You are on page 1of 21

Berikut ini akan dideskripsikan mengenai ketentuan pidana dari perundangundangan yang merupakan konsepsi tahap formulasi lex

specialis terhadap urusanurusan di bidang kehutanan dan yang menjadi dasar hukum dalam penegakan hukum pidana (penal) terhadap penebangan liar (illegal logging), yaitu antara lain; a. Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Uraian tentang ketentuan pidana dan sanksinya terhadap kegiatan penebangan liar (illegal logging) berdasarkan UU No.41 Tahun 1999 antara lain sebagai berikut; Tabel 1. Ketentuan Pidana dalam UU No.41 Tahun 1999 Formulasi Tindak Pidana Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan (Pasal 50 (1)). Barang siapa dengan sengaja merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.(lima milyar rupiah) (Pasal 78 (1)) Setiap orang yang diberikan ijin pemanfaatan kawasan, ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta ijin pemungutan hasil hutan kayu danbukan kayu. Dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan (Pasal 50 (2)). Barang siapa yang melanggarketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 (1)) Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:a. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk dan danaub. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawac. 100 (seratus) meter dari tepi kiri kanan sungaid. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungaie. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurangf. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah Efek Jera efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.-

efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.-

dari tepi pantai (Pasal 50 ayat (3) huruf c)Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (2)) Setiap orang dilarang untuk menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau ijin dari pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf e). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (4)) Menerima, membeli, atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah (Pasal 5 ayat (3) huruf f). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (4)) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (Pasal 50 ayat (3)huruf h). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000.- (sepuluh milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (6)) Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan diguanakn untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3)huruf j). efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.-

efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000.-

Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.- (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (8)) Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf k). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000.- (satu milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (9)) Negara melakukan perampasan terhadap hasil hutan dan alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran (Pasal 78 ayat (15))

denda paling banyak Rp 5.000.000.000.-

efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000.efek jera yang diterapkan dengan ancaman perampasan terhadap hasil hutan dan alat-alat yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran

Berdasarkan uraian tentang formulasi ketentuan pidana dan sanksinya yang diatur dalam UU No.41 Tahun 1999 di atas, maka dapat ditemukan unsurunsur yang dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging) yaitu: 1. Merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan 2. Kegiatan yang keluar dari ketentuan perijinan sehingga merusak hutan 3. Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan undang-undang 4. Menebang pohon tanpa ijin 5. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil hutan ilegal 6. Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) 7. Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa ijin

b. Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Pengaturan pidana dalam UU No.5 Tahun 1990 ini diatur dua macam perbuatan pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran, sedangkan sanksi pidana ada tiga macam yaitu pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Sanksi pidana terhadap kejahatan diatur dalam Pasal 40 ayat (1) dan (2) sedangkan sanksi pidana terhadap pelanggaran diatur dalam Pasal 40 ayat (3) dan (4) UU No.5 Tahun 1990, sedangkan unsur-unsur perbuatan pidananya diatur dalam Pasal 19, Pasal 21 dan Pasal 33. Tabel 2. Ketentuan Pidana dalam UU No.5 Tahun 1990 Formulasi Tindak Pidana Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap; keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 ayat (1)), dan keutuhan zona inti taman nasional (Pasal 33 ayat (1)), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat (1)) Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-baginnya dalam keadaan hidup atau mati (Pasal 21 ayat (1)), mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke suatu tempat lain di dalam atau diluar Indonesia (Pasal 21 ayat (2)), dan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam (Pasal 33 ayat (3)), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat (2)) Barang siapa karena kesalahannya melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap; keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 ayat (1)), dan keutuhan zona inti taman efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama Efek Jera efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000.-

nasional (Pasal 33 ayat (1)), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.- (seratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat (3)) Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-baginnya dalam keadaan hidup atau mati (Pasal 21 ayat (1)), mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke suatu tempat lain di dalam atau diluar Indonesia (Pasal 21 ayat (2)), dan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam (Pasal 33 ayat (3)), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000.(lima puluh juta rupiah) (Pasal 40 ayat (4))

1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000.-

Unsur-unsur pidana yang terkait dengan kegiatan penebangan liar (illegal logging) dalam undang-undang di atas antara lain; 1. Perbuatan, baik disengaja maupun karena kelalaian yang mengakibatkan kerusakan terhadap hutan atau kawasan dan ekosistemnya. Namun ketentuan tersebut khusus pada kawasan suaka alam dan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata. 2. Perbuatan, baik disengaja maupun karena kelalaian mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, memperniagakan dan menyelundupkan hasil hutan, namun demikian ketentuan tersebut khusus terhadap hasil hutan berupa tumbuhan yang dilindungi yaitu jenis spesies tertentu yang terancam kepunahan (Penjelasan Pasal 20 ayat (1) UU No.5 Tahun 1990) Berdasarkan rumusan ketentuan pidana dalam UU No.5 Tahun 1990 tersebut, UU No.5 Tahun 1990 hanya secara khusus mengatur mengenai kajahatan dan pelanggaran terhadap kawasan hutan tertentu dan jenis tumbuhan tertentu, sehingga untuk diterapkan terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging) hanya sebagai instrumen pelengkap atau sebagai pasal lapisan tuntutan (subsidaritas) dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penebangan liar (illegal logging). Dan perlu diperhatikan bahwa ketentuan tersebut hanya dapat berfungsi jika unsur-unsurnya terpenuhi.

c.

Ketentuan Pidana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 Ada dua jenis pidana berdasarkan Pasal 18 PP No.28 Tahun 1985 yaitu kejahatan dan pelanggaran sedangkan sanksi pidananya ada empat macam, yaitu pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran. Ketentuan pidana dalam PP No.28 Tahun 1985 tersebut diatur dalam Pasal 18, yang akan diuraikan sebagai berikut; Tabel 3. Ketentuan Pidana dalam PP No.28 Tahun 1985 Formulasi Tindak Pidana Barang siapa dengan sengaja melakukan penebangan pohon-pohon dalam huatan lindung tanpa ijin (Pasal 9 ayat (2)), dihukum dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp100.000.000.- (seratus juta rupiah) (Pasal 18 ayat (1)). Sedangkan jika perbuatan tersebut dilakuakn di dalam hutan bukan hutan lindung dipidana dengan penjara selama-lamnaya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp20.000.000 (dua puluh juta rupiah) (Pasal 18 ayat (2)) Efek Jera efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.- dan atau ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 20.000.000.efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.-

Barang siapa yang melakukan pemungutan hasil hutan dengan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan tanah dan tegakan (seluruh pohon) di dalam kawasan hutan dan hutan cadangan (Pasal 7 ayat (3)), dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000.- (satu juta rupiah) (Pasal 18 ayat (3)) Barang siapa yang dengan sengaja memiliki dan atau menguasai dan atau mengangkut hasil hutan yang sudah dipindahkan dari tempat pemungutannya tanpa disertai dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH), dipidana dengan didana kurungan selamalamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-

banyaknya Rp 5.000.000.-(lima juta rupiah) (Pasal 18 ayat (4) huruf d) Barang siapa dengan sengaja membawa alat-alat yang lazim diguanakan untuk memotong, menebang, dan membelah pohon di dalam kawasan hutan, selain petugas yang diberi wewenang oleh undang-undang (Pasal 9 ayat (1)), dipidana dengan pidana kurungan selamalamnya 6 (enam) bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp 2.500.000.- (dua juta lima ratus ribu rupiah) (Pasal 18 ayat (5)). Semua benda yang diperoleh dari dan semua alat atau benda yang diperguanakan untuk melakukan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dapat dirampas untuk negara. efek jera yang diterapkan dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp2.500.000.-

efek jera yang diterapkan dengan perampasan semua benda yang diperoleh dari dan semua alat atau benda yang dipergunakan untuk melakukan perbuatan pidana

Pengaturan sanksi pidana yang ditetapkan dalam PP No.28 Tahun 1985 ini sebenarnya merupakan penjabaran dari Pasal 19 ayat (1) UU No.5 Tahun 1967 yang berbunyi;Peraturan pelaksanaan dari undang-undang ini dapat memuat sanksi pidana, berupa hukuman pidana penjara atau kurungan dan/atau denda. Oleh karena itu dalam menetapkan PP No.28 Tahun 1985 ini sebagai dasar hukum dalam penerapannya harus selalu dilihat dengan Pasal 19 UU No.5 Tahun 1967. Namun demikian, dengan diberlakukannya UU No.41 Tahun 1999 kerancuan tersebut dapat diatasi. d. Ketentuan Pidana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan, Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp

200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah). e. Ketentuan Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pada dasarnya kejahatan penebangan liar (illegal logging), secara umum dapat dikaitkan dengan unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, penebangan liar (illegal logging) dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bentuk kejahatan secara umum, yaitu: 1) Perusakan Perusakan sebagaimana diatur dalam Pasal 406 sampai dengan Pasal 412 KUHP terbatas hanya mengatur tentang perusakan barang dalam arti barang-barang biasa yang dimiliki orang (Pasal 406 KUHP). Barang dalam hal ini dapat berupa barang tetap maupun tidak tetap, bergerak maupun tidak bergerak. Namun berkenaan dengan barangbarang yang mempunyai fungsi sosial artinya dipergunakan untuk kepentingan umum diatur dalam Pasal 408, akan tetapi terbatas pada barang-barang tertentu sebgaimana yang disebutkan dalam pasal tersebut dan tidak relevan untuk ditetapkan pada kejahatan perusakan hutan. 2) Pencurian Ketika penebangan liar (illegal logging) dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian, dapat dirumuskan dalam unsur-unsurnya menurut penjelasan Pasal 363 KUHP yaitu sebagai berikut: a) b) Perbuatan mengambil, yaitu mengambil untuk dikuasai Suatu barang, dalam hal ini barang berupa kayu yang pada waktu diambil tidak berada dalam penguasaan pelaku c) Sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dalam hal ini hutan dapat merupakan hutan adat dan hutan hak yang termasuk dalam hutan negara maupun hutan negara yang tidak dibebani hak. d) Dengan sengaja atau dengan maksud ingin memiliki dengan melawan hukum. Adapun ancaman hukuman yang paling berat dalam kasus pencurian menurut KUHP antara lain Pasal 363 yaitu pidana penjara 5 (lima) tahun, Pasal 364 pidana penjara 7 (tujuh) sampai dengan 9 (sembilan) tahun dan Pasal 365 dengan pidana penjara maksimal 15 (lima belas) tahun. 3) Pemalsuan Pemalsuan surat diatur dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 276 KUHP. Menurut penjelasan Pasal 263 KUHP, pemalsuan surat merupakan kegiatan membuat surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat sedemikian rupa sehingga menunjukkan seperti aslinya. Surat dalam hal ini

adalah surat yang dapat menerbitkan suatu hak, suatu perjanjian, pembebasan utang atau surat yang dapat digunakan sebagai suatu keterangan perbuatan atau peristiwa. Ancaman pidana terhadap pemalsuan surat menurut Pasal 263 KUHP ini adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun, Pasal 264 paling lama 8 (delapan) tahun, Pasal 266 dipidana penjara 7 (tujuh) tahun. Berkenaan dengan illegal logging, salah satu modus operandi yang sering digunakan oleh pelaku llegal logging adalah pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), termasuk pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu, dan keterangan palsu dalam SKSHH. Modus operandi ini belum diatur secara tegas dalam Undang-Undang Kehutanan. 4) Penggelapan Penggelapan di dalam KUHP diatur dalam Pasal 372 sampai dengan Pasal 377. Dalam penjelasan Pasal 372 KUHP, penggelapan diartikan mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan untuk dimiliki dengan melawan hak. Modus penggelapan dalam kejahatan penebangan liar (illegal logging) antara lain penebangan di luar area yang dimiliki (over cutting), penebangan yang melebihi target kuota yang ada (over capasity), dan melakukan penebangan sistem tebang habis sedangkan iijin yang dimiliki adalah tebang pilih, mencantumkan data jumlah kayu dalam SKSHH yang lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya. Ancaman hukuman yang ada dalam Pasal 372 KUHP adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900.- (sembilan ratus rupiah). 5) Penadahan Heling atau persekongkolan atau penadahan diatur dalam Pasal 480 KUHP. Lebih lanjut perbuatan itu dikategorikan menjadi perbuatan membeli, atau menyewa barang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil dari kejahatan. Ancaman pidana dalam Pasal 480 adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda sebanyakbanyaknya Rp 900.- (sembilan ratus rupiah). Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu illegal baik di dalam maupun di luar negeri, bahkan terhadap kayu-kayu hasil penebangan liar (illegal logging) yang nyata-nyata diketahui oleh pelaku, baik penjual maupun pembeli. Modus ini juga diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf f UU No.41 Tahun 1999. http://rustamaji1103.wordpress.com/

UNDANG-UNDANG Inpres No. 4 Thn 2005 Tentang Illegal Logging INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2005 TENTANG PEMBERANTASAN PENEBANGAN KAYU SECARA ILEGAL DI KAWASAN HUTAN DAN PEREDARANNYA DI SELURUH WILAYAH REPUBLIK INDONESIA. Dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia dengan ini menginstruksikan: Kepada : 1. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; 2. Menteri Kehutanan; 3. Menteri Keuangan; 4. Menteri Dalam Negeri; 5. Menteri Perhubungan; 6. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; 7. Menteri Luar Negeri; 8. Menteri Pertahanan; 9. Menteri Perindustrian; 10. Menteri Perdagangan; 11. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 12. Menteri Negara Lingkungan Hidup; 13. Jaksa Agung; 14. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 15. Panglima Tentara Nasional Negara;

16. Kepala Badan Intelijen Negara; 17. Para Gubernur; 18. Para Bupati/Walikota; Untuk : PERTAMA : 1. Melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan: a. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang. b. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. c. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu. d. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. e. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. 2. Menindak tegas dan memberikan sanksi terhadap oknum petugas dilingkup instansinya yang terlibat dengan kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya. 3. Melakukan kerjasama dan saling berkoordinasi untuk melaksanakan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia. 4. Memanfaatkan informasi dari masyarakat yang berkaitan dengan adanya kegiatan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya.

5. Melakukan penanganan sesegera mungkin terhadap barang bukti hasil operasi pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia dan atau alat-alat bukti lain yang digunakan dalam kejahatan dan atau alat angkutnya untuk penyelamatan nilai ekonomisnya. KEDUA : Khusus kepada : 1. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan: a. Mengkoordinasikan seluruh instansi terkait sebagaimana dalam Instruksi Presiden ini dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia. b. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melaksanakan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia. c. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia atas pelaksanaan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya secara periodik setiap 3 (tiga) bulan, kecuali pada kasus-kasus yang mendesak. 2. Menteri Kehutanan: a. Meningkatkan penegakan hukum bekerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan serta aparat terkait terhadap pelaku berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melalui kegiatan operasi intelijen, preventif, represif, dan yustisi. b. Menetapkan dan memberikan insentif bagi pihak-pihak yang berjasa dalam kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya. c. Mengusulkan kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan pencegahan dan penangkalan terhadap oknum yang diduga terlibat kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya. 3. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia: a. Menindak tegas dan melakukan penyidikan terhadap para pelaku kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.

b. Melindungi dan mendampingi aparat kehutanan yang melaksanakan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia. c. Menempatkan petugas Kepolisian Republik Indonesia di lokasi rawan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya sesuai kebutuhan. 4. Jaksa Agung : a. Melakukan tuntutan yang tegas dan berat terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan berdasarkan semua peraturan perundangan yang berlaku dan terkait dengan tindak pidana di bidang kehutanan. b. Mempercepat proses penyelesaian perkara tindak pidana yang berhubungan dengan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya pada setiap tahap penanganan baik pada tahap penyidikan, tahap penuntutan maupun tahap eksekusi. 5. Panglima Tentara Nasional Indonesia : a. Menangkap setiap pelaku yang tertangkap tangan melakukan penebangan dan peredaran kayu ilegal serta penyelundupan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Republik Indonesia melalui darat atau perairan berdasarkan bukti awal yang cukup dan diproses sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Meningkatkan pengamanan terhadap batas wilayah negara yang rawan kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan perairannya. 6. Menteri Keuangan : a. Mengalokasikan biaya yang digunakan untuk pelaksanaan Instruksi Presiden ini melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada masing-masing instansi untuk kegiatan operasional maupun insentif bagi pihak yang berjasa. b. Menginstruksikan kepada aparat Bea Cukai untuk meningkatkan pengawasan dan penindakan terhadap lalu lintas kayu di daerah pabean. 7. Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Peraturan Daerah yang berkaitan dengan bidang kehutanan dan mempercepat penyampaian rekomendasi pencabutan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. 8. Menteri Perhubungan :

a. Meningkatkan pengawasan mengangkut kayu.

perizinan

di

bidang

angkutan

yang

b. Menginstruksikan kepada seluruh Administrator Pelabuhan dan Kepala Kantor Pelabuhan agar tidak memberikan izin pelayaran kepada kapal yang mengangkut kayu ilegal. c. Menindak tegas perusahaan pengangkutan dan pelayaran yang mengangkut kayu ilegal dengan mencabut izin usaha pelayaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku. d. Membina organisasi angkutan dalam rangka mendukung pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya. 9. Para Gubernur : a. Mencabut dan merevisi Peraturan Daerah/Keputusan Gubernur yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. b. Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Provinsi dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya melalui operasi preventif dan represif. c. Mencabut izin usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah dikeluarkan dan bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. d. Mencabut izin usaha industri pengolahan kayu yang memanfaatkan kayu ilegal dan memproses sesuai kewenangannya. e. Meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya. f. Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing. g. Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. 10. Bupati/Walikota :

a. Mencabut atau merevisi Peraturan Daerah/Keputusan Bupati/Keputusan Walikota yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. b. Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Kabupaten/Kota dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya melalui operasi preventif dan represif. c. Mencabut izin usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah dikeluarkan dan bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. d. Mencabut izin usaha industri pengolahan kayu yang memanfaatkan kayu ilegal dan memproses sesuai kewenangannya. e. Mengawasi secara lebih intensif kinerja pejabat penerbit dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) di wilayahnya. f. Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing. g. Menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur peredaran kepemilikan dan penggunaan gergaji rantai (chainsaw) dan sejenisnya. h. Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan melalui Gubernur. KETIGA : Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan Kepala Badan Intelijen Negara, agar memberikan dukungan dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya kepada instansi sebagaimana diktum KEDUA. KEEMPAT : Dengan berlakunya Instruksi Presiden ini, maka Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Puting dinyatakan tidak berlaku. KELIMA :

Agar melaksanakan Instruksi Presiden ini dengan penuh tanggung jawab.


[http://bayuputra.com/2010/08/29/undang-undang-inpres-no-4-thn-2005-tentangillegal-logging/] Undang-undang lain yang mengatur tentang illegal logging: Pasal 50 UU Kehutanan menyebutkan illegal logging atau pembalakan liar mengacu untuk serangkaian perbuatan pidana, mulai dari penebangan ilegal, penguasaan, transportasi, hingga penjualan terhadap kayu tersebut. Namun demikian, Pasal 50 tidak menyatakan kejahatan tersebut sebagai rangkaian kejahatan. Kejahatan penebangan ilegal diatur tersendiri sebagaimana pengangkutan dan penjualan kayu ilegal juga diatur terpisah dengan sanksi yang berbeda pula. Penebangan liar misalnya diatur dalam huruf e Pasal 50: menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; Huruf h Pasal 50: mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; huruf f Pasal 50: menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; Keputusan Menteri Kehutanan No. 127/Kpts-II/2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan; sebagai pengganti Kep. Menteri Kehutanan No. 316/KptsII/1999 tentang Tata Usaha Kayu/Hasil Hutan menyebutkan dalam istilah kehutanan, logging adalah suatu aktivitas atau kegiatanpenebangan kayu di dalam kawasan hutan yang dilakukan oleh seseorang, kelompok ataupun atas nama perusahaan, berdasarkan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah atau instansi yang berwenang (kehutanan) sesuai dengan prosedur tata cara penebangan yang diatur dalam peraturan perundangan kehutanan. Dengan demikian, logging atau penebangan dapat dibenarkan sepanjang, mempunyai izin, mengikuti prosedur penebangan yang benar berdasarkan aspek kelestarian lingkungan, dan mengikuti prosedur pemanfaatan dan peredaran hasil hutan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Keputusan Mentri Kehutanan. No. 7501/ Kpts-II/2002 tentang 5 (lima) Kebijakan Prioritas Bidang Kehutanan Dalam Program Pembangunan Nasional menyebutkan Departemen Kehutanan telah mengeluarkan 5 (lima) kebijakan pokok, di mana masalah pemberantasan penebangan liar atau illegal logging menjadi kebijakan pokok yang pertama, di samping kebijakan pokok yang lain, yaitu penanggulangan kebakaran hutan, restrukturisasi sektor kehutanan, rehabilitasi dan konservasi alam, dan desentralisasi sektor kehutanan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa sanksi pidana dengan penarikan izin usaha dan pidana penjara lebih dihindari para pengusaha atau pelaku pengerusakan lingkungan. UU No. 41 1999 tentang Kehutanan, Pasal 78 menyebutkan bahwa ilog adalah penebangan liar atau penebangan tanpa izin yang termasuk kejahatan ekonomi dan

lingkungan karena menimbulkan kerugian material bagi negara serta kerusakan lingkungan/ekosistem hutan dan dapat dikenakan sanksi pidana dengan ancaman kurungan paling lama 10-15 tahun dan denda paling banyak Rp 5-10 miliar. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1985 Tentang : Perlindungan Hutan Pasal 1 Selain pengertian-pengertian sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pemegang Hak Pengusahaan Hutan adalah badan hukum Indonesia yang diberi hak pengusahaan hutan oleh Menteri; 2. Penataan batas adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, pemancangan tanda batas, pengukuran, dan pemetaan serta pembuatan berita acara tata batas; 3. Pemungutan hasil hutan adalah kegiatan untuk mengambil kayu dan hasil hutan lainnya dan mengangkutnya ke tempat pengumpulan; 4. Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang berdasarkan ketentuan peraturan perudang-udangan yang berlaku mempunyai wewenang untuk memberikan izin; 5. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang kehutanan. dapat memenuhi fungsinya. Pasal 2 Tujuan perlindungan hutan adalah untuk menjaga kelestarian hutan agar dapat memenuhi fungsinya. Pasal 3 Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dilakukan segala usaha, kegiatan, tindakan untuk mencegah dan membatasi kerusakan-kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta untuk mempertahankan dan menjaga hak-hak Negara atas hutan dan hasil hutan. BAB II PERLINDUNGAN KAWASAN HUTAN-HUTAN CADANGAN, DAN HUTAN LAINNYA Pasal 4 1. Penataan batas dilakukan terhadap setiap areal hutan yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Kecuali dengan kewenangan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku setiap orang dilarang memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan hutan. Pasal 5 1. Penggunaan kawasan hutan harus sesuai dengan fungsi dan peruntukannya sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967.

2. Penggunaan kawasan hutan yang menyimpang dari ketentuan ayat (1) harus mendapat persetujuan Menteri. Pasal 6 1. Kawasan hutan dan hutan cadangan dilarang dikerjakan atau diduduki tanpa izin Menteri. 2. Hutan lainnya dikerjakan oleh yang berhak sesuai dengan petunjuk Menteri. BAB III PERLINDUNGAN TANAH HUTAN Pasal 7 Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang bertujuan untuk mengambil bahanbahan galian yang dilakukan di dalam kawasan hutan atau hutan cadangan, diberikan oleh instansi yang berwenang setelah mendapatkan persetujuan Menteri. Dalam hal penetapan areal yang bersangkutan sebagai kawasan hutan dilakukan setelah pemberian izin eksplorasi dan eksploitasi, maka pelaksanaan lebih lanjut kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tersebut harus sesuai dengan petunjuk Menteri. Di dalam kawasan hutan dan hutan cadangan dilarang melakukan pemungutan hasil hutan dengan menggunakan alat-alat yang tidak sesuai dengan kondisi tanah dan lapangan atau melakukan perbuatan lain yang dapat menimbulkan kerusakan tanah dan tegakan. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan sektor lain yang bersangkutan.

1.

2.

3.

4.

Pasal 8 1. Kelestarian sumber air di dalam kawasan hutan, hutan cadangan, dan hutan lainnya harus dipertahankan. 2. Siapa pun dilarang melakukan penebangan pohon dalam radius/jarak tertentu dari mata air, tepi jurang, waduk, sungai, dan anak sungai yang terletak dalam kawasan hutan, hutan cadangan dan hutan lainnya. 3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri setelah mendengar pendapat Menteri yang bertanggung-jawab dalam bidang pengairan. BAB IV PERLINDUNGAN TERHADAP KERUSAKAN HUTAN Pasal 9 1. Selain dari petugas-petugas kehutanan atau orang-orang yang karena tugasnya atau kepentingannya dibenarkan berada di dalam kawasan hutan, siapa pun dilarang membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk memotong, menebang, dan membelah pohon di dalam kawasan hutan. 2. Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon-pohon dalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. 3. Setiap orang dilarang mengambil/memungut hasil hutan lainnya tanpa izin dari pejabat yang berwenang.

Pasal 10 1. Setiap orang dilarang membakar hutan kecuali dengan kewenangan yang sah. 2. Masyarakat di sekitar hutan mempunyai kewajiban ikut serta dalam usaha pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan. 3. Ketentuan-ketentuan tentang usaha pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan diatur dengan Peraturan Daerah Tlngkat I dengan memperhatikan petunjuk Menteri. Pasal 11 1. Penggembalaan ternak dalam hutan, pengambilan rumput, dan makanan ternak lainnya serta serasah dari dalam hutan hanya dapat dilakukan di tempat-tempat yang ditunjuk khusus untuk keperluan tersebut oleh pejabat yang berwenang. 2. Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah Tingkat I dengan memperhatikan petunjuk Menteri. Pasal 12 Usaha-usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan daya alam, hama, dan penyakit diatur lebih lanjut oleh Menteri. BAB V PERLINDUNGAN HASIL HUTAN Pasal 13 1. Untuk melindungi hak-hak Negara yang berkenaan dengan hasil hutan, maka terhadap semua hasil hutan harus diadakan pengukuran dan penngujian. 2. Hasil pengukuran dan pengujian terhadap hasil hutan adalah merupakan dasar perhitungan penetapan besarnya pungutan Negara yang berkenaan terhadapnya. 3. Ketentuan mengenal pengukuran dan pengujian hasil hutan diatur lebih lanjut oleh Menteri. Pasal 14 1. Untuk membuktikan sahnya hasil hutan dan telah dipenuhinya kewajibankewajiban pungutan Negara yang dikenakan terhadapnya hingga dapat digunakan atau diangkut, maka hasil hutan tersebut harus mempunyai surat keterangan sahnya hasil hutan. 2. Ketentuan mengenai surat keterangan sahnya hasil hutan serta tata cara untuk memperolehnya diatur oleh Menteri. BAB VI PEI,AKSANAAN PERLINDUNGAN HUTAN Pasal 15 1. Instansi-instansi Kehutanan di Daerah Tingkat I bertanggungjawab atas perlindungan hutan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. 2. Tanpa mengurangi kewenangan instansi Kehutanan dalam bidang perlindungan hutan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan bertanggungjawab atas perlindungan hutan di areal hak pengusahaan hutannya masing-masing.

Pasal 16 1. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkunganan Instansi Kehutanan diberikan wewenang Kepolisian Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967. 2. Pejabat yang diberi wewenang Kepolisian Khusus sebagaimana dimaksud dalamayat (1) berwenang untuk: a. mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan dan wilayah sekitar hutan (kring); b. memeriksa surat-surat atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah sekitar hutan (kring) dan daerah-daerah lain yang oleh Pemerintah Daerah ditentukan sebagai wilayah kewenangan Pejabat tersebut untuk memeriksa hasil hutan; c. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan dan kehutanan; d. mencari keterangan dan barang bukti teriadinya tindak pidana di bidang kehutanan; e. dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada penyidik POLRI; f. membuat dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana dibidang kehutanan. 3. Unit Organisasi dan tata kerja Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri bersama Panglima Angkatan Bersenjata dalam hal ini Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Pasal 17 1. Sebagian dari pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) adalah Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di bidang Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang karena kewajibannya berwenang untuk: a. menerima laporan atau pengaduan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan dan kehutanan; b. menyuruh berhenti dan memeriksa tanda pengenal seorang yang berada dalam kawasan hutan dan wilayah sekitar hutan; c. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang kehutanan; d. memanggil seseorang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi atas tindakan pidana di bidang keblutanan; e. membuat dan menandatangani Berita Acara; f. mengadakan penghentian penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang kehutanan; g. meminta petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik POLRI. 2. Tata cara pengangkatan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

BAB VII KETENTUAN PIDANA Pasal 18 Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1) atau Pasal 9 ayat (2) dalam hutan yang telah ditetapkan sebagai hutan lindung dan Pasal 10 ayat (1) dihukum dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000,- (seratusjuta rupiah). Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1) atau Pasal 9 ayat (2) di dalam hutan yang bukan hutan lindung, dipidana dengan pidana penjara selama 1amanya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Barangsiapa: a. melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2), atau Pasal 7 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) atau Pasal 8 ayat (2); atau b. karena kelalaiannya menimbulkan kebakaran hutan; dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Barangsiapa dengan sengaja: a. melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2); b. melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (3); c. melanggar ketentuan Pasal 11 ayat (1); d. memiliki dan/atau menguasai dan/atau mengangkut hasil hutan tanpa disertai surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), sedang hasil hutan yang berbentuk bahan mentah tersebut sudah dipindahkan dari tempat pemungutannya; e. dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 9 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 2,500.000, - (dua juta lima ratus ribu rupiah). Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) adalah kejahatan, sedangkan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5) adalah pelanggaran. Semua benda yang diperoleh dari dan semua alat atau benda yang dipergunakan untuk melakukan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dapat dirampas untuk Negara.

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

[http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-illegal-loggingdi-indonesia/] [http://hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_28_1985.htm]

You might also like