You are on page 1of 51

Topik tentang pembuatan sediaan merupakan bahasan yang sangat penting sebelum melakukan pengujian bioaktivitas terhadap hewan

percobaan, misalnya bagi mahasiswa farmasi (khususnya pada bidang ilmu farmakologi yang nyaris selalu bermain-main dengan hewan percobaan). Saya sudah mengobok-obok Om Eyang Google ternyata tidak ada hasil pencarian yang menunjukkan cara lengkap tentang bagaimana perhitungan dosis obat atau ekstrak untuk diberikan kepada hewan percobaan. Hmm ini adalah peluang amal Tapi buat pembaca yang bukan stakeholder terkait, ini sekedar informasi dan tambahan wawasan saja ya. Dont take it too serious and dont be puyeng lah yaa Buat mahasiswa farmasi, semoga bermanfaat.

Zat yang biasa diberikan kepada hewan percobaan dapat berupa bahan dari tanaman (ekstrak, air rebusan, dll) atau berupa obat untuk tujuan tertentu. Biasanya, bahan-bahan ini tidak bisa diberikan begitu saja melainkan harus diformulasi terlebih dahulu dengan beberapa ketentuan dan pertimbangan. Ada banyak sekali pertimbangan dalam hal pemberian obat/ekstrak kepada hewan percobaan, misalnya tentang rute pemberian, jenis sediaan, jenis bahan pembantu yang digunakan, besaran dosis yang digunakan, dan lain sebagainya. Tulisan ini hanya membahas perhitungan dosisnya saja. Ada beberapa urutan pertanyaan dan detail yang harus diketahui dan dipersiapkan untuk perhitungan tersebut, yaitu:

Berapa dosis obat yang mau diberikan? Obat diberikan melalui rute apa? Oral, intravena, intramuscular, intraperitoneal, dll? Berapa konsentrasi sediaan obat yang akan dibuat? Berapa jumlah hewan percobaan yang akan diberikan sediaan obat? Berapa berat obat/ekstrak yang ditimbang untuk dibuat sediaan? Berapa volume sediaan yang dibuat?

Terakhir, berapa volume sediaan yang diberikan ke masing-masing hewan percobaan? Waaah banyak sekali ya. Namun tak perlu khawatir karena pada dasarnya ada beberapa hal saja yang menjadi persoalan utama terkait dengan pembuatan sediaan uji. A. Berapa Konsentrasi sediaan yang dibuat? Konsentrasi sediaan yang dipersiapkan menunjukkan berapa mg obat atau ekstrak yang dilarutkan dalam sejumlah ml larutan. Konsentrasi ini biasanya dinyatakan dalam % (persen), atau lebih tepatnya % b/v (persen berat per volume) dimana 1% b/v berarti 1 gram zat yang terlarut dalam

100 ml larutan zat. Untuk dapat menentukan konsentrasi sediaan yang dibuat, maka diperlukan data tentang 2 hal berikut, 1. Dosis yang diberikan 2. Persen pemberian, dimana nilainya dipengaruhi oleh rute pemberian obat. Konsentrasi sediaan yang dibuat dapat ditentukan melalui pembagian dosis dengan persen pemberian. Dosis biasanya dinyatakan dalam mg/kgBB dimana 1 mg/kgBB menunjukkan 1 mg zat diberikan untuk setiap 1 kg hewan. Sedangkan persen pemberian biasanya dinyatakan dalam % v/b dimana 1% v/b menunjukkan 1 ml obat diberikan untuk setiap 100 gram berat badan hewan. Persen pemberian ditentukan berdasarkan rute pemberian obat yang akan digunakan, misalnya:

Rute oral/ oral gavage/ gastric intubation: biasa diberikan 1 % Rute intraperitoneal: biasa diberikan 0,1 % Rute intravena: biasa diberikan 0,1 % Jika dosis (a) dan persen pemberian (b) sudah diketahui, maka konsentrasi sediaan yang dibuat bisa dihitung dengan rumus berikut: = Dosis (mg/kgBB) : Persen pemberian (ml/100gBB) = [a mg/kgBB] x [100 gBB/b ml] = [a mg/1000 gBB] x [100 gBB/b ml] = [a mg/10] x [1/b ml] = [a/10b] mg/ml > anggap ini rumus cepatnya Jika dinyatakan dalam satuan persen (gram/100 ml), maka jadinya adalah = [a/10b] x [100 mg/100 ml ] = [a/10b] x [0,1 g/100 ml] = [a/100b] g/100 ml = [a/100b] % > anggap juga ini rumus cepatnya B. Berapa berat obat atau ekstrak yang ditimbang untuk dibuat sediaan? Pada dasarnya, berat obat atau ekstrak yang ditimbang untuk dibuat sediaan uji ditentukan berdasarkan dosis yang diberikan dan total berat hewan percobaan. Jika dosis yang diberikan misalnya adalah 5 mg/kg, maka tentunya kita butuh dosis 20 mg jika total berat semua hewannya adalah 4 kg. Betul??? Untuk menentukan berat obat/ekstrak yang dibutuhkan tersebut, data yang diperlukan adalah: 1. Berapa jumlah hewan percobaan yang akan diberikan sediaan? 2. Berapa (kira-kira) berat rata-rata hewan tersebut? Dari kedua data ini, kita dapat menentukan berat total hewan percobaan yang akan diberikan ekstrak. Sebagai contoh (di dalam penelitian farmakologi) berat rata-rata dari mencit adalah

sekitar 20-30 gram, sedangkan berat rata-rata tikus adalah sekitar 250-300 gram (tergantung kondisi real hewan yang digunakan).

Jika perkiraan berat total hewan sudah diketahui, maka langkah berikutnya adalah menentukan berat obat/ekstrak yang diperlukan. Berat obat/ekstrak yang diperlukan dihitung berdasarkan dosis yang akan diberikan dan total berat hewan. Contohnya: suatu ekstrak diberikan dalam dosis 20 mg/kgBB dipersiapkan untuk diberikan ke 10 ekor mencit dengan berat rata-rata 25 gram. Berapa ekstrak yang ditimbang? Berat ekstrak yang ditimbang: = dosis x total berat hewan = 20 mg/kgBB x (25 gramBB x 10) = 20 mg/kgBB x 250 gramBB = 20 mg/kgBB x 0,25 kgBB = 5 mg Dengan demikian, jumlah ekstrak yang dibutuhkan untuk diberikan kepada sepuluh ekor hewan tersebut adalah 5 mg. Langkah berikutnya adalah pembuatan sediaan, terutama menentukan berapa volume sediaan yang dibuat. C. Berapa volume sediaan yang dibuat? Volume sediaan yang akan dibuat ditentukan berdasarkan:

1. Konsentrasi sediaan. Konsentrasi tersebut sebelumnya sudah kita tentukan pada bagianA, yaitu berdasarkan dosis (mg/kg) dan persen volume pemberian atau rute pemberian yang digunakan. 2. Total berat obat/ekstrak yang diperlukan. Berat ekstrak yang diperlukan ini juga sudah dihitung sebelumnya pada bagian B, yaitu berdasarkan dosis yang digunakan dan total berat hewan. Sebagai contoh: jika sebelumnya sudah diketahui bahwa konsentrasi obat yang akan diberikan adalah 0,2 % dan berat ekstrak yang diperlukan untuk keseluruhan hewan percobaan adalah 10 mg, maka berapakah volume sediaan yang dibuat? Volume sediaan yang dibuat: = berat ekstrak : konsentrasi = 10 mg : 0,2 % = 10 mg : (0,2 gram/100 ml) = 10 mg x (100 ml/0,2 gram) = 10 mg x (100 ml/ 200 mg) = 5 ml Dengan demikian, 10 mg ekstrak tersebut harus dilarutkan dengan pelarut yang sesuai (misalnya air atau air suling) sampai terbentuk larutan yang homogen. Kadang dibutuhkan bahan pembantu untuk mensuspensikan ekstrak di dalam larutan, misalnya NaCMC atau Tween/Polysorbate. Jangan lupa, apapun pelarut dan bahan pembantu yang digunakan, volume larutan akhirnya tidak boleh melebihi 5 ml supaya konsentrasinya tetap sesuai dengan yang direncanakan. Sebaiknya sediaan ini dibuat baru setiap harinya (dalam istilah resep disebut dengan rprecenter paratus). Meskipun demikian, kadang peneliti dapat membuat sediaan untuk stok beberapa hari, misalnya 2 atau 3 hari. Hal ini tergantung kepada stabilitas sediaan untuk disimpan dan perhatikan juga kondisi penyimpanan sediaan. Jika sediaan dibuat untuk stok 2 hari, maka jumlah ekstrak dan volumenya dijadikan 2 kali lipat yaa D. Berapa volume sediaan yang diberikan kepada masing-masing hewan? Volume sediaan yang diberikan kepada masing-masing hewan dihitung berdasarkan 2 hal berikut: 1. Persen volume pemberian. Nilai ini tergantung kepada jenis rute pemberian yang digunakan seperti yang sudah dijabarkan di atas. 2. Berat masing-masing hewan percobaan. Hewan dengan berat badan yang berbeda tentu akan menerima volume sediaan yang berbeda pula. Contoh: Suatu sediaan ekstrak yang sudah diformulasikan akan diberikan melalui rute intraperitoneal dengan persen pemberian 0,1 %. Berapa volume yang disuntikkan kepada tikus berikut jika masing-masing beratnya adalah 260; 252; dan 275 gram? Volume pemberian atau volume administrasi: = berat x persen pemberian = 260 gram x 0,1 %

= 260 gram x (0,1 ml/100 gram) = 0,26 ml Jika untuk hewan 260 gram diberikan sediaan dengan volume 0,26 ml, maka hewan dengan berat 252 dan 275 gram diberikan sediaan dengan volume 0,252 dan 0,275 ml. Simple kan? ___________ Jadi dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah untuk perhitungan dosis dan pembuatan sediaan obat dan ekstrak adalah seperti yang terlihat dalam skema berikut:

CARA DAN RUTE PEMBERIAN OBAT PADA HEWAN PERCOBAAN MENCIT


CARA DAN RUTE PEMBERIAN OBAT PADA HEWAN PERCOBAAN MENCIT Disusun Oleh : Nama Mahasiswa : Linus Seta Adi Nugraha Nomor Mahasiswa : 09.0064 Tgl. Praktikum : 25 April 2011 Hari Praktikum : Senin Dosen Pembimbing : Margareta Retno Priamsari, S.Si., Apt. LABORATORIUM FARMAKOLOGI AKADEMI FARMASI THERESIANA SEMARANG 2011 CARA DAN RUTE PEMBERIAN OBAT PADA HEWAN PERCOBAAN MENCIT A. TUJUAN PRAKTIKUM Mahasiswa dapat mengenal cara dan rute pemberian obat, mengetahui pengaruh rute pemberian obat

terhadap efek farmakologi, memahami konsekuensi praktis dari pengaruh rute pemberian obat, mengenal manifestasi berbagai efek obat yang diberikan. B. DASAR TEORI Rute pemberian obat ( Routes of Administration ) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat (Katzug, B.G, 1989). Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut: a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama c. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter f. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam rute g. Kemampuan pasien menelan obat melalui oral. Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat misalnya salep (Anief, 1990). Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara: a. Oral melalui saluran gastrointestinal atau rectal b. Parenteral dengan cara intravena, intra muskuler dan subkutan c. Inhalasi langsung ke dalam paru-paru. Efek lokal dapat diperoleh dengan cara: a. Intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan ada mata, hidung, telinga b. Intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru c. Rektal, uretral dan vaginal, dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran kencing dan kemaluan wanita, obat meleleh atau larut pada keringat badan atau larut dalam cairan badan Rute penggunaan obat dapat dengan cara: a. Melalui rute oral b. Melalui rute parenteral c. Melalui rute inhalasi d. Melalui rute membran mukosa seperti mata, hidung, telinga, vagina dan sebagainya e. Melalui rute kulit (Anief, 1990). Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal (dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular, subkutan, dan intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri, intraspinal dan intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor site) cara pemberian yang lain adalah inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui kulit atau mata. Proses penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan memperngaruhi aktifitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan ( Siswandono dan Soekardjo, B., 1995).

Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratanpersyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis / keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, disamping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia (Tjay,T.H dan Rahardja,K, 2002). Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya (Katzug, B.G, 1989). Fenobarbital, asam 5,5-fenil-etil barbiturate merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai mulai dari sedasi, hipnosis, berbagai tingkat anesthesia, koma, sampai dengan kematian. Efek hipnotik barbiturate dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya merupakan tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu (Ganiswara, 1995). Barbiturat secara oral diabsorbsi cepat dan sempurna. Bentuk garam natrium lebih cepat diabsorbsi dari bentuk asamnya. Mula kerja bervariasi antara 10-60 menit, bergantung kepada zat serta formula sediaan dan dihambat oleh adanya makanan didalam lambung. Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat lewat plasenta, ikatan dengan PP sesuai dengan kelarutannya dalam lemak, thiopental yang terbesar, terikat lebih dari 65%. Kira-kira 25% fenobarbital dan hampir semua aprobarbital diekskresi kedalam urin dalam bentuk utuh (Ganiswara, 1995). Resorpinya di usus baik (70-90%) dan lebih kurang 50% terikat pada protein; plasma-t -nya panjang, lebih kurang 3-4 hari, maka dosisnya dapat diberikan sehari sekaligus. Kurang lebih 50% dipecah menjadi p-hidrokdifenobarbitat yang diekskresikan lewat urin dan hanya 10-30% dalam kedaan utuh. Efek sampingnya berkaitan dengan efek sedasinya, yakni pusing, mengantuk, ataksia dan pada anakanak mudah terangsang. Bersifat menginduksi enzim dan antara lain mempercepat penguraian kalsiferol (vitamin D2) dengan kemungkinan timbulnya rachitis pada anak kecil. Pengunaannya bersama valproat harus hati-hati, karena kadar darah fenobarbital dapat ditingkatkan. Di lain pihak kadar darah fenitoin dan karbamazepin serta efeknya dapat diturunkan oleh fenobarbital. Dosisnya 1-2 dd 30-125 mg, maksimal 400 mg (dalam 2 kali); pada anak-anak 2-12 bulan 4 mg/kg berat badan sehari; pada status epilepticus dewasa 200-300 mg (Tjay dan Rahardja, 2006).

CARA PENANGANAN HEWAN DAN RUTE PEMBERIAN OBAT


Cara Penanganan Hewan Percobaan dan Rute Pemberian Obat I. Pendahuluan Hewan percobaan yang dipakai sebagai Animal Model oleh suatu laboratorium medis merupakan suatu modal dasar dan modal hidup yang mutlak dalam bebagai kegiatan penelitian (riset). Secara definitip hewan percobaan adalah yang digunakan sebagai alat penilaian atau merupakan modal hidup dalam suatu kegiatan penelitian ata pemeriksaan laboratorium secara in vivo. Keanekaragaman jenis hayati (hewan percobaan) yang dimiliki ataupun yang dipakai sebagai Animal model oleh suatu laboratorium medis baik itu dibidang farmasi, phisiologi, ekologi, mikrobiologi, virologi, radiobiologi, kanker, biologi dan sebagainya di negara manapun merupakan suatu "modal dasar" dan "model hidup" yang mutlak dalam berbagai kegiatan penelitian (riset). Secara definitip hewan percobaan adalah yang digunakan sebagai alat penilai atau merupakan "model hidup dalam suatu kegiatan penelitian atau pemeriksaan laboratorium baik medis maupun non medis secara in vivo. Di dalam hal keikutsertaan dan pemanfaatannya bagi pengembangan flint' dan teknologi, kebutuhan akan sumber hayati ini (hewan percobaan) makin hari makin meningkat terutama untuk kepentingan riset biomedis

maupun pendidikan baik di idalam maupun di luar negeri. Salah satu penggunaan hewan percobaan adalah untuk mengetahui perbedaaan berbagai rute pemberian obat. rute pemberian obat akan mempengaruhi laju serapan obat sehingga dengan kata lain rute pemberian obat akan mempengaruhi onset, lama dan kerja maksimum obat. Memilih rute pemberian obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obat, serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut: a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik. b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama. c. Stabilitas obat di dalam lambung dan atau usus. d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute. e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter f. Kemampuan pasien menelan obat melalui rektal. Rute pemberian obat dapat dilakukan dengan cara oral, intraperitoneal, inhalasi, transdermal, rektal, dan lain-lainnya. Secara umum pemberian obat secara peritoneal akan memberikan efek yang lebih cepat daripada yang diberikan secara oral dalam jumlah dosis yang sama. (Edhie Sulaksono, 1992) II. Tujuan Percobaan - Untuk mengetahui teknik-teknik pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat - Untuk melihat berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang ditimbulkan - Untuk menyatakan akibat-akibat praktis pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang ditimbulkan - Untuk mengenal berbagai efek obat yang diberikan - Untuk menyatakan onset of action berdasarkan rute pemberian obat III. Prinsip Percobaan - Penandaan hewan percobaan dengan memberi tanda berupa garis pada bagian ekor - Pemberian obat melalui intraperitoneal dan per oral dengan dosis yang berbeda untuk melihat onset of action serta duration of action dari luminal natrium

IV.Tinjauan Pustaka Keanekaragaman jenis hayati (hewan percobaan) yang dimiliki ataupun yang dipakai sebagai Animal

model oleh suatu laboratorium medis baik itu dibidang farmasi, phisiologi, ekologi, mikrobiologi, virologi, radiobiologi, kanker, biologi dan sebagainya di negara manapun merupakan suatu "modal dasar" dan "model hidup" yang mutlak dalam berbagai kegiatan penelitian (riset). Secara definitip hewan percobaan adalah yang digunakan sebagai alat penilai atau merupakan "model hidup dalam suatu kegiatan penelitian atau pemeriksaan laboratorium baik medis maupun non medis secara in vivo. Di dalam hal keikutsertaan dan pemanfaatannya bagi pengembangan flint' dan teknologi, kebutuhan akan sumber hayati ini (hewan percobaan) makin hari makin meningkat terutama untuk kepentingan riset biomedis maupun pendidikan baik di idalam maupun di luar negeri. Bahkan secara nasional negara kita adalah salah satu negara pensuplai kebutuhan tersebut (misalnya kera). Dipihak lain belum banyak usaha yang terpadu & programatis dalam penanganan hewan percobaan baik dalam kwalitas maupun kwantitas, kecuali pada pihak yang benar-benar mengerti dan sadar akan kepentingan ini. Salah satu hal yang nampaknya kontroversiil ialah pemanfaatan hewan percobaan untuk kepentingan penejitian dan pendidikan di Indonesia masih belum berkembang. Kera adalah alternatip terakhir sebagai animal model yang masih diperlukan penyempurnaan jaringan distribusi dart pengembangan-biakannya melalui beberapa alternatip seperti program pembiakan di kandang (in captivity). Di negara yang sudah maju (Jepang, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa), masalah hewan percobaan tidak hanya ditangani oleh pihak pemerintah tetapi juga swasta (dengan berdirinya commercial breeder). Hal yang lain adalah adanya sementara pihak yang menggunakan hewan untuk percobaan, dimana hewan tersebut diperoleh dan pasar hewan yang tidak diketahui asal usulnya apalagi sistim pegembangbiakannya.Oleh karena itu usaha di dalam melawan hal-hal yang nampaknya kontroversiil tersebut, merupakan usaha yang mendesak dilakukan supaya sumber hayati ter- sebut baik small laboratory animal maupun large laboratory animal dapat dimanfaatkan secara optimal. 1) Peranan Hewan Percobaan Peranan hewan percobaan dalam kegiatan penelitian ilmiah telah berjalan sejak puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan nasional bahkan internasional, dalam rangka keselamatan umat manusia di dunia adalah adanya Deklarasi Helsinki. Deklarasi ini berisi tentang segi etik percobaan yang meng-gunakan manusia (1964) antara lain dikatakan perlunya diakukan percobaan pada hewan, sebelum percobaan di bidang biomedis maupun riset lainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia, sehingga dengan demikian jelas hewan per-cobaan mempunyai mission di dalam keikutsertaannya menunjang program keselamatan umat manusia melalui suatu penelitian biomedis. Masih dalam rangka pengelolaan hewan percobaan secara keseluruhan, cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah ber,eda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya. Identiftikasi (Pemberian tanda pada hewan). Tujuan dari pada pemberian tanda pada hewan adalah di samping untuk mencegah kekeliruan hewan dalam sistim pembiakannya juga untuk mempermudah pengamatan dalam percobaan. Bermacam-macam cara yang dipakai dalam identifikasi tergantung kepada selera dan juga lama tidaknya hewan tersebut terpaki atau dipelihara. (marking, ear punching, too clipping, ear tags, tattocing, coat colors). (Edhie Sulaksono, 1992) Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek tubuh terhadap obat. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yakni proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberiannya ke dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rektum), kulit, paru, otot dan lain-lain. Yang terpenting adalah cara pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat

absorpsi utama adalah usus halus karena memiliki permukaan adsorpsi yang sangat luas, yakni 200 m2. Dengan suntikan intramuskular atau subkutan, obat langsung masuk interstisium jaringan otot atau kulit lalu ke pembuluh darah kapiler dan darah sisitemik. Dinding pembuluh darah kapiler yang terdiri dari satu lapis sel endotel memiliki celah antar sel yang cukup besar untuk melewatkan obat yang kebanyakan mempunyai berat molekul antara 100 dan 1000. Obat yang larut lemak masuk ke dalam darah kapiler dengan melintasi membran sel endotel secara difusi pasif. Hanya obat yang larut air masuk darah melalui delah antar sel endotel bersama air, dengan kecepatan yang berbanding terbalik dengan besar molekulnya. Protein dan makromolekul lain masuk darah melalui limfe. . Metabolisme terutama terjadi di hatidi memran endoplasmic retikulumdan cytosol atau di dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, kulit dan lumen usus. Tujuannya untuk mengubah obat yang nonpolar menjadi polar agar dapat diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh ataupun metabolitnya yang melibatkan 3 proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus. ( Setiawati, Arini., 2007) Laju serapan obat tergantung rute pemberian obat, karena rute pemberian obat akan mempengaruhi onset, lama dan kerja maksimum obat. Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut : a. Tujuan terapi menghendak efek lokal atau efek sistemik b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama. c. Stabilitas obat di dalam lambung dan atau usus. d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute. e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter f. Kemampuan pasien menelan obat melalui rektal. Rute pemberian obat dapat dengan cara : a. Melalui rute oral b. Melalui rute parenteral c. Melalui rute inhalasi d. Melalui rute membran mukosa seperti mata, hidung, telinga, vagina, dan sebagainya. (Anief,1994) Penggunaan Obat Melalui Rute Inhalasi Pemberian decara inhalasi bertujuan untuk mendapatkan efek sistemik, khususnya yang bertujuan untuk pembiusan. Hal ini disebabkan besarnya kemampuan penyerapan dari epitel paru yang mencapai 90 m2. Intensitas vaskularisasi paru menyebabkan peningkatan fungsi permukaan membran kapiler alveolus hal ini sangat berperan dalam fenomena difusi pasif. Karakter fisiko-kimia pembiusan bentuk gas atau cair yang menguap dan memungkinkan tercapainya suatu kedeimbangan yang cepat antara sarah alveoli dan darah. Sebaliknya ukuran partilkel sutu aerosol harus lebih kecil dari 3 m agar pemberian zat aktif alam bentuk ini dapat mencapai alveoli dan dapat menimbulkan efek sistemik setelah menembus kapiler alveolus. (Aiache, 1993)

Yang termasuk dalam kategori ini, tiga rute sistemik yang tidak melibatkan saluran gastrointestinal yaitu intravenus, subkutaneus, dan injeksi intramuskular. a. Injeksi Intravenus Injeksi intravenus adalah tujuan admnistrasi obat dalam larutan dimadukkan secara langsung ke dalam sirkulasi sistemik dan di sana tidak ada problema absorbsi atau kelarutan yang harus diatasi. Metode ini tidak menghenfdaki keluhan pasien dan dengan demikian dapat digunakan untuk pasien yang tidak sadar dan dimana kecepatan onset obat adalah vital, seperti dalam keadaaan darurat. Kekurangan mayor adalah secara potensial bahaya fatal memedukkan gelembung-gelembung udara ke dalam akliran darah, dan kontaminasi disebabkan penggunaan jarum-jarun yang tidak disterilakan dengan cukup dan larutan. Penggunaaannya secara konsekuen terbatas pada personil yang terlatih secara medis. Selanjutnya rute

ini menghendaki bahe\wa obat diberikan dalam larutan, biasanya dalam air atau munyak yang biologis inert, dan akibat intenditas dan kecepatan alir dapat menghasilkan efek damping yang tidak terobservasi. b. Injeksi Intramuskular Injeksi intaramuskular memasukkan obat secara tidak langsung ke dalam aliran darah sebagai gantinya ke dalam jaringan otot di mana ia dapat diabsorbsikan oleh aliran darah yang berlebih-lebihan melalui kapiler yang melayani otot. Rute ini kurang cepat dibanfingkan yang intravenus dan dengan resiko sedikit yaitu bahwa injeksi akan mempenetraasi urat darah halus, dsehingga penggunaannya juga terbatas pada personalia yag terlath. c. Injeksi subkutan Yaitu memasukkan obat ke dalam jaringan penghubung, di bawah permukaan kulit dimana absorpsi lemabat. Tetapi dalam hal ini ada sedikit bahaya penetrasi pembuluh darah vital dan metode secaraluas digunakan oleh personalia yang berkualifikasi nonmedis, khususnya penderita diabetes yang butuh administrasi insulin setiap hari. Insulin secara cepat terdegradasi dalam usus dan dengan demikian tidak dapat diminum secra oral, tetapi injeksi subkutan praktis merupakan alternatif dan kecepatan absorpsi ke dalam darah adalah cukup untuk memberikan plasma level yang signifikan secara klaus untuk beberapa jam. ( Reksohadiprodjo, 1994) Farmakologi molekul reseptor asam gamma amino biutirat terikat pada saluran molekul klorida yang merupakan salah satu mesin obat respons dalam tubuh yang paling handal. Obat-obat depresan susunan saraf pusat memudahkan atau meniru kerja asam gamma amino butirat. Obat eksitasi susunan saraf pusat yang bekerja pada saluran klorida menghambat secara langsung atau mempengaruhi pengikatan asam gamma amino butirat yang terikat pada reseptor subunit alfa atau beta memulai interaksi penutupan arus saluran klorida. Benzodiazepin membutuhkan subunit gama untuk menyokong tempat ikatan reseptor. Asam gamma amino butirat merupakan penghambat neurotransmiter yang utama pada susunan saraf pusat. Barbiturat mempermudah kerja asam gamma amino butirat pada susunan saraf pusat, tetapi memperlama waktu terbukanya saluran pintu asam gamma amino butirat. Pada konsentrasi tinggi dapat mengaktivasi saluran klorida secara langsung. Barbiturat dapat menekan kerja neurotransmiter eksitasi dan menimbulkan efek membran nonsinaptik sejajar dengan efeknya atas neurotransmisi asam gamma amino butirat. Efek dari fenobarbital antara lain sedasi, hipnosisi,anastesi dan relaksasi otot. Sedasi dapat didefinikan sebagai penurunan respons terhadap tingkat stimulus. Yang tetap dengan penurunan dalam aktivitas dan ide spontan. Pengubahan tingkah laku ini terjadi pada dosis efektif hipnotik-sedatif yang terendah. Belum jelas apakah pekerja antiansietas yang etrlihat secara klinis setara dengan atau berbeda dari efek sedatif. Pada model hewan percobaan, benzodiazepin dan hipnotik-sedatif yang lebih tua mampu melepaskan tingkah laku yang ditekan hukuman dan disinhibisi ini disamakan dengan efek antiansietas. Tetapi pelepasan tingkah laku dari obat ini, termasuk euforia, kelemahan penilian dan kehilangan kontrol diri sendiri, yang terjadi pada dosis yang agak lebih tinggi dari yang digunakan untukmengatasi ansietas. Kebanyakan obat hipnotik-sedatif sanggup melepaskan tingkah lakutersupresi hukuman pada hewan. Tetapi, benzodiazepin menimbulkan sedikit depresi susunan saraf pusat. Walaupun obat-obat ini mempunyai kerja sedatif, obat antipsikotik dan antidepresan trisiklik tidak efektif dalam percobaan ini. Benzodiazepin juga menyebabkan efek amnesia anterograd ( tidak mampu mengingat kejadian yang terjadi selam kerja obat) pada dosisi sedatif. Beberapa hipnotik-sedatif, terutama anggota kelompok karbamat dan benzodiazepin, mempunyai efek inihibisi atas refleks polisinaptik dan transmisi internunsius, dan pada dosis tinggi bisa menekan transmisi internunsius, dan pada dosis tinggi bisa menekan transmisi pada sambungan neurotransmukuler otot rangka. Kerja selektif jenis ini menyebabkan relaksasi otot mudah diperhatikan pada hewan dan hal ini menyatakan kegunaannya untuk merelaksasi otot volunter yang berkontraksi pada penyakit sendi atau

spasme otot. Efek pada fungsi respirasi dan kardiovaskular pada dosis hipnotik penserita sehat, efek hipnotik-sedatif atas respirasi sebanding dengan perubahannya.( Katzung, B. G., 1989) Pemberian Obat Per Oral Cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling umum dilakukan karena mudah, aman, dan paling murah. Kerugiannya lebih banyak faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya, obat dapat mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita; tidak bisa dilakukan bila pasien koma. Absorpsi obat melalui saluran ceran pada umumnya terjadi secara difusi pasif, karenaitu absorpsi mudajh terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak. Absorpsi obat di usus halus selalu jauh lebih cepat dibandingkan di lambung karen permukaan epitel usus hals jauh lebih luas dibandingkan denga epitel lambung. Selain itu epitel lambung tertutup lapisan mukus ang tebal dan mempunyai tahanan listrik yang tinggi. Oleh karena itu, peningkatan keceptan pengosongan lambung biasanya akan meningkatkan kecepatan absorpsi obat, dan sebaliknya. ( Ian Tanu,1995 ) - Intravena ( ke dalam vena),contohnya total arenteral nutritions - Intraarterial ( ke dalam arteri), contohnya obat-obat vasodilator dalam pengobatan vasospasm - Intramuscular ( ke dalam otot ),contohnya vaksin dan antibiotik - Intracardiac ( ke dalam hati),contohnya adrenalin - Subkutan ( di bawah kulit ),contohnya insulin - Intraosseous infussion ( ke dalam kulit),untuk pengobatan gawat darurat - Intraperitonial (ke dalam rongga perut),contohnya dialisis rongga perut - Intradermal (ke dalam kulit ),contohnya untuk test kulit pada beberapa alergen - Intratekal,umumnya digunakan ntuk anestesi spinal dan kemoterapi(www.wikipedia.org/Route_of_Administration)

Rute Rektal Keuntungan: pembuluh pada rektum dibagi menjadi 2 bagian, yaitu 2/3 bagian pembuluh pada rektum melewati vena cava inferior, tidak melewati vena porta sehingga langsung dibawa ke jantung dan menghasilkan kerja yang lebih cepat. Tidak melewati hati sehingga lebih cepat. Kelemahan: koefisien absorpsi rendah karena dipengaruhi oleh kondisi rektum sehingga sebaiknya digunakan jika kondisi rektum kosong. Tidak praktis Obat yang digunakan: pencahar, antiemeti untuk anak, obat panas untuk bayi, antipireti, dan analgetik. Rute Telinga: diberika melalui telinga/otic Rute Dermal/Kulit: Umumnya kulit tidak digunakan untuk obsorpsi hanya menghasilkan efek lokal saja. Efek sistemik: transdermal, contohnya nitrogliserin. Dipengaruhi oleh kondisi kulit, sehingga pemberiannya harus dibersihkan terlebih dahulu pada kulit yang ingin diobati. Untuk obat-lipo memakai basis minyak: absorpi rendah, lambat. Untuk obat -lipo memakai basis air: absorpsi tinggi, cepat. Untuk obat-hidro memakai basis minyak: absorpsi lumayan baik. Untuk obat-hidro memakai basis air: tidak ada efek.

Rute Parenteral: Dapat mempercepat kerja obat: menurunkan barier absorpsi. Sangat tergantung dari pasokan darah. Digunakan untuk obat kerja cepat yang tidak dapat diberikan secara oral. Perlu penanganan khus dari dokter atau perawat. Beberapa contoh rute parenteral: intravena (langsung ke pembuluh darah), intamuskular (ke otot), intradermal (ke kulit), subkutan (di bawah kulit), dll. (www.google/ladytulipe.wordpress.com/2008/12/15/farmakokinetik-absorpsi/) Pemberian injeksi subkutan sebagai bolus dalam subkutis, lapisan yang secara langsung ada dibawah dermis dan epidermis. Injeksi ini Sangay efektif untuk vaksin dan pengobatan lanilla seperti insulin, morfin, dan lain sebagainya. Penderita diabetes melitus tipe I biasanya menginjeksi insulin secara subkutan pada daerah seperti lengan bagian atas, diatas atau dibawah pinggang, pada belakang tulang pinggul, paha. Area penyuntikan tergantung pada orang yang bersangkutan. Pergantian daerah suntikan akan membentuk statu gumpalan yang disebut lipodystrophies. (www.en.wikipedia.org/Injection)

V. Metodologi Percobaan 5.1. Alat dan Bahan 5.1.1. Alat - Spidol Permanent - Timbangan elektrik - Oral sonde mencit - Spuit 1ml- Stopwatch - Alat suntik 1ml - Beaker glass 25ml - Erlenmeyer 10ml 5.1.2. Bahan - Mencit 5 ekor - Aquadest - Luminal Na konsentrasi 0,7% 5.2 Prosedur Percobaan 1. Penandaan Hewan - dipegang ujung ekor mencit dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa dari kandang - ditandai ekor mencit dengan spidol permanent

- diletakkan di atas timbangan elektrik - dicatat berat mencit 2. Persiapan Hewan - dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut pada kawat kasa dari kandang - dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri - ditukarkan pegangan ekor dari tangan ke jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat dipegang dengan sempurna - mencit siap untuk disuntik 3. Cara Pemberian Obat a. Intraperitoneal # Percobaan kontrol (dengan pemberian aquadest) -dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala -disuntikkan aquadest pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat -diamati efek yang terjadi # Pemberian Luminal Na 0,7% -dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala -disuntikkan Luminal Na 0,7% pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat -diamati efek obat yang terjadi b.Peroral # Pemberian Luminal Na 0,7% - dipegang tengkuk mencit - diselipkan jarum oral yang telah berisi Luminal Na 0,7% berdekatan dengan langit-langit dan didorong hingga masuk ke esofagus - Larutan didesak keluar dari alat suntik

VI.Perhitungan, Data, Grafik, dan Pembahasan 6.1. Perhitungan Dosis Mencit I berat badan = 22,9 g volume aquadest yang disuntikkan (mL) = 1% x berat badan = 1% x 22,9 gr = 0,229 mL

Mencit II berat badan = 23,8 g dosis Luminal Na = 80 mg/kgBB ( Oral ) konsentrasi = 0,7%

Mencit III berat badan = 24,9 g dosis Luminal Na = 80 mg/kgBB (I.P) konsentrasi = 0,7% Mencit IV berat badan = 23,6 g dosis Luminal Na = 90 mg/kgBB (Oral) konsentrasi = 0,7%

Mencit IV berat badan = 23,4 g dosis Luminal Na = 90 mg/kgBB ( I . P ) konsentrasi = 0,7%

6.2. Data Percobaan Terlampirkan

6.3. Grafik Percobaan Terlampirkan

6.4.Pembahasan Pada mencit kedua dan keempat diberi perlakuan yang sama yaitu oral dengan dosis yang berbeda. Hasil

menunjukkan bahwa mencit keempat memberikan respon yang lebih cepat daripada mencit keempat yang memberikan respon lebih lambat karena dosis mencit keempat lebih besar, yaitu 90mg/kg. Menurut Ian Tanu respon obat yang berbeda itu juga disebabkan karena adanya perbedaan faktor-faktor Farmakodinamik dan juga Farmakokinetik yang terjadi pada setiap individu setelah adanya pemberian obat. Jika dibandingkan antara mencit ketiga dengan kelima, keduanya memberikan respon yang sama cepat. Hal ini di karenakan pada kedua mencit diberikan obat secara intraperitoneal dimana obat langsung disuntikkan ke dalam rongga perut. Penyerapan cepat terjadi karena penyerapan langsung ke pembuluh darah usus yang memiliki luas permukaan besar maka respon dari luminal natrium. Pada menit 10 keduanya telah memberi respon gerak lambat, dan mulai menit 80 mulai tidur. Karena menurut Ian Tanu cara pemberian yang lebih cepat adalah secara intraperitoneal bila dibandingkan dengan secara oral. Hal ini dikarenakan bahwa pemberian obat secara intraperitoneal yakni pemberian injeksi pada bagian abdomen. Dimana pada bagian ini, terdapat banyak pembuluh darah sehingga obat lebih mudah diserap ke dalam sistem peredaran darah. Sedangkan pemberian obat secara oral, obat harus melalui tahap absorpsi yakni di lambung dan di usus. (Tanu, 2005

pemberian obat pada hewan uji


CARA PEMBERIAN vs PROFIL FARMAKOKINETIK OBAT Cara pemberian obat yang berbeda-beda melibatkan proses absorbsi obat yang berbeda-beda pula. Proses absorbsi merupakan dasar yang penting dalam menentukan aktivitas farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorbsi akan mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan. Cara pemberian obat yang paling umum dilakukan adalah pemberian obat per oral, karena mudah, aman, dan murah [1]. Pada pemberian secara oral, sebelum oba masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dahulu harus mengalami absorbsi pada saluran cerna. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorbsi obat pada saluran cerna antara lain: a. Bentuk Sediaan Terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat, yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Dalam bentuk sediaan yang berbeda, maka proses absorpsi obat memerlukan waktu yang berbeda-beda dan jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan. b. Sifat Kimia dan Fisika Obat Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat mempengaruhi kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau polimorfi, kelarutan dalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga mempengaruhi proses absorpsi [2]. Absorpsi lebih mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak. c. Faktor Biologis Antara lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya pembuluh darah pada tempat absorpsi. d. Faktor Lain-lain Antara lain umur, makanan, adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya penyakit tertentu. Pemberian sediaan obat dapat dilakun melaului dua rute utama yaitu: Parenteral : intravena, intraarteri, intramuscular, intraperitonial Nonparenteral : peroral Pemberian secara peroral Oral Gavage. Gavaging digunakan untuk dosis seekor binatang dengan volume tertentu materi langsung ke dalam perut. Hanya khusus, tersedia secara komersial jarum gavage harus digunakan untuk mencoba prosedur ini. Jarum untuk injeksi secara peroral (Oral Gavage) memiliki karakter ujung tumpul (bulat). Hal ini untuk meminimalisir terjadinya luka atau cedera ketika hewan uji akan diberikan sedian uji. Proses pemberian dilakukan dengan teknik seperti Tempatkan ujung atau bola dari jarum ke mulut binatang. Secara perlahan geser melewati ujung belakang lidah. Pastikan bahwa oral gavage tidak masuk ke dalam tenggorokan karena akan berdampak buruk. Hal ini dapat diketahui bila dari hidung hewan uji keluar cairan seperti yang kita berikan menunjukkan adanya kesalahan dalam proses pemberian.

Kerugian pemberian per oral adalah banyak faktor dapat mempengaruhi bioavaibilitas obat. Karena ada obat-obat yang tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus dan atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut (metabolisme atau eliminasi lintas pertama). Eliminasi lintas pertama obat dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral, sublingual, rektal, atau memberikannya bersama makanan. Selain itu, kerugian pemberian melalui oral yang lain adalah ada obat yang dapat mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita, dan tidak bisa dilakukan saat pasien koma. Pemberian obat secara parenteral memiliki beberapa keuntungan, yaitu: (1) efeknya timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian per oral; (2) dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar, atau muntah-muntah; dan (3) sangat berguna dalam keadaan darurat. Kerugiannya antara lain dibutuhkan cara asepsis, menyebabkan rasa nyeri, sulit dilakukan oleh pasien sendiri, dan kurang ekonomis.

Pemberian intravena (IV) tidak mengalami absorpsi tetapi langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik, sehingga kadar obat dalam darah diperoleh secara capat, tepat, dan dapat disesuaikan langsung dengan respon penderita. Kerugiannya adalah mudah tercapai efek toksik karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan jaringan, dan obat tidak dapat ditarik kembali. Hangatkan hewan uji di bawah lampu panas atau alat pemanas lainnya, pastikan untuk tidak terlalu panas pada binatang. Suhu tidak boleh melebihi 85-90 Fahrenheit pada tingkat binatang. Lepaskan hewan uji dari sumber panas harus segera setiap perubahan dalam tingkat respirasi atau air liur berlebihan dapat diamati. Alat pemanas lainnya, seperti handwarmers sekali pakai, dapat digunakan sebagai pengganti lampu yang panas. Prep ekor dengan 70% etanol. Memulai usaha suntikan di tengah atau sedikit bagian distal ekor. Dengan ekor ketegangan di bawah, masukkan jarum, bevel up, kira-kira sejajar dengan vena dan masukkan jarum minimal 3 mm ke dalam pembuluh darah. Dalam proses penyuntikan jangan sekali-kali memasukkan udara karean akan menyebabakan vena rusak atau tidak stabil. Menyuntikkan materi yang lambat, gerakan fluida. Anda harus dapat melihat vena jarum pucat jika diposisikan dengan benar. Jika ada pembengkakan di tempat suntikan atau injeksi terjadi perlawanan, keluarkan jarum dan Masukkan kembali itu sedikit di atas awal injeksi. Pemberian secara injeksi intravena menghasilkan efek yang tercepat, karena obat langsung masuk ke dalam sirkulasi. Efek lebih lambat diperoleh dengan injeksi intramuskular, dan lebih lambat lagi dengan injeksi subkutan karena obat harus melintasi banyak membran sel sebelum tiba dalam peredaran darah.

Injeksi subkutan (SC) atau pemberian obat melalui bawah kulit, hanya boleh digunakan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi jaringan. Absorpsinya biasanya terjadi secara lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama. Metode injeksi menggunakan dua jari yaitu ibu jari dan jari telunjuk memegang tengkuk (kulit). Bersihkan area kulit yang mau disuntik dengan alkohol 70 %. Masukkan jarum suntik secara paralel dari arah depan menembus kulit.

Injeksi intramuskular (IM) atau suntikkan melalui otot, kecepatan dan kelengkapan absorpsinya dipengaruhi oleh kelarutan obat dalam air. Absorpsi lebih cepat terjadi di deltoid atau vastus lateralis daripada di gluteus maksimus. Pemberian obat seperti ini memungkinkan obat akan dilepaskan secara berkala dalam bentuk depot obat.

Injeksi intraperitoneal atau injeksi pada rongga perut tidak dilakukan untuk manusia karena ada bahaya infeksi dan adesi yang

terlalu besar. Proses injeksi dilaku kan dengan teknik menahan tikus pada tengkuk. Mengekspos sisi ventral hewan, memiringkan kepala ke bawah pada sudut kecil. Preparasi situs dengan 70% etanol. Jarum yang steril harus ditempatkan, bevel atas, di bawah kuadran kanan atau kiri dari perut binatang. Masukkan jarum pada 30 sudut. Perbaandingan rute pemberian terhadap profil farmakokinetik (absorbsi) dapat dilihat dalam grafik dibawah ini.

Refference Anonim, 2008, Injection, http://www.theodra.com/rodent_laboratory/injections.htm, akses Desember 2009. Chester, 1998, Injection, http://www.answers.com/topic/injection, akses Desember 2009 Shika, L, 2009, Pengaruh cara pemberian,http://liew267.wordpress.com, akses tgl Desember 2009.

Rute Pemberian Obat


I. II. Tujuan Mengenal teknik-teknik pemberian obat melalui berbagai pemberian obat. Menyadari berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efeknya. Dapat menyatakan beberapa konsekwensi praktis dari pengaruh rute pemberian obat terhaadap pengaruhnya. Mengenal manifestasi berbagai obat yang diberikan. Landasan Teori

a.

b.

Selain pemberian topikal untuk mendapatkan efek lokal pada kulit atau membran mukosa, penggunaan suatu obat hampir selalu melibatkan transfer obat ke dalam aliran darah. Tetapi, meskipun tempat kerja obat tersebut berbeda-beda, namun bisa saja terjadi absorpsi ke dalam aliran darah dan dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Absorpsi ke dalam darah dipengaruhi secara bermakna oleh cara pemberian (Katzung, 1986). Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai adalah sebagai berikut: Cara/bentuk sediaan parenteral Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset of action cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek) (Joenoes, 2002). Intravena (i.v), yaitu disuntikkan ke dalam pembuluh darah. Larutan dalam volume kecil (di bawah 5 ml) sebaiknya isotonis dan isohidris, sedangkan volume besar (infuse) harus isotonis dan isohidris. -Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset of action segera. - Obat bekerja paling efisien, bioavilabilitas 100% - Obat harus berada dalam larutan air, bila emulsi lemak partikel minyak tidak boleh lebih besar dari ukuran partikel eritrosit, sediaan suspensi tidak banyak terpengaruh. - Larutan hipertonis disuntikkan secara lambat, sehingga sel-sel darah tidak banyak berpengaruh. - Zat aktif tidak boleh merangsang pembuluh darah, sehingga menyebabkan hemolisa seperti saponin, nitrit, dan nitrobenzol. - Sediaan yang diberikan umumnya sediaan sejati. - Adanya partikel dapat menyebabkan emboli. - Pada pemberian dengan volume 10 ml atau lebih, sekali suntik harus bebas pirogen. Contoh: - injeksi ampicilin 500 mg. 1 gram. - injeksi Sodium Chloride 0,9%ml, 50 ml, 500 ml. Keuntungan rute ini adalah (1) jenis-jenis cairan yang disuntikkan lebih banyak dan bahkan bahan tambahan banyak digunakan IV daripada melalui SC, (2) cairan volume besar dapat disuntikkan relatif lebih cepat; (3) efek sistemik dapat segera dicapai; (4) level darah dari obat yang terus-menerus disiapkan, dan (5) kebangkitan secara langsung untuk membuka vena untuk pemberian obat rutin dan menggunakan dalam situasi darurat disiapkan. Kerugiannya adalah meliputi : (1) gangguan kardiovaskuler dan pulmonar dari peningkatan volume cairan dalam sistem sirkulasi mengikuti pemberian cepat volume cairan dalam jumlah besar; (2) perkembangan potensial trombophlebitis; (3) kemungkinan infeksi lokal atau sistemik dari kontaminasi larutan atau teknik injeksi septik, dan (4) pembatasan cairan berair. Intramuskular (IM) (Onset of action bervariasi, berupa larutan dalam air yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi) (Joenoes, 2002). Intramuskular (i.m), yaitu disuntikkan ke dalam jaringan otot, umumnya di otot pantat atau paha. - Sediaan dalam bentuk larutan lebih cepat diabsorpsi daripada susupensi pembawa air untuk minyak.

- Larutan sebaiknya isotonis. - Onset bervariasi tergantung besar kecilnya partikel. - Sediaan dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi. - Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta mudak terakumulasi, sehingga dapat menimbulkan keracunan. - Volume sediaan umumnya 2 ml sampai 20 ml dapat disuntikkan kedalam otot dada, sedangkan volume yang lebih kecil disuntikkan ke dalam otot-otot lain. - Contohnya: - injeksi Penicilin G 3.000.000 unit - injeksi Serum antitetanus 10.000 atau 20.000 unit c. Subkutan (SC) (Onset of action lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan) (Joenoes, 2002). Subkutan atau di bawah kulit (s.c) yaitu disuntikkan kedalam tubuh melalui bagian yang sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit; volume yang diberikan tidak lebih dari 1 ml. - Larutan sebaiknya isotonis dan isohidris. - Larutan yang sangat menyimpang isotonisnya dapt menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis dan absorpsi zat aktif tidak optimal. - Onset of action obat berupa larutan dalam air lebih cepat dari pada sediaan suspensi. - Determinan kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan tempat terjadinya penyerapan. - Absorpsi obat dapat diperlambat dengan menambahkan Adrenaline (cukup 1:100.000-200.000) yang menyebabkan konsentriksi pembuluh darah local, sehiongga difusi obat tertahan atau diperlambat. contohnya injeksi Lidokaine Adrenaline untuk cabut gigi. - Sebaliknya, absorpi obat dapat dipercepat dengan penambahan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan yang menuyebabkan penyebaran dipercepat. - Bila ada infeksi, maka bahayanya lebih besar dari pada penyuntikkan ke dalam pembuluh darah karena pada pemberian subkutan mikroba menetap di jaringan dan membentuk abses. - Zat aktif bekerja lebih lambat dari pada secar i.v. - Pemberian s.c dalam jumlah besar dikenal dengan nama Hipodermoklise. - Contohnya : - inj Neutral Insulin (HumanMonocomponent) 40 iu/ml. - inj Fondaparinux sodium 2,5 mg/0,5ml prefild syringe Intratekal (berkemampuan untuk mempercepat efek obat setempat pada selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pengobatan infeksi SSP yang akut) (Anonim, 1995). Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim, 1995).
Pemberian obat per oral merupakan pemberian obat paling umum dilakukan karena relatif mudah dan praktis serta murah. Kerugiannya ialah banyak faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya (faktor obat, faktor penderita, interaksi dalam absorpsi di saluran cerna) (Ansel, 1989).

d. e.

Intinya absorpsi dari obat mempunyai sifat-sifat tersendiri. Beberapa diantaranya dapat diabsorpsi dengan baik pada suatu cara penggunaan, sedangkan yang lainnya tidak (Ansel, 1989).

DIAZEPAM Pengkajian Praformulasi Nama bahan aktif : Diazepam Sinonim : Diazepamum Peluang bentuk sediaan : Injeksi, Tablet Sediaan diinginkan : Injeksi Dosis Lazim : untuk sekali Pemakaian 2mg-10mg iv Dosis Maksimum :1. ORGANOLEPTIS Warna : Putih Tidak berwarna Bau : Tak berbau Tak Berbau Rasa : Tidak berasa Bentuk : Hablur Larutan injeksi 2. SIFAT DALAM KELARUTAN Dalam air Larut dalam air Dalam ethanol 95% P Tidak larut Dalam Kloroform Mudah larut Dalam Benzene Tidak larut Dalam Eter Tidak larut Metil alkohol 10 bagian Aseton Larut Ph : 6.2-6.9 Sifat Kimia Rumus Molekul : C16H13ClN2O Rumus Bangun : Berat Molekul : 284,74 Suhu Lebur : 130-134oC OTT :Wadah Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat INDIKASI :Untuk pengobatan jangka pendek pada gejala ansietas. Sebagai terapi tambahan untuk meringankan spasme otot rangka karena inflamasi atau trauma; nipertdnisitairotot (kelaTrian motorik serebral, paraplegia). Digunakan juga untuk meringankan gejala-gejala pada penghentian alkohol akut. Khasiat : sedativum Kontra indikasi : Penderita hipertsensitif, bayi di bawah 6 bulan, wanita hamil dan menyusui, . Efek samping : Efek samping dari diazepam dan benzodiazepine lainya biasanya ringan dan jarang. Mengantuk, berkunang-kunang dan ataksia, kelelahan , erupsi pada kulit, edema, mual dan konstipasi, gejala-gejala ekstra pirimidal, jaundice dan neutropenia, perubahan libido, sakit kepala, amnesia, hipotensi, gangguan visual dan retensi urin, incontinence. III. Alat dan Bahan Alat :

Alat suntik 1 ml Jarum oral Kapas

Wadah Pengamatan

Bahan :

Mencit jantan / betina Alkohol Diazepam 10 mg / kg BB Diazepam 15 mg / kg BB

IV.

Cara Kerja A. Rute Pemberian obat secara oral

B. Rute pemberian obat secara subkutan

C. Rute Pemberian Obat Secara Intravena

D. Rute Pemberi an Obat Secara Intraperi tonial

E. Rute pemberian Obat Secara Intramuscular

V. Hasil Pengamatan Data Hasil Praktikum Hewan percobaan : Mencit Obat yang diberikan : Diazepam Dosis obat : 10 mg/Kg BB Konsentrasi Obat : 5 mg/ml Berat mencit 1 = 0,03 kg Berat mencit 2 = 0,028 kg Berat mencit 3 = 0,029 kg

VAO = (Dosis (mg/Kg) x BB (Kg)) : Konsentrasi(mg/ml) VAO 1 = (10 x 0,03) : 5 = 0, 06 ml VAO 2 = (10 x 0,028) : 5 = 0,056 ml VAO 3 = (10 x 0,029) : 5 = 0,058 ml Berdasarkan Tabel Batas volume maksimum pemberian obat pada hewan percobaan : Batas Volume Maksimum (ml) per ekor untuk cara Hewan pemberian Percobaan IV IP SC Mencit 0,5 1 0,5 Maka mencit yang digunakan untuk pemberian obat secara IP, yaitu mencit 2. mencit yang digunakan untuk pemberian obat secara IV, yaitu mencit 3, sedangkan mencit yang digunakan untuk pemberian obat secara SC, yaitu mencit 1. Data Perbandingan dari Seluruh Kelompok Waktu timbulnya Kelompok Hewan Rute Pemberian Hilangnya Efek Efek 1 IV 10,13 39 1 2 IP 1 86 3 ORAL 5 14 1 IM 2 46 2 2 SC 09 39 3 ORAL 4,20 67 7 15 1 IV 2 31 3 2 IP 5 39 3 SC 1 ORAL 10 20,18 4 2 IP 7,40 20,50 3 IV 09 28,25 1 IM 6 33,14 5 2 SC 7,48 39,30 3 ORAL 17 68 1 IV 40 42 6 2 SC 11 15,44 3 IP 12,39 38 Keterangan : Waktu timbulnya efek dicatat ketika mencit mulai mengalami perubahan yang signifikan dari sebelum diberi obat. Hilangnya efek dicatat ketika mencit berusaha beraktivitas normal kembali.

VI.

Pembahasan

Praktikum kali ini mempalajari tentang rute-rute pemberian obat dan pengaruh cara pemberian obat terhadap absorpsi obat dalam tubuh. Pada dasarnya rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk kedalam tubuh, sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan timbulnya efek yang merugikan. Dalam hal ini, alat uji yang digunakan adalahtubuh hewan (uji in vivo). Mencit dipilih sebagai hewan uji karena proses metabolisme dalam tubuhnya berlangsung cepat sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai objek pengamatan. Pemberian obat pada hewan uji pada percobaan ini dilakukan melalui cara oral, intravena, subkutan, intraperitoneal, dan intramuscular. Dengan cara oral (pemberian obat melalui mulut masuk kesaluran intestinal) digunakan jarum injeksi yang berujung tumpul agar tidak membahayakan bagi hewan uji. Keuntungan pemberian obat dengan cara oral yaitu mudah, ekonomis, tidak perlu steril. Sedangkan kerugiannya rasanya yang tidak enak dapat mengurangi kepatuhan (mual), kemungkinan dapat mengiritasi lambung dan usus, menginduksi mual, dan pasien harus dalam keadaaan sadar. Selain itu obat dapat mengalami metabolisme lintas pertama dan absorpsi dapat terganggu dengan adanya makanan. Kedua, pemberian obat dilakukan dengan cara intravena yaitu dengan menyuntikkan obat pada daerah ekor (terdapat vena lateralis yang mudah dilihat dan dapat membuat obat langsung masuk kepembuluh darah).Keuntungannya obat cepat masuk dan bioavailabilitas 100%, sedangkan kerugiannya perlu prosedur steril, sakit, dapat terjadi iritasi ditempat injeksi, resiko terjadi kadar obat yang tinggi kalau diberikan terlalu cepat. Ketiga, yaitu dengan cara subkutan (cara injeksi obat melalui tengkuk hewan uji tepatnya injeksi dilakukan dibawah kulit). Keuntungannya obat dapat diberikan dalam kondisi sadar atau tidak sadar, sedangkan kerugiannya dalam pemberian obat perlu prosedur steril, sakit, dapat terjadi iritasi lokal ditempat injeksi. Keempat dengan cara intraperitoneal (injeksi yang dilakukan pada rongga perut. Cara ini jarang digunakan karena rentan menyebabkan infeksi). Keuntungan adalah obat yang disuntikkan dalam rongga peritonium akan diabsorpsi cepat, sehingga reaksi obat akan cepat terlihat.Yang kelima atau yang terakhir adalah dengan cara intramuscular yaitu dengan menyuntikkan obat pada daerah yang berotot seperti paha atau lengan atas. Keuntungan pemberian obat dengan cara ini, absorpsi berlangsung dengan cepat, dapat diberikan pada pasien sadar atau tidak sadar, sedangkan kerugiannya dalam pemberiannya perlu prosedur steril, sakit, dapat terjadi iritasi ditempat injeksi. Pada percobaan ini obat yang digunakan adalah Diazepam. Diazepam terutama digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya status epileptikus. Obat ini juga bermanfaat untuk terapi bangkitan parsial sederhana misalnya bangkitan klonik fokal dan hipsaritmia yang refrakter terhadap terapi lazim. Untuk mengatasi bangkitan status epileptikus pada orang dewasa, disuntikan 0,2 mg/kgBB dengan kecepatan 5 mg/menit diazepam IV secara lambat. Dosis maksimal 20-30 mg. Sedangkan pada anak-anak dapat diberikan diazepam IV dengan dosis 0,150,3 mg/kgBB selama 2 menit dan dosis maksimal 5-10 mg. Diazepam dapat mengendalikan 8090% pasien bangkitan rekuren. Pemberian per rektal dengan dosis 0,5 mg atau 1 mg/kgBB diazepam untuk bayi dan anak di bawah 11 tahun dapat menghasilkan kadar 500 g/mL dalam waktu 2-6 menit. Bagi anak yang lebih besar dan orang dewasa pemberian rektal tidak bermanfaat untuk mengatasi kejang akut, karena kadar puncak lambat tercapai dan kadar plasmanya rendah. Sedangkan efeksamping berat dan berbahaya dan menyertai penggunaan diazepam IV ialah obstruksi saluran nafas oleh lidah, akibat relaksasi otot. Disampingini terjadi depresi nafas sampai henti nafas, hipotensi, henti jantung dan kantuk.

Pada percobaan ini, dosis obat yang diberikanadalah 10 mg/kgBB hewan uji (untuk kelompok 1-3) dan 15 mg/kgBB hewan uji (untuk kelompok 4-6). Untuk stock larutan, pada per oral, intravena, intraperitoneal,intramuskular dan subkutan menggunakan larutan dengn konsentrasi 5 mg/ml. Kemudian dihitung jumlah obat yang diberikan kepada hewan uji dengan menggunakan rumus VAO. Pada percobaan ini, kelompok kami menggunakan tiga ekor mencit. Masing-masing mencit diberikan injeksi obat berbeda-beda. Banyaknya volume obat yang akan diinjeksi utuk mencit tergantung dengan berat badan mencit dengan menggunakan rumus VAO. Data yang dihasilkan untuk volume injeksi mencit berdasarkan berat badan, yaitu ; Mencit 1 (Secara Subkutan) Berat badan : 0,03 kg Volume injeksi : 0,06 ml Mencit 2 (Secara Intraperitoneal) Berat badan : 0,028 kg Volume injeksi : 0,056 ml Mencit 3 (Secara Intravena) Berat badan : 0,029 kg Volume injeksi : 0,058 ml Setelah mengetahui volume injeksi yang diberikan, kita mulai menyuntikan obat dengan menggunakan rute-rute yang telah ditentukan, yaitu : Subkutan, Intraperitoneal, dan intravena. Kemudian dihitung waktu timbulnya efek oabat dan habisnya efek yang dari obat yang telah diberikan. Pada percobaan ini kelompok kami menghasilkan data : Rute-rute pemberian Waktu timbulnya efek Waktu habisnya efek obat (menit) (menit) Subkutan 5 39 Intraperitoneal 2 31 Intravena 7 15 Berdasarkan hasil percobaan yang kami lakukan, ternyata pemberian obat dengan cara Intraperitoneal waktu timbulnya efek lebih cepat dibandingkan dengan rute pemberian obat secara subkutan dan intravena. Hal ini dikarenakan obat yang disuntikkan dalam rongga peritonium akan diabsorpsi cepat, sehingga reaksi obat akan cepat terlihat. Berdasarkan hasil pengamatan yang kami lakukan pemberian obat secara intaperitoneal, ketika disuntikan diazepam mecit terlihat langsung terlihat tenang. Setelah dua menit mencit terlihat sangat peka terhadap diazepam, yaitu mencit terlihat tidur, tidak tegak walaupun di beri rangasangan nyeri. Setelah menit ke sebelas mencit terlihat tenang (tidur) tetapi tegak kalau diberi rangsangan nyeri (mencit memberikan efek yang sesuai dengan dugaan). Kemudian, pada menit ke-31 mencit mulai kembali aktif dikarenakan efek dari obat diazepam telah habis. Sedangkan pada rute pemberian obat secara subkutan umumnya absorpsi terjadi secara lambat dan konstant sehingga efeknya bertahan lama. Oleh karena itu waktu yang dihasilkan

ketika menimbulkan efek relatif lebih lama dibandingkan dengan intraperitoneal, karena obat diabsorsi secara lambat dan konstan sehingga efeknya dapat bertahan lama sampai 34 menit sampai efek obatnya habis. Berdasarkan hasil pengamatan pada kelompok kami, pemberian obat secara subkutan, ketika disuntikan diazepam mencit sangat resisten (tidak menimbulkan efek). Setelah 5 menit mencit memberikan efek resisten (tidak tidur tapi mengalami ataksia), setelah menit ke-11 mencit menimbulkan efek sesuai dengan dugaan (tidur tetapi tegak kalau diberi rangsangan nyeri). Kemudian pada menit ke-26 sampai menit ke-38 mencit terlihat lebih tenang dikarenakan efek dari obat diazepam masih ada. Setelah menit ke-39, mencit mulai kembali aktif dikarenakan efek dari obat diazepam telah habis. Sedangkan pada pemberian obat dengan cara intravena, yang menurut literatur reaksi obatnya akan berlangsung dengan cepat. Tapi, pada hasil percobaan yang kami lakukan tidak sesuai. Sedangkan pada pemberian obat secara intravena, kelompok kami memproleh data; waktu yang dibutuhkan saat menimbulkan efek adalah 7 menit, dan pada menit ke 15 efek dari obat diazepam sudah habis. Sebenarya pada menit ke-7 sampai menit ke-14 mencit hanya menimbulkan efek resisten terhadap diazepam hal ini mungkin dikarenakan pada saat penyuntikan obat tidak masuk sehingga hanya sedikit kadar diazepam yang masuk kedalam tubuh mencit. Selain itu pada pemberian obat dengan intravena ini, kami menemukan banyak kesulitan. Terutama pada saat penyuntikan, jarum suntik yang digunakan kemungkinan kurang tajam sedangkan ekor dari mencit sangatlah keras sehingga kemungkinan obat yang disuntikan tidak masuk kedalam pembuluh vena pada ekor mencit. Pada dasarnya diazepam itu digunakan untuk obat untuk obat sedatif, anti kejang/ antiepilepsi, dan untuk obat gangguan kecemasan dan gangguan tidur. Sehingga kita bisa melihat efek dari diazepam pada mencit dengan cara melihat reaksi-reaksi yang di timbulkan pada mencit. Selain itu pada percobaan yang kami lakukan, banyak terjadi kesalahan-kesalahan sehingga efek yang dihasilkan tidak sesuai dengan literatur. Hal ini dikarenakan cara penyuntikan yang salah dan pengambilan volume injeksi obat yang tidak sesuai. Selain itu, disebabkan juga karena kami disini belum begitu mahir dalam melakukan penyuntikan sehingga efek yang dihasilkan tidak sesuai.

Intravena

Tidak mengalami tahap absorpsi. Obat langsung dimasukkan ke pembuluh darah sehingga kadar obat di dalam darah diperoleh dengan cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita.

Kerugiannya : obat yang sudah diberikan tidak dapat ditarik kembali, sehingga efek toksik lebih mudah terjadi. Jika penderitanya alergi terhadap obat, reaksi alergi akan lebih terjadi. Pemberian IV harus dilakukan perlahan-lahan sambil mengawasi respons penderita.

Intramuskular

Kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat yang sukar larut seperti diazepam dan penitoin akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap dan tidak teratur. Obat yang larut dalam air lebih cepat diabsorpsi

Subcutan

Hanya boleh dilakukan untuk obat yang tidak iritatif terhadap jaringan. Absorpsi biasanya berjalan lambat dan konstan, sehingga efeknya bertahan Lebih lama.

Absorpsi menjadi Lebih lambat jika diberikan dalam bentuk padat yang ditanamkan dibawah kulit atau dalam bentuk suspensi. Pemberian obat bersama dengan vasokonstriktor juga dapat memperlambat absorpsinya.

Intraperitoneal Injeksi intraperitoneal atau injeksi IP adalah injeksi suatu zat ke dalam peritoneum (rongga tubuh). IP injeksi lebih sering digunakan untuk hewan dari pada manusia. Hal ini umumnya disukai ketika jumlah besar cairan pengganti darah diperlukan, atau ketika tekanan darah rendah atau masalah lain mencegah penggunaan pembuluh darah yang cocok untuk penyuntikan. Pada hewan, injeksi IP digunakan terutama dalam bidang kedokteran hewan dan pengujian hewan untuk pemberian obat sistemik dan cairan karena kemudahan administrasi parenteral dibandingkan dengan metode lainnya. Pada manusia, metode ini banyak digunakan untuk mengelola obat kemoterapi untuk mengobati kanker, terutama kanker ovarium.Penggunaan khusus ini telah direkomendasikan, kontroversial, sebagai standar perawatan

VII. 1. 2. 3. 4. 5. 6.

7.

8.

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Pada penandaan hewan percobaan dibuat pada ekor dengan garis-garis yang disesuaikan dengan urutan mencit. Semakin tinggi dosis yang diberikan akan memberikan efek yang lebih cepat. Dari hasil praktikum Onset of action dari rute pemberian obat secar IP lebih cepat diperoleh daripada rute pemberian obat secara IV. Dari hasil pengamatan Duration of action dari rute pemberian obat secara IP lebih panjang (lama) dibandingkan rute pemberian obat secara IV. Kesalahan penyuntikan dapat menyebabkan ketidaktepatan dosis yang diberikan kepada hewan uji, sehingga hasil yang diperoleh pun tidak akurat. Hampir semua efek benzodiazepine merupakan hasil kerja golongan ini pada system saraf pusat dengan efek utama: sedasi, hypnosis, pengeurangan tehadap rangsangan emosi/ansietas, relaksasi otot, dan anti konvulsi. Dari data data hasil praktikum kelompok I, II, III, IV, V dan VI didapat kesimpulan bahwa pemberian obat secara Intraperitoneal lebih cepat memberikan efek dibandingkan dengan pemberian obat secara Intravena. Untuk durasinya, hasil pengamatan semua kelompokefek obat yang paling cepat hilang yaitu cara intraperitoneal dan yang efeknya lama yaitu cara intravena.

Saran 1. Lebih berhati-hati dalam penanganan hewan percobaan dan dalam pembacaan skala spuit agar dosis yang diberikan tepat dan tercapai efek yang dikehendaki serta tepatnya sasaran untuk melakukan penyuntikan. 2. Lebih berhati-hati dalam pemberian obat secara interperitonial agar tidak mengalami kerusakan pada abdomen maupun tusukan pada organ-organ dalam yang vital. 3. Dapat digantikan atau digunakan turunan barbiturat lainnya maupun obat golongan sedatifhipnotik lainnya (seperti benzodiazepin) untuk mengetahui perbandingan onset of actiondan duration of action. VIII. Daftar Pustaka Anonim. 2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Depkes RI : Jakarta Anief, Moh. 2000. Ilmu Meracik Obat. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Depkes RI : Jakarta Ansel, Howard.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Universitas Indonesia Press : Jakarta Ernst Mutschler, 1986, Dinamika Obat ; Farmakologi dan Toksikologi (terjemahan), ITB, Bandung http://www.wartamedika.com/2008/02/obat-diazepam-valium.html diakses pada tanggal 30 Maret 2010, pada pukul 16:43 PM http://www.farmasiku.com/index.php?target=products&product_id=29839 diakses pada tanggal 30 Maret 2010, pada pukul 16:43 PM

CARA PENANGANAN HEWAN PERCOBAAN DAN RUTE PEMBERIAN OBAT


I. PENDAHULUAN Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan keselamatan manusia di dunia adalah adanya Deklarasi Helsinki,yang dihasilkan oleh Sidang Kesehatan Dunia ke 16 di Helsinki, Finlandia, pada tahun 1964 (Sulaksono, M.E., 1987). Deklarasi tersebut merupakan rekomendasi kepada penelitian kedokteran, yaitu tentang segi etik penelitian yang melibatkan manusia sebagai obyek penelitian. Disebutkan, perlunya dilakukan percobaan pada hewan sebelum percobaan di bidang biomedis maupun riset lainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia (Sulaksono, M.E., 1987). Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis/ keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, di samping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia (Sulaksono, M.E., 1987). Farmakologi merupakan sifat dari mekanisme kerja obat pada sistem tubuh termasuk menentukan toksisitasnya. Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam memaksimalkan proses absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat menentukan efek biologis suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap), cepat atau lambatnya obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja (duration of action), intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat untuk memberikan respons tertentu (Anonim I., 2008). Obat sebaiknya dapat mencapai reseptor kerja yang diinginkan setelah diberikan melalui rute tertentu yang nyaman dan aman seperti suatu obat yang memungkinan diberikan secara intravena dan diedarkan di dalam darah langsung dengan harapan dapat menimbulkan efek yang relatif lebih cepat dan bermanfaat.Jalur pemakaian obat yang meliputi secara oral, rektal, dan parenteral serta yang lainnya harus ditentukan untuk mencapai efek yang maksimal (Anonim I., 2008). II. TUJUAN PERCOBAAN - Untuk mengetahui bagaimana cara memberi penandaan pada hewan percobaan. - Untuk mengetahui berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang ditimbulkan. - Untuk mengetahui teknik pemberian obat melalui rute intraperitoneal (i.p.) dan secara oral. - Untuk mengetahui pengaruh peningkatan dosis terhadap efek yang ditimbulkan. - Untuk menyatakan onset of action obat berdasarkan rute yang diberikan. - Untuk menyatakan duration of action obat berdasarkan rute yang diberikan.

- Untuk mengetahui efek dari pemberian Luminal Natrium berdasarkan dosis dan rute pemberian terhadap hewan percobaan. III. PRINSIP PERCOBAAN - Penandaan hewan dilakukan dengan cara menandai bagian ekor hewan dengan menggunakan spidol permanen dengan bentuk-bentuk tertentu. - Dengan membandingkan berbagai rute pemberian obat (oral dan intraperitoneal), sehingga dapat diperoleh onset of action, intensitas, dan duration of action dari suatu obat. - Dengan membandingkan peningkatan dosis terhadap efek yang ditimbulkan. IV. TINJAUAN PUSTAKA Ditinjau dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana faktor keturunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang terlihat/karakteristik hewan percobaan, maka ada 4 golongan hewan, yaitu 1). Hewan liar. 2). Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka. 3). Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistim barrier (tertutup). 4). Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistem isolator Sudah barang tentu penggunaan hewan percobaan tersebut di atas disesuaikan dengan macam percobaan biomedis yang akan dilakukan. Semakin meningkat cara pemeliharaan, semakin sempurna pula hasil percobaan yang dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu percobaan dilakukan terhadap hewan percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan percobaan konvensional ilmiah maupun hewan yang bebas kuman (Sulaksonono, M.E., 1987). Jenis-jenis Hewan percobaan: No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Jenis hewan percobaan Mencit (Laboratory mince) Tikus (Laboratory Rat) Golden (Syrian) Haruster Chinese Haruster Marmut Kelinci Mongolian gerbil Forret Tikus kapas (cotton rat) Anjing Kucing Kera ekor panjang (Cynomolgus) Spesies Mus musculus Rattus norvegicus Mescoricetus auratus Cricetulus griseus Cavia porcellus (Cavia cobaya) Oryctolagus cuniculus Meriones unguiculatus Mustela putorius furo Sigmodon hispidus Canis familiaris Fells catus Macaca fascicularis (Macaca irus)

13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.

Barak Lutung/monyet daun Kera rhesus Chimpanzee Kera Sulawesi Babi Ayam Burung dara Katak Salamander

Macaca nemestrina Presbytis ctistata Macaca mulata Pan troglodytes Macaca nigra Sus scrofa domestica Gallus domesticus Columba livia domestica Rana sp. Hynobius sp. Spesies

No Jenis hewan percobaan 23 Lain-lain

Cara memegang hewan (handling) dan penentuan jenis kelamin Masih dalam rangka pengelolaan hewan percobaan secara keseluruhan, cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah ber,eda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya (Sulaksono, M.E., 1992). Identiftikasi (Pemberian tanda pada hewan). Tujuan dari pada pemberian tanda pada hewan adalah disamping untuk mencegah kekeliruan hewan dalam sistim pembiakannya juga untuk mempermudah pengamatan dalam percobaan. Bermacam-macam cara yang dipakai dalam identifikasi tergantung kepada selera dan juga lama tidaknya hewan tersebut terpaki atau dipelihara.(marking, ear punching, too clipping, ear tags, tattocing, coat colors) (Sulaksono, M. E., 1992). Obat dalam tubuh akan mengalami beberapa fase yaitu: - Fase farmasetik - Fase farmakokinetik - Fase farmakodinamik Fase-fase estafet utama dalam aksi obat dalam tubuh dapat dilihat: Dosis Disintegrasi bentuk dosis Disolusi Substansi Aktif

I. Fase Farmasetik

Optimasi ketersediaan farmasetik Absorpsi Distribusi Biotransformasi Ekskresi

II. Fase Farmakokinetik

Optimasi ketersediaan biologik Interaksi obat reseptor dalam jaringan target

III. Fase Farmakodinam ik

Optimasi efek biologik yang dikehendaki Efek (Reksohadiprodjo, M.S., 1994) Rute Penggunaan Obat Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut: a. tujuan terapi mengkehendaki efek lokal atau efek sistemik b. apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama c. stabilitas obat di dalam lambung dan atau usus d. keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute e. rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter f. kemampuan pasien menelan obat melelui oral (Anief, M., 1994). Bentuk sediaan obat yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan efek terapi/obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh

jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedangkan efek lokal adalah efek obat yang hanya berkerja setempat misalnya salep (Anief, M., 1994). Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara: a. oral melalui saluran gastrointestinal atau rektal b. parenteral dengan cara intravena, intramuskular dan subkutan c. inhalasi langsung ke dalam paru-paru Efek lokal dapat diperoleh dengan cara: a. intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan pada mata, hidung, telinga b. intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru c. rektal, uretral, dan vaginal dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran kencing dan kemaluan wanita, obat melelh atau larut pada keringat badan atau larut dalam cairan badan. Rute penggunaan obat dapat dengan cara: a. melalui rute oral b. melalui rute parenteral c. melalui rute inhalasi d. melalui rute membran mukosa seperti mata, hidung, telinga, vagina dan sebagainya e. melalui rute kulit (Anief, M., 1994). Rute penggunaan obat dapat diperlihatkan sebagai berikut: No. 1. Istilah Per oral (per os) Letak masuk dan jalan absorpsi obat Melalui mulut masuk saluram intestinal (lambung), penyerapan obat melalui membran mukosa pada lambung dan usus memberi efek sistemik Dimasukkan di bawah lidah, penyerapan obat mellaui membran mukosa, memberi efek sistemik atau melalui selain jalan lambung dengan merobek beberap jaringan Masuk pembuluh darah balik (vena), memberi efek sistemik Menembus jantung, memberi efek sistemik Menembus kulit, memberi efek sistemik Di bawah kulit, memberi efek sistemik Menembus otot daging, memberi efek sistemik Diteteskan pada lubang hidung, memberi efek lokal

2. 3

Sublingual Parenteral injeksi a. intravena b. intrakardial c. intrakutan d. subkutan e. intramuskular

Intranasal

5 No. 6 7 8 9

Aural Istilah Intrarespiratoral Rektal Vaginal Uretral (Anief, M., 1994).

Diteteskan pada lubang telinga, memberi efek lokal Letak masuk dan jalan absorpsi obat Inhalasi berupa gas masuk paru-paru, memberi efek lokal Dimasukkan ke dalam dubur, memberi efek lokal + sistemik Dimasukkan ke dalam lubang kemaluan wanita, memberi efek lokal Dimasukkan ke dalam saluran kencing, memberi efek lokal

SEDATIVA DAN HIPNOTIKA Hipnotika atau obat tidur (Yun: hypnos= tidur) adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur. Lazimnya, obat ini diberikan pada malam hari. Bilamana zat-zat ini diberikan pada siang hari dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan menenangkan, maka dinamakan sedativa (obatobat pereda). Oleh karena itu, tidak ada perbedaan yang tajam antara kelompok obat sedativa maupun kelompok obat hipnotika (Tjay, T.H., 2002). Hipnotika/ sedativa, seperti juga antipsikotropika (neuroleptika), termasuk ke dalam kelompok psikoleptika yang mencakup obat-obat yang menekan atau menghambat fungsifungsi SSP tertentu (Tjay, T.H., 2002). Sedativa berfungsi untuk menurunkan aktivitas, mengurangi ketegangan, dan menenangkan penggunanya. Keadaan sedasi juga merupakan efek samping dari banyak obat yang khasiat utamanya tidak menekan SSP, misalnya seperti antikolinergika (Tjay, T.H., 2002). Hipnotika menimbulkan rasa kantuk (drowsiness), mempercepat tidur, dan sepanjang malam mempertahankan keadaan tidur yang menyerupai tidur alamiah mengenai sifat-sifat EEG-nya. Selain sifat-sifat ini, secara ideal obat tidur tidak menimbulkan aktivitas sisa pada keesokan harinya (Tjay, T.H., 2002). GOLONGAN BARBITURAT Di samping sebagai sedatif dan hipnotik, golongan barbiturat dapat pula dimanfaatkan sebagai obat antikonvulsi; dan yang biasa digunakan adalah barbiturat kerja lama. (long-acting barbiturates). Di sini dibicarakan khasiat antiepilepsi prototipe barbiturat, fenobarbital, mefobarbital, dan metarbital; serta primidon yang mirip dengan barbiturat (Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).

Sebagai antiepilepsi fenobarbital menekan letupan di fokus epilepsi. Barbiturat menghambat tahap akhir oksidasi mitokondria, sehingga mengurangi pembentukan fosfatase berenergi tinggi. Senyawa fosfat ini perlu untuk sintesis neurotransmiter misalnya Ch, dan untuk repolarisasi membran sel neuron setelah depolarisasi (Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995). FENOBARBITAL Fenobarbital (asam 5,5-fenil-etil barbiturat) merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya, membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital masih merupakan obat antikonvulsi dengan potensi terkuat, tersering digunakan, dan termurah. Dosisefektif relatif rendah. Efek sedatif, dalam hal ini dianggap efek samping, dapat diatasi dengan pemberian amfe-tamin atau stimulan sentral lainnya tanpa menghi-langkan khasiat antikonvulsinya. Kemungkinan intoksikasi kecil; kadang-kadang hanya timbul ruam skarlatiniform pada kulit (2%). Efek toksik yang berat pada penggunaan sebagai antiepilepsi belum pernah dilaporkan. Fenobarbital adalah obat terpilih untuk memulai terapi epilepsi grand mal. Karena efek toksik berbeda dengan obat antikonvulsi lainnya, khususnya dengan fenitoin, penggunaan fenobarbital sering dikombinasikan dengan obat-obat tersebut (Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995). Indikasi penggunaan fenobarbital ialah terhadap grand mal atau berbagai serangan kortikal lainnya; juga terhadap status epileptikus serta konvulsi fe-bril. Sekalipun khasiatnya terbatas, karena sifat antikonvulsi berspektrum lebar dan aman, fenobarbital sering cocok untuk terapi awal serangan absence, spasme mioklonik, dan epilepsi akinetik; apalagi mengingat kemungkinan komplikasi serangan tonik-klonik umum (grand mal) pada ketiga je-nis epilepsi tersebut. Terhadap epilepsi psikomotor manfaatnya terbatas dan penterapan hams berhati-hati, oleh karena ada kemungkinan terjadinya eksaserbasi petit mal. Hal ini terutama hams di-ingat oleh mereka yang menggunakan fenobarbital sebagai obat terpilih pada setiapkelainan dengan konvulsi (umpamanya pada bidang kesehatan anak) (Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995). Dosis yang biasa digunakan pada orang dewasa adalah dua kali 100 mg sehari. Untuk mengendali-kan epilepsi disarankan mendapatkan kadar plasma optimal, berkisar antara 10 sampai 30 meg/ml. Kadar plasma di atas 40 meg/ml sering disertai gejala toksik yang nyata. Penghentian pemberian fenobarbital harus secara bertahap guna mencegah kemungkinan meningkatnya frekuensi serangan kembali, atau malahan serangan status epileptikus (Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995). MEFOBARBITAL Mefobarbital (asam 3-metil-5.5-feniletil barbiturat), efek sedatifnya lebih lemah daripada fenobarbital; demikian pula khasiat antikonvulsinya. Tetapi mefobarbital tetap efektif terhadap grand

mal. Sifat-sifatnya dan efektivitasnya sama dengan fenobarbital karena terjadi N-demetilasi di hati. Khasiat mefobarbital terhadap petit mal jelas me-lebihi fenobarbital, akan tetapi kurang bila diban-dingkan dengan obat yang selektif terhadap petit mal. Dosis yang biasa diberikan pada orang dewasa adalah 400-600 mg sehari dalam dosis terbagi (Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995). METARBITAL Metarbital diperoleh dengan metilasi-N3 pada barbital dan menjadi asam 3-metil-5,5-dietilbarbiturat. Senyawa ini merupakan jenis barbiturat dengan masa kerjanya paling lama. Metarbital tidak memiliki gugus fenil (yang memberikan si-fat antikonvulsi); tetapi dalam kombinasi ataupun sebagai obat tunggal berguna terhadap grand mal yang sudah refrakter terhadap pengobatan lazim; juga terhadap epilepsi mioklonik dan petit mal. Khusus terhadap spasme mioklonik pada anak kecil (infant) metarbital paling baik khasiatnyajdan pada kelainan dengan konvulsi akibat kerusakan pada otak, metarbital juga sangat berguna (Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995). Efek samping berupa kantuk, pusing, gelisah, gangguan lambung, dan ruam kulit. Dosis awal dewasa adalah 100-300 mg sehari diberikan terbagi 2-3 kali sehari dan dapat dinaik-kan menjadi 800 mg sehari. Untuk anak 5-15 mg/ kg berat badan sehari, diberikan terbagi.(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995) Obat hipnotik dapat menimbulkan rasa mengantuk dan memperlama keadaaan tidur. Efek hipnotik lebih bersifat depresan terhadap susunan saraf pusat daripada sedasi dan obat ini dapat diperoleh secara mudah pada kebanyakan obat-obat sedatif dengan jalan meningkatkan dosis (Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995). Derajat dosis yang tergantung pada depresi fungsi susunan saraf pusat adalah karakteristik untuk obat-obat hipnotif sedatif. Walaupun begitu, pada masing-masing obat, terdapat perbedaan dalam hubungan antara dosis dan tingkat depresi susunan saraf pusat. Dua contoh dari hubungan dosisrespon diperlihatkan pada Gambar 21-1. Slope yang linier dari obat A adalah khas dari kebanyakan obat sedativa-hipnotika yang lebih tua, termasuk barbiturat dan alkohol. Pada obatobat tersebut, peningkatan dosis diatas yang diperlukan untuk hipnotis dapat menimbulkan suatu keadaan anestesi umum. Dengan dosis yang lebih tinggi lagi, hipnotik-sedatif dapat menekan pusat pernapasan dan pusat vasomotor di medula, menimbulkan koma dan kematian. Deviasi dari hubungan linier dosis-respon seperti terlihat pada obat B, akan memerlukan proporsi yang lebih besar dalam peningkatan dosis untuk mendapatkan depresi susunan saraf pusat yang lebih dalam daripada hipnosis. Hal ini menunjukkan/ ditunjukkan oleh kebanyakan obat dari golongan benzodiazepin, dan batas keamanaan yang lebih besar merupakan penawaran yang penting dalam penggunaan klinik yang luas untuk mengobati keadaan ansietas dan gangguan tidur.

Koma Obat A E F Anestesi Obat B E K Hipnosis S S P Sedasi Kenaikan Dosis (Katzung, B.G., 1998) VI. METODE PERCOBAAN 5.1. Alat dan Bahan 5.1.1. Alat - oral sonde mencit - spidol permanent - spuit 1 ml - beaker glass 25 ml - erlenmeyer 10 ml - labu tentukur 100ml - jam tangan - timbangan elektrik

5.1.2. Bahan - mencit 5 ekor - akuadest - luminal Na konsentrasi 0,7% 5.2. Prosedur Percobaan 1. Penandaan Hewan - dipegang ujung ekor mencit dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa kandang - ditandai ekor mencit dengan spidol permanent - diletakkan di atas timbangan elektrik, kemudian catat beratnya 2. Persiapan Hewan - dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut pada kawat kasa kandang - dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri - ditukarkan pegangan ekor dari tangan ke jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat dipegang dengan sempurna - mencit siap untuk disuntik 3. Cara Pemberian Obat a. Intraperitoneal Percobaan kontrol (dengan pemberian aquadest) - dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala - disuntikkan aquadest pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat - diamati efek yang terjadi Pemberian Luminal Na 0,7% - dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala - disuntikkan Luminal Na 0,7% pada bagian bawah tengah abdomen perlahan-lahan - diamati efek obat yang terjadi b. Peroral Pemberian Luminal Na 0,7% - dipegang tengkuk mencit - diselipkan jarum oral yang telah berisi Luminal Na 0,7% berdekatan dengan langitlangit dan didorong hingga masuk ke esofagus - Larutan didesak keluar dari alat suntik

5.3 . Flow Sheet Mencit


1. Penandaan Hewan

Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa dari kandang Ditandai ekornya dengan spidol permanent Diangkat ke atas timbangan elektrik Dicatat beratnya Hasil

2. Persiapan Hewan

Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa di kandang Dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri Ditukarkan pegangan ekor dari tangan kanan ke jari kelingkng kiri supaya mencit dapat dipegang dengan sempurna

3. Cara Pemberian Obat a. Per Oral Hasil Mencit

Ditandai dan ditimbang mencit Dihitung dosis, dimasukkan obat ke oral sonde Dipegang tengkuk mencit Diselipkan jarum oral yang telah berisi obat berdekatan dengan langit-langit dan dorong hingga masuk ke esofagus Didesak larutan obat keluar dari alat suntik Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit Dibuat grafik respon terhadap waktu Hasil b. Intraperitoneal Mencit

Ditandai dan ditimbang mencit Dihitung dosis, dimasukkan obat ke spuit Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang (bukan tenggorokan) sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala Disuntikkan larutan obat pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit Dibuat grafik respon terhadap waktu Hasil VI. PERHITUNGAN DATA, GRAFIK DAN PEMBAHASAN 6.1. Perhitungan Dosis Dosis mencit I Berat mencit 25,6gr Dosis : Kontrol aquadest dosis 1 % / BB (i.p) Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml) Jumlah larutan obat yang disuntikkan : = 1 / 100 x 25,6gr = 0,256ml Jumlah skala yang diberikan dalam syringe :

Dosis mencit II

Berat mencit : 26,1 gr Dosis : Luminal-Na 0,7 %, 80 mg / kg BB (oral) Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml) Jumlah obat yang diberikan :

Konsentrasi obat 0,7 % = 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml Jumlah larutan obat yang disuntikkan Jumlah skala yang diberikan dalam syringe Dosis mencit III Berat mencit : 29,8 gr Dosis : Luminal-Na 0,7%, 90 mg / kg BB (oral) Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml) Jumlah obat yang diberikan : = Konsentrasi obat 0,7 % = 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml Jumlah larutan obat yang disuntikkan

Jumlah skala yang diberikan dalam syringe Dosis mencit IV Berat mencit : 25,0 gr Dosis : Luminal-Na 0,7 %, 80 mg / kg BB (i.p) Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml) Jumlah obat yang diberikan : = Konsentrasi obat 0,7 % = 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml Jumlah larutan obat yang disuntikkan

Jumlah skala yang diberikan dalam syringe Dosis mencit V Berat mencit : 24,7 gr Dosis : Luminal-Na 0,7%, 90 mg / kg BB (i.p) Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml) Jumlah obat yang diberikan : = Konsentrasi obat 0,7 % = 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml Jumlah larutan obat yang disuntikkan

Jumlah skala yang diberikan dalam syringe 6.2 . Da ta Pe rco ba an Ket era No 1. 2. 3. 4. Perlakuan 10 Kontrol secara i.p (aquadest) 1.1 1.1 20 1.2 1.1 1.3 1.1 1.3 30 1.1 1.1 1.3 1.3 1.3 40 1.1 1.1 1.3 1.3 Waktu 50 1.1 60 1.1 1.3 1.3 1.3 1.4 70 1.1 1.3 1.3 1.3 1.4 80 1.2 1.3 1.3 1.3 1.4 90 1.2 1.3 1.3 1.3 1.4

Luminal dosis 80 mg/Kg BB secara oral Luminal dosis 80 mg/Kg BB secara i.p Luminal dosis 90

1.3 1.3 1.3 1.4

1.2 1.1

nga mg/Kg BB secara oral n: 5. Luminal dosis 90 1.1 mg/Kg BB i.p No rmal 1.2 Garuk-Garuk (reaktif) 1.3 Gerak lambat

1.1

1.4

1.4 Tidur i.p = intraperitoneal 6.3. Grafik Percobaan Terlampir 6.4. Pembahasan Berdasarkan hasil percobaan diperoleh bahwa peningkatan dosis yaitu dari 80mg/KgBB menjadi 90mg/KgBB dengan rute pemberian yang sama yaitu Mencit II (Luminal Na 0,7% dosis 80mg/KgBB secara oral) dengan Mencit IV ((Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara oral) dan antara Mencit III ((Luminal Na 0,7% dosis 80mg/KgBB secara i.p.) dengan Mencit V (Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara i.p.) akan memberikan efek luminal Na (tidur) lebih cepat. Sementara Mencit I I (kontrol (aquadest) secara i.p. 1% BB ) tidak menunjukkan efek mengantuk (walaupun pada menit ke-20, menit ke-80 dan menit ke-90 mencit berlaku reaktif). Hal ini mungkin hanya disebabkan oleh perilaku mencit saja. Menurut literatur, derajat dosis yang tergantung pada depresi fungsi susunan saraf pusat adalah karakteristik untuk obat-obat hipnotif sedatif. Pada obat-obat tersebut, peningkatan dosis diatas yang diperlukan untuk hipnotis dapat menimbulkan suatu keadaan anestesi umum. Dengan dosis yang lebih tinggi lagi, hipnotik-sedatif dapat menekan pusat pernapasan dan pusat vasomotor di medula, menimbulkan koma dan kematian (Katzung, B. G., 1998). Berdasarkan percobaan juga diperoleh hasil bahwa pemberian obat secara i.p. menunjukkan onset of action yang lebih cepat bila dibandingkan dengan pemberian obat secara oral. Oleh karena itu, Mencit V (Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara i.p.) menunjukkan onset of action yang paling cepat diantara semua mencit karena pemberiannya secara i.p. dan dosisnya yang tinggi. Menurut literatur, pemberian obar secara oral merupakan cara pemberian obar secara umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Namun kerugiannya ialah banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya. Sedangkan pemberian secara suntikan yaitu pemberian intraperitoneal, memiliki keuntungan karena efek yang timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian secara oral karena tidak mengalami tahap absorpsi maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Namun suntikan i.p. tidak dilakukan pada manusia karena bahaya injeksi dan adesi terlalu besar (Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995). VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan - Pada penandaan hewan percobaan dibuat pada ekor dengan garis-garis yang disesuaikan dengan urutan mencit.

- Cara pemberian secara intraperitonial (i.p.) dengan menyuntikkan tepat pada bagian abdomen mencit dan melaui oral dengan menggunakan oral sonde untuk mempermudah masukknya obat kedalam mulut mencit yang sempit dan langsung ke kerongkongan. - Pada pemberian obat secara oral lebih lama menunjukkan onset of action dibanding secara Intraperitonial, hal ini dikarenakan Intraperitonial tidak mengalami fase absorpsi tapi langsung ke dalam pembuluh darah.Sementara pemberian secara oral, obat akan mengalami absorpsi terlebih dahulu lalu setelah itu masuk ke pembuluh darah dan memberikan efek. - Semakin tinggi dosis yang diberikan akan memberikan efek yang lebih cepat - Onset of action dari rute pemberian obat secar IP lebih cepat diperoleh daripada rute pemberian obat secara oral. - Duration of action dari rute pemberian obat secara IP lebih panjang (lama) dibandingkan rute pemberian obat secara oral. - Dari hasil yang diperoleh diketahui : Mencit I (kontrol [aquadest 1%] secara i.p) pada menit ke 10 sampai 90 normal walaupun pada menit ke-20, 80 dan 90 menunjukkan gerakan reaktif Mencit II (Luminal Na 0,7%, 80 mg/Kg BB secara oral) pada menit ke 10 sampai menit ke-40 normal diteruskan dengan gerakan lambat pada menit ke-50 sampai 90. Mencit III (Luminal Na 0,7 %, 80 mg/Kg BB secara i.p) pada menit ke-10 langsung reaktif kemudian menunjukkan gerakan lambat dari menit ke-20 sampai menit ke-90. Mencit IV (Luminal Na 0,7 %, 90 mg/Kg BB secara oral) pada menit ke-10 dan 20 menunjukkan gerakan normal lalu diikuti gerakan lambat pada menit ke-30 sampai 90 (efeknya lebih cepat dibandingkan dengan mencit II karena dosis ditingkatkan) Mencit V (Luminal Na 0,7 %, 90 mg/Kg BB secara i.p.) pada menit ke-10 normal dan pada menit ke-20 sampai menit ke-30 gerakan lambat dan mulai tidur pada menit ke-40 sampai menit ke-90 (efeknya lebih cepat bila dibandingkan dengan mencit III karena dosis ditingkatkan). 7.2 Saran Lebih berhati-hati dalam penanganan hewan percobaan dan dalam pembacaan skala spuit agar dosis yang diberikan tepat dan tercapai efek yang dikehendaki. Lebih berhati-hati dalam pemberian obat secara interperitonial agar tidak mengalami kerusakan pada abdomen maupun tusukan pada organ-organ dalam yang vital. Dapat digantikan atau digunakan turunan barbiturat lainnya maupun obat golongan sedatif-hipnotik lainnya (seperti benzodiazepin) untuk mengetahui perbandingan onset of action dan duration of action. DAFTAR PUSTAKA

Anief, M., 1994. Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 42-43. Anonim I, 2008.Farmakologi-1. http://71mm0.files.wordpress.com/2008/05/farmakologi-1.doc Katzung, B.G., 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 351. Reksohadiprodjo, M.S., 1994. Pusat Penelitian Obat Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 3. Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995. Pengantar FarmakologiDalam Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Editor: Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 3-5. Sulaksono, M.E., 1987. Peranan, Pengelolaan dan Pengembangan Hewan Percobaan. Jakarta.http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.pd f/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.html Sulaksono, M.E., 1992. Faktor Keturunan dan Lingkungan Menentukan Karakteristik Hewan Percobaan dan Hasil Suatu Percobaan Biomedis. Jakarta. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_FaktorKeturunandanLingkungan.pdf/15_Faktor KeturunandanLingkungan.html Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2002.Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Kelima. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Hal. 357. Utama, H dan Vincent H.S.Gan,1995. Antikonvulsi DalamFarmakologi dan Terapi. Edisi IV. Editor: Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 168-169.

You might also like