You are on page 1of 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Evaluasi Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit
Pelayanan menurut Groonroos (1990), suatu aktivitas atau serangkaian
aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai
akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang
disediakan perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk
memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan. Dalam konsep pelayanan
rawat inap di rumah sakit maka aktivitas yang dimaksud adalah aktivitas yang
diberikan tenaga profesi kesehatan kepada pasien di semua instalasi rawat inap
dalam rangka menyembuhkan pasien, mengurangi keterbatasan dan
ketidakmampuan, memenuhi harapan dan berkualitas. Kualitas dalam pelayanan
berhubungan dengan mutu pelayanan, mutu pelayanan berhubungan dengan
struktur input dan proses dari manajemen pelayanan di instalasi rawat inap.
Penyelenggaraan pelayanan paripurna adalah prosedur kompleks yang
terdiri dari kegiatan preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. Pelayanan
kesehatan bersifat holistik karena melibatkan jasmani, rohani, sosial dan
lingkungan masyarakat menyangkut berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan
teknologi, iman dan taqwa (Depkes, 2000). Evaluasi terhadap penyelenggaraan
pelayanan diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat sesuai dengan
kebijakan-kebijakan yang berlaku. Perkembangan perilaku ekonomi dan teknologi
mengharuskan rumah sakit menyiapkan diri memenuhi tuntutan dari kemampuan
masyarakat mengevaluasi mutu pelayanan mereka sebagai industri jasa.
Manajemen rumah sakit sesungguhnya bersifat kompleks, tidak hanya
menyangkut pelayanan medik dan pelayanan keperawatan saja, namun juga
mencakup manajemen perhotelan, pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi,
manajemen personalia, manajemen perlengkapan, transportasi dan manajemen
pelayanan umum lainnya. Dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan di rumah
sakit khususnya yang menyangkut proses pelayanan dapat digambarkan dalam
gambar model pelayanan di rumah sakit seperti gambar 4 di halaman berikut.
9

Gambar 1. Model Pelayanan Rumah Sakit (Wijono, 1999)

Pelayanan medik

Pelayanan keperawatan

Pelayanan penunjang medik

Pelayanan perhotelan

Pelayanan komunikasi, informasi


dan edukasi

Pelayanan umum

INPUT PROSES OUTPUT

Rumah sakit merupakan institusi yang padat modal, teknologi dan tenaga
sehingga pengelolaan rumah sakit tidak bisa semata-mata sebagai unit sosial,
telah dijadikan sebagai subyek hukum dan juga sebagai target gugatan atas
pelayanan medik. Rumah sakit harus mempunyai sistem dan proses untuk
melakukan monitoring dan meningkatkan pelayanan, secara efektif melaksanakan
evaluasi mutu pelayanan. Evaluasi pelayanan kesehatan bersifat multi
dimensional mencakup riwayat penyakit, proses pelayanan kesehatan, sasaran,
efisiensi, efektifitas, dimensi-dimensi mutu dan sistem pelayanan (Azwar, 1999),
sedangkan menurut WHO, evaluasi adalah: suatu cara yang sistematis untuk
mempelajari berdasarkan pengalaman dan menggunakan pembelajaran untuk
memperbaiki kegiatan-kegiatan yang sedang dilakukan serta meningkatkan
perencanaan yang lebih baik dimasa mendatang dengan seleksi yang seksama .
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui kemajuan pelaksanaan kegiatan atau
pelaksanaan program. Tujuan evaluasi adalah untuk memperbaiki efisiensi dan
efektivitas dengan memperbaiki fungsi manajemen. Evaluasi mutu pelayanan di
rumah sakit dilakukan salah satunya dengan audit medik. Ruang lingkupnya dapat
spesialistik dan atau sangat multi disiplin (Wijono, 1999), dari semua struktur
proses pelayanan di rumah sakit. Mengapa diperlukan evaluasi bagi pelaksanaan
10

pelayanan di rumah sakit, berbagai jawaban dapat diberikan dari berbagai disiplin
ilmu dan dari tingkat keperluan. Salah satu faktor kunci dalam pengembangan
pelayanan rumah sakit adalah bagaimana meningkatkan mutu pelayanan medik.
Karena mutu pelayanan medik merupakan indikator penting tentang bagaimana
baik buruknya pelayanan di rumah sakit. Di sisi lain mutu pelayanan sangat terkait
dengan safety (keselamatan), karena itu upaya pencegahan medical error
sangatlah penting dan audit medik lebih penting.
B. Konsep Mutu Pelayanan
Konsep mutu merupakan hal yang subjektif, karena setiap orang menilai
dari karakteristik yang berbeda-beda. Pandangan tentang mutu pelayanan rawat
inap tergantung pada nilai-nilai serta pengalaman pasien dan atau anggota
keluarganya, oleh karena itu mutu pelayanan sebagai struktur luaran
berhubungan dengan struktur input dan proses pelayanan rawat inap. Azwar
(1996), berpendapat bahwa mutu harus selalu berorientasi pada biaya (cost
oriented) dan penghasilan (income oriented). Mutu pelayanan adalah yang
menunjukkan pada tingkat kesempurnaan pelayanan, yang disatu pihak dapat
menimbulkan kepuasan pada setiap pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-
rata penduduk serta di pihak lain tatacara penyelenggaraannya sesuai dengan
standar dan kode etik profesi (Wiyono, 1999). Untuk mengetahui tingkat kepuasan
pasien perlu memperhatikan bagaimana tingkat persepsi pasien terhadap
pelayanan rumah sakit. Oleh karena itu persepsi pasien dapat dijadikan informasi
dalam upaya peningkatan mutu pelayanan medik di rumah sakit (Ong dan Koch,
1994).
Aspek mutu pelayanan rumah sakit berkaitan erat dengan masalah
medikolegal, karenanya mutu pelayanan medik perlu mendapatkan evaluasi dari
struktur input, struktur proses dan struktur luaran (Depkes, 2005). Tingkat
kesempurnaan pelayanan di rumah sakit sangat relatif, dari sisi pemberi
pelayanan di rawat inap adalah apabila semua tahapan dalam pelaksanaan
semua jenis pelayanan yang dibutuhkan untuk kesembuhan pasien telah
memenuhi standar pelayanan yang disusun dan disepakati untuk dilaksanakan
11

dalam setiap memberikan pelayanan kepada pasien di rumah sakit (Copeland,


2005).
Donabedian (1988), mengemukakan bahwa kualitas pelayanan dalam
perspektif yang lebih luas meliputi interaksi praktisi medik dengan pasien;
kontribusi pasien dalam pelayanan; kenyamanan pelayanan; akses terhadap
fasilitas pelayanan; pengaruh sosial terhadap akses; dan pengaruh sosial dalam
peningkatan kesehatan melalui pelayanan kesehatan. Pengertian mutu pelayanan
menurut Depkes RI (1993), ialah derajat kesempurnaan pelayanan rumah sakit
yang memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan dengan menggunakan
potensi sumber daya yang tersedia secara wajar, efisien dan efektif serta
diberikan secara aman dan memuaskan sesuai dengan norma, etika, hukum dan
sosio budaya dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan pemerintah
dan masyarakat konsumen.
Mutu pelayanan sebuah rumah sakit akan selalu terkait dengan struktur
input, struktur proses dan struktur luaran dari sistem pelayanan rumah sakit
(Green dkk, 1997). Dari rumusan-rumusan mutu pelayanan sebenarnya
menunjukkan pada luaran dari struktur proses pelayanan yang telah mendapatkan
input-input terstruktur berupa unsur-unsur manajemen pelayanan di rumah sakit.
Luaran ini dapat diukur dengan rasionalisasi terhadap indikator-indikator mutu
pelayanan rumah sakit sebagai suatu standar yang harus dicapai dan
dipertahankan dan jika mungkin melampauinya (Azwar, 1996). Keterkaitan
dengan mutu pelayanan yang menjadi sumber dan pokok evaluasi pelayanan,
maka standar mutu adalah yang kita kehendaki atau dengan kata lain mutu yang
memenuhi standar yang kita kehendaki. Maka mutu yang memenuhi standar
diawali dari adanya sumberdaya (input) yang memenuhi standar, hasil yang
memenuhi standar diawali oleh proses pelayanan yang terstandar. Dengan
melihat masalah mutu menggunakan pendekatan sistem, dapat dipahami bahwa
suatu masalah yang timbul dalam struktur input akan memberikan akibat
berangkai pada mutu proses dan selanjutnya mempengaruhi hasil dan
memberikan dampak jangka pendek dan jangka panjang Depkes RI (1993).
12

C, Standar dan Indikator Pelayanan Rumah Sakit


Pemerintah telah menetapkan beberapa indikator yang dapat dijadikan
pedoman dalam mengukur tingkatan mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Pengukuran ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan data yang diantaranya
bersumber dari rm pasien. Indikator kematian yang berhubungan/mengacu
dengan aspek pelayanan medik menurut Depkes RI diantaranya adalah:
a. Kematian paska bedah (Post operation death rate), yaitu: rasio antara jumlah
pasien paska bedah yang meninggal dalam 10 hari setelah operasi dan jumlah
pasien yang dioperasi dalam satu periode (Eachern, 1969), indikatornya
adalah 0% untuk yang dibenarkan dan 1% untuk yang tidak dibenarkan
(Rissanen, 2000).
b. Kematian ibu melahirkan, yaitu: rasio antara jumlah pasien obstetri yang
meninggal dan jumlah pasien obstetri yang keluar (hidup/meninggal) dalam
satu periode (Huffman, 1990),
c. Kematian > 48 jam, yaitu: angka kematian > 48 jam setelah dirawat untuk
setiap 1000 penderita keluar yang dihitung sebagai rasio jumlah pasien mati
setelah 48 jam atau lebih dirawat terhadap jumlah pasien keluar (hidup + mati)
dikali 1000, (Depkes, 2002), rumusan lain yang dipakai adalah: total kematian
> 48 jam dalam periode tertentu dibagi total pasien keluar hidup dan mati > 48
jam dalam periode yang sama dikali 100% (Muninjaya, 2004).
d. Kematian < 48 jam, yaitu: angka kematian umum untuk setiap 1000 penderita
keluar yang dihitung sebagai rasio jumlah pesien mati seluruhnya terhadap
jumlah pasien keluar dikali 1000 (Muninjaya, 2004). Nilai idealnya: > 45
perseribu (Depkes, 2000). Angka ini bias untuk menilai mutu Pelayanan
kesehatan jika angka kematian > 48 jam lebih tinggi.
Secara luas rerata mortalitas dapat digunakan sebagai sumber informasi
dalam mengukur tingkat mutu pelayanan di rumah sakit (Gowrisankaran, 1999).
Rumah Sakit Ninewalls dari tahun 1994-1998 di Edinburg menggunakan data
kematian untuk meneliti biaya efektif yang telah dibayarkan pasien kepada rumah
sakit dengan hasilnya adalah hanya 40% total biaya yang telah dikeluarkan pasien
yang memberikan nilai pada upaya keselamatan dan pelayanan, sedang sisanya
13

untuk keperluan keluarga dan kesejahteraan pada pemberi pelayanan (Cool,


1999).
Indikator mutu yang terkait dengan pelaksanaan audit medik, yang dapat
dikembangkan oleh komite medik antara lain: jumlah pembahasan kasus per
tahun; jumlah pelaksanaan audit; persentase rekomendasi dari pembahasan
kasus yang sudah dilaksanakan; persentase rekomendasi dari hasil audit medik
yang sudah dilaksanakan; persentase penurunan medical error. Pemerintah telah
mengeluarkan kebijakan tentang standar minimal yang harus dilakukan oleh
instansi pemerintah yang memberikan pelayanan umum, intinya untuk memenuhi
kebutuhan akan mutu pelayanan dari masyarakat sebagai konsumen/pelanggan.
Kualitas pelayanan medik menjadi indikator kinerja rumah sakit untuk dapat
meningkatkan kunjungan pasien. Bila kualitas tidak terus menerus dipelihara dan
ditingkatkan besar kemungkinan rumah sakit akan ditinggalkan pasien. The
American College of Surgeons (ACS) memformulasikan standar untuk pekerjaan
profesional di rumah sakit, antara lain ada 5 (lima) butir yang penting yang
berhubungan dengan kematian, serta ada batas ambangnya dan tidak terlalu sulit
untuk mengumpulkan datanya, mencakup: angka kematian kasar; angka kematian
pasca bedah; angka kematian anastesi; angka kematian persalinan dan angka
kematian bayi (Eachern, 1969).
Standar kualitas pelayanan medik dapat dilihat dari tinggi rendahnya angka
kematian di rumah sakit dan sebagai indikatornya angka berikut yang merupakan
acuan umum: angka kematian kasar 3-4%; angka kematian pasca bedah 1-2%;
angka kematian anastesi < 1%; angka kematian persalinan 1-2‰ dan angka
kematian bayi 15-20‰ (Soejadi, 1996).
D. Audit
1. Pengertian Audit
Ada beberapa pengertian audit, diantaranya ialah:
a. Audit adalah suatu metode evaluasi, yang didefinisikan sebagai analisis
kritis secara sistematis dari mutu pemeliharaan kesehatan (Azwar, 1999)
14

b. Audit medik sebagai upaya evaluasi secara professional terhadap mutu


pelayanan medik yang diberikan kepada pasien dengan menggunakan
rekam mediknya yang dilaksanakan oleh profesi medik (Depkes, 2005).
c. Audit medik, adalah suatu model evaluasi yang didefinisikan sebagai
analisis kritis secara sistematis dari mutu pemeliharaan kesehatan.
Termasuk didalamnya prosedur yang digunakan untuk diagnosa dan terapi,
penggunaan sumber daya dan outcome yang dihasilkan dan mutu hidup
pasien (Suther dkk, 1993, cit Pranantyo, 1996).
Maksud dari medikal audit jika dijalankan dengan efektif akan membantu
menyediakan jaminan yang diperlukan kepada dokter, perawat, pasien dan
manajer dimana mutu yang paling baik dari pelayanan dicapai dengan
kemampuan sumber daya yang ada (Legort dkk, 1993, cit. Pranantyo). Manfaat
dari audit adalah: meningkatkan outcome pasien; meningkatkan mutu kehidupan
pasien; fungsi adekuat untuk staf yunior yang sedang belajar dan meningkatkan
hasil, cost effectivenes dari sumber daya yang ada. Sedangkan kerugian yang
diakibatkan oleh audit (jika ada indikasi perilaku dokter spesialis yang arogan)
diantaranya adalah: mengambil waktu tenaga profesional.
Audit medik perlu dilakukan sebagai upaya mengejawantahkan etika
kedokteran dan melindungi pasien (Moeloek, 2005). Tingkatan audit terdiri dari:
tingkat konsultan individu; seorang konsultan secara sistematis riview terhadap
pekerjaan unit kerja dan staf yuniornya, audit peer riview (teman sejawat); adalah
dimana teman sejawat disiplin keilmuan meriview masing-masing pekerjaan satu
sama lainnya, dan eksternal audit; audit dari luar rumah sakit yang dapat
dilakukan oleh organisasi profesi atau instansi terkait. Audit sebagai suatu
kegiatan untuk melaksanakan pengamatan dan evaluasi suatu kegiatan
pelayanan. Audit dilaksanakan untuk mengambil suatu keputusan, sementara itu
Alcorn dkk, (1979) menyatakan audit merupakan salah satu cara pengamatan dan
evaluasi yang efektif dalam rangka merencanakan biaya dan pengawasan
pelayanan rumah sakit.
Berdasarkan Permenkes Nomor 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman
Audit di Rumah Sakit, audit yang dilakukan oleh rumah sakit adalah audit internal,
15

merupakan kegiatan sistemik yang terdiri dari kegiatan peer review, surveillance
dan assessment terhadap pelayanan medik. Pedoman ini terdiri dari 5 bab, yaitu:
pendahuluan, audit medis dan kaitannya dengan mutu pelayanan medis,
tatalaksana audit medis, monitoring dan evaluasi dan penutup (Depkes, 2005).
Pengembangan peningkatan mutu pelayanan saat ini mengarah kepada patient
safety yaitu keselamatan dan keamanan pasien, sangat penting untuk
meningkatkan mutu rumah sakit dalam rangka globalisasi. WHO Excecutive
Board telah mengeluarkan suatu resolusi untuk membentuk program patient
safety yang terdiri dari 4 aspek utama yakni:
a. Penetapan norma, standar dan pedoman global dalam melaksanakan
kegiatan pencegahan untuk menurunkan resiko,
b. Merencanakan kebijakan upaya peningkatan pelayanan pasien berbasis
bukti dengan standar global, yang menitikberatkan terutama dalam
aspek produk yang aman dan praktek klinis yang aman sesuai dengan
pedoman, medical product dan medical devices yang aman digunakan
serta mengkreasi budaya keselamatan dan keamanan dalam
Pelayanan kesehatan dan organisasi pendidikan,
c. Mengembangkan mekanisme melalui akreditasi untuk mengakui
karateristik provider pelayanan kesehatan bahwa telah melewati
benchmark untuk unggulan dalam keselamatan dan keamanan pasien
secara internasional (patient safety internationally) dan,
d. Mendorong penelitian terkait dengan patient safety.
Keempat aspek diatas sangat erat kaitannya dengan globalisasi bidang
kesehatan yang menitik beratkan akan "mutu". Dengan adanya program
keselamatan dan kemanan pasien (patient safety) tersebut, diharapkan rumah
sakit bertanggung jawab untuk meningkatkan mutu pelayanan dengan standar
yang tinggi sesuai dengan kondisi rumah sakit sehingga terwujudnya pelayanan
medik prima di rumah sakit. Aspek mutu pelayanan medik di rumah sakit berkaitan
erat dengan masalah medikolegal (Dwiprahasto, 2005).
Pembahasan kasus tersebut antara lain meliputi kasus kematian atau yang
lebih dikenal dengan istilah death case, kasus sulit, kasus langka, kasus
16

kesakitan, kasus yang sedang dalam tuntutan pasien atau sedang dalam proses
pengadilan dan lain sebagainya. Kasus yang dibahas pada pembahasan kasus
tersebut adalah kasus perorangan/per-pasien dan dilakukan secara kualitatif.
Audit medik merupakan hal penting yang wajib dilakukan oleh rumah sakit.
Dengan adanya berbagai bentuk audit maka rumah sakit diharapkan dapat
memilih bentuk/tema audit sesuai dengan situasi dan kondisi rumah sakit masing-
masing. Rumah sakit harus membentuk tim pelaksana audit medik berikut dengan
uraian tugasnya. Tim pelaksana tersebut dapat merupakan tim ataupun panitia
yang dibentuk di bawah komite medik atau panitia yang dibentuk khusus untuk itu.
Jadi pelaksanaan audit medik dapat dilakukan oleh komite medik, sub Komite
(panitia) peningkatan mutu medik atau sub komite (panitia) audit medik.
Mengingat audit medik sangat terkait dengan berkas rekam medik, maka
pelaksana audit medik wajib melibatkan bagian rekam medik khususnya dalam
hal pengumpulan berkas rekam medik (Depkes, 2005).
Evaluasi pelaksanaan audit medik dilakukan paling lama setiap tahun.
Tujuan evaluasi dari pelaksanaan adalah agar proses audit dapat berjalan Iebih
baik. Selain di tingkat rumah sakit, monitoring dan evaluasi pelaksanaan audit
medik dilakukan melalui pelaksanaan akreditasi rumah sakit. Pada akreditasi
rumah sakit untuk pelayanan medik ada kewajiban rumah sakit untuk melakukan
audit medik. Ketentuan dari akreditasi rumah sakit adalah rumah sakit harus
mempunyai tim audit yang dapat merupakan bagian dari sub komite peningkatan
mutu dari komite medik (Depkes, 2005). Pelaporan audit medik dilakukan paling
lama setiap 3-6 bulan sekali dalam rapat khusus membahas hasil audit medik dan
bisa dipublikasikan. Naskah tertulis sebagai hasil akhir dari audit ini dapat
dipublikasikan dengan persetujuan pasien demi perkembangan ilmu kedokteran
/kesehatan.
Tim ini dibentuk untuk meneliti dan membahas kasus-kasus medik penting.
Dalam melaksanakan tugasnya tim audit dapat mengundang dokter ahli lain yang
berasal dari dalam dan luar rumah sakit (dokter ahli lain tersebut bukan anggota
tim audit) yang relevan dengan kasus-kasus yang diteliti dan dibahas. Untuk
melaksanakan audit, tim harus mempunyai pedoman audit dan melaksanakan
17

audit secara teratur. Suatu audit dapat dilaksanakan oleh satu auditor atau lebih.
Seorang auditor harus mempunyai keterampilan yang cukup untuk melaksanakan
suatu audit. Klien adalah orang, departemen atau kelompok yang meminta audit
atau dengan kata lain klien adalah pelanggan auditor. Audit dimulai berdasarkan
suatu permintaan dari klien atau pelanggan. Peminta harus yang mempunyai
kewenangan untuk hal tersebut dan harus mengetahui untuk apa audit diminta
(Depkeu, 2003).
Berdasarkan hal tersebut monitoring dan evaluasi yang akan dilakukan
melalui program akreditasi rumah sakit meliputi: 1. Keberadaan tim pelaksana
audit medik, 2. Pedoman audit medik, 3. Jumlah kasus yang dilakukan audit
minimal 3 (tiga) buah, 4. Laporan kegiatan audit medik, 5. Rekomendari dari hasil
audit dan 6. Tindak lanjut pelaksanaan rekomendasi. Audit medik adalah
merupakan peer review, peer surveilllance dan peer assessment. (Depkes, 2005)
Apabila diperlukan, pelaksana audit medik dapat mengundang konsultan
tamu atau organisasi profesi terkait untuk melakukan analisa hasil audit medik dan
memberikan rekomendasi khusus. Pelaksanaan audit harus secara terbuka, adil,
jujur, transparan, tidak konfrontasional, tidak menghakimi, friendly dan
konfidensial. Perlu didukung dengan umpan balik berbentuk presentasi,
penekanan bahwa audit bukan untuk seseorang atau nama, bukan untuk
menyalahkan atau membuat malu tetapi untuk meningkatkan pelayanan terhadap
pasien. Mengingat, tidak seorangpun senang untuk dikritik, maka sub komite
peningkatan mutu profesi/tim pelaksana audit medik merupakan orang yang
penting dalam mensukseskan kegiatan audit medik.
Selain itu tujuan audit medik bukan merupakan upaya memberikan sanksi
melainkan merupakan cara dan alat evaluasi pelayanan medik, untuk menjamin
pasien dan masyarakat pengguna, bahwa mutu pelayanan yang tinggi perlu
ditegakkan sebagai sasaran yang harus dibina secara terus menerus. Dalam audit
medik, kehadiran konsultan tamu kadang sangat berguna untuk melaksanakan
dan membantu kegiatan-kegiatan analisa dasar dan membuat rekomendasi
khusus. Walaupun tanggung jawab pelaksanaan audit medik tetap pada
pelaksana audit dengan peran kelompok staf medik terkait (Depkes, 2005).
18

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Audit Bagi Rumah


Sakit dijelaskan bahwa untuk melaksanakan evaluasi pada proses audit
diperlukan standar, namun banyak faktor yang mempengaruhi penetapan standar,
diantaranya adalah beberapa faktor yang berhubungan dan dapat diukur secara
tepat. Maka hasil evaluasi dan interpretasi dari semua aspek hasil audit
memerlukan pertimbangan yang sangat bijaksana dengan kesadaran akan
adanya kaitan dari satu aspek ke aspek lainnya. Selain itu, walaupun perhitungan
statistik merupakan bagian dari audit medik, namun harus ditekankan bahwa
statistik hanya merupakan suatu bagian saja dan pada dasarnya hanya berperan
sebagai titik tolak dari semua upaya audit medik untuk keperluan dokumentasi.
Dengan dilakukannya monitoring dan evaluasi kegiatan audit medik
tersebut maka pencatatan dan pelaporan kegiatan perlu dilakukan dengan baik.
Notulen rapat, hasil pembahasan/penelitian kasus yang di audit perlu dilakukan
secara tertulis dan dilaporkan ke direktur rumah sakit.
Audit medik merupakan siklus yang terus menerus karena merupakan
upaya perbaikan yang terus menerus. Berdasarkan hal tersebut diatas maka
langkah-langkah pelaksanaan audit medik sebagai berikut :
a. Choose topic; Pemilihan topik yang akan dilakukan audit,
b. Set target standards; Penetapan standar dan kriteria,
c. Observe pra; Penetapan jumlah kasus/sampel yang akan diaudit,
d. Compare performance with target; Membandingkan standar/kriteria dengan
pelaksanaan pelayanan Sub Komite, melakukan analisa kasus yang tidak
sesuai standar dan kriteria,
e. Implement change and plane care; Tindakan korektif, dan
f. Cycle repeated; Rencana re-audit (Wiyono. 1999).
Terlaksananya langkah-langkah audit sebagaimana tersebut di atas sangat
tergantung dengan motivasi staf medik untuk meningkatkan mutu pelayanan,
karena itu dalam melakukan audit perlu memperhatikan apa yang harus dilakukan
(do's) dan apa yang jangan dilakukan (don'ts). Dalam perspektif baru audit
merupakan review, surveillance dan assessment secara sistematis dan
independen untuk menentukan apakah kegiatan penerapan standar sudah
19

dilaksanakan atau belum. Dan bila belum dilaksanakan dicari akar permasalahan
sehingga bisa dilakukan upaya perbaikan. Apabila dari hasil audit ditemukan
kesalahan atau tidak dipatuhinya standar maka perlu dilakukan pembinaan dan
dicari solusi pemecahan permasalahannya. Walaupun telah ada perubahan
pengertian dan tujuan audit, namun kesan mencari-cari kesalahan kadang-kadang
masih dirasakan. Oleh karena itu sebelum melakukan audit medik, rumah sakit
perlu melakukan Iangkah-Iangkah persiapan audit medik sebagai berikut:
a. Rumah sakit menetapkan pelaksana audit medik oleh Komite Medik dengan
Surat Keputusan Direktur Rumah Sakit, karena itu rumah sakit wajib
mempunyai Komite Medik dan sub-sub komite, dimana komite dan sub komite
tersebut telah berfungsi. Penetapan organisasi pelaksana audit medik harus
dilengkapi dan uraian tugas anggota. Rumah sakit perlu menyusun pedoman
audit medik rumah sakit, Standart Operating Procedure audit medik serta
standar dan kriteria jenis kasus atau jenis penyakit yang akan dilakukan audit.
b. Rumah sakit membudayakan upaya self assessment atau evaluasi pelayanan
termasuk evaluasi pelayanan medik, sehingga setiap orang/unit kerja di rumah
sakit sudah terbiasa dengan siklus PDCA (Plan, Do, Check, Action).
c. Rumah sakit agar membuat ketentuan behwa setiap dokter/dokter gigi yang
memberikan pelayanan medik wajib membuat rekam medik dan harus segera
dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan medik.
d. Rumah sakit melalui komite medik agar melakukan sosialisasi dan atau
training hal-hal yang terkait dengan persiapan pelaksanaan audit medik
kepada seluruh tenaga dokter/dokter gigi yang memberikan pelayanan
(Depkes, 2005).
Perencanaan audit meliputi: penentunan design audit, metode
pengumpulan data, pemaparan hasil audit (result) dan merencanakan re-audit
(second audit cycle). Audit medik yang terencana dan berkesinambungan
diperlukan untuk meningkatkan mutu Pelayanan kesehatan di rumah sakit
dilakukan sebagai upaya pengejawantahan etika kedokteran dan melindungi
pasien (Moeloek, 2005). Sebagai institusi Pelayanan kesehatan, rumah sakit
20

dapat merencanakan program audit sebagai daftar kegiatan dalam Rencana Audit
Satuan Kerja Rumah Sakit.
Audit medik seharusnya mendorong, memberi penghargaan dan
bermanfaat bagi pasien, namun mengapa banyak dokter berpikir rapat audit
adalah membosankan, tidak menyenangkan dan pimpinan jarang mengubahnya.
Andrew Gibbons dan Dafit Dhariwal menjelaskan bagaimana membuat audit
menjadi nyaman. Kesuksesan program audit dibutuhkan keterlibatan seluruh
kelompok staf medik. Karena itu rapat komite medik yang membahas hasil audit
medik harus dihadiri oleh seluruh kelompok staf medik, minimal kelompok staf
medik yang terkait dengan topik audit medik tersebut.
5. Audit Medik, Kaitannya Dengan Mutu Pelayanan Rumah Sakit
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 496/MENKES
/IV/2005 tanggal 5 Mei 2005 tentang Pedoman Audit Medis Rumah sakit telah
mengharuskan rumah sakit untuk melakukan audit medis dengan tujuan
tercapainya pelayanan medik prima di rumah sakit dan untuk melakukan evaluasi
mutu pelayanan medik, untuk mengetahui penerapan standar pelayanan medik,
dan untuk melakukan perbaikan-perbaikan pelayanan medik sesuai kebutuhan
pasien dan standar pelayanan medik
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, seorang dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi
spesialis dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib
memberikan pelayanan medik sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medik pasien. Karena itu setiap dokter,
dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis dalam melaksanakan praktik
kedokteran atau kedokteran gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu dan
kendali biaya, dimana dalam rangka pelaksanaan kegiatan tersebut dapat
diselenggarakan audit medik.
Ada hubungan timbal balik antara mutu dan kualitas pelayanan dimana
manajer-manajer harus menerima kejadian pertama bahwa inisiatif audit utama di
rumah sakit dapat mengakibatkan pengurangan jumlah pelayanan, pembiayaan
bertambah, karena penambahan biaya perlengkapan atau pemeliharaan yang
21

diperlukan sehubungan dengan hasil audit (Wiyono. 1999), dan munculnya rasa
tidak suka dari tenaga profesional di rumah sakit terhadap hasil audit yang
menyebabkan terbukanya/diketahuinya bagaimana tingkatan mutu pelayanan
yang telah diberikan, tanggungjawab serta tanggunggugatnya didalam forum
komite gugus mutu rumah sakit.
Upaya peningkatan mutu dapat dilaksanakan melalui clinical governance,
suatu cara (sistem) upaya menjamin dan meningkatkan mutu pelayanan secara
sistematis dan efisien dalam organisasi rumah sakit. Sesuai dengan Pedoman
Pengorganisasian Staf Medik dan Komite Medik, masing-masing kelompok staf
medik wajib menyusun minimal 3 jenis indikator mutu pelayanan medik. Upaya
peningkatan mutu pelayanan medik tidak dapat dipisahkan dengan upaya
standarisasi pelayanan medik, karena itu pelayanan medik di rumah sakit wajib
mempunyai standar pelayanan medik yang kemudian perlu ditindaklanjuti dengan
penyusunan standar indikator. Tanpa ada standar dan indikator yang disusun dan
ditetapkan sulit untuk melakukan pengukuran mutu pelayanan (Depkes, 2005).
Kegiatan-kegiatan untuk mendukung penyelenggaraan QA di rumah sakit
diantaranya adalah: pendidikan dan pelatihan medik berkelanjutan, pelatihan
metode statistik, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, pedoman
praktek, peer riview, audit medik, manajemen mutu pelayanan kesehatan,
standarisasi pelayanan medik, indikator-indikator klinis, akreditasi, sertifikasi,
masyarakat ilmiah atau assosiasi kedokteran (fungsional), simposium, seminar,
lokakarya, pertemuan-pertemuan ilmu kedokteran (dan keperawatan). Topik-topik
QA yang dapat dilakukan di rumah sakit diantaranya adalah: tindakan pelayanan
medik pada umumnya; kegiatan pre dan pasca operatif; kebijaksanaan terapi,
termasuk terapi antibiotika; reaksi transfusi darah; pelayanan laboratorium;
pelayanan radiologi; koordinasi pelayanan gawat darurat; perawatan luka baring;
perawatan luka bakar; pertolongan partus; pengendalian infeksi nosokomial;
pengendalian infeksi suntikan dan jarum infus, kebersihan dan sterilisasi, dan
sebagainya. (Wiyono. 1999)
22

6. Rekam Medik
Rekam medik diartikan sebagai keterangan tertulis maupun terekam
tentang identitas pasien, anamnesa, pemeriksaan fisik, laboratorium, diagnose
dan segala pelayanan dan tindakan medik yang diberikan kepada pasien dan
pengobatan, baik di rawat inap, raja dan pelayanan gawat darurat. rekam medik
bertujuan mencapai terpenuhinya tertib administrasi dan peningkatan mutu
Pelayanan kesehatan. Menurut Huffman, 1981: rekam medik memuat siapa, apa,
dimana, bilamana dan kapan penderita mendapatkan perawatan selama di rumah
sakit.
Tingkat kelengkapan pengisian rekam medik sesuai petunjuk Depkes rata-
rata 95%. Pedoman rekam medik diatur dalam Permenkes RI No: 749a/Men-
Kes/Per/XII/1989 (Depkes, 1997, 2004). Menurut Koeswadji, (1992), manfaat
kelengkapan pengisian rekam medik adalah untuk melindungi rumah sakit dan
yang bekerja di rumah sakit terhadap tuntutan dan gugatan ganti rugi menurut
hukum. Menurut Kartono, (2000), melalui rekam medik dokter akan memperoleh
gambaran yang lebih tepat tentang penyakit pasien. Dalam kenyataan sehari-hari
rekam medik sering tidak tergambar secara berkesinambungan sehingga secara
teoritis dapat diatasi dengan menggunakan rekam medik
Sunartini (1999), mengemukakan bahwa rekam medik mencerminkan
kualitas pelayanan pasien yang diberikan di rumah sakit sehingga merupakan
salah satu pertimbangan dalam akreditasi rumah sakit. Rekam medik yang
lengkap memuat informasi tentang identitas pasien (nomor induk, karakeristik,
demografi, sosial dan informasi lainnya) fakta pendukung diagnosis, alasan dan
hasil pengobatan. Menurut Lazuardy, (2002) kelengkapan pembuatan rekam
medik menjadi tumpuan untuk menjaga kualitas medik.
Monitoring dan evaluasi di tingkat rumah sakit dilakukan oleh komite medik.
Untuk melakukan monitoring dan evaluasi komite medik agar mengembangkan
indikator mutu pelayanan yang harus dicapai. Indikator mutu yang dikembangkan
dapat berupa indikator yang sederhana yaitu hanya mengukur input namun dapat
pula indikator yang lengkap yaitu mengukur input, proses dan luaran. Yang paling
penting dari audit medik ini ialah interpretasi secara profesional tentang fakta-fakta
23

yang ditemukan yang mempengaruhi standar pelayanan medik. Apabila


didapatkan keadaan yang ternyata berbeda dengan yang normal maka keadaan
ini perlu diperhatikan dan dijelaskan.
Karena itu, rm haruslah merupakan bahan utama dalam upaya evaluasi
terus menerus ini, agar dapat dibandingkan dengan pencapaian rumah sakit lain
ataupun dengan pencapaian upaya sendiri dimasa lalu. Namun untuk
melaksanakan audit diperlukan kesediaan dokter untuk melaksanakan program
audit. Sikap dan perilaku para dokter adalah merupakan kunci keberhasilan. Jika
ada dokter, yang mengatakan bahwa audit medik membuang waktu maka sub
komite peningkatan mutu profesi/tim pelaksana audit medik perlu menanyakan
mengapa dan mengetahui bagaimana pandangannya terhadap audit medik,
apabila ada perbedaan pandangan maka perlu diberi penjelasan tentang tujuan
dan harapan dilaksanakan audit itu. (Depkes, 2005).
7. Peran Proses Pelayanan Dalam Kematian
Proses pelayanan di rawat inap melibatkan unsur-unsur manajemen
pelayanan, struktur input dan struktur proses diantaranya terdiri dari: Standart
Operating Procedure pelayanan medik dan keperawatan; peralatan kesehatan
dan obat pendukung pelayanan; dan Sumber daya manusia. Kematian dan proses
kematian serta akibatnya bagi suatu organisasi jasa pelayanan harus dapat
dipelajari untuk memberikan pemahaman tentang segala sesuatu tentang
kematian. Menurut Kalish, 1979, ada 3 (tiga) kategori informasi yang dapat
memperjelas perihal kematian pasien, yaitu:
1. Its be explicit in varying degrees; mutu pelayanan kesehatan yang bervariasi;
2. Input maybe complete or incomplete; kelengkapan informasi sebagai masukan
dalam perencanaan; dan
3. Way of categorizing informational input; menetapkan kelompok informasi
dalam perencanaan
Keluarga Pasien dapat mengerti dari perihal kematian dari salah satu cara
atau kombinasi dari ketiga cara tersebut di atas dengan melalui tahapan: adanya
pernyataan dari dokter yang merawatnya dan mendengar komentar oleh dokter
lain (second opinion). Tanda-tanda kematian dapat dikenali dengan baik jika
24

pelaksanaan pengawasan pasien selama dirawat dilakukan dengan baik oleh


tenaga kesehatan di rumah sakit, sebagai contoh: pengawasan terhadap intake
dan output cairan tubuh yang ketat akan menghindari beberapa kondisi akibat dari
kekurangan cairan dan kelebihan cairan tubuh. Penimbunan cairan di rongga paru
akan memberikan pengaruh pada daya kembang paru, pengurangan daya
kembang paru akan memberikan pengaruh pada pendisrtribusian oksigen,
terganggunya pendistribusian oksigen akan mempengaruhi tingkat kebutuhan
organ tubuh akan oksigen dan akhirnya akan memberikan pengaruh pada fungsi
fisiologis organ tubuh dan akhirnya menghentikannya. Penatalaksanaan standar
pelayanan medik dan keperawatan yang bertanggung jawab akan mampu
menghindari kejadian terakhir dari kondisi kekurangan dan atau kelebihan cairan
tubuh. (Bucholz, 1993).
Pendidikan dan pelatihan berjenjang berkelanjutan berhubungan dengan
kebutuhan akan upaya peningkatan mutu pelayanan, pengembangan dengan
pembelajaran terus menerus dari pengalaman harian dan meningkatkan sikap
profesional untuk mencegah keterbatasan kinerja perseorangan dalam pelayanan.
(BMA, 2001). Proses pelayanan yang diaudit akan memperbaiki kinerja
seseorang, karena diketahui apa yang tidak terstandar dan apa yang seharusnya
dilakukan untuk mencegah kematian.
8. Root Cause Analisys (RCA)
Secara garis besar analisis akar penyebab kejadian meliputi: investigasi
kejadian, rekonstruksi kejadian, analisis sebab, menyusun rencana tindakan, dan
melaporkan proses analisis dan temuan; (Ward, 2005). Investigasi kejadian
meliputi: menentukan masalah, mengumpulkan bukti-bukti yang nyata, melakukan
wawancara, meneliti lingkungan kejadian, mengenali faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap timbulnya kejadian, menggambarkan rantai terjadinya
kejadian.
Rekonstruksi kejadian meliputi: mengenali kejadian-kejadian yang
mengawali terjadinya adverse event ataupun near miss, melakukan analisis
dengan menggunakan pohon masalah untuk mengetahui kegiatan atau kondisi
yang menyebabkan timbul kejadian, sehingga dapat dikenali sistem yang melatar
25

belakangi timbulnya kejadian. Penyebab dianalisis lebih lanjut dengan


mengidentifikasi akar-akar penyebab, sehingga dapat dirumuskan pernyataan
akar masalah. Berdasarkan hasil analisis akar penyebab disusun rencana
tindakan yang meliputi penetapan strategi yang tepat untuk mengatasi penyebab
yang diidentifikasi, dan dapat diterima oleh pihak yang terkait dengan kejadian.
Rencana tindakan disusun untuk tiap akar penyebab kejadian.
Proses analisis akar penyebab kejadian harus dicatat baik proses maupun
alat yang digunakan, ringkasan kejadian, proses analisis dan investigasi, serta
hasil temuan. Pada waktu melakukan analisis akar penyebab kejadian, perlu
dipahami sebab terjadinya suatu kejadian, yaitu: kegagalan aktif (active failure)
yang merupakan penyimpangan yang sengaja dilakukan oleh seseorang, dan
kondisi laten (latent condition) kegagalan proses atau sistem sebagai akibat
kompetensi yang kurang, kegagalan mengikuti prosedur, kerusakan alat, disain
yang tidak tepat, dan sebagainya.
Dalam Kongres Mutu Tahunan ke 56 di Denver, The Institute Of Medicine's
melaporkan bagaimana penggunaan RCA dalam Sistem Keselamatan Pelayanan
pada Pasien, bagaimana peran patient safety dalam adverse events dan sentinel
events, untuk mencegah potensi kejadian diawali dengan pencegahan,
pencegahan terhadap faktor-faktor potensial yang akan menjadi faktor-faktor
resiko penyebab utama kejadian; analisa ini sebaiknya dilakukan dari semua
unsur manajemen, dari semua struktur pelayanan yang dilakukan dengan jujur
bertanggungjawab saat mengidentifikasi dan menyusun rencana dan
melaksanakan perbaikan (Robert Dew, 2003).
9. Landasan Teori
Efisiensi pelayanan di rumah sakit salah satunya dapat dilihat dari proses
audit medik, manajemen audit medik membutuhkan informasi medik dan atau
informasi kesehatan lainnya, informasi medik dan kesehatan lainnya dapat ditemui
diantaranya dari rm yang tersedia di rumah sakit. Audit Kematian merupakan
evaluasi kritis terhadap struktur luaran dari manajemen pelayanan di rumah sakit.
Struktur dalam sistem Pelayanan kesehatan di instalasi rawat inap terdiri
dari: a. Input: segala sumber daya yang diperlukan untuk melakukan pelayanan di
26

rawat inap, seperti: SDM, dana, alat dan obat, Protap dan Prosedure Standart
Operating, teknologi dan lain-lain; b. Proses: interaksi profesional antara pemberi
pelayanan dengan pasien dan atau dengan keluarga pasien dan antara sesama
pemberi pelayanan di rumah sakit dalam melaksanakan standarisasi pelayanan
medik dan keperawatan; dan c. Luaran: hasil pelayanan rawat inap, merupakan
perubahan yang terjadi terhadap pasien dan atau anggota keluarganya, termasuk
pemenuhan rasa puas. (Wiyono. 1999)
Masing-masing variabel berhubungan sebab akibat, saling mempengaruhi
dan dapat berupa siklus manajemen, hubungan input dengan mutu Pelayanan
kesehatan adalah dalam perencanaan dan penggerakan pelaksanaan pelayanan,
input yang baik dan bermutu akan memberikan hasil berupa proses yang baik dan
pada akhirnya akan ada output yang bermutu, berupa kesembuhan pasien yang
dirawat dan terhindarnya dari kecacatan. Untuk mengevaluasi mutu pelayanan
rawat inap tersebut diperlukan audit klinik dari catatan medik/rekam medik pasien
yang meninggal > 48 jam tersebut. Dengan menggunakan Daftar Tilik Analisis
Penyimpangan Mortalitas akan diketahui alasan-alasan untuk membenarkan dan
atau tidak membenarkan penyimpangan dari proses dan input pelayanan rawat
inap di sebuah rumah sakit. (PMPK, 2004)
10. Kerangka Konsep
Dari teori Donabedian, 1988 maka kerangka konsep dari penelitian ini
adalah seperti pada gambar 3.
Gambar 4. Kerangka Konsep Penelitian

INPUT PROSES LUARAN DAMPAK

STANDAR PELAYANAN KEMATIAN


PELAYANAN RAWAT INAP > 48 JAM
MEDIK

STANDAR PELAYANAN
ASUHAN PENUNJANG
KEPERAWATAN MEDIK
27

Struktur input dalam Pelayanan kesehatan rawat inap di RSKA yang akan
diteliti adalah standar pelayanan medik dan standar asuhan keperawatan yang
dalam suatu proses pelayanan rawat inap memberikan pengaruh pada mutu
luaran proses berupa peningkatan kematian > 48 jam dan masih adanya rujukan
pasien dari ruang instalasi rawat inap.
11. Pertanyaan Penelitian
Dari uraian kepustakaan, landasan teoritis dan kerangka konsep penelitian
di atas, maka pertanyaan penelitian dari usulan proposal ini diantaranya adalah:
a. Bagaimanakah struktur proses pelayanan rawat inap pada pasien yang
meninggal > 48 jam di RSKA ?
b. Bagaimanakah distribusi kematian > 48 jam di RSKA ?
c. Bagaimanakah mutu administrasi dan rekam medik rawat inap RSKA ?
d. Apakah terdapat faktor eksternal dari struktur input dan proses yang
mempengaruhi tinggi rendahnya angka kematian di rumah sakit ?

You might also like