bisa mengundang polemik. Ia menohok dari dalam. Sebab ia bagian dari pemerintah daerah. Ia tak bermaksud melukai siapapun. Ia hanya ingin daerah yang dicintainya, Sulawesi Barat, terus berkembang, mengalami progres pembangunan, mengubah cara pandang untuk kemudian Sulbar menjadi daerah yang punya posisi tawar di ranah nasional. Dari sejumlah tulisannya yang saya baca, ia melintasi pemikiran sebagai elit daerah. Sufyan berani mempertanyakan persoalan branding dan tagline. Bagi sebagian orang, persoalan branding bukan prioritas penting terutama kalau itu di daerah. Namun, Sufyan dengan tegas memelopori ide bahwa branding atau kemasan adalah nilai jual penting sebuah daerah. Kemasan membentuk citra yang kemudian dalam prosesnya mengubah diri sebagai ciri khas/icon/ merk sebuah daerah. Seperti saya kutip dalam satu bait di tulisannya berjudul Urgensi Branding Bagi Daerah Otonom, bahwa jamak dimaknai branding sebagai sebuah strategi jitu dalam membangun kemasan pencitraan berupa produk unggulan, yang memungkinkan setiap orang terutama pelaku pasar dengan mudah mengakses keunikan suatu negara atau daerah otonom. Misalnya, negara atau daerah otonom itu didesain menjadi tujuan wisata,
XVI

ataukah negara/daerah otonom itu fokus diarahkan menjadi produsen barang-barang tertentu, maupun menjadi tempat yang menguntungkan dan kondusif untuk berinvestasi. Dalam satu tulisannya lagi berjudul Memaknai Koordinasi dan Permasalahannya dengan Bijak, ia melakukan otokritik. Sufyan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang koordinasi kegiatan instansi vertikal di daerah. Isinya menyatakan bahwa koordinasi tersebut dalam rangka tertib penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan demi terwujudnya keserasian serta keberhasilan pembangunan di daerah. Ia tak menyangkal koordinasi di pemerintahan daerah masih sangat semrawut. Menurutnya, koordinasi yang buruk mengingkari kaidah hukum positif yang telah dilegalkan dalam bentuk peraturan pemerintah. Sufyan kemudian menarik kesimpulan, jawaban pasti sulitnya mengaplikasikan koordinasi boleh jadi mereka adalah orang yang menolak proses perubahan. Sufyan meminjam istilah John P. Kotter dalam What Leaders Really Do bahwa orang yang cenderung masih sulit berkoordinasi bisa dinilai sama dan sebangun dengan sifat orang-orang yang menolak proses perubahan yang berlangsung secara normal. Ia tak menampik, di sekitarnya masih banyak yang takut dengan perubahan. Tapi ia paham, mengubah cara pandang itu butuh waktu. Buku ini adalah sikapnya
XVII

untuk tidak menyerah begitu saja. Saya berharap orang lain terutama masyarakat Sulawesi Barat juga mengapresiasi perjuangan Sufyan Sagena, terutama generasi muda pelanjut pembangunan di daerah Tanah Mandar. Karena banyak hal yang bisa dipetik dari buku ini untuk digali dan dikembangkan lebih jauh agar bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Khususnya dalam pembangunan daerah untuk mewujudkan Sulawesi Barat sebagai provinsi yang malaqbiq dan masagena.
Samarinda, Juni 2012

Prof. Dr. H. MASJAYA

Prof. Dr. H. Masjaya adalah Guru Besar Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan PR II di Universitas Mulawarman, Samarinda ; Ketua Umum KKMSB Kalimantan Timur.
XVIII

Tentang Sebuah Lencana...

Bagian Satu: Satu:


Dari Branding hingga Karakter Kepemimpinan

Sufyan Sagena

Tentang Sebuah Lencana...

URGENSI BRANDING BAGI DAERAH OTONOM

SETIAP pemimpin idealnya mendesain sebuah icon/merk baru berupa pencitraan kemasan produk yang monumental bagi daerahnya, sebagaimana pernah dikemukakan salah seorang ahli perencanaan perkotaan di salah satu media cetak besar di kawasan ini. Hal tersebut cukup urgen sehingga memerlukan perhatian ekstra dari setiap pemimpin daerah dewasa ini jika memang bermaksud mengakselerasi capaian pertumbuhan daerah secara signifikan, agar dapat menjadi sumber energi baru dalam mengelola kepemerintahan daerah. Hasil yang diharapkan tentu saja adalah agar icon daerah tersebut dapat menjadi medan magnit bagi setiap orang, yang dengan berbagai kepentingan datang berbondong- bondong untuk menikmati desain yang dimaksud. Pertanyaannya adalah, apa urgensi merek atau yang lebih dikenal dalam istilah pemasaran sebagai branding itu? Dan, seberapa besar pengaruhnya bagi pertumbuhan suatu
3

Sufyan Sagena

negara atau daerah otonom? Dalam banyak referensi, dengan mudah akan ditemukan data yang menyajikan seluk beluk tentang apa yang dimaksudkan dengan branding itu. Salah satunya, ia jamak dimaknai sebagai sebuah strategi jitu dalam membangun kemasan pencitraan berupa produk unggulan, yang memungkinkan setiap orang (terutama pelaku pasar) dengan mudah mengakses keunikan suatu negera atau daerah otonom. Misalnya, negara atau daerah otonom itu didesain menjadi tujuan wisata, ataukah negara/daerah otonom itu fokus diarahkan menjadi produsen barang-barang tertentu, maupun menjadi tempat yang menguntungkan dan kondusif untuk berinvestasi. Ketiga piranti di atas, sejatinya membutuhkan kreativitas dan sentuhan- sentuhan inovatif agar setiap sumber daya yang dimiliki dapat dieksplorasi sedemikian menariknya, agar pada akhirnya bisa berbuah sebuah produk unggulan yang menjadikan ciri khas negara ataupun daerah otonom tersebut dapat tampil beda dengan daerah yang lain.
Urgensi Mencipta Branding

Sebagai gambaran sederhana pada tataran ini, menurut penulis, menarik untuk menyimak apa yang pernah dilontarkan oleh salah seorang ahli branding kenamaan, Randal Frost, yang mengatakan bahwa sangat sulit dibayangkan bagaimana Perancis tanpa mode, bagaimana Jerman tanpa produk mobil mewah dan bagaimana Jepang tanpa produk elektronik yang menjadi keunggulan dan
4

Tentang Sebuah Lencana...

membedakannya dari bangsa-bangsa lain di muka bumi ini. Perancis, Jerman dan Jepang memang bukanlah satusatunya negara dimuka bumi ini yang paling maju, akan tetapi, ketiganya mampu membangun pencitraan secara monumental berupa; Perancis identik dengan dunia fashionnya, Jerman dengan Mercedes Benz-nya dan Jepang dengan produk Sony, Toshiba, pun barang elektronik lainnya. Dalam konteks produk wisata, sejak satu dua dekade belakangan in, negara-negara tetangga kita di Asia Tenggara pun juga sudah lebih maju dalam mencitrakan dirinya. Sebagai contoh, Malaysia dan Singapura telah berhasil membangun identitas nasionalnya dengan mengemasnya secara kreatif dan inovatif yang seakan tidak berujung. Dengan slogan Malaysia is truly Asia, negara jiran itu sukses mencitrakan diri sebagai negara yang memiliki banyak objek wisata andalan dengan resort yang indah dan negara yang multiras serta multikultural namun dapat tetap hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Dengan sangat proaktif, pemerintah bersama sektor swastanya (khususnya stakeholder dalam dunia pariwisata) rutin melakukan kerjasama dan mengundang berbagai media cetak dari berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk berkunjung ke Kuala Lumpur. Perjalanan wisata itu kemudian ditulis dalam media masing-masing yang menggambarkan bagaimana indahnya Kuala Lumpur dilihat dari puncak menara kembar Petronas (twin towers), atau enaknya mie rebus Haji Wahid
5

Sufyan Sagena

di Johor atau bagaimana maraknya suasana di Genting Highland sebagai pusat perjudian terbesar di Asia Tenggara secara legal - sekalipun itu terjadi di negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Seluruh sumber daya diarahkan dan difokuskan untuk menarik perhatian turis mancanegara agar berkunjung ke negeri semenanjung itu. Sementara itu, Singapura pun tidak kalah progresifnya. Dengan slogan Uniquely Singapore , negara kecil itu juga berhasil membangun mereknya sendiri dengan membangun citra sebagai surga belanja di Asia, bahkan dunia. Puluhan ribu keluarga mapan Indonesia, misalnya, tumpah ruah berseliweran di sepanjang jalur Orchid Park yang bersih, apalagi pada saat liburan sekolah. Semua karena kepincut iklan yang terkemas dalam Singapores Great Sale, di mana tiket pesawat ditawarkan dengan harga super miring dengan harapan sesampainya di negara pulau itu, para turis akan menghabiskan uang mereka untuk belanja dan membayar biaya akomodasi yang mahal, meski untuk beberapa hari saja. Mengamati fenomena yang demikian itu, Ahmad Kurnia Suriawidjaja (Sekjen PR Society of Indonesia), dalam salah satu kesempatan menyebut adanya kecenderungan kegagalan bangsa kita dalam membangun pencitraan dirinya. Padahal, menurutnya, dahulu citra atau branding Indonesia cukup bagus dikenal sebagai Keajaiban Asia (Asian Miracle) yang dipuja-puji oleh lembaga-lembaga internasional seperti Bank
6

Tentang Sebuah Lencana...

Dunia atau Badan Pangan PBB. Akan tetapi- akibat krisis ekonomi tahun 1998, semua pencitraan yang semula positif itu, ikut terpuruk. Branding yang dibangun Indonesia lalu hancur lebur. Salah satu yang membuat pencitraan kita terkesan terseok-seok, dalam istilah Handito Hadi Joewono (Ketua Indonesia Brand Entourage), antara lain adalah sekalipun Indonesia pernah membangun pencitraan dengan relatif bagus, namun ia selalu berubah-ubah. Slogan- slogan yang pernah dikembangkan pasca lengsernya Soeharto, seperti Indonesia, just a smile away atau Indonesia, the color of life atau Indonesia, endless beauty of diversity maupun Celebrating 100 years of National Awakening, terkesan kurang greget dan cenderung tidak dikelola dengan baik.
Bagaimana Seharusnya?

Sebagaimana dikemukakan pada awal tulisan ini, pencitraan yang ingin diupayakan sejatinya tercurahkan pada beberapa opsi. Apakah pencitraan itu diproyeksikan sebagai kemasan pariwisata atau kemasan produk barang- barang tertentu maupun kemasan sebagai daerah tujuan berinvestasi yang kondusif. Tentu saja dengan tetap memiliki benang merah yang sangat kuat dengan konteks penyelenggaraan desentralisasi dewasa ini, yang galibnya bertujuan untuk lebih mendekatkan jarak pelayanan dengan masyarakat yang dilayaninya. Juga yang tidak kalah urgennya adalah, apakah
7

Sufyan Sagena

sudah ada jajaran pemerintah daerah yang berupaya menumbuhkan inovasi yang kreatif dalam mengemas berbagai strategi kebijakan? Semuanya dalam kerangka membentuk produk lokal yang spesifik dan memiliki daya jual sehingga dapat membedakan daerahnya secara spesifik dengan daerah otonom lain. Tanpa bermaksud mendramatisir minimnya inovasi yang kreatif dari beberapa daerah otonom yang ada, menurut penulis, sudah saatnya dikembangkan kembali sebuah merek baru atau re-branding untuk setiap daerah otonom. Hal ini seharusnya termaktub dengan jelas dalam desain visi-misi kepemimpinan daerah. Jika dalam ranah ilmu hukum dikenal adanya rehabilitasi nama baik yaitu dipulihkannya nama baik seseorang atau subjek hukum yang terbukti tidak bersalah atas kasus hukum tertentu, maka mengapa tidak dilakukan re-branding dalam konteks layanan pemerintahan daerah otonom, rehabilitasi nama baik untuk beberapa produk layanan pemerintahan yang diharapkan dapat menjadi simbol kebangkitan suatu daerah otonom? Beberapa upaya bisa dilakukan, misalnya dengan meng-up date berbagai potensi sumber daya yang khas, seperti yang ada di daerah-daerah otonom di Provinsi Sulawesi Barat ini, agar dapat saling bersinergi secara positif. Apapun citra atau branding yang akan didesain, penting untuk memiliki sifat unik yang tidak dimiliki oleh daerah otonom lain selain juga bernilai sugestif terhadap setiap
8

Tentang Sebuah Lencana...

orang yang terlibat di dalamnya - terlepas apakah daerahdaerah yang ada di Provinsi Malaqbiq ini akan dicitrakan sebagai tujuan wisata atau penghasil produk unggul tertentu maupun tempat investasi yang baik. Akhirnya, penulis hanya ingin menutup tulisan sederhana ini dengan sebuah pertanyaan: apakah di daerah otonom di mana pembaca berdomisili, sudah memiliki branding yang unik sebagai ikon atau spirit pembangunan untuk difaktualkan secara bersama-sama? Mungkin setiap dari kita memiliki jawaban yang beragam. Wallahu alam bissawab. *******

Sufyan Sagena

10

Tentang Sebuah Lencana...

MENGURAI MAKNA SEBUAH TAGLINE:


BULATKAN TEKAD, RAPATKAN BARISAN, SATUKAN LANGKAH

KALIMAT yang menjadi topik tulisan ini, yaitu Bulatkan Tekad, Rapatkan Barisan, Satukan Langkah adalah grand TEMA penyelenggaraan kejuaraan bulutangkis Majene Open dan Bupati Cup 2010 di GOR Mandar Majene beberapa waktu lampau. Jelas bukanlah sebuah tagline yang baru, tetapi penulis usung kembali dalam tulisan ini karena mengingatkan penulis pada serangkaian momen yang pernah dilakoni beberapa tahun yang lampau. Dalam banyak kesempatan berkiprah, hampir sebagian besar waktu penulis dihabiskan sebagai salah seorang yang aktif berkecimpung dalam ranah organisasi kemasyarakatan, tidak terkecuali organisasi keolahragaan. Posisi penulis seringkali ditempatkan sebagai orang sibuk, misalnya sebagai panitia pengarah setiap musyawarah atau apalah namanya, sehingga sering merumuskan tagline atau slogan yang diharapkan dapat memecut semangat bermusyawarah atau memotivasi anggota organisasi. Dalam momen11

Sufyan Sagena

momen tersebut, merumuskan tagline kemudian seolah menjadi rutinitas bagi penulis pribadi, dari waktu ke waktu. Lantas- dimana benang merahnya antara tagline tersebut di atas dengan kondisi kontemporer terutama dalam konteks memberi spirit dan aksentuasi kepemerintahan di daerah yang kita cintai ini? Menurut penulis, jawabannya adalah ia tetap relevan dan menjadi sesuatu yang penting.
Apa Maksud Tagline Tersebut?

Dalam beberapa referensi dan literatur kontemporer menyebutkan, penggunaan kata yang dirangkai menjadi kalimat tagline dapat dengan mudah dipergunakan oleh siapa saja dan untuk kepentingan apa saja. Namun, faktanya kini lebih banyak dipergunakan dalam ranah politik praktis sebagai sebuah dorongan moril untuk melakukan sesuatu secara berdaya guna dan berhasil guna (meminjam istilah orde baru). Secara sederhana, kalimat tagline dapat dirumuskan sebagai sebuah ungkapan yang diharapkan dapat menjadi daya dorong dan motivasi terhadap siapa saja yang ditujukan untuk kepentingan dan pencapaian tujuan suatu kelompok atau organisasi yang bersangkutan. Dengan kata lain, tagline menjadi kalimat propaganda yang diharapkan dapat mengoptimalkan seluruh sumber daya dan energi yang dimiliki, seluruh potensi yang dimiliki oleh suatu organisasi serta ditujukan untuk merangsang bertambahnya orang yang
12

Tentang Sebuah Lencana...

tergerak hatinya untuk masuk menjadi anggota baru dari organisasi/ kelompok tersebut, paling tidak sebagai simpatisan sementara sekalipun. Dengan demikian, kalimat Bulatkan Tekad, Rapatkan Barisan, Satukan Langkah menjadi menarik karena melalui spirit berolahraga yang dilandasi dengan jiwa sportifitas, diharapkan dapat berfungsi bagaikan virus yang menebar dimensi pencerahan. Spirit dan penyebaran virus pencerahan ini juga relevan untuk konteks kepemerintahan di daerah yang kita cintai ini, termasuk jika dapat tertular kepada pelaku- pelaku layanan publik atau jajaran birokrasi kepemerintahan daerah, pada setiap tingkatan dan level. Dari sudut ontologi bahasa, Bulatkan Tekad, Rapatkan Barisan, Satukan Langkah lebih kurang dapat dimaknai sebagai akumulasi dan aktualisasi dari sejumlah asa dan harapan yang menjadi cita-cita bersama dan kemudian dijadikan komitmen bersama untuk diimplementasikan pada tataran aplikatif oleh beberapa kelompok, biasanya oleh kelompok berkepentingan. Sedangkan untuk pemaknaan terhadap rapatkan barisan, dapat kita maknai sebagai ungkapan motivasi untuk membangun semangat bersama secara utuh oleh seluruh anggota kelompok tertentu, seperti untuk mengoptimalkan peran stakeholders dalam setiap aktivitas yang dirumuskan. Oleh karena itu, seluruh kelompok yang berkepentingan dengan program tersebut, seyogyanya terikat menjadi satu
13

Sufyan Sagena

simpul sapu yang akan berfungsi menjadi cleaner program bersama. Analogi simpul sapu yang utuh didasari oleh asumsi bahwa sekuat apapun sebatang lidi tidak akan dapat difungsikan sebagai pembersih yang BERSIH ketimbang dengan sekumpulan batangan lidi yang telah diikat dalam satu ikatan yang kokoh dan kuat untuk dalam membersihkan pihak-pihak yang dianggap masih KURANG BERSIH.
Mencipta Harmoni dalam Dinamika

Sedang makna satukan langkah lebih kurang dapat dimaknai sebagai mengimplementasikan seperangkat rencana agar tetap fokus pada satu tujuan besar yang menjadi visi bersama, yang harus diusung dan diwujudkan dalam kurun waktu tertentu. Dalam bahasa analog dapat diasumsikan seperti memainkan peran bersama dalam sebuah orkestra yang besar di atas panggung, dimana masingmasing alat dapat mengeluarkan jenis bunyian yang berbedabeda namun mencipta harmoni yang enak di ruang dengar kita bersama. Alat musik yang berbeda itu tetap merujuk pada satu notasi yang diarahkan oleh seorang dirigent yang memberikan ruang kepada setiap pemainnya untuk berimprovisasi dengan dinamis tetapi dengan ritme yang terukur dan jelas dalam notasi yang baku. Beranjak dari penggunaan analogi-analogi di atas, maka sesungguhnya Bulatkan Tekad, Rapatkan Barisan,
14

Tentang Sebuah Lencana...

Satukan Langkah sangat relevan untuk senantiasa ditumbuhsuburkan dan untuk menjawab setiap tantangan dalam kebijakan pembangunan agar terlaksana dengan tepat, cerdas, dan efektif. Tagline ini juga relevan dengan usaha meminimalisir konflik kepentingan sehingga dapat menjadi sumbangsih yang bermanfaat untuk memajukan penyelenggaraan kepemerintahan di daerah, terutama untuk mempersiapkan pemimpinpemimpin di daerah yang memiliki karakter, visioner, dan beretos kerja yang tinggi di masa mendatang. Dalam konteks ini, sekali lagi penulis percaya pada prinsip yang niscaya patut untuk diaplikasikan, yaitu: membiasakan kebenaran dalam memberikan layanan kepemerintahan dan meninggalkan pakem membenarkan kebiasaan sebagaimana kerap dipraktekkan oleh sebagian besar insan birokrasi selama ini. Allahu a`lam bissawab. *******

15

Sufyan Sagena

16

Tentang Sebuah Lencana...

MEWUJUDKAN KEPEMIMPINAN BERKARAKTER DI DAERAH

PADA mulanya tulisan ini merupakan catatan untuk merefleksi pelaksanaan Diklat Sespim Pemdagri sebagai salah satu format baru diklat atau kursus kepemimpinan Kementerian Dalam Negeri dalam mengapresiasi tuntutan dan dinamika pemerintahan yang bergerak sangat dinamis serta sebagai upaya mendukung pengembangan kualitas layanan pemerintahan, utamanya pemerintahan di daerah. Tidak terkecuali dalam konteks kepemimpinan yang diperankan oleh birokrasi pegawai negeri sipil di berbagai tingkatan pemerintahan- khususnya yang berada di level strategis yang memiliki peran penting dalam mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggung jawab, atau dikenali juga dengan good governance. Namun demikian, pada setiap tingkatan tersebut tidak jarang kita temukan birokrasi yang masih cenderung kurang optimal bahkan masih jauh dari harapan masyarakat. Citra
17

Sufyan Sagena

pemimpin di ranah publik dewasa ini ternyata belum menunjukkan kepemimpinan yang melayani dan memberdayakan serta memberikan perlindungan kepada masyarakat, malah justru cenderung menampilkan sosok kepemimpinan yang ingin dilayani. Meminjam istilah Sadu Wasistiono, seorang guru besar bidang otonomi daerah, dalam ceramahnya mengatakan bahwa seorang pemimpin pada tingkatan strategis seharusnya mampu berperan memastikan orang-orang yang dipimpinnya termotivasi, dinamis dan berkembang secara efektif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Berbagai piranti sebenarnya telah memayungi seorang pegawai negeri sipil (PNS) ketika yang bersangkutan menjatuhkan pilihan menjadi birokrat, seperti; kode etik pegawai negeri sipil, nilai-nilai kepamongprajaan, serta asasasas umum pelaksanaan pemerintahan yang baik atau yang lebih dikenal sekarang sebagai etika pelayanan publik. Kesemua hal ini seharusnya dijadikan sebagai landasan kepemimpinan pegawai negeri sipil untuk melaksanakan tugas dan peran yang diemban dengan sebaik-baiknya, sehingga sumber daya yang tersedia - khususnya pada level strategis di daerah - dapat didayagunakan secara optimal untuk mewujudkan fungsi pemerintahan daerah secara efektif dan efesien.

18

Tentang Sebuah Lencana...

Pentingnya Kepemimpinan yang Berkarakter

Secara faktual, tantangan dan peluang di tingkat global berupa meningkatnya interdependensi dalam konteks hubungan internasional - baik hubungan antar negara, organisasi internasional dan regional, maupun hubungan antar warga negara yang semakin kompleks juga terjadi dalam konteks hubungan pusat dan daerah. Kesemuanya itu merefleksikan perubahan dan perkembangan yang signifikan sehingga juga memerlukan karakter khusus seorang pemimpin, seperti kecepatan dan kecermatan agar dapat tanggap menghadapi tantangan dan peluang yang semakin kompleks tersebut. Reformasi birokrasi yang digulirkan oleh Kementerian Dalam Negeri dewasa ini merupakan langkah strategis yang bertujuan untuk membentuk pemimpin-pemimpin dengan sederet karakteristik khusus, antara lain: mempunyai visi dan misi, memiliki external awareness, kreatif dan inovatif , kemampuan dalam berpikir strategis (strategic thinking/ planning), bersikap antisipatif atau tidak sekedar rutin dan reaktif, teguh dalam prinsip dan pendirian, rasional dan fleksibel dalam pendekatan, berorientasi pada pelayanan publik yang prima dan berkemauan untuk terus meningkatkan kemampuan diri sendiri. Nilai penting pelaksanaan Diklat Sepimdagri karena berisi pembelajaran secara lebih komprehensif mengenai pembangunan berkarakter dan pengelolaan sumber daya
19

Sufyan Sagena

regional, tanpa mengabaikan local realities dan local potential yang dapat membentuk daya saing daerah di tingkat regional dan internasional. Jika dicermati materi pembelajaran yang disajikan dalam diklat kepemimpinan ini, sangat relevan jika dikaitkan dengan pentingnya kepemimpinan yang visioner dan inovatif yang senantiasa challenge the process dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Kepemimpinan demikian idealnya akan dapat melahirkan masyarakat yang mandiri, mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat seiring dengan semangat otonomi daerah.
Bagaimana Seharusnya Kepemimpinan itu dijalankan

Berkenaan dengan upaya membangun tata kelola kepemerintahan yang baik tersebut, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri memiliki komitmen dan pandangan strategis bahwa keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan hanya dapat dicapai dengan penguasaan dan ketersediaan lima password kesuksesan - mengutip istilah Darmawan Salman, guru besar ahli ekonomi pembangunan Unhas - yaitu: 1). Strategi dan program yang inklusif, merata dan berkeadilan hanya dapat diwujudkan dengan hadirnya kualitas kepemimpinan (leadership) yang efektif dan bertanggungjawab, baik di pusat maupun di daerah.

20

Tentang Sebuah Lencana...

2). Adanya kebersamaan serta sinergi positif di antara semua pemangku kepentingan. Penggalangan kekuatan bersama dari unsur penyelenggara pemerintahan, dunia usaha, akademisi serta civil society (masyarakat sipil) adalah suatu keniscayaan bagi berhasilnya pembangunan karena pembangunan merupakan medan karya yang terbuka lebar bagi partisipasi seluruh anak bangsa, apapun posisinya, serta di mana pun ia berada. 3). Kontribusi dan dukungan masyarakat luas adalah modal sosial (social capital) yang tidak boleh absen dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Masyarakat akan terlibat aktif dalam setiap proses dan tahapannya, jika mereka merasa berkepentingan dan merasa memiliki. Dengan demikian, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus memberdayakan rakyat sebagai pelaku aktif dalam proses yang memerdekakan dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. 4). Integritas dan etika profesionalisme bagi para pemimpin dan penyelenggara pemerintahan dalam pembangunan merupakan hal yang harus dikedepankan. Oleh karena itu, seluruh jajaran pemerintahan sebagai pelaku pembangunan perlu senantiasa menjaga mentalitas, integritas dan etika profesionalisme setinggi-tingginya. Jangan pernah berpikir, apalagi tergoda untuk berkompromi dengan
21

Sufyan Sagena

integritas kita, utamanya menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi. 5). Mewujudkan lingkungan dalam negeri yang kondusif. Dalam pandangan ilmuan politik, Arbi Sanit, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan hanya akan berjalan lancar ketika stabilitas politik terjaga, keamanan dan ketertiban tidak terganggu, serta harmoni sosial tidak tercabik. Sebaliknya, pembangunan akan terus mengalami sandungan dan berjalan tertatih-tatih jika situasi politik terus bergejolak. Dinamika politik harus terus kita kelola agar iramanya tetap berjalan seiring dengan tujuan dan upaya pembangunan, tentu tanpa mengebiri kenyamanan kita dalam menikmati kebebasan berdemokrasi, yaitu demokrasi yang dipagari dengan aturan main yang adil dan konstitusional dan demokrasi yang tidak anarkis, serta yang tetap berjalan di atas rule of game dan rule of law dengan melaksanakan asas-asas umum penyelenggaraan kepemerintahan yang baik. Tataran ideal demikian seyogianya bisa mengantar bangsa Indonesia menuju cita-cita kemerdekaannya, yang masih harus kita teruskan secara tekun, penuh semangat, dan berkesinambungan. Untuk itu kita harus mampu memanfaatkan berbagai kesempatan dan menjawab setiap tantangan dengan kebijakan pembangunan dengan tepat, cerdas, dan efektif, serta meminimalisir konflik kepentingan. Setidaknya upaya-upaya yang lahir dari sana dapat memberi
22

Tentang Sebuah Lencana...

sumbangsih yang bermanfaat untuk turut memajukan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, khususnya untuk mempersiapkan pemimpin di daerah yang memiliki karakter dan beretos kerja yang tinggi di masa mendatang. Salah satu prinsip yang dapat diaplikasikan oleh seorang pemimpin adalah dengan membiasakan kebenaran dalam memberikan layanan pemerintahan dan meninggalkan pakem membenarkan kebiasaan sebagaimana sering dirujuk oleh sebagian besar insan birokrat selama ini baik disadari maupun tidak. *******

23

Sufyan Sagena

24

Tentang Sebuah Lencana...

MEMAKNAI KOORDINASI DAN PERMASALAHANNYA DENGAN BIJAK

ADA hal yang menarik ketika untuk pertama kalinya, pada hari Senin, 31 November 2009, setelah sekian kali pemerintah Kab. Majene mencoba menerapkan sebuah mekanisme evaluasi terhadap berbagai aktivitas yang telah diselenggarakan dalam kurun waktu tertentu selama ini. Hal yang menarik tersebut, setidaknya menurut penulis pribadi, adalah ketika hampir semua pimpinan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) Kab. Majene selaku peserta rapat koordinasi, untuk pertama kalinya bagaikan rombongan paduan suara, melakukan bedah kasus dan otokritik terhadap pelaksanaan aktivitas kegiatan program dan dana dekonsentrasi pemerintah Provinsi Sulawesi Barat yang khusus dialokasikan di wilayah Kab. Majene selama ini. Semua hasil akhir pembicaraan pimpinan SKPD tersebut berakhir pada kata tidak mengetahui baik semiresmi apalagi secara resmi, jika ternyata ada dana dan kegiatan
25

Sufyan Sagena

dekonsentrasi yang dilaksanakan melalui institusi yang dipimpinnya. Bahkan lebih miris lagi, ketika untuk beberapa persoalan yang bersifat kasuistik, ada beberapa dana dan kegiatan yang ditarik kembali oleh oknum pengelola di tingkat provinsi atau dalam bahasa sederhana diungkapkan, bahwa dana dekonsentrasi selama ini lebih tepat kalau dianggap dana rahasia. Pertanyaannya adalah, mengapa kondisi ini dapat terjadi di provinsi yang kita klaim bersama sebagai Provinsi Malabi ini? Apakah pucuk pimpinan di tingkat provinsi selaku CEO dari sebuah manajemen kepemerintahan Provinsi Sulawesi Barat tidak mengetahui hal tersebut? Di antara peserta rapat, ada yang berpendapat bahwa salah satu penyebab dari sekian banyak faktor yang berpengaruh dalam kondisi kekinian adalah faktor lemahnya koordinasi. Boleh jadi memang pendapat tersebut ada benarnya bahkan sangat kuat benarnya, bahwa hal yang paling mendasar dan urgen mendapat atensi lebih dari semua pihak pada tataran birokrasi pemerintahan disetiap level adalah, bagaimana memaknai kata koordinasi tersebut. Dalam banyak hal, kata tersebut begitu mudah dilafalkan bahkan menjadi satu frase permakluman yang sangat sering didengung-dengungkan oleh siapa saja pemilik kepentingan. Akan tetapi pada saat tataran implementasinya, seakan ada kekuatan gaib yang mampu menahan setiap orang yang hendak melakukan koordinasi dengan sebaiknya.
26

Tentang Sebuah Lencana...

Apa Arti Koordinasi dan Mengapa Cenderung Sulit Berkoordinasi?

Apa sebenarnya makna dari kata koordinasi ini? Secara sederhana, setelah mencoba menelaah Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang koordinasi kegiatan instansi vertikal di daerah, yang walaupun penetapannya jauh sebelum era desentralisasi pemerintahan dilaksanakan dan masih bernuansa sentralistik, akan tetapi landasan filosofis dan sosiologis ditetapkannya peraturan pemerintah ini justeru masih sangat relevan dengan kondisi kekinian di daerah, yaitu dalam rangka tertib penyelenggaraan kepemerintahan di daerah dan demi terwujudnya keserasian serta keberhasilan pembangunan di daerah. Berdasarkan defenisi koordinasi yang diketengahkan di atas, sekiranya secara ekstrim dibahasakan bahwa apabila ada oknum yang dengan sengaja mengingkari aplikasi koordinasi dengan bijak, maka itu sama artinya ia telah melakukan sebuah pengingkaran atas kaidah hukum yang telah dilegalisasikan secara hukum positif dalam ranah pembangunan bidang hukum dan kepemerintahan. Memang, secara empirik cukup susah menemukan jawaban yang tepat dan pasti, mengapa orang cenderung sulit mengaplikasikan kata koordinasi tersebut. Boleh jadi sebagaimana yang pernah penulis angkat dalam tulisan sebelumnya tentang kriteria orang yang menolak proses perubahan, meminjam istilah John P. Kotter dalam What Leaders Really Do- bahwa orang yang cenderung masih
27

Sufyan Sagena

sulit berkoordinasi bisa dnilai sama dan sebangun dengan sifat orang-orang yang menolak proses perubahan berlangsung secara normal. Mengapa demikian? Karena, karakter dan sifat orang yang sulit melakukan koordinasi dengan karakter dan sifat orang yang menolak perubahan, keduanya secara pisikologis memiliki kecenderungan didominasi oleh keresahan dan kecemasan, atau mungkin saja jika yang bersangkutan secara sadar merasa tidak mampu bertahan dalam pusaran perubahan itu sendiri. Permasalahan koordinasi dengan berbagai variannya, sebenarnya bukan hanya didominasi oleh disharmoni tata hubungan kepemerintahan antara provinsi dengan kabupaten/ kota saja, namun juga dalam level internal kepemerintahan kabupaten/kota, pun persoalan koordinasi ini masih menjadi bahan diskusi pemetaan suatu kelompok - antara kelompok yang senang dengan koordinasi tetapi dilacikan dengan kelompok yang selalu berupaya memberi spirit perubahan pada setiap aktivitas yang dilaksanakantanpa memandang siapa aktor yang mengawali melakukan koordinasi. Barangkali memang dibutuhkan sebuah spirit baru dalam kemasan cerdas secara emosional dalam mengusung proses take and give secara selaras dan lebih bermartabat dalam konteks koordinasi kepemerintahan tersebut. *******
28

Tentang Sebuah Lencana...

MEWUJUDKAN ETIKA KEPEMERINTAHAN

TUJUAN utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban yang memungkinkan masyarakat dapat menjalani kehidupannya secara wajar. Oleh karena itu, pemerintah diperlukan pada hakikatnya adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan kata lain, pemerintah tidak dibentuk untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat dapat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya, demi mencapai tujuan bersama. Dalam hal inilah, etika kepemerintahan sangat diperlukan ketika menjalankan tugas-tugas pelayanan tersebut.
Makna Etika Kepemerintahan

Konsepsi etika sebenarnya sudah lama diterima sebagai suatu sistem nilai yang tumbuh dan berkembang pada
29

Sufyan Sagena

peradaban manusia dan pada dasarnya etika berkenaan dengan serangkaian upaya yang menjadikan moralitas sebagai landasan bertindak dalam tatanan kehidupan yang kolektif. Nilai-nilai etika yang hidup dan berlaku dalam suatu masyarakat, bukanlah sekedar menjadi keyakinan pribadi bagi para anggotanya, akan tetapi juga menjadi seperangkat norma yang terlembagakan. Dengan kata lain, suatu nilai etika harus menjadi acuan dan pedoman bertindak yang membawa akibat dan pengaruh secara moral. Dalam etika kepemerintahan, terdapat asumsi yang berlaku bahwa melalui penghayatan yang etis dan baik, seorang aparatur akan dapat membangun komitmen untuk menjadikan dirinya sebagai teladan dalam kebaikan dan menjaga moralitas pemerintahan. Aparatur pemerintah yang baik dan bermoral tinggi, akan senantiasa menjaga dirinya agar dapat terhindar dari perbuatan tercela, karena ia terpanggil untuk menjaga amanah yang diberikan, melalui pencitraan perilaku hidup sehari-hari. Dalam lingkup profesi pemerintahan misalnya, ada nilai-nilai tertentu yang harus tetap ditegakkan demi menjaga citra pemerintah dan yang dapat menjadikan pemerintah mampu menjalankan tugas dan fungsinya. Diantara nilai-nilai tersebut, ada yang tetap menjadi bagian dari etika dan ada pula yang telah ditransformasikan ke dalam hukum positif. Misalnya, tindakan kolusi dengan kelompok tertentu, lebih tepat dipandang sebagai pelanggaran etika daripada pelanggaran hukum.
30

Tentang Sebuah Lencana...

Mengapa lebih cenderung kepada pelanggaran etika? Karena hukum belum secara rinci mengatur tentang bentuk pelanggaran yang umumnya berlangsung secara diam- diam dan tersembunyi. Oleh karena itu, seorang aparatur pemerintahan yang ketahuan melakukan tindakan kolusi, sekalipun tidak dapat selalu dituduh melanggar hukum, maka ia dinilai telah melanggar etika, sehingga secara profesional dan moral, aparatur tersebut dapat tetap dikenakan sanksi.
Etika dalam Tugas Pokok Kepemerintahan

Secara umum, tugas pokok kepemerintahan mencakup tujuh bidang pelayanan, akan tetapi dapat lebih difokuskan lagi menjadi tiga fungsi yang utama, yaitu: pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan (development). Dipandang dari sudut etika, keberhasilan seseorang dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang diamanahkan, haruslah dapat diukur dari ketiga fungsi utama tersebut. Pelayanan yang baik akan membuahkan keadilan dalam masyarakat, pemberdayaan yang setara akan mendorong kemandirian masyarakat, dan pembangunan yang merata akan menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, etika pemerintahan seyogianya diterapkan dalam upaya mencapai misi tersebut, artinya setiap tindakan yang dinilai tidak sesuai, atau dianggap tidak mendukung, apalagi jika dirasakan dapat menghambat
31

Sufyan Sagena

pencapaian misi dimaksud, seyogianya dianggap sebagai satu pelanggaran etika. Pegawai pemerintah yang malas masuk kantor, misalnya, yang tidak secara sungguh-sungguh melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya, minimal dapat dinilai telah melanggar etika profesi pegawai negeri sipil. Demikian pula mereka yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan, dan merugikan kepentingan umum, pada hakikatnya telah melanggar etika kepemerintahan. Adalah penting bagi suatu kepemerintahan pada level manapun, untuk memiliki pedoman tentang landasan etika bagi para aparatnya dalam rangka mengemban tiga fungsi kepemerintahan. Hanya dengan modal dasar kepribadian yang baik, aparatur pemerintahan dapat dibina lebih lanjut agar membangun komitmen moral yang lebih spesifik untuk mentaati nilainilai etika profesinya. Pada saat yang sama, kewenangan-kewenangan yang melekat pada kekuasaan pemerintahan perlu disusun dan dibagi ke dalam struktur-struktur yang mengikat secara kolektif, saling membatasi, saling mengawasi, dan saling terkait satu sama lain, sebagai satu mata rantai yang saling menguatkan. Sehingga dengan memperkuat kepribadian dan berupaya mengakomodir kepribadian yang baik ke dalam sistem yang baik, dan kecenderungan terjadinya
32

Tentang Sebuah Lencana...

power abuse akan dapat ditekan sampai pada tingkat terendah.


Menegakkan Etika demi Kepemerintahan yang Bersih

Berdasarkan pemahaman konteks tersebut di atas, maka seorang aparatur pemerintahan seyogyanya menjadikan dirinya sebagai teladan di dalam pelaksanaan etika, hukum dan konstitusi. Dengan kata lain, sudah bukan waktunya lagi, pemerintah dapat begitu saja mengambil hak milik orang lain tanpa kewenangan yang jelas dan disertai pemberian imbalan atau ganti rugi yang wajar. Singkatnya, setiap warga masyarakat berhak memperoleh pelayanan dan perlakuan yang adil dari aparatur pemerintahan berdasarkan nilai-nilai etika dan hukum yang berlaku. Dengan demikian, etika pemerintahan tidaklah berdiri sendiri, karena penegakannya terjalin erat dengan pelaksanaan prinsip penerapan hukum. Itulah sebabnya, untuk mencapai kepemerintahan yang bersih, dengan segala tingkah laku dan produk kebijakan yang berangkat dari komitmen moral yang kuat, hanya akan dapat dinikmati jika pemenuhan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat dilaksanakan dengan dengan lebih baik bersadarkan etika pemerintahan yang sebenarnya. ******* Catatan: Tulisan ini adalah review atas buku Makna pemerintahan:
Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Muh. Ryaas Rasyid (2000). 33

Sufyan Sagena

34

Tentang Sebuah Lencana...

MENERAPKAN TRANSPARANSI DALAM PELAYANAN PUBLIK

MUNGKIN sulit untuk dipungkiri bahwa baik di negara maju maupun di daerah-daerah negara-negara berkembang, posisi sebagai birokrasi di pemerintahan masih mendominasi sebagian besar aspek kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peran yang dijalankan oleh pemerintah, mulai dari peran mengatur kehidupan masyarakat (regulative), melindungi masyarakat (protective), mendistribusikan sumber daya kepada masyarakat (distributive), sampai pada pemberian pelayanan umum (public service). Dengan berbagai peran tersebut, tidak heran ketika Stiglitz yang dikutip dalam tulisan Ermawan Agus Purwanto (2006) mengeluarkan pernyataan bahwa from birth to death, our lives are affected in countless ways by activities of government!. Asumsi itu mungkin ada benarnya ketika kita menyadari bahwa hampir seluruh kehidupan kita dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan
35

Sufyan Sagena

pemerintah, baik secara langsung atau tidak langsung, pun disadari atau tidak disadari. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, dominasi birokrasi dalam berbagai aspek dalam kondisi kekinian mulai dipertanyakan. Munculnya buku Reinventing Government oleh Osborne dan Gaebler (1992) menjadi momen monumental di penghujung abad dua puluh yang menggungat berbagai dimensi dan sepak terjang birokrasi yang selama ini telah ditasbihkan sebagai sesuatu yang given. Karena itulah, sepak terjang pemerintah kini semakin disoroti oleh khalayak ramai, salah satunya yang terpenting adalah terkait dengan masalah transparansi pelayanan publik yang akan diulas dalam tulisan sederhana ini
Transparansi Pelayanan Publik: Konsep dan Arti Pentingnya

Transparansi merupakan konsep yang sangat penting dan menjadi semakin penting seiring dengan semakin kuatnya keinginan untuk terus mengembangkan praktik good governance yang mensyaratkan adanya ruang khusus transparansi dalam seluruh proses penyelenggaraan kepemerintahan dan pelayanan kemasyarakatan. Dengan kata lain, kepemerintah pada setiap tingkatan, terutama pada level layanan yang bersentuhan langsung dengan penerima manfaat layanan, dituntut untuk terbuka dan membuka ruang yang dapat diakses oleh para stakeholders terhadap berbagai sumber informasi dalam proses kebijakan
36

Tentang Sebuah Lencana...

publik, alokasi anggaran untuk pelaksanaan kebijakan, serta pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan kebijakan tersebut. Namun apakah yang sebenarnya dimaksud dengan transparansi dalam pelayanan publik ? Barangkali jawabannya akan seringkali kurang jelas dan cenderung tumpang tindih dengan aspek- aspek good governance lainnya, seperti akuntabilitas dan responsibility. Akan tetapi, konsepsi transparansi lebih pada aspek yang menunjukkan pada suatu kondisi dimana segala aspek dari seluruh proses penyelenggaraan pelayanan dapat bersifat terbuka dan dapat diketahui dengan mudah oleh para pengguna layanan dan stakeholders yang membutuhkannya. Jika saja segala aspek proses penyelenggaraan pelayanan, seperti : persyaratan, biaya dan waktu yang diperlukan, cara pelayanan, dan hak dan kewajiban penyelenggara, serta pengguna layanan- dapat dipublikasikan secara terbuka atau diakses dengan mudah sehingga mampu dipahami dengan benar oleh masyarakat luas, maka praktik penyelenggaraan pelayanan itu dapat dinilai memiliki tingkat transparansi yang tinggi. Sebaliknya, sekiranya sebagian atau lebih banyak item tersebut cenderung sulit diperoleh informasinya dan terkesan tertutup, maka penyelenggaraan layanan dapat dinilai belum memenuhi kaidah transparansi.
37

Sufyan Sagena

Dengan demikian, minimal tiga pakem utama seperti; 1) informasi tentang persyaratan, 2) biaya dan waktu yang dibutuhkan, dan 3) hak serta kewajiban yang diusahakan bisa berimbang dan proporsional, maka ia seharusnya menjadi brand dari setiap insan pengelola layanan kemasyarakatan .
Penerapan Transparansi dalam Pelayanan Publik

Transparansi dalam pelayanan publik dapat ditinjau melalui sejumlah informasi mengenai pelaksanaan layanan oleh pemerintah - misalnya alasan yang melatar belakangi tindakan, bentuk tindakan yang diharuskan, dan waktu serta cara melakukan tindakan tersebut - harus tersedia bagi seluruh stakeholders dan masyarakat luas. Melalui akses terhadap berbagai informasi tersebut, maka secara tidak langsung dapat menumbuhkan kepedulian masyarakat untuk turut menilai sejauh mana keberpihakan pemerintahnya dalam mengakomodir kebutuhan dasar yang selama ini menjadi harapan masyarakat. Mengenai alokasi anggaran, misalnya, masyarakat dan stakeholders berhak memperoleh informasi dari mana sumber anggaran diperoleh, berapa jumlah dana yang dialokasikan, dan apakah pemerintah akan membelanjakan anggaran tersebut untuk kepentingan masyarakat luas ataukah hanya untuk sekelompok orang tertentu yang diasumsikan akan memberikan keuntungan daur ulang bagi

38

Tentang Sebuah Lencana...

dirinya sendiri ataukah hanya untuk kepentingan oknumoknum aparat layanan tertentu saja. Lebih dari itu, masyarakat dan stakeholders juga perlu mengetahui, apakah kebijakan yang diterapkan tersebut beserta sejumlah resourches yang mendukungnya, benarbenar akan menghasilkan kinerja yang terukur sesuai yang diharapkan atau tidak. Pengalaman adalah guru terbaik, kata orang bijak, dan karena alasan tertentu, banyak kebijakan yang telah direncanakan tidak dapat dijalankan seperti yang direncanakan maupun banyak belanja yang digelontorkan tetapi tidak seperti yang diharapkan. Hal-hal demikian yang seharusnya dapat dihindari sebagai usaha mewujudkan transparansi kepemerintahan dalam pelayanan publik. Masalah transparansi, sekali lagi, tidak hanya penting dalam penyelenggaraan kepemerintahan saja, tetapi yang lebih penting adalah aspek pelayanan publik itu sendiri. Sebab, dalam banyak kasus, masih sering terjadi seperti yang digambarkan oleh Agus Dwiyanto (2006), dimana penerima layanan/masyarakat dan stakeholders bagaikan memasuki hutan belantara yang sangat sulit dilalui, kebanyakan bahkan hampir semua pengguna layanan tidak mengetahui sejumlah persyaratan yang harus dipersiapkan, tidak mengetahui apa hak dan kewajibannya secara berimbang. Malah yang dominan dirasakan oleh mereka adalah daftar kewajiban yang banyak tersaji di beberapa papan pengumuman tentang prosedur layanan, akibatnya
39

Sufyan Sagena

masyarakat tidak dapat berbuat sesuatu karena haknya sebagai penerima layanan sering tidak diatur dalam prosedur yang ditetapkan tersebut. Keadaan ini menunjukkan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban penerima layanan dengan penyelenggara layanan, dan hal tersebut mengindikasikan beberapa hal, antara lain : 1. Menunjukkan betapa lemahnya posisi tawar masyarakat selaku pemberi mandat pelayanan justru di hadapan penerima mandat itu sendiri. 2. Menunjukkan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban yang sering ditemukan, menunjukkan inkonsistensi sikap - karena dalam berbagai kesempatan, sering dikatakan bahwa prosedur pelayanan sudah ditempelkan di lokasi-lokasi yang mudah terbaca - namun tidak disadari bahwa prosedur yang dicantumkan itu lebih banyak mengatur kewajiban penerima layanan ketimbang hak-hak mereka. Jika demikian adanya, barangkali kita semua masih perlu menilik kembali ilmu pengetahuan layanan yang telah dipelajari dalam berbagai diklat yang pernah diikuti - tanpa harus melakukan studi banding dan sejenisnya- agar keseimbangan antara hak dan kewajiban antara penyelenggara layanan dan pengguna layanan dapat terwujud secara proporsional dan profesional. *******
40

Tentang Sebuah Lencana...

BENARKAH SKPD PEMPROV SULBAR LEMAH ?

ADA dua hal yang patut dicermati pada hari Rabu 16 Desember 2009, paling tidak bagi penulis ataupun mungkin juga para pemerhati layanan pemerintahan di jazirah Mandar ini. Mengapa? Karena ternyata pada hari yang sama, terjadi dua moment yang saling terkait. Pertama, di media cetak utama masyarakat Sulbar secara mencolok mencantumkan pernyataan gubernur Sulbar pada halaman utama kolom Radar Mamuju dengan kalimat yang sangat memiriskan pembaca, Anwar Akui SKPD Masih Lemah. Kedua, pada saat mengikuti kunjungan kerja Komisi III DPRD Sulbar yang kebetulan menjadwalkan untuk mengunjungi Kab. Majene dan akan dilanjutkan di Kab. Polman. Mengapa keduanya menjadi menarik untuk dicermati? Pertama, untuk kesekian kalinya (berdasarkan yang penulis baca lewat media ) bapak Gubernur Sulawesi Barat selaku CEO (Chief Executive Officer) pemerintahan di provinsi
41

Sufyan Sagena

malabi ini kembali mencakar muka sendiri atau mambattai kanunus sendiri menurut Bahasa Mandar karena dengan gamblang membeberkan kekurangan dan kelemahan anak sendiri yang nota bene siang malam berada dalam pengasuhan sendiri, dalam sebuah rumah besar yang namanya Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat. Curhat itu, atau apalah namanya, tentu saja sangat mengherankan sekaligus menggelikan, karena ternyata hingga lima tahun kita berSulbar, kita masih senantiasa mengeluhkan kelemahan anak sendiri. Apanya yang salah? Apakah selama ini tidak dilakukan pembinaan yang serius? Mengapa mengurus anak sendiri saja menjadi tidak mampu? Saya khawatir, di antara kita sebagai masyarakat awam, akan melanjutkan pertanyaan berikut sedang membina anak sendiri saja tidak becus, bagaimana mampu mengurus yang lain? - yang mungkin atau tentu saja lebih besar, lebih berat, lebih sulit, lebih luas dan lebih segala-galanya. Masalah kedua adalah ketika mengikuti acara penerimaan kunjungan kerja Komisi III DPRD Sulbar di Kab. Majene. Dalam sesi tanya jawab, ketua rombongan maupun beberapa anggota Komisi III yang terhormat mengatakan, bahwa salah satu tujuan utama kunjungan kerja ini sekaligus dengan membawa beberapa SKPD Provinsi Sulbar yang terkait (hanya pak Thamrin Syakur selaku Kadis Perhubungan yang hadir), memaklumkan bahwa disamping untuk menyerap aspirasi yang terkadang tidak nyambung
42

Tentang Sebuah Lencana...

selama ini, yang paling utama adalah Komisi III mencoba menjadi mediator terbangunnya persepsi yang sama. Kunjungan tersebut ibarat membuktikan bahwa sebenarnya harga sebuah koordinasi yang selama ini terasa sangat mahal dan sangat sulit dilakukan ternyata bukanlah sesuatu yang perlu dimitoskan. Terbukti hal tersebut bisa terjadi sepanjang ada keinginan untuk take and give antara satu sama lain secara bermartabat. Dari perspektif in, patutlah kita memberikan apresiasi positif kepada DPRD Sulbar yang mencoba membantu menyelesaikan kerancuan manajemen pemerintahan yang selama ini sebenarnya sudah dirasakan oleh daerah-daerah dan bahkan dalam banyak momen sering disuarakan oleh para Kepala Daerah masing- masing.
Saatnya Mengusung Asas the Right Man on the Right Place

Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari dua momen itu ? Pada konteks pertama yang tersebut di atas, tanpa bermaksud menggurui karena memang tidak dalam kapasitas itu, seyogianya tidak perlu seorang pimpinan terlalu sering meramu ungkapan yang sejatinya dapat menurunkan spirit dan melemahkan nyali dari aparat yang menjadi binaannya. Yang diharapkan justeru agar pemimpin dan seluruh aparat senantiasa meng-up-grade kapabilitasnya untuk membangun harga diri pemerintah, memacu potensi yang dimiliki, serta memotivasi setiap aparat agar dapat berkarier dengan tenang dalam suasana yang relatif kondusif, serta tidak setiap saat digelisahkan dengan ancaman mutasi yang
43

Sufyan Sagena

dapat mengebiri kreativitas para aparat. Bukankah kekurangan aparat yang menjadi binaan kita juga menjadi cerminan kekurangan pimpinan dalam mengeksplorasi potensi yang dimiliki? Sudah saatnya, simpul-simpul yang selama ini sering memasung kreativitas pengelolaan layanan pemerintahan yang menimbulkan disharmoni antara level kepemimpinan, dibuka kembali dan saatnya lebih mengedepankan ruang sharing yang fair. Demikian pula dengan perhatian untuk mewujudkan keseimbangan antara layanan dasar yang secara prioritas dibutuhkan oleh masyarakat, dengan kapabilitas pengelola layanan sehingga diharapkan mampu mengeleminir potensi munculnya oknum pengelola layanan yang tertatih-tatih menjalankan tugas dan fungsi-fungsi pelayanannya. Kita semua mestinya bersikap optimis, bahwa kualitas dan kapabilitas personal yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Sulbar adalah lebih dari cukup untuk dapat mengelola layanan pemerintahan dengan baik. Diantara sekian banyak jumlah personil yang dimiliki, mungkin terdapat sejumlah mutiara-mutiara yang belum pernah tersentuh, belum pernah dilirik, belum pernah diberdayakan secara proporsional, sehingga kualitas, kapabilitas, dan aksesibilitas yang dimiliki juga dengan sendirinya belum sempat berkilau. Hal-hal seperti ini juga mestinya mendapat perhatian lebih dari pucuk pimpinan ketimbang mengeluh atau mengeluar44

Tentang Sebuah Lencana...

kan statement yang bisa menjatuhkan moral para aparat yang dipimpinnya. Untuk konteks masalah kedua di atas, tidak berlebihan rasanya, penulis sebagai warga masyarakat Sulawesi Barat melalui tulisan ini kembali berandai-andai: andai pemerintah Provinsi Sulawesi Barat sempat berpikir untuk mulai menerapkan manajemen layanan pemerintahan dengan benar dan mengusung asas the right man on the right pleace secara proporsional, andai dengan mata hati yang jernih memberikan peluang kepada mutiara- mutiara yang masih terpendam dan mungkin terselip di jajaran Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat untuk berkiprah dengan garansi kepastian atas reward dan bukan dengan rekruitmen yang didasari atas like and dislike yang bermuara pada prinsip asal bapak senang, maka keluhan seperti ungkapan bapak Gubernur tersebut di atas, diyakini tidak sering kita dengar bersama. Bukankah kita telah miliki sejumlah regulasi yang mengatur secara baku proses dan mekanisme rekruitmen birokrasi pada setiap jenjang dan level? Namun mengapa kita seringkali tega untuk memasukkannya dalam laci hanya karena kepentingan sesaat? Praktek-praktek demikianlah yang sesungguhnya melemahkan spirit pembangunan itu sendiri Sebenarnya, dalam beberapa kasus, sering kita temukan bahwa salah satu penyebab kemandulan kreativitas dari aparat pengelola layanan pemerintahan adalah ketika
45

Sufyan Sagena

pada saat yang bersamaan beberapa aparat dengan mata telanjang menyaksikan praktek pembiaran. Hal tersebut sering terjadi dan lalu lalang di depan mata awam bahkan di depan mata pengambil kebijakan, namun praktek-praktek tersebut dibiarkan berlalu tanpa disertai upaya pembinaan yang lebih bijak, santun dan bermartabat bukan dengan menebar teror ancaman mutasi yang pada galibnya merupakan kebiasaan kontra produktif dalam pemerintahan.
Tidak Cukup Hanya Mengeluh

Dengan seringnya kita membaca kegalauan dari seorang CEO pemerintahan di level provinsi, apakah ini dapat dinilai sebagai indikator bahwa pemimpin belum mengelola SDM aparatnya dengan benar ? Mungkin saja, karena kesibukan dengan rutinitas seperti biasanya, lantas kita semua melalaikan menerapkan kearifan dalam membina anak sendiri. Bukankah dalam banyak referensi kontemporer dewasa ini dengan mudah kita dapati bahwa salah satu kata kunci keberhasilan dalam manajemen kepemimpinan adalah bagaimana seorang leader mampu menanam pengaruh, memberi sugesti dan motivasi untuk mengangkat harkat, martabat dan harga diri orang yang berada dalam jangkauan kewenangannya. Semua ini merupakan prasyarat keberhasilan seorang leader dalam mengelola kepemimpinannya pada setiap tingkatan.

46

Tentang Sebuah Lencana...

Sekali lagi, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menggurui, tetapi berasal dari kehawatiran PNS kecil yang ada di daerah yang sering membaca kegalauan dengan lakon yang kurang elok dan kurang bijak - paling tidak meminjam istilah bapak Thamrin Syakur (Kadis Perhubungan Sulbar), seorang pamong senior ketika mendampingi Komisi III DPRD Sulbar dalam acara dimaksud - bahwa semua orang tidak perlu kebakaran jenggot dan tersinggung ketika mendengar keluhan teman-teman di daerah karena boleh jadi itu memang benar-benar terjadi dan ke depan menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memperbaikinya. Tidak cukup hanya mengeluh, yang dibutuhkan adalah melaksanakan seluruh komitmen yang pernah dibuat dalam menata provinsi ini menjadi lebih malabi: malabi pamarentana- malabi pabanuana, yakni menjadi provinsi yang bermartabat pemerintahnya, bermartabat rakyatnya. *******

47

Sufyan Sagena

48

Tentang Sebuah Lencana...

MENCERMATI KERESAHAN PEJABAT STRUKTURAL YANG MENJADI KORBAN KEBIJAKAN YANG TIDAK AKURAT

IMBAS yang dirasakan oleh sejumlah personil Pegawai Negeri Sipil atas pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang penataan organisasi perangkat daerah, menjadi semakin meresahkan dan menyesatkan mereka, khususnya jajaran pemerintah Kab. Majene. Bukan kegembiraan yang dirasakan atas kebijakan kenaikan tunjangan dan biaya hidup, atau berubahnya posisi yang harus ditinggalkan karena perintah regulasi dimaksud, akan tetapi justeru keresahan dan kehawatiran akan ketidakpastian nasib maupun resiko yang harus ditanggung oleh mereka, walaupun hal itu bukan karena akibat pekerjaan mereka. Kehawatiran yang dirasakan itu menjadi bahan diskusi dan dialog terbatas antar beberapa personil, yang kesemuanya mempertanyakan nasib mereka. Tidak terkecuali dengan penulis yang telah didatangi beberapa orang calon korban yang datang dengan beragam ekspresi. Mereka
49

Sufyan Sagena

mempertanyakan - kalau itu tidak mau disebut sebagai mengkonsultasikan- karena ada sebagian aparat birokrasi yang malah alergi ketika diharuskan untuk melakukan koordinasi dan konsultasi tentang sesuatu hal kepada orang lain. Menurut pandangan penulis, kekhawatiran tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi apabila semua pihak bersedia menerapkan prilaku positif dalam kehidupan keseharian khususnya yang terkait dengan aktivitas kedinasan. Terutama harus diawali dari level manajemen yang bertanggung jawab menerjemahkan kebijakan yang digariskan oleh pimpinan ataupun jajaran manajemen yang berkompeten merumuskan dan membuat regulasi atas sebuah kebijakan yang telah diputuskan oleh manajemen puncak. Salah contoh yang menurut sebagian orang dapat menyesakkan dada bagi mereka yang kebetulan terkena imbas kelalaian ini, adalah dengan mudahnya sebuah keputusan tertulis (misalnya sebuah surat keputusan/SK) dapat dengan mudah dianulir oleh sebuah produk kebijakan yang derajatnya lebih rendah dari keputusan itu sendiri, (misalnya penerbitan surat perintah melaksanakan tugas) pada tempat tertentu yang diberikan kepada seseorang. Padahal yang bersangkutan tersebut telah menerima Surat Keputusan/SK pengangkatannya menjadi pejabat struktural beberapa waktu sebelumnya, lengkap dengan surat pernyataan pelantikan. Mencermati permasalahan di atas, maka ada beberapa hal yang cenderung dapat terjadi, antara lain :
50

Tentang Sebuah Lencana...

1. Tidak tertutup kemungkinan, akan cenderung terjadi kekosongan jabatan tertentu, karena tidak pernah ditempati oleh oknum yang telah dipindahkan melalui surat perintah tersebut- sehingga ini dapat dianggap menghambat orang lain menduduki jabatan struktural dimaksud; 2. Tidak tertutup kemungkinan, akan cenderung terjadi seorang pejabat struktural yang menerima surat keputusan pengangkatannya (yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya) menanggung resiko dikemudian hari. Sekiranya hal demikian benar adanya, maka yang bersangkutan dikhawatirkan akan menderita kerugian materil, misalnya kewajiban mengembalikan sejumlah uang yang telah diterima pada jabatan struktural tersebut karena surat keputusan yang terbit dan diterima kemudian ternyata tidak sama dengan tempat dimana yang bersangkutan telah melaksanakan sejumlah aktivitas tugas kedinasan dan telah memperoleh jasa di dalam pelaksanaan tugas tersebut; 3. Tidak tertutup kemungkinan, ada job jabatan yang diduduki oleh dua orang atau lebih pejabat struktural, karena masing-masing memperoleh Surat Keputusan Bupati yang tidak disertai dengan keterangan pernyataan pelantikan dan keterangan menduduki jabatan- sebagaimana lazimnya ketika seorang pejabat
51

Sufyan Sagena

struktural selesai mengikuti pelantikan jabatan struktural pemerintahan. Memperhatikan permasalahan yang terjadi di atas, tentu menimbulkan beragam pertanyaan, jika disederhanakan pertanyaan itu semuanya mengarah pada: mengapa mesti terjadi hal demikian? Mengapa ada oknum pegawai negeri sipil yang berani tidak melaksanakan perintah surat keputusan? Bukankah organisasi perangkat daerah ini telah dilengkapi dengan sejumlah sumber daya? Ataukah memang sebahagian kita sekarang, sekedar belajar berbuat benar saja sudah menjadi barang langka? Dan beberapa kalimat tanya lainnya yang mungkin tidak pernah bebas keluar dari kerongkongan sebagian orang! Untuk membedah dan sekedar mencoba sharing pembelajaran dalam mengantisipasi kecenderungan terjadinya pengulangan yang sama, sebenarnya ada beberapa hal sederhana dapat dimaksimalkan oleh siapa saja yang berkepentingan, antara lain: 1. Maksimalkan koordinasi Memang harus diakui bahwa koordinasi merupakan ungkapan yang paling laris manis diucapkan oleh siapa saja ketika sebuah produk atau kebijakan baru berada pada tataran sosialisasi. Akan tetapi, kata koordinasi menjadi sebuah jenis produk yang paling mahal ketika sudah berada pada area aplikasi. Mengapa demikian
52

Tentang Sebuah Lencana...

? salah satunya barangkali, karena sebagian orang belum terbuka menerima dengan bijak pendekatan atau kelebihan pihak lain sehingga lebih cenderung untuk jalan sendiri-sendiri. 2.
Mengoptimalkan sinergitas

Sinergitas sejatinya bukanlah barang baru dalam proses interaksi antar manusia akan tetapi pemaknaannya lebih bernas dalam banyak referensi manajemen kekinian. Tidak banyak orang yang dapat dengan bijak memaknai sinergitas itu agar menjadi lebih faktual. Mengapa demikian ? Salah satunya barangkali, karena sebagian orang belum sepenuhnya berhijrah untuk hidup pada era kekinian dan masa depan, melainkan masih cenderung hidup pada masa lalu yang lebih cenderung mengabaikan hubungan-hubungan sinergis dengan pihak dan hanya bertumpu pada dirinya sendiri. Sekiranya hal-hal yang demikian itu tetap dipelihara, tidak perlu bersusah payah mencari kambing hitam penyebabnya. Kemungkinan yang akan ditemukan adalah jawaban miris dari beberapa individu aparat birokrasi, dengan meminjam parodi dunia pendidikan kalau guru masih biasa kencing berdiri- jangan salahkan kalau muridnyapun masih mudah untuk kencing sambil berlari- lari . Dengan arti lain, apa yang menjadi contoh dari tingkat atasan akan mudah ditiru atau diikuti oleh tingkat bawahan, termasuk
53

Sufyan Sagena

ketika atasan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak akurat sehingga membingungkan atau malah meresahkan pihakpihak lain, maka yang menjadi korban adalah bawahannya sendiri. Kondisi ini semua bisa berpengaruh negatif pada aspek-aspek lainnya dalam tata pemerintahan daerah. *******

54

Tentang Sebuah Lencana...

Bagian Dua
Tentang Lencana dan Pintu Masuk Perubahan

55

Sufyan Sagena

56

Tentang Sebuah Lencana...

SELAMAT DATANG CALON PELAYAN MASYARAKAT

BEBERAPA Senin yang lampau, tidak seperti biasanya, halaman kantor Bupati Majene sebagai simbol pelayanan kepemerintahan daerah, terasa ada yang lain dari biasanya. Di samping upacara bendera yang rutin dilaksanakan setiap hari Senin, saat tersebut sekaligus dijadikan sebagai momentum penerimaan secara resmi calon Pegawai Negeri Sipil daerah formasi penerimaan tenaga tidak tetap maupun penerimaan umum tahun 2008. Lantas apa yang lain dari kebiasaan rutin pada hari itu? Barangkali yang lain adalah bahwa mereka yang baru memasuki gerbang masa depan selaku pelayanan masyarakat itu hanya diterima dengan sebuah upacara yang sangat sederhana - maaf - sesederhana harapan mereka yang telah lama mewakafkan dirinya menjadi tenaga sukarela di berbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah. Salah seorang di antara kami yang kebetulan mengikuti upacara itu sempat
57

Sufyan Sagena

bertanya dengan lirih, katanya, mengapa kita selaku PNS tidak mencoba belajar kebiasaan yang sudah menjadi tradisi khusus pada institusi lain (sebut saja TNI dan POLRI ketika menerima kadet baru) di lingkungan satuan masing-masing ? Tanpa bermaksud menghidupkan nilai militerisme yang menjadi momok menakutkan untuk sebagian orang sipil seperti; upacara khusus penerimaan dengan lambanglambang kebesaran organisasi, sampai pada beberapa atribut penerimaan berupa pemasangan topi ke pamong prajaan, dan beberapa acara yang dapat dimodifikasi khusus. Tujuannya semata-mata untuk memberikan sugesti kepada setiap individu calon pelayan masyarakat agar mereka sadar bahwa menjadi PNS sejatinya bukan perkara mudah dan gampang. Bukan hanya cukup nama mereka tercantum dalam data base, tetapi profesi menjadi PNS adalah sebuah pilihan hidup yang seharusnya sudah dipertimbangkan secara seksama. Terus terang, pertanyaan inilah yang mengilhami penulis untuk mencoba urung rembug dengan beberapa penilaian yang diharapkan dapat menjadi pelecut dan motivasi bagi peningkatan kualitas sumber daya pelayanan kepemerintahan sekarang dan yang akan datang. Mengapa dinilai perlu meniru tradisi di dua institusi tersebut? Jawaban sederhananya, minimal sejak dini dapat tertanam jiwa korps PNS di setiap individu calon pelayan masyarakat tersebut.
58

Tentang Sebuah Lencana...

Bagaimana Seharusnya Bersikap

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa kehadiran calon pelayanan masyarakat ini berasal dari hasil rekruitmen yang diperoleh dari dua sumber berbeda. Pertama, sebahagian diperoleh dari hasil pelamar umum dan selebihnya bersumber dari tenaga sukarela yang sebagian telah lama mengabdikan dirinya di beberapa satuan kerja perangkat daerah yang ada. Apa korelasi yang dapat dipetik dari prosesi penerimaan yang sederhana tersebut atau prosesi penerimaan secara khusus ala TNI atau POLRI? Sebagaimana yang telah disebutkan di awal tulisan ini, minimal yang diperoleh adalah tertanamnya sejak dini jiwa korps di antara individu CPNS tersebut atau ada beberapa tujuan tertentu yang dapat diupayakan, antara lain : a. Lebih awal dapat memiliki standar sikap dan perilaku yang loyal terhadap tugas pokok dan fungsi selaku abdi masyarakat dan abdi negara; b. Lebih awal dapat memiliki standar kedisiplinan terhadap pelaksanaan setiap tugas pokok dan fungsi yang telah dilembagakan; c. Lebih awal dapat memiliki standar mentalitas terhadap pelaksanaan setiap tugas pokok dan fungsi yang telah dilembagakan;

59

Sufyan Sagena

Penutup

Saya tidak ingin menutup tulisan ini dengan sejumlah simpulan, tetapi sekiranya ungkapan seandainya ditakdirkan untuk menjadi alasan pembenar yang konstitusional, maka marilah kita mencoba berandai-andai tentang sesuatu yang ideal dapat terjadi di negeri malabi pau- malabi kedzo ini. Seandainya rekruitmen calon pelayan masyarakat ini sejak awal dibagi dua pintu penerimaannya - katakanlah mencoba meniru penerimaan sejumlah BUMN level nasional dan multi nasional - yaitu pertama, lewat pintu calon pegawai/staf biasa, yang muaranya diharapkan menjadi calon pegawai pada level staf selama mengabdi. Kedua, lewat jalur calon pegawai/ staf pimpinan, yang muaranya dipersiapkan menjadi calon direksi mulai level medium manajemen sampai dengan top manajemen pada organisasi itu. Mengapa perspektif seandainya ini yang didahulukan? Asumsi sederhananya, dapat dengan mudah kita temukan pada BUMN yang memiliki indikator kinerja secara akurat, bukan lagi cuma out put dan out come yang terukur akan tetapi perspektif benefit-nya juga secara multi prospek dapat dirasakan oleh pengguna layanan manajemennya. Pertanyaannya adalah, kalau sebuah contoh sukses terpampang dengan gamblang di depan mata kita, mengapa kita masih enggan memberikan apresiasi? Konon, ungkapan yang sering terlontar dari para senior pelayan
60

Tentang Sebuah Lencana...

masyarakat di masa kekinian in adalah karena kita bekerja harus punya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk tekhnis, alias juklak dan juknis ! Tidak heran memang, jika kemudian dalam proses perjalanan sebuah kebijakan terasa begitu lama dinantikan oleh yang membutuhkan karena proses menunggu juklak dan juknis itu yang dapat memakan waktu yang lama. Lantas dilaci mana proses menggali kreativitas yang inovatif itu disemayamkan? Wajar memang, jika kemudian ada di antara calon PNS itu menerima penempatan sementaranya, dimana titik persinggungan formasi yang diminati ketika mengadu nasibnya dengan satuan kerja yang ditempati sekarang in, jaraknya antara bumi dan langit. Contohnya, formasi tenaga teknis yang terbilang masih langka di perguruan tinggi hanya dapat meratapi kebingungannya di salah satu bagian unit kerja yang nota bene tidak pernah tertera dikartu belanja KRS, barangkali alasannya lagi-lagi adalah; semua kebijakan masih dapat dievaluasi dan bersifat sementara. Kalau sudah demikian, lebih baik kita akhiri ratapan berandai-andai ini dengan bermunajat kepada pemilik sejati alam raya ini dengan doa agar mereka yang masih memelihara sifat ketidakpeduliannya terhadap hakikat pelayanan in, terbuka mata hatinya untuk memahami bahwa melaksanakan kewenangan dengan cara baik dan benar adalah sebuah ibadah yang mulia. Saya khawatir, jangan
61

Sufyan Sagena

sampai kekeliruan yang berulang kesekian kalinya ini, merupakan kelalaian yang sengaja di-eksplorer sedemikian rupa sekedar untuk membenturkan kepentingan antar level kepemimpinan di daerah dan selanjutnya dengan mudah dikonsumsi oleh publik. *******

62

Tentang Sebuah Lencana...

PUASA DAN LENCANA PENGABDIAN

BAGI muslim yang sedang menunaikan ibadah puasa Ramadhan, kadang tidak terasa jika sudah berada di penghujung fase penuh rahmat di bulan mubarak dalam kalender umat Islam ini. Di bulan penuh berkah ini, mungkin orang memuliakannya dengan beragam cara, ada yang melakukan persiapan dengan selamatan di rumah masingmasing, ada tradisi pulang kampung untuk sowan kepada kedua orang tua, ada pula yang nyekar di kuburan keluarga secara beramai- ramai sebelum atau setelah melaksanakan puasa. Itulah fenomena bulan Ramadhan, bulan yang diyakini oleh setiap muslim dan muslimah bahwasanya seluruh ibadah yang dilaksanakan niscaya nilai amalannya akan dilipatgandakan, sehingga mendorong semua orang berlomba untuk menyambut, melaksanakan dan memuliakannnya. Dari sekian banyak kemuliaan bulan Ramadhan, Rasulullah SAW dalam satu kesempatan menyampaikan
63

Sufyan Sagena

sabdanya, Seandainya ummatku mengetahui (semua) keistimewaan Ramadhan, niscaya mereka mengharap agar semua bulan menjadi Ramadhan (HR. Thabrani dari Ibnu Masud). Mengapa orang sangat antusias memberi apresiasi terhadap bulan Ramadhan ini ? Boleh jadi disebabkan oleh pemahaman bahwa tidak ada seorangpun yang dapat memastikan jika kita masih akan bertemu dengan syahrul maghfirah (bulan ampunan) berikutnya. Karena itu, menjadi sangat layak sekiranya setiap orang terlihat begitu antusias dan apresiatif terhadap kedatangan bulan yang mubarak ini.
Korelasi Puasa dengan Satya Lencana Pengabdian bagi PNS

Apa korelasi puasa dengan Satya Lencana Karya Satya bagi PNS, sebagaimana yang tertera pada judul tulisan ini? Penyerahan penghargaan bagi PNS (pegawai negeri sipil) kali ini menjadi sedikit menarik, disamping karena sudah menjadi bagian tetap dalam rangkaian peringatan HUT proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, namun juga lebih istimewa ketika sebanyak 175 PNS Pemkab Majene pada hari Jumat 13 Agustus 2010 menerima penghargaan dari negara yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia. Ada yang memperoleh lencana tersebut karena jasa dan pengabdiannya telah melampaui 10 tahun, ada yang melampaui 20 tahun, bahkan melampaui 30 tahun. Mungkin terasa istimewa karena penghargaan itu diserahkan pada saat umat Islam yang menunaikan ibadah puasa sedang berada dalam fase rahmat ketika tidak setiap orang
64

Tentang Sebuah Lencana...

memperoleh pammase (karunia) yang sama, juga bersamaan dilaksanakan pada salah satu hari baik bagi umat Islam yaitu hari Jumat. Lencana di bulan baik dan hari baik mempunyai daya tarik dan keunikan tersendiri. Meminjam pendapat Quraish Shihab dalam buku Lentera Al-Quran, antara lain disebutkan bahwa apapun motivasi serta bentuk dari puasa yang dilakukan, ia tidak dapat dipisahkan dari usaha pengendalian diri yang akan mengantarkan manusia pada kebebasan dari belenggu kebiasaan yang mungkin dapat menghambat kemajuannya. Termasuk juga kualitas ibadah orang berpuasa akan bisa sampai pada taraf sempurna ketika orang yang berpuasa itu senantiasa memiliki prasangka baik terhadap setiap yang dilihat, dialami, dan hadapinya. Dengan bekal pemahaman demikian, pada saat mendengar urutan nama-nama yang menerima rewards pengabdian itu, ingatan penulis menerawang jauh ke ruang layanan publik sembari membayangkan bahwasanya dengan ratusan figur pelayan masyarakat yang menerima penghargaan tersebut, tentulah menjadi pertanda yang baik bagi korps pengabdi masyarakat ini. Apalagi salah satu kriteria normatif orang menerima penghargaan itu adalah lantaran semakin berkualitasnya pelayanan publik yang telah diperankan oleh PNS penerima penghargaan tersebut, sehingga diasumsikan setelah itu tidak perlu lagi ada masyarakat penerima layanan kepemerintahan di daerah ini harus bolak-balik mendatangi salah satu instansi
65

Sufyan Sagena

untuk menyelesaikan urusannya yang tidak kunjung selesai, atau tidak akan terdengar lagi adanya figur pelayan yang tidak tahu siapa melakukan apa dan apa yang harus dilakukan, bahkan tidak diketahui kapan dapat diselesaikan atau beberapa asumsi menggugat lainnya.
Lencana dan Pengabdian Kepada Masyarakat

Logika sederhananya, dalam konteks lokal saja misalnya, negara telah menyematkan lencana penghargaan kepada ratusan orang tersebut dan menetapkan mereka sebagai pegawai pilihan di antara ribuan birokrat di daerah ini. Dan tentu saja menjadi pegawai pilihan adalah hal sangat menggembirakan. Mengapa demikian? Karena ratusan orang yang menerima lencana penghargaan itu berasal dari orangorang yang telah mewakafkan hidupnya untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dan rakyat Kab. Majene. Sebut misalnya, berapa puluh orang PNS yang telah melewati angka 30 tahun melakukan pengabdian terbaiknya dengan mewakafkan pikiran, tenaga, bahkan hidupnya dengan standar terbaik dapat dinilai sebagai PNS teladan dan contoh yang baik. Teladan dan contoh yang bukan saja untuk staf dan bawahannya , namun juga bagi masyarakat pada saat menjalankan tugas dan tanggung jawab atau wewenangnya selama berkarier sebagai abdi masyarakat. Berapa puluh PNS yang telah mengabdikan pikiran, tenaga, kemampuan dan waktunyamelampaui kurun waktu 20 tahun untuk memberikan yang terbaik ketika menjalankan fungsi, tugas,
66

Tentang Sebuah Lencana...

wewenang yang menjaditanggung jawabnya kepada masyarakat yang berinteraksi dengan diri dan institusinya? Demikian pula, berapa ratus PNS yang baru 10 tahun lebih mendedikasikan loyalitas dan totalitas pikiran, tenaga dan kemampuan terbaiknya kepada masyarakat ketika menjalankan tugas-tugas pelayanan masyarakat tersebut? Predikat terbaik melalui penghargaan satya lencana itu, sejatinya merupakan pengakuan dari negara terhadap totalitas pengabdian seorang aparatur PNS yang didedikasikan melalui pelaksanaan tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang melebihi totalitas pengabdian aparatur yang lain. Dengan kata lain, penghargaan itu tidak diberikan kepada sembarang orang PNS, karena menurut asumsi penulis, orang yangmenerima penghargaan itu tentulah mereka yang telah dinilai mampu menunjukkan label terbaik pada dirinya, dengan melaksanakan prinsipprinsip pengabdian masyarakat seperti disiplin, jujur, peduli, tanggung jawab, prakarsa, dan memiliki etos kerja yang tinggi, serta memiliki sikap dan moralitas di atas rata- rata.
Menarik Hikmahnya di Bulan Ramadhan

Ketika penyerahan penghargaan itu dilakukan dalam rangkaian peringatan hari proklamasi kemerdekaan RI dan bertepatan dengan bulan suci Ramadhan, tentu saja diharapkan ada hikmah tersendiri di balik momentum yang bersamaan tersebut. Satu di antaranya adalah, ibadah puasa
67

Sufyan Sagena

itu merupakan ibadah yang dilaksanakan dengan pertaruhan melalui nilai-nilai kejujuran dalam melawan beragam godaan, terkadang kita kurang mampu menilai orang lain itu sedang berpuasa atau tidak, kecuali ada pengakuan dari yang bersangkutan. Untuk itu perlu diresapi salah satu hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah di mana ditegaskan bahwa setiap amalan anak adam itu untuknya, kecuali puasa. Sungguh ia untuk-Ku dan Aku yang membalasnya (HR. Bukhari). Dari hadist tersebut dapat dirumuskan bahwa amalan orang berpuasa itu akan memperoleh garansi khusus dari sang Khalik karena Allah SWT sendiri yang menerima amalan orang yang berpuasa dengan benar. Untuk itu, dapat ditarik benang merahnya antara nilai kejujuran orang berpuasa dengan kejujuran meredam beragam godaan dalam melaksanakan tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab selaku aparat PNS sewaktu memberikan pelayanan kepada masyarakat, apalagi setelah menerima pengakuan dari negara melalui pemberian sebuah lencana penghargaan. Kita berharap, ratusan orang yang dianugerahi penghargaan dengan predikat terbaik tahun ini ditambah penerima satya lencana tahun-tahun sebelumnya, akan semakin terpacu dan termotivasi untuk menularkan virus kebajikan terbaiknya kepada orang yang berada di samping kiri kanannya, maupun yang berada di bawah dan di atasnya. Sebagaimana makna pengabdian itu sendiri yang diambil
68

Tentang Sebuah Lencana...

dari kata yang berarti abd, yang mengandung tiga makna yaitu: a) sebagai tumbuhan yang memiliki aroma yang semerbak bagi lingkungannya, b) menjadi alat bagaikan anak panah, dan c) dimiliki penuh kepada siapa dia mengabdi. Akhirnya, selamat kepada bapak/ibu yang telah dianugerahi predikat terbaik di bulan yang mubarak in, semoga keberhasilan dan kesuksesan yang disematkan di pundak bapak/ibu semakin memperoleh keberkahan sejati di bulan Ramadhan ini: yaitu pada ranah pengabdian yang sesungguhnya ketika berhadapan dengan masyarakat yang sangat membutuhkan figur terbaik di tengah-tengah masyarakat. *******

69

Sufyan Sagena

70

Tentang Sebuah Lencana...

PENILAIAN KINERJA: MASIHKAN MENJADI INSTRUMEN PENGEMBANGAN SDM?

PADA suatu hari, seorang teman menanyakan kepada penulis apa yang dimaksud dengan kinerja? Tidak tahu apa maksud pertanyaan itu, yang jelas sejak mendengar pertanyaan itu penulis berusaha mencari-cari referensi yang berhubungan dengan pertanyaan teman tadi. Mengapa pertanyaan tiba- tiba itu begitu mengusik ruang resah penulis? Boleh jadi karena kata kinerja bagi seorang PNS (pegawai negeri sipil) merupakan sesuatu yang penting dan penuh makna, belum lagi kata kinerja ini menjadi ungkapan paling sering diucapkan oleh mereka yang berada pada posisi menilai dan dinilai. Secara sederhana, kata kinerja dapat dimaknai sebagai penampilan hasil karya individu baik secara kualitas maupun kuantitas dalam sebuah organisasi. Penampilan yang dimaksud tidak terbatas pada individu yang memangku jabatan struktural maupun fungsional namun juga mencakup seluruh jajaran yang berada dalam lingkup organisasi itu.
71

Sufyan Sagena

Deskripsi dari sebuah kinerja menyangkut tiga komponen utama, yaitu; 1) tujuan, 2) ukuran, dan 3) penilaian. Menetapkan tujuan sebuah organisasi publik merupakan sebuah strategi agar organisasi dapat menetukan arah dan memberikan sugesti yang positif terhadap perilaku setiap individu di dalamnya. Walaupun demikian, penetapan tujuan belumlah cukup, diperlukan komponen kedua yaitu ukuran yang akan memberikan batas kepada setiap orang, apakah sudah melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan harapan dan seharusnya. Komponen ketiga yang tidak kalah urgennya adalah aspek penilaian, yang apabila secara regular dan konsisten dijalankan, diyakini akan membuat setiap individu dalam organisasi itu berorientasi terhadap tujuan dan berperilaku kerja sesuai dan searah dengan tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian, jelaslah bahwa pengertian kinerja yang memiliki deskripsi tujuan, ukuran operasional dan penilaianmempunyai peran penting dalam meningkatkan motivasi kerja setiap individu.
Tujuan Penilaian Kinerja

Beranjak dari pemahaman sederhana di atas, maka penilaian kinerja dapat dimaknai sebagai suatu proses menilai hasil pekerjaan individu dalam sebuah organisasi melalui instrumen penilaian. Pada hakekatnya, penilaian kinerja merupakan suatu evaluasi terhadap penampilan kerja individu
72

Tentang Sebuah Lencana...

ataupun kelompok dengan jalan membandingkannya dengan standar baku yang seharusnya ditampilkan. Meminjam istilah Hall (1986), penilaian kinerja merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai kualitas kerja setiap individu atau kelompok maupun sebagai sebuah usaha untuk memperbaiki kerja individu atau kelompok dalam suatu organisasi. Melalui penilaian kinerja, seorang pimpinan puncak ataupun menengah dapat mengetahui apakah pekerjaan itu sudah sesuai atau belum dengan uraian pekerjaan yang telah direncanakan sebelumnya. Asumsinya adalah, apabila pelaksanaan pekerjaan itu sesuai dengan atau bahkan melebihi uraian pekerjaan yang telah dilaksanakan, berarti pekerjaan itu berhasil dilaksanakan dengan baik. Namun, bila pekerjaan yang dilaksanakan itu di bawah standar uraian pekerjaan, maka itu berarti pelaksanaan pekerjaan tersebut dapat dinilai kurang berhasil dilaksanakan. Oleh karena itu, tujuan penilaian kinerja sejatinya mempunyai dua tujuan utama, yaitu; 1) penilaian atas kemampuan personil, dan 2) pengembangan personil itu sendiri. Penilaian atas kemampuan personil bertujuan sebagai informasi untuk menilai efektifitas manajemen SDM (sumber daya manusia). Sedangkan, penilaian pengembangan personil dimaksudkan sebagai informasi untuk pengambilan keputusan dalam pengembangan personil lebih lanjut
73

Sufyan Sagena

meliputi; promosi, mutasi, rotasi, terminasi, dan penyesuaian kompensasi. sementara itu, secara spesifik penilaian kinerja bertujuan untuk; mengenali sumber daya manusia yang perlu dilakukan pembinaan, menentukan kriteria tingkat pemberian kompensasi, memperbaiki kualitas pelaksanaan pekerjaan, dan sebagai bahan dalam perencanaan manajemen program pengembangan sumber daya manusia dimasa datang serta untuk memperoleh umpan balik atas prestasi personil. Dengan demikian, sekiranya penilaian kinerja yang dilakukan dalam sebuah organisasi tetap mengakomodir unsur-unsur yang disebutkan di atas, paling tidak diharapkan dapat mengeleminir fenomena yang sering terjadi ketika dilakukan apa yang sering disebut sebagai tour of duty dalam sebuah organisasi. Misalnya jika terdapat kekeliruan yang seharusnya tidak perlu terjadi, utamanya jika terjadi fenomena dimana terdapat individu yang tidak mengindahkan penetapan pimpinan atau bahkan ada individu yang dapat menganulir produk kebijakan pimpinan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Strategi untuk Mengembangkan Organisasi Berkinerja Tinggi

Pimpinan puncak dalam suatu organisasi bertanggung jawab dan memainkan peranan penting dalam menciptakan atmosfir lingkungan kerja yang dapat mendorong dan memungkinkan para personilnya untuk berkinerja tinggi.
74

Tentang Sebuah Lencana...

Masalahnya, bagaimana caranya mengembangkan sebuah organisasi agar dapat berkinerja tinggi? Sebagaimana analisis Yaslis Ilyas dalam Mink dkk.(1993) yang berjudul Developing High-perfomance People: The Art of Coaching, telah mengembangkan strategi untuk menciptakan organisasi dengan kinerja tinggi. Strategi ini dikembangkan berdasarkan studi dan pengalaman mengembangkan organisasi serta pengamatan mereka terhadap pimpinan organisasi yang sukses. Dalam tulisan itu ditawarkan sejumlah pilar yang dapat menopang terwujudnya sebuah organisasi berkinerja tinggi yang diyakini dapat mendorong terciptanya prestasi kerja maksimal dari setiap personil melalui; keterlibatan, kemandirian manajemen, komitmen, otonomi dan pemberdayaan personil. Dari sejumlah pilar tersebut, penulis akan mengetengahkan beberapa pilar sebagai penyangga utama untuk dikemukakan dalam tulisan ini, antara lain: pertama, berbagi visi; yaitu mengembangkan visi organisasi secara bersama. Setiap personil harus mengetahui visi organisasi yang dapat dijelaskan sebagai tujuan akhir dari kelompok itu, berfungsi sebagai referensi atau pedoman bagaimana seharusnya perilaku individu dan kelompok dalam organisasi itu ketika saling berinteraksi. Sebenarnya pengembangan visi bersama saja tidaklah cukup, pimpinan harus dapat membuat setiap personil
75

Sufyan Sagena

memiliki loyalitas terhadap visi tersebut. Bagaimana caranya? Yaitu dengan jalan melibatkan setiap personil mengembangkan visi dan mendorong mereka untuk berpegang teguh kepada visi bersama, melalui komunikasi terbuka yang responsif terhadap tuntutan, kritik dan saran dalam rangka pencerahan. Penentuan visi sebagai tujuan organisasi secara akurat, spesifik dan dilatari oleh nilai organisasi merupakan hal yang penting. Ada anggapan, apabila visi dan tujuan organisasi telah ditetapkan secara tepat, maka dapat dianggap telah menyelesaikan sebagian masalah yang dihadapi oleh organisasi itu. Setiap personil harus dapat menentukan dan mendefenisikan tujuan kinerja masing-masing dan bekerja secara searah mencapai cita-cita dari kelompok dan organisasi. Penyangga kedua yaitu berbagi nilai; dengan mengembangkan nilai-nilai organisasi secara bersama. Sebenarnya visi berproses dan bermuara kepada nilai, apakah nilai-nilai dasar yang harus dianut dan ditegakkan oleh kelompok dan organisasi untuk mencapai tujuan? Nilai dasar inilah yang akan menentukan cara kita dalam mencapai tujuan tersebut. Nilai- nilai luhur seperti kejujuran, amanah, kerja keras, loyal, konsisten, merupakan nilai dasar yang harus dianut oleh personil organisasi yang menjunjung etika dan moral sebagai landasan prilaku individu dan kelompok. Bila nilai dasar organisasi menjadi norma personil maupun
76

Tentang Sebuah Lencana...

kelompok, maka akan berefek terhadap kualitas, kuantitas dan prestasi kerja personil, kelompok maupun organisasi. Walaupun nilai dasar ini jarang didiskusikan secara terbuka di lingkungan kerja, tetapi sebagai pedoman prilaku kerja, nilai itu harus tetap disosialisasikan, didefenisikan dan dilaksanakan oleh kelompok kerja dengan cara menjadikannya basis untuk setiap tindakan yang menghasilkan kualitas produk dan jasa secara kontinyu. Penyangga ketiga adalah fokus; pimpinan harus mengembangkan proses manajemen sedemikian rupa sehingga setiap personil dapat bertindak konsisten dan hanya fokus pada misi organisasi. Nilai dan tujuan yang dikembangkan harus didukung oleh struktur kelompok, kultur atau sistem simbolik komponen yang dapat meliputi penempatan staf, keterampilan, strategi, pengetahuan, teknologi dan sistem, serta pertimbangan politis yang kadang berpengaruh dengan karier, cara hidup, keluarga dan interaksi tugas dan kebutuhan personil. Keseluruhan unsur tersebut seyogyanya memberikan peluang kepada setiap individu dan kelompok untuk membuat atensi anggota tetap fokus pada hal-hal penting demi mencapai tujuan organisasi. Penyangga keempat adalah teamwork; untuk mencapai sesuatu yang maksimal maka aliansi dan sinergi antar personil mutlak dilaksanakan melalui kerja bersama. Percaya dan saling menerima serta kreatif me-manage perbedaan dan pengetahuan serta keterampilan merupakan pondasi untuk
77

Sufyan Sagena

berbagi nilai sehingga kerja kelompok dapat dibangun secara efektif. Di sini, seorang pemimpin adalah unsur kunci dalam menentukan standar untuk saling percaya, pengertian dan penerimaan, serta penggunaan talenta individual. Ibarat semangat berpasukan dalam sepak bola, sebuah tim tidak hanya membutuhkan penjaga gawang yang cekatan mengamankan gawangnya saja atau tidak hanya membutuhkan dua atau tiga orang striker saja, akan tetapi dibutuhkan sebuah tim yang terdiri dari sebelas orang yang masing- masing handal di posisinya, terutama harus sanggup melaksanakan skema permainan sesuai skenario yang diinginkan oleh pelatihnya. Penyanggah kelima adalah kepemimpinan; setiap sistem yang melibatkan unsur manusia senantiasa membutuhkan kepemimpinan. Pada dasarnya, setiap organisasi membutuhkan kepemimpinan yang berkarakter, yang dapat menciptakan atmosfir atau kondisi yang memungkinkan setiap personil dapat berkonstribusi secara total, apakah dalam bentuk mendengarkan keluhan personil atau ide, harapan, keluhan, kritik dan saran serta bentuk lainnya dari mitra kerja maupun bawahan. Namun, apapun yang disampaikan oleh orang-orang yang berinteraksi dalam sebuah organisasi terutama oleh bawahan yang kapabel untuk tugas terkait, sepanjang bertujuan untuk perbaikan pada organisasi, maka menjadi kewajiban seorang pemimpin yang baik untuk mendengar kemudian menjadikannya
78

Tentang Sebuah Lencana...

sebagai rencana aksi yang terpola dengan baiik, dalam rangka pencapaian tujuan organisasi secara objektif.
Meletakkan SDM PNS sebagai Aset Bernilai Tinggi

Apakah serangkaian pilar penyangga yang disebutkan di atas masih relevan terpakai atau tidak, mungkin hanya waktulah yang dapat mengurainya atau akan dijawab secara beragam. Namun satu hal yang semakin banyak disadari pada dimensi kekinian adalah bahwa sumber daya manusia merupakan aset organisasi yang paling bernilai tinggi dibandingkan sumber daya lainnya. Adapun tingkat manfaat sumber daya lainnya, baik finansial ataupun nonfinansial, sangat dipengaruhi oleh tingkat efektifitas pemanfaatan sumber daya manusianya sendiri. Karena itu perlu meletakkan faktor sumber daya manusia itu pada prioritas utama dalam menyusun kerangka strategis mengembangkan organisasi yang berkinerja tinggi, sebagaimana diuraikan di atas, karena dimana semakin tinggi kualitas dan manajemen sumber daya manusia yang dimiliki maka akan semakin tinggi pula pengaruhnya kepada pemanfaatan sumber daya lainnya yang akan terakumulasi membentuk kinerja yang tinggi dalam sebuah organisasi. *******

79

Sufyan Sagena

80

Tentang Sebuah Lencana...

MUSRENBANG: BENARKAH KEGIATAN YANG SIA-SIA?

SEBAGAI sebuah siklus perencanaan yang digaungkan secara nasional dan terpola, Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) secara rutin dan serentak digulirkan berjenjang, mulai dari level desa/ kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Karena itulah beberapa minggu terakhir ini, aktivitas sebagian besar tokoh masyarakat atau kelompok-kelompok potensial masyarakat yang ada di desa/ kelurahan dan kecamatan, maupun kepala SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan aparat birokrasi yang terkait lainnya - banyak tersita oleh penyelenggaraan Musrenbang tersebut. Dari serangkaian kegiatan musrenbang tersebut, dinamika pelaksanaan dan hasil yang diperoleh tentu saja sangat bervariasi antara pelaksanaan musrenbang dari satu kecamatan dengan kecamatan yang lainnya. Hal ini dapat dipengaruhi antara lain oleh; kesiapan pelaksanaan mulai
81

Sufyan Sagena

dari personil penyelenggaranya, peserta musyawarahnya dan materi yang dibahas dan didiskusikan, sampai pada hasil yang diperoleh dari Musrenbang itu sendiri. Terjadinya perbedaan, baik dinamika pelaksanaan maupun hasil yang diperoleh pada pelaksanaan musyawarah perencanaan tersebut, seyogyanya lebih awal dapat diantisipasi oleh semua pihak yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung Tidak jarang kita dengar, adanya pandangan yang beragam terhadap pelaksanaan Musrenbang, sebagian besar yang terlontar adalah kesan atau respon yang miring setiap kali kegiatan musrenbang dilaksanakan - baik yang disampaikan oleh kelompok masyarakat yang mengikuti kegiatan Musrenbang secara langsung maupun oleh warga masyarakat yang tidak mengikuti kegiatan tersebut. Misalnya ada yang mengatakan bahwa pelaksanaan Musrenbang adalah kegiatan yang sia-sia dan cenderung kurang membawa manfaat buat mereka yang ada di desa. Mengapa kegiatan dan hasil musrenbang cenderung menjadi kegiatan yang bersifat rutin dan kurang bermanfaat untuk masyarakat yang membutuhkannya? Keengganan sebagian warga masyarakat untuk tidak berharap banyak pada hasil musrenbang tentu tidak lahir begitu saja. Sangat boleh jadi hal itu merupakan akumulasi kekecewaan warga masyarakat yang selama in pada awalnya sangat optimis dan bersemangat mengikuti proses dan berusaha mewarnai
82

Tentang Sebuah Lencana...

pelaksanaannya, namun harus rela menerima kenyataan bahwa hampir tidak ada usulan yang telah dirumuskan melalui usulan resmi, terakomodir dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun berikutnya. Risalah-risalah yang terangkum dan menjadi dokumen perencanaan masyarakat yang sudah dirumuskan pada tingkat bawah, hasilnya seringkali tidak nyambung dengan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Usulan-usulan yang dihasilkan dari pertemuan-pertemuan yang pada awalnya melibatkan warga masyarakat atau kelompok-kelompok yang ada di desa, pada kenyataannya seringkali tidak menjadi produk kebijakan dimana apa yang terangkum dalam risalah musrenbang pada akhirnya berbeda dengan kebijakan publik yang ditetapkan kemudian.
Menjadikan Musrenbang sebagai Dokumen Perencanaan

Fenomena kurangnya kepercayaan sebagian warga masyarakat dan kelompok masyarakat terhadap pelaksanaan maupun hasil musrenbang tersebut, sebenarnya tidak perlu terjadi atau membuat pihak-pihak pengambil kebijakan menjadi gamang karenanya. Keadaan tersebut seyogyanya dapat menjadi media evaluasi terhadap sejumlah variabel yang dapat mempengaruhi pelaksanaan Musrenbang itu sendiri, antara lain:

83

Sufyan Sagena

1. Memaksimalkan Partisipasi Masyarakat Persoalan partisipasi masyarakat memang menjadi isu yang terus berkembang dari waktu ke waktu dan diperbincangkan oleh banyak kalangan serta dibanyak tempat malah menjadi topik yang hangat. Dewasa ini berbagai program pembangunan maupun kegiatan pemberdayaan yang dilakukan, baik oleh pemerintah maupun pihak swasta dan organisasi non-pemerintah, senantiasa menekankan perlunya menjadikan partisipasi masyarakat sebagai persyaratan pertama dalam setiap kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada tahap evaluasi kegiatan. Begitulah fenomenanya, menurut penjelasan Yulianto dan Eko Hilal dalam Partisipasi Seremonial-nya dimana partsipasi masyarakat telah menjadi satu icon penting dan telah menjadi jargon ampuh yang hampir dipergunakan oleh semua kalangan. Hampir tidak ada program dan kegiatan yang dilaksanakan dewasa ini, tanpa menyebut kata partisipasi. Lantas, bagaimana memaknai partisipasi itu sehingga menjadi daya perekat yang kuat dalam memaksimalkan proses musrenbang yang dilaksanakan? Menurut penulis, langkah pertama yang relevan dapat dilaksanakan antara lain agar setiap aparat birokrasi pada setiap tingkatan atau setiap pimpinan satuan kerja perangkat daerah dapat menunjukkan komitmen yang tinggi kepada warga masyarakat dengan asumsi bahwa keterlibatan mereka pada
84

Tentang Sebuah Lencana...

setiap tahapan musrenbang adalah sebuah kebutuhan dalam konteks dan saling membutuhkan. Pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan, perlindungan, dan mengayomi masyarakatnya dan masyarakat pula membutuhkan pemerintah untuk kemudian bahu membahu membangun interaksi dalam rangka peningkatan kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri. 2. Melaksanakan secara Konsisten Proses Musrenbang pada Setiap Tingkatan Yang perlu digaris bawahi bersama adalah, secara khsusus pelaksanaan musrenbang di Kab. Majene yang dilaksanakan tahun ini, telah mendapat tempat tertinggi dari kacamata legal formal karena seluruh proses musrenbang yang dilaksanakan - disamping mengacu kepada petunjuk tekhnis yang biasanya dikeluarkan Departemen dalam negeri bersama dengan Bappenas adalah karena telah ditetapkannya peraturan daerah nomor 1 tahun 2008 Musrenbang. Oleh karenanya, mengingat musrenbang secara yuridis formal telah memperoleh kedudukan yang kuat, tetapi mengapa kemudian masih ada diantara warga masyarakat ataupun kelompok- kelompok masyarakat yang meragukan proses dan hasil yang diperoleh ? Salah satu aspek yang menurut penulis harus mendapat perhatian bersama adalah bagaimana agar substansi dan landasan filosofis serta landasan sosiologis ditetapkannya
85

Sufyan Sagena

produk hukum yang mengatur tentang musrenbang itu dapat menjadi prioritas perhatian para pihak. Substansi pengaturan musrenbang yang antara lain berupa prinsip kerja penyusunan perencanaan, pengorganisasian kepesertaan (dalam hal ini pelibatan sebanyak mungkin potensi masyarakat secara heterogen), peran lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam pelaksanaan musrenbang, sampai pada bagaimana mensinergikan rumusan musrenbang tingkat bawah dengan dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang dan jangka menengah daerah. Demikian pula dengan dengan dokumen perencanaan setiap SKPD, manajemen waktu atau durasi waktu pelaksanaan musrenbang yang biasanya sangat dibatasi dengan alokasi waktu, sudah saatnya mendapat perhatian utama oleh semua pihak yang terlibat dalam proses musrenbang itu sendiri tanpa kecuali. 3. Melaksanakan secara Konsisten Rumusan Hasil Musrenbang pada Setiap Tingkatan Dari pengalaman yang dirasakan selama in, permasalahan yang kerap muncul setiap kali musrenbang dilaksanakan, antara lain; disamping berhubungan dengan proses persiapan dan pelaksanaan musrenbang yang tidak kalah berpengarunya terhadap kekurangpedulian warga masyarakat, juga disebabkan karena sebagian besar atau bahkan sangat kurang daftar kebutuhan masyarakat yang
86

Tentang Sebuah Lencana...

telah diusulkan secara berjenjang dalam forum musrenbang sebelumnya. Kenyataannya malah tidak terakomodir dalam dokumen perencanaan setelah diproses lebih lanjut. Sebaliknya, ada beberapa kegiatan yang justeru tidak pernah mereka usulkan, tiba-tiba muncul dan dilaksanakan oleh oknum-oknum tertentu di desa. Oleh karena itu, sudah waktunya agar semua pihak dapat secara konsisten melaksanakan hasil yang diperoleh dari proses secara berjenjang dari pelaksanaan musrenbang in. Minimal dengan mengupayakan mulai sekarang saatnya untuk memberikan rewards yang seimbang atas jerih payah masyarakat yang telah meluangkan waktu dan mencurahkan perhatiannya untuk mengikuti rangkaian melaksanakan musrenbang secara partisipatif - melalui pengawalan hasil musrenbang desa/kelurahan dan kecamatan, sampai pada proses pembahasan dan penetapannya di tingkat kabupaten. Paling tidak, bentuk pengawalan yang dapat diberikan oleh pihak-pihak yang berkompeten dalam proses perencanaan maupun oleh pengambil kebijakan; pertama, dengan konsisten mengupayakan agar rumusan usulan musrenbang desa/kKelurahan dan kecamatan tersebut, usulannya dapat tetap dan tidak berubah. Dengan asumsi bahwa disamping karena sudah melalui tahapan pembahasan secara berjenjang, dan sekiranya masih ada yang perlu disempurnakan tentu diharapkan hanya pada upaya
87

Sufyan Sagena

pengharmonisasian dari tataran teknis sehingga sesuai dengan norma dan kaidah sebagaimana yang diharapkan oleh dokumen perencanaan yang sudah ada, tanpa harus mengeleminir usulan tersebut. Kedua, sekiranya pengawalan aspek pertama telah dilaksanakan dan ternyata tidak memungkinkan untuk diakomodir secara keseluruhan, alternatif lain kemungkinan masih dapat dipergunakan. Antara lain adalah mengupayakan jalan tengah bagaimana mengakomodir usulan masyarakat yang telah di-musrenbang-kan tersebut, melalui sebuah kebijakan perencanaan win-win solution yaitu memberikan pembobotan dan prosentase limitatif atas usulan yang terakomodir dari usulan masyarakat. Seperti juga memberikan batas minimal sekian persen dari jumlah usulan masyarakat, dapat diakomodir pada penetapan rencana pembangunan tahun berikutnya serta menetapkan sumber pendanaan setiap kegiatan yang telah diusulkan seperti mengalokasikan jenis dan bentuk kegiatan yang dapat diarahkan untuk memperoleh sumber pendanaan yang berasal dari APBN, APBD provinsi, APBD kabupaten, alokasi dana desa maupun melalui program PNPM baik mandiri perdesaan maupun program P2KP yang ada.
Memastikan Seluruh Aktivitas demi Kepentingan dan Kebutuhan Masyarakat

Ketika garansi hukum telah ditetapkan sebagai upaya memayungi terakomodirnya secara proporsional kebutuhan
88

Tentang Sebuah Lencana...

dan kepentingan masyarakat yang dirumuskan secara berjenjang dalam proses musrenbang, maka tidak ada jalan lain kecuali semua pihak yang terlibat dalam proses musrenbang - mulai dari tingkat terendah sampai dengan kelompok pemangku kebijakan di daerah ini- tetap memprioritaskan usulan masyarakat melalui musrenbang dalam dokumen perencanaan pembangunan. Hal ini akan memberikan harapan kepastian kepada masyarakat, bahwa diujung seluruh aktivitas yang kita laksanakan sebagai aparat birokrasi dan abdi masyarakat , seharusnya selalu tertuju pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat. *******

89

Sufyan Sagena

90

Tentang Sebuah Lencana...

PARTISIPASI MASYARAKAT DAN INSTRUMENNYA DALAM PEMBANGUNAN

PERSOALAN partisipasi masyarakat merupakan salah satu isu yang terus berkembang dan diperbincangkan oleh banyak orang, baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat, formal maupun non formal. Berbagai program pembangunan maupun program pemberdayaan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah seperti LSM, menekankan bahkan mensyaratkan adanya proses partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan. Hampir tidak ada program yang dijalankan tanpa menyebutkan kata partisipasi, bahkan sering partisipasi masyarakat cenderung diyakini merupakan obat mujarab dalam menghasilkan kebijakan publik yang berpihak kepada masyarakat yang lebih luas, terutama kalangan rakyat kecil. Terlebih, ketika badan-badan dunia seperti UNDP (United Nations Development Programme) mengurai karakteristik
91

Sufyan Sagena

good governance dan menempatkan partisipasi sebagai ciri yang paling penting di dalamnya. Partisipasi diartikan sebagai keterlibatan setiap warga masyarakat yang memiliki hak suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun intermediasi institusi yang terwakilkan kepentingannya. Partisipasi mensyaratkan adanya kebebasan berasosiasi, berbicara, dan berpartisipasi secara konskruktif. Ketika lembaga-lembaga donor internasional mengucurkan anggaran pembangunan kepada negara-negara berkembang dan memilih isu partisipasi sebagai syarat pertama, maka hampir semua pihak yang terlibat dalam program tersebut serta merta merasa terpanggil untuk mengamini bahwa partisipasi adalah suatu hal yang penting dalam setiap gerak dan langkah pembangunan yang direncanakan. Partisipasi masyarakat dalam seluruh proses pembangunan menjadi hal yang penting ketika diletakkan atas dasar keyakinan bahwa masyarakatlah yang paling tahu apa yang mereka butuhkan serta apa yang menjadi permasalahan yang mereka hadapi. Suatu pertimbangan yang sama, ketika pemerintah pusat pada akhirnya memunculkan sistem desentralisasi sampai di tingkat kabupaten/kota yang didasarkan pertimbangan bahwa pemerintah kabupaten/kota lebih dekat dengan masyarakatnya sehingga dinilai lebih mengetahui kebutuhan dan kepentingan masyarakat setempat. Jadi dalam
92

Tentang Sebuah Lencana...

pelaksanaannya, desentralisasi juga lebih menitik beratkan pada aspek partisipasi. Pengalaman telah mengajarkan kita, bahwa lebih dari tiga dasawarsa pemerintah Orde Baru menyelenggarakan seluruh aktivitas kenegaraan dan kemasyarakatan, mulai dari pusat hingga daerah, namun tidak melibatkan masyarakat sebagai subjek pembangunan. Pola in pada akhirnya membawa kesan traumatik masyarakat terhadap kesan pembangunan itu sendiri, karena apa yang dikembangkan oleh pemerintah pusat seringkali tidak mencerminkan dengan apa yang diinginkan dan apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya.
Maksud Utama Partisipasi

Pada dasarnya, partisipasi dalam proses pembangunan memiliki maksud utama, seperti; pertama, proses partisipasi akan memungkinkan rakyat secara sadar dan mandiri mengorganisir dirinya, sehingga memungkinkan mereka lebih leluasa dalam menghadapi situasi-situasi yang sulit serta diharapkan mampu menolak berbagai kecenderungan yang merugikan mereka. Kedua, partisipasi tidak saja menjadi cerminan yang konkrit berupa peluang mengekspresikan aspirasi dan jalan memperjuangkannya, tetapi yang lebih penting lagi adalah partisipasi menjadi semacam garansi moral untuk tidak terabaikannya kepentingan masyarakat. Ketiga, persoalan-persoalan dalam dinamika pembangunan dan kemasyarakatan akan lebih mudah diatasi dengan adanya
93

Sufyan Sagena

pelibatan seluruh potensi masyarakat yang ada. Prinsip tersebut, dapat membawa kita pada pemaknaan bahwa P partisipasi merupakan titik pijak membangun kepercayaan dan harga diri masyarakat dan masyarakat tidak lagi dilihat sebagai objek atau sumber kebodohan, melainkan dilihat sebagai subjek dan sumber daya pembangunan. Keempat, keterlibatan masyarakat dalam setiap proses penyelenggaraan pemerintahan menunjukkan wujudnya sikap terbuka dan penerimaan pihak penyelenggara pemerintahan, sehingga menjadi basis kepercayaan sosial politik dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Hal yang masih menjadi persoalan bersama adalah bagaimana mewujudkan suatu bentuk partisipasi yang ideal dalam sebuah sistem pemerintahan daerah ? Pertanyaan tersebut muncul berdasarkan kondisi nyata dalam masyarakat, antara lain; pertama, adanya kebiasaan yang berkembang yang mengabaikan partisipasi dalam praktek pembangunan. Kebiasaan ini umumnya yang muncul dari permikiran seperti buat apa repot memberikan ruang dan kesempatan kepada orang lain, toh tanpa kehadiran mereka rencana itu akan tetap berjalan seperti biasanya. Kedua, kondisi masyarakat itu sendiri yang memiliki kapasitas relatif masih rendah dalam mengembangkan format partisipasiya. Ketiga, kurang tersedianya perangkat kebijakan yang diperuntukkan untuk memberikan dukungan, perlindungan, atau promosi partisipasi, dan lain sebagainya.
94

Tentang Sebuah Lencana...

Selain itu, proses partisipasi sulit berkembang maksimal karena masih diperhadapkan pada tiga kondisi dasar, sebagai berikut : 1. Sistem dalam pemerintah kabupaten belum memberikan ruang yang aman dan memadai atau belum tersedia suatu legal frame work bagi proses partisipasi masyarakat 2. Sudah lama berkembang kultur yang menganggap bahwa tanpa partisipasipun program pembangunan dapat tetap berjalan 3. Rendahnya kapasitas untuk mengembangkan partisipasi sebagai akibat dari kurang terbiasanya masyarakat melibatkan diri dalam proses pembangunan.
Instrumen Meningkatkan Partisipasi Masyarakat

Ketiga persoalan dasar tersebut di atas, masih dapat teratasi dengan suatu model kebijakan yang mendorong dan memberikan jaminan bagi keterlibatan masyarakat, serta menjadi semacam perintah kepada semua strata pemerintahan, untuk senantiasa melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan mereka. Yang menjadi pertanyaan dan perlu tetap dikritisi adalah, apakah partisipasi memang sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari program dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh ataukah hanya dilaksanakan sebatas formalitas dan seremonial belaka?
95

Sufyan Sagena

Jika pemerintah daerah atau institusi menganggap partisipasi adalah persoalan serius bagi mereka, maka beberapa instrumen yang dapat pemerintah lakukan antara lain: menciptakan ruang dan arena terbuka bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi sekaligus sebagai ruang untuk berpartisipasi. Sebenarnya di daerah kita ini, sudah disiapkan arena dan ruang dimaksud, berupa Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2008 tentang Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah. Instrument tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik untuk menyerap aspirasi dan rakyatpun menjadikannya sebagai arena untuk berpartisipasi lebih faktual . Namun, seringkali terjadi antara instrumen dan institusi-institusi kemasyarakatan kadang kurang nyambung dengan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat sehingga risalah-risalah yang ada hasilnya menjadi berbeda dengan kebijakan publik yang ditetapkan. Oleh karenanya, diperlukan sebuah jaminan bahwa apa yang menjadi kebutuhan masyarakat atau apa yang menjadi aspirasi masyarakat, akan tertuang dalam batang tubuh kebijakan publik yang akan dihasilkan kemudian. Apabila dua instrument tersebut belum diciptakan, maka yang cenderung akan berulang adalah partisipasi yang masih bersifat seremonial, karena pada hakikatnya partisipasi akan menjadi legitimasi apabila yang dilaksanakan sesuai dengan apa yang dipersyaratkan dalam program tersebut. *******
96

Tentang Sebuah Lencana...

MUNGKINKAH TERJADI PERUBAHAN PEMDA?

MUNGKIN ada satu kata yang dengan mudah dapat terdengar oleh indera pendengaran kita dan paling dominan menghiasi ruang promosi diri setiap figur yang mencoba peruntungan meraih simpati publik. Bagi kebanyakan orang, ungkapan tersebut barangkali kurang memberikan kesan dan makna khusus, akan tetapi tidak bagi sekelompok orang yang secara kebetulan mencoba meretas masa depannya. Kata apa yang paling sering terdengar pada ruang pendengaran kita ataupun terbaca oleh indera penglihatan kita dibeberapa ruang sekarang ini? Tidak lain adalah kata yang telah menjadi bahan jualan kesuksesan, yaitu: perubahan. Secara sederhana, orang sering mengartikan perubahan sebagai keinginan kuat dari seseorang atau kelompok tertentu untuk lebih baik dari sebelumnya. Tidak sedikit orang memaknai kata perubahan juga sebagai sebuah komitmen
97

Sufyan Sagena

ataupun sebuah ikrar yang sengaja dibahasakan, dengan harapan agar siapapun yang mendengar, siapapun yang membaca, dan siapapun yang menerimanya, dapat memberikan apresiasi dan pengakuan atas sebuah gagasan yang dilontarkan. Minimal yang diharapkan adalah orangorang akan serta merta mengamini ungkapan tersebut. Namun apakah mengamini ungkapan berarti juga akan serta merta melaksanakannya? Sepertinya tidak demikian, karena pernyata ada sebagian pihak yang masih menolak terjadinya suatu perubahan.
Mengapa Orang Cenderung Menolak Perubahan

Upaya perubahan dalam sebuah organisasi, kerapkali terkendala oleh adanya reaksi penolakan yang justeru berasal dari orang-orang dalam organisasi itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena tidak sedikit orang yang merasakan bahwa perubahan akan cenderung membawa kegalauan emosional meskipun perubahan itu sebenarnya diyakini dapat membawa hasil positif, akan tetapi perubahan juga sering menimbulkan perasaan kehilangan dan ketidakpastian. Untuk mendiagnosa dan mengantisipasi bentuk-bentuk penolakan yang cenderung terjadi, tidak ada salahnya meminjam hipotesa John P. Kotter (2001) yang antara lain mengemukakan tiga alasan utama, mengapa orang menolak sebuah perubahan, yaitu : 1. Rasa takut akan kehilangan sesuatu yang bernilai; hal ini terjadi oleh karena adanya pikiran picik yang hanya
98

Tentang Sebuah Lencana...

memusatkan perhatian pada kepentingan diri sendiri, tanpa memikirkan kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan dan kebutuhan organisasi. Contoh: ketika suatu waktu diwacanakan pengurangan struktur dalam sebuah organisasi, pada saat yang bersamaan sejumlah orang yang kebetulan berada dalam struktur tersebutdengan serta merta akan memberikan tanggapan yang berbeda, umumnya kurang menyetujui rencana tersebut. Boleh jadi salah seorang diantara pemberi tanggapan akan kehilangan posisi ataupun kedudukan yang dirasakan telah banyak memberikan keuntungan tertentu baginya; 2. Salah pengertian terhadap substansi perubahan itu; hal ini terjadi karena orang-orang yang menolak perubahan tersebut tidak memahami implikasi perubahan tersebut dan tetap menganggap bahwa perubahan itu pasti lebih banyak merugikan daripada menguntungkan diri dan kelompoknya. Contoh, adanya penilaian berbeda terhadap misi perubahan itu, terutama sudut pandang yang dipergunakan antara kelompok yang sudah mapan di posisi tertentu dengan kelompok penggagas perubahan itu, sehingga dimungkinkan terjadi upaya mempertahankan kebiasaan dengan jalan memberikan informasi sesat dan menyesatkan kepada pimpinan tertentu melalui upaya asal bapak senang;
99

Sufyan Sagena

3. Toleransi yang rendah terhadap perubahan itu; hal ini terjadi karena orang atau kelompok yang menolak perubahan itu mungkin sebenarnya menyadari keterbatasan dan kemampuan yang dimilikinya namun kurang mampu beradaptasi dengan keterampilan baru serta berprilaku yang menjadi tuntutan dari perubahan itu. Contoh, ketika sebuah manajemen merencanakan pemanfaatan tekhnologi informasi atau IT dengan pertimbangan efesiensi dan efektivitas, tidak menutup kemungkinan ada sekelompok orang yang memberikan respon kurang mendukung dan menganggap bahwa rencana tersebut belum saatnya dimunculkan. Dalihnya adalah bahwa tanpa inovasi dan kreativitas barupun, seluruh kegiatan berdasarkan pengalamannya selama ini-pada akhirnya dapat dilaksanakan dan diselesaikan, dengan metode seperti biasanya; Secara kasat mata melalui pengalaman empiris kita masing- masing, dapat dilihat bahwa terkadang orang menolak terjadinya perubahan dalam sebuah organisasi, atau terpaksa menolak sebuah gagasan perubahan, lebih karena alasan menjaga citra dan image, yaitu takut menerima kenyataan bahwa untuk dapat berjalan berdampingan dengan perubahan baru. Mereka (baca pelaku lama) perlu jujur mengakui, bahwa sebahagian dari keputusan dan kebijakan yang diperankannya selama ini tidak tertutup kemungkinan bersumber dari sesuatu yang salah dan keliru, bahkan kadang
100

Tentang Sebuah Lencana...

tidak memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara administratif maupun yuridis, sehingga yang dilakukan adalah upaya mencari pembenaran-pembenaran saja.
Bagaimana Mengeliminir Penolakan atas Perubahan

Sebagaimana pesan bijak dari para cerdik pandai kita terdahulu, bahwa hanya ada 3 (tiga) hal yang tidak seorangpun dapat menghindarinya karena pasti terjadi di mana saja dan kepada siapa saja, yaitu : (1) kematian, (2) pajak, (3) perubahan itu sendiri. Karena yang dibahas dalam tulisan ini adalah perubahan, maka tentu saja aksiomanya adalah tidak ada yang abadi di atas muka bumi in kecuali perubahan itu sendiri. Sekarang, bagaimana meng-explore agar fenomena penolakan atas perubahan itu tidak terjadi dan perubahan yang diharapkan dapat terwujud secara maksimal? Secara sederhana penulis dapat mengetengahkan beberapa asumsi yang dapat dijadikan pelecut dalam proses perubahan, sebagai berikut : 1. Proses perubahan seyogianya diawali dari atas ke bawah; melalui posisi yang dimiliki, seorang pemimpin mempunyai power dan authority yang dapat memaksa orang lain mengikuti visi perubahan yang tengah diusung dan dengan kekuatan pengaruh visi perubahan ituakan lebih dipatuhi secara terstruktur bahkan secara perlahan sehingga menjadi sebuah budaya baru
101

Sufyan Sagena

dalam sebuah organisasi. Bukankah hakikat kepemimpinan adalah seni mempengaruhi ? 2. Perubahan harus dimulai dari yang kecil dan sederhana; merubah sesuatu nilai yang sudah tumbuh dan berkembang sebagai produk kebiasaan bukanlah pekerjaan yang mudah. Oleh karena itu, sebuah gagasan tentang perubahan harus dimulai dengan kegiatan sosialisasi, baik yang dilakukan melalui kegiatan formal untuk penyamaan persepsi maupun yang dilakukan melalui contoh dalam kegiatan rutin sehari- hari. Contohnya, sikap dan perilaku yang sederhana tetapi memungkinkan orang lain menaruh perhatian. Bukankah satu contoh konkrit yang apabila langsung diterapkan akan lebih efektip ketimbang setumpuk teori?; 3. Perubahan harus mulai dilaksanakan sekarang; pe-luang dan kesempatan tidak pernah berulang dalam bentuk yang sama persis. Sebrilyan apapun gagasan yang dirancang, kalau tidak pernah mulai dilaksanakan maka akan tetap menjadi sebuah konsep yang tidak membumi dan cenderung akan kehilangan momentum. Oleh karena itu, ketika ada gagasan perubahan yang sudah dipolakan dengan sistematik!
102

Tentang Sebuah Lencana...

Penutup

Saya tidak bermaksud menutup tulisan singkat ini dengan sejumlah kesimpulan, akan tetapi kembali mengingatkan sebuah tuntunan sederhana yaitu: kalau ada orang yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka orang itu termasuk orang beruntung. Tetapi, jika ada orang yang hari kemarinnya malah lebih baik dari hari ini, maka orang tersebut termasuk kelompok orang yang merugi, dan jika ada orang yang tidak berinvestasi untuk hari esoknya agar dapat lebih baik dari hari in, niscaya orang tersebut termasuk kelompok orang yang menganiaya dirinya sendiri. Ungkapan bijak di atas jika dicoba ditarik benang merahnya adalah; bahwa setiap orang apalagi yang secara kebetulan dianugerahi kesempatan untuk melaksanakan amanah dan orang tersebut tidak dapat menciptakan perubahan yang diharapkan oleh lingkungannya- maka pada hakikatnya orang tersebut, di samping telah membuang-buang waktunya dengan percuma - yang tidak kalah ironisnya adalah orang tersebut telah mengingkari sunnatullah, yaitu kelompok orang-orang yang menyalahgunakan amanah yang telah diberikan kepadanya- karena pada dasarnya orang yang memegang amanah hukumnya wajib untuk mempertanggungjawabkan amanah tersebut! Persoalannya adalah, apakah kita akan menyia-nyiakan sejumlah karunia dan kesempatan serta peluang untuk dapat menjadi rahmatan lil alamin hanya dengan neraca yang
103

Sufyan Sagena

berat di sebelah kiri, karena pada saat yang bersamaan kita hanya mampu dan hanya memiliki keberanian menganjurkan bagaimana orang lain harus berubah, namun disisi lain kita sendiri masih enggan belajar merubah diri sendiri lebih dahulu agar menjadi lebih baik? Wallahu alam bissawab.*******

104

Tentang Sebuah Lencana...

SEKALI LAGI TENTANG PERUBAHAN: PINTU MASUK PERUBAHAN

TULISAN ini pernah diangkat oleh penulis dan dimuat dalam Majene Mammis beberapa waktu lampau, akan tetapi, entah bagaimana muasalnya, beberapa usulan pembaca kepada penulis via sms, meminta penulis kembali membahas tentang sebuah perubahan dengan contoh konkrit yang secara empiris dapat dirasakan dan disaksikan dengan kasat mata, pada berbagai institusi kepemerintahan khususnya pada institusi di level lokal di daerah. Paling tidak, harapan pembaca sebelumnya mengenai gagasan tentang sebuah perubahan yang sederhana pun dengan narasi yang sederhana, dapat dengan mudah dicerna dan dipahami oleh publik, bahkan mungkin menjadi referensi sederhana bagi siapa saja yang berniat dan memiliki hasrat untuk berhijrah ke arah yang lebih baik.
105

Sufyan Sagena

Pintu Masuk Perubahan

Sebenarnya, ada beberapa pintu yang dapat dilewati untuk menginjeksi sebuah perubahan dalam struktur birokrasi kepemerintahan, mulai dari yang paling kecil (skala mikro) sampai dengan yang paling besar (skala makro). Pintu perubahan dengan skala paling kecil dapat ditemukan pada tingkat perseorangan, sedang yang paling besar dapat ditemukan pada tingkat sistem. Bentuknya dapat dilihat dalam tiga bentuk perubahan; 1) Perubahan sikap dan perilaku aparat, 2) Perubahan proses dan prosedur kerja, dan 3) Perubahan organisasi atau institusi. Namun perubahan bukanlah sebuah jalan pintas, ia juga sering menerima pengaruh-pengaruh yang mungkin berbentuk kendala. Hal-hal yang mempengaruhi antara lain seperti; 1) perubahan sering menghasilkan resistensi, 2) perubahan sering menimbulkan pro dan kontra, 3) perubahan dalamk manajemen resiko, dan 4) perubahan perlu bersifat tahan banting dan bernafas panjang. Beberapa contoh model orang yang menolak perubahan, antara lain: 1) Apabila ada orang yang masih sering bercerita tentang keberhasilan keluarganya di masa yang lalu; 2) Apabila ada orang yang masih sering mencibir ketika mendengar keberhasilan atau kesuksesan orang lain; 3) Apabila ada orang yang masih sering memandang remeh orang lain dengan menganggap tidak pantas;
106

Tentang Sebuah Lencana...

4) Apabila ada orang yang tidak mau mengakui pendapat orang lain; 5) Apabila ada orang yang tidak mau dikritik dan diberi masukan. Untuk lebih memudahkan ingatan kita dengan ungkapan perubahan tersebut, maka perlu penulis ulangi lagi arti perubahan itu, yaitu suatu keinginan kuat dari seseorang atau kelompok tertentu untuk lebih baik dari sebelumnya. Kata perubahan juga bisa dimaknai sebagai sebuah komitmen ataupun sebuah ikrar yang sengaja dibahasakan dengan harapan agar siapapun yang mendengar, siapapun yang membaca dan siapapun yang menerimanya, dapat memberikan apresiasi dan pengakuan atas sebuah gagasan yang dilontarkan, minimal yang diharapkan adalah orang dengan serta merta mengamini ketika ungkapan itu disebut. Namun semua in hanyalah akan menjadi sederetan konsep atau defenisi saja tanpa makna apa jika tidak ada niat iklas untuk menerima suatu perubahan sebagai sebuah proses yang perlu dan penting untuk diperhatikan. Wallahu alam bissawab. *******

107

Sufyan Sagena

108

Tentang Sebuah Lencana...

MENAKAR SULAWESI BARAT: REFLEKSI 5 TAHUN SULAWESI BARAT

HARI Jumat diyakini sebagai salah satu hari baik bagi umat Islam, dan kali ini (Jumat, 16 Oktober 2009) nilai baiknya terasa lebih lengkap karena empat senator anggota DPD Sulawesi Barat - yang untuk pertama kalinya setelah resmi menyandang atribut selaku senator - melakukan kunjungan kerja yang dikemas dalam Silaturrahmi I dengan pemerintah Kab. Majene bersama jajaran aparat birokrasi, pimpinan partai, dan tokoh masyarakat Kab. Majene. Ada yang spesial menurut penulis, karena dalam sesi dialog dan tanya jawab sebagaimana galibnya ketika rombongan petinggi negara melakukan perjalanan ke daerah, senantiasa dimanfaatkan untuk urung kepentingan, sumbang saran, atau tanggapan , ujung- ujungnya menyampaikan sejumlah daftar harapan kepada rombongan petinggi tersebut. Dalam sesi dialog, dimana penulis yang entah karena pertimbangan apa tiba- tiba didaulat menjadi moderator,
109

Sufyan Sagena

tanpa dinyana empat senator kita dengan style yang berbeda tersebut bersepakat menyoroti desain pemerintahan Sulawesi Barat dalam lima tahun terakhir ini. Paling tidak, selaku moderator dadakan, saya dan audience mencatat dua titik tekan yang masih menjadi PR rumit bagi Sulawesi Barat di masa mendatang, yaitu: masalah infrastruktur dan dissinergitas. Entah kekeliruan itu baru dirasakan oleh para senator kita atau sudah lama dirasakan tapi pura- pura tidak tahu, tapi yang jelas tersembul harapan dan keyakinan bahwa melalui 4 senator kita tersebut dapat dikomunikasikan secara efektif kepada pemerintah Provinsi Sulawesi Barat bahwa di Kab. Majene bahkan di 4 Kabupaten lainnya (Mamuju, Polewali Mandar, Mamuju Utara dan Mamasa) memendam asumsi yang sama mengenai kedua masalah tersebut. Yang pertama adalah masalah infrastruktur Sulawesi Barat yang masih jauh dari menggembirakan, karena dilihat masih sangat memprihatinkan baik dari aspek kuantitasnya terlebih lagi ketika orang berbicara aspek kualitas. Kami sebagai orang awam dan masih sedikit kampungan, dalam berbagai kesempatan diskusi kecil-kecilan sering mempertanyakan konsep desain pemerintahan, khususnya grand design konstruksi infrastruktur yang secara prioritas dibutuhkan oleh masyarakat, dan bukannya infrastruktur yang sesuai dengan selera oknum pemilik Sulawesi Barat. Mengapa muncul keprihatinan yang demikian? Karena tidak
110

Tentang Sebuah Lencana...

sedikit masyarakat awam saksikan bagaimana bangunan infrastruktur sangat khas selera oknum tertentu yang cenderung mengabaikan kebutuhan prioritas masyarakatnya. Kedua, masalah sinergitas antar institusi pemerintahan di Sulawesi Barat. Sampai saat ini masih miris rasanya ketika semua orang yang membutuhkan pelayanan pemerintah di Sulawesi Barat, berasumsi atau sering memplesetkan bahwa pemerintah provinsi merupakan kabupaten ke-6 jazirah bagian barat pulau Sulawesi ini. Mengapa demikian? Karena tidak jarang kita temukan tumpang tindih atau duplikasi program, ibarat copy-paste program tertentu, yang dinilai wah oleh beberapa oknum di provinsi yang masih menjadi kebiasaan dalam praktek pemerintahan di Sulawesi Barat. Ambil contoh sederhana misalnya, sangat sering kita dengar di beberapa kabupaten tiba-tiba muncul entah dari mana asal muasalnya sebuah program yang sama sekali tidak dikoordinasikan sebelumnya dengan pemerintah kabupaten, terlebih dengan institusi teknis di daerah. Belum lagi misalnya, program yang sudah ditentukan untuk ditetapkan di satu kabupaten namun tiba-tiba diurungkan kembali oleh oknum-oknum tertentu tanpa alasan sebelumnya. Beberapa fenomena ini menggambarkan bahwa pekerjaan rumah provinsi Sulawesi Barat masih lebih banyak ketimbang beberapa pencapaian yang telah diklaim sebagai sebuah hasil yang maksimal.
111

Tentang Sebuah Lencana...

Bagian Tiga
Hukum dan Berbagai Dimensinya

113

Sufyan Sagena

114

Tentang Sebuah Lencana...

AGAR HUKUM TIDAK MENJADI BAHAN OLOKAN

PADA awalnya, tulisan ini merupakan tugas perkuliahan penulis dalam materi Teori Pendekatan Sistem dan Konstruksi Hukum pada program S3 Ilmu Hukum, akan tetapi setelah melihat substansi dan urgensinya pada tataran aplikasi kepemerintahan di daerah, dan setelah melalui editing serta penyederhanaan, makalah ini dirubah menjadi lebih sederhana agar lebih ringan untuk dibaca. Menilik adanya political will pemerintah pusat memberikan otonomi yang lebih luas kepada daerah telah membawa pengaruh signifikan terhadap sistem pemerintahan di Indonesia pada umumnya, dan secara khusus berupa pelimpahan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Pada galibnya, pelimpahan wewenang ini atau dikenal juga dengan istilah desentralisasi, dalam teori dan praktiknya memberikan kebebasan dan kemandirian kepada masyarakat
115

Sufyan Sagena

di daerah dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, terutama untuk kepentingan masyarakat di daerah. Salah satu bentuk nyata perubahan hasil desentralisasi itu, misalnya, dapat ditemukan dalam pasal 136 UU No. 32/ 2004. Disebutkan bahwa Perda (Peraturan Daerah) dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas lainnya yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masingmasing daerah. Dengan demikian, program pembangunan produk hukum di daerah menjadi urgen karena perubahan terhadap berbagai regulasi dan peraturan perundangan, serta transformasi dinamika kemasyarakatan dan pembangunan daerah, menuntut pula adanya penataan sistem dan kerangka hukum yang mendasarinya, melalui program legislasi produk hukum daerah. Tentu saja dengan harapan, sekiranya program penataan regulasi dapat dilaksanakan dengan baik, maka diyakini akan memberi trend positif terhadap pembangunan, dengan beberapa indikasi seperti; berlangsung secara teratur, antisipatif terhadap berbagai kecenderungan (predictability), berorientasi pada kepastian hukum (rechtszekerheid), memiliki manfaat yang luas bagi publik, dan terwujudnya rasa keadilan masyarakat (gerechtigheid).
116

Tentang Sebuah Lencana...

Kendati demikian, program pembentukan Perda di berbagai daerah sepanjang pengamatan penulis selama ini, cenderung masih jarang didasarkan pada Prolegda (Program Legislasi Daerah. Akibatnya, kita dengan mudah bisa mendapatkan berbagai produk hukum daerah yang dihasilkan kurang terintegrasi dengan bidang-bidang pembangunan lainnya. Bahkan, tidak jarang terjadi beberapa Perda yang tumpang tindih dan tidak sesuai dengan norma maupun azas-azas pembentukannya, atau ada Perda yang tidak dapat dilaksanakan dan tidak dapat dioperasionalkan, ataupun Perda yang tidak memiliki kepekaan sosial. Pembentukan Perda yang demikian biasa disebut sebagai Perda bermasalah atau Perda mati suri. Berkenaan dengan persoalan tersebut, UU No. 10/ 2004 sebenarnya sudah mengamanatkan tentang pentingnya Prolegda dalam program pembentukan produk hukum daerah. Namun, masih jamak ditemui adanya kecenderungan permasalahan yang sebenarnya lebih berorientasi pada alasan klasik, yaitu belum dimilikinya kesadaran dari beberapa aparat pengelola di lapangan akan pentingnya mengusung sinergitas dalam setiap pembentukan Perda. Hal ini mungkin telah menjadi fenomena di berbagai daerah, bahwa sangat jarang bahkan mungkin tidak pernah terjadi Ranperda dibahas secara tuntas melalui tim Prolegda, karena belum dimilikinya kesadaran konstitusional aparat birokrasi pemerintah daerah untuk merencanakannya secara
117

Sufyan Sagena

terpola, sistematik, dan terpadu akan kebutuhan Perda untuk masa tertentu. Sehingga yang ada adalah pembahasan rancangan Perda ketika ada pesanan maupun desakan dari pihak- pihak tertentu.
Pentingnya Prosedur Perencanaan yang Sistemik

Salah satu indikator terciptanya good governance pada tataran lokal adalah ditetapkannya sejumlah regulasi daerah yang dapat menciptakan multiplier effects. Secara normatif, pasal 1 angka 10 UU No. 10/ 2004 menyebutkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan sebuah proses sistemik yang prosesnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Dengan demikian, bertolak dari pengertian tersebut, maka perencanaan merupakan tahap yang paling krusial dan penting yang harus diperhatikan dalam setiap pembentukan produk hukum di daerah. Paling tidak, terdapat empat alasan mengapa pembentukan produk hukum daerah perlu didasarkan pada Prolegda. Pertama, agar pembentukan Perda berdasar pada skala prioritas sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Kedua, agar Perda sinkron secara vertikal dan horisontal dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Ketiga, agar pembentukan Perda dapat terkoordinasi, terarah, dan terpadu yang disusun bersama antara DPRD
118

Tentang Sebuah Lencana...

dan Pemerintah Daerah. Keempat, agar produk hukum daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional. Selain itu, meminjam pendapat Mahendra (2005), terdapat beberapa alasan mengapa Prolegda diperlukan dalam perencanaan pembentukan produk hukum daerah, antara lain; 1) untuk memberikan gambaran objektif tentang kondisi umum mengenai permasalahan pembentukan Perda, 2) untuk menentukan skala prioritas penyusunan Ranperda skala jangka panjang, menengah atau jangka pendek, 3) untuk menyelenggarakan sinergi antara lembaga yang berwenang membentuk Perda, dan 4) untuk mempercepat proses pembentukan Perda dengan fokus skala prioritas yang ditetapkan maupun menjadi sarana pengendali kegiatan pembangunan bidang hukum. Sekiranya, pilar-pilar sinergitas yang dikemukakan di atas dapat diusung dan diaplikasikan di daerah, maka perkembangan atau trend negatif yang muncul dari perumusan yang asal jadi, dapat dieleminir sedini mungkin. Contoh trend negatif yang kerap terjadi antara lain; penyusunan Ranperda tanpa perencanaan yang jelas dan sering kali tidak terkait dengan RPJM/Renstra SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), atau DPRD dan SKPD kesulitan untuk mengusulkan yang sesungguhnya dibutuhkan karena tidak adanya acuan, atau pengusulan Ranperda oleh SKPD seringkali tanpa melalui kajian yang mendalam karena tidak diagendakan dalam program/ kegiatan SKPD, atau kesulitan
119

Sufyan Sagena

dalam proses penyusunan perda, misalnya dalam penganggaran, evaluasi/pengkajian, penyusunan naskah akademik, atau kurang mampu menjaring partisipasi dan mengakomodir kepentingan publik.
Prospek Pengaturan Penyusunan Program Legislasi Daerah

Berbeda dengan Prolegnas (program legislasi nasional) yang telah diakomodir pengaturannya secara memadai dalam UU No. 10/ 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maupun dalam Peraturan Presiden No. 61/ 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, maka tidak demikian halnya dengan Prolegda. Dalam UU No. 10/ 2004, materi tentang Prolegda hanya ditemukan dalam dua pasal, yaitu Pasal 1 tentang batasan pengertian Prolegda dan Pasal 15 ayat (2) mengenai keharusan perencanaan penyusunan Perda dilakukan dalam suatu Prolegda maupun sebagaimana telah diatur sebelumnya dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 169/ 2004 tentang Pedoman Penyusunan Prolegda. Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut antara lain menetapkan prosedur Prolegda Kabupaten/Kota disusun melalui tahapan: 1). Pimpinan unit kerja menyiapkan rencana Prolegda kabupaten/kota setiap tahun sesuai kebutuhan yang menjadi kewenangannya berdasarkan tugas pokok dan fungsi masing-masing unit kerja.
120

Tentang Sebuah Lencana...

(2). Pembahasan rencana Prolegda Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh Bagian Hukum Sekretariat kabupaten/Kota. (3). Hasil pembahasan prolegda Kabupaten/Kota diajukan oleh Bagian Hukum Sekretariat Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota. (4). Prolegda Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/ Walikota. Barangkali, yang menjadi persoalan sekarang adalah, apakah yang dapat dijadikan acuan baku dalam penyusunan Prolegda, baik menyangkut substansi maupun mekanismenya ? Apakah ketentuan yang ada dalam UU No. 10 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005 tentang tata cara penyusunan dan pengelolaan prolegnas, dapat dijadikan acuan? Atau perlu diatur terlebih dahulu dalam Perda atau Peraturan Kepala Daerah? Dengan menggunakan pendekatan konstruksi teori hukum melalui argumentum penganalogian, dimana penyusunan Prolegnas sebagaimana diatur dalam UU No. 10/ 2004 dan Peraturan Presiden No. 61/ 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Prolegnas, maka tata cara penyusunan Prolegda sebaiknya diatur dalam Peraturan Kepala Daerah, sedang mekanisme penyusunan Prolegda di lingkungan DPRD perlu diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.
121

Sufyan Sagena

Singkatnya, terkait dengan proses pembentukan produk hukum daerah, Prolegda memiliki kedudukan yang sangat penting karena menjadi rujukan secara sistemik dalam setiap perencanaan pembentukan Ranperda. Dengan demikian diharapkan dapat bermuara pada keyakinan untuk menekan berbagai masalah dalam pembentukan Perda, seperti kesulitan dalam proses penganggaran, evaluasi/ pengkajian, atau dalam penyusunan naskah akademik, maupun munculnya Perda yang tumpang tindih (tidak sinkron) dan tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
Agar Hukum Tak Menjadi Bahan Olokan

Setelah berbagai argumen dan perspektif hukum dikemukakan di atas sebagai sebuah pendekatan sistem , selanjutnya timbul pertanyaan yang perlu kita dicermati sebagai eksekutor kebijakan produk hukum di daerah: apakah masih ada oknum yang merasa tidak bersalah secara moril ketika persoalan pembangunan hukum menjadi bahan olok- olok berbagai pihak hanya karena kita tidak bersedia menerima perbedaan dan tidak ksatrianya kita mengisi hidup ini dengan meningkatkan pemahaman diri sendiri agar dapat menerima kebajikan yang ditebarkan oleh pihak lain demi kemajuan pembangunan - khususnya upaya saling berbagi dalam pembentukan produk hukum di jazirah yang selalu kita klaim sebagai pemilik ammalabiang atau keutamaan/ martabat ini? Wallahu Alam Bissawab. *******
122

Tentang Sebuah Lencana...

PEMILUKADA DAN NETRALITAS PEGAWAI NEGERI SIPIL

DI FACEBOOK, seorang teman penulis menulis di akunnya tentang pemilukada Kab. Majena, katanya, empat pasang calon Bupati Majene telah mendaftar di KPU Majene, kita berharap siapapun yang terpilih itu adalah kemenangan rakyat Majene. Dan yang lebih penting, Pilbup Majene berlangsung damai dan sukses serta setelahnya suasana Pilbub Majene 2007 lalu kembali terulang .... tidak ada lawan . semua saudara dan dirangkul bergandengan tangan berbuat untuk Majene yang lebih baik. Penggalan kalimat ini sarat dengan harapan-harapannya terhadap pelaksanaan pemilukada di salah satu kabupaten di Sulawesi Barat ini. Genderang politik lokal Majene setidaknya resmi dimulai sejak Rabu 7 Februari 2011 ketika empat pasang kompetitor seakan sepakat menandai angka ganjil pada minggu kedua bulan Februari ini untuk mendaftar ke KPUD. Diawali pasangan H. Arifin Nurdin- H.M. Rizal Muchtar
123

Sufyan Sagena

(AFDALTA) yang mendaftar pada hari Senin (7 Februari 2011), beberapa jam sebelum pasangan H. Kalma KattaH. Fahmi Massiara (KAMI) mendaftar. Kemudian pada hari Rabu (9 Februari 2011), giliran pasangan H.M. Rizal Siradjuddin-H.M. Rusbi Hamid (MARASA) mencatatkan diri, sebelum pasangan H. A. Syukri Tammalele- Hj. Sahariah (AST-SYAH). Entah kebetulan atau tidak, tidak ada keterangan yang diperoleh tentang latar belakang empat pasangan tersebut memilih hari dan tanggal yang ganjil , yaitu hari Senin dengan Rabu, tanggal 7 dan 9. Tetapi mungkin ini ada kaitannya dengan kebiasaan para orang tua: jika ingin memulai sesuatu yang baik, misalnya mendirikan rumah, mattandajari (peresmian pertunangan), akad nikah, dan sebagainya, hendaknya senantiasa memilih hari Senin atau hari Rabu. Katanya, itu hari-hari baik. Bagaimana pula dengan pilihan tanggal ganjil di awal bulan seperti tanggal 3, 5, 7 atau 9? Mungkin hal ini lebih cenderung pada pertimbangan efektivitas dan efesiensinya sebuah kegiatan dilakukan pada saat tanggal muda, suatu istilah yang paling populer di kalangan PNS. Dari sini penulis ingin menarik benang merah yang mengaitkan posisi PNS (pegawai negeri sipil) dalam suatu proses pemilukada, karena salah satu isu yang sering mencuat adalah bagaimana meninjau netralitas seorang PNS dalam proses pemilukada. Berbicara soal proses tidak terlepas dari serangkaian kegiatan pemilukada dimana keberadaan PNS senantiasa
124

Tentang Sebuah Lencana...

dicurigai tidak netral sehingga posisi PNS di era pemilihan langsung ini sering serba salah. Maju kena mundur kena, demikian ungkapan pesimis seorang teman penulis. Bahkan ada teman PNS yang meskipun sudah berpangkat tinggi dan berpendidikan magister, namun terkesan sangat takut (apa benar-benar takut?) jika namanya dicatat, diintai, atau sejenisnya. Malah sering memberi penilaiannya ketika berdialog dengan penulis dengan menyatakan bahwa penulis terlalu normatif dan mengagungkan teori, padahal katanya fakta sudah banyak membeberkan berapa banyak PNS yang menjadi tumbal hanya karena dicurigai tidak netral. Pertanyaannya, apakah betul selaku warga negara seperti yang lainnya, PNS secara individu dilarang menghadiri kegiatan terbuka setiap pasangan calon yang sedang berkompetisi?
Menginterpretasi Netralitas PNS

Bagaimanakah sebenarnya bentuk netralitas PNS itu? Bukankah PNS memiliki hak untuk memilih sendiri? Di sini, penulis berupaya mendudukan kata netral itu melalui pendekatan norma hukum dengan melakukan interpretasi sistemik terhadap sejumlah regulasi (bukan satu peraturan perundang-undangan) yang terkait. Sederhananya, mencoba mengurai arti kata netral dari beberapa regulasi yang dipergunakan agar kita semua tidak lagi terbelenggu dalam permasalahan yang sebenarnya tidak dipersoalkan secara yuridis ini. Pemahaman mengenai ini penting diketengahkan
125

Sufyan Sagena

agar PNS sendiri mengetahui hak-haknya dalam konteks yang dibahas in. Menurut salah seorang ahli ilmu hukum, Hilman Hadikusumo, sifat ilmu hukum itu adalah dogmatis dan sistemati. Dogmatis dimaksudkan berprasangka baik, berpedoman pada cara dan pendirian tertentu yang dianggap baik, sedang sistematis dimaksudkan sebagai kebulatan pengertian dimana yang satu bertautan dengan yang lain atau ada hubungan fungsi antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga makna yang dipergunakan memberikan kesatuan pengertian yang mudah dipahami. Ahli hukum lainnya, Sudikno Mertokusumo, memberi batasan tentang penafsiran hukum sebagai rekonstruksi pemikiran yang tersimpul dalam undang-undang, di mana dalam suatu peristiwa konkrit dapat terjadi unsur yang satu harus didahulukan dari unsure yang lain. Bagi Von Savigny pula menyimpulkan bahwa penafsiran hukum adalah sebuah seni. Salah satu azas yang berlaku secara universal menyebutkan bahwa jika ada dua atau lebih aturan hukum yang mengatur hal yang sama, maka cara yang dapat ditempuh adalah meneliti tingkat derajat peraturan itu (derajat tertinggi yang diberlakukan/ asas hirarki) , kemudian meneliti ruang lingkup/isi substansi pengaturan yang diatur (aturan khusus yang diberlakukan/asas kekhususan), dan selanjutnya meneliti masa waktu berlakunya peraturan (aturan terakhir terbit yang diberlakukan/asas kebaharuan). Contoh
126

Tentang Sebuah Lencana...

interpretasi sistemik dalam konteks yang dibahas ini diuraikan pada bagian berikut ini. Memperhatikan ketentuan PP No. 6/ 2005 dalam Bab VI tentang Kampanye, bagian ketiga tentang Larangan Kampanye, disebutkan: Pasal 61 (1) Dalam kampanye, pasangan calon atau tim kampanye dilarang melibatkan; hakim pada semua peradilan, pejabat BUMN/ BUMD, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan Kepala Desa; (3) Pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan Kepala Desa, dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye. Selanjutnya Pasal 62 disebutkan bahwa pasangan calon dilarang melibatkan; PNS, anggota TNI, anggota Polri sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam pemilihan; Khusus Pasal 63 (4) menyebutkan bahwa pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dan Pasal 62 dikenai sanksi penghentian kampanye selama masa kampanye oleh KPUD. Pada hakikatnya, Pasal 61 dengan Pasal 62 tersebut merujuk pada perbuatan yang dilakukan oleh pasangan calon atau tim kampanye pasangan calon untuk tidak melibatkan PNS (ada unsur mengajak/mempengaruhi), sedang sanksi yang diberikan sekiranya ketentuan itu dilanggar berupa penghentian kegiatan kampanye yang
127

Sufyan Sagena

dikeluarkan oleh penyelenggara pemilukada, yaitu KPUD. Artinya, sanksi atas pelanggaran terhadap Pasal 61dan Pasal 62 ditujukan kepada pasangan calon bersama timnya, bukan kepada PNS yang secara sukarela tanpa diundang atau tidak digiring dan tidak diarahkan untuk mengikuti kampanye yang dimaksud. Selanjutnya, memperhatikan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 7/2009 tentang Netralitas PNS dalam pemilihan umum, khususnya larangan PNS dalam memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, melalui cara: (a) Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah; (b) Menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan untuk kegiatan kampanye; (c) Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; (d) Menjadi anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam kegiatan pemilu tanpa izin langsung dari atasan.
PNS Tidak Perlu Gamang

Setelah memperhatikan penafsiran normatif yang sistemik dari dua ketentuan yang jadi acuan di atas, tidak satupun yang secara tegas menunjuk pelarangan atas
128

Tentang Sebuah Lencana...

kehadiran PNS secara individu/sukarela datang ke tempat lokasi terbuka kampanye setiap pasangan calon berkampanye. Yang ada adalah melarang melibatkan PNS baik langsung atau tidak langsung, secara bersamasama, atau pengaruh-mempengaruhi. Perlu diperhatikan bahwa sebagaian besar PNS memiliki harapan dan keinginan untuk terlepas dari jebakan pemaknaan yang dangkal yang membelenggu kemandirian PNS untuk mengapresiasi secara positif kegiatan demokratisasi ini. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah PNS tidak bersikap gamang dalam menentukan pilihannya karena hak tersebut dijamin secara konstitusional, meski sekedar mendengar visi dan misi setiap calon pemimpin yang akan menentukan wajah daerah ini minimal 5 tahun ke depan. Berdasarkan latar belakang pendidikannya, kalangan PNS termasuk kategori pemilih rasional, maka sepatutnya seorang PNS mampu menjatuhkan pilihannya berdasarkan kesamaan rasionya terhadap visi dan program salah satu pasangan kompetitor yang ada, terutama yang bersentuhan dengan keberadaan dirinya selaku unsur pelaksana. Dengan demikian, dalam hemat penulis, keberadaan PNS pada setiap momen politik secara terbuka (seperti kampanye, rapat umum, atau debat kandidat) adalah sesuatu yang biasa, lumrah, malah cederung penting. Dengan catatan, PNS yang bersangkutan tidak melakukan aktivitas yang diblacklist oleh regulasi yang mengatur, seperti memakai
129

Sufyan Sagena

atribut/pakaian/lambing/identitas partai, atau memakai pakaian/atribut PNS dan menggunakan fasilitas dinas, melakukan tindakan yang dapat membuat orang lain terpengaruh, dan sebagainya. Singkatnya, PNS berhak datang secara sukarela untuk mendengar visi dan misi serta program dari pasangan calon manapun yang sedang berkampanye. Semoga tulisan ini bisa menjernihkan polemik yang kadang menghantui PNS setiap kali pemilukada tiba, bahwa landasan hukum yang terkait posisi PNS sangat jelas dan sepatutnya dijadikan pegangan yang membawa perasaan aman, bukan sebaliknya merasa takut. Sekali lagi, harapan kita yang mungkin sama dengan kutipan status Facebook di awal tulisan ini, semoga niat baik yang diawali di hari baik dan tanggal baik dapat dilaksanakan dengan baik dan diakhiri dengan baik serta menghasilkan sesuatu yang baik pula, untuk daerah yang kita cintai ini. Wallahu a`lam bissawab. *******

130

Tentang Sebuah Lencana...

MENCERMATI KEBIJAKAN DAN KEBIJAKSANAAN

DALAM kehidupan sehari- hari, barangkali kita sering menggunakan kosa kata yang memiliki makna ganda yang sangat berbeda maksudnya, digunakan untuk satu tujuan yang justeru menimbulkan tafsir yang beragam karena digunakan secara overlapping. Apabila sering digunakan maka tidak menutup kemungkinan masyarakat awam akan semakin kebingungan menafsirkan beberapa kosa kata bahasa Indonesia, yang biasa didengar dalam berbagai kesempatan atau diucapkan. Terlebih lagi jika kata atau istilah itu keluar dari mulut mereka yang memiliki pendidikan dan kedudukan tertentu, yang semestinya tidak boleh keliru menempatkan kosa kata yang dimaksud. Misalnya, sebagian orang sering tidak dapat membedakan arti kata perdata dengan keperdataan, kata KUHP dengan KUHAP, dan yang paling sering keliru adalah pengucapan kata kebijakan dengan kebijaksanaan yang sering
131

Sufyan Sagena

dicampur aduk untuk memberi pemaknaan terhadap sesuatu kegiatan yang justeru memiliki dampak hukum.
Pengertian dan Makna kata Kebijakan dan Kebijaksanaan dari Perspektif Hukum

Dalam teori ilmu hukum, dapat kita temukan perbedaan substantif kata kebijakan dengan kata kebijaksanaan ditinjau dari perspektif hukum. Singkatnya, yang dimaksud dengan kebijakan adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang sifatnya tertulis, ditetapkan oleh lembaga/ institusi/pejabat yang berkompeten untuk itu. Contoh, kita sering mendengar pernyataan seperti salah satu kebijakan daerah adalah dalam konteks kalimat itu dapat diasumsikan bahwa kata kebijakan daerah disini antara lain adalah peraturan daerah (Perda). Kenapa peraturan daerah? Karena peraturan daerah merupakan salah satu produk hukum yang dibuat oleh lembaga yang berwenang (eksekutif daerah dengan legislatif daerah) yang dapat dijadikan dasar hukum penyelenggaraan kepemerintahan di daerah - sebagai hasil kewenangan yang dimiliki sebagai daerah otonom maupun atas perintah dari regulasi yang derajatnya lebih tinggi, disamping produk hukum lainnya yang secara nasional merupakan satu kesatuan dalam pembinaan sistem hukum nasional. Contoh lain yang dapat dikemukakan mengenai salah satu hak setiap PNS adalah memperoleh hak melaksanakan
132

Tentang Sebuah Lencana...

cuti (tahunan, tugas belajar, karena alasan penting, diluar tanggungan negara). Pelaksanaan cuti bagi setiap PNS merupakan pelaksanaan kebijakan kepemerintah yang memenuhi syarat atas permohonan cutinya, misalnya cuti tahunan itu berlaku selama 12 hari kerja. Hal itu adalah kebijakan, karena secara tertulis termuat dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 24 Tahun 1976 yang menjadi dasar bagi setiap PNS yang melaksanakan cuti tahunannya. Persoalannya akan berbeda jika PNS yang bersangkutan melaksanakan cuti tahunannya melebihi 12 hari, misalnya menambah 3 hari sehingga cutinya menjadi terhitung 15 hari kerja. Durasi waktu yang 3 hari itu bukan merupakan kebijakan tapi kebijaksanaan yang belum tentu dikeluarkan secara tertulis oleh pejabat yang berkompeten menerbitkan persetujuan cuti yang dimaksud.
Kebijakan yang Tepat dan Benar dari Pejabat yang Berkompeten

Untuk lebih menambah khasanah hukum kita masingmasing, penulis mengutip tulisan begawan hukum progresif Indonesia, Satjipto Raharjo dalam bukunya Hukum dan Perilaku, dimana dalam salah satu bab yang berjudul Hidup Baik adalah Cara Berdasar Hukum Terbaik, antara lain ditulis bahwa, salah kabupaten di Jawa Tengah (Karanganyar), berhasil menetapkan sebuah kebijakan daerah dalam sebuah peraturan tertulis yang unik oleh Bupati (perbup). Pada hari tertentu seluruh pegawai pemerintah
133

Sufyan Sagena

di kantor Bupati harus menggunakan bahasa Jawa halus (kromo inggil). Pada suatu waktu, secara kebetulan pada waktu yang ditetapkan tersebut terjadi sebuah demonstrasi besar-besaran di kantor Bupati, karena waktunya jatuh bersamaan dengan keharusan menggunakan bahasa jawa halus dimaksud sehingga para demonstran harus tunduk pada aturan tersebut. Apa yang terjadi? Mereka para demonstran tidak dapat berteriak- teriak dan tidak dapat menggunakan kata-kata kasar dan keras seperti lazimnya dalam demonstrasi massa. Akhirnya, dengan cara berkomunikasi secara halus itu, persoalan dapat diselesaikan dengan baik tanpa ribut-ribut apalagi menggunakan kekerasan fisik. Kejadian tersebut dapat menjadi bukti bahwa penggunaan dan pelaksanaan kebijakan dengan tepat dan benar dapat memberikan dampak yang baik. Kebijakan itu berbentuk sebuah regulasi yang tertulis, dibuat oleh institusi/ lembaga/pejabat yang berkompeten dan dijadikan sebagai dasar hukum.
Penutup: Sebuah Intermezzo

Dalam sebuah diklat yang pernah penulis ikuti, salah seorang widya iswara senior berimprovisasi untuk mengusir kelelahan dan rasa kantuk peserta diklat dengan memberi joke segar. Syahdan, katanya, pernah suatu waktu beberapa anggota tubuh kita ini melakukan semacam seminar tentang
134

Tentang Sebuah Lencana...

keutamaan eksitensinya masing-masing. Mulailah sepasang mata dengan bangganya mengutarakan keutamaannya, mengatakan bahwa sayalah yang paling utama, karena tanpa sepasang mata normal maka tubuh manusia tidak akan dapat bergerak leluasa. Selanjutnya, organ tubuh telinga mengatakan bahwa tubuh manusia sangat tergantung dengan kedua pasang telinga, karena tanpa telinga, manusia pasti tidak dapat memperoleh informasi yang penting untuk dirinya. Singkatnya, hampir seluruh organ vital manusia memaparkan kelebihan dan keutamaannya masing-masing dan mengklaim bahwa keberadaan merekalah yang sangat menentukan bagi manusia. Akan tetapi, sebelum hasil seminar itu disimpulkan dan ditutup, tampillah salah satu organ tubuh manusia yang selama ini merasa disepelekan karena fungsi dan posisinya berada pada lokasi yang kotor menurut organ tubuh lainnya, yaitu anus. Oleh anus, karena sudah merasa rendah diri sebelumnya, cuma menyebutkan bahwa betul: mata, telinga, paru-paru, jantung dan lainnya merasa utama, akan tetapi kalau saya (baca: anus) tidak berfungsi dengan baik, maka seluruh organ tubuh lainnya akan terpengaruh keutamaannya bahkan menjadi tidak berarti apa-apa. Mungkin benang merahnya dapat ditarik dengan mengaitkannya dengan fungsi masing-masing organ dalam kepemerintahan, meskipun hanya organ kecil atau pegawai bawahan dalam sebuah institusi, namun jika melaksanakan tugasnya dengan berkompeten dan disiplin, maka itu akan
135

Sufyan Sagena

menjadi kontribusi besar dalam institusinya. Demikian pula jika yang dilakukan adalah sebaliknya, maka dapat merusak sistem yang lebih besar lagi. Allahu alam bissawab. *******

136

Tentang Sebuah Lencana...

HUKUM SEBAGAI KENYATAAN DALAM MASYARAKAT: MUNGKINKAH?

SALAH satu persepsi utama dalam melihat hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat adalah hukum tidak otonom atau tidak mandiri seperti yang dianut oleh kaum dogmatik. Berarti, hukum itu tidak terlepas dari pengaruh timbal balik dengan keseluruhan aspek yang ada di dalam masyarakatnya, yaitu aspek ketertiban, ekonomi, politik, sosial, budaya, agama dan sebagainya. Pembahasan hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat jelas bersifat realistis dan empiris ketimbang pembahasan hukum sebagai kaidah yang bersifat normatif belaka. Oleh karena itu,jika kita membahas hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat, berarti kita tidak bisa mengabaikan sifatnya yang interdisipliner, seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr.Satjipto Rahardjo,S.H.(1985: 5) berikut ini:
137

Sufyan Sagena

Sekarang hukum tidak lagi dilihat sebagai suatu hal yang otonom dan independen melainkan dipahami secara fungsional dan lihat senantiasa berada dalam kaitan interdependen dengan bidang-bidang lain dalam masyarakat.

Mengapa demikian? Hal ini tidak terlepas dari perubahan yang semakin lama semakin drastis dalam masyarakat di akhir abad ke-20 dan menjelang abad ke21. Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai hasil modernisasi dan industrialisasi telah menimbulkan perubahan dalam bidang hukum termasuk metode mempelajarinya seperti dijelaskan Satjipto Rahardjo (1985: 3) berikut ini:
Hukum tidak lagi dilihat sebagai satu-satunya alternatif dalam pengaturan masyarakat. Disadari atau tidak, sejak zaman kemerdekaan, sebetulnya telah terjadi suatu kompetisi terbuka antara keinginan untuk mepertahankan tatanan hukum dengan usaha untuk melakukan penataan kembali politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan negeri ini. Sudah semestinya, jika dalam keadaan demikian orang mulai memikirkan kembali halhal yang selama ini tidak pernah diragukannya. Pada saat para pengkaji hukum merasa cukup puas dengan kemampuan hukum untuk menguasai masyarakat, pada waktu itu pula mereka menerima hukum sebagai sesuatu yang praktis. Pikiran orang hanya ditujukan kepada pemahaman dan penguasaan hukum positif, seperti bagaimana menafsirkannya dan bagaimana pula menerapkannya. Kehadiran hukum tidak pernah dipersoalkan, sebaliknya diterima sebagai sesuatu yang seharusnya dijalankan atau sesuatu yang tinggal diterapkan saja.

138

Tentang Sebuah Lencana...

Pernyataan Trubek (1972:1) berikut ini dapat memperjelas maksud tersebut di atas, dimana ...hukum melibatkan diri kepada pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang apakah sebenarnya fungsi sosial, politik dan ekonomi dari tatanan hukum itu. Akhirnya, kesimpulannya dapat dilihat dari rumusan Satjipto rahardjo (1985:7) berikut bahwa dunia hukum yang semula bersifat esoteric dan mengklaim sebagai wilayah yang otonom, tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi. Ada dua faktor yang pada hemat saya menimbulkan situasi demikian, yaitu sebagai berikut: Pertama, ketidakmampuan sistem hukum yang ada untuk menjadi sarana masyarakat Indonesia masa kini. Ketidakmampuan ini berhubungan erat dengan perubahan sosial politik yang terjadi sebagaimana diuraikan sebelumnya. Dihadapkan pada perubahan-perubahan demikian, maka hukum kehilangan cengkramannya terhadap masyarakat. Sistem hukum telah mengalami sesuatu kekurangan (shortage). Kedua, adanya keinginan untuk membentuk suatu kehidupan dan tata kehidupan baru di Indonesia. Sebagaiman dikemukakan pada kutipan Repelita di atas, sekarang kita sedang berada di tengah-tengah proses transformasi untuk menjadi suatu masyarakat industri modern. Hal ini akan mengandung arti bahwa hukum dituntut untuk turut serta membangun tatanan dalam masyarakat baru
139

Sufyan Sagena

yang dicita-citakan tersebut. Tentunya, di dalam menjalankan tugasnya, hukum tidak bisa melepaskan diri dari determinan yang ada, seperti Pancasila. Filsafat Pancasila ini beserta tujuan-tujuan yang tercantum pada pembukaan UUD 1945 menjadi kerangka acuan penbinaan tata hukum yang baru. Secara singkat, bisa dikatakan bahwa sistem yang baru nanti bukan bersifat mempertahankan status quo, melainkan merupakan cetak biru dari masyarakat yang diinginkan. Oleh karena itu, dalam hubungan ini dikenal beberapa istilah, seperti legal engineering, legislative forward planning, social engineering by law, ahli hukum sebagai arsitek sosial, dan sebagainya.
Apakah Hukum Sudah Mati?

Meminjam pemikiran Trubek, keadaan demikian menempatkan suatu bangsa di tengah-tengah krisis hukum, kemudian pertanyaan yang timbul adalah Apakah hukum sudah mati? Hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat, mau tidak mau, senantiasa menekankan keterlibatkan para yuris dalam sektor-sektor non-hukum. Seperti keterlibatan sarjana hukum dalam berbagai kegiatan pranata sosial lain diluar sektor hukum, yang sudah sejak puluhan tahun silam dikemukakan oleh W. Friedmann (1953;447): 1. There is escape for the law struggles of life. Each legal philosophy, each legal system , each judgment is necessarily related, though possibly remotely, to political
140

Tentang Sebuah Lencana...

ideology. The self-suffisiency of law is an illusion. It is, to use a well-known phrase by moltke, a dream, but not even a beautiful on. 2. Legal technique is always subordinate to social ideals. The technically most divergent legal system can attain similar social ends if inspired by similar perpose; on the other hand, the close affinity of legal techniq1ue gives no basis for harmony and cooperation where the purpose differ. 3. The study and practice of law provides one avenue to a diagnosis of social crsiis, no less so than any other social science. Consequently the lawyer, not only the legistator, is just as much concerned withsosial change as the politican, the economist, the sociologist, Or the preacher. It follows that there is no reason why the lawyer should not play a leading part in social reform. Dalam kaitan ini, Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, mengemukakan bahwa:
Kesulitan menggunakan hukum sebagai suatu alat untuk mengadakan perubahan-perubahan kemasyarakatan ialah kita harus sangat berhati-hati agar tidak ada kerugian bagi masyarakat.Tindakan demikian tidak semata-mata merupakan tindakan legislative atau peradilan (yudikatif) yang secara formal yuridis harus tepat karena eratnya keterkaitan hukum dengan segi-segi sosiologi, antropologi, dan kebuydayaan. Karena itu, ahli hukum di suatu masyarakat

141

Sufyan Sagena

yang sedang membangun memerlukan pendidikan yang lebih baik, dalam arti meliputi suatu spektrum ilmu-ilmu sosial dan budaya yang dibutuhkan dalam mempelajari hukum positf.

Jadi, kajian hukum sebagai kaidah, problemnya jauh lebih sedikit dari pada mengkaji hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat. Sebaliknya, kajian hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat memiliki persoalan yang lebih kompleks karena melibatkan keseluruhan aspek lain dari kehidupan manusia. Dan salah satu tugas hukum adalah melindungi kepentingan masyarakat. Hukum bertugas mengatasi konflik kepentingan yang mungkin timbul diantara anggota masyarakat. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo (1982: 24):
betapa hukum itu ada dalam masyarakat untuk keperluan melayani masyarakatnya. Karena ia melayani masyarakatnya, maka ia sedikit banyak didikte dan dibatasi oleh kemungkinankemungkinan yang bisa disediakan oleh masyarakatnya. Dalam keadaan demikian, apa yang bisa dilakukan hukum turut ditentukan oleh sumber daya yang ada dan tersedia dalam masyarakatnya

Atau seperti yang dituliskan oleh Dennis LIoyd (1974: 7) berikut ini. law is one of the institutions which are central to the social nature of man and without which he would be a very different creature Apa yang harus kita jadikan dasar untuk memulai bahasan kita tentang hukum sebagai kenyataan dalam
142

Tentang Sebuah Lencana...

masyarakat dan hukum sebagai fenomena sosial? Kita harus mulai dari manusia yang dilayani oleh hukum itu. Manusia selain sebagai individu juga sebagai mahluk sosial. Artinya, manusia tidak mungkin mempertahankan kelangsungan hidupnya tanpa ketergantungan pada manusia lain. Di dalam masyarakat modern, mustahil seseorang akan mampu hidup tanpa ketergantungan pada manusia lain. Untuk hal itu, penulis menganggap tidak perlu memberi contoh lagi. Bahkan, dalam era globalisasi ini, ketidakbergantungan manusia sebagai mahluk sosial berarti kita telah memasuki pembahasan mengenai dimensi sosial dalam kehidupan manusia. Manusia di dalam dimensi sosialnya selalu berada dalam lingkaran yang terdiri minimal 4 unsur, yaitu: ketertiban (order), sistem sosial, pranata-pranata sosial, dan pengendalian sosial. Keempat unsur itu harus kita pahami baik-baik sebelum kita lanjutkan pasca pembahasan hukum sebagai kenyataan sosial. Untuk menjelaskan keempat unsur itu, penulis akan mengemukakan dalam contoh di bawah ini: Si A merupakan seorang mahasiswa di kota X yang setiap hari naik bus ke kampusnya. Dapat dibayangkan , terdapat ratusan ribu kendaraan maupun pejalan kaki yang lalulalang memenuhi jalan-jalan di kota X,tetapi hanya sedikit sekali yang kebetulan bertabrakan. Apakah yang menyebabkan keteraturan itu? Keteraturan itu disebabkan adanya ketertiban (order). Ketertiban ini merupakan syarat
143

Sufyan Sagena

mutlak bagi berlangsungnya hubungan antara anggota masyarakat. Si A harus membayar tarif angkutan bus sekian rupiah, si A juga harus bekerja untuk mencapai taraf kehidupan yang memadai. Agar dapat memperoleh pekerjaan yang pantas haruslah memiliki keahlian tertentu melalui pendidikan formal di sekolah, atau non-formal dan seterusnya dan seterusnya. Hubungan-hubungan yang teratur tersebut merupakan proses yang di pertahankan oleh sistem sosial, sebagaimana dianut oleh Talcott Parsons (dalam Hugo F.reading,1986: 428), bahwa sistem sosial adalah suatu sistem tindakan yang saling terkait antara individu pelakunya. Di mana si A bersekolah? Di Universitas X. Kalau si A memerlukan buku-buku di mana ia membeli? Di toko buku. Kalau si A mencuri, siapa yang berwenang mengadilinya? Pengadilan! Nah, pengadilan, universitas, toko buku, dan sebagainya adalah lembaga sosial. Dengan demikian, fungsi lembaga sosial ini ialah menyelenggarakan berbagai kebutuhan (pokok) secara tertib dan teratur . Setiap sistem sosial memiliki cara mempertahankan dan mengembangkan sendiri. Upaya sistem sosial untuk mempertahankan diri itu disebut pengendalian sosial. Kalau si A merampok atau membunuh atau memperkosa, maka harus ada mekanisme dalam sistem sosial itu untuk menghadapi penyimpangan tersebut. Karena itulah, Berger
144

Tentang Sebuah Lencana...

& Berger (1976: 201) menyatakan bahwa pengendalian sosial berfungsi untuk mengatur tingkah laku orang-orang agar sejalan dengan kemauan masyarakat. Mekanisme pengandalian sosial itu beraneka ragam wujudnya, antara lain: dipergunjingkan, disisihkan dari pergaulan, dihukum denda,dihukum penjara,bahkan hingga yang terburuk, yaitu dihukum mati. Apa yang harus menentukan bahwa tindakan X harus didenda, sedangkan tindakan Y harus dipenjara? Yang menentukan adalah hukum. Hukum ini tidak jatuh begitu saja dari langit, melainkan bagian dari suatu proses sosial yang berlangsung dalam masyarakatnya. Karenanya, mengapa hukum mengatur sedemikian rupa tentang perkawinan, kewarisan, jual beli,kualifikasi perbuatan pidana, dan sebagainya. Sesungguhnya itu semua bukan ditentukan oleh hukum sendiri, melainkan oleh ciptaan proses sosial yang berjalan dalam masyarakat. Proses sosial ini merupakan proses alamiah yang timbul sebagai akibat saling pertukaran di antara hubungan sesama anggota masyarakat. Itulah yang dimaksudkan oleh Vinogradoff (dalam Allen,1957: 68 ) bahwa:
.... . . yang menyebabkan bekerjanya hukum adalah praktik praktik yang dijalankan sehari-hari yang dipimpin oleh ide memberi dan menerima dalam suatu hubungan yang wajar (reasonable intercourse) dan dalam suatu kerja sama sosial. Baik pewarisan, pemilikan, maupun kontrak diawali dari pembuatan hukumnya atau dari konflik yang langsung.

145

Sufyan Sagena

Pewarisan berakar pada keharusan yang mendesak untuk mengatur rumah tangga sejak kematian kepala rumah tangganya. Pemilikan diawali dari mendiami (occupation); penguasaan secara de facto dapat dikembalikan pada pemegang barang; asal usul kontrak berinduk pada tradisi barter. Persengketaan pada masyarakat primitif merupakan persengketaan mengenai penerapan dan tradisi yang bersifat nonlitigius.

Perlu penulis jelaskan bahwa yang dimaksud penyelesaian nonlitigous adalah penyelesaian nonlitiogasi atau tidak melalui pengadilan. Francois Geny (dalam Friedmann 1953:231-232) menulis bahwa melalui teknik-teknik hukum, para ahli mengolah bahanbahan yang bersumber dari masyarakat sehingga hasilnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam kaitan ini, L. Pospisil (dalam soerjono Soekanto, 1977: 67) menyatakan bahwa hukum merupakan suatu tindakan yang berfungsi sebagai pengendali sosial. Menurut ajaran kedaulatan hukum dan Krabbe (dalam Van Apeldoorn, 1954: 93), satu-satunya sumber hukum adalah kesadaran hukum. Hukum itu tidak lain hanya yang memenuhi kesadaran hukum orang banyak. Pengetahuan sosiologis tentu saja menjadi sangat penting jika kita ingin melihat hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat. Salah satu contohnya yang dikemukakan oleh Prof. Mr. A. Pitlo (dalam Sudikno, 1993: 144145) berikut ini.
146

Tentang Sebuah Lencana...

. . . . tanpa pengetahuan sosiologis tidak dapat dimengerti apa arti kontrak baku dalam dunia kita yang dinamakan kebebasan berkontrak. Tidak dapat dijelaskan mengapa, meskipun ada Pasal 1401 BW Nederland (Pasal 1365 KUH Perdata) banyak orang merasa pembayaran ganti rugi untuk kerugian yang mereka timbulkan adalah karena tidak adanya akibat yang merugikan harta kekayaan mereka.

Hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat akan kita bahas dalam 4 butir bahasan, masing-masing : 1. Hukum dan kultur; 2. Hukum dan ketertiban; 3. Hukum dan politik; serta 4. Hukum dan ekonomi.
1. Hukum dan Kultur

Ketika terjadi kasus wanprestasi utang piutang antara si A sebagai debitur (pihak yang berutang) dan si B sebagai kreditur (pihak pemberi utang), dimana si A melakukan tindakan wanprestasi terhadap krediturnya, si B. Tentang wanprestasi ini, aturan hukumnya sudah jelas, yaitu siapa saja yang berutang harus melunasi utangnya sesuai apa yang diperjanjikan oleh kedua pihak. Kapan seorang melakukan wanprestasi, Achmad Ali mengemukakan dalam bukunya Hukum Perjanjian Indonesia (1983: 57) yaitu: 1) saat tidak memenuhi kewajiban; 2) saat terlambat memenuhi kewajiban; dan 3) memenuhi, tetapi tidak seperti yang diperjanjikan.
147

Sufyan Sagena

Lebih lanjut, Achmad Ali menjelaskan:


Perihal wanprestasi dari pihak debitur itu harus dinyatakan terlebih dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan kepada si debitur itu bahwa pihak kreditur menginginkan pembayaran seketika atau dalam jangka waktu singkat. Jadi, pokok utang tersebut mesti ditagih dulu. Biasanya, peringatan atau sommatie itudilakukan oleh seorang juru sita dan pengadilan. Mereka yang membuat proses verbal tentang penagihannya, tetapi boleh dengan surat tercatat (kilat khusus) yang sulit dimungkiri si pihak debitur. Pokoknya, peringatan tersebut harus dilakukan secara tertulis, sesuai ketentuan Pasal 1238 BW.

Setelah proses itu dilalui dan debitur belum juga melaksanakan kewajibannya, disini ada beberapa pilihan yang dapat dilakukan pihak kreditur. Pilihan ini tidak lagi diatur oleh hukum sebagai kaidah, tetapi ditentukan oleh kultur hukum dan kreditur. Dalam hubungan wanprestasi tadi, pihak kreditur dapat memilih salah satu diantara cara berikut: 1. Mendatangi debitur secara baik-baik dan berusaha dengan jalan kekeluargaan untuk membujuk debitur membayar utangnya. 2. Mengajukan perkara ke pengadilan. 3. Menyelesaikan melalui perantara mediator (didalamnya biasanya termasuk arbitrator). 4. Menyewa tukang pukul untuk menagih paksa si debitur. Cara apa yang menjadi pilihan pihak kreditur ditentukan oleh kultur hukum yang dianutnya bukan lagi oleh kaidah
148

Tentang Sebuah Lencana...

hukum tentang wanprestasi atau utang piutang. Kalau pihak kreditur memilih menggunakan tukang pukul untuk memaksa debitur membayar utangnya, ini berarti kultur hukum yang dianut oleh kreditur kultur adalah main hukum sediri. Pengadilan baru akan berperan dalam menyelesaikan sengketa di atas jika warga menyerahkan persengketaan tersebut ke pengadilan, seperti yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo: (1986: 166 ):
Pembicaraan mengenai hukum sebagi institusi sosial ternyata melibatkan pula peranan orang-orang yang tersangkut di dalamnya, khususnya sebagai rakyat biasa yang menjadi sasaran pengadministrasian hukum. . . Di situ dikatakan bahwa agar hukum bisa bekerja sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai sarana pengintegrasi, maka rakyat pun harus tergerak untuk menyerahkan sengketanya kepada pengadilan. Dengan sikap yang demikian itu, maka hukum pun akan benar-benar menjadi sarana pengintegrasi . Tentu saja, kita juga bisa melihat hal yang sebaliknya, yaitu manakala rakyat tidak tergerak untuk memakai jasa pengadilan. Keadaan yang demikian itu memberi isyarat bahwa rakyat lebih mempercayakan penyelesaian sengketanya kepada institusi atau badan di luar pengadilan yang resmi itu. . . .

Kultur hukum ini didefinisikan oleh Friedmann (1977: 7) sebagai unsur tuntutan. Tuntutan atau permintaan ini berasal dari rakyat atau pemakai jasa hukum lainnya, termasuk pengadilan, hal ini telah penulis jelaskan dengan contoh
149

Sufyan Sagena

tentang kemungkinan jika terjadi kredit macet di atas. Menurut Satjipto Rahardjo (1986:167) :
Di belakang tuntutan tersebut, kecuali didorong oleh kepentingan, terlihat juga adanya faktor-faktor seperti ide, sikap, keyakinan, dan pendapat mengenai hukum. Orang sadar datang kepada hukum (pengadilan), tentunya disebabkan oleh penilaian yang positif mengenai institusi itu. Dengan demikaan, keputusan untuk membawa sengketa tersebut pada hakikatnya merupakan hasil positif dari bekerjanya berbagai faktor diatas. Hal yang sebaliknya tentu saja bisa terjadi.

Dalam kaitannya dengan kultur hukum, Daniel S. Lev dalam Judicial Institution and Legal Cultur, menuliskan:
Where cuiltural myths and values have emphasized means of political regulation and intercourse other than as autonomous sphere of law, legal instutions are consequently less likely to develop the kind of independent power they have in a view European countries and the united states. Evan the emergence of powerful bureaucratic establishments, essential to strong legal system, cannot alone create common positive orientations to legal processes, specially, for example, when patrimonial values also remain strong.

Dari pandangan Daniel S.Lev, seseorang yang banyak meneliti dunia praktik hukum/dunia peradilan di Indonesia, dapat kita ketahui di Indonesia terjadi suatu ketegangan antara kultur hukum Bangsa Indonesia dengan sistem hukum yang modern yang kini diterapkan. Persoalan lain yang erat kaitannya dengan hukum sebagai kultur adalah pertanyaan
150

Tentang Sebuah Lencana...

tentang: benarkah hukum itu tidak berpihak terhadap suatu nilai dalam masyarakat? Benarkah hukum itu melayani kepentingan anggota masyarakat sacara sama? Benarkah pertanyaan itu diatas? Semua pertanyaan di atas dapat dirangkumkan menjadi satu pertanyaan gabungan: Benarkah hukum itu otonom? Jawabanya: Tidak! Hukum senantiasa memihak pada suatu nilai tertentu. Secara slogan memang senantiasa dikumandangkan prinsipprinsip ketidakberpihakan hukum, tetapi dalam kenyataannya sebagai salah satu fenomena sosial, hal tersebut akan sulit dilaksanakan oleh hukum. Bagaimana pun, kembali ditekankan bahwa hukum itu tidak jatuh begitu saja dari langit. Hukum merupakan produk hasil olahan berbagai kepentingan di dalam masyarakat. Seperti dituliskan oleh Satjipto Rahardjo (1980L: 117 ) berikut ini.
Seperti di sebutkan di muka, kelebihan dari perundangundangan diantaranya ialah memberikan kepastian mengenai nilai tertentu yang dilindungi oleh hukum. Namun, justru denagan menentukan nilai tertentu secara demikian itu, perundang-undangan terlibat kedalam proses pembuatan pilihan-pilihan. Dengan demikian, secara sosiologi dapat dikatakan bahwa penetuan nilai tersebut mengharuskan terjadinya pengutamaan terhadap suatu golongan tertentu di atas golongan lain.

Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo menuliskan bahwa ..keadaan dan susunan masyarakat modern yang mengenal pelapisan yang makin tajam, menambah sulitnya usaha untuk
151

Sufyan Sagena

mengatasi kecenderungan hukum atau perundang-undangan untuk memihak. Penulis mendukung pandangan di atas, karena pada beberapa tipe masyarakat tertentu, perundangundangan tampil untuk mendorong kepentingan golongan yang satu di atas yang lain. Dalam konkurensi itu, tidak mungkin mencegah terjadinya kemajuan dalam pengutamaan kepentingan orang-orang tertentu di dalam masyarakat, sebaliknya golongan lain semakin menderita. Keseluruhannya ini menunjukkan betapa besar pengaruh hukum terhadap masyarakat. Aturan hukum dapat memberikan kesempatan kepada suatu golongan tertentu untuk lebih maju, sebaliknya mungkin secara bersamaan menutup sama sekali kesempatan bagi golongan lain untuk mencapai kemajuan. Dalam kaitan ini, perlu mengetahui bagimana sikap atau perilaku masyarakat terhadap suatu aturan hukum. Untuk itu, kita harus membedakandulu dua jenis rumusan aturan seperti berikut. 1. Rumusan antara hukum yang bersifat perintah atau larangan. Terhadap aturan ini ada tiga kemungkinan sikap dari masyarakat, yaitu: a. Menaati aturan hukum itu (compliance); b. Menyimpang dari aturan hukum itu (deviance); dan c. Mengelak terhadap aturan hukum itu (evasion);

152

Tentang Sebuah Lencana...

Aturan hukum yang bersikap perintah atau larangan ini banyak ditemukan dalam aturan hukum pidana. Contoh dari tiga kemungkinan sikap di atas ialah jika ada perturan lalu lintas yang mengharuskan menggunakan helm jika melalui jalan X. Di sini ada tiga kemungkinan sikap si A. a. Si A melewati jalan X dengan menggunakan helm, ini artinya, si A menaati aturan hukum itu (compliance). b. Si A melewati jalan X, tetapi tidak mengenakan helm, artinya si A menyimpang dari aturan hukum itu (deviance). c. Si A tidak mengenakan helm dan ia memang sengaja tidak melewati jalan X, tetapi melewati jalan Z yang tidak mengharuskan pengenaan helm. 2. Rumusan aturan hukum yang bersifat membolehkan atau mengatur. Terhadap aturan ini ada tiga kemungkinan sikap dari masyarakat, yaitu: a. Menggunakan aturan hukum itu (use); b. Tidak menggunakan aturan hukum itu (nonuse); c. Menyalahgunakan aturan hukum itu (misuse); Aturan hukum yang bersifat membolehkan atau mengatur banyak terdapat pada hukum privat (perdata). Dengan demikian, contoh-contohnya dapat dicari dalam perbuatan-perbuatan hukum privat, seperti perjanjian dan sebagainya. Pengaruh aturan hukum terhadap sikap masyarakat tergantung pula pada tujuan aturan hukum
153

Sufyan Sagena

bersangkutan. Josep Gusfield (dalam moral passage.The symbolic process in public Designation of Deviance, 15 social problems, 175: 1967 ) , membedakannya menjadi dua, yaitu sebagai berikut: 1. Tujuan aturan hukum yang bersifat simbiolis. Tujuan ini tidak tergantung pada penerapannya agar aturan hukum mempunyai efek tertentu. Misalnya, larangan untuk meminum minuman keras. Efek simbiolisis aturan hukum itu ada kalau masyarakat sudah yakin bahwa meminum minuman keras adalah perbuatan yang salah. Jadi, sekali pun masih ada anggota masyarakat yang masih minum minuman keras, tidak jadi soal, yang penting ia sudah mengetahui bahwa perbuatannya salah. 2. Tujuan aturan hukum yang bersifat internasional. Suatu aturan hukum yang bersifat instrumental, apabila tujuannya terarah apada suatu sikap tindak atau perilaku konkrit, maka efek hukum tadi akan kecil sekali jika tidak diterapkan dalam kenyataan. Jadi, suatu aturan hukum mengenai larangan meminum minuman keras barulah mempunyai efek instrumental Jika masyarakat yakin berhenti meminum minuman keras. Dengan tidak memedulikan, apakah berhentinya itu karena yakin perbuatan meminum minumam keras adalah salah, atau lantaran terpaksa saja karena takut dikenakan sanksi hukum.
154

Tentang Sebuah Lencana...

2.

Hukum dan Ketertiban.

Di suatu perkampungan nudist (kaum telanjang), puluhan orang bertelanjang bulat tanpa busana berkeliaran mondar-mandir. Semuanya tertib dan tidak ada kekacauan di sana. Kaum nudist ini menikmati ketelanjangan mereka dengan rasa puas. Pokoknya ketertiban terjamin di situ. Jika itu terjadi di Indonesia, maka jelas perbuatan itu merupakan pelanggaran hukum. Berarti, ketertiban yang terjadi di situ justru ketertiban yang bertentangan dengan hukum. Lantas, bagaimanakah kaitan antara hukum (law) di satu pihak, dengan ketertiban (order) di pihak lain? Antara hukum di satu pihak dengan ketertiban di pihak lain tidak selamanya cocok atau selaras. Kadang-kadang antara hukum dengan ketertiban terjadi pertentangan, seperti apa yang pernah dituliskan oleh Jerome H. Skolnick dalam bukunya Justice Without Trial, bahwa hukum tidak hanya merupakan sarana untuk mencari ketertiban, melainkan bisa menjadi lawan dari ketertiban itu sendiri. Skolnick menuliskan .. are frequently found to be in opposition, because law implies rasional restraint upon the rules and procedures utilized to achieve order. Order under law, therefore subordinates the ideal of conformity to the ideal of legality. Benturan antara hukum ketertiban terlihat pada tugas polisi yang mendua. Di satu pihak, polisi bertugas untuk memelihara ketertiban, tetapi di pihak lain polisi pun bertugas untuk menegakkan hukum. Dengan kata lain, tugas pihak
155

Sufyan Sagena

kepolisian bukan sekedar menjaga legal order, melainkan juga ketertiban dan ketentraman masyarakat. Tugas ganda ini kadang-kadang menyulitkan polisi memilih alternatif jika harus menghadapi seorang redivis yang kejam dan tak sudi menyerah. Pada hakikatnya, polisi adalah petugas yang diberi wewenang untuk menjalankan kekerasan demi tugasnya. Jadi, kita tidak usah terlalu heran kalau sekali-sekali polisi terpaksa melakukan kekerasan dalam melaksanakan tugasnya. Sehubungan dengan cara kekerasan demi memelihara ketertiban, Satjipto Rahardjo pernah mengemukakan bahwa memang benar dalam suatu negara hukum, supremasi hukum harus dipertahankan. Akan tetapi, hal ini bukan berarti tidak boleh ada kekerasan sedikit pun. Selama hal itu dilakukan oleh negara, maka kekerasan boleh dilakukan asal tujuannya tetap untuk mencapai kedamaian. Cara yang luwes seringkali dianggap sebagai lawan kekerasan; keduanya dapat dilakukan bersamaan, sesuai keadaan yang dihadapi. Tentang ketertiban ini, Proudhon (dikutip dari Dennis LIoyd, 1974: 11) mengemukakan the highes partection of society is found in the union of order and anarchy... dimana kesempurnaan tertinggi dari suatu masyarakat ditemukan dalam bersatunya ketertiban dan anarki. Chambillis dan Seidman (1971: 87) malahan memandang sebagai suatu kemustahilan jika semata-mata hukum ingin diandalkan untuk mengatur masyarakat. Dalam kenyataannya,
156

Tentang Sebuah Lencana...

selain hukum, masyarakat juga membutuhkan pengaturan dari segi ketertiban. Dalam kaitan ini, ada pertanyaan menarik yang dikemukakan oleh Chambillis dan Seidman, yaitu : manakah yang lebih diinginkan suatu dunia yang serba pasti, ataukah suatu dunia yang relatif kurang mengenal kepastian dan tidak tertib?
3. Hukum dan Politik

Salah satu pertanyaan penting dan paling disukai orang tentang hubungan antara hukum dan politik adalah manakah yang seyogyanya lebih dominan? Kekuasaan hukum atau kekuasaan politik? Jawaban atas pertanyaan ini, menurut penulis tergantung pada persepsi kita sendiri tentang apa yang kita maksud sebagai hukum dan apa yang kita maksud dengan politik. Jika kita berpandangan non-dokmatik dan memandang hukum bukan sekedar peraturan yang dibuat oleh kekuasaan politik, maka tentu saja persoalan tentang hubungan kekuasaan hukum dan kekuasaan politik masih bias berkepanjangan. Namun, jika kita menganut pandangan positif yang mengandung hukum semata-mata hanya produk kekuasaan pilitik, maka rasanya tak relevan lagi pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan hukum dan kekuasaan politik. Karena pada akhirnya, mereka mengidentikkan antara hukum dan politik tersebut. Bagi kaum nondokmatik, hukum bukan sekedar undang-undang, antara lain dapat kita lihat pada pertanyaan
157

Sufyan Sagena

Eugenehrlich (paton, 1951: 21) berikut in: That law depents on popular acceptance and that each group creates its own living law wich alone has creative force (hukum tergangtung pada penerimaan umum dan setiap kelompok menciptakan hokum yang hidup, di mana di dalamnya terkandung kekuatan kreatif). Perlu kita tegaskan di sini bahwa yang kita maksudkan dengan politik adalah segala sesuatu yang bertalian dengan kekuasaan resmi suatu pemerintahan negara. Mungkin seluruh negara yang ada di dunia saat ini, apa pun wujudnya - kerajaan atau republik; berpaham liberal atau sosialis; menggunakan sistem demokrasi atau pun otoriter/diktator. Menyatakan negara mereka sebagai negara hukum , oleh karena itu senantiasa timbul pertanyaan mana yang lebih dominan; kekuasaan hukum atau kekuasaan negara? Penulis sendiri menyetujui pandangan Mac Iver yang membedakan dua jenis hukum. Pertama, hukum yang berada di bawah pengaruh politik; dan kedua, hukum yang berada di atas politik. Hukum berada di atas politik, hanya konstitusi sedang sisanya semua berada di bawah politik. Penulis beranggapan, inilah pandangan yang realistis tentang hubungan hukum dan politik. Salah satu contoh yang membuktikan kebenaran pandangan Mac Iver ini adalah lahirnya undang-undang dan karya para politisi. Tidak dapat kita sangkal bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara hukum dan politik; antara asas158

Tentang Sebuah Lencana...

asas hukum dan pranata-pranata hukum; serta antara ideologi politik dan lembaga pemerintah. Kita sangat sering mendengar pernyataan para yuris dengan slogan bahwa hukum berdiri di atas dan melewati politik. Maksud mereka adalah keinginan untuk mewujudkan suatu kondisi di mana para hakim tidak dikekang oleh pengaruh dogma politik. Ide seperti itu terasa sangat dipengaruhi oleh cara berfikir trias politica dari Montesquieu, yang jelas-jelas memisahkan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun, ide seperti itu agak berbeda dengan ide kekuasaan pilitik. Berdasarkan UUD 1945 misalnya, kekuasaan Presiden tidak hanya berada di bidang eksekutif semata tetapi juga di bidang legislatif dan yudikatif. Sebagai contoh, besarnya peran Presiden dalam memproduksi undang-undang; dan kekuasaan untuk memberi grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi yang diberikan dengan cara-cara konstitusional sifatnya karena berdasarkan konstitusi UUD 1945. Pertanyaan yang bisa muncul di sini, siapakah yang mengatakan bahwa ajaran trias politica Montesquieu yang benar? Bukankah masih ada kemungkinan lain dari ajaran itu? Bukankah dalam sejarah kita menentukan banyak pemerintahan kuno yang sukses memakmurkan rakyatnya, tanpa melaksanakan ajaran trias politica-nya Montesquieu? Jika persoalan kekuasaan politik ini dikaitkan dengan peradilan. Maka dengan eksistensi mahkamah agung,
159

Sufyan Sagena

meskipun suatu pemerintah ingin menggunakan undangundang bagi pencapaian tujuan politik, tetapi pengadilan tetap diharapkan untuk tetap menjauhkan diri dari kontroversi forum politik. Harapan semacam itu jelas agak mustahil jika kita menerima kehadiran hukum sebagi sesuatu yang tidak otonom atau mandiri. Bagaimana pun, pengaruh timbal balik antara kekuasaan hukum dan kekuasaan politik senantiasa mesti terjadi. Hal ini dijelaskan antara lain oleh Harry C. Bredemeier dengan konsep inputs-outputs-nya. Harry C. Bredemeier (Vilhelrn Auber, 1969; 54) memandang kaitan antara pengadilan dan politik dengan melihat keadaan di Amerika Serikat. Dikatakan bahwa pencapaian tujuan yang menjadi tugas subsistem politik dilakukan dengan merumuskan tujuann yang hendak di capai dengan menetapkannya menjadi perundangundangan. Jika undang-undang itu kemudian digugat keabsahannya, maka pengadilan yang akan menjatuhkan putusannya. Pengadilan menguji perundang-undangan itu. Curzon (1979; 19) mengemukakan pandangan ilmu hukum politik yang memandang pengadilan adalah alat politik, di mana hakim adalah aktor politiknya. Hal itu terlihat dari apa yang ditulisnya .the core political jurisprudenech is a vision of courts as political gencies and judges as political actor.. Penulis sendiri beranggapan bahwa kebebasan hakim mutlak dibutuhkan, tetapi hakim tetap tidak dapat kita
160

Tentang Sebuah Lencana...

pisahkan dari kepentingan politik. Bagaimana pun, putusan hakim hendaknya menunjang keseluruhan tujuan masyarakat, seperti yang dilaksanakan oleh penguasaan politik. Jangan kita lupakan ajaran Sibernetik Talcott Parson yang memandang fungsi subsistem politik sebagai fungsi pencapaian tujuan (goal pursuance). Curzon (1979; 44) memberi contoh tentang sistem hukum Marxis. Konsep hukumnya di dasarkan pada asasasas dari peran pengadilan sebagai konsolidator dan pembela tata politik. Namun demikan, penulis masih perlu mempertanyakan: peran politik jenis apa yang dimaksud oleh Curzon? Tidak dapat kita sangkal bahwa sitem politik negara komunis adalah sistem otoriter yang tidak mengembangkan nilai-nilai demokrasi. Apa yang mereka anggap sebagai adil, belum tentu dapat kita pandang sebagai adil pula. Menurut Curzon (1979; 44), di dalam negara-negara sosialis, hukum adalah dasar hakim/ pengadilan yang menjadi alat bagi pemecahan problem-problem politik. Hakim/ pengadilan juga merupakan suatu alat penting bagi perkembangan ekonomi dan budaya yang menjamin keamanan internal maupun eksternal negaranya. Untuk melindungi kekayaan masyarakat sosialisasi dan untuk mengekspansi secara mengkonsolidasikan demokrasi sosialis. Istilah demokrasi yang disebutkan Curzon di atas masih menjadi pertanyaan bagi kita.
161

Sufyan Sagena

Penulis tidak dapat menerima peran hakim ataupun pengadilan seperti yang menjadi ide negara sosialis di atas. Meskipun hakim tidak mungkin terlepas dari pengaruh kepentingan politis tetapi hakim harus tetap memiliki kebebasan berinterpretasi dan berkonstruksi dengan stereotif yuridis, bukan dengan kaca mata politik praktis belaka. Meskipun kita sadari bahwa hakim adalah manusia biasa yang tidak melepaskan diri dari persepsi pribadinya, yang turut ditentukan oleh nilai-nilai ideologis yang dianutnya. Griffth (Curzon 1979; 44) juga melukiskan perhatianya tentang apa yang dilihatnya sebagai peran politik para hakim Inggris. Griffth yakin bahwa para hakim membatasi kepentingan publik, yang tak terelakkan dari titik pandang kelompok mereka. Ruper Cross dan P. Asterley Jones juga menginginkan peran pengadilan untuk menunjang kebijakan politik (dikutip dari Achmad Ali, suatu proses Pasal 284 KUH Perdata, pedoman rakyat, 30 Mei 1983). Mereka menuliskan bahwa: The criminal law may be used not only for the prevention of wrongs wich are abfiusly the serving of punishment but also for achievement of policy of the government of the day Sangat menarik pula, pandangan Daniel S. Lev dalam Judicial Institution and Legal Culture, pada bagian akhir karangannya menuliskan hubungan hukum dan kekuasaan politik sebagai berikut:
162

Tentang Sebuah Lencana...

Where cultural myths falues have emphasized means of social political regulation and intercourse other then an autonomous sphere of law, legal institutions are consequently less likely to develop the kind of independent power they have in a view European countries and the United States. Even the emergence of powerfull bureaucratic establishments, essential to strong legal system, cannot alone created common positive orientations to legal processes specially, for example when patrimonial values also reminds strong.

Bagian tersebut menjelaskan di mana mitos-mitos kultural dan nilai-nilai menekankan cara pengaturan serta hubungan sosial politik yang tidak bertolak dari wilayah hukum yang otonom, maka sebagai konsekuensinya di situ lembaga-lembaga hukum akan kurang mampu mengembangkan kekuasaannya yang independen, seperti yang dimiliki negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Tampilnya kekuasaan birokrasi yang perkasa sekali pun, yang merupakan unsur esensial bagi adanya sistem hukum yang kuat, tidak akan menciptakan suatu tanggapan umum yang positif terhadap bekerjanya hukum, terutama bila nilainilai patrimonial tetap bercokol kuat. Di Indonesia maupun di beberapa negara lain yang non-komunis, hukum tidak selalu lahir dari otoritas tertinggi atau negara meskipun memang benar bahwa hukum yang berlaku harus memperoleh legalitas negara. Hukum yang lahir dari otoritas tertinggi dapat kita sebut sebagai hukum positif. Di samping itu masih ada jenis hukum lain, seperti
163

Sufyan Sagena

hukum adat, hukum Islam dan hukum peradilan (Judge Mad Law). Penulis sendiri cenderung untuk menempatkan posisi pengadilan atau para hakim tidak sekedar menunjang kepentingan politik, tetapi sekaligus menjadi pengawal moralitas publik. Hukum seyogyanya memiliki kemampuan untuk menjadi pencerminan perubahan moralitas sosial. Dengan demikian, pengadilan dapat mewujudkan ketiga tujuan hukum secara seimbang, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hokum. Fungsi-fungsi hukum hanya mungkin dilaksanakan secara optimal saat hukum memiliki kekuasaan yang ditunjang oleh kekuasaan politik. Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik, salah satunya terwujud dalam pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Hukum ditegakkan oleh kekuasaan politik melalui alat-alat politik lainnya, seperti polisi, penuntut umum, dan pengadilan. Dalam hal ini, kita harus berani mengakui bahwa pengadilan bukan sekedar alat hukum tetapi juga alat politik. Kekuasaan politik memiliki karakteristik tidak ingin dibatasi. Sebaliknya, hukum memiliki karakteristik untuk membatasi segala sesuatu melalui aturan-aturannya. Dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan politik, seyogyanya hukum membatasi kekuasaan politik, agar tidak timbul penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan. Sebaliknya, kekuasaan politik menunjang terwujudnya fungsi hukum, dengan menyuntikkan kekuasaan pada hukum
164

Tentang Sebuah Lencana...

yaitu dalam wujud sanksi hukum. Dalam hal ini tentu saja sanksi hukum tadi dapat pula mengganjal aparat kekuasaan politik yang melanggar hukum. Harus diingat bahwa setelah hukum memeroleh kekuasaan dari kekuasaan politik tadi, hukum juga menyalurkan pada masyarakatnya sebagai contoh, pada bidang yang sifatnya privat, hukum memberikan warganya kekuasaan untuk memiliki dan menikmati harta kekayaannya sampai batas-batas tertentu.
4. Hukum dan Ekonomi

Hubungan antara sector ekonomi dengan sektor hukum tidak hanya berupa pengaturan hukum terhadap aktivitas perekonomian, melainkan juga bagaimana pengaruh sektor ekonomi terhadap hukum. Dalam hal ini sekali lagi kita perlu memandang hukum sabagai sesuatu yang tidak otonom sifatnya, yang mempunyai hubungan saling memengaruhi dengan sektor-sektor non-hukum, termasuk sekor ekonomi. Jika kita hanya memandang bagaimana hukum mengatur sektor ekonomi, maka kita berada dalam bidang hukum ekonomi. Menurut Sumantoro (1986; 23), hukum ekonomi adalah seperangkat norma-norma yang mengatur hubungan kegiatan ekonomi, yang secara substansial sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang digunakan oleh negara yang bersangkutan (iberalistis, sosialistis, atau campuran). Untuk Indonesia, ruang lingkup hukum ekonomi mendapatkan dasar dari Pasal 33 UUD 1945 GBHN.
165

Sufyan Sagena

Hukum ekonomi ini tentu saja sangat luas cakupannya sehingga pakar membuatkan klasifikasi yang cukup luas. Ada yang membagi hukum ekonomi atas hukum ekonomi produksi, hukum ekonomi konsumsi, hukum ekonomi distribusi, dan hukum ekonomi keuangan. Ada juga yang membedakan atas hukum ekonomi pertanian, hukum ekonomi pertambangan, hukum ekonomi industri, hukum ekonomi pembangunan, hukum ekonomi perdagangan, hukum ekonomi utility (prasarana), hukum ekonomi angkutan, hukum ekonomi jasa-jasa masyarakat, dan hkum ekonomi pemerintah. Namun, seperti dituliskan di atas, persoalan hubungan hukum dan ekonomi bukan sekedar hubungan satu arah hukum yang mengatur sektor perekonomian, melainkan juga sejauh mana hukum mempengaruhi dan memperoleh pengaruh di sektor ekonomi, terlepas dari persoalan hukum ekonomi di atas? Paling tepat jika kita menggunakan konsep inputoutput dari Harry C. Bredemeier (dalam Filhern Auber 1979; 52-70). Bredemeier mengikuti pandangan Talcott Parsons, yang melihat fungsi substem ekonomi sebagai fungsi adaptasi. Namun demikian, ia tidak melihat fungsi adaptasi hanya berada pada ekonomi, melainkan juga pada ilmu teknologi. Dengan demikian, substem ekonomi (termasuk juga ilmu dan teknologi) merupakan kegiatan penggarapan sumber daya alam untuk kemanfaatan umat manusia. Subsistem ini muncul konflik-konflik kepentingan yang
166

Tentang Sebuah Lencana...

menimbulkan persengketaan dan membutuhkan penyelesaian di muka pengadilan. Itulah yang Bredemeier dilihat sebagai masukan-masukan dari substem ekonomi (termasuk ilmu dan teknologi) ke dalam pengadilan. Pengadilan mengolah masukan tadi kemudian dihasilkan iuran-iuran melalui putusannya berupa penertiban terhadap hubungan kepentingan yang tadinya tidak serasi. Selanjutnya, kepentingan-kepentingan itu bisa ditertibkan dan diorganisasikan kembali sehingga terintegrasi dalam wujud ketertiban. Pengorganisasian oleh pengadilan tadi dapat berwujud penegasan tentang hak-hak, kewajibankewajiban, pertanggungjawaban, ganti kerugian, dsb. Gambarannya tentang hubungan antara hukum dan ekonomi, oleh Bredemeier dinamakannya the law and adaptive process atau hukum dan suatu proses adaptasi. *******

167

Sufyan Sagena

168

Tentang Sebuah Lencana...

MEMAHAMI LANDASAN SOSIOLOGIS DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

SUATU peraturan perundang-undangan dibentuk oleh negara dengan harapan agar dapat diterima dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat secara sadar tanpa kecuali. Harapan seperti itu mempunyai konsekuensi bahwa setiap peraturan perundang-undangan seyogianya harus memperhatikan secara saksama setiap gejala dan fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Jika pemahaman seperti ini kurang atau tidak diindahkan sama sekali, maka dapat mengakibatkan efektifitas dan daya laku sebuah peraturan perundang-undangan menjadi diragukan. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan peraturan perundang-undangan tersebut hanya berisi sejumlah pasal-pasal yang sangat lemah sehingga tidak ubahnya seperti rangkaian kalimat yang indah namun tanpa daya ikat terhadap kepatuhan masyarakat dan komponen lainnya.
169

Sufyan Sagena

Landasan Sosiologis dalam Perundang-undangan

Untuk mencoba membedah permasalahan yang disebutkan di atas, menarik untuk diselami pandangan B. Hestu Cipto Handoyo (2008) yang meminjam gagasan Eugen Ehrlich yang mengatakan bahwa, terdapat beberapa perbedaan mendasar antara hukum positif disatu pihak dengan hukum yang tumbuh dan berkembang di masyarakat (living law) di pihak lainnya. Oleh sebab itu, hukum positif akan memiliki daya laku secara efektif jika selaras dengan hukum yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat. Beranjak dari pandangan tersebut di atas, maka sebaiknya setiap peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif mempunyai daya laku dimana setiap peraturan perundang- undang tidak mungkin dilepaskan dari gejala sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian, agar diperoleh suatu pengaturan yang baik, komprehensif dan terintegral antara satu aspek dengan aspek lainnya, maka persoalan-persoalan kemasyarakatan yang terjadi haruslah menjadi pertimbangan yang utama. Sehingga, pada saat penerapan peraturan yang dibuat tersebut, tidak lagi memerlukanpengerahan institusi kekuasaan untuk melaksanakannya dan sedini mungkin dapat mengeleminir kerugian yang tidak perlu, terutama ketika harus mengorbankan kepentingan masyarakat. Seorang pioner sosiologi hukum, Soerjono soekanto,
170

Tentang Sebuah Lencana...

mengemukakan landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum termasuk bagaimana mengakomodirnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pertama, teori kekuasaan; secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena ada paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh masyarakat. Kedua, kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan masyarakat di tempat hukum itu berlaku. Berdasarkan landasan teori tersebut, maka pemberlakuan peraturan perundang-undangan jika ditinjau dari aspek sosiologisnya, sangat ideal ketika didasarkan pada penerimaan masyarakat di mana peraturan itu dibentuk dan diterapkan. Sebagai contoh, Perda (Peraturan Daerah) harus memperhatikan suasana kebatinan yang ada, yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat suatu daerah, kabupaten dan desa. Sebaliknya, Perda semestinya tidak berdasarkan pada aspek kekuasaan yang lebih menitik beratkan pada upaya pemaksaan dari penguasa yang inginmerealisasikan kepentingan sesaatnya.
Mengakomodir Landasan Sosiologis Hukum

Idealnya, pembentukan dan pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk pembangunan hukum, sedapat mungkin didasarkan pada adanya pengakuan masyarakat agar dapat mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu juga agar dapat dimaknai sebagai pemberian apresiasi
171

Sufyan Sagena

yang positif terhadap kaidah-kaidah hukum yang dipelihara oleh masyarakat itu sendiri. Dengan ini, niscaya dapat diwujudkan produk peraturan perundang-undangan yang bersifat responsif dan populis terhadap kebutuhan masyarakat sehingga pada akhirnya membentuk peraturan perundangundangan yang dapat dilaksanakan secara maksimal dan dipatuhi oleh seluruh lapisan masyarakat. Mungkin inilah yang dimaksudkan Allen yang dikutip oleh Mahfud MD (1998) bahwa ciri demokrasi masyarakat dunia sekarang ini adalah dengan memberikan cap-nya sendiri tentang cara-cara peraturan perundang-undangan itu diciptakan, yaitu yang menghendaki adanya unsurunsur kepentingan dan kebutuhan masyarakat hal seperti inilah yang mendapat perhatian utama dalam setiap penyusunan produk hukum. *******

172

Tentang Sebuah Lencana...

PENTINGNYA KREATIVITAS DAN INOVASI DALAM PENGELOLAAN RETRIBUSI DAN PAJAK DAERAH

SECARA konseptual, esensi dari tujuan otonomi daerah adalah terselenggaranya seluruh aktivitas layanan kepemerintahan secara efektif dan efesien terhadap kepentingan masyarakat di daerah. Esensi ini seyogianya tetap sejalan dengan mindset yang bertitik tolak pada 3 (tiga) dimensi pokok yaitu; konsepsi desentralisasi, asas pemberdayaan, dan sistem pelayanan publik yang terimplementasi dalam sejumlah kewenangan daerah yang tentu diharapkan dapat mewujudkan harkat, martabat dan kemandirian daerah yang akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. Salah satu indikator sederhana suatu daerah dinilai mampu menyelenggarakan kewenangannya dengan baik, jika suatu daerah mampu memberi garansi tersedianya pelayanan publik yang bersifat dasar (basic service). Basic service ini tentu saja yang dapat dinikmati oleh segenap
173

Sufyan Sagena

pengguna layanan (masyarakat) tanpa harus memikul beban yang cenderung memberatkan mereka, misalnya dengan berbagai macam bentuk retribusi dan pajak daerah. Berbagai regulasi yang berkaitan dengan retribusi dan pajak daerah sejatinya ditetapkan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah, namun terkadang penyelenggaraan dan pengelolaannya kurang memadai bahkan tidak mengindahkan substansi dari setiap regulasi yang dibuat. Semestinya retribusi dan pajak daerah yang ditetapkan dibarengi dengan pengelolaan dan layanan publik yang memadai pula agar dapat dilihat hasil dan faedahnya oleh masyarakat. Fenomena seperti ini sering terjadi ketika retribusi dan pajak daerah yang dikelola oleh beberapa institusi di daerah yang dilakukan oleh satuan kerja perangkat daerah namun cenderung tanpa disertai dengan pelayanan jasa yang semestinya disiap sediakan untuk itu. Salah satu contoh misalnya, pengelola melakukan penarikan jasa retribusi parkir disatu titik tertentu namun tidak menyediakan pelayanan jasa dan jaminan apa-apa untuk dinikmati oleh setiap konsumennya.
Harus Berbanding Lurus

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengeleminir sejumlah gagasan yang muncul dari para pengelola pendapatan daerah, akan tetapi sekedar berupaya meluruskan dan mengingatkan pengelola retribusi dan
174

Tentang Sebuah Lencana...

pajak daerah, bahwa tidak cukup hanya mengejar peningkatan pendapatan daerah jika tidak berbanding lurus dengan kesiapan pemerintah daerah melaksanakan kewajiban layanan kepada setiap warga masyarakatnya sendiri. Karena itu diperlukan pertimbangan yang jeli dalam setiap kebijakan pengelola agar prinsip take and give antara pemerintah dengan masyarakat tidak diabaikan begitu saja. Untuk itu, mungkin setiap pelaku penyelenggara layanan publik di daerah perlu menyimak kembali makna desentralisasi yang dikemukakan oleh Rondinelli dan Cheema, yang menyatakan bahwa desentralisasi yang pada hakikatnya adalah bagaimana setiap daerah dapat menyelenggarakan layanan kepemerintahannya yang memungkinkan setiap warga berdaya terlebih dahulu. Masyarakat yang telah berdaya (sesuai profesi kehidupannya masing-masing) akan dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri sehingga yang pada akhirnya memiliki kesadaran untuk berinteraksi dan bersinergi positip dengan sejumlah program pembangunan pemerintah, termasuk melaksanakan sejumlah kewajiban seperti retribusi dan pajak daerah. Selain itu, pengelola juga untuk menelaah dengan seksama konsepsi normatif tentang makna dan tujuan retribusi dan pajak daerah itu sendiri. Retribusi pada hakikatnya adalah pemenuhan prestasi yang diperoleh oleh objek retribusi atas jasa yang diberikan oleh pengelola. Jadi, substansi asas terkait retribusi, secara sederhana, dapat
175

Sufyan Sagena

dimaknai bahwa tidak ada pungutan tanpa memberikan jasa layanan. Sebagai contoh adalah retribusi masuk terminal. Setiap orang sebagai subjek hukum berkewajiban membayar sejumlah uang retribusi ketika akan masuk dalam sebuah terminal, karena di dalam terminal telah disiapkan jasa seperti: tempat duduk calon penumpang menunggu bus, WC umum, dan fasilitas terminal yang terkait. Tentu saja orang yang tidak masuk terminal, sekalipun dia adalah subjek hukum retribusi dan pajak daerah, tidak berkewajiban membayar retribusi terminal karena tidak menikmati layanan yang disiapkan di dalam terminal tersebut.
Cermat Memahami Substansi Layanan Pemerintahan

Dalam ilmu hukum, logika sebagaimana diuraikan di atas, meskipun sangat sederhana, namun tetap relevan untuk dikemukakan mengingat kultur layanan birokrasi pemerintahan di daerah terkadang menjadi dimensi yang rentan menerima penilaian miring dari khalayak ramai. Penilaian mengenai hal-hal yang mungkin sangat sederhana namun kadang kurang dicermati sehingga kerap dinilai sepele, terlebih lagi jika layanan itu diperankan oleh pihak yang kurang memahami atau tidak mengerti substansi layanan yang sedang dilakoninya sendiri. Hal ini penting untuk ditelaah dengan jernih jika kita ingin memahami substansi dari suatu kebijakan yang digelontorkan oleh pemerintah.
176

Tentang Sebuah Lencana...

Tidak sedikit daerah otonom di negeri ini yang telah berhasil membangun tata kelola layanan kepemerintahannya yang justeru tidak terfokus pada retribusi dan pajak daerah melainkan pada upaya-upaya pengembangan kreativitas dan inovasi yang tidak henti dari segenap aparat yang dimilikinya. Misalnya dengan meningkatkan kualitas layanan publiknya yang memungkinkan setiap orang merasa kondusif melakukan interaksi dan bersinergi dengan aparat birokrat di daerahnya. Cerita sukses bagaimana Kabupaten Gianyar di Provinsi Bali dan Kabupaten Solok di Provinsi Sumatera Barat yang justeru mampu survive menjadi sebuah daerah otonom tanpa harus menguras energi untuk membuat sejumlah kebijakan yang membuat masyarakatnya merasa terbebani dengan sejumlah kewajiban. Akan tetapi, dengan cerdas mesin birokrasinya dapat dijalankan dengan prinsip mengutamakan kreativitas dan inovasi, selain turut menerapkan asas efektivitas dan efesiensi terhadap setiap unsur yang terlibat dalam seluruh proses layanan kepemerintahan daerah. Sekiranya cerita sukses beberapa daerah otonom tersebut di atas - yang mengutamakan kreativitas dan inovatif yang disinergikan dengan penerapan efektivitas dan efesiensi seluruh aktivitasnya - dapat mengilhami kita semua, maka pada gilirannya dapat mengarah pada peningkatan pendapatan daerah yang berbanding lurus dengan kualitas layanan kepemerintahan daerah. Semua ini merupakan
177

Sufyan Sagena

bagian dari upaya pemerintah melaksanakan pembangunan di daerah dengan lebih baik. Untuk itu, menurut ideologi penulis, sudah saatnya diterapkan prinsip membiasakan kebenaran dalam mengelola pendapatan daerah yang bersumber dari masyarakat ketimbang tetap memelihara prinsip membenarkan kebiasaan secara turun temurun dalam praktek layanan birokrasi di daerah selama ini. Allahu a`lam bissawab. *******

178

Tentang Sebuah Lencana...

MENDORONG KEMANDIRIAN EKONOMI MASYARAKAT DESA

SALAH satu landasan filosofi diselenggarakannya aktivitas pemberdayaan masyarakat pada tataran komunitas adalah karena selama ini aktivitas tersebut didominasi oleh pertunjukan aktor tunggal yang melakoni desain pembangunan dari hulu sampai muara. Model one man show seperti ini dinilai bisa merusak sendi-sendi otonomi masyarakat desa yang memiliki kedaulatan penuh untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan mereka sendiri. Diakui atau tidak, selama ini hampir seluruh potensi desa dieksploitasi secara semena-mena dan sedemikian rupa oleh berbagai kepentingan melalui sistem sentralistik yang mengatasnamakan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Tidak sedikit peninggalan model sentralisasi pembangunan yang masih dengan mudah bisa kita temukan di berbagai lokasi dimana desain generalisasi Inpres, misalnya,
179

Sufyan Sagena

tidak ubahnya sebuah benda yang cenderung kurang memiliki arti, kurang berfungsi, dan kurang bermanfaat secara maksimal bagi masyarakat sekitarnya. Sebagai contoh, begitu banyak bangunan peninggalan dan rumah-rumah dinas sekolah dengan ukuran dan model yang seragam, hanya menjadi barang rongsokan yang terbiar dan tumpukan material yang tidak bermanfaat. Mengapa hal itu dapat terjadi? Mungkin karena di masa lampau, masyarakat desa dianggap tidak memiliki kapabilitas untuk duduk bersama membicarakan apa kebutuhan mereka dan bagaimana cara mengusahakannya, terlebih ketika itu menyangkut ekonomi masyarakat. Malah yang terjadi adalah masyarakat desa hanya dapat menjadi pasien daftar tunggu yang pasif sebagai penerima subsidi pemerintah melalui program pembangunan ekonomi masyarakat.
APA ITU DANA BERGULIR UEP/ SPP

Sebagaimana yang tertuang dalam PTO PNPM MANDIRI PERDESAAN (Petunjuk Teknis Operasional Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan) disebutkan bahwa grand design yang menjadi visi utama program pemberdayaan tersebut adalah tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin di pedesaan. Di sini, kesejahteraan diartikan ketika seluruh kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi dan kemandirian
180

Tentang Sebuah Lencana...

diasumsikan sebagai kemampuan mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya. Adapun salah satu misi yang terkait langsung dengan sektor kesejahteraan masyarakat desa yang dimaksud adalah peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya serta peningkatan kualitas sarana-prasarana sosial dasar, utamanya ekonomi masyarakat, melalui jaringan kemitraan yang mengedepankan kesetaraan. Langkah untuk mencapai misi tersebut antara lain dapat dilakukan melalui apa yang dimaksud dengan dana bergulir yang ada pada usaha ekonomi produktif, simpan pinjam yang dikelolah kelompok perempuan - selanjutnya lebih populer disebut dengan UEP-SPP. Lantas, apa yang dimaksud dengan UEP-SPP (Simpan Pinjam Perempuan)? Berdasarkan petunjuk teknis operasional kegiatan PNPMMP disebutkan- bahwa, dana bergulir adalah seluruh dana program yang bersifat pinjaman dari Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk membantu kegiatan ekonomi produktif mereka. Dana ini disalurkan melalui kelompok-kelompok komunitas masyarakat, dengan tujuan utama antara lain: pertama, memberikan kemudahan akses permodalan usaha, baik kepada masyarakat sebagai pemanfaat maupun kelompok usaha lainnya; kedua, pelestarian dan pengembangan dana bergulir yang sesuai dengan tujuan program; ketiga, peningkatan kapasitas pengelola kegiatan
181

Sufyan Sagena

dana bergulir di tingkat pedesaan; keempat, menyiapkan kelembagaan UPK sebagai pengelola dana bergulir yang mengacu pada tujuan program secara akuntabel, transparan dan berkelanjutan, dan kelima, peningkatan pelayanan, utamanya kepada rumah tangga miskin dalam pemenuhan kebutuhan permodalan usaha melalui kelompok pemanfaat.
Pelaksanaan Program Dana Bergulir UEP/SPP dalam Konteks Majene

Pada tataran lokal Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, kita semua dapat melihat dan menyaksikan serta menguji kelayakan tumbuh kembang berbagai aktivitas program PNPM-MP, berupa pengelolaan dana bergulir UEP/SPP sejak program ini digelontorkan untuk pengentasan kemiskinan masyarakat desa. Sebagaimana data yang diperoleh dari sekretariat satuan kerja PNPM-MP, disebutkan bahwa hingga keadaan Oktober 2009 - untuk program dana bergulir pinjaman SPP- jumlah dana yang dipergunakan sebesar Rp. 11.347.849,450.- dengan target pengembalian komulatif sebesar Rp. 8.458.008.072.- dan realisasi pengembalian sebesar Rp. 7.869.547.548.- atau prosentase pengembalian sebesar 93,0 %, yang disalurkan oleh 7 unit pengelolah kegiatan yang tersebar di UPK (unit pengelola kegiatan) Kec. Banggae, Pamboang, Sendana, Malunda, Ulumanda, Tubo dan Tammerodo, Sendana. Sementara untuk dana bergulir pinjaman UEP selama ini sebesar Rp. 5.421.141.150.- dengan target pengembalian komulatif
182

Tentang Sebuah Lencana...

sebesar Rp. 4.633.474.187.- dan realisasi pengembalian sebesar Rp. 4.452.736.975.- atau prosentase pengembalian sebesar 96,1 % yang dikelolah oleh tiga UPK) masing- masing UPK Kec. Banggae, UPK pamboang dan UPK Sendana. Melihat tumbuh kembang program ekonomi mikro in, khususnya prosentase pengembalian dana bergulir untuk UEP yang sebesar 96,1 % dan SPP sebesar 93,3 % yang dikelola oleh masing-masing UPK, memunculkan satu optimisme, bahwa apabila kelompok masyarakat di pedesaan diberikan kesempatan untuk mendapatkan akses untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi dengan potensi yang dimilikinya, maka niscaya bisa melahirkan sebuah maha karya yang dapat dirasakan manfaatnya oleh publik desa secara bersama-sama. Sekiranya data yang diketengahkan dalam tulisan ini merupakan data valid dan faktual, berarti kapabilitas kelompok masyarakat dalam me-manage sumber keuangan skala mikro mereka, lebih teruji dan terpercaya ketimbang institusi lainnya yang juga mengelolah program yang sama. Jika fenomena tersebut benar adanya, mungkin tidak keliru apabila kita mulai berandai- andai: apakah tidak sebaiknya program dana bergulir versi UEP/SPP dari PNPM-MP ini dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah lembaga keuangan desa yang mampu menjadi penopang ekonomi pedesaan yang lebih bonafid
183

Sufyan Sagena

dan permanen, tanpa harus merombak jajaran manajemen dan personalia yang telah ada ? Mungkin dibutuhkan sedikit sentuhan pada aspek legalitas sehingga proses reaktualisasi dan revitalisasi serta re-design statuta lembaga ini tetap dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis. Mengapa pertanyaan ini kembali muncul? Boleh jadi pengingat, karena pada beberapa waktu yang lampau dalam banyak momentum pemerintahan, wacana pembentukan lembaga keuangan desa sering kita dengar disertai dengan cerita sukses daerah pembanding. Akan tetapi, seiring dengan berputarnya waktu, wacana itu sayup-sayup redup dari ruang kepekaan kita. Barangkali ada baiknya kita semua mencoba memaknai prinsip orang tua kita terdahulu, bahwa memperbaiki dan menyempurnakan sesuatu yang telah dimiliki- jauh lebih bijak ketimbang harus mengadakan sesuatu yang sama sekali baru, dimana kita sendiri belum mengetahui bagaimana hasil akhirnya nanti. Sejatinya, pada titik inilah sebenarnya kearifan dalam dimensi kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial kita kembali diuji, agar tetap membumi dan senantiasa siamasei. *******

184

Tentang Sebuah Lencana...

MENYIKAPI DIBATALKANNYA SEJUMLAH PERDA DI SULBAR

DALAM sepekan terakhir ini, sejumlah media cetak bertiras lokal dan regional mengangkat berita yang cukup mengagetkan sejumlah pihak dan telah diapresiasi pula oleh sejumlah stake holders dengan beragam penyikapan. Memang harus diakui bahwa secara sosio-yuridis, political will pemerintah (pusat) menerapkan otonomi kepada daerah dengan prinsip desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan lainnya, sebagian besar telah membawa pengaruh signifikan terhadap sistem kepemerintahan terutama yang terkait dengan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengurus dan mengelolah berbagai potensi rumah tangganya sendiri. Walau demikian, terkadang ada beberapa hal yang diabaikan khususnya ketika sebagian diantara kita sedang begitu bersemangat menetapkan sejumlah regulasi untuk memayungi berbagai target pencapaian sejumlah objek pendapatan yang telah
185

Sufyan Sagena

direncanakan. Namun hal ini kurang mendapat atensi karena mengabaikan substansi pola hubungan antara pemerintah (pusat) dengan daerah yang hakekatnya merupakan satu kesatuan yang integratif dalam sistem pembangunan hukum nasional. Dari sekian pola hubungan konstitusional dimaksud, satu diantaranya dapat ditemukan dalam Pasal 136 UU No. 32/ 2004. Disebutkan bahwa pada hakikatnya Perda dibentuk di daerah didasari oleh 2 (dua) landasan pokok, yaitu dalam rangka menyelenggarakan kewenangan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan serta untuk menindaklanjuti dan menjabarkan lebih lanjut perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya yang bersifat produk hukum. Terkait dengan pelaksanaan fungsi konstitusional pemerintah (pusat) yang menganulir sejumlah regulasi di daerah sebagaimana diberitakan dan yang menjadi tema tulisan ini, penulis mencoba memberi apresiasi dengan melakukan pendekatan teori sistem hukum secara sederhana, yaitu penerapan interpretasi hukum dalam setiap aktivitas perumusan Perda, dengan harapan semoga dapat mengurai benang merah dalam proses perumusan kewenangan daerah di bidang hukum.
Urgensi Proses Interpretasi Hukum

Dititik mana urgensi penginterpretasian hukum dalam setiap rancangan Perda di daerah sehingga harus mendapat
186

Tentang Sebuah Lencana...

perhatian? Dalam berbagai referensi ilmu hukum, interpretasi hukum dimaksudkan sebagai salah satu dari tiga bentuk penemuan hukum, yaitu; konstruksi hukum, penalaran hukum, dan interpretasi hukum yang dimaknakan secara sederhana sebagai proses membaca aturan-aturan hukum sebagai sebuah sistem yang utuh. Mulai dari ketentuan kaidahnya berupa pasal-pasal disertai penjelasannya serta berusaha menelaah berbagai ketentuan-ketentuan lain yang dinilai memiliki keterkaitan dengan ketentuan yang sementara dikaji agar tidak terjadi pertentangan norma dan kaidah hukum dikemudian hari. Dalam teori ilmu hukum, proses interpretasi yang seyogianya dilakukan secara saksama, antara lain interpretasi gramatikal, historis, sosiologis, futuristik, restrektif, ekstensif dan yang tidak kalah pentingnya untuk dilakukan adalah melakukan interpretasi sistemik terhadap sejumlah ketentuan perundang-undangan yang ada, terutama aspek tingkat derajat hirarkinya maupun dari aspek kekhususan substansi pengaturannya, sehingga sejak awal dapat diantisipasi kecenderungan kekeliruan berulang tidak terjadi lagi. Salah satu indikator terciptanya good governance pada tataran lokal yang berperspektif hukum adalah ditetapkannya sejumlah regulasi daerah yang dapat menciptakan multiplier effect dalam seluruh rangkaian pembangunan yang dilaksanakan. Secara normatif, Pasal 1 angka 10 UU No. 10/2004 telah menentukan bahwa pembentukan
187

Sufyan Sagena

peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan sebuah proses sistemik, yang prosesnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Apabila upaya interpretasi hukum yang dilakukan pada tahap perencanaan dan persiapan rancangan produk hukum dapat dilakukan dengan benar dan terpadu, maka paling tidak ada empat kondisi objektif dapat diperoleh, yaitu; Pertama, pembentukan Perda berdasar pada skala prioritas sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat; Kedua, Perda yang dibuat sinkron secara vertikal dan horisontal dengan peraturan perundang-undangan lainnya; Ketiga, pembentukan Perda dapat terkoordinasi, terarah, dan terpadu yang disusun bersama antara DPRD dan Pemerintah Daerah; Keempat, Perda sebagai produk hukum daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional. Sekiranya, pilar-pilar sinergitas yang dikemukakan di atas dapat diusung pada ranah aflikatif di daerah, maka trend negatif yang sering muncul sebagai akibat perumusan yang asal jadi sudah dapat dieleminir sedini mungkin. Contohnya seperti yang pernah penulis uraikan dalam kajian serupa ,yaitu; pertama, penyusunan ranperda tanpa
188

Tentang Sebuah Lencana...

perencanaan yang jelas dan sering kali tidak terkait dengan RPJM/Renstra SKPD; kedua, DPRD dan SKPD kesulitan untuk mengusulkan yang sesungguhnya dibutuhkan karena tidak adanya acuan; ketiga, pengusulan ranperda oleh SKPD melalui tim legislasi seringkali tanpa melalui kajian yang mendalam karena tidak diagendakan dalam program/ kegiatan SKPD; keempat, kesulitan dalam proses penyusunan Perda, misalnya dalam penganggaran; evaluasi/pengkajian; penyusunan naskah akademik; kelima, kurang mampu menjaring partisipasi dan mengakomodir kepentingan publik. Dengan demikian, penerapan penemuan hukum seperti upaya interpretasi hukum terhadap setiap program pembangunan produk hukum di daerah menjadi sangat penting karena perubahan terhadap berbagai regulasi dan berbagai peraturan perundangan lainnya diharapkan tidak menimbulkan implikasi hukum baru. Sehingga pada akhirnya diharapkan bisa memberi trend positif (bukan kontra produktif) terhadap program pembangunan yang dilaksanakan secara teratur, bersifat antisipatif terhadap berbagai kecenderungan (predictability), berorientasi pada kepastian hukum (rechtszekerheid), memiliki manfaat yang luas bagi publik serta dapat mewujudkan rasa keadilan masyarakat (gerechtigheid). Betapa urgennya hal tersebut sehingga perlu untuk dipertegas kembali bahwa terdapat kecenderungan dimana acapkali ditemukan - pada beberapa program pembentukan
189

Sufyan Sagena

Perda di beberapa daerah sepanjang pengamatan penulis selama ini- cenderung kurang melaksanakan mekanisme penyusunan secara benar dan tidak mengindahkan normanorma penyusunan yang secara baku menjadi asas- asas yang harus dipedomani oleh setiap legal drafter di daerah. Kondisi ini dapat terjadi, oleh beberapa faktor, antara lain : karena ketidaktahuan anggota tim legislasi jika ada norma hukum yang harus dipatuhi, atau ada unsur mengejar penilaian kuantitas dengan mengamini prinsip asal tidak mati bola ditangan. Sedangkan persoalan benar atau tidak, patut atau tidak patut, sesuai atau tidak sesuai dengan norma dasar penyusunannya, dianggap sebagai urusan belakangan. Terkait dengan kebijakan pemerintah (pusat) menganulir sejumlah Perda yang telah dioperasionalkan selama ini di daerah, menurut penulis ini merupakan proses pembelajaran yang amat penting untuk apresiasi secara positif- dengan memulai menerapkan proses pembentukan produk hukum daerah secara benar. Antara lain seperti mengoptimalkan proses prolegda dan menjadi rujukan secara sistemik dalam setiap perencanaan pembentukan ranperda, hindari kegiatan pengayaan studi banding yang hanya bertujuan meng-copy paste Perda-Perda yang sudah ada di lokasi yang dituju tanpa memperhatikan kesesuaian substansi dengan kebutuhan. Sudah saatnya semua pihak yang terkait dengan
190

Tentang Sebuah Lencana...

program perumusan berbagai kebijakan regulasi di daerah dapat memahami bahwa salah satu password dalam teori ilmu hukum adalah menempatkan asas-asas hukum sebagai kaidah rechtbeginsel dalam penyusunan dan mengaplikasikan berbagai kebijakan yang berdimensi hukum. Juga perlu mulai memaknai asas Lex posterior derogat legi priori maupun Lex superior derogat legi inferiori, agar kita semua sedari awal dapat terhindar dari sinyalemen yang disinyalir oleh Nigro dan Nigro (dalam Muhajir Darwin) dengan mengklasifikasi perilaku mal-administrasi dengan mengasumsikan perilaku mengabaikan tatanan hukum (disregard of the law) sebagai salah satu dari delapan kecenderungan perilaku yang kurang terpuji dalam konteks layanan publik. *******

191

Sufyan Sagena

192

Tentang Sebuah Lencana...

SUMBER TULISAN

Urgensi Branding bagi Daerah Otonom Koran Mandar, 6 Juni 2011. Mengurai Makna Sebuah Tagline Sumber tak terlacak Mewujudkan Kepemimpinan Berkarakter di Daerah Radar Sulbar 24 Juni 2010 Memaknai Koordinasi dan Permasalahannya dengan Bijak Radar Sulbar, 3 Desember 2009, juga dipublikasikan dalam http:// sufyansagena.blogspot.com/ Mewujudkan Etika Kepemerintahan Radar Sulbar, 9 Maret 2009, juga dipublikasikan dalam http:// sufyansagena.blogspot.com/ Menerapkan Transparansi dalam Pelayanan Publik Majene Mammis, Edisi 11/ November 2009. Juga dipublikasikan dalam http:// bloggerorangbiasa.blogspot.com dan http:// sufyansagena.blogspot.com/ 193

Sufyan Sagena

Benarkah SKPD Sulbar Lemah? Radar Sulbar, 23 Desember 2009 Mencermati Keresahan Pejabat Struktural yang Menjadi Korban Kebijakan yang Tidak Akurat Sumber tak terlacak Selamat Datang Calon Pelayan Masyarakat Sumber tak terlacak Puasa dan Lencana Pengabdian Radar Sulbar, 23 Agustus 2010 Penilaian Kinerja: Masihkan Menjadi Instrumen Pengembangan SDM? Radar Sulbar, 12 Maret 2009 Musrenbang: Benarkah Kegiatan yang Sia-sia? Radar Sulbar, 26 Februari 2009 Partisipasi Masyarakat dan Instrumennya dalam Pembangunan Sumber tak terlacak Mungkinkah Perubahan Itu Terjadi dalam Organisasi Pemerintah Daerah? Majene Mammis 2 April 2009 Sekali Lagi tentang Perubahan: Pintu Masuk Perubahan Sumber tak terlacak Menakar Sulbar: Refleksi Lima Tahun Sulawesi Barat Radar Sulbar, 28 Oktober 2009 Agar Hukum Tak Menjadi Bahan Olokan Sumber tak terlacak

194

Tentang Sebuah Lencana...

Pemilukada dan Netralitas Pegawai Negeri Sipil Radar Sulbar, 14 Februari 2011 Mencermati Kebijakan dan Kebijaksanaan Sumber tak terlacak Hukum Sebagai Kenyataan dalam Masyarakat, Mungkinkah? Sumber tak terlacak Memahami Landasan Sosiologis dalam Peraturan Perundang-undangan Sumber tak terlacak Mewujudkan Kreativitas dan Inovasi dalam Pengelolaan Retribusi dan Pajak Daerah Sumber tak terlacak Mendorong Kemandirian Ekonomi Masyarakat Desa Majene Mammis, Edisi 13/ Desember 2009 Menyikapi Dibatalkannya Sejumlah Perda di Sulbar Sumber tak terlacak

*******

195

Sufyan Sagena

196

Tentang Sebuah Lencana...

BIODATA PENULIS

SUFYAN SAGENA, yang memiliki nama karib Fian, lahir pada tanggal 19 Maret 1966 di Majene, Sulawesi Barat. Nama depannya adalah pemberian ulama kharismatik Mandar, almarhum almukarram K.H. Muh Saleh, sedangkan nama belakangnya dari nama almarhum ayahnya, Sagena Hasan, seorang purnawirawan TNI/ ABRI. Ia menamatkan pendidikan SDN 1 (1977), SMPN II (1981), SMAN 165 (1984), semuanya di Majene. Pendidikan S1 diselesaikan di Fakultas Hukum, Jurusan Keperdataan, UNHAS Makassar (1991), S2 diselesaikan di Magister Administrasi Publik, kekhususan Pemerintahan UNHAS Makassar (2004), dan kandidat doktor Ilmu Hukum Pasca Sarjana UMI Makassar yang tidak sempat diselesaikannya setelah tutup usia pada hari Jumat, 23 Maret 2012, dalam usia 46 tahun. Sufyan Sagena telah meninggalkan seorang istri, dr. Hj. Evawaty, M. Kes yang telah memberinya
197

Sufyan Sagena

karunia terindah dari sang Khalik berupa dua orang matahari kecil yang sedang tumbuh: Nadya Soraya Auliyah (Ola) dan Ahmad Taufan Nugraha (Opan). Di daerahnya, Sufyan Sagena dikenali sebagai birokrat, penggiat sosial kemasyarakatan, pengajar di beberapa universitas, dan aktif sebagai pemateri dalam berbagai forum/seminar. Sebagai organisatoris, Sufyan pernah menjabat beberapa jabatan strategis, antara lain sebagai Sekretaris umum FKPPI Kab. Majene, Ketua Umum KNPI Kab. Majene (2 periode), Ketua MPI Kab.Majene, Ketua Pembangunan Masjid Nurul Mujahidin, Ketua Umum PBSI Kab.Majene, Ketua Umum ICMI Muda Kab.Majene, Ketua Umum MASIKA ICMI Kab.Majene, Ketua Umum DDI Ambo Dalle Kab. Majene, penggagas sekaligus pendiri Siamasei Institut (lembaga survei, penelitian, dan pelatihan), serta koordinator alumni SMA 1 Majene angkatan 84 yang meluncurkan Program Angkatan `84 Menjadi Orang Tua Angkat untuk tiga orang siswa-siswi berpotensi dan berprestasi dari keluarga kurang mampu. Dalam perjalanan karier birokratnya, pernah menjadi Kepala Bagian Tata Pemerintahan termuda di Provinsi Sulsel waktu itu, Sufyan Sagena pernah menjabat Camat Banggae yang mengantarnya memperoleh penghargaan Gubernur Sulawesi Selatan selaku Camat Teladan, dan pengelola PBB terbaik I Tingkat Provinsi Sulsel sebanyak dua kali (2002 dan 2004), serta penghargaan dari Program JICA sebagai
198

Tentang Sebuah Lencana...

pengelola layanan publik terbaik region Sulawesi, pernah menjadi Kepala Bagian Hukum yang mengantarnya berkalikali mengikuti diklat teknis yang berhubungan dengan program legislasi produk hukum di daerah, pernah menjadi kepala Kantor PMD yang mengantarnya berhasil merumuskan sejumlah Perda dan regulasi tentang pemberdayaan masyarakat desa yang telah dinikmati pemerintah dan masyarakat desa selama ini, pernah menjadi Staf Ahli Bupati (Bidang Pemerintahan, Politik,Hukum & HAM), dan menjabat Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata, Kab. Majene. Dalam hal menulis, mungkin Sufyan Sagena adalah salah satu diantara sedikit birokrat Sulbar yang intens menulis di media massa, kendati masih dalam skala lokal Sulawesi Barat, namun telah menghasilkan banyak tulisan dengan berbagai tema terutama yang terkait masalah hukum, sosial, politik, dan pemerintahan. []

199

Sufyan Sagena

200

Sufyan Sagena

Nah, kalau demikian adanya, barangkali masih segar dalam ingatan sebahagian dari kita ketika memiliki urusan, entah itu urusan yang full kedinasan maupun yang sifatnya semi kedinasan, namun sering terdengar ungkapan khas negeri nyiur melambai seperti, mohon maaf, kami orang baru menangani urusan saudara atau, mohon maaf, saya hanya menggantikan sementara si pemilik pekerjaan ini, bahkan mungkin alasan yang paling sering terdengar adalah, mohon dimaklumi, saudara, kita semua orang baru!. Pertanyaannya adalah: sampai kapan manajemen harap maklum ini diakhiri di jazirah yang didesain malabi ini untuk menjadi sebuah grand design pemerintahan lokal yang berperspektif luas, dan menjadi malabi kedzo, malabi pau? Mohon maaf, Sulawesi Baratku. Kegelisahan ini semua tercetus karena kami semua sangat mencintaimu melebihi dari yang kamu duga! *******

112

You might also like