You are on page 1of 6

Mara Hasayangan F1D009039 Tehnik Penulisan Ilmiah Khairu Rojiqien Soebandi

Pola Komunikasi Politik Presiden Soeharto Pada Masa Orde Baru di Indonesia Dalam kehidupan manusia selalu ada komunikasi didalamnya, karena sifat manusia yang bersifat sosialistik. Komunikasi merupakan cara manusia dalam berinteraksi antar sesama. Komunikasi selalu hadir dalam dinamika kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menurut pakar ilmu politik Harold D. Laswell, mendefinisikan komunikasi sebagai siapa mengatakan apa, melalui apa, kepada siapa, dan apa akibatnya.1 Selain itu komunikasi mempunyai beberapa unsur yang mendukung, yaitu adanya sumber, pesan, media, penerima, pengaruh, umpan balik, dan lingkungan.2 Unsur-unsur tersebut merupakan bagian rinci dari proses komunikasi. Berbicara mengenai komunikasi dalam hal ini pasti berkaitan dengan politik. Istilah politik terdengar sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat. Politik secara gamblang diartikan sebagai cara yang digunakan seseorang atau kelompok dalam meraih tujuannya. Menurut pandangan seorang pakar ilmu politik Miriam Budiardjo (2002) mendefinisikan politik sebagai kegiatan yang dilakukan dalam suatu negara yang menyangkut proses menentukan tujuan dan melaksanakan

Cangara Hafied, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2009),19. 2 Cangara Hafied, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2009),20.

tujuan tersebut.3 Politik mempunyai peran penting terhadap maju atau tidaknya suatu negara. Hal tersebut dikarenakan kegiatan politik sangat bersignifikansi terhadap arah dan tujuan berdirinya suatu negara. Komunikasi dan politik merupakan dua hal yang saling bersinergi dalam pemerintahan di suatu negara. Karena komunikasi politik merupakan cara pemerintah dalam menyampaikan tujuan-tujuan yang menyangkut kebijakan suatu negara. Komunikasi politik adalah suatu proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol komunikasi yang berisi pesan-pesan politik dari sesorang atau kelompok kepada orang lain dengan tujuan untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik.4 Rezim orde baru dikenal sebagai rezim yang bersifat otoriter karena penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat sentralistik. Kepemimpinan presiden Soeharto pada masa rezim orde baru telah melakukan praktik kenegaraan yang menyalahi beberapa aturan dari sebuah negara demokrasi. Hal tersebut tercermin pada beberapa tindakan pemerintah terhadap adanya perlakuan khusus terhadap pers. Pada masa itu pers mempunyai regulasi khusus dalam hal perijinan dan penerbitan. Pada masa orde baru, media merupakan sebuah sumber informasi semu, karena pemberitaan di dalamnya memiliki kepentingan politik pemerintah. Selain itu proses dalam hal perijinan dan penerbitan harus melalui proses yang panjang. Segala pemberitaan yang akan diterbitkan ke publik harus terlebih dahulu diperiksa dan mendapatkan izin dari departemen penerangan. Hal tersebut dilakukan sebagai sebuah kontrol pemerintah atas media dengan alasan demi menjaga stabilitas nasional. Padahal ini

Budiardjo Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2002),17. 4 Cangara Hafied, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009),35.

dilakukan oleh pemerintah untuk menutup-nutupi segala kejelekan pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya. Intervensi pemerintah terhadap pers dilakukan dengan dalih untuk menjaga stabilitas nasional. Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pemerintah terhadap kebebasan beraspirasi, berpendapat, dan berserikat berdampak kepada pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang memakan banyak korban jiwa. Tidak hanya itu, selain memakan banyak korban jiwa, hal tersebut berdampak kepada mengikisnya rasa keamanan rakyat akibat teror yang dilakukan oleh pemerintahan rezim orde baru. Kasus intervensi pemerintah terhadap pers terjadi ketika ditutupnya beberapa surat kabar seperti Sinar Harapan, Harian Kami, dan Suara Karya. Hal itu dilakukan dengan alasan surat kabar tersebut telah memberitakan secara vulgar kasus Malari pada tahun 1974. Kondisi pers pada masa orde baru dinilai memprihatinkan. Suatu pemberitaan yang dianggap mengancam kepentingan rezim pada masa itu akan segera ditindak tegas. Tidak tanggung-tanggung, respon pemerintah atas pers yang dinilai menyimpang dalam melakukan pemberitaan akan dijatuhi hukuman penjara, bahkan penculikan yang hingga sampai saat ini belum ditemukan jasadnya. Legitimasi orde baru dalam melakukan kontrol terhadap

masyarakat tercermin dari dibentuknya lembaga pemerintahan yang mengawasi tindak tanduk pers pada masa itu. Lembaga tersebut bernama dewan penerangan atau yang lebih dikenal sebagai menteri penerangan. Selain itu, bentuk kontrol lain yang dilakukan adalah dengan

menyeragamkan setiap tayangan televisi melalui satu stasiun televisi bernama TVRI (Televisi Republik Indonesia). Tayangan-tayangan dalam stasiun televisi tersebut berisi kepentingan-kepentingan pemerintah pada masa itu. Contoh kecil dari hal tersebut adalah diputarnya film G-30 S PKI secara berkala setiap tanggal 30 September. Film ini menceritakan

bagaimana kekejaman PKI melakukan upaya kudeta dan pengambil alihan kekuasaan pada masa kepemimpinan presiden Soekarno. Selain itu, dalam film ini juga mengisahkan seorang tokoh heroik kolonel Soeharto dalam membasmi PKI dan menjaga stabilitas nasional pada kala itu. Padahal banyak studi tentang sejarah Indonesia yang telah menguak fakta bahwa film tersebut adalah hasil rekayasa presiden Soeharto. Dalam film tersebut cerita-cerita dikarang dan memutar balikan fakta yang sebenarnya. Siaran TVRI menjangkau seluruh daerah di Indonesia. Begitu kuatnya komunikasi politik yang dilakukan sehingga rezim tersebut berkuasa hingga kurang lebih 32 tahun. Konstruksi yang dibangun oleh Soeharto terhadap PKI telah menempatkan PKI sebagai common enemy (musuh bersama). Seolaholah komunisme adalah sebuah wabah berbahaya yang harus diberantas oleh segenap lapisan masyarakat. Propaganda dilakukan secara gencar, bahkan hingga menjangkau lapisan terkecil dari struktur masyarakat. Hal ini dilakukan dengan cara memobilisasi terstruktur, mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, kepala desa hingga aparatur pemerintahan yang berada di dusun terpencil sekalipun. Komunikasi politik yang dilakukan oleh Soeharto secara tidak langsung memposisikan dirinya sebagai penguasa bukan sebagai presiden. Untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya yang dianggap berbahaya, Soeharto melakukan konstruksi kepada masyarakat melalui propaganda yang terus disuarakan melalui berbagai media yang ada pada saat itu. Selain itu dengan dalih menjaga stabilitas nasional sebagai

akselerasi pembangunan bangsa, Soeharto mengeluarkan beberapa kebijakan mengenai sistem pemilihan umum. Kebijakan tersebut antara lain penyederhanaan partai-partai politik yang ada pada saat itu. Dari sekian banyak partai politik, yang diakui dan diikutsertakan dalam pemilu oleh pemerintah hanya PDI (Partai Demokrasi Indonesia), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), dan Golkar (Golongan Karya). Dalih

diberlakukannya sistem ini adalah untuk pembangunan ketahanan, keamanan dan stabilitas nasional. Padahal sistem ini sengaja dirancang untuk mengatur kemenangan Golkar dalam setiap pemilu, jika prosentase kemenangan suara dimenangkan oleh Golkar, maka kursi-kursi dalam lembaga legislatif akan diisi oleh orang-orang Golkar yang dikenal sebagai kroni-kroni Soeharto. Rezim orde baru telah cukup menambah panjang sejarah kelamnya pemerintahan di Indonesia. Dari segi politik, HAM, sosial dan budaya telah tercemar akibat penyelenggaraan pemerintahan orde baru yang bersifat sentralistik, otoriter, dan korup. Dari pemaparan tersebut dapat saya simpulkan bahwa komunikasi politik yang dilakukan oleh mantan presiden Soeharto tidak berdasarkan kepada kebutuhan-kebutuhan rakyat akan adanya persamaan hukum, persamaan hak, dan rasa keamanan sebagai seorang warga negara. Praktek-praktek penyalahgunaan wewenang dalam melakukan

komunikasi politik pada pemerintahan era orde baru telah memakan banyak korban jiwa. Tidak hanya itu, hal ini juga berdampak kepada pembangunan yang tidak merata, kemiskinan di daerah-daerah luar pulau jawa, dan terbatasnya Selain itu, kebebasan berpendapat, suatu beraspirasi, penting dan di

berserikat.

pengangkatan

jabatan

pemerintahan dilakukan berdasarkan kedekatan hubungan pribadi dan politik. Praktek nepotisme ini telah menyengsarakan rakyat Indonesia selama 32 tahun. Seharusnya pemerintah mempunyai standar kualifikasi yang tepat untuk suatu jabatan penting di pemerintahan. Sistem rekrutmen yang ada seharusnya dilakukan atas dasar kualitas dan kapabilitas seseorang, bukan dari kedekatan hubungan kekerabatan. Karena jabatan-jabatan penting tersebut menyangkut berbagai aspek hajat hidup orang banyak.

Daftar Pustaka Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002 Cangara, Hafied. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009. Husken, Frans. Orde Zonder Order: Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998. diedit oleh Huub de Jonge. Yogyakarta: LkiS, 2003. Isjwara. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Putra Abardin, 1999. M. Supraja. Menagih Komitmen Negara, dan Meneguhkan Sikap Independensi Rakyat. Jurnal Demokrasi| 83, no. 1 (2003): 83-97.

You might also like