You are on page 1of 14

Laporan Tutorial Minggu 2 ANEMIA HEMOLITIK DAN ANEMIA PASCA PERDARAHAN

Kelompok 16C Tutor: DR. Dr. Rosfita Rasyid, M.Kes


Ketua: Septia Endike (1010312033) Sekretaris I: Indah Paradifa Sari (1010312108) Sekretaris II: Miftah Nur Andamsari (1010313043) Melati Asri (1010312027) Siti Ubaidah Syahruddin (1010314003) Deby Nelsya Eka Putri (1010312097) Mia Puspita (1010312044) All Humairah Zurti (07923045)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Tahun ajaran 2011/2012

MODUL 2 ANEMIA HEMOLITIK DAN ANEMIA PASCA PERDARAHAN


SKENARIO 2 : ADA APA DENGAN RANI DAN TEMANNYA?

Rani, perempuan 20 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan mudah lelah, malaise dan demam subfebril. Dokter Puskesmas melakukan pemeriksaan fisik, ditemukan konjungtiva anemis, sklera subikterik dan splenomegali. Hasil pemeriksaan darah rutin didapatkan Hb 7,2 g/dl, leukosit 10.800/mm3 LED 70/jam I, hitung jenis 0/2/3/65/24/6, sedangkan hasil pemeriksaan urine rutin dalam batas normal. Dokter bertanya apakah ada keluarga yang menderita penyakit seperti ini? Rani menjawab tidak tahu. Kemudian Dokter merujuk Rani ke bagian Penyakit Dalam RSUP M. Djamil dengan diagnosis observasi anemia. Dokter Penyakit Dalam melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah perifer lengkap, coombs test dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Ketika di IGD, Rani bertemu dengan temannya laki-laki 21 tahun yang terlihat pucat, karena baru saja mengalami kecelakaan lalulintas dengan perdarahan yang banyak. Rani kemudian dirawat di bagian Penyakit Dalam, sedangkan temannya dirawat di bagian Bedah. Rani bertanya apakah penyakitnya bisa sembuh dan bagaimana dengan temannya? Bagaimana anda menjelaskan apa yang dialami Rani dan temannya serta bagaimana penatalaksanaannya?

I.

Terminologi
1. Malaise : suatu sensasi ketidaknyamanan umum atau rasa gelisah 2. Demam Subfebril : kenaikan suhu tubuh sedikit di atas normal (37 37,8oC) 3. Sklera Subikterik : lapisan luar bola mata yang hampir ikterik (kuning) 4. Coombs Test : test antibodi terhadap eritrosit, pemeriksaan klinis darah yang dipakai dalam imunohematologi dan imunologi

II.

Masalah
1. Mengapa Rani mengeluh mudah lelah, malaise, dan demam subfebril? 2. Mengapa ditemukan sklera subikterik dan splenomegali pada Rani? 3. Apakah interpretasi dari pemeriksaan darah rutin? 4. Apa saja yang diperiksa pada pemeriksaan urin rutin dan apa saja syarat normalnya? 5. Mengapa dokter menanyakan tentang riwayat keluarga yang menderita penyakit seperti itu? 6. Mengapa dokter merujuk Rani dengan observasi anemia? 7. Apa saja pemeriksaan lain yang sesuai? 8. Begaimana cara melakukan coombs test dan bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaannya? 9. Dari hasil pemeriksaan Rani menderita anemia hemolitik tipe apa? 10. Apakah perbedaan diagnosis dari Rani dan temannya padahal gejala klinisnya hampir sama dan mengapa Rani di rawat di bagian penyakit dalam, temannya di bagian bedah? 11. Bagaimana penatalaksanaan untuk penyakit Rani dan temannya serta

prognosisnya? 12. Mengapa perdarahan yang banyak dapat menyebabkan seseorang terlihat pucat dan apa tanda dan gejala anemia akibat perdarahan?

III.

Analisis Masalah 1. Lelah : darah atau eritrosit pecah O2 yang dibawa sedikit hipoksia lelah Subfebril : infeksi meningkatkan leukosit Malaise : berhubungan dengan demam subfebril merupakan gejala hampir dari seluruh penyakit. 2. Sklera subikterik: pada anemia hemolitik, eritrosit akan hancur, dimakan oleh makrofag hemoglobin akan dipecah menjadi globin dan heme heme dipecah lagi menjadi besi dan protoporfiri, protoporfirin nantinya akan dipecah menjadi bilirubin indirect, sehingga bilirubin indirect menjadi meningkat. Splenomegali : hiperaktivitas dari limpa yang menyaring sejumlah besar sel darah merah yang hancur. 3. Hb : 7,2 g/dl Hb rendah pemecahan eritrosit Leukosit 10.800/mm3 meningkat hemolisis eritrosit makrofag LED 70/jam meningkat jumlah eritrosit yang berkurang dan leukosit meningkat Hitung jenis: batas normal Kriteria anemia hemolitik Hb 7 8 g/dl

4. Pemeriksaan urin rutin pH 4,8 7,4 berat jenis 1,015 1,025 glukosa, protein, bilirubin dan urobilinogen negatif (-) warna dan kejernihan urin tujuan: mengetahui apakah terdapat hemoglobinuria (urin pekat, warna gelap) dan hemosiderinuria

5. Untuk diagnosis selanjutnya, untuk menentukan jenis anemia hemolitik yang diderita Rani

6. Dari diagnosis anemia hemolitik Untuk mengetahui causalnya atau untuk memastikan jenis anemia dan untuk tatalaksananya

7. Pemeriksaan G6PD, pemeriksaan Hb, pemeriksaat laktat dehidrogenase (anemia hemolitik meningkat), pemeriksaan retikulosit, pemeriksaan sumsum tulang, aktivitas eritopoiesis yang aktif 8. Coombs test a) Direct Yang diperiksa eritrosit langsung dari tubuh Mendeteksi antibodi yang ada di permukaan eritrosit Interpretasi: - Negatif tidak ada antibodi pada permukaan eritrosit - Positif ada antibodi yang menghancurkan eritrosit (anemia hemolitik) b) Indirect Yang diperiksa bagian cair darah (serum) Mendeteksi antibodi yang ada dalam aliran darah Menentukan antibodi pada darah donor atau resipien transfusi Interpretasi: - Negatif tidak ada reaksi yang dengan darah yang diterima melalui transfusi - Positif darah tidak cocok dengan darah darah donor 9. Jenis anemia hemolitik yang diderita Rani belum diketahui karena data pemeriksaan yang ada pada skenario tidak begitu lengkap 10. Rani anemia hemolitik dilakukan tes sebelum transfusi Lisis eritrosit Penyakit dalam kelainan pada sistem hemetopoietik Teman Rani langsung dilakukan transfusi darah Kerusakan jaringan keluar darah Kecelakaan dirawat di bagian bedah 11. Teman Rani: transfusi darah Rani: tes darah trasnfusi darah (PRC), kortikosteroid,splenektomi 12. Pucat : darah berkurang, darah mengalir ke tempat-tempat yang penting Tanda dan gejala:

Denyut nadi lemah dan cepat Hipotensi autostatik Takipnue nafas cepat

IV.

Skema
perempuan 20 th
Hb rendah Leukosit meningkat LED meningkat Hit. Jenis normal

Laki-laki 21 th

kecelakaan
Lelah, malaise, demam subfebril, konjungtiva anemis, sklera subikterik, splenomegali

Perdarahan >>

anemia

Pemeriksaan darah perifer

Coombs test

Pemeriksaan penunjang

Jenis anemia (hemolitik dan pasca perdarahan) Tatalaksana + rujukan

prognosis

V.

LO 1) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Anemia Hemolitik non Imun (etiologi, epid, tanda dan gejala, patofisiolagi, pemeriksaan, tatalaksana, komplikasi, prognosis, rujukan) 2) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Anemia Hemolitik Imun (etiologi, epid, tanda dan gejala, patofisiolagi, pemeriksaan, tatalaksana, komplikasi, prognosis, rujukan) 3) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Anemia Pasca Perdarahan (etiologi, epid, tanda dan gejala, patofisiolagi, pemeriksaan, tatalaksana, komplikasi, prognosis, rujukan)

VI.

Pembahasan LO 1) Anemia Hemolitik non Imun Anemia hemolitik adalah kurangnya kadar hemoglobin akibat kerusakan pada eritrosit yang lebih cepat daripada kemampuan sumsum tulang untuk menggantinya kembali. Etiologi Berdasarkan etiologinya, anemia hemolitik ini terbagi menjadi dua klasifikasi: 1. intrakorpuskular: hemolitik akibat faktor-faktor yang ada pada eritrosit itu sendiri, misalnya karena faktor herediter, gangguan metabolismenya, gangguan pembentukan hemoglobinnya, dll. 2. ekstrakorpuskular: hemolitik akibat faktor-faktor dari luar yang biasanya didapat, misalnya karena autoimun, pengaruh obat, infeksi, dsb. Patofisiologi Pada proses hemolisis akan terjadi dua hal berikut:

Turunnya kadar Hemoglobin. Jika hemolisisnya ringan atau sedang, sumsum tulang masih bisa mengkompensasinya sehingga tidak terjadi anemia. Keadaan ini disebut dengan hemolitik terkompensasi. Tapi jika derajat hemolisisnya berat, sumsum tulang tidak mampu mengompensasinya, sehingga terjadi anemia hemolitik. Meningkatnya pemecahan eritrosit. Untuk hal ini ada tiga mekanisme: 1. hemolitik ekstravaskuler. Terjadi di dalam sel makrofag dari sistem retikuloendotelial, terutama di lien, hepar dan sumsum tulang karena sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Lisis terjadi jika eritrosit mengalamai kerusakan, baik di membrannya, hemoglobinnya maupun fleksibilitasnya. Jika sel eritrosit dilisis oleh makrofag, ia akan pecah menjadi globin dan heme. Globin ini akan kembali disimpan sebagai cadangan, sedangkan heme nanti akan pecah lagi menjadi besi dan protoporfirin. Besi diangkut lagi untuk disimpan sebagai cadangan, akan tetapi protoforfirin tidak, ia akan terurai menjadi gas CO dan Bilirubin. Bilirubin jika di dalam darah akan berikatan dengan albumin membentuk bilirubin indirect (Bilirubin I), mengalami konjugasi di hepar menjadi bilirubin direct (bilirubin II), dieksresikan ke empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen di feses dan urobilinogen di urin. 2. hemolitik intravaskuler. Terjadi di dalam sirkulasi. Jika eritrosit mengalami lisis, ia akan melepaskan hemoglobin bebas ke plasma, namun haptoglobin dan hemopektin akan mengikatnya dan menggiringnya ke sistem retikuloendotelial untuk dibersihkan. Namun jika hemolisisnya berat, jumlah haptoglobin maupun hemopektin tentunya akan menurun. Akibatnya, beredarlah hemoglobin bebas dalam darah (hemoglobinemia). Jika hal ini terjadi, Hb tsb akan teroksidasi menjadi methemoglobin, sehingga terjadi methemoglobinemia. Hemoglobin juga bisa lewat di glomerulus ginjal, hingga terjadi hemoglobinuria. Namun beberapa hemoglobin di tubulus ginjal nantinya juga akan diserap oleh sel-sel epitel, dan besinya akan disimpan dalam bentuk hemosiderin. Jika suatu saat

epitel ini mengalami deskuamasi, maka hanyutlah hemosiderin tersebut ke urin sehingga terjadi hemosiderinuria, yg merupakan tanda hemolisis intravaskuler kronis. 3. peningkatan hematopoiesis. Berkurangnya jumlah eritrosit di perifer akan memicu ginjal mengeluarkan eritropoietin untuk merangsang eritropoiesis di sumsum tulang. Sel-sel muda yang ada akan dipaksa untuk dimatangkan sehingga terjadi peningkatan retikulosit (sel eritrosit muda) dalam darah, mengakibatkan polikromasia. Manifestasi Klinis

Gejala umum: gejala anemia pada umumnya, Hb < 7g/dl. Gejala hemolitik: diantaranya berupa ikterus akibat meningkatnya kadar bilirubin indirek dlm darah, tapi tidak di urin (acholuric jaundice); hepatomegali, splenomegali, kholelitiasis (batu empedu), ulkus dll. Gejala penyakit dasar (penyebab) masing2 anemia hemolitik tsb.

Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnosis Beberapa hasil pemeriksaan lab yang menjurus pada diagnosis anemia hemolitik adalah sbb:

pada umumnya adalah normositik normokrom, kecuali diantaranya thalasemia yang merupakan anemia mikrositik hipokrom. penurunan Hb >1g/dl dalam 1 minggu penurunan masa hidup eritrosit <120hari peningkatan katabolisme heme, biasanya dilihat dari peningkatan bilirubin serum hemoglobinemia, terlihat pada plasma yang berwarna merah terang hemoglobinuria, jika urin berwarna merah, kecoklatan atau kehitaman hemosiderinuria, dengan pemeriksaan pengecatan biru prusia haptoglobin serum turun retikulositosis dsb

Diagnosis banding Anemia Hemolitik perlu dibedakan dengan anemia berikut ini: 1. anemia pasca perdarahan akut dan anemia defisiensi besi, disini tidak ditemukan gejala ikterus dan Hb akan naik pada pemeriksaan berikutnya. Sedangkan hemolitik tidak. 2. anemia hipoplasi/ eritropoiesis inefektif, disini kadang juga ditemukan acholurik jaundice, tapi retikulositnya tidak meningkat. 3. anemia yang disertai perdarahan ke rongga retroperitoneal biasanya menunjukkan gejala mirip dg hemolitik, ada ikterus, acholuric jaundice, retikulosit meningkat. Kasus ini hanya dapat dibedakan jika dilakukan pemeriksaan untuk membuktikan adanya perdarahan ini. 4. Sindrom Gilbert, disertai jaundice, namun tidak anemi, tidak ada kelainan morfologi eritrosit, dan retikulositnya normal. 5. mioglobinuria, pada kerusakan otot, perlu dibedakan dengan hemoglobinuria dengan pemeriksaan elektroforesis.

Pengobatan Pengobatan tergantung keadaan klinis dan penyebab hemolisisnya, namun secara umum ada 3: 1. terapi gawat darurat; atasi syok, pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, perbaiki fungsi ginjal. Jika berat perlu diberi transfusi namun dengan pengawasan ketat. Transfusi diberi berupa washed red cell untuk mengurangi beban antibodi. Selain itu juga diberi steroid parenteral dosis tinggi atau juga bisa hiperimun globulin untuk menekan aktivitas makrofag. 2. terapi suportif-simptomatik; bertunjuan untuk menekan proses hemolisis terutama di limpa dengan jalan splenektomi. Selain itu perlu juga diberi asam folat 0,15 0,3 mg/hari untuk mencegah krisis megaloblastik. 3. terapi kausal; mengobati penyebab dari hemolisis, namun biasanya penyakit ini idiopatik dan herediter sehingga sulit untuk ditangani. Transplantasi sumsum tulang bisa dilakukan contohnya pada kasus thalassemia.

2) Anemia Hemolitik Imun Anemia hemolitik autoimun adalah suatu kelainan dimana terdapat antibodi tertentu pada tubuh kita yang menganggap eritrosit sebagai antigen non-selfnya, sehingga menyebabkan eritrosit mengalami lisis. Etiologi Idiopatik, sampai sekarang masih belum jelas. Patofisiologi Ada 2 mekanisme yang menyebabkan anemia hemolitik autoimun. Yaitu aktivasi komplemen dan aktivasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.

aktivasi komplemen. Ada dua cara aktivasinya, klasik dan alternatif. (1) Kalau klasik biasanya diaktifkan oleh antibodi IgM, IgG1, IgG2 dan IgG3. Mulai dari C1, C4, dst hingga C9, nanti ujungnya terbentuklah kompleks penghancur membran yg terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8 dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyusup ke membran sel eritrosit dan mengganggu aliran transmembrannya, sehingga permeabilitas membran eritrosit normal akan terganggu, akhirnya air dan ion masuk, eritrosit jadi bengkak dan ruptur. (2) Untuk aktivasi alternativ hanya berbeda urutan pengaktivannya, ujungnya ntar molekul C5b yang akan menghancurkan membran eritrosit. aktivasi mekanisme seluler. Mekanismenya, jika ada eritrosit yang tersensitisasi oleh komponen sistem imun seperti IgG atau kompemen, namun tidak terjadi aktivasi sistem komplemen lebih lanjut, maka ia akan difagositosis langsung oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses ini dikenal dg mekanisme immunoadhearance.

Diagnosis Untuk mendiagnosis seseorang menderita pemeriksaan Commbs Test. Ada dua cara:

anemia

hemolitik,

dilakukan

1. Direct Coombs test. Sel eritrosit pasien dibersihkan dari protein-protein yang melekat, lalu direaksikan dengan antibodi monoklonal seperti IgG dan komplemen seperti C3d. Jika terjadi aglutinasi, maka hasilnya positif. Berarti IgG atau C3d atau keduanya melekat di eritrosit tersebut. 2. Indirect Coombs test. Serum pasien diambil, direaksikan dengan sel-sel reagen yaitu sel darah merah yang sudah terstandar. Jika terjadi aglutinasi, maka hasilnya positif. Berarti ada imunoglobulin di serum tersebut yang bereaksi dengan sel-sel reagen. Klasifikasi Anemia hemolitik autoimun ada dua jenis, tipe hangat dan tipe dingin. A. Tipe Hangat

Yaitu hemolitik autoimun yang terjadi pada suhu tubuh optimal (37 derajat celcius). Manifestasi klinis: gejala tersamar, gejala2 anemia, timbul perlahan, menimbulkan demam bahkan ikterik. Jika diperiksa urin pada umumnya berwarna gelap karena hemoglobinuri. Bisa juga terjadi splenomegali, hepatomegali dan limfadenopati. Pemeriksaan Lab: Coombs test direk positif, Hb biasanya Prognosis: hanya sedikit yang bisa sembuh total, sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang kronis namun terkendali. Survival 70%. Komplikasi bisa terjadi, seperti emboli paru, infark limpa, dan penyakit kardiovaskuler. Angka kematian 15-25%. Terapi: (1) pemberian kortikosteroid 1-1,5 mg/kgBB/hari, jika membaik dalam 2 minggu dosis dikurangi tiap minggu 10-20 mg/hari. (2) splenektomi, jika terapi kortikosteroid tidak adekuat; (3) imunosupresi: azatioprin 50-200 mg/hari atau siklofosfamid 50-150 mg/hari; (4) terapi lain: danazol, imunoglobulin; (5) tansfusi jika kondisinya mengancam jiwa (misal Hb <3mg/dl)

B. Tipe Dingin

terjadi pada suhu tubuh dibawah normal. Antibodi yang memperantarai biasanya adalah IgM. Antibodi ini akan langsung berikatan dengan eritrosit dan langsung memicu fagositosis. Manifestasi klinis: gejala kronis, anemia ringan (biasanya Hb:9-12g/dl), sering dijumpai akrosianosis dan splenomegali. pemeriksaan lab: anemia ringan, sferositosis, polikromasia, tes coomb positif, spesifisitas tinggi untuk antigen tertentu seperti anti-I, anti-Pr, anti-M dan antiP. Prognosis:baik, cukup stabil terapi: hindari udara dingin, terapi prednison, klorambusil 2-4 mg/hari, dan plasmaferesis untuk mengurangi antibodi IgM.

3) Anemia Pasca Perdarahan Anemia Karena Perdarahan adalah berkurangnya jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin (protein pengangkut oksigen) yang disebabkan oleh perdarahan. Etiologi Perdarahan hebat merupakan penyebab tersering dari anemia.

Jika kehilangan darah, tubuh dengan segera menarik cairan dari jaringan diluar pembuluh darah sebagai usaha untuk menjaga agar pembuluh darah tetap terisi. Akibatnya darah menjadi lebih encer dan persentase sel darah merah berkurang. Pada akhirnya, peningkatan pembentukan sel darah merah akan memperbaiki anemia. Tetapi pada awalnya anemia bisa sangat berat, terutama jika timbul dengan segera karena kehilangan darah yang tiba-tiba, seperti yang terjadi pada: - Kecelakaan - Pembedahan - Persalinan - Pecahnya pembuluh darah. Yang lebih sering terjadi adalah perdarahan menahun (terus menerus atau berulang-ulang), yang bisa terjadi pada berbagai bagian tubuh: Perdarahan hidung dan wasir : jelas terlihat. Perdarahan pada tukak lambung dan usus kecil atau polip dan kanker usus besar) : mungkin tidak terlihat dengan jelas karena jumlah darahnya sedikit dan tidak tampak sebagai darah yang merah di dalam tinja; jenis perdarahan ini disebut perdarahan tersembunyi. Perdarahan karena tumor ginjal atau kandung kemih; bisa menyebabkan ditemukannya darah dalam air kemih. Perdarahan menstruasi yang sangat banyak. Gejala Klinis Hilangnya sejumlah besar darah secara mendadak dapat menyebabkan 2 masalah: - Tekanan darah menurun karena jumlah cairan di dalam pembuluh darah berkurang - Pasokan oksigen tubuh menurun karena jumlah sel darah merah yang mengangkut oksigen berkurang. Kedua masalah tersebut bisa menyebabkan serangan jantung, stroke atau kematian. Anemia yang disebabkan oleh perdarahan bisa bersifat ringan sampai berat, dan

gejalanya bervariasi. Anemia bisa tidak menimbulkan gejala atau bisa menyebabkan: - pingsan - pusing - haus - berkeringat - denyut nadi yang lemah dan cepat - pernafasan yang cepat. Penderita sering mengalami pusing ketika duduk atau berdiri (hipotensi ortostatik). Anemia juga bisa menyebabkan kelelahan yang luar biasa, sesak nafas, nyeri dada dan jika sangat berat bisa menyebabkan kematian. Berat ringannya gejala ditentukan oleh kecepatan hilangnya darah dari tubuh. Jika darah hilang dalam waktu yang singkat (dalam beberapa jam atau kurang), kehilangan sepertiga dari volume darah tubuh bisa berakibat fatal. Jika darah hilang lebih lambat (dalam beberapa hari, minggu atau lebih lama lagi), kehilangan sampai dua pertiga dari volumer darah tubuh bisa hanya menyebabkan kelelahan dan kelemahan atau tanpa gejala sama sekali. Manifestasi klinis menurut Brunner dan Suddart (2001): a) Pengaruh yang timbul segera Akibat kehilangan darah yang cepat terjadi reflek cardia vaskuler yang fisiologis berupa kontraksi orteiola, pengurangan cairan darah atau komponennya ke organ tubuh yang kurang vital (otak dan jantung). Gejala yang timbul tergantung dari cepat dan banyaknya darah yang hilang dan apakah tubuh masih dapat mengadakan kompensasi. Kehilangan darah 200 ml pada orang dewasa yang terjadi dengan cepat dapat lebih berbahaya daripada kehilangan darah sebanyak 3000ml dalam waktu yang lama. b) Pengaruh lambat Beberapa jam setelah perdarahan terjadi pergeseran cairan ekstraseluler dan intravaskuler yaitu agar isi iontravaskuler dan tekanan osmotik dapat dipertahankan tetapi akibatnya terjadi hemodilati. Gejala yang ditemukan adalah leukositosis (15.000-20.000/mm3) nilai hemoglobin, eritrosit dan hematokrit merendah akibat hemodilasi. Untuk mempertahankan metabolisme, sebagai kompensasi sistem eritropoenik menjadi hiperaktif, kadang-kadang terlihat gejala gagal jantung. Pada orang dewasa keadaan hemodelasi dapat menimbulkan

kelainan cerebral dan infark miokard karena hipoksemia. Sebelum ginjal kembali normal akan ditemukan oliguria atau anuria sebagai akibat berkurangnya aliran ke ginjal. Penatalaksanaan Pengobatan tergantung kepada kecepatan hilangnya darah dan beratnya anemia yang terjadi. Satu-satunya pengobatan untuk kehilangan darah dalam waktu yang singkat atau anemia yang berat adalah transfusi sel darah merah. Selain itu, sumber perdarahan harus ditemukan dan perdarahan harus dihentikan. Jika darah hilang dalam waktu yang lebih lama atau anemia tidak terlalu berat, tubuh bisa menghasilkan sejumlah sel darah merah yang cukup untuk memperbaiki anemia tanpa harus menjalani transfusi. Zat besi yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah juga hilang selama perdarahan.

Karena itu sebagian besar penderita anemia juga mendapatkan tambahan zat besi, biasanya dalam bentuk tablet.

You might also like