You are on page 1of 16

BAB II TINJAUAN TEORI

Pada bab ini penulis akan menguraikan teori Asuhan Keperawatan pada klien dengan gangguan sensori persepsi halusinasi penglihatan yang terdiri dari pengertian, psikodinamika, rentang respon, pengkajian, diagnosa keperawatan, pelaksanaan dan evaluasi. A.Pengertian Halusinasi adalah pengalaman atau kesan sensori yang salah tehadap stimulus sensori ( Rasmun, 2001 ). Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa adanya stimulus yang nyata, artinya klien mengidetifikasi sesuatu yang nyata tanpa stimulus dari luar ( Stuart and Laraia, 2005 ). Halusinasi adalah suatu kondisi dimana individu atau kelompok mengalami atau berisiko perbahan dalam jumlah, ola atau interprestasi terhadap stimulus yang masuk.( Carpenito,Lynda juall 1998 ).

B. Psikodinamika Terjadinya perubahan sensori persepsi : halusinasi dipengaruhi oleh multi faktor baik eksternal maupun internal diantaranya : koping individu tidak adekuat, individu yang mengisolasi diri dari lingkungan, ada trauma yang menyebabkan rasa rendah diri, koping keluarga tidak efektif, dan permasalahan yang kronik tidak diselesaikan Persepsi merupakan identifikasi dan interpretasi terhadap stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui 5 indera yaitu penglihatan, pendengaran, perabaan,

penciuman dan pengecapan ( Stuart & Laraia,2001 ) Sedangkan menurut Carson ( 2000 ) persepsi merupakan pengalaman merasakan , menginterpretasikan dan memahami lingkungan tempat tinggal. Persepsi merupakan dasar bagaimana seseorang merasakan pengalamannya, setiap orang memiliki persepsi yang berbeda pada pengalaman yang sama.

Halusinasi dan ilusi merupakan perubahan sensorik persepsi yang terjadi dalam merespon neurobiologik maladaptive. Halusinasi didefinisikan sebagai kesan atau pengalaman sensori yang salah ( Stuart & sundeen ,1998 ). Halusinasi merupakan persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata, artinya individu menginterpretasikan sesuatu yang nyata tanpa stimulus yang eksternal.

Halusinasi terdiri dari 4 tahap, yang pertama adalah tahap dimana klien merasa senang dan halusinasinya memberikan rasa nyaman, klien masih berada dalam ansietas sedang, karakteristik tahap ini klien mengalami ansietas, kesepian , rasa bersalah dan ketakutan adalah perilaku yang sering terlihat diantaranya klien tersenyum dan tertawa sendiri, menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, respon verbal yang lambat, diam dan berkonsentrasi. Pada tahap kedua halusinasi akan menyalahkan, klien akan barada pada tingkat kecemasan berat, dan menyebabkan antipati. Tahap ini ditandai dengan pengalaman sensorik tersebut dan menarik diri dari orang lain. Klien akan menunjukkan perilaku : konsentrasi dengan pengalaman sensorik, rentang perhatian menyempit, peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah, serta tidak dapat membedakan halusinasi dengan realitas. Ditahap ketiga, klien berada dalam kecemasan berat, halusinasi mengontrol

klien, dan pengalaman sensorik tidak dapat ditolak lagi karakteristiknya. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensoriknya, isi halusinasi menjadi aktif, dan kesepian bila pengalaman sensorinya berakhir. Perilaku klien ditahap ini ; klien akan mentaati halusinasi, sulit berhubungan dengan orang lain tentang perhatian yang hanya beberapa detik permenit dan gejala ansietas berat ( berkeringat, tremor, tidak mampu mengikuti perintah ). Pada tahap empat, halusinasi telah menguasai klien, dan terjadi kecemasan panik. Pada tahap ini mepunyai karakteristik : pengalaman sensori mengancam dan halusinasi dapat berlangsung beberapa jam atau hari perilaku yang muncul adalah perilaku panik resiko tinggi bunuh diri, membunuh, agitasi, menarik diri, dan tidak mampu berespon terhadap perintah kompleks dan lebih dari satu. Halusinasi juga dipengaruhi oleh factor predisposisi yang pertama adalah factor biologis yang meliputi gangguan/ hambatan perkembangan otak frontal dan temporal; lesi pada korteks frontal, limbic, temporal, gangguan tumbuh kembang pada prenatal, prenatal, neonatus dan kanak-kanak. Faktor psikologis yang turut berpengaruh adalah penolakan dan kekerasan dalam kehidupan klien. pengasuh atau teman yang dingin, cemas tidak sensitive, atau bahkan terlalu melindungi; konflik dan kekerasan dalam keluarga ( perengkaran orang tua, aniaya dan kekerasan rumah tangga ).Faktor lain yang merupakan faktor predisposisi terjadinya halusinasi adalah keadaan social budaya seperti kemiskinan, ketidak harmonisan, social budaya ( peperangan, kerusuhan, kerawanan ) kehidupan yang terisolasi disertai stress yang menumpuk. Stress presipitasi halusinasi adalah faktor biologis yang melibatkan fungsi otak dalam mengatur jumlah informasi yang dapat diproses pada suatu waktu. Penurunan fungsi yang terjadi dilobus frontal mengakibatkan proses informasi yang

berlebihan dan respon neurobiologik maladaptive. Stress lingkungan yang sudah melebihi ambang batas individu yang menjadi presipitasi terjadinya orientasi realita. Perilaku maladaptive yang muncul antara lain : Pada emosi terjadi perubahan afek ( afek tumpul, datar, afek tidak sesuai,afek yang berlebihan dan ambivalen ) pada motorik terjadi peningkatan/penurunan aktivitas motorik, impulsive, narkisme, automatisme, sterotipi, kataton, Parkinson, gerakan mata abnormal. Masalah atau komplikasi yang dan muncul pada individu yang mengalami halusinasi adalah perubahan nutrisi, penurunan motivasi karena adanya kecenderungan klien untuk menarik diri, gangguan kebutuhan istirahat karena diganggu oleh halusinasi, defisit perawatan diri eliminasi, gangguan rasa aman, resiko perilaku kekerasan.

C. Rentang respon neurobiologis Dari definisi yang elah djelaskan sebelumnya, dapat dismpulkan bahwa halusinasi merupakan persepsi yang nyata tanpa adanya stimulus. Perubahan sensori persepsi : halusinasi disebabkan oleh fungsi otak yang tergangu. Respon individu terhadap gangguan orientasi berfokus sepanjang rentang respon dari adaptif sampai yang maladaptif, dapat dilihat dalam gambar dibawah ini :

alaman.

Kadang kadang pikiran terganggu. Gangguan proses piker. Ilusi. Halusinasi. Emosi berlebihan / kurang. Ketidak mampuan untuk mengatasi emosi. adaptif Respon adaptif Respon mal Perilaku yang tidak biasa. Tidak terorganisir. Menarik diri. Isolasi sosial : menarik diri.

( Stuart and Laraia, 2005 )

Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-norma social dan budaya secara umum yang berlaku didalam masyarakat, dimana individu menyelesaikan masalah dalam batas normal yang meliputi : 1. Pikiran logis adalah segala sesuatu individu sesuai dengan kenyataan 2. Persepsi akurat adalah penerimaan pesan yang disadari oleh indra perasaan, dimana dapat membedakan objek yang satu dengan yang lain dan mengenai kualitasnya menurut berbagai sensasi yang dihasilkan. 3. Emosi konsisten dengan pengalaman adalah respon yang diberikan individual sesuai dengan stimulus yang dating. 4. Perilaku sesuai dengan cara bersikap individu yang sesuai dengan perannya. 5. Hubungan sosial harmonis dimana individu dapat berinteraksi dan beromunkasi dengan orang lain tanpa adanya rasa curiga, bersalah dan tidak senang. yang diucapkan dan dilaksanakan oleh

Sedangkan mal adaptif adalah suatu respon yang tidak dapat diterima oleh normanorma sosial dan budaya secara umum yang berlaku dimasyarakat, dimana individu dalam menyelesaikan masalah tidak berdasrkan norma yang sesuai dantaranya : 1. Gangguan proses pikir / waham adalah ketidak mampuan otak untuk memproses data secara akurat yang dapat menyebabkan ganguan proses pikir, seperti ketakutan, merasa hebat, beriman, pikiran terkontrol, pikiran yang terisi dn lain - lain. 2. Halusinasi adalah gangguan identifikasi stimulus berdasarkan informasi yang diterima otak dari lima indra seperti suara, raba, bau, dan pengelihatan. 3. Kerusakan proses emosi adalah respon yang diberikan Individu tidah sesuai dengan stimulus yang datang. 4. Perilaku yang tidak terorganisir adalah cara bersikap individu yang tidak sesuai dengan peran. 5. Isolasi sosial adalah dimana individu yang mengisolasi dirinya dari lingkunan atau tidak mau berinteraksi dengan lingkungan.

D. Pengkajian keperawatan Menurut stuart and laraia ( 2005 ), bahwa factor terjadinya halusinasi meliputi : 1. Faktor predisposisi a. Faktor social budaya Berbagai factor di masyarakat yang membuat seseorang merasa disingkirkan dan kesepian dapat menimbukan akibat yang berat sepeti delusi dan halusinasi b. Faktor psikologis Hubungan interpersonal yang tidak harmonis akan mengakibatkan stress dan

kecemasan yang berakhir dengan gangguan orientasi realita c. Faktor bilogis Struktur otak yang abnormal ditemukan pada lien dengan hausinasi dapat ditemukan atropi otak, pembesarn ventrikel, perubahan besar dan bentuk sel kortikel dan limbic. Halusinasi ditemukan pada klien skizofrenia, akan lebih tinggi apabila kedua orang tuanya menderita skizofrenia

2. Faktor presipitasi Factor presipitasi adalah factor pencetus sebelum timbul gejala a. Stresor sosial budaya Stress dan kecemasan akan meningkat apabila terjadi penurunan stablitas keluarga, perpisahan dengan orang terpenting atau disingkirkan dari kelomok. b. Faktor biokimia Berbagai penelitian tentang dopamine, inhalan, non epineprin, zat halusigenik,

diduga berkaitan dengan halusinasi c. Faktor pskologi Intensitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan mengatasi masalah memungkinkan perkembangan ganguan sensori persepsi halusinasi

3. Prilaku halusinasi Prilaku halusnasi berkaitan dengan perubahan emosi, intelektual, spiritual a. Fisik Muka merah, kadang pucat, ekspresi dengan perubahan wajah tegang, TD

meningkat, nafas tersengah-sengah, nadi cepat, timbul gangguan kebutuhan nutrisi b. Emosi Ketakutan dengan rasa tegang dan rasa tidak aman, tidak berdaya, menyalahkan diri sendiri atau orang lain sikap curiga dan saling bermusuhan, marah, jengkel, dendam dan sakit hati c. Sosial Menarik diri, menghindar dari orang lain, berbicara / komunikasi verbal tergangu, bicara inkoheren dan tidak masuk akal, merusak diri sendiri atau orang lain d. Intelektual tidak dapat membedakan nyata dan tidak nyata, sulit membuat keputusan, tidak mampu berfikir abstrak dan daya ingat menurun e. spiritual mengatakan suara-suara tuhan berasal dari planet akibat dari diisolasi kepribadian maka terjadi gangguan fungsi mental

4. Mekanisme koping a. Regresi : bersifat seperti anak-anak, contoh : penderita gangguan jiwa berjalan telanjang djalan umum. b. Proyeksi : menyalahkan orang lain. c. Menarik diri.

5. Makanisme koping Sumber koping individual harus dikaji dengan pemahaman terhadap pengaruh gangguan otak dan perilaku. Kekuatan dapat meliputi seperti modal intelegensia atau

erubahan sensori persepsi : halusinasi pendengara dan pengelihatan kreatifitas yang tinggi. Orang tua harus secara aktif mendidik anak-anak dan dewasa muda tentang keterampilan koping, karena meraka biasanya tidak hanya belajar dari pengamatan. Sumber keluarga dapat berupa pengetahuan tentang penyakit. Finansial yang cukup, ketersediaan waktu dan tenaga kemampuan serta untuk memberikan dukungan secara kesinambungan

6. Pohon masalah Menurut Budi Anna Keliat ( 1998 ), pohon masalah pada klien dengan perubahan sensori persepsi : halusinasi pendenganran dan pengelihatan sebagai berikut :

Risiko perilaku kekerasan

Isolasi sosial

Harga diri rendah

E. Diagnosa keperawatan Diagnosa keperawatan berdasarkan pohon masalah menurut NANDA ( 2006 ), adalah sebagai berikut : 1. Ganguan Sensori persepsi : halusinasi 2. Risiko prilaku kekerasan 3. Isolasi social

F. perencanaan keperawatan Perencanaan menurut NANDA ( 2006), mulai dari diagnosa keperawatan, tujuan jangka panjang, tujuan jangka pendek, kriteria hasil dan tindakan, antara lain : Diagnosa keperawatan : Gangguan sensori persepsi : halusinasi TUM : Klien mampu menetapkan dan menguji realita / kenyataan serta menyingkirkan kesalahan sensori persepsi. TUK 1 : setelah dilakukan interaksi x, klien mampu membina hubungan saling percaya. Kriteria hasil : a. Menunjukan pemahaman verbal, tertulis atau sinyal respon, b. Menunjukan gerakan ekspresi wajah yang rilek, c. Menunjukan kontak mata, mau berjabat tangan, mau menjawab salam, menyebutkan nama, mau duduk berdampingan atau berhadapan. Rencana tindakan : Bina hubungan salaing percaya a. Perkenalkan diri dengan sopan, b. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien, c. Buat kontrak tentang tujuan dan cara pertemuan yang saling dapat diterima dengan cara yang tepat, d. peliharalah postur tubuh terbuka, e. Ciptakan iklim yang hangat dan menerima secara tepat, f. Berespon pada pesan non verbal dengan cara yang tepat, g. Tunjukan ketertarikan pada klien dengan mempertahankan kontak mata, berhadapan, posisi mata sejajar, saat berbicara perawat sedikit membujuk jika diperlukan.

TUK 2 : Setelah dilakukan interaks selama x , klien mampu mengenal halusinasi

Kriteria hasil : a. Klien mampu menyebutkan waktu, isi , frekwensi munculnya halusinasi, b. Klien mampu menyebutkan prilaku yang biasa dilakukan saat halusinasi muncul, c. Klien mampu menyebutkan akibat dari prilaku yang biasa dilakukan saat halusinasi terjadi. Rencana tindakan : Manajemen halusinasi a. Observasi tingkah laku yang berhubungan dengan halusinasi, b. Bantu klien mengenal halusinasi :1. Jika dari hasil observasi ditemukan tampak klien mengalami halusinasi, tanyakan apakah klien mengalami halusinasi, 2. Jika jawaban klien ada, tanyakan apa yang didengar, dilihat, atau dirasakan, 3. Katakan bahwa perawat percaya apa yang dialami klien tetapi pedrawat sendiri tidakmendengar / melihat/ merasakan, 4. Katakan bahwa klien lain juga ada yang mengalami hal yang sama, 5. Katakan bahwa perawat akan membantu klien. c. Diskusikan dengan klien waktu, isi, frekwensi dan situasi pencetus munculnya halusinasi, d. Diskusikan dengan lien apa yang dirasakan klien jika halusinasinya muncul, e. Beri klien kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya, f. Identifikasi dan diskusikan dengan klien prilaku yang dilakukan saat halusinasi muncul, g. Diskusikan manfaat dan akibat serta cara/ prilaku yang dilakukan klien, h. Libatkan lien dalam TAK, stimulasi persepsi : halusinasi sesi 1. TUK 3 : Setelah di lakukan interaksi selama .x, Klien mampu mengendalikan halusinasi. Kriteria Hasil : a. Klien dapat menyebutkan cara baru mengendalikan halusinasi, b. Klien dapat memilih dan melaksanakan cara baru mengendalikan halusinasi, c. Klien melaksanakan cara yang di pilih untuk mengendalikan halusinasi.

Rencana Tindakan : Manajemen halusinasi a. diskusikan cara baru untuk memutus atau mengendalikan halusinasi : 1. Dengan mengusir halusinasi, 2. Bebicara dengan halusinasi, 3. Menyusun rencan jadwal kegiatan harian, 4. Meminta kepada orang lain untuk menyapa jika tampak bicara sendiri, b. Batu klien memilih dan melatih cara memutus atau mengendalikan halusinasi secara bertahap, c. Ber klien kesempatan melakukan cara mengendalikan atau memutus halusinasi yang telah di pilih dan di latih, d. Evaluasi bersama klien cara baru yang telah di pilih dan diterapkan dibandingkan dengan cara yangbiasa di lakukan, e. Berikan reinforcement kepada klien terhadap cara yang telah di pilih dan di terapkan, f. Libatkan klien dalam TAK orientasi realita, TAK stimulasi persepsi umum, TAK stimulasi persepsi halusinasi,

TUK 4 : Setelah di lakukan interaksi selama ..x dengan keluarga klien dapat dukungan dalam mengendalikan halusinasi. Kriteria Hasil : a. Keluarga dapat mambina hubungan saling percaya dengan perawat, b. Keluarga dapat menyebutkan pengertian, tanda, dan tindakan untuk mengatasi halusinsi. Rencana Tindakan : Pendidikan kesehatan, proses penyakit dan perawatan, a. Bina hubungan saling percaya, b. Diskusikan dengan keluarga : 1. Gejala halusinasi yang di alami klien, 2. Cara yang dapat di lakukan klien dan keluarga untuk mengontrol halusinasi, 3.Cara merawat anggota, keluarga yang mengalami halusinasi di rumah ( mislnya : beri kegiatan, jangan bairkan sendiri, berpergian bersama ). c. Anjurkan

keluarga untuk mencati bantuan apabila tanda dan gejala halusinasitidak terkendali, d. Berikan informasi tentang kondisi klien kepada keluarga dengan cara yang tepat.

TUK 5 : Setelah di lakukan interaksi selama .x , Klien dapat memanfatkan obat dengan baik, Kriteria Hasil : a. Klien dam keluarga dapat menyebutkan manfaat dosis, dan efek samping obat, b. Klien dapat mendemonstrasikan penggunaan obat dengan benar, c. Klien dan keluarga memahami akibat berhenti minum obat tanpa rekomendasi. Rencana Tindakan : Fasilitasi kebutuhan belajar, a. Kji tingkay pengetahuan klien dan kaluarga, tentang obat dan manfaatnya, b. Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang manfaat dosis dan efek samping obat, c. Anjurkan klien minta sendiri obat pada perawat ( jika waktunya minum obat ) dan merasakan manfaatnya, d. berikan penjelasan pada klien akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi atau rekomendasi, e. Diskusikan dengan klien tentang akbat berhenti minum obat, tanpa konsultasi, f. Berikan penjelasan pada klien dan keluarga tentang manfaat dan efek samping obat, g. Fasilitasi pertemuan klien atau keluarga dengan dokter.

G. Pelaksanaan Keperawatan Implementasi tindakan keperawatan di sesuaikan dengan rencana tindakan keprawatan. Pada situasi nyata, implementasi sering kali jauh bebeda dengan rencana. Hal itu terjadi karena perawat belum terbiasa menggunakan rencan tertulis dalam melaksanakan

tindakan keperawatan. Yang bisa di lakukan perawat adalah, menggunakan rencana tertulis, yaitu apa yang dipikirkan, dirasakan, itu yang di laksanakan. Hal itu sangat membahayakan klien dan perawat jika tindakan berakibat fatal, dan juga tidak memenuhi aspek legal tanda tangan. Sebelum melakukan tindakan yang sudah di rencanakan, perwat perlu memvalidasi dengan singkatapakah rencana tindakan masih sesuai dan di butuhkan, oleh kilen saat ini. Perawat juga menilai diri sendiri, apakah mempunyai kemampuan interpersonal, intelektual, dan teknikal yang di perlukan untuk melaksanakan tindakan. Perawat juga menilai kembali apakah tindakan aman bagi klien. setelah tidak ada hambatan maka tindakan keperawatan boleh di laksanakan. Pada saat akan melaksanakan tindakan keperawatan, perawat membuat kontrak dengan klien, yang isinya menjelaskan apa yang akan di kejakan. Dan peran serta yang di harapkan dari klien. dokumentasikan semua tindakan yang telah di laksanakan berserta respon klien.

E. Evaluasi Keperawatan Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada kilen. Evaluasi di lakukan terus menerus pada respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah di laksanakan. Evaluasi di bagi dua, yaitu evaluasi proses atau formatif yang di lakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif yang di lakukan membandingkan antara respon klien dan tujuan khusus serta umum yang telah di tentukan. Evaluasi dapat di lakukan dengan mengunakan pendekatan SOAP, sebagai pola pikir. S : Respon subjektif kilen terhadap tindakan keperawatan yang telah di laksanakan, dapat di ukur dengan menanyakan : Bagaimana perasaan ibu setelah latihan nafas

dalam ? O : Respon objektif klien terhadan tindakan keperawatan yang telah di lasanakan, dapat di ukur dengan mengobservasi prilaku klien pada saat tindakan di lakukan, atau menanyakan kembali apa yang telah di ajarkan atau member umpan balik sesuai hasil ovservasi. A : Analisis ulang atas data subjerktif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masala baru atau ada data yang kontara diksi dengan masalah yang ada, dapat pula membandingkan hasil dengan tujuan. P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respon lien yang terdiri dari tinda lanjut klien, dan tindak lanjut leh perawat. Rencana tindaklanjut dapat berupa : 1. Rencana diteruskan jika masalah tidak berubah 2. Rencana dimodifikasi jika masalah tetap dan semua tindakan sudah dapat dijalankan, tetapi hasilnya belum memuaskan 3. Rencana dibatalkan jika ditemukan masalah baru dan bertlak belakang dengan masala yang ada, diagnosis lama juga dibatalkan. 4. Rencana atau diagnosisis selesai jika tujuan sudah tercapai dan yang diperlukan adalah memelihara dan mempertahankan kondisi yang baru.

Klien dan keluarga perlu dilibatkan dalam evalusi agar dapat melihat adanya perubahan, sertaberupaya mempertahankan dan melihat adanya perubahan, serta berupaya mempertahankan dan memelihara perubahan tersebut. Pada evaluasi sangat diperlukan reinforcement untuk menguatkan perubaan yang positif. Klien dan keluarga juga dimotifasi untuk melakukan self-reinforcemen.

You might also like