You are on page 1of 3

Kontradiksi

Last Updated on Wednesday, 20 April 2011 14:05 Wednesday, 20 April 2011 13:46 Written by Hamid Fahmy Zarkasyi Ada dua kesan yang terbersit dari wajah pendukung pluralisme agama: kontradiksi tapi percaya diri! Kontradiksi karena mulutnya berbunyi toleransi tapi sorot matanya menyiratkan relativisme. Percaya diri karena merasa berada di jantung wacana postmodernisme. Sebenarnya, asal mula makna pluralism adalah toleransi. Dalam Oxford Advanced Learnerss Dictionary of Current English, terbit tahun 1948, makna itu jelas. Pluralisme adalah suatu prinsip bahwa kelompok-kelompok bebeda tersebut dapat hidup bersama dalam kedamaian dalam satu masyarakat. Tapi setengah abad kemudian prinsip berubah menjadi relativisme: curiga terhadap konsep kebenaran. Buktinya bisa dibaca pada Oxford Dictionary of Philosophy, oleh Simon Blackburn, terbit tahun 1995. Pluralisme adalah prinsip bahwa disana tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya. Disinilah kontradiksi itu mulai nampak. Memang kini pluralism adalah wacana postmodernisme dan artinya tidak lain kecuali relativisme. Akbar S Ahmed dalam Islam and Postmodernism tegas bahwa postmodernisme dipicu oleh semangat pluralisme (relativisme). Padahal ketika pluralisme diartikan relativisme, maka akal sehat akan menolak, karena alasan law of no-contradiction. Jika bagi seorang yang beragama Tuhan itu ada, sedangkan bagi seorang atheist tuhan itu tidak ada; dan jika dalam ajaran suatu agama Tuhan itu Maha Esa sedangkan bagi penganut ajaran lain tuhan itu tiga atau lebih; dan jika tuhan bagi suatu agama adalah satu dan tidak seperti manusia sedang dalam kepercayaan itu ada dua: laki dan wanitadst. maka menurut law of no-contradiction tidak mungkin semua benar atau semua salah. Yang benar pasti hanya satu. Tapi Akbar juga menambahkan bahwa postmodernisme itu dihadapkan secara berlawanan dengan fundamentalisme. Apa itu fundamentalisme? tidak jelas. Dari Cheryl Bernard dalam Civil Democratic Soicety kita baru mafhum artinya adalah keolompok yang menolak kebudayaan Barat. Jika demikian semakin jelas bahwa relativisme adalah faham anti agama-agama. Tapi bagaimana cara menghadapi agama-agama? Jadikanlah agama sebagai masalah publik yang meresahkan! Buatlah bukti lalu stigma bahwa agama adalah sumber konflik dan kekerasan. Jika perlu konflik antar agama sekecil apapun harus dipublikasikan dan kalau perlu diada-adakan. Begitulah fatwa Cheryl Bernard. Hanya anehnya intoleransi dan kekerasan non fisik terhadap agama di Barat tidak dibahas. Di Barat, Muslim, misalnya, tidak mengalami kekerasan fisik, tapi tidak menikmati toleransi sama sekali. Bahkan Muslim kehilangan hampir semua hak asasi publiknya. Menara masjid diharamkan sekaligus suara azannya. Ibadah shalat oleh individu atau jamaah seperti Idul Adha diruang publik haram hukumnya, apalagi istighthah gaya para kyai pesantren. Tapi tidak ada publikasi tentang intoleransi ini. Sementara di negeri Muslim, khususnya Indonesia, toleransi lebih menonjol. Penganut agama minoritas dapat menikmati kebebasan publik. Dentuman lonceng gereja bebas bersaing dengan suara bedug dan azan. Gebyar natal, nyepi, imlek, galungan bebas dirayakan diruang publik secara nasional, bersaing dengan Idul Fitri. Mimbar agama-agama di TV-TV publik menjadi tontonan yang jamak. Tapi aksi intoleransi sekecil apapun pasti dipublikasikan. Dari negeri Muslim ini mestinya Barat belajar bertoleransi, dan bukan mengajarkan relativisme. Benar ! Sebab ketika saya memberi kuliah umum di Universtas Wienna seorang peserta bertanya:Mengapa anda dapat hidup dengan toleransi seperti itu? Padahal kami disini bertentangga dengan Muslim atau penganut agama lain saja sangat tidak mudah. Karena Barat sekuler dan seperti kata John Hick, Barat baru mengenal pluralitas agama-agama, jawab saya.

Memang Barat, Islam dan agama-agama perlu saling belajar bertoleransi. Jika pluralisme berarti toleransi maka demi pluralism kita tidak perlu menyamakan Tuhan semua agama dan konsep kepercayaan kepadaNya. Demi pluralisme Barat tidak perlu pergi ke masjid dan ikut sholat atau ikut dikhitan. Sebaliknya, demi pluralism (toleran) Muslim tidak perlu makan daging babi, minum arak, melegalkan praktek lesbi dan homoseks; Demi pluralisme orang Nasrani tidak perlu ikut tahlilan, nyumbang dana untuk kurban atau zakat, dan orang Islam tidak perlu rame-rame ikut natalan atau minta dibaptis. Demi pluralisme orang Hindu tidak perlu menghancurkan patung mereka. Jadi pluralisme yang berarti relativisme adalah kontradiktif, secara logis, teologis maupun sosial. Logika buya Hamka tidak salah ketika mengatakan bahwa siapapun yang mengatakan semua agama itu sama, dia pasti tidak beragama. Jika Muslim yang mengatakan semua agama itu sama, maka ia tidak bicara atas nama Islam. Dalam bahasa logika, barangsiapa yang mengatakan semua pendapat itu sama benarnya maka ia menyalahi law of no-contradiction berarti kontradiksi. Bahkan bagi Gregory Koukl, pembela teologi Kristen masa kini, konsep pluralisme agama masa kini adalah bodoh (stupid). Wallahu alam bissawab

Moderat
Wednesday, 18 May 2011 09:47 Written by Hamid Fahmy Zarkasyi Tahun 2008 Japan Institute of International Affair (JIIA) menggelar symposium di Tokyo. Temanya Islam and Asia: Revisiting the Socio-Political Dimension of Islam, yakni tentang masa depan politik Islam. Pesertanya mayoritas dari negara-negara Islam seperti Mesir, Pakistan, Iran, Turkey, Tunis, Indonesia dan Malaysia, ditambah seorang dari Amerika dan beberapa dari Jepang sendiri. Nampaknya simposium ini bertujuan untuk mengukur masa depan kekuatan politik Islam pasca peristiwa 11 September, akan ditangan radikal atau moderat. Maka dari itu diantara isu yang dilontarkan disitu adalah tentang arti Muslim moderat. Istilah ini nampaknya berfungsi sebagai penjinak terorisme. Mirip dengan fungsi sekularisme tahun 70an sebagai penjinak fundamentalisme. Mulanya para peserta merespon dengan datar-datar saja. Moderate artinya tidak berlebihan ghuluww (ekstrim) dalam menjalankan agama. Bagi Professor Bedoui Abdelmajid, dari Tunis moderat dalam Islam tercermin dalam keimanan, peribadatan, hubugan sosial, tradisi dan dalam pemikiran maupun dalam kehidupan nyata. Tapi masalahnya menjadi krusial ketika Angel Rabasa, wakil dari Rand Coorporation Amerika Syerikat mendefinisikan. Muslim moderat adalah yang mau menerima pluralisme, feminisme dan kesetaraan gender, demokratisasi, humanisme dan civil society. Dr.Sohail Mahmud dari Pakistan menganggap definisi Rabasa itu sarat dengan kepentingan Barat. Azzam Tamimi, Direktur TV alHiwar London, menolak definisi itu dan menegaskan bahwa mayoritas Muslim menurut kriteria Islam adalah moderat meskipun tidak setuju dengan pluralisme, feminisme, humanisme dsb. Saya pun ikut merespon. Pengertian anda itu sekarang di Indonesia disebut dengan Islam Liberal, mestinya anda tahu itu. Dan Islam Liberal di Indonesia itu tidak moderat tapi ekstrim. Jika anda katakan Islam liberal adalah moderat maka konsekuensinya mayoritas umat Islam yang tidak liberal, termasuk NU dan Muhammadiyah, adalah fundamentalis, ekstrimis dan tidak moderat. Masataka Takeshita, Professor Studi Islam dari Universitas Tokyo segera bertanya, apa yang anda maksud Islam liberal? saya katakan Islam Liberal itu terlalu kontekstual, artinya cenderung menafsirkan Islam hanya untuk menjustifikasi konsep-konsep dalam konteks masyarakat Barat. Contohnya, di kalangan liberal ada yang menafikan hukum Tuhan (syariah), mempersoalkan otentisitas al-Quran, menyoal otoritas ulama agar kemudian dapat menghalalkan homoseks dan lesbi, nikah beda agama dsb. Rabasa tetap pada pendiriannya, tapi diluar forum terus terang dia terkejut dan tidak percaya jika ada orang liberal Indonesia yang setuju dengan homoseks dan lesbi.

I will check it, katanya. Rabasa tak bergeming karena pasca 9/11, Rand Coorporation giat menjual Islam moderat. Setelah American Journal of Islamic Social Sciences mengangkat tema ini secara serial lima tahun lalu, petanya semakin jelas. sedikitnya ada tiga kelompok: anti-Islam, Barat dan Islam. Definisi Islam moderat yang anti Islam dalam dilihat pada situs muslimsagainstshariah. Disitu ditulis begini diantaranya: tidak anti bangsa semit, menentang kekhalifahan, kritis terhadap Islam, menganggap Nabi bukan contoh yang perlu ditiru, menentang jihad, pro Israel atau netral, tidak berreaksi ketika Islam dan Nabi Muhammad dikritik, menentang pakaian Islam, syariah, dan terrorisme. Andrew McCarthy dalam National Review Online, August 24, 2010 malah tegas-tegas menyatakan siapapun yang membela syariah tidak dapat dikatakan moderat. (no one who advocates shariah can be a moderate). Kedua pengertian ini sungguh-sungguh tidak moderat. Islam moderat dalam perspektif Barat hampir seragam. Rabasa, Graham E Fuller dan Ariel Cohen sudah seperti ijma. Muslim moderat, kata Fuller adalah yang menolak literalism dalam memahami kitab suci, tidak monopoli penafsiran Islam dan menekankan persamaan dengan agama lain dan bahkan tidak menolak kebenaran agama lain. Inilah yang ditirukan orang liberal di Indonesia. Fuller bahkan ngelantur moderat adalah yang mendukung kebijakan dan kepentingan Amerika dalam mengatur dunia. Senada tapi lebih ekstrim lagi, Ariel Cohen mengartikan moderat sebagai menghormati hak menafsirkan al-Quran, hak menyembah Allah dengan caranya sendiri, atau tidak menyembah atau bahkan tidak percaya. Lagi-lagi ini alam pikiran kelompok Islam Liberal yang kental bau orientalismenya. Definisi Rabasa, Graham maupun Cohen memang benar-benar liberal. Dan mungkin bagi orang liberal itu biasa dan nothing wrong. Tapi yang justru menemukan kesalahannya adalah John L Esposito. Dengan bijak dan adil dia kritik begini: pertama jika definisi Barat itu diterima maka Muslim konservatif dan tradisionalis menjadi tidak moderat. Selain itu jika seorang wanita Muslim memimpin Sholat Jumat menjadi kriteria moderat, maka banyak orang Kristen, Yahudi dan penganut agama lain termasuk Paus John Paul II yang patrialistik itu justru tidak masuk kriteria moderat. Louay Safi dan Ubid Ullah Jan tokoh Muslim di Canada, memiliki kesan yang sama. Pengertian moderat yang pro-Barat ataupun yang anti Islam sama saja. Seorang Muslim belum dianggap moderat jika belum menolak al-Quran secara publik. Tapi masalahnya, menurut Esposito jika untuk menjadi moderat orang harus mengingkari kitab sucinya, maka Yahudi moderat juga harus mengingkari kitab sucinya yang menjadi penyebab klaim negara Israel dan pendudukan tanah Palestina. Itu kesalahan yang kedua. Kerancuan lain juga ditemukan Safi. Menurutnya pengertian Muslim moderat di Barat adalah a person who is not comfortable with his/her Islamic roots and heritage, and openly hostile to Islam, and eager to transcend all Islamic norms. Contoh yang nyata, katanya ada pada figur Irsyad Manji seorang feminis yang terkenal mengkritik Syariah (bukunya The Trouble with Islam: A Muslims Call for Reform in Her Faith), tapi pada saat yang sama mengaku sebagai pelaku lesbi. Anehnya figur seperti ini oleh Barat dianggap sebagai the voice of moderation. Bagi Muqtedar Khan, cendekiwan Muslim asal Canada moderat itu adalah yang berfikiran terbuka, kritis, menghormati semua orang, bermoral, beramar maruf nahi munkar (QS 5:48; 3:110), tidak ada intimidasi dan kekerasan. Sahabatnya Ubid Ullah Jan, menambahi Muslim yang menolak ketidak adilan atau Muslim yang hidupnya hanya untuk ibadah masih dianggap moderat. Tentu semua itu tanpa kekerasan. Jadi, untuk mengalahkan radikalisme tidak perlu liberalisme dan agar menang melawan hegemoni kolonialisme Barat tidak perlu ekstremisme. Kebajikanlah yang akan mengalahkan kejahatan atau kekerasan, vincit vim virtus. Wallahu alam sumber : insistnet.com

You might also like