You are on page 1of 27

BAB 1 PENDAHULUAN Rinitis merupakan gangguan pada membran nasal yang ditandai dengan satu atau lebih gejala

berikut: rasa gatal pada hidung, bersin-bersin, rinore dan hidung tersumbat. Penyebab rinitis yang paling sering adalah rinitis alergi. Rinitis alergi terjadi karena adanya reaksi hipersensitivitas terhadap alergen yang diperantarai oleh antibodi IgE ( Sheikh, 2007 ). Rinitis alergi termasuk sering dijumpai, mengenai sekitar 10% sampai 25 % populasi dunia. Di Amerika Serikat, prevalensi rinitis alergi mengalami peningkatan selama tiga dekade terakhir dengan estimasi terakhir sekitar 20% pada populasi dewasa dan mendekati 40% pada populasi anak ( Quraishi dkk, 2004 ). Walaupun rhinitis alergi bukan merupakan keadaan yang mengancam nyawa, kecuali disertai asma yang berat atau anafilaksis, dampak dari kondisi ini cukup signifikan. Rinitis alergi dapat menimbulkan komplikasi seperti otitis media, disfungsi tuba eustacius, sinusitis, polip hidung dan lain-lain. Selain itu gejala sistemik yang ditimbulkan oleh penyakit ini seperti letih, lemah, rasa mengantuk, dapat menggangu aktivitas pasien dalam bekerja, belajar dan bisa saja menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Rinitis alergi sering ada bersama-sama dengan penyakit lain seperti asma, dermatitis atopik, konjungtivitis alergi, bahkan dikatakan rinitis alergi yang tidak terkontrol dapat memperberat inflamasi yang berhubungan dengan asma atau dermatitis atopik. Semua hal tersebut diatas, dapat menurunkan kualitas hidup pasien secara significan ( Sheikh, 2007 ). Untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh penyakit ini tidaklah mudah dan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Estimasi total biaya langsung dan tidak langsung untuk rinitis alergi adalah sekitar US$ 5,3 miliar per tahun ( Sheikh, 2007 ). Mengingat hal tersebut diatas maka perlu dilakukan upaya untuk lebih memahami penyakit ini sehingga semua masalah yang ditimbulkan dapat diatasi dengan baik.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Berikut adalah beberapa definisi rinitis alergi yang dikemukakan oleh beberapa sumber ( Soepardi & Iskandar, 2004 ). 1. Menurut Von Pirquet tahun 1986, rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang dengan alergen spesifik tersebut. 2. Menurut WHO ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma ) tahun 2001, rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin , rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE. 2.2 Epidemiologi Rinitis alergi merupakan penyebab rinitis tersering. Penyakit ini termasuk sering dijumpai, mengenai sekitar 10% sampai 25% populasi dunia. Menurut studi Scandinavia, prevalensi kumulatif pada pria sekitar 15% dan pada wanita sekitar 14%. Prevalensi rinitis alergi bisa bervariasi dalam suatu negara dan antara negara satu dengan yang lainnya. Kemungkinan ini karena perbedaan geografis pada tipe dan potensi alergen yang berbeda dan jumlah aeroalergen. Di Amerika Serikat, sekitar 40 juta penduduknya menderita rinitis alergi ( Sheikh, 2007 ). Rinitis alergi bisa terjadi pada semua ras. Prevalensi rinitis alergi bervariasi antara populasi dan budaya yang berbeda, yang kemungkinan bisa karena perbedaan genetik, faktor geografis atau lingkungan, dan lain-lain ( Sheikh, 2007 ). Pada masa kanak-kanak, rinitis alergi lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Sedangkan pada usia dewasa, prevalensinya kirakira sama antara pria dan wanita ( Sheikh, 2007 ).

Rinitis alergi dapat terjadi pada semua usia tapi pada umumnya onset rinitis alergi terjadi pada usia anak-anak, remaja dan dewasa muda, dengan onset umur ratarata antara 8 sampai 11 tahun. Pada 80% kasus, rinitis alergi terjadi sekitar usia 20 tahun. Prevalensi rinitis alergi dikatakan sekitar 40% pada anak-anak yang selanjutnya menurun dengan bertambahnya usia. Pada populasi geriatri, rinitis lebih jarang oleh karena alergi ( Sheikh, 2007 ). Adapun faktor-faktor resiko yang berpengaruh pada rinitis alergi, antara lain : 1. Genetik Rinitis alergi memiliki komponen genetik yang signifikan. Seseorang yang memiliki riwayat atopi pada diri dan atau keluarganya berisiko besar untuk menderita rinitis alergi ( Sheikh, 2007 ). 2. Faktor Lingkungan Seseorang yang tinggal atau dekat dengan lingkungan yang banyak alergen dan iritan, memudahkan seseorang untuk mengalami rinitis alergi. Terutama lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan. Alergen sendiri merupakan suatu Zat atau substansi yang dapat mencetuskan reaksi alergi Berdasarkan cara masuknya, alergen dibagi atas : a. Alergen inhalan yang masuk bersama udara pernapasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dan bulu binatang serta jamur. b. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna,berupa makanan seperti susu, telur, coklat, ikan, udang. c. Alergen injektan yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah. d. Alergen kontaktan yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan. Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, misalnya debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi ( Soepardi & Iskandar, 2004 ).

Selain alergen ada juga istilah faktor nonspesifik ( iritan ),Adanya iritasi oleh faktor nonspesfik dapat memperberat gejala rinitis alergi seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi ( Soepardi& Iskandar, 2004 ). 2.3 Klasifikasi Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam dua macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu ( Soepardi& Iskandar, 2004 ): 1. Rinitis alergi musiman ( seasonal atau hay fever ) Rinitis alergi musiman hanya terjadi pada negara yang memiliki empat musim. Alergen penyebab rinitis alergi musiman ini biasanya berupa tepung sari ( pollen ) dan spora jamur. Gejala yang tampak adalah gejala pada hidung dan mata ( mata merah, gatal disertai lakrimasi ). Penyakit ini timbul secara periodik sesuai dengan musim yaitu pada waktu konsentrasi alergen banyak di udara. 2. Rinitis alergi sepanjang tahun ( perenial ) Penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim. Alergen penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan ingestan, sering pada anak-anak. Alergen inhalan tersebut antara lain kasur kapuk, selimut, karpet, sofa, dan lain-lain ( di dalam rumah ) serta pollen, jamur ( di luar rumah ). Gangguan fisiologik pada tipe perenial lebih ringan dibandingkan tipe musiman tapi karena persisten, komplikasinya lebih sering ditemukan. Sekarang digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi WHO Initiative ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma ) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi ( Soepardi& Iskandar, 2004 ) : 1. Intermiten ( kadang-kadang ) Apabila gejala kurang dari 4 hari per minggu atau kurang dari 4 minggu. 2. Persisten ( menetap ) Apabila gejala lebih dari 4 hari per minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi ( Soepardi & Iskandar, 2004 ) : 1. Ringan Apabila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu. 2. Sedang atau berat Apabila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas. 2.4 Patofisiologi Rinitis alergi adalah suatu proses inflamasi yang terjadi pada membrane mukosa hidung. Proses inflamasi ini dalah interaksi yang kompleks antara mediatormediator inflamasi yang terutama dicetuskan oleh imunoglobulin E sebagai respon dari suatu ekstrinsik protein atau alergen. Respon imun pada rinitis alergi dibagi menjadi 2 fase yaitu a) fase sensitisasi ,b) fase klinik (Quraishi et al,2004). Fase sensitisasi terjadi saat paparan alergen pertama kali. Pada fase ini terjadi aktivasi sel T oleh alergen yang nantinya akan membentuk imunoglobulin E. Alergen yang masuk ke tubuh akan diterima oleh antigen presenting cells(APC) yaitu makrofag dan sel dendritik. APC akan mempresentasikan dalam bentuk MHC class II yang akan dikenali oleh sel limfosit T CD4+ . Makrofag akan melepaskan interleukin 1 yang akan menyebabkan proliferasi sel Th0 menjadi Th2 dalam bentuk sel limfosit T CD4+. Sel limfosit T CD4+ akan mengeluarkan interleukin 4 dan interleukin 13 yang akan berinteraksi dengan sel B. Sel B akan menjadi aktif menjadi bentuk sel plasma dan akan mensekresikan IgE. IgE memiliki afinitas yang sangat tinggi dengan reseptor sel mast dan basofil yang kemudian akan mengktifkan kedua sel ini(Rosenwasser,2007). Fase klinik adalah fase dimana akan muncul gejala klinis apabila terpapar alergen ulangan. Fase ini dibagi menjadi 2 yaitu early and late phase response. a) early phase response (fase cepat) berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Pada fase ini, IgE yang sudah berikatan dengan reseptor sel mast dan basofil akan membuka canal calsium dan mengaktifkan kedua sel tersebut. Dalam

waktu 5 menit alergen akan menyebabkan degranulasi sel mast yang akan melepaskan mediator-mediator seperti histamin, protease , kinins dan TNF. Histamin akan merangsang receptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan gejala bersin-bersin serta rasa gatal pada hidung, mata dan palatum mole. Akibat lain dari pelepasan histamin yaitu vasodilatasi pembuluh darah, peningkatan permeabilizas kapiler dan hipersekresi kelenjar mucosa serta sel goblet sehingga terjadi rinore. Dalam waktu 15 menit akan terjadi sntesis dari asam arakidonat seperti leukotrienes, prostaglandin dan platelet aktivating factor. Mediator-mediator ini juga meyebabkan peningkatan permeabilitas membran dan sekresi mucus sehingga mucosa hidung menjadi kongesti, obstruksi dan rinore. Late phase response, sebagai fase lambat dapat berlangsung 2-4 jam setelah paparan dengan puncaknya 6-8 jam dan dapat berlangsung selama 1-2 hari. Mediator-mediator yang terbentuk pada fase awal akan memanggil sel-sel inflamasi seperti eosinofil, basofil, monosit, makrofag dan limfosit, Se-sel inflamasi akan teraktivasi dan melepaskan mediator-mediator histamin, leukotriens dan terutama kemotaksis seperti eotaxin. Pada late phase ini mediator leukotrienes akan merubah fisiologi pembuluh darah, terjadi transudasi yang akan mengakibatkan edema local dan kerusakan jaringan akibat proses inflamasi yang terjadi. Gejala yang muncul berupa kongesti nasal dan obstruksi. Selain itu pada fase ini juga dilepaskan sitokin seperti ICAM, VCAM dn E selectin pada endotel pembuluh darah yang dapat meningkatkan aktivasi sel-sel inflamsi dan menambah survival dari eosinofil.

2.5 Gejala dan Tanda Gejala rinitis alergi bervariasi antar pasien. Pasien dengan rinitis alergi akan mengeluhkan serangan bersin berulang. Bersin berulang dalah gejala khas dari rinitis alergi.Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau terdapat kontak dengan sejumlah debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik yaitu proses membersihkan sendiri (self clearing process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan dan terutama terjadi akibat pelepasan histamin (Soepardi & Iskandar, 2004) Gejala lain yang juga dikeluhkan pasien akibat proses inflamasi yang terjadi antara lain rasa gatal pada hidung, mata, bahkan sampai ke palatum mole dan eksternal auditory, keluar ingus atau rinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat dan kongesti, batuk berdahak dan kadang disertai keluarnya banyak air mata (lakrimasi). Terkadang juga pasien rhinitis alergi mengeluhkan gangguan penciuman (anosmia), nyeri kepala, dan malaise. Pada anak-anak, gejala yang muncul sering tidak lengkap, gejala spesipik yang sering muncul pada anak yaitu adanya allergic shiner yaitu terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu sering juga tampak anak menggosok-gosokkan hidung karena gatal dengan punggung tangannya. Keadaan ini dusebut dengan allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dosum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut allergic crease (Soepardi & Iskandar, 2004) Pada pemeriksaan fisik, dengan inspeksi akan dapat terlihat tanda allergic shiner, dan allergic crease .Pemeriksaan dengan rinoskopi anterior akan didapatkan, saat fase aktif mukosa hidung basah dan hiperemis, sekret pada rhinitis alergi biasanya encer dan tipis, berbeda dengan sekret pada sinusitis yaitu kental dan purulen. Pelepasan histamin dari sel mast menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah hidung. Hal ini akan menimbulkan kongesti hidung. Pada fase lanjut, mukosa hidung tampak edema, pucat dan permukaan konka tidak rata. Pelepasan mediator pada fase

ini akan memperberat proses inflamasi sehingga terjadi edema dan kerusakan jaringan sehingga muncul gejala kongesti dan obstruksi. 2.6 Diagnosis Penegakkan diagnosis rinitis alergi berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesa yang tajam sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesa saja (Soepardi&Iskandar, 2004). Pada anamnesa yang terpenting harus ditanyakan antara lain: bagaimana perjalanan penyakitnya, durasinya, onset, faktor pencetus, respon terhadap pengobatan, penyakit penyerta, riwayat penyakit dalam keluarga, lingkungan sekitar, pekerjaan dan dampak penyakit terhadap hidup pasien. Dengan anamnesa, kita dapat menentukan etiologi dari rinitis alergi yang diderita masing-masing pasien (Sheikh, 2007). Pemeriksaan fisik dengan menggunakan rinoskopi anterior akan tampak mucosa hidung yang edema, basah, berwarna pucat dan adanya sekret encer yang banyak (Soepardi & Iskandar, 2004). Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membatu menegakkan diagnosis rinitis alergi antara lain: (Soepardi & Iskandar, 2004; Sheik, 2007) 1. Tes alergi Tes alergi dalah suatu metode untuk mengetahui sensitivitas tubuh terhadap spesipik alergen. Tes ini sangat membantu mengkonfirmasi diagnosis rinitis alergi. Tes alergi ini terdiri dari tes kulit (skin testing) dan tes provokasi (Provocation test atau challenge test ). Tes kulit merupaka tes yang paling sering dikerjakan. Ada beberapa cara tes kulit yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End point Titration/SET) , uji cukit (Prick test), uji gores (Scratch Test). Syarat untuk melakukan tes kulit ini adalah pasien tidak mengkonsumsi obat anti histamin selama 12 hingga 72 jam sebelum tes dilakukan. Metode ini bertujuan untuk mengetahui reaksi immediate hypersensitivity. Teknik tes ini yaitu menggunakan ekstrak allergen yang kemudian ditetesi diatas kulit. Kulit

yang sudah ditetesi dicukit atau digores dibiarkan selama 15-20 menit. Antigen yang ada dalam ekstrak akan berikatan dengan IgE pada sel mast, dan akan terjadi pelepasan histamin. Histamin akan menimbulkan bentol kemerahan di kulit sebagai petanda adanya reaksi alergi. Ukuran dari bentol kemerahan menunjukkan derajat sensitivitas terhadap alergen Untuk alergi makanan, uji kulit tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya dikonfirmasi dengan diet eleminasi atau tes provokasi. Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Oleh karena itu pada tes provokasi makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama lima hari, selanjutnya diamati reaksinya. 2. Pemeriksaan naso endoskopi Pemeriksaan ini membantu untuk mengevaluasi struktur hidung yang abnormal dan untuk mengekslusi kemungkinan penyakit yang lain seperti polip, adeno hipertropi, massa, deviasi septum, benda asing dan sinusitis. 3. Pemeriksaan sitologi hidung Walaupun pemeriksaan ini tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Sampel diambil dari secret hidung kemudian dibuatkan smear. Dibawah mikroskop akan terlihat sel eosinofil dalam jumlah yang banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lbp) mungkin disebabkan oleh alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. 4. Pemeriksaan eosinofil dalam darah tepi Hasilnya dapat normal atau meningkat. Peningkatan jumlah eosinofil dapat mensuport diagnosis dari rhinitis alergi. 5. Pemeriksaan total serum IgE Pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari macam penyakit misalnya selain menderita rhinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini hendaknya dikombinasi dengan pemeriksaan yang lain untuk lebih memastikan diagnosis rhinitis alergi.

10

6. Rontgen sinus paranasalis dengan posisi waters Pemeriksaan radiologi tidak digunakan untuk mendiagnosis rinitis alergi, akan tetapi untuk membantu mengevalusai kelainan struktural, untuk mengetahui komplikasi dan penyakit komorbid seperti polip, sinusitis dan adenoid hypertropi. 2.7 Diagnosis Banding 1. Rinitis akut. Rinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Virus yang sering menyebabkan rinitis akut diantaranya rhinovirus, virus influenza dan adenovirus. Infeksi virus ini menyebabkan obstruksi nasal, rhinorea yang jernih dan bersin (Bailey et al, 2001; Yawn and Ledgerwood, 2000). Gejala yang menyertai biasanya demam, malaise, sakit kepala dan nafsu makan menurun. Keluhan ini jarang terjadi pada rinitis alergi. Jika terjadi superinfeksi oleh bakteri, gejalanya biasanya bertambah buruk. Gejala yang khas adalah sekret hidung yang purulen dan pada pemeriksaan sitologi sekret hidung ditemukan sel-sel PMN. Bakteri yang menyebabkan biasanya Streptokokus pneumonia, Sterptokokus beta hemolitikus dan Hemopilus influenza (Quillen and Feller, 2006). 2. Rinitis medikamentosa. Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan pada hidung, berupa gangguan respon normal vasomotor, sebagai pemakaian vasokontriktor lokal dalam waktu lama dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap (Soepardi dan Iskandar, 2001). Beberapa obat sistemik juga dilaporkan dapat menyababkan rinitis medikamantosa. Obat tersebut diantaranya reserpine, guanethidine, phentolamine, chlorpromazine dan golongan -blocker (Bailey et al, 2001).

11

Dari amamnesis diketahui adanya riwayat pemakaian obat vasokonstriktor topikal dalam waktu yang lama. Dari pemeriksaan fisik didapatkan edema konka yang tidak berkurang kalau diuji dengan adrenalin dan sekret hidung yang berlebihan. 3. Rinitis vasomotor. Rinitis vasomotor merupakan gangguan fungsi fisiologis lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas saraf parasimpatis (Soepardi dan Iskandar, 2001). Untuk membedakan dengan rinitis alergi, perlu dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang cermat. Dari anamnesa, biasanya keluhan utama pasien adalah hidung tersumbat dan berair. Sedangkan pada rinitis alergi, keluhan utamanya adalah hidung berair disertai rasa gatal pada mata dan bersin-bersin. Pada pemeriksaan fisik keduanya terjadi edema mukosa dan konka yang berwarna merah, tetapi pada rinitis vasomotor sering dijumpai sekret yang mukoid. 2.8 Penatalaksanaan Penatalaksanaan dari rinitis alergi ini dibagi menjadi 3 yaitu a) pengendalian lingkungan dan menghindari paparan alergen, b) terapi medikamentosa c) imunotherapi, d) operasi. Patofisiologi dari rinitis alergi ini dalah respon imun yang berlebihan terhadap alergen dan proses inflamasi, maka sangat penting pemberian konseling, informasi dan edukasi mengenai penyebab penyakit dan gejala-gejalanya. Pengendalian lingkungan dan menghindari paparan alergen merupakan terapi paling ideal untuk penyakit ini. Menghindari alergen, baik alergen dari luar rumah maupun dari lingkungan rumah sangat membantu mencegah munculnya serangan rinitis alergi. Menghindari alergen, salah satunya dengan pengendalian lingkungan, misalnya rutin membersihkan rumah dengan vacum cleaner, mengganti sprei tempat tidur tiap 2 minggu sekali dengan air hangat, memakai masker hidung terutama bila

12

bekerja di tempat yang banyak polusi udara, menghindari asap rokok, farfum, dan asap (Sheik,2007). Terapi kedua yaitu terapi medikamentosa yang merupakan terapi simptomatis yaitu terapi saat serangan rinitis muncul. Terapi ini meliputi : (Quraishi et al, 2004; Sheikh,2007; Soepardi & Iskandar,2004) 1. Antihistamin Antihistamin dalah obat yang paling pertama kali dipakai untuk terapi simptomatis rinitis alergi. Obat ini adalah antagonis histamin H1 yang bekerja menghambat reseptor histamin di saluran pernafasan sehingga menghambat pelepasan histamine oleh sel mast. Obat ini dapat mengatasi gejala pada reaksi alergi fase cepat seperti, bersin, rinore dan gatal pada hidung, Namun obat ini kurang efektif untuk mengatasi gejala hidung tersumbat. Obat anti histamin ini tersedia dalam bentuk oral dan topikal yaitu dalam bentuk nasal spray. Anti histamin terbagi menjadi 2 golongan yaitu antihistamin generasi 1 (klasik) dan antihistamin generasi 2 ( nonsedatif). Tabel 1 Perbedaan antihistamin generasi 1 dan 2 No Antihistamin generasi 1 Antihistamin generasi 2 1 Bersifat lipofilik sehingga dapat Bersifat lipofobik sehingga 2 3 sulit

menembus sawar darah otak menembus sawar darah otak Efek pada SSP (sedative) Efek pada SSP minimal (non sedative) Efek samping : sedasi (lelah dan Efek samping : kardiotoksik, Namun mengantuk), mulut kering, mata durasi kerja lebih panjang dan kering dan retensi urin, konsentrasi pengaruh terhadap proses belajar anak

belajar anak menurun minimal. Contoh obat: difenhidramin, Contoh obat: astemisol, terfenadin, klorfeneramin, prometasin, loratadin, seterisin, fexofenadin siproheptadin, azelastin(topikal) Penggunaan antihistamin biasanya dikombinasi dengan dekongestan untuk mendapat tingkat efikasi yang lebih baik. 2. Dekongestan

13

Obat dekongestan bekerja dengan cara menstimulasi receptor adrenergik yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga terjadi penurunan aliran darah di nasofaringeal dan mukosa hidung. Obat ini dapat mengatasi gejala sumbatan hidung dan kongesti. Cara pemberian obat ini dalam bentuk oral, topikal dan nasal spray. Penggunaan dengan cara nasal spray memberi efek samping rasa terbakar pada hidung, kering, ulcerasi mukosa bahkan sampai perforasi septum. Penggunaan dengan cara topikal hanya boleh untuk bebrapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Penggunaan secara oral memiliki efek samping sistemik seperti sakit kepala, insomnia, agitasi, tremor, takikardi dan somnolence. 3. Leucotriene receptor antagonist Golongan obat ini dalah pengobatan baru yang dipakai untuk rinitis alergi. Obat ini juga mampu untuk mengatasi gejala rinore, bersin , gatal pada hidung dan kongesti terutama untuk gejala yang muncul pada malam hari yang sampai mengganggu tidur. Contoh obat: Montelukast dan Zafirlukast. 4. Kortikosteroid nasal Penggunaan obat ini dipilih apabila gejala utama yaitu sumbatan hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil dengan obat lain. Obat ini bekerja pada reseptor glukokortikoid yang akan mempengaruhi produksi berbagai mediator. Obat ini juga bekerja mengurangi jumlah sel mast pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik, mengurangi aktivitas limfosit dan mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen. Cara pemberian obat ini ada 2 yaitu oral dan intranasal, Namun penggunaan intranasal lebih banyak dipakai karena memiliki efek sistemik minimal, lebih aman dan efek samping supresi adrenal juga minimal. Contoh obat topikal : beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat dan triamsinolon.

5. Mast cell stabilizer

14

Obat ini bekerja menstabilkan sel mast sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada respon fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktivasi sel neutrofil, eosinofil dan monosit. Hasl terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaxis. Contoh obat :Sodium kromoglikat.

(sheikh, 2007) Pengobatan ketiga yaitu dengan imunoterapi. Pengobatan ini dipilih apabila gejala yang diderita sangat berat, sudah berlangsung lama dan terapi dengan medikamentosa tidak berhasil. Sebenarnya imunoterapi dalah terapi yang paling efektif untuk rinitis alergi, Namun keberhasilan terapi ini sangat tergantung dari kepatuhan pasien dalam menjalankan prosedur terapi, karena imunoterapi ini memerlukan waktu yang cukup lama yaitu 3-5 tahun.Tingkat keberhasilannya mencapai 80-90%. Imunoterapi sebaiknya tidak dilakukan pada anak dibawah usia 7 tahun dan pasien dengan penyakit imunologis lain. Penggunaan terapi ini juga sering dikombinasikan dengan terapi medikamentosa dan pengendalian lingkungan.

15

Terapi terakhir dalam penanganan rinitis alergi yaitu tindakan operatif yang berupa konkotomi (pemotongan konka inferior). Indikasi dari tindakan operatif ini yaitu bila dari pemeriksaan didapatkan konka inferior hipertropi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat. Indikasi lainnya yaitu bila didapatkan komorbid atau komplikasi rinitis alergi seperti sinusitis, nasal polip dan septal devasi. 2.9 Komplikasi Komplikasi rinitis alergi yang sering adalah : 1. Polip hidung Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung 2. Otitis media yang sering residip, terutama pada anak-anak. 3. Sinusitis paranasalis Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat drainase. 2.10 Prognosis Jika dilakukan penatalaksanaan yang tepat yaitu menghindari faktor-faktor pencetus, menjaga higienitas dan terapi medikamentosa yang tepat, maka prognosisnya baik.

BAB 3 LAPORAN KASUS

16

3.1 IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis kelamin Pendidikan Suku bangsa Agama Status perkawinan Alamat : Ni luh Partiwi Wirasamadi : 36 tahun : Perempuan : Sarjana : Bali : Hindu : Menikah : Jl. Gunung Guntur XIV No 16 Padangsambian

Tanggal pemeriksaan : 3 November 2007

3.2 ANAMNESA Keluhan Utama : Bersin-bersin, keluar ingus encer dan banyak dan gatal pada hidung dan mata Riwayat penyakit sekarang Penderita datang dengan keluhan bersin-bersin, hidung tersumbat dan pilek yang bertambah berat sejak satu minggu yang lalu, kambuh-kambuhan, serangan bersin lebih dari 10 kali terutama terjadi pada pagi dan malam hari, dan bertambah berat bila banyak debu beterbangan. Saat bersin-bersin disertai hidung tersumbat dan keluar ingus/cairan bening, encer dan susah dihentikan, disertai terasa gatal pada mata dan hidung. Biasanya hidung tersumbat bergantian kiri dan kanan atau keduanya. Sehingga mengganggu nafas. Sakit kepala dirasakan saat mengalami bersin-bersin yang hebat. Penderita biasanya minum air hangat untuk mencoba menghilangkan bersinnya. Keluhan dirasakan berat karena sampai mengganggu tidur dan pekerjaan. Riwayat penyakit sebelumnya dan riwayat pengobatan.

17

Keluhan bersin-bersin, pilek dan hidung tersumbat seperti ini sudah dirasakan kira-kira sejak tahun 1996 dan sering kumat-kumatan. Penderita sudah melakukan tes alergi dan dinyatakan alergi terhadap human dender, debu dan udara dingin. Penggunaan obat tetes hidung hanya saat gejala muncul. Sudah berobat ke dokter bolak-balik tetapi ketika terkena debu saat orang menyapu, bisa kambuh lagi. Penderita juga memiliki riwayat asma. Riwayat gatal pada kulit disangkal. Riwayat Penyakit dalam keluarga. Riwayat alergi makanan pada keluarga tidak diketahui, tetapi ayah pasien menderita asma. Riwayat sosial. Pasien merupakan pegawai di bagian instalasi gizi RSUP Sanglah. Setiap pagi pasien berangkat menuju RSUP tanpa menggunakan masker. Jarak antara rumah dan tempat kerja cukup jauh. Jika membersihkan rumah pasien juga tidak memakai masker. Keadaan rumah pasien cukup bersih. 3.3 PEMERIKSAAN FISIK Status Present : Kesadaran Nadi Respirasi Temp. Axila Kepala Mata THT Leher Thorak : Compos mentis : 88 kali/menit : 20 kali/menit : 36,5 o celcius : Normocephali : anemis -/-, ikterus -/: Sesuai status lokalis : Pembesaran kelenjar getah bening (-) : Cor: S1 S2 tunggal regular, murmur (-) Tekanan darah : 120/70 mmHg

Status General :

18

Pulmo: Ves +/+, Rh -/-, Wh -/Abdomen Ekstremitas 3.4 STATUS LOKALIS TELINGA Kanan Daun telinga Liang telinga Discharge Membran timpani Reflek cahaya Tumor Mastoid Tes Pendengaran Weber Rinne Scwabach HIDUNG Kanan Hidung luar Cavum nasi Septum nasi Discharge Mucosa Tumor Concha Sinus TENGGOROK : : : : : : : : N sempit (++++) Serus, jernih Pucat, Basah (-) congesti N Kiri N sempit (++++) serus,jernih Pucat, Basah (-) congesti N Deviasi tidak ada : : : N Tidak ada lateralisasi (+) (+) N : : : : : : : N Lapang (-) Intak (+) (-) N (-) Intak (+) (-) N Kiri N Lapang : BU (+) N, Distensi (-), Hepar /Lien: tidak teraba : Edema (-), Akral hangat (+)

19

Dyspneu Sianosis Mucosa Stridor Suara Tonsil Laring 3.5 RESUME

: : : : : : :

(-) (-) Merah muda (-) Normal T1/T1, tenang Detritus (-), kripte melebar (-) Tidak dievaluasi

Penderita bernama Ni Luh Partiwi wirasamadi, perempuan, berumur 36 tahun datang ke poliklinik THT pada tanggal 3 November 2007 dengan keluhan bersin-bersin yang sering (tiap kali serangan 10 kali) terutama pada pagi dan malam hari dan bertambah berat bila kontak dengan debu. Keluhan juga disertai hidung tersumbat dan keluar sekret hidung berwarna bening, encer dalam jumlah yang banyak. Penderita juga merasakan gatal pada mata dan hidung. Keluhan hidung tersumbat sampai mengganggu nafas. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 11 tahun yang lalu dan sering kumat-kumatan. Keluhan dirasakan berat sampai mengganggu tidur dan pekerjaan. Penderita telah berobat ke dokter dan memakai obat tetes hidung hanya saat gejala muncul. Penderita mempunyai riwayat asma. Riwayat dermatitis disangkal. Penderita memiliki orangtua dengan riwayat asma. Pemeriksaan fisik Status present : Dalam batas normal Status general :Dalam batas normal Status lokalis Telinga Hidung Hidung luar Cavum nasi Septum nasi : : : : : Dalam batas normal Kanan N sempit Kiri N sempit Deviasi tidak ada

20

Discharge Mucosa Tumor Concha Sinus Tenggorok

: : : : : :

(++++) Serus, jernih Pucat, Basah (-) congesti N Dalam batas normal

(++++) serus,jernih Pucat, Basah (-) congesti N

3.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG Penderita telah melakukan tes alergi pada tanggal 13 Oktober 2003, Dengan hasil sebagai berikut : Tes alergi: 1. House dust 500% 2. Human dender 3. Mite culture 4. Cat dender 5. Dog dender 6. Chicken dender 7. Kecoa 8. Bandeng 9. Udang 10. Kakap 11 Kepiting 3.7 DIAGNOSA BANDING Rinitis alergi Rinitis akut Rinitis Vasomotor Rinitis medikamentosa : ++ : +++ : ++ : ++ :+ :+ :++ :: ++ : ++ : ++++

3.8 DIAGNOSA KERJA

21

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diatas dapat ditegakkan suatu diagnosa kerja yaitu RINITIS ALERGI 3.9 PENATALAKSANAAN a. KIE kepada Pasien untuk menghindari alergen dan pengendalian lingkungan b. Terapi medikamentosa antihistamin dekongestan

c. Imunoterapi 3.10 PROGNOSIS Dubius ad bonam

BAB 4

22

PEMBAHASAN 1. Pasien ini didiagnosis Rhinitis alergi karena : Dari anamnesa didapatkan pasien mengeluh bersin bersin berulang 10 kali setiap serangan terutama bila kontak debu. Selain itu juga penderita mengeluhkan keluar cairan hidung berwarna bening dan encer dalam jumlah yang banyak. Penderita juga mengeluhkan hidung tersumbat dan gatal- gatal pada mata dan hidung. Keluhan ini kumat-kumatan dan sudah diderita sejak 11 tahun yang lalu. Penderita juga memiliki riwayat asma. Pada pemeriksaan fisik didapatkan sekret serus jernih, mukosa pucat kanan dan kiri. Pada pemeriksaan penunjang dilakukan tes alergi dengan hasil didapatkan penderita alergi terhadap : House dust, human dender, mite culture, cat dender, dog dender, chicken dender, kecoa, udang, kakap dan kepiting. 2. Diagnose banding dari rinitis alergi pada kasus ini yaitu a. Rinitis akut, akan ditemukan tanda radang seperti demam, mukosa hiperemis, pada rinitis akut oleh karena bakteri akan diadapatkan sekret yang mukopurulen, pada pemeriksaan sitologi hidung akan ditemukan sel PMN, hasil tes alergi akan negatif b. Rinitis vasomotor, akan ditemukan gejala utama yaitu hidung tersumbat, sekret hidung umumnya mukus. Hasil tes alergi akan negatif c. Rinitis medikamentosa, akan ditemukan dari anamnesa ada riwayat pemakaian obat vasokontriktor topikal (obat tetes hidung ) dalam jangka waktu yang lama. Gejala rinitis akan hilang bila penggunaan obat dihentikan. 3. Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu : Prinsip terapi pada pasien rhinitis alergi ada 4 yaitu KIE kepada pasien, terapi medikamentosa, imunoterapi dan operasi, namun untuk pasien ini yang paling utama yaitu :

23

a. KIE kepada pasien yaitu dengan memberikan informasi mengenai penyakit yang diderita pasien, dan upaya-upaya yang dapat dilakukan pasien untuk mencegah kekambuhan penyakit yang diderita seperti menghindari alergen sesuai dengan hasil tes alergi dalam hal ini dengan menghindari binatang peliharaan (kucing, anjing, dan ayam), saat membersihkan rumah memakai masker untuk menghindari kontak langsung dengan debu rumah, mencuci sprei tempat tidur seminggu sekali dengan air hangat, tidak makan makanan yang mengadung udang, kakap dan kepiting. b. Terapi medikamentosa yang diberikan bersifat simptomtis untuk mengobati gejala-gejala saat serangan muncul yaitu: antihistamin : diberikan untuk menghilangkan efek histamin yang menimbulkan vasodilatasi dan hipersekresi kelenjar mukosa sehingga meringankan gejala bersin-bersin, gatal pada hidung dan rinore. Dekongestan : diberikan untuk vasokontriksi pembuluh darah, meringankan kongesti dan gejala hidung tersumbat. c. Imunoterapi Adapun pertimbangan pemberian imunoterapi yaitu : 1. Penderita mengeluhkan gejala rinitis alergi yang cukup berat karena telah dikeluhkan sejak 11 th yang lalu, hampir setiap hari dan sampai mengganggu tidur dan aktivitas pasien 2. Hasil tes alergi menunjukkan pada alergen human dender dengan hasil +++ dan kepiting dengan hasil ++++ 3. Pengobatan ini tersedia di rumah sakit sanglah 4. Yang terpenting adalah kepatuhan pasien, karena terapi ini berlangsung 3-5 tahun, untuk itu diupayakan KIE mengenai teknik pengobatan ini dan tingkat keberhasilannya agar pasien patuh menjalankan terapi.

24

3. Prognosis Dubius ad bonam karena pada pasien ini belum didapatkan tanda-tanda komplikasi, sangat sulit menentukan prognosisnya karena semua tergantung pada kepatuhan pasien untuk menghindari alergen dan menjalankan imunoterapi.

25

KESIMPULAN Rinitis alergi merupakan penyakit hidung kronis tersering yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I yang diperantarai oleh IgE pada mukosa hidung. Penyakit ini bisa timbul pada semua golongan umur, namun frekuensi tersering terjadi pada anak-anak, remaja dan dewasa muda. Mekanisme timbulnya rinitis alergi dibagi menjadi 2 tahap yaitu fase sensitisasi dan fase klinis. Fase klinis dibagi lagi menjadi 2 yaitu fase cepat dan fase lambat. Gejala klinis akan timbul setelah kontak kedua dengan alergen yang akan menyebabkan degranulasi sel mast sehingga terjadi pelepasan mediator terutama histamin.Ada 2 macam rinitis alergi berdasarkan sifat berlangsungnya yaitu rinitis alergi musiman dan rinitis alergi sepanjang tahun. Gejala klinik rinitis alergi antara lain berupa serangan bersin berulang, keluar ingus encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, lakrimasi dan tanpa demam. Gejala spesifik pada anak berupa allergic shiner, allergic salute dan allergic crease. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan rinitis alergi terdiri dari 4 cara yaitu menghindari atau eliminasi alergen dengan KIE, farmakoterapi, imunoterapi dan operasi.

26

DAFTAR PUSTAKA

Quillen, M. D. and Feller, D. B. (2006), Diagnosing Rhinitis: Allergic vs. NonAllergic, American Family Physician Journal, vol. 73, no. 9. pp. 1583-1590. Yawn, B. P. and Ledgerwood, G. L. (2000), Allergic Rhinitis and Asthma : A Clinical Practice and Update, American Academy of family physician, pp. 1-16. Soepardi, H. E. A. dan Iskandar, H. N. (2001), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi 5, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal. 101106. Bailey, B. J., Calhoun, K. H., Healy, G B., Pillsbury, H. C., Johnson, J. T., Tard, M E., Jackler, R. K., (2001), Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 3rd eds, Lippincot William & Wilkins, Philadelphia, pp. 281-291. Lanny Rosenwasser, (2007), New Insight into pathophysiology of alergic rhinitis. Available at : http:/www. Emedicine.com/med/topic 104 htm. Accessed october 30,2007. Javed Shiekh, (2007), Rhinitis Allergic. Available at : http:/www.

Medicastore.com /topic 102 htm. Accessed november 2,2007 Quraishi, (2004), Traditional Approaches and Novel Treatment Strategies. Available at : http:/www.wilkipedia.org/htm. Accessed november 2,2007s

27

You might also like