You are on page 1of 37

Hiperkalsemia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa

Hiperkalsemia adalah simtoma tingginya kadar kalsium di dalam plasma darah. Dalam kondisi kronis, keadaan ini merupakan indikasi berlangsungnya penyakit. Gejala klinis hiperkalsemia antara lain, otot yang lemah dan hipotonik, turunnya refleks otot, konstipasi, detak jantung melambat, sedangkan gejala paraklinis antara lain nefrokalsinosis. [1] dan hipoalbuminemia.[2]

Hipokalsemia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa

Hipokalsemia adalah simtoma rendahnya kadar kalsium di dalam plasma darah. Gejala klinis antara lain berupa kram otot.[1] Hipokalsemia umumnya merupakan simtoma yang ditimbulkan oleh hipoparatiroidisme.[2]

Hiperkalsemia, Hipokalsemia dan Osteomalasia


8:30 PM Posted by Irga Konsentrasi kalsium serum, dalam keadaan normal berkisar antara 8,5-10,5 mg/dl (2,1-2,5 mMol). Sekitar 50% kalsium serum berada dalam keadaan terikat dengan protein, terutama albumin, dan sebagian kecil berada dalam bentuk garam kompleks. Sisanya, merupakan ion kalsium yang bebas yang merupakan bentuk kalsium yang aktif untuk metabolisme. Kadar kalsium total serum, sangat dipengaruhi oleh kadar albumin serum. Pada keadaan hipoalbuminemia, kadar kalsium serum total juga akan turun, sehingga diperlukan perhitungan koreksi pada keadaan hipoalbuminemia untuk memperkirakan kadar kalsium total yang sesungguhnya. Cara yang sedarhana adalah dengan menambahkan 0,8 mg/dl kadar kalsium untuk setiap 1 g/dl albumin bila konsentrasi albumin serum < 4 mg/dl. Misalnya didapatkan kadar kalsium total 10,5 mg/dl pada albumin serum 2 g/dl, maka kadar kalsium serum setelah koreksi adalah 10,5 + (2x0,8) = 12,1 mg/dl. Perubahan pH darah juga akan mempengaruhi kadar kalsium serum, tetapi bukan kalsium total, melainkan kadar ion kalsium. Dalam keadaan asidosis kadar ion kalsium akan meningkat, karena banyak kalsium yang dilepas oleh albumin pengikatnya, sebaliknya pada keadaan alkalosis kadar ion kalsium akan

menurun. Kadar kalsium didalam serum dipengaruhi oleh keseimbangan antara fluks kalsium ke cairan ekstraseluler dari saluran cerna, tulang dan ginjal; serta fluks kalsium keluar dari cairan ekstraseluler kedalam tulang dan keluar melalui urin. HIPERKALSEMIA . Peningkatan absorpsi kalsium di saluran cerna sebagai penyebab hiperkalsemia biasanya lebih jarang; penyebabnya adalah peningkatan kadar vitamin D serum, baik akibat intoksikasi maupun pada limfoma., TNF, limfotoksin dam TGF-, IL-1Hiperkalsemia terjadi bila pemasukan kalsium kedalam darah lebih besar daripada pengeluarannya. Penyebab hiperkalsemia yang tersering adalah resorpsi tulang osteoklastik dan penyerapan kalsium di saluran cerna yang berlebihan. Resorpsi tulang oleh osteoklas dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya Hormon Paratiroid (PTH), PTH-related protein (PTHrP) dan 1,25-dihidroksi vitamin D [1,25(OH2D]. Beberapa sitokin juga dapat meningkatkan resorpsi tulang oleh osteoklas, seperti IL-1 Pada umumnya, hiperkalsemia akan selalu diikuti dengan hiperkalsiuria. Walaupun demikian, beberapa keadaan yang menyebabkan gangguan ekskresi kalsium lewat urin juga adapat menyebabkan hiperkalsemia, atau memperberat hiperkalsewmia yang sudah ada. Beberapa faktor yang mengganggu reabsorpsi kalsium di tubulus distal ginjal antara lain adalah PTH, PTHrP, ADH dan dehidrasi. Gambaran klinik Gambaran klinik hiperkalsemia biasanya tergantung pada penyakit primernya. Bisanya gambaran klinik yang nyata timbul bila kadar kalsium serum mencapai 14 mg/dl. Gangguan gastrointestinal, seperti mual dan muntah merupakan gejala yang sering didapoatkan. Pada hiperkalsemia akibat hiperparatiroidisme primer, kadang-kadang didapatkan ulkus peptikum dan pankreatitis. Kadang-kadang juga didapatkan poliuria akibat gangguan mengkonsentrasikan urin di tubulus distal. Sehingga rehidrasi yang adekuat sangat perlu untuk mencegah dehidrasi yang berat. Hiperkalsemia akan meningkatkan repolarisasi jantung sehingga akan memperpendek interval QT. Pada penderita yang mendapat terapi digitalis, keadaan hiperkalsemia harus dicegah karena akan meningkatkan sensitifitas terhadp obat tersebut. Penatalaksanaan umum Penatalaksanaan hiperkalsemia tergantung pada kadar kalsium darah dan ada tidaknya gejalan klinik akibat hiperkalsemia. Pada kadar kalsium < 12 mg/dl, biasanya tidak diperlukan tindakan terapetik, kecuali bila ada gejala klinik hiperkalsemia. Pada kadar kalsium 12-14 mg/dl, terapi agresif harus diberikan bila terdapat gejala klinik hiperkalsemia. Pada kadar > 14 mg/dl, terapi harus diberikan walaupun tidak ada gejalan klinik. Selain itu mengatasi penyakit

primernya juga harus diperhatikan Hidrasi dengan NaCl 0,9% per-infus 3-4 liter dalam 24 jam merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan pada keadaan hiperkalsemia. Tindakan ini kadang-kadang dapat menurunkan kadar kalsium serum sampai 1-3 mg/dl. Hidrasi dengan NaCl 0,9% akan meningkatkan ekskresi kalsium dengan jalan meningkatkan filtrasi glomerulus dan mernurunkan reabsorbsi kalsium di tubuluh proksimal dan distal. Setelah hidrasi tercapai, tetapi kadar kalsium serum masih tinggi, dapat diberikan dosis kecil loop diuretics, misalnya furosemid 20-40 mg atau asam etakrinat. Diuretik tidak boleh diberikan sebelum keadaan hidrasi tercapai, karena akan memperberat dehidrasi dan hiperkalsemia. Loop diuretics akan bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi kalsium dan natrium di ansa Henle. Diuretik tiazid merupakan kontra-indikasi dalam penatalaksanaan hiperkalsemia karena akan menurunkan ekskresi kalsium lewat ginjal. Pada keadaan hiperkalsemia yang berat, kadang-kadang diperlukan tindakan dialisis dengan menggunakan cairan dializat yanbg rendak kalsium atau bebas kalsium. Setelah keadaan klinik memungkinkan, penderita harus dimotivasi untuk mobilisasi segera untuk mencegah keseimbangan kalsium yang negatif. Beberapa obat juga dapat diberikan pada penatalaksanaan hiperkalsemia, tetapi hidrasi harus diberikan terlebih dahulu sebelum memikirkan penggunaan obatobatan. Pamidronat merupakan salah satu bisfosfonat yang dapat diberikan untuk mengatasi hiperkalsemia karena obat ini akan menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas. Obat ini dapat diberikan secara per-infus dengan dosis 60-90 mg dalam waktu 4-6 jam. Efek samping obat ini adalah demam, mialgia dan kadangkadang hipertensi. Selain itu obat ini juga dapat mengakibatkan hipokalsemia, sehingga selama pemberian harus diawasi dengan ketat. g/kgBB, diberikan per-infus dalam waktu 4-6 jam. Efek hipokalsemia akan mulai terlihat setelah 12 jam pemberian dan mencapai puncaknya dalam waktu 48-72 jam. Pada umunmya dosis tunggal plikamisin sudah mencukupi untuk mencapai keadaan normokalsemia, tetapi bila diperlukan, pemberian dapat diulang setelah 48-72 jam kemudian. Plikamisin sangat toksik terhadap sumsum tulang, hepar dan ginjal sehingga saat ini penggunannya telah digantikan oleh bisfosfonat yang lebih kurang toksik.Plikamisin (dahulu disebut mitramisin), merupakan sitotoksik yang dapat menghambat sintesis RNA didalam osteoklas sehingga akan menghambat resorpsi tulang. Dosis obat ini adalah 15-25 Kalsitonin merupakan hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel parafolikular C kelenjar tiroid dan mempunyai efek menghambat kerja osteoklas dan meningkatkan ekskresi kalsium oleh ginjal. Obat ini bekerja sangat cepat dan dapat menurunkan kadar kalsiu dalam waktu 2-6 jam setelah pemberian. Dosisnya adalah 4-8 IU/kgBB yang diberikan secara intra-muskular atau subkutan setiap 6-8 jam. Sayangnya efek hipokalsemiknya tidak dapat dijaga terus walaupun pemberiannya dilanjutkan, Biasanya kadar kalsium akan turun 2 mg/dl dan akan naik lagi setelah 24 jam walaupun pemberian kalsitonin dilanjutkan. Kombinasi kalsitonin dengan bisfosfonat akan memberikan efek

yang lebih cepat dan lebih besar dibandingkan dengan pemakaiannya secara tunggal. Pada hiperkalsemia akibat intoksikasi vitamin D atau akibat penyakit-penyakit granulomatosa dan keganasan hematologik (limfoma dan mieloma multipel), glukokortikoid dapat dipertimbangkan pemberiannya. Biasanya diberikan hidrokortison intravena 200-300 mg/hari selama 3-5 hari. HIPERPARATIROIDISME PRIMER Hiperparatiroidisme primer merupakan salah satu dari 2 penyebab tersering hiperkalsemia; penyebab yang lain adalah keganasan. Kelainan ini dapat terjadi pada semua usia tetapi yang tersering adalah pada dekade ke-6 dan wanita lebih serinbg 3 kali dibandingkan laki-laki. Insidensnya mencapai 1:500-1000. Bila timbul pada anak-anak harus dipikirkan kemungkinan endokrinopati genetik seperti neoplasia endokrin multipel tipe I dan II. Hiperparatiroidisme primer, terjadi akibat peningkatan sekresi hormon paratiroid (PTH) yang tersering disebabkan oleh adenoma kelenjar paratiroid yang biasanya bersifat jinak dan soliter, oleh sebab itu, dari 4 kelenjar paratiroid, biasanya hanya 1 kelenjar yang terserang. Penyebab lain yang jarang adalah hiperplasi pada keempat kelenjar paratiroid dan yang sangat jarang adalah karsinoma pada kelenjar paratiroid. Gambaran klinik dan laboratorik Pada umumnya, hipereparatiroidisme primer bersifat asimtomatik. Gambaran klinik yang tersering akan tampak pada tulang dan ginjal. Peningkatan produksi PTH akan menimbulkan keadaan di tulang yang disebut osteitis fibrosa cystica yang ditandai oleh resorpsi subperiosteal pada falang distal, a salt and pepper appearance pada tulang kepala, kista tulang dan tumor coklat pada tulang-tulang ppanjang. Kelainan-kelainan pada tulang ini dapat dilihat dengan membuat foto radiografi konvensional. Pada ginjal, hiperparatiroidisme primer akan ditandai oleh nefrolitiasis, nefrokalsinosis, hiperkalsiuria dan penurunan klirens kreatinin. Kelainan lain yang dapat timbul pada hiperparatiroidisme primer adalah miopati, ulkus peptikum dan pankreatitis keratopati pita, gout dan pseudogout dan kalsifikasi koroner dan ventrikel serta katup jantung. Secara laboratorik akan didapat gambaran hiperkalsemia dengan kadar PTH yang tidak tertekan, dapat normal tinggi atau meningkat. Ekskresi kalsium urin akan menurun sedangkan ekskresi fosfat urin akan meningkat. Kadar 25(OH)D biasanya rendah sedangkan kadar 1,25(OH)2D biasanya meningkat, tetapi peningkatan ini tidak mempunyai nilai diagnostik yang penting. Penatalaksanaan Hiperparatiroidisme primer akan sembuh bila kelenjar paratiroid yang abnormal dibuang. Walaupun demikian, keputusan tindakan bedah tidak mudah karena sebagian besar bersifat asimtomatik. Indikasi pembedahan pada hiperparatiroidisme primer adalah :

1. Kadar kalsium serum > 1 mg/dl diatas batas normal tertinggi, 2. Didapatkan komplikasi hiperparatiroidisme primer, seperti nefrolitiasis, osteotis fibrosa cystica, 3. Episode akut hiperparatiroidisme primer dengan hiperkalsemia yang mengancam jiwa, 4. Hiperkalsiuria yang nyata (> 400 mg/hari) 5. Densitometri tulang pada radius distal yang menurun dengan nilai skore T < -2, 6. Umur dibawah 50 tahun. Bila penderita tidak dapat dilakukan tindakan pembedahan, maka beberapa tindakan medik dapat dilakukan, seperti hidrasi yang adekuat, asupan kalsium yang cukup, pemberian preparat fosfat, terapi estrogen pada wanita pasca menopause, bisfosfonat dan mungkin dimasa yang akan datang dapat diberikan obat-obat kalsimimetik. Pemberian kalsium pada penderita hiperparatiroidisme primer harus mencukupi, tidak boleh terlalu tinggi maupoun terlalu rendah. Asupan kalsium yang terlalu rendah akan merangsang sekresi PTH lebih lanjut. Sindrom Hiperparatiroid Familial Sekitar 10% kasus hiperparatiroid primer, disebabkan oleh kelainan genetik, seperi Neoplasia Endokrin Multipel (MEN) tipe I (Sindrom Wermer), MEN tipe IIA (Sindrom Sipple) dan Sindrom Rahang-Hiperp[aratiroidisme. MEN I pertama kali ditemukan oleh Wermer pada tahun 1954, diturunkan secara otosomal dominan dan ditandai oleh tumor paratiroid, hipofisis anterior dan pankreas. Tumor hipofisis yang tersering adalah prolaktinoma dan kadangkadang menyebabkan akromegali dan Sindrom Cushing akibat sekresi hormon pertumbuhan dan ACTH yang berlebihan. Tumnor pankreas pada MEN I umumnya dalam bentuk islet cell tumours yang sering meningkatkan sekresi gastrin sehingga menimbulkan Sindrom Zollinger-Ellison dan kadang-kadang juga menyebabkan hipersekresi insulin sehingga menimbulkan hipoglikemia puasa. MEN IIA, pertama kali ditemukan oleh Sipple pada tahun 1961, bersifat otosomal dominan dan ditandai oleh karsinoma tiroid meduler (MTC), faeokromositoma bilateral dan hiperplasia paratiroid. MTC merupakan kelainan yang dominan pada MEN IIA dan sering mengakibatkan kematian akibat metastasisnya. Sedangkan hiperparatiroidisme merupakan kelainan yang jarang terdapat pada MEN IIA. Sindrom tumor rahang-hiperparatiroidisme merupakan kelainan yang pertama kali ditemukan oleh Jackson pada tahun 1958, diturunkan secara otosomal dominan dan saat ini sudah diketahui bahwa kelainannya terletak pada kromosom 1q21-q3. Penyakit ini ditandai dengan hiperkalsemia yang berat sejak anak-anak dengan adenoma soliter paratiroid yang besar. Kelainan tulang pada sindrom ini sangat eksklusif hanya menyerang maksila dan mandibula. Familial Hypocalciuric Hypercalcemia (FHH)

FHH merupakan kelainan otosomal dominan yang ditandai oleh hiperkalsemia dan hipokalsiuria relatif. Kelainan ini bersifat asimtomatik. Secara biokimia, kelainan ini ditandai oleh peningkatan kadar kalsium serum, ekskresi kalsium urin yang normal dan kadar PTH dan 1,25(OH)2D yang juga normal. Paratiroidektomi, biasanya hanya memberikan efek normokalsemik yang sementara, walaupun demikian, tetap diindikasikan pada keadaan : 1. Hiperparatiroidisme primer pada neonatus akibat dosis ganda gen FHH, 2. Orang dewasa dengan pankreatitis berulang 3. Anak-anak atau orang dewasa dengan hiperkalsemia menetap > 14 mg/dl. HIPERPARATIROIDISME SEKUNDER DAN TERSIER Secara fisiologik, hormon PTH berfungsi memobilisasi kalsium dan fosfat dari tulang, meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus distal ginjal, menurunkan reabsorpsi fosfat dan meningkatkan produksi 1,25(OH)2D di tubulus proksimal ginjal. Sebaliknya kadar kalsium, fosfat dan 1,25(OH)2D akan mengatur sekresi PTH baik secara langsung maupun tidak langsung. Kalsium mengatur sekresi PTH melalui aktifasi reseptor kalsium (CaR) pada permukaan paratiroid yang menghasilkan peningkatan sekresi PTH pada keadaan hipokalsemia dan penurunan produksi dan sekresi PTH pada peningkatan kalsium intraseluler. Perubahan kadar kalsium serum juga dapat mengatur sintesis PTH pada tingkat seluler yaitu pada transkripsi pre-pro-PTH dan secara langsung mengatur proliferasi sel kelenjar paratiroid. Berbeda dengan kalsium, walaupun 1,25(OH)2D dapat meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat di usus, tetapi tidak dapat secara langsung mengatur produksi PTH. Secara tidak langsung, 1,25(OH)2D dapat menekan transkripsi gen PTH dan pertumbuhan sel melalui reseptor vitamin D (VDR). Hiperparatiroidisme sekunder, merupakan kelainan yang didapat yang timbul akibat hipokalsemia yang lama yang dapat terjadi pada gagal ginjal terminal, defisiensi vitamin D maupun keadaan resisten terhadap vitamin D. Keadaan ini ditandai oleh peningkatan kadar PTH yang tinggi sekali dengan kadar kalsium serum yang normal atau rendah. Keadaan hipokalsemia yang lama akan menyebabkan perubahan pada kelenjar paratiroid menjadi otonom dan berkembang menjadi keadaan sepertri hiperparatiroidisme primer; keadaan ini disebut hiperparatiroidisme tersier. Hiperparatiroidisme tersier harus dibedakan dengan hiperparatiroidfisme sekunder yang refrakter. Pada hiperparatiroidisme sekunder yang refrakter, sekresi PTH tetap tak dapat ditekan walaupun kelainan metaboliknya sudah diperbaiki. Baik pada hiperparatiroidisme tersier maupun hiperparatiroidisme sekunder yang refrakter, kelenjar paratiroid berada dalam keadaan hiperfungsi yang tidak memberikan respons yang baik oleh regulator fisiologik. Perubahanperubahan pada tinbgkat jaringan, seluler dan molekuler diduga berperan pada keadaan ini, seperti peningkatan jumlah sel paratiroid, perubahan mekanisme pada reseptor kalsium di kelenjar paratiroid dan perubahan fungsi VDR. Selain itu, hiperfosfatemi dan resistensi organ target terhadap PTH juga dapat menyebabkan hiperparatiroidisme persisten walaupun telah diberikan terapi

kalsium dan vitamin D. HIPERKALSEMIA PADA KEGANASAN HIPERKALSEMIA HUMORAL PADA KEGANASAN (HUMORAL HYPERCALCEMIA OF MALIGNANCY, HHM) Istilah HHM digunakan untuk mendeskripsikan sindrom klinik yang ditandai oleh hiperkalsemia yangdisebabkan oleh sekresi faktor kalsemik oleh sel kanker. Saat ini istilah HHM dibatasi untuk hiperkalsemia akibat peningkatan produksi Parathyroid Hormon related Protein (PTHrP). Parathyroid-hormone-related protein (PTHrP) pertama kali diketahui sebagai penyebab hiperkalsemia pada keganasan. Protein ini memiliki 8 dari 13 asam amino pertama yang sama dengan PTH, sehingga dapat mengaktifkan reseptor PTH. Dibandingkan dengan PTH yang hanya memiliki 84 asam amino, PTHrP yang terdiri dari 3 isoform, memiliki jumlah asam amino yang lebih banyak, masing-masing 139, 141 dan 174 asam amino. Karena PTHrP juga dapat berikatan dengan reseptor PTH, maka aksi biologiknya juga sama dengan PTH, yaitu akan menyebabkan hiperkalsemia, hipofosfatemia dan peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas. Walaupun demikian, ada reseptor PTH yang tidak dapat diikat oleh PTHrP, yaitu reseptor PTH-2. Demikian juga, ada pula reseptor PTHrP yang tidak dapat berikatan dengan PTH yaitu reseptor PTHrP yang terdapat di otak dan kulit. Selain itu, ada beberapa perbedaan aksi biologik PTHrP dibandingkan dengan PTH, yaitu PTH akan meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal, sedangkan PTHrP tidak, sehingga akan terjadi hiperkalsiuria. Selain itu, PTHrP juga tidak meningkatkan produksi 1,25(OH)2D dan absorpsi kalsium di ginjal. Di tulang, PTH akan meningkatkan aktifitas osteoblas dan osteoklas, sedangkan PTHrP hanya meningkatkan aktifitas osteoklas, sehingga resorpsi tulang tidak diimbangi oleh formasi yang adekuat. Beberapa tumor yang secara spesifik menghasilkan PTHrP adalah karsinoma sel skuamosa, ginjal dan payudara. Pada hiperkalsemia akibat keganasan, akan didapatkan peningkatan kadar PTHrP dan hiperkalsemia, sedangkan kadar PTH akan ditekan. Pada hiperparatiroidisme, kadar PTH akan meningkat, sedangkan PTHrP tetap normal. Oleh sebab itu, kadar PTHrP dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan pembedahan keganasan yang bersangkutan. Dalam keadaan normal, PTHrP yang beredar didalam tubuh sangat rendah, dan nampaknya tidak berperan pada metabolisme kalsium. Walaupun demikian, PTHrP diduga berperan pada proses fisiologik lokal dari sel-sel dan jaringan penghasilnya, misalnya jaringan fetal, rawan sendi, jantung, ginjal, folikel rambut, plasenta dan epitel permukaan. Pada payudara normal, PTHrP berperan pada morfogenesis payudara. Penatalaksanaan terhadap HHM secara umum meliputi : 1. Mengurangi massa tumor, 2. Mengurangi resorpsi tulang oleh osteoklas 3. Meningkatkan klirens kalsium di ginjal

HIPERKALSEMIA DAN DESTRUKSI TULANG PADA KEGANASAN Pada HHM, hiperkalsemia tidak diikuti dengan destruksi tulang. Bila selain hiperkalsemia juga didapatkan destruksi tulang, maka harus dipikirkan 3 kemungkinan, yaitu : 1. Produksi berbagai sitokin yang meningkatkan kerja osteoklas, misalnya pada mieloma multipel, 2. Peningkatan produksi 1,25(OH)2D, misalnya pada beberapa tipe limfoma, 3. Metastasis sel tumor ke tulang, biasanya pada tumor-tumor padat. Pada mieloma multipel, sel-sel mieloma didalam sumsum tulang akan meproduksi berbagai sitokin yang akan mengaktifkan osteoklas pada endosteal yang berdekatan. Sitokin utama yang dihasilkan adalah limfotoksin, selain juga IL-1 dan IL-6. Selain melalui berbagai sitokin tersebut, pada mieloma multipel juga terjadi peningkatan PTHrP. Hiperkalsemia juga sering terjadi pada beberapa jenis limfoma, seperti Penyakit Hodgkin, limfoma sel-B, limfoma sel-T dan limfoma Burkit. Berbagai faktor yang dihasilkan oleh sel limfoma diduga berperan pada patogenesis hiperkalsemia, seperti sitokin-sitokin yang meningkatkan resorpsi tulang, PTHrP dan peningkatan produksi 1,25(OH)2D. Tumor-tumor padat sering menyebar dan bermetastasis ke tulang. Tulang merupakan organ ketiga yang sering dihinggapi metastasis tumor setelah hati dan paru. Beberapa tumor yang sering metastasis ke tulang adalah tumor payudara, paru dan prostat. Ada 2 bentuk metastasis ke tulang, yaitu metastasis osteoblastik dan metastasis osteolitik. Metastasis osteolitik merupakan keadaan klinik yang bermakna karena dapat menyebabkan fraktur patologik dan hiperkalsemia. Pada keadaan metastasis tulang, maka terapi kuratif sangat kecil hasilnya, sehingga terapi yang diberikan hanya bersifat paliatif. Metastasis ke tulang, pada umumnya terjadi secara hematogenik. Ada beberapa teori yang menerangkan mekanisme metastasis ke tulang, yaitu : 1. Adanya pleksus Batson (Batsons venous system) yang tersebar disepanjang vertebra. 2. Sinusoid sumsum tulang banyak mengandung mikrokapiler dan berakhir dengan endotel selapis sehingga memudahkan sel kanker lewat dan bersarang di tulang. 3. Adanya bone derived factors, yang secara invitro bersifat kemotaksis, menyebabkan adesi dan agregasi serta merangsang pertumbuhan sel kanker tertentu, sehingga sel kanker cenderung bersarang di tulang. 4. Beberapa sitokin yang bersifat pendorong pertumbuhan bagi sel kanker, ternyata terdapat di sumsum tulang dengan konsentrasi yang tinggi. 5. Diduga sel kanker mempunyai reseptor tulang. Migrasi sel tumor dari aliran darah ke tulang akan berlangsung dalam beberapa tahap :

1. Perlekatan sel tumor pada membran basalis, 2. Produksi enzim proteolitik, termasuk metaloproteinase matriks, oleh sel tumor yang akan merusak membran basalis, 3. Migrasi sel tumor melewati membran basalis, 4. Produksi berbagai mediator yang akan meningkatkan kerja osteoklas. HIPERKALSEMIA DAN HIPERKALSIURIA PADA IMOBILISASI Hiperkalsiuria adalah adanya peningkatan ekskresi kalsium urin 24 jam > 300 mg pada laki-laki dan > 250 mg pada wanita. Hiperkalsemia pada imobiulisasi (Hypercalcemia of Immobilization =HCI) pertama kali diperkenalkan oleh Albright pada tahun 1941. sindrom ini meliputi peningkatan kadar kalsium serum, hiperkalsiuria, peningkatan ekskresi hidroksi prolin urin, osteopeni, nefrolitiasis dan gagal ginjal. Paling sering terjadi pada trauma tulang punggung, polimielitis, strok atau pada pasien yang mengalami imobilisasi karena dipasang traksi dan lain-lain. Dari suatu studi yang dilakukan Sato, diketahui bahwa terdapat hubungan yang erat antara insidensi fraktur pangkal paha (hip fractur) dengan pasca strok. Terutama pada wanita usia lanjut yang mengalami jatuh. Insidensi fraktur pangkal paha ini sekitar 4-15% dan 79% terjadi pada sisi yang mengalami kelumpuhan (hemiplegia). Penurunan massa tulang rata-rata terjadi 11,3 minggu pasca stroke. Pada 484 minggu pasca strok, sisi hemiplegi akan kehilangan massa tulang 21% sedangkan sisi normal 4,5%. Hasil pemeriksaan densitometri massa tulang memperlihatkan bahwa densitas massa tulang sisi yang tidak mengalami kelumpuhan pada pasien paca stroke menaglami penurunan dibanding orang normal. Pada leher femur terdapat perbedaan densitas massa tulang sisi hemiplegi dengan non hemiplegi yaitu 6,3% pada wanita pasca stroke mempunyai korelasi dengan luasnya lesi pada otak (hemisfer korteks serebri). Kadar 25(OH)D pada pasien pasca stroke juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan masukan yang kurang dan pasien tidak terpapar dengan sinar ultraviolet (pada perawatan di rumah, 75% pasien tidak terpapar dengan matahari sedangkan yang dirawat di rumah sakit 100%). Kadar 25(OH)D merupakan pemeriksaan yang sensitif untuk menentukan indeks kandungan vitamin D aktif. Kadar normal 25(OH)D didalam serum > 20ng. Defisiensi 25(OH)D bila kadarnya < 10ng dan insufisiensi bila 10-20ng. Pada pasien pasca stroke dengan hemiplegi dalam studi ini ditemukan : 1. 64% pasien rawat jalan dan 82% pasien rawat inap mengalami defisiensi 25(OH)D [17% pasien rawat jalan dan 47% pasien rawat inap, kadar 25(OH)D] 2. 31% pasien rawat jalan dan 16% rawat inap mengalami insufisiensi 25(OH)D Di Amerika, Inggris dan Jepang, pasien usia lanjut dengan penyakit kronik yang jarang keluar rumah ternyata mengalami defisiensi vitamin D. Pada beberapa kasus ditemukan peningkatan kadar hormon paratiroid karena kompensasi terjadinya defisiensi 25(OH)D. Sorva dan kawan-kawan melakukan penelitian pada pasien usia lanjut yang mengalami imobilisasi. Studi tersebut mendapatkan bahwa peningkatan resorpsi tulang tidak disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder tetapi terjadi

peningkatan resorpsi primer. Pemberian vitamin D tidak memperlihatkan efek yang diharapkan. Mobilisasi segera ternyata dapat mengurangi efek dari imobilisasi ini. Patogenesis hperkalsiuria pada imobilisasi Mekanisme pasti hiperkalsemia dan hiperkalsiuria pada imobilisasi masih belum jelas. Tetapi peningkatan proses resorpsi massa tulang melalui aktivasi osteoklas atau penurunan proses formasi massa tulang. Secara histologi pada biopsi tulang panggul ditemukan peningkatan jumlah osteoklas dan mencapai puncaknya 16 minggu setelah imobilisasi. Hal ini juga bersamaan dengan peningkatan sekresi hidroksiprolin urin. Formasi tulang menurun dengan bukti pengurangan osteosit dan mineralisasi tulang. Imobilisasi menginduksi hiperkalsemia seperti high bone turn over pada anak dan orang tua. Hal ini dapat diketahui dengan mnegukur ion kalsium dan kalsium nonionik. Peningkatan kalsium serum ini mempunyai korelasi yang erat dengan indeks Barthel. Secara meyakinkan ditemukan peningkatan konsentrasi pyrinoline crosslinked carboxyterminal telopeptide (ICTP). ICTP adalah suatu kolagen tipe I dan merupakan petanda aktivasi resorpsi tulang oleh osteoklas. Adanya hiperkalsemia ini akan menghambat sekresi hormon paratiroid. Jadi akan ditemukan kadar hormon paratiroid rendah atau normal. Kadar 1.25D dan 25D akan mengalami defisiensi atau insifisiensi karena intake yang buruk, kurang mendapat inar matahari atau karena keduanya. Aktivitas dan imobilisasi mempunyai pengaruh pada tulang. Menurut hukum Wolfes formasi dan resorpsi tulang dipengaruhi secara langsung oleh stres lokal pada tulang. Stres (tekanan) terutama pada tulang penyangga tubuh dan regangan kontraksi otot. Terdapat 4 model yang sering dipakai untuk melihat pengaruh imobilisasi pada tulang yaitu istirahat total, lingkungan bebas gaya gravitasi (ruang angkasa), paralisis, imobilisasi sebagian seperti pada traksi. Semua keadaan initerbukti meningkatkan kehilangan massa tulang. Pada percobaan binatang, kehilangan massa tulang mulai terjadi sekitar 30 jam setelah imobilisasi. Penurunan massa tulang ini bervariasi yaitu mulai hari ketiga sampai hari ke 10 setelah imobilisasi. Tulang penyangga tubuh paling sering mengalami kehilangan massa tulang. Dalam beberapa minggu akan terjadi kehilangan kalsium total tubuh 4%. Pada minggu 30 36 imobilisasi, vertebra akan kehilangan massa tulang sekitar 1% dan kalkaneus sekitar 25 45%. Kecepatan kehilangan massa tulang paling tinggi terjadi pada minggu ke 16 imobilisasi. Massa tulang akan kembali normal melalui mobilisasi secara cepat dan adekuat tetapi struktur tulang yang ada tidak sebaik sebelum masa imobilisasi. Respon tulang terhadap adanya tekanan / stres secara in vivo dibedakan atas tipe mekanik, yaitu : Tekanan kompresi akan meningkatkan massa tulang dan regangan akan meningkatkan resorpsi tulang. Jadi osteosit dan osteoblas mempunyai kemampuan untuk memberikan sinyal dalam formasi dan resorbsi tulang. , BMPs, FGF, PDGF) yang tersimpan dalam tulang. Disamping itu terdapat perubahan growth factor (IGF,TGF

oleh osteoblas dengan reseptor estrogen. Diduga imobilisasi memberikan efek yang sama dengan defisiensi estrogen. Diduga sinyal elektrik endogen ini memiliki cara kerja seperti estrogen dan memacu aktivitas-aktivitas formasi tulang. Kehilangan beban mekanik ini menyebabkan elektrik endogen akan menurun. Osteoblas melepaskan mediator inflamasi memberikan sinyal ke osteoklas untuk memacu resorpsi tulang. sehingga memacu aktivasi osteoklas. Damien dan kawan-kawan melakukan studi terhadap tikus yang dilakukan imobilisasi pada kedua tungkai depan. Dari hasil pemeriksaan histomorfometri didapatkan korelasi peningkatan IL-1 dan TNFPotensial elektrik endogen akan menurun karena beban mekanik yang berkurang selama mobilisasi. Hal ini akan mengurangi growth factor. Kekurangan growth factor ini akan mempengaruhi aktivitas osteoblas. Osteoblas akan melepaskan IL-1 dan TNF Peningkatan resorpsi emnyebabkan hiperkalsemia. Hiperkalsemia akan menimbulkan efek umpan balik terhadap hormon paratiroid sehingga kadar hormon paratiroid berkurang. Kadar hormon paratiroid yang rendah mengakibatkan reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal menurun sehingga terjadi hiperkalsiuria. Disamping itu hormon kalsitonin akan meningkat untuk menghambat resorpsi tulang yang berlebihan oleh osteoklas. Kalsitonin sendiri diperkirakan mempunyai efek menghambat timbulnya reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal. Hal ini semuanya akan menimbulkan suatu keseimbangan negatif dari nitrogen dengan manifestasi peningkatan ekskresi kalsium urin dan feses. Osteoporosis dapat terjadi setelah imobilisasi yang lama seperti strok atau koma. Pada strok lebih banyak mengenai bagian tubuh yang lumpuh. Pada eksperimen binatang, tungkai yang di imobilisasi dengan cara menggunakan gips akan menimbulkan osteoporosis lokal. Sebaliknya, aktivitas lokal akan menambah massa tulang seperti hipertrofi metatarsal pada penari balet atau peningkatan massa tulang tangan yang dominan pada petenis. Dengan latihan yang teratur ternyata meningkatkan massa tulang. Dari kedua hal ini terlihat bahwa stres (tekanan) yang diteima oleh tulang-tulang penyangga tubuh mempunyai peranan dalam resorpsi maupun formasi tulang. Lebih lanjut, hilangnya massa tulang karena imobilisasi dapat dikembalikan melalui remobilisasi dengan latihan yang progresif. Hiperkalsemia jarang terjadi dan biasanya normal kecuali pada imobilisasi berat seperti paraplegi. Hal akan menurunkan reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal sehingga menimbulkan hiperkalsiuria. Hiperkaliuria pada imobilisasi merupakan faktor predisposisi pembentukan batu ginjal. merupakan sitokin yang menstimulasi resorpsi tulang. memberikan kontribusi pada hiperkalsemia pada imobilisasi ini. Interleukin 1 dan TNFGallacher SJ dkk yang mendapatkan hiperkalsemia pada pasien yang mengalami imobilisasi dengan sepsis mengajukan postulat bahwa sitokin seperti IL-1 dan TNF David dan kawan-kawan mendapatkan 92% pasien usia lanjut dengan ventilator di ruang perawatan intensif mengalami peningkatan kada N telopeptida urin. Sebanyak 42% kasus tersebut disertai oleh peningkatan hormon paratiroid dengan defisiensi vitamin D, 9% mengalami penurunan kadar hormon paratiroid yang berhubungan dengan imobilisasi serta 49% didapatkan hormon paratiroid

normal dan berhubungan defisiensi vitamin D dan imobilisasi. Kecepatan resorpsi akan menurun secara bertahap sampai tercapainya suatu keseimbangan setelah 1-2 tahun. Pada saat ini biasanya terdapat kehilangan trabekular tulang > 40%. Kehilangan massa tulang sangat cepat pada tulang penyangga tubuh serta trabekular tulang. Secara radiologi akan terlihat pada bulan ke 2 atau 3. lebih cepat pada usia muda atau imobilisasi yang menyeluruh. Bila dilakukan mobilisasi akan memperbaiki massa tulang walaupun proses ini berjalan lambat dan inkomplit. Pertumbuhan dan remodeling tulang bergantung pada faktor pertumbuhan lokal dan sistemik, tersedianya material serta beban mekanis pada tulang. Densitas dan kekuatan pada tulang berhubungan dengan tekanan/stres lokal yang dikontrol melalui faktor pertumbuhan lokal. HIPOKALSEMIA Hipokalsemia adalah penurunan kadar kalsium serum yang dapat terjadi pada beberapa keadaan, seperti hipoparatiroidisme, defisiensi vitamin D, gangguan metabolisme vitamin D, hipomagnesemia dan gagal ginjal akut atau kronik. Dengan melihat kadar hormon PTH, hipokalsemia dapat dikelompokkan kedalam 2 bagian, yaitu hipokalsemia dengan kadar PTH yang rendah (hipoparatiroidisme) dan hipokalsemia dengan kadar PTH yang miningkat (hiperparatiroidisme sekunder). Secara klinik, gejala utama hipokalsemia adalah peningkatan iritabilitas neuromuskuler yang dapat kesemutan pada ujung-ujung jari dan sekitar mulut. Dalam keadaan lanjut akan didapatkan tanda Chvostek dan Trousseau. Tanda Chvostek adalah twitching pada daerah sekitar mulut bila dilakukan ketokan pada nervus fasialis di anterior telinga. Tanda Trousseau adalah spasme karpal yang terjadi bila dilakukan bendungan lengan dengan menggunakan manset tensimeter pada tekanan 20 mmHg diatas tekanan sistolik selama 3 menit. Spasme karpal yang klasik akan berupa fleksi pergelangan tangan, ekstensi interfalang dan aduksi jari-jari. Gejala hipokalsemia yang lain adalah kejang otot yang mengenai pinggang, tungkai dan kaki. Pada keadaan yang berat dapat timbul spasme karpopedal spontan (tetani), laringospasme atau bronkospasme, sampai kejang-kejang umum. Hipokalsemia berat dapat memperpanjang interval QT pada EKG yang reversibel setelah hipokalsemia dikoreksi. Penatalaksanaan hipokalsemia akut Penatalaksaan hipokalsemia akut ditenmtukan oleh derajat dan kecepatan timbulnya hipokalsemia. Hipokalsemia ringan (Ca serum 7,5-8,5 mg/dl) yang asimtomatik, cukup diterapi dengan kalsium oral 500-1000 mg tiap 6 jam disertai pengawasan yang ketat. Bila terdapat tetani atau kadar kalsium serum < gr/hari. Pada keadaan hipomagnesemia, maka terapi terhadap hipomagnesemia juga harus dilakukan selain terapi terhadap hipokalsemianya. 7,5 mg/dl, diperlukan pemberian kalsium intravena. Pemberian kalsium glukonat (90 mg kalsium elemental/10ml ampul) lebih disukai daripada kalsium sitrat (272 mg kalsium

elemental/10 ml ampul) karena tidak iritatif. Mula-mula, dapat diberikan 1-2 ampul kalsium glukonat dalam 50-100 ml dekstrosa 5% dan diberikan per-infus 5-10 menit. Dosis ini dapat diulang bila masih didapatkan gejala hipokalsemia. Hipokalsemia yang berat dan persisten dapat diberikan kalsium per-drip dalam jangka waktu yang lebih lama, misalnya 15 mg/kgBB kalsium elemental diinfus selama 4-6 jam. Secara praktis dapat dilakukan dengan melarutkan 10 ampul kalsium glukonat dalam 1 liter dekstrosa 5% dan diinfus dengan kecepatan 50 ml/jam (45 mg kalsium elemental/jam). Larutan yang lebih pekat dari 200 mg kalsium elemental/100 ml dekstrosa 5% harus dihindari karena akan bersifat iritatif terhadap vena maupun jaringan disekitarnya bila terjadi ekstravasasi.Pada hiperkalsemia berat dan persisten, juga harus dipikirkan kemungkinan pemberian kombinasi kalsium oral 1-2 gram/hari dan 1,25(OH)2D 0,5-1,0 HIPOPARATIROIDISME Hipoparatiroidisme adalah produkjsi hormon PTH yang tidak mencukupi untuk mempertahankan kadar kalsium ekstraseluler dalam batas normal. Secara umum, penyebab hipoparatiroidisme dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu : i. Kelenjar paratiroid yang tidak berkembang, ii. Destruksi kelenjar paratiroid, iii. Penurunan fungsi kelenjar parartiroid, iv. Aksi PTH yang terganggu. Secara klinis, hipoparatiroidisme akan menunjukkan gejala-gejala hipokalsemia pada berbagai tingkatan tergantung pada derajat hipoparatiroidismenya dan hipokalsemianya. Secara biokimia, akan tampak gambaran hipokalsemia, hiperfosfatemia, PTH yang rendah atau tidak terdeteksi, dan kadar 1,25(OH)2D yang rendah. Untuk membedakan dengan PTH yang resisten, dapat dilakukan tes Ellsworth-Howard, yaitu dengan pemberian PTH bioaktif dan akan tampak peningkatan ekskresi cAMP urin dan fosfat urin. Pada gambaran radiologik dan CT-scan kepala, akan tampak kalsifikasi basal ganglia. Penatalaksanaan hipoparatiroidisme bertujuan untuk memperbaiki kadar kalsium dan fosfat serum senormal mungkin. Dalam hal ini dapat diberikan preparat kalsium dan vitamin D. Pada umumnya kebutuhan kalsium elemental adalah 1 g/hari. Dengan membaiknya kadar kalsium plasma, maka hiperkalsiuria akan bertambah karena efek PTH di ginjal tidak ada. Bila hiperkalsiuria tetap terjadi dan kadar kalsium plasma tidak dapat mencapai kadar 8 mg/dl, maka dapat ditambahkan diuretik tiazid. Bila kadar kalsium serum sudah normal, sedangkan kadar fosfat serum tetap diatas 6 mg/dl, maka perlu diberikan antasid yang tidak diabsorpsi untuk mengurangi hiperfosfatemia dan mencegah kalsifikasi metastatik. PSEUDOHIPOPARATIROIDISME Pseudohipoparatiroidisme (PHP) adalah keadaan klinik yang secara biokimia ditandai oleh gambaran hipoparatiroidisme, yaiutu hipokalsemia dan

hiperfosfatemia, tetapi sekresi PTH meningkat dan jaringan target tidak berespons terhadap aktifitas biologik PTH. Seringkali PHP disertai dengan kelainan perkembangan yang disebut Albrights hereditary osteodystrophy (AHO) yang terdiri dari tubuh pendek, muka bundar, obesitas, brakidaktili dan osifikasi subkutan. Untuk membedakan dengan hipoparatiroidisme, dapat dilakukan tes Ellsworth-Howard (lihat diatas). HIPOMAGNESEMIA Hipomagnesemia ternyata ditemukan lebih banyak dari dugaan sebelumnya. Umumnya hipomagnesemia terjadi akibat pembuangan yang berlebihan baik lewat saluran cerna maupun ginjal. Pembuangan Mg lewat saluran cerna, biasanya disebabkan oleh vomitus, diare, sindrom malabsorpsi dan reseksi usus. Sedangkan ekskresi Mg lewat urin tergantung dari reabsorpsi di tubuluh yang bersifat proporsional dengan Natrium dan Kalsium. Pembuangan Mg yang berlebihan lewat urin akan dipengaruhi oleh terapi cairan terutama NaCl 0,9%, kelebihan cairan dalam tubuh dan hiperaldosteronisme primer. Hiperkalsemia dan hiperkalsiuria juga akan menghambat reabsorpsi Mg di ginjal sehingga akan meningkatkan ekskrresi Mg dan hipomagnesemia. Penyebab lain ekskresi Mg yang berlebihan adalah diuresis osmotik, misalnya akibat steroid dan juga diabetes melitus. Secara klinis, hipomagnesemia ditandai oleh hipereksitabilitas neuromuskuler, termasuk tetani dan dapat ditandai oleh tanda Chvostek dan Trousseau. Pada EKG akan didapatkan perpanjangan interval PR dan QT dan Aritmia. Secara laboratoris, akan didapatkan hipokalemia karena hipomagnesemia akan menyebabkan kehilangan K intrasel dan gangguan konservasi K oleh ginjal. Hipokalsemia juga merupakan gejala utama hipomagnesemia. Dalam keadaan normal perubahan kadar Mg yang akut akan mempengaruhi sekresi PTH sama dengan perubahan kadar kalsium. Penurunan kadar Mg yang akut akan merangsang sekresi PTH, sebaliknya hipermagnesemia akan menghambat sekresi PTH. Walaupun demikian, hipomagnesemia kronik akan mengganggu sekresi PTH dan hal inilah nampaknya yang menjadi penyebab hipokalsemia pada hipomagnesemia. Selain itu, hipokalsemia akibat hipomagnesemia juga menunjukkan resistensi pada ginjal dan tulang terhadap pemberian PTH eksogen, kalsium dan vitamin D. Resistensi terehadap vitamin D, kemungkinan disebabkan oleh gangguan metabolisme vitamin D karena kadar 1,25(OH)2D rendah. Resistensi ini akan menghilang setelah diberikan derapi Mg beberapa hari. Pengobatan hipomagnesemia yang simtomatik dapat diberikan injeksi 2 g MgSO4.7H2O (16,7 mEq) 50% intra-muskuler tiap 8 jam atau drip intravena 48 mEq/24 jam, karena injeksi intramuskuler sangat nyeri. Terapi harus dilanjutkan sampai gejala klinik, hipokalemia dan hipokalsemia teratasi. Kadar Mg serum yang normal tidak menunjukkan defisit Mg total dalam tubuh sudah teratasi, karena Mg ekstraseluler hanya 1% dari total Mg tubuh, dan sebagian besar berada intraseluler. Pada penderita hipomagnesemia yang disertai kejang, harus diberikan injeksi 8-16 mEq Mg intravena dalam 5-10 menit, dilanjutkan drip Mg 48 mEq/24 jam. Pemberian Mg harus berhati-hati pada penderita gangguan

fungsi ginjal, bila perlu dosisnya diturunkan. Pada penderita dengan kehilangan Mg yang kronik, dapat diberikan Mg elemental 300-600 mg dalam dosis terbagi untuk mencegah efek katartik Mg. RIKETS DAN OSTEOMALASIA Rikets adalah gangguan mineralisasi matriks tulang (osteoid) pada tulang yang sedang tumbuh yang menyerang baik epifisis maupun tulang kortikal dan trabekular yang baru. Sedangkan, osteomalasia adalah gangguan mineralisasi osteoid setelah pertumbuhan tulang berhenti, tetapi hanya terjadi pada tulang, tidak pada epifisis. Gangguan mineralisasi, baik pada rikets maupun osteomalasia, biasanya terjadi akibat gangguan deposisi kalsium dan fosfat pada matriks tulang. Penyebab osteomalasia antara lain : - Defisiensi kalsium, - Defisiensi vitamin D - Menurunnya absorpsi vitamin D pada penyakit gastrointestinal dan hepatobilier, - Peningkatan katabolisme vitamin D akibat obat-obatan yang meningkatkan kerja enzim-enzim oksidase hati, misalnya anti konvulsan dan rifampisin, - Gangguan tubulus ginjal yang disertai ekskresi fosfat, seperti sindrom Fanconi, RTA dsb, - Penggunaan antasida yang mengandung almunium yang kronik, sehingga terjadi deplesi fosfat, Defisiensi kalsium berhubungan dengan asupan yang kurang, gangguan absorpsi di saluran cerna dan nutrisi parenteral total yang tidak mengandung kalsium secara cukup. Gangguan absorpsi kalsium dapat terjadi akibat diet tinggi serat atau banyaknya kompleks kalsium fitat di dalam usus. Untuk pengobatan, harus diberikan kalsium oral 1-2 g/hari. Pada bayi yang masih menyusui dapat diberikan kalsium oral 30 mg/kgBB/hari. Secara klinik, osteomalasia ditandai oleh nyeri tulang yang bersifat umum dan secara radiologik akan tampak gambaran demineralisasi generalisata ringan atau patah tulang iga multipel dengan permbentukan kalus yang buruk (psedofraktur). Pada anak-anak yang menderita rikets, akan didapatkan kelemahan otot, tetani, kaki yang bengkok (bowing legs), sendi kostokondral yang prominen yang disebut rachitic rosary. Pada kepala akan didapatkan kalvarium yang melunak yang disebut kraniotabes, dan keterlambatan pertumbuhan gigi yang permanen. Pada daerah tropik, sinar ultraviolet mudah didapatkan, sehingga pembentukan vitamin D dibawah kulit dari prekursor kolesterol mencukupi. Kemudian hati akan melakukan hidroksilasi pada posisi 25 dan ginjal pada posisi 1, sehingga terbentuk 1,25 dihidroksivitamin D (kalsitriol) yang merupakan metabolit vitamin D yang aktif. Oleh : Bambang Setiyohadi

Hipokalsemia DEFINISI Hipokalsemia (kadar kalsium darah yang rendah) adalah suatu keadaan dimana konsentrasi kalsium di dalam darah kurang dari 8,8 mgr/dL darah. PENYEBAB Konsentrasi kalsium darah bisa menurun sebagai akibat dari berbagai masalah. Hipokalsemia paling sering terjadi pada penyakit yang menyebabkan hilangnya kalsium dalam jangka lama melalui air kemih atau kegagalan untuk memindahkan kalsium dari tulang. Sebagian besar kalsium dalam darah dibawa oleh protein albumin, karena itu jika terlalu sedikit albumin dalam darah akan menyebabkan rendahnya konsentrasi kalsium dalam darah. Penyebab Hipokalsemia GEJALA Hipokalsemia bisa tidak menimbulkan gejala. Seiring dengan berjalannya waktu, hipokalsemia dapat mempengaruhi otak dan menyebabkan gejala-gejala neurologis seperti: - kebingungan - kehilangan ingatan (memori) - delirium (penurunan kesadaran) - depresi - halusinasi. Gejala-gejala tersebut akan menghilang jika kadar kalsium kembali normal. Kadar kalsium yang sangat rendah (kurang dari 7 mgr/dL) dapat menyebabkan nyeri otot dan kesemutan, yang seringkali dirasakan di bibir, lidah, jari-jari tangan dan kaki.

Pada kasus yang berat bisa terjadi kejang otot tenggorokan (menyebabkan sulit bernafas) dan tetani (kejang otot keseluruhan). Bisa terjadi perubahan pada sistem konduksi listrik jantung, yang dapat dilihat pada pemeriksaan EKG. DIAGNOSA Konsentrasi kalsium abnormal biasanya pertama kali ditemukan pada saat pemeriksaan darah rutin. Karena itu hipokalsemia sering terdiagnosis sebelum gejalagejalanya muncul. Untuk menentukan penyebabnya, perlu diketahui riwayat lengkap dari keadaan kesehatan penderita, pemeriksaan fisik yang lengkap dan pemeriksaan darah dan air kemih lainnya. PENGOBATAN Pengobatan hipokalsemia bervariasi tergantung kepada penyebabnya. Kalsium dapat diberikan baik secara intravena maupun per-oral (ditelan). Hipokalsemia menahun diperbaiki dengan mengkonsumsi tambahan kalsium per-oral. Mengkonsumsi tambahan vitamin D dapat membantu meningkatkan penyerapan kalsium dari saluran pencernaan.

Jakarta, 28 Sep 2008

Hipokalsemia
HIPOKALSEMIA

Hipokalsemia adalah berkurangnya kadar kalsium (Ca2+) serum tubuh kita. Dengan etiologi yang beragam dan satu sama lain bisa saling mempengaruhi.

Faktor kausal. Kurang adekuat diet harian bisa menjadi penyebab defisit Ca2+. Dan Hampir 46% Ca2+ serum terikat protein, utamanya dengan albumin hingga penurunan kadar albumin tubuh akan menyebabkan hypokalsemi. Hipokalsemia dengan penurunan kalsium bentuk ion lepas sajalah (Ca2+) yang akan berkorelasi timbulnya gejala dan simptom pada kita. Diet protein tinggi (protein > 0,9 1,0 mg/kgBB) berpengaruh pada level Ca2+ tubuh, karena hanya bentuk ion Ca2+ yang bisa lepas dari jaringan tulang dan bisa dikeluarkan melalui urin. Mekanisme rendahnya rasio kalsium dan fosfor pada diet tinggi protein, bisa dijelaskan dengan mekanisme timbal balik antara level kalsium dan fosfor, dimana tubuh akan kehilangan Ca2+ lebih banyak. Faktor lain yang berkontribusi menyebabkan hipokalsemi, adalah:

Penggunaan sitrat atau koreksi alkalasis yang berlebihan dalam darah Pengangkatan sekaligus ke 4 kelenjar dari Tyroid Kurang konsumsi vit D, atau kurang terpapar sinar matahari, terutama usia bayi dan usia lanjut Hiperfosfatemia karena gagal ginjal Obat-obatan yang menyebabkan pengeluaran kalsium, misal (diuretik kerja kuat), kafein, antikonvulsan, heparin, laxatif dan nikotin

Pengaruhnya.

Pada Bayi dan Anak: berisiko tinggi dan mudah terserang patah tulang Pada Ibu hamil: bayi dalam kandungannya akan hipokalsemi juga dan si ibu akan berisiko tinggi mengalami keguguran atau pre-eklamsi (keracunan kehamilan) Pada Usia Lanjut: mudah terkena osteomalasia dan osteoporosis, terutama pada wanita yang sudah menopaus.

Gejala Klinis hypokalsemi.

Neuromuskuler

Irritabilitas otot rangka (twiching, cramping, tetany) Serangan akut Hiper refleksi tendon dalam Adanya tanda Trosseaus atau Chvosteks Parestesia Cemas, Psikosis

Respiratori

Nafas pendek Gagal nafas (tetani dan serangan akut)

Kardiovaskular

Denyut jantung meningkat dan gangguan irama (disritmia) Hpotensi Denyut nadi melemah

Gastrointestinal

Bising usus meningkat Kejang perut Diare


Penegakan Diagnosa. Hipokalsemi ditegakkan dengan serum Ca2+ < 9 mg/dL (< 4.5 mEq/L). Dimana nilai normalnya adalah 9 11 mg/dL (4,5 5,5 mEq/L) Bila ekskresi kalsium > 150 mg/hari, berarti pasien disertai juga dengan hiperkalsiuria. Ekskresi yang berlebihan ini juga menandai adanya suatu proses perusakan pada tulang. Level serum Ca2+ yang turun menyebabkan lemahnya kontraksi otot jantung, ditandai dengan memanjangnya fase isoelektrik Q-T pada EKG. Pemeriksaan radiografi tidak bisa menjelaskan kerusakan yang terjadi pada tulang sampai lebih dari 25% tulang termineralisasi. Pemeriksaan yang lebih sensitif adalah menggunakan bone-testing, misal dengan densitometer atau foton absorpsimeter yang bisa mendeteksi kerusakan tulang lebih awal. Tatalaksana medis. Praktisi akan mengobati gejala hipokalsemia dengan mencari etiologi dan penyakit dasar yang menyertainya secara holistik. Pilihan terapi Ca2+ bisa dengan preparat oral dan infus, yang rutenya tergantung berat ringannya gejala. Untuk pasien dengan fungsi ginjal baik, direkomendasikan terapi penggantian Ca2+ elemental sebanyak 1-2 g perhari, dalam bentuk gabungan dengan sitrat, glukonat, karbonat atau laktat. Pemberian vit-D secara bersamaan juga diperlukan tuk membantu penyerapan kalsium. Untuk mencegah kanker pada saluran reproduksi dianjurkan pemeberian hormon progesteron (Terapi Pengganti Hormon/HRT). Pada kehilangan fase akut, disarankan pemberian infus ca-glukonas 10%, 30-60 mL dalam 1000 mL selama 6 sampai 12 jam. Terapi ini sangat perlu apalagi bila pasien sudah kejang (tetani atau konvulsi). Dan pada kasus gawat darurat bisa diberikan bahkan dalam hitungan menit. Sepuluh mililiter dari 10% ca-glukonas mengandung 4,65 mEq atau 93 mg kalsium. Karena pasien hipokalsemia biasanya disertai hipomagnesemia pula, tatalaksana defisiensi magnesium pada pasien sebaiknya juga perlu diberikan. Referensi:

Lee, AB Carla, et all; Fluids and Electrolytes A Practical Approach, 4thEd; FA Davis Company, Philadelphia; 1996; p: 98-103;
Dr. Budhi Santoso Sr. Medical Advisor budhi@ho.otsuka.co.id

Info Penyakit
Hipokalsemia
Definition :
Hipokalsemia adalah kadar kalsium darah yang rendah.

Cause :
Hipokalsemia ringan agak sering terjadi pada bayi baru lahir yang pada hari ke1-2 menderita sakit. Resiko tinggi terjadinya hipokalsemia ditemukan pada bayi yang: Prematuritas Kecil untuk masa kehamilan (KMK) Mengalami kekurangan oksigen selama persalinan Ibunya menderita diabetes. Hipokalsemia yang terjadi sesaat setelah bayi lahir, penyebabnya belum sepenuhnya dimengerti, tetapi kemungkinan berhubungan dengan pemutusan secara tiba-tiba aliran kalsium dari ibu. Hipokalsemia juga bisa terjadi akibat hiperfosfatemia (kadar fosfat yang tinggi dalam darah). Hal ini bisa terjadi pada bayi yang lebih besar yang diberikan susu sapi karena kandungan fosfat dalam susu sapi sangat tinggi.

Sign & Symptoms :


Hipokalsemia bisa tidak menimbulkan gejala atau bisa menimbulkan gejala berupa: - lemah - episode apneu (henti nafas) - tidak kuat menghisap - kejang.

Diagnose :

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala, hasil pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan kadar kalsium dalam darah.

Treatment :

Jika tidak timbul gejala, tidak perlu dilakukan pengobatan. Pada bayi yang menunjukkan gejala, diberikan larutan kalsium baik melalui mulut maupun melalui infus.

Laporankasus SEORANG PENDERITA HIPOKALSEMIA BERAT OLEH KARENAHIPOPARATIROIDISME DIDAPAT *DavidDharmawanHarjanto, **MadeRatnaSaraswati, **KetutSuastika *DepartmentofInternalMedicine, MakatiMedicalCenter, thePhilippines **Bag/SMFIlmuPenyakitDalam FKUnud/RSUPSanglahDenpasar e-mail: davidharjanto@yahoo.com ABSTRACT ACASEOFSEVEREHYPOCALCEMIASECONDARYTOACQUIREDHYPOPARATH YROIDISM Albeitrare, hypocalcemiamightpresentanacuteseveresymptom ashypocalcemicseizure, whichisdocumentedinour patients.Failureinitsdiagnosisandmanagementwillleadtosignificantmorbidity andmortality.EstablishingthePTH status, anorganic-phosphateandmagnesium levelwillenableinvestigationonpossibleetiology ofhypocalcemia.Theoverallincidence ofpostthyroidectomy hypoparathyroidism andhypocalcemiaisabout0.5-3 % worldwide.Thepathophysiology aremultifactorial, itisnotsimply theglandsextirpations, aswellasitsmultipleriskfactorsalthoughoperatortechniqueskillisstillthe prominentone.Wehavepresentedacaseof24 yearoldfemalewithanacutegeneralizedseizure(hypocalcemicseizure)and prolongedcorrectedQTintervalduetoaseverehypocalcemiasecondary tohypoparathyroidism from atotalthyroidectomy, accompaniedby acquiredhyperthyroidism andacerebralcortexcalcification.Clinicalsymptomsandtotalcalcium wereimprovedafterintravenouscalcium gluconate, followedby oralcalcium andcalcitrioladministrations.However, theidealtherapy forhypoparathyroidism isstillthehormonesubstitution, eitherby auto/xenotransplantationsorinjections, pendingfurtherstudies.PTH leveldeterminationsimmediately orseveralhoursaftersurgery andthusoralcalcium supplementationsmightpredict andreducetheincidenceofpostthyroidectomy hypocalcemiaandhypoparathyroidism. Keywords:severehypocalcemia, hypoparathyroidism, postthyroidectomy PENDAHULUAN Hipokalsemiadidefinisikansebagaisuatu keadaandimanakonsentrasiionkalsium serum atau

kalsium serum totalsetelahdikoreksiolehnilaialbuminserum dibawahnormal1.-3 Secaraumum, kalsium berperanpentingdalam mempertahankanfungsinormalsel,khususnyapadatransmisiimpulssaraf,stabilitas membran sel dan intracellular signaling, mempertahankan strukturjaringan tulang serta pembekuandarah4.Hipokalsemiadiperkirakanterjadi pada1-2% paskatiroidektomidansekitar15-50% kasus perawatanintensifyangmeliputisemuakelompokumur danjeniskelamin5. Keseimbangankalsium dipertahankanoleh interaksiantarahormonparatiroid(PTH),vitaminDdan kalsitoninmelaluimekanismecomplexfeedbackloops yangbekerjaditulang, ginjaldanusus, dimanaPTH bertanggungjawabsebagaipengendaliutama4.Dalam klasifikasinya,hipokalsemiadibagimenjadiduakriteria. Berdasarkanonsetnya,hipokalsemiadibedakanmenjadi hipokalsemiaakutataukroniksedangkanberdasar135 peranan PTHdi dalamnya, hipokalsemia dikelompokkan sebagai hipokalsemia dengan kadar PTH rendah, PTHtak efektif, atau PTH-overwhelmed. Hipokalsemia kronik umumnya bersifat ringan sehingga jarang memerlukan koreksi. 4-7 Hipokalsemia akut dapat menyebabkan gejala klinis yang berat seperti kejang, hipotensi refrakter, aritmia, gagal jantung, spasme laring dan saluran napas yang dapatmenyebabkan kematian. 4,6 Kegagalan dalammenegakkan diagnosis danmenangani hipokalsemia berat dapat menyebabkan morbiditas dan kematian. 4 KASUS Penderita wanita, 24 tahun, suku Bali masuk rumah sakit karena kejang. Menurut kesaksian temanteman pasien di pabrik penghasil kerajinan perak di Sukawati, pasien dikatakan mengalami kejang sejak 1 jam sebelum MRS. Kejang tersebut dilukiskan sebagai kejang seluruh tubuh dimana lengan dan tungkai tampak terhentak-hentak yang disertai tidak sadar selama kurang lebih 5 menit. Setelah itu, kesadaran berangsur pulih, kejang berkurang dan pasien segera dibawa ke RSUP Sanglah. Sesaat sebelum kejadian tersebut, pasien merasakan kekakuan lehermendadak yang digambarkan sebagai kram otot saat hendak menoleh dan kedutan di kedua pipi, tidak ada perubahan sensasi penglihatan,

pendengaran, penciuman, pusing, berkeringat atau perasaan ketakutan yang mendahului. Pasien menyangkal riwayat demam, menggigil, sakit kepala, pusing,mata kabur, batuk, pilek, sesak napas, nyeri dada, palpitasi, nyeri perut,mual,muntah, gangguan berkemih maupun defekasi, serta gejalamudah berkeringat,mudah marah, lemah badan, penurunan berat badan secara progresif. Pasien jugamenyangkal riwayat luka tertusuk. Satu bulan dan 3 bulan sebelum MRS, pasien jugamengalami episode kejangmendadak seluruh tubuh selama 5-10 menit dengan gambaran mirip seperti saat MRS sekarang. Pemeriksaan rawat jalan mendapatkan konsentrasi kalsiumserum6,1mg/dL. Pasienmendapat terapi tablet garam kalsium dan kalsitriol. Dalam beberapa bulan terakhir pasien juga mengeluhkan episode kram otot berulang yang disertai kesemutan di kedua tungkai bawah. Pasien adalah penderita penyakitGrave sejak 2 1/2 tahun yang lalu, dengan terapi awal tablet thiamazole, propranolol dan diazepam.Atas indikasi kosmetik, pasienmenjalani operasi tiroidektomi total (5 bulan sebelumMRS), dengan suplementasi tablet tiroksin. Tes fungsi tiroid terakhir menunjukkan hipertiroid ringan. Pasienmenyangkal riwayat diabetes, hipertensi. Riwayat keluarga dengan kelainan serupa disangkal. Status pasien adalah menikah, namun belum dikaruniai anak, bekerja sebagai pengrajin perak, tamat SMA, tidak pernah merokok atau minum minuman keras. Pada pemeriksaan fisik awal pasien tampak sakit sedang, status gizi cukup (berat badan 52 kg, tinggi badan 162 cm, IMT 20 kg/m2 ), kesadaran E 4 -V5 -M6 , tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 90 kali per menit, frekuensi pernafasan 20 kali per menit dan temperatur aksila 36,7C. Tidak ditemukan anemia maupun ikterus, pupil isokor pada keduamata.THTkesan tenang,mukosa bibir tidak sianosis. Pada pemeriksaan leher, tekanan vena jugularis tidakmeningkat, kaku kuduk tidak ditemukan, kelenjar tiroid tak teraba dengan bekas luka operasi. Pemeriksaan jantung, didapatkan batas jantung dalam batas normal dengan suara 1 dan suara 2 tunggal, regular, tidak ada murmur, ekstra sistol maupun gallop.

Pemeriksaan paru tidak ditemukan kelainan, pergerakan dinding dada simetris, sonor pada perkusi, vokal fremitus dalam batas normal, suara nafas vesikular, tidak didapatkan ronkhi ataupun wheezing. Pemeriksaan abdomen, bising usus dalam batas normal, tidak ada bruit. Tidak ada nyeri tekan atau teraba massa, hepar dan lien. Ekstremitas hangat, kering dan tidak terdapat edema, ruam kulit pada semua ekstremitas serta tremor. Tanda chovstek dan trosseau positip. Pemeriksaan neurologi yangmeliputi tingkat kesadaran, fungsi luhur, Seorang Penderita Hipokalsemia Berat oleh karena Hipoparatiroidisme Didapat David Dharmawan Harjanto, Made Ratna Saraswati, Ketut Suastika136 J Peny Dalam, Volume 9 Nomor 2 Mei 2008 perangsangan meningeal, saraf kranialis, motorik, sensorik, reflek fisiologis dalambatas normal serta tidak didapatkan reflek patologis. Pemeriksaan penunjang awal mendapatkan hemoglobin 12,9 g/dL, hematokrit 38,4 %, leukosit 8,3 x10 3 /uL, netrofil 86%, limfosit 8%, monosit 4%, trombosit 340 x10 3 /uL.Gula darah acak 98mg/dL, BUN 8 mg/dL, kreatinin serum 0,8 mg/dL, SGOT 22,8 IU/L, SGPT 11,3 IU/L, asam urat 5,3 mg%, albumin serum 4,22 gr/dL, globulin 4,44 gr/dL, total protein 8,6 gr/dL, Na + 137 mmol/L, K+ 3,7 mmol/L, kalsium total 5,8 mg/ dL (hipokalsemia). Sedangkan nilai FT4 =20,83 (N: 920 pmol/L), TSHs = 0,19 (0,25-5 UIU/mL). Urin lengkap dalam batas normal. Elektrokardiografi menggambarkan counter clockwise, pemanjangan interval QT-koreksi dan non-specificT-wave inversions. Pasien dirujuk ke bagian Neurologi dengan status rawat bersama. Oleh bagian Neurologi dilakukan beberapa peneriksaan tambahan sebagai berikut: Foto rontgen kepala, EEG, Pungsi Lumbal, dimana semuanya dalam batas normal, tetapi CT-scan kepala menunjukkan kalsifikasi pada korteks serebri bagian temporal kiri. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan penunjang awal, serta rujukan ke bagian Neurologi, disusunlah diagnosis kerja sebagai berikut: kejang menyeluruh (hypocalcemic seizure) dan

pemanjangan interval QT, et causa hipokalsemia berat sebagai akibat hipoparatiroidisme didapat paska tiroidektomi total yang disertai hipertiroidisme didapat dan observasi kalsifikasi korteks serebri. Pasien diputuskan untuk rawat bersama dengan divisi Endokrinologi. Di bangsal diberikan terapi O2 2 l/m, cairan infus NaCl 0,9%20 tetes per menit, diet bubur, kalsium glukonas 3 x 1 gr intravena, garam kalsium glukonatlaktat-karbonat 2 x 3,24 gram, kalsitriol 1 x 0,5 mg, tiroksin 1 x 50 mcg tablet, serta fenitoin 3 x 100 mg tablet dan diazepam 10 mg intavena (bila kejang) dari bagianNeurologi.Dalamperjalanan perawatannya, tidak didapatkan kejang ulang, keluhan kedutan di kedua pipi, kram otot berangsur-angsur berkurang. Kalsium serum meningkat secara bertahap, sebagai berikut: 6,5 mg/dL, 6,8 mg/dL, 7,7 mg/dL. Sementara itu konsentrasi PTH intak <0,3 pg/mL (nilai normal: 10-69 pg/mL), serum magnesium 1,6 mg/dL (nilai normal: 1,5-2,55 mg/dL) dan fosfor anorganik 4,5 mg/dL (nilai normal: 2,7-4,5 mg/dL). Pasien dipulangkan setelah keluhan tersebut hilang, dengan obat jalan: garam kalsium glukonatlaktat-karbonat 3 x 3,24 gram, kalsitriol 1 x 0,5 mg, tiroksin 1 x 50 mcg, fenitoin 3 x 100 mg. Dalam kontrol rawat jalan di poliklinik, konsentrasi kalsium serum total berturut-turut: 7,3 7,1 8,2 mg/dL dengan penambahan tablet kalsium karbonat 3 x 500 mg. Pemeriksaan EMG menyimpulkan gambaran sesuai dengan hipokalsemia. PEMBAHASAN Dasar fisiologi metabolisme kalsium harus dipahami sebelum menentukan diagnosis dan penatalaksanaan hipokalsemia. Secara umum, keseimbangan kalsium dipertahankan oleh interaksi antara hormon paratiroid (PTH), vitamin D dan kalsitonin melalui mekanisme complex feedback loops yang bekerja di tulang, ginjal dan usus. Komposisi kalsiumdi dalamtubah adalah sebagai berikut: kira-kira 99% ditemukan di jaringan tulang, dan 1% di cairan ekstraseluler. Dari bagian 1% ini, 50% terdapat dalam bentuk bebas/free/aktif/ionized (1-1,15 mmol/L), 40% terikat oleh protein (pada umumnya albumin) dan 10% sisanya terdapat dalam bentuk kompleks dengan anion tertentu, sebagai contoh: sitrat. 4 Kelenjar paratiroid, yang terletak di bagian

posterior kelenjar tiroid, bertanggung jawab mempertahankan konsentrasi kalsium serum dalam kisaran normalnya. Kelenjar ini menghasilkan hormon paratiroid (PTH) yang selanjutnya bekerja di tulang, ginjal dan usus. PTH adalah pengendali utama keseimbangan kalsium. Bila konsentrasi kalsiumserum137 turun di bawah nilai 8,8 mg/dL (kalsium serum total) atau 2,2 mg/dL (ion kalsium), maka sekresi PTH akan meningkatkan reabsorbsi dan mengurangi kapasitas bersihan kalsium serta sebaliknya meningkatkan ekskresi fosfat di tubulus ginjal.Di jaringan tulang, PTH merangsang aktivitas osteoklastik, sehingga memobilisasi kalsium dan fosfat dari tulang ke dalam peredaran darah, yang akan meningkatkan konsentrasi kalsium serum. Sementara itu, PTH meningkatkan kapasitas absorbsi kalsium dan fosfat di usus halus melalui stimulasi produksi vitamin D3 (1,25-dihidroksi choleciferol, kalsitriol) dari 25-hidroksi-D di ginjal. Kalsitriol yang terbentuk juga menurunkan reabsorbsi kalsium di ginjal itu sendiri. Secara umum, terdapat hubungan linear dan inversi antara kadar kalsium serum dan PTH sebagai berikut: bila konsentrasi kalsium serum turun, maka sekresi PTH akan meningkat dengan tujuan normalisasi kadar kalsiumserum, sebaliknya bila konsentrasi kalsium serum meningkat di atas ambang normal,makamelalui suatumekanisme umpan balik negatif yang bekerja akibat konsentrasi kalsium serum dan vitamin D3, maka sintesis serta sekresi PTH akan terhenti, kalsitonin disekresikan dari kelenjar tiroid untukmengembalikan keseimbangan kalsium. Kalsium dikeluarkan dari plasmamelalui saluran cerna (100-200 mg/hari), urin (50-300 mg/hari) serta sisanya disimpan kembali ke dalam tulang (100 mg/hari). 5-7 Gambar 1. Skema keseimbangan kalsium, yang melibatkan kelenjar paratiroid, ginjal, tulang dan usus halus 6 25(OH)D3, kalsidiol;1,25(OH)2D3, kalsitriol;blood calcium, kalsium serum;Ca2+, ion kalsium;PTH, hormon paratiroid Seorang Penderita Hipokalsemia Berat oleh karena Hipoparatiroidisme Didapat David Dharmawan Harjanto, Made Ratna Saraswati, Ketut Suastika138 J Peny Dalam, Volume 9 Nomor 2 Mei 2008 Berdasarkan status hormon PTH, hipokalsemia dapat dibagi menjadi 3 kelompok, dimana masing

kelompok terdiri dari beberapa jenis etiologi penyebab hipokalsemia. Dasar pemikiran klasifikasi ini adalah, hormon PTH bertanggung jawab secara dominan, terus menerus dalammempertahankan keseimbangan kalsium serum ini, sehingga sedikit saja gangguan pada PTH, baik gangguan sekresi atau fungsionalnya akan mengakibatkan kondisi hipokalsemia. Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut: 6,7 Status PTH Etiologi PTH rendah/tidak ada Hipoparatiroidism herediter atau didapat, Hipomagnesemia PTH tidak efektif Gagal Ginjal Kronik Defisiensi Vitamin D - Kekurangan diet dan cahaya matahari - Gangguan metabolisme: antikonvulsi, Vitamin Ddependent Ricket tipe I Vitamin D-aktif tidak efektif - malabsorbtion - Vitamin D-dependentRicket tipe II Pseudohipoparatiroidism PTH overwhelmed Hiperfosfatemia akut dan berat - Tumor lisis - Cedera Ginjal Akut - Rhabdomyolisis Osteitis fibrosa paska paratiroidektomi Di luar klasifikasi tersebut di atas, terdapat kondisi hipokalsemia semu (pseudo-hypocalcemia) pada hipoalbuminemia karena penyakit kronis, malnutrisi, psoriasis, ekspansi volume intravasluler berlebihan. Keadaan khusus lain, sebagai contoh hipokalsemia pada pankreatitis akut sebagai akibat deposisi garamkalsiumasam lemak bebas di peritoneum. Hipokalsemia pada kondisi critically-ill pada umumnya disebabkan oleh hipoalbuminemia, gagal ginjal, hipomagnesemia, obatobatan serta tranfusi. Hipokalsemia pada kondisi ini mempunyai korelasi positip terhadap mortalitas. 8,9 Hipokalsemia dapat terjadi paska tindakan pembedahan, diantaranya adalah paska tindakan

paratirodektomi, tiroidektomi, hungry bone syndrome. Hipokalsemia paska paratiroidektomi dapat bersifat permanen, dengan faktor risiko terjadinya hipokalsemia sebagai berikut: tingginya osteocalcin dan fosfat serum prabedah, penyakit jantung, tindakan uni atau bilateral, serta luas tindakan itu sendiri, contohnya pada penambahan diseksi kelenjar. Dalam sebuah studi di Prancis, frekuensi hiporatiroidism temporer dan permanen setelah tiroidektomi adalah 20%dan 4%. Dalam sebuah studi lain, frekuensi hipoparatiroidism temporer asimtomatik adalah 25% dan 29% paska tiroidektomi subtotal dan total, sedangkan hipoparatiroidismtemporer simtomatik terjadi pada 1,8% dan 2,9% paska subtotal dan tiroidektomi total. Frekuensi tersebut meningkat menjadi 14% setelah tindakan ulangan. 9 Pradeep et al 3. juga dalam sebuah studi kohort retrospektif di sebuah rumah sakit rujukan tersier di Indiamendapatkan bahwa tiroidektomimenghasilkan hipokalsemia sementara dan permanen sebesar 24%dan 3%sebagai risiko yang dapat diterima.Hipoparatiroidismdikatakan permanen setelah 6 bulan paska operasi. 10 Beberapa faktor risiko penyebab hipokalsemia adalah: kondisi tirotoksikosis prabedah, jenis tindakan (tiroidektomi total), tiroidektomi ulangan, serta ketrampilan operator, dimana faktor operator menduduki posisi paling dominan dalam sebuah studi kohort retrospektif di Italia. 12 Hipotesis hipokalsemia139 paska tiroidektomi adalah gangguan vaskularisasi dan ekstirpasi kelenjar Paratiroid itu sendiri, tetapi tidak bolehmelupakan peran faktor-faktor lain seperti surgical stress, sekresi kalsitonin selamamanipulasi, hungry bone syndrome, serta hipomagnesemia. 10-12 Di dalam kepustakaan, gejala hipokalsemia berat adalah kontraksi otot saluran napas dan laring berkepanjangan yang menyebabkan gagal napas, gagal jantung, hipotensi refrakter, aritmia biasanya terjadi pada kondisi penurunan serum kalsium akut dan berulang, kalsiumion serum<1,1. Kejang (hypocalcemic seizure) dikategorikan sebagai hipokalsemia berat. Gejala klinis hipokalsemia yang lebih ringan yakni kram dan kedutan otot, perasaan kesemutan di sekitar mulut, tangan

dan kaki bagian distal, pemanjangan nilai QT-koreksi pada EKG. 9-11 Semua gejala tersebut membaik dengan restorasi konsentrasi kalsiumserum. 11Manifestasi kronis hipokalsemia diantaranya adalah katarak lentis subkapsular, kulit kering, dermatitis eksfoliatif, impetigo herpetiformis, psoriasis, alopesia (khususnya pada kasus paska tindakan bedah), rambut kasar, kukumudah patah, pruritus kronis, osifikasi ligamen paravertebra serta poor dentition yang berisiko karies dan hipoplasia enamel gigi. Perbaikan konsentrasi kalsium memperbaiki kelainan kulit yang terjadi. 11,12 Secara khusus, hipokalsemia dapat menyebabkan kalsifikasi basal ganglia, cerebellum atau cerebrum yang bersifat ireversibel, grand mal, petit mal, kejang lokal atau bahkan peningkatan tekanan intra-kranial. Bila seseorang telah mempunyai riwayat epilepsi sebelumnya, maka hipokalsemia akan menurunkan ambang rangsang kejang. 12 Kelainan lain yang dapat terjadi adalah gangguan gerak seperti parkinsonism, hemibalismus dan koreoatetosis, serta iritabilitas, confusion, halusinasi, dementia. 10,11 Pada beberapa kasus kronis, hipokalsemia dapat timbul gejala psikosis, psikoneurosis dan penurunan tingkat intelegensia (subnormal) sedangkan pada usia lanjut dapat bermanifestasi sebagai disorientasi atau confusion. Penurunan intelegensia tersebut dapat diperbaiki dengan restorasi konsentrasi kalsium. 12 Pada laporan kasus ini, pasien datang dengan gejala klinis suatu hipokalsemia berat, yakni kejangmenyeluruh dan penurunan kesadaran. Selain gejala hipokalsemia berat, pasien jugamengeluhkan gejala hipokalsemia lain yang lebih ringan, seperti kramotot dan kesemutan berulang, sedangkan gejala-gejala kronis tidak didapatkan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda kelainan neuromuskular, termasuk di dalamnya tanda khas chovstek dan trousseau, tanda-tanda kardiovaskular, respirasi sesuai gejala klinis tersebut di atas.

11,12 Pada pasien, kedua tanda khas tersebut positip, sedangkan tanda-tanda distres sistimkardiovaskuler/respirasi tidak didapatkan. Tingkat kesadaran komposmentis, koheren pada saat pemeriksaan. Tanda-tanda kelainan hipokalsemia kronis, termasuk diantaranya kelainan gerak seperti korea-atetosis, hemibalismus tidak didapatkan. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membuktikan adanya hipokalsemia adalah kalsiumion. Hipokalsemia dikatakan sebagai hipokalsemia yang sebenarnya (True Hypocalcemia) bila didapatkan nilai kalsiumion di bawah nilai normal (1,1-1,3mmol/L) atau nilai kalsium total setelah terkoreksi oleh kadar albumin serum di bawah nilai normal (8,5-10,5 mg/dL). Pedoman koreksi nilai kalsiumtotal adalah sebagai berikut: pengurangan 0,8 mg/dL dari nilai aktual kalsium total untuk setiap 1 gram/dL penurunan albumin serum di bawah 4 gram/dL. Hal tersebut disebabkan karena 40% kalsium ekstraseluler terikat pada albumin serum, sehingga pada beberapa kondisi hipoalbuminemia akan menyebabkan hipokalsemia total semu. 10-12 Pemeriksaan penunjang lain diperlukan untuk mencari penyebab hipokalsemia, diantaranya adalah fosfor, magnesium, albumin serum, PTHintak,metabolit vitaminD[25(OH) D3 dan 1,25(OH)2 D ]3 sampai pemeriksaan radiologis. Pada pasien, pemeriksaan kalsium total pada saat opname menggambarkan suatu hipokalsemia (5,8 mg/ dL). Sebelumnya, yaitu satu bulan sebelum opname Seorang Penderita Hipokalsemia Berat oleh karena Hipoparatiroidisme Didapat David Dharmawan Harjanto, Made Ratna Saraswati, Ketut Suastika140 J Peny Dalam, Volume 9 Nomor 2 Mei 2008 pasien juga mengalami episode hipokalsemia (6,1 mg/ dL) dan mendapatkan suplementasi kalsium dan kalsitriol. Di sini kami tidak melakukan koreksi nilai kalsiumtotal serumterhadap albumin serum, karena nilai albumin normal (4,22 gr/dL), sehingga pengaruh kadar albumin serumterhadap konsentrasi kalsiumtotal dapat disingkirkan. Pemeriksaan kalsiumion untuk sementara belum dapat dilakukan. Hasil rekaman EKGberupa pemanjangan interval

QT-koreksi menunjukkan pengaruh hipokalsemia pada sistim konduksi jantung, tanpa disertai aritmia. Demikian pula hasil EMG menggambarkan gambaran khas hipokalsemia. EEG paska serangan menunjukkan hasil normal, sehingga memperkecil kemungkinan adanya epilepsi parsial kompleks karena proses idiopatik atau fokus kalsifikasi korteks serebri daerah temporal kiri. Penderita menyangkal riwayat serangan kejang berulang sebelum operasi. Pada bentuk kejang menyeluruh (kemungkinan suatu kejang tonik-klonik) pada umumnyamenunjukkan abnormalitas EEGselama dan sesudah serangan.Sementara itu pemeriksaan magnesium dan fosfat anorganik dalam batas normal dan temuan kadar PTH intak < 0,3 pg/dL membantu memastikan etiologi hipokalsemia pada pasien sebagai hipoparatiroidism didapat, kemungkinan besar paska tindakan tiroidektomi total. Secara keseluruhan, berdasarkan data-data anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil-hasil pemeriksaan penunjang, diagnosis akhir pasien adalah sebagai berikut: kejang menyeluruh (hypocalcemic seizure) dan pemanjangan interval QT, et causa hipokalsemia berat sebagai akibat hipoparatiroidisme didapat paska tiroidektomi total, yang disertai hipertiroidisme didapat dan observasi kalsifikasi korteks serebri. Penyebab-penyebab kejang lain telah disingkirkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan beberapa pemeriksaan penunjang. Manifestasi akut berupa hipokalsemia berat (kejang menyeluruh, penurunan kesadaran) pada pasien ini disebabkan oleh kegagalan kelenjar paratiroid dalam menghasilkan hormon paratiroid (hipoparatiroidisme).Hipoparatiroidisme tersebut kemungkinan besar diakibatkan oleh tindakan tiroidektomi total. Faktor penyebab hipokalsemia yang lain, khususnya dengan konsentrasi PTH intak yang rendah, seperti hipomagnesemia dan hipoparatiroidism herediter (sindromaDiGeorge/velocardiofacial, calcium sensor mutation, poyglandular autoimmune deficency, pseudo-hypoparathyroidism, neonatal hypocalcemia) disingkirkan berdasarkan data-data anamnesis, khususnya riwayat saat bayi danmasa kanak-kanak serta tidak didapatkannya tanda-tanda kelainan pertumbuhan. Hipoparatiroidism herediter pada umumnya mulai nampak pada usia dekade awal, dapat berdiri sendiri (hipoparatiroidism idiopatik) atau disertai kelainan organ lain, seperti timus, kelenjar ovarium, tiroid,

adrenal. 8,10,12 Hipertiroidism pada pasien tampaknya disebabkan oleh pemberian hormon tiroksin eksogen, di mana tidak kami bahas secara khusus. Penatalaksanaan hipokalsemia Penatalaksanaan hipokalsemia dibedakanmenjadi 2 bagian, yaitu penatalaksanaan pada kondisi akut dan kronis. Pada kondisi akut, dimana pasien datang dengan kejang, penurunan kesadaran, spasme otot, kegawatan sistim pernapasan dan kardiovaskular, walaupun hipokalsemia yang terjadi bersifat ringan (78 mg/dL) maka penatalaksanaan hipokalsemia harus dilakukan secara agresif dengan kalsium glukonas intravena. 10 Kalsium glukonas intravena diberikan sebagai berikut, 1 sampai 2 ampul (90-180 elemental calcium) dilarutkan dalam 50-100 mL larutan dextrose5%, yang kemudian diberikan dalam 10 menit. Larutan kalsium tidak boleh mengandung bikarbonat atau fosfat, karena dapat membentuk garam kalsium yang tidak mudah larut. Sediaan ini dapat diulang sampai gejala klinis membaik. Pada keadaan hipokalsemia persisten, pemberian kalsium glukonas dalam waktu yang lebih lama dimungkinkan. Target koreksi kalsium di sini141 adalah untuk meningkatkan konsentrasi kalsium serum 2-3 mg/dL dengan pemberian 15 mg/kg elemental calcium dalam waktu 4-6 jam. Kalsium serum selanjutnya harus dipertahankan dalam batas normalnya, dengan infus 0,5-1,5mg/kg berat badan/jamselama 24-48 jamdan diikuti oleh suplementasi kalsiumper oral, dimulai dari 1-2 gram elemental calcium dan bila memungkinkan, bersama 1,25-OH2 D3 . 11,12 Preparat oral sebagai terapi awal diindikasikan pada hipokalsemia ringan (7,5-8 mg/dL dengan gejala ringan). 10,12 Dalam pemberian kalsium intravena, beberapa efek samping dapat terjadi sebagai berikut, pemberian terlalu cepat dapatmenyebabkan aritmia, terutama pada pasien dengan terapi digitalis sebelumnya, sebagai akibat peningkatan sensitivitas terhadap kalsium. Iritasi lokal pada vena dapat pula terjadi akibat pemberian elemental calcium dengan konsentrasi lebih dari 200 mg/100 mL, tetapi risiko nekrosis jaringan lebih rendah pada kalsium

glukonat. 11,12Deposisi kristal kalsiumfosfat dapat timbul karena ekstrapolasi lokal ke jaringan lunak di sekitar tempat pemberian dan rasio kalsium-fosfat melampaui solubilitas produknya.Deposisi tersebut terutama terjadi pada paru dan ginjal. Sebagai bagian penatalaksanaan hipokalsemia akut, penentuan konsentrasi magnesium serum adalah penting, karena koreksi hipomagnesemia akan memperbaiki resistensi PTH sebelum kalsium serum kembali normal. 6,12 Pada kondisi hipokalsemia kronik, dimana pasien hanya mengeluhkan gejala ringan atau bahkan tanpa gejala klinis, dapat diberikan preparat kalsium dan vitaminDper oral. Beberapa jenis preparat kalsiumterdapat di pasaran, dimana kalsiumkarbonat paling banyak digunakan. Preparat kalsium karbonat mengandung 40% elemental calcium dengan harga relatif murah, sedangkan kalsium sitrat mengandung 21%, kalsium laktat 13%, kalsium glukonat 9% elemental calcium. Selain preparat tablet juga terdapat preparat cair, seperti kalsium glubionat yang mengandung 230 mg elemental calcium dalam 10 mL serta kalsium karbonat cair. Dosis preparat kalsium dimulai dari 1-3 gram elemental calcium yang terbagi dalam 3-4 dosis bersama makan. Target koreksi hipokalsemia di sini adalah: 1. Terkontrolnya gejala klinis. 2. Mempertahankan konsentrasi kalsium serum pada sekitas batas bawah kisaran normalnya (kira-kira 8 8,5 mg/dL). 3. Jumlah kalsium urin dalam 24 jam dibawah 300 mg/ 24 jam. 4. Produk kalsium-fosfat dibawah 55. Konsentrasi kalsium serum, fosfat, kreatinin sebaiknya dimonitor setiap 3-6 bulan, ekskresi kalsium urin selam 24 jam dipantau setiap tahunnya, demikian pula pemeriksaan mata untuk mendeteksi terjadinya katarak. Efek samping yang mungkin terjadi adalah hiperkalsiuria yang disertai nefrokalsinosis dan atau nefrolitiasis akibat berkurangnya efek PTH di tubulus ginjal. Pemantauan ini dilakukan setelah stabilitas kalsium serum. Konsentrasi kalsium serum sendiri adalah modulator lemah terhadap hiperkalsiuria dan nefrokalsinosis. Dalam sebuah studi potong lintang terhadap penderita hipoparatiroidism paska operasi, 2/ 25 pasienmengalami nefrolitiasis dan katarak dibanding

kontrol. 10-12 Penatalaksanaan hipoparatiroidism Secara khusus pada hipoparatiroidismdibutuhkan pemberian vitamin D atau analog vitamin D. Kalsitriol, sebuah vitamin D dalam bentuk aktif dan kerja cepat sehingga digunakan sebagai terapi inisial. Pada umumnya dibutuhkan 0,25 mg dua kali sehari sampai 0,5mg empat kali sehari secara titrasi. Pilihan lain yang lebih praktis adalahEgocalciferol, sebuah preparat kerja panjang, 50.000-100.000 IU/hari. Kalsitriol harus diberikan sejak 3 minggu pertama untuk kemudian ditapering of dan overlapping dengan ergocalciferol (vitamin D2). Diuretik thiazide dapat digunakan untuk meningkatkan absorbsi kalsium ginjal pada kasus hipoparatiroidismdengan hiperkalsiuria, berguna untuk Seorang Penderita Hipokalsemia Berat oleh karena Hipoparatiroidisme Didapat David Dharmawan Harjanto, Made Ratna Saraswati, Ketut Suastika142 J Peny Dalam, Volume 9 Nomor 2 Mei 2008 mengurangi ekskresi kalsium urin menjadi kurang dari 4 mg/kg berat badan/hari. Beberapa obat yang harus dihindari diantaranya furosemide dan loop diuretics yang lain serta glukokortikoid karena menyebabkan hipokalsemia. 8,10,11 Pada kondisi hipoparatiroidism, terapi ideal adalah mengganti hormon tersebut. Auto dan xenotransplantasi jaringan kelenjar paratiroid telah dikerjakan pada saat paratiroidektomi untuk mempertahankan fungsinya. Kedua metode tersebut memberikan tingkat kesuksesan yang bervariasi.Marwah et al. 2 dalamsebuah studi kohort prospektif menyimpulkan bahwa autotransplantasi minimal 1 kelenjar paratiroid secara rutin secara bermaknamengurangi insiden hipoparatiroidism dibanding kontrol (preservasi in situ). Preparat hormon PTH (1-34PTH, teriparatide) juga telah dicoba sebagai terapi pengganti. Dalam beberapa penelitian termasuk uji klinis terbatas selam3 tahun, dosis PTHsekali sampai dua kali sehari subkutan mampu menormalkan konsentrasi kalsium serum setara kalsitriol, tetapi mempunyai kelebihan ekskresi kalsium urin normal. Preparat PTH inimasih belumdisahkan oleh FDA. 2,5,8,11 Dalam sebuah meta-analisis oleh Grodski et al.

13 disimpulkan bahwa pengukuran PTH dalam waktu 10 menit sampai beberapa jam post operatif atau kenaikan 75% dari nilai awal pada intra-operatif (dalam sebuah studi prospektif oleh Higgins, et al. 15 ) dapat digunakan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya hipokalsemia paska tiroidektomi, dan pemberian preparat kalsium per oral secara rutin berdasarkan hasil pengukuran PTHdi atasmampumengurangi insiden dan tingkat keparahan hipokalsemia paska tiroidektomi. Kedua protokol tersebut memperbaiki outcome paska tiroidektomi. 13,14 Secara khusus dalam sebuah studi prospektif, kadar PTH < 15 pg/mL (1,6 pmol/L) pada 8 jampaska tiroidektomimemiliki risiko tinggi terjadinya hipokalsemia sedangkan lobektomi kelenjar tiroid dan eksisi adenoma kelenjar paratiroid memiliki risiko rendah terjadinya hipokalsemia. 15,16 RINGKASAN Telah dilaporkan seorangwanita berusia 24 tahun, suku Bali dengan kejang menyeluruh (hypocalcemic seizure) dan pemanjangan interval QT, et causa hipokalsemia berat sebagai akibat hipoparatiroidisme didapat paska tiroidektomi total yang disertai hipertiroidisme didapat dan observasi kalsifikasi korteks serebri. Kesimpulan ini didukung oleh adanya serangan kejangmenyeluruh yangmendadak dan berulang disertai penurunan kesadaran sesaat, dibuktikan dengan adanya hipokalsemia berulang, hipoparatiroidism, riwayat paska tiroidektomi total. Klasifikasi hipokalsemia dilakukan berdasarkan status hormon PTH. Hipoparatiroidism paska tiroidektomi dapat berlangsung sementara atau permanen (>6 bulan), faktor risiko yang mendasarinya, seperti: kondisi tirotoksikosis prabedah, jenis tindakan (tiroidektomi total), tiroidektomi ulangan, serta ketrampilan operator, dimana faktor operatormenduduki posisi paling dominan.Kejangmenyeluruh dengan penurunan kesadaran adalah manifestasi hipokalsemia akut dan berat yang jarang terjadi. Diagnosis pasti hipokalsemia-hipoparatiroidism paska tiroidektomi adalah pengukuran kalsium ion se-

rum atau kalsium total dengan koreksi albumin serum dan PTH intak yang rendah, serta magnesium serum dalam kisaran normal. Penatalaksanaan hipokalsemia dibagimenjadi penanganan akut dengan pemberian preparat kalsium intravena dan kronis dengan preparat kalsium dan vitamin D oral. Penatalaksanaan hipoparatiroidism paska tiroidektomi meliputi pemberian vitamin D, auto dan xeno-transplantasi kelenjar paratiroid sampai preparat PTH subkutan (teriparatide). Pemantauan kadar PTH intra-operatif atau segera setelah tiroidektomi yang disertai pemberian preparat kalsium dini dapat memprediksi dan mengurangi insiden dan tingkat keparahan hipokalsemia paska tiroidektomi.143 DAFTAR RUJUKAN 1. BrodyT.Hypocalcemia.Gale encyclopedia ofmedicine 2002. 2. Marwah S, et al. Routine parathyroid auto-transplantation during subtotal thyroidectomy for benign thyroid disease. Journal of Surgery 2007;11:323-9. 3. Pradeep, et al. Safety and efficacy of surgical management of hyperthyroidism.World Journal of Surgery 2007;306:12. 4. Beach C. Hypocalcemia. Available at: www.emedicine.com. Accessed Aug 16 th 2008. 5. Shoback D. Hypoparathyroidism. N Eng J Med 2008;359:276-82. 6. Potts J. Disease of the parathyroid gland and hypocalcemic disorders. Harrison s Principles Internal Medicine. 16 th ed. In: Kasper DL, Fauci AS, Ongo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors. New York: McGraw-Hill;2005.p.2249-68. 7. Fitzpatrick L. Hypocalcemia: diagnosis and treatment. Available at: www.endotext.com. Accessed Aug 16 th 2008. 8. Cole, et al. Hypoparathroidism and pseudohypoparathyroidism. Available in: www.endotext.com. Accessed Sept 11 th 2008.

9. Sureja M. Hypocalcemia. Available at: www.emedicine.com. Accessed Sept 11 th 2008. 10. Skugor, et al. Hypocalcemia. Available at: www.cleveland clinic. Accessed Sept 11 th 2008. 11. Hardy R. Disorders of calcium metabolism. Available at: www.emedicine.com. Accessed Sept 11 th 2008. 12. Sciume C, et al. Complications in thyroid surgery: symptomatic post-operative hypoparathyroidism incidence, surgical technique, and treatment.Annals of Italian Chir 2006;77(2):115-22. 13. Grodski, et al. Evidence for the role of perioperative PTH Measurement after total thyroidectomy as a predictor of hypocalcemia. World Journal of Surgery 2008;32(7):1367-73. 14. Chia, et al. Prospective study of perioperative factors predicting hypocalcemia after thyroid and parathyroid surgery. Arch Otolaryngology, Head and Neck Surgery 2006;43:41-5. 15. Higgins, et al. The role of intra-operative rapid parathyroid hormone monitoring for predicting thyroidectomy related hypocalcemia. Arch Otolaryngology, Head and Neck Surgery 2004;43:63-7. 16. Richards, et al. Intra-operative parathyroid hormone assay, an accurate predictor of symptomatic hypocalcemia following thyroidectomy: Arch Surgery 2003;56:632-6.

You might also like