You are on page 1of 34

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan kebutuhan setiap orang yang harus dipenuhi dan dijamin oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Dengan melihat angka kesehatan suatu negara dapat pula dijadikan sebagai salah satu indikator kesejahteraan masyarakat negara tersebut. Jika angka kesehatannya tinggi maka dapat dikatakan negara tersebut sejahtera dan sebaliknya. Indonesia merupakan salah satu negara yang memahami betul akan pentingnya kesehatan (kesejahteraan). Hal ini dapat dilihat dalam tujuan negara Indonesia, yaitu memajukan kesejahteraan umum, tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Berdasarkan landasan inilah maka dalam APBN dianggarkan dana untuk menunjang kesehatan masyarakat salah satunya ditujukan untuk masyarakat miskin mengingat tidak sedikit penduduk Indonesia yang masih berada di bawah garis kemiskinan yang sampai saat ini menjadi polemik yang dihadapi bangsa ini. Salah satu program yang dicanangkan pemerintah dalam menyediakan pelayanan kesehatan yang memadai bagi rakyat miskin adalah Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Kehadiran program ini diharapkan mampu meringankan beban masyarakat miskin dalam hal pembiayaan berobat dan perawatan yang dirasa begitu mahal.

B. Tujuan Penulisan Tujuan utama penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Keuangan Publik. Selain dalam rangka memenuhi tugas tersebut, penulisan makalah ini juga bertujuan:
1. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai Jamkesmas. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis permasalahan dalam pelaksanaan Jamkesmas

di Indonesia.

3. Untuk memberikan saran-saran perbaikan bagi pelaksanaan Jamkesmas di

Indonesia yang tepat sasaran, transparan dan efisien. C. Pembatasan Masalah Negara dengan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) yang tinggi akan menganggarkan anggaran kesehatan yang lebih besar dibanding negara yang PDBnya kecil. Sedangkan organisasi kesehatan dunia atau yang lebih dikenal dengan WHO menyarankan anggaran kesehatan yang baik adalah minimal 5% dari PDB. Namun sangat disayangkan, di Indonesia anggaran kesehatan masih berada di bawah angka 3% dari PDB. Hal inilah yang merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab belum meratanya pelaksanaan jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat) di Indonesia. Sehingga masih ada rakyat miskin yang belum bisa menikmati pelayanan ini. Dan permasalahan inilah yang kami angkat dan akan dijabarkan pada bab berikutnya.

BAB II JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT

A. Sejarah Jaminan Kesehatan Masyarakat Penyelenggaraan sistem jaminan sosial (social security) pertama kali dirintis oleh Otto Von Bismarck (1883). Hal ini, sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat, telah berkembang di seluruh dunia dengan berbagai modifikasi, sesuai keadaan, kebutuhan, dan bahkan sistem politik dan ekonomi di masing-masing negara. Di berbagai negara, kesehatan merupakan suatu hal yang digratiskan bagi semua warganya sehingga setiap orang dapat menikmati fasilitas kesehatan yang berkualitas. Bahkan di Jepang, orang yang datang dari luar negeri pun bisa menikmati fasilitas gratis. Seperti mahasiswa asal Indonesia yang belajar di negara tersebut, ketika ia sakit ia pun mendapat fasilitas kesehatan gratis itu. Namun konsekuensinya, pemerintah menarik pajak dengan tarif yang relatif tinggi dibandingkan tarif pajak di Indonesia, bahkan mencapai 60%. Tetapi apabila masyarakat negara tersebut telah memiliki kesadaran dan bersedia membayar pajak, sebagai sumber pendapatan negara, hal ini akan menjadi lebih baik karena pada akhirnya pun digunakan untuk kepentingan bangsa. Begitu juga dengan Indonesia, dengan sumber keuangan yang terbatas, pemerintah Indonesia juga berupaya menyediakan jaminan sosial bagi masyarakatnya. Jaminan sosial ini di Indonesia salah satunya bernama jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) yang merupakan istilah pengganti dari Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM). Jaminan sosial semacam ini di Indonesia diatur dalam undang-undang. Berdasarkan UU No. 6 tahun 1974 tentang ketentuan ketentuan pokok kesejahteraaan sosial, jaminan sosial merupakan seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi warga negara yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara taraf kesejahteraan sosial.

Nama jaminan pemeliharaan kesehatan itu sendiri diganti dengan jaminan kesehatan masyarakat karena pemerintah ingin menyediakan fasilitas yang benarbenar gratis bagi warganya. Menurut Zainal, seorang pegawai sebuah puskesmas, dalam sistem jamkesmas rakyat miskin tidak perlu membayar layanan kesehatan yang diberikan kepadanya. Sedangkan dalam sistem JPKMM, masyarakat miskin, pada keadaan tertentu, harus membayar sebagian biaya kesehatan. Cakupan wilayah jamkesmas juga lebih luas dari pada JPKMM, yaitu meliputi seluruh wilayah Indonesia, sedangkan JPKMM hanya pada puskesmas terdekat saja. B. UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Mekanisme pemberian jamkesmas sering diterjemahkan seperti asuransi yang antara lain dikelola oleh ASKES, TASPEN, ASABRI, dan Jamsostek. Berdasarkan pengertian tersebut, negara melakukan pemotongan gaji mereka untuk membayar premi asuransi. Tetapi karena premi yang dibayarkan oleh pengguna Jamkesmas masih relatif kecil dan kurang untuk memenuhi layanan kesehatan, pemerintah perlu memberi subsidi yang diperlukan sehingga dapat mencukupi total biaya pengobatan. Berangkat dari pemahaman ini, ada pihak yang berpendapat bahwa pemerintah Indonesia lebih menjadikan badan pengelola jaminan sosial sebagai pencetak uang untuk menambah penghasilan negara daripada menjalankan misi sosialnya. Hal ini dikarenakan bentuk badan pengelola jaminan sosial berupa Persero. Oleh karena itu pemerintah harus melakukan penyempurnaan peraturan dan memperbaiki kinerjanya agar dapat menyediakan kesehatan sebagai barang publik. Dengan demikian, masyarakat tidak lagi menjadi korban buruknya layanan kesehatan atau bahkan tidak bisa mendapat penanganan medis. UU No. 4 tahun 2004 adalah salah satu langkah pemerintah dalam hal regulasi. Secara umum UU No. 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional dirancang untuk :
1. Memenuhi amanat UUD 1945, khususnya pasal 34 ayat 2 Negara

mengembangkan

sistem

jaminan

sosial

bagi

seluruh

rakyat

dan

memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan 2. Meningkatkan jumlah peserta program jaminan sosial di Indonesia. Hal ini disebabkan, oleh karena sejauh ini, peserta program jaminan sosial di Indonesia masih sangat rendah.

3. Meningkatkan cakupan manfaat/benefit yang dapat dinikmati oleh peserta

program jaminan sosial. Hal ini disebabkan, oleh karena manfaat program jaminan sosial belum dapat sepenuhnya dinikmati oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Bagi Pegawai Negeri Sipil belum meliputi program Jaminan Kecelakaan Kerja, sementara bagi kelompok pekerja formal swasta, belum memiliki program jaminan kesehatan dan jaminan pensiun. 4. 5. Meningkatkan kualitas manfaat yang dapat dinikmati oleh peserta program jaminan sosial, agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Terselenggaranya keadilan sosial dalam penyelenggaraan program jaminan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dengan pengembangan SJSN, diharapkan terselenggara penyelenggaraan program jaminan sosial secara terpadu, sinkron, melalui pendekatan sistem yang berlaku bagi semua penduduk Indonesia. 6. 7. Terselenggaranya prinsip prinsip penyelenggaraan program jaminan sosial. Dilaksanakan secara bertahap, baik dari aspek jenis program maupun kepesertaan Indonesia. Selain memberi subsidi, pemerintah juga melakukan fungsi regulasi, Penyelenggara dan pemberi kerja serta penangung jawab jalannya program tersebut. Bentuk regulasi yang dilakukan pemerintah diupayakan semaksimal mungkin agar dapat memenuhi kesehatan masyarakat sebagai kebutuhan dasar. Sedangkan sebagai penyelenggara dan pemberi kerja, pemerintah menggaji dan memotong premi dari gaji yang dibayarkan kepada pegawai negeri, TNI, dan pekerja sector formal lainnya. Melalui Jamkesmas pula pemerintah menyediakan dana untuk pelayanan masyarakat yang sebagian diantaranya untuk belanja obat. Untuk menjamin keterjangkauan obat esensial, pemerintah menetapkan harga obat generik esensial mencakup 455 item dengan masyarakat miskin sebagai prioritas, khususnya melalui subsidi pemerintah sebesar Rp 3.800,- / kapita pada tahun 2007 dan Rp 4.000,- / kapita pada tahun 2008, dengan asumsi penduduk berjumlah 225 juta. Hal ini akan terus ditingkatkan hingga mencapai rekomendasi WHO sebesar $ 2 / kapita. Berdasarkan UU No 40 tahun 2004, setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan dengan memperhatikan kelayakan program. Sedikitnya diperlukan waktu 20 sampai 25 tahun untuk dapat mencakup seluruh rakyat

martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur. Hal ini mengharuskan pemerintah untuk terus berupaya meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat sehingga dapat menjalankan perannya dalam melindungi bangsa tanpa membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu, Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Asas kemanusiaan berkaitan dengan penghargaan terhadap martabat manusia. Asas manfaat merupakan asas yang bersifat operasional menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif. Asas keadilan merupakan asas yang bersifat ideal. Ketiga asas tersebut dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan program dan hak peserta.
C. Prinsip Prinsip Umum Penyelenggaraan Jaminan Sosial

Adapun prinsip - prinsip penyelenggaraan jaminan sosial secara umum oleh pemerintah adalah sebagai berikut : 1. Prinsip kegotong-royongan, adalah prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya.
2. Prinsip nirlaba, adalah prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan

penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi seluruh peserta. 3. Prinsip keterbukaan, adalah prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar, dan jelas bagi setiap peserta. 4. Prinsip kehati-hatian, adalah prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman, dan tertib. 5. Prinsip akuntabilitas, adalah prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. 6. Prinsip portabilitas, adalah prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

7. Prinsip kepesertaan wajib, adalah prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi peserta jaminan sosial. 8. Prinsip dana amanat, adalah bahwa iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta jaminan sosial. 9. Prinsip hasil pengelolaan dana Jaminan Sosial Nasional, adalah hasil dividen dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial. Sedangkan jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Prinsip asuransi sosial meliputi : 1. 2. 3. 4. kegotong-royongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan muda, dan yang berisiko tinggi dan rendah; kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif; iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan; bersifat nirlaba.

Prinsip ekuitas yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya. Jaminan kesehatan merupakan salah satu Strategi pembangunan kesehatan untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2010 disamping Pembangunan Nasional Berwawasan Kesehatan, profesionalisme, dan desentralisasi. Menurut menkes, Untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat terhadap kesehatan banyak hal yang harus dilakukan, salah satunya adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Secara umum dapat dibedakan sembilan syarat penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang baik, yakni tersedia (available), menyeluruh (comprehensive), berkesinambungan (countinues), terpadu (integrated), wajar (appropiate), dapat diterima (acceptable), bermutu (quality), tercapai (accessible) serta terjangkau (affordable). Selanjutnya ditegaskan, kesembilan syarat tersebut sama pentingnya, namun terpenuhinya syarat ketersediaan sarana pelayanan kesehatan yang merata, bermutu dan terjangkau merupakan satu keharusan. Karena betapapun sempurnanya pelayanan kesehatan bila hal ini tidak terpenuhi tidak akan banyak artinya bagi masyarakat.

E. Kepesertaan Jaminan Kesehatan Masyarakat Undang-Undang juga mengatur kepesertaan jamkesmas walaupun hanya secara garis besar. Berdasarkan pasal 13 UU No 40 tahun 2004, Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjaannya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti. Pemerintah secara bertahap juga mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Kemudian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Wajib memberikan nomor idntitas tunggal kepada setiap peserta dan anggota keluarganya serta memberikan informasi tentang hak dan kewajiban kepada peserta untuk mengikuti ketentuan yang berlaku. Peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu dan pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya serta membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala. Sedangkan bagi fakir miskin dan orang-orang yang tidak mampu iuran tersebut ditanggung oleh pemerintah. Di Indonesia, orang yang dikategorikan miskin adalah orang yang tidak bisa makan dua kali sehari, keluarga dengan anak drop out sekolah karena alasan ekonomi, serta keluaraga yang tidak mampu mengobatkan anggota keluarganya yang sakit ke pelayanan kesehatan. Selain itu, setiap peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain menjadi anggota. Dalam hal ini yang dimaksud dengan anggota keluarga yang lain adalah anak ke-4 dan seterusnya, ayah, ibu, dan mertua. Untuk mengikutsertakan anggota keluarga yang lain, pekerja memberikan surat kuasa kepada pemberi kerja untuk menambah iurannya kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Kepesertaan jaminan kesehatan tetap berlaku paling lama enam bulan sejak seorang peserta mengalami pemutusan hubungan kerja. Namun jika setelah enam bulan belum memperoleh pekerjaaan dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh Pemerintah. Begitu juga peserta yang mengalami cacat total tetap dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh Pemerintah. F. Manfaat Jaminan Kesehatan Masyarakat Selain itu, progam Jamkesmas memiliki bebagai manfaat sebagai berikut :

1. 2.

Kebijakan strategis untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Meningkatkan akuntabilitas masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan yang diperlukan.

3.

Dasar yang kokoh untuk pengembangan Jaminan Kesehatan Nasional dalam menyongsong implementasi SJSN.

4.

Upaya mempercepat pencapaian dan peningkatan derajat kesehatan yang opitimal. Manfaat jaminan kesehatan berupa pelayanan yang meliputi pelayanan

dan penyuluhan kesehatan, imunisasi, pelayanan Keluarga Berencana, rawat jalan, rawat inap, pelayanan gawat darurat dan tindakan medis lainnya, termasuk cuci darah dan operasi jantung. Pelayanan tersebut diberikan sesuai dengan pelayanan standar, baik mutu maupun jenis layanannya dalam rangka menjamin kesinambungan program dan kepuasan peserta. Manfaat jaminan kesehatan ini diberikan kepada fasilitas kesehatan milik Pemerintah atau swasta yang menjalin kerjasama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Namun dalam keadaan darurat, layanan dapat diberikan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Kemudian apabila peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar. Untuk peserta yang menginginkan kelas yang lebih tinggi dari haknya (kelas standar) dapat meningkatkan dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Berdasarkan manfaat yang diperoleh masyarakat, progam ini memiliki arti penting terutama bagi masyarakat miskin. Jamkesmas merupakan kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin (pro poor policy). Dalam hal ini, Data dari Depkes menunjukkan adanya saling keterkaitan antara kemiskinan dan penyakit yang tidak akan pernah putus kecuali dilakukan intervensi pada salah satu atau kedua sisi. Seperti digambarkan sebagai berikut : Kemiskinan dan penyakit terjadi saling kait-mengkait, dengan hubungan yang tidak akan pernah putus terkecuali dilakukan intervensi pada salah satu atau kedua sisi, yakni pada kemiskinannya atau penyakitnya. Hal ini dapat dijelaskan dengan skema berikut.

Kemiskinan mempengaruhi kesehatan karena orang miskin sangat rentan terhadap berbagai macam penyakit. Mereka mengalami hal-hal seperti: menderita gizi buruk pengetahuan kesehatan kurang perilaku kesehatan kurang lingkungan pemukiman buruk biaya kesehatan tidak tersedia Sebaliknya, kesehatan akan menekan kemiskinan karena orang yang sehat memiliki kondisi sebagai berikut: produktivitas kerja tinggi pengeluaran berobat rendah Investasi dan tabungan memadai tingkat pendidikan maju tingkat fertilitas dan kematian rendah stabilitas ekonomi mantap Menurut data dari depkes, Penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin mempunyai arti penting karena 3 alasan pokok: 1. Menjamin terpenuhinya keadilan sosial bagi masyarakat miskin, sehingga pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin mutlak mengingat kematian bayi dan kematian balita 3 kali dan 5 kali lebih tinggi dibanding pada keluarga tidak miskin. Di sisi lain penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat miskin, dapat mencegah 8 juta kematian sampai tahun 2010. 2. Untuk kepentingan politis nasional yakni menjaga keutuhan integrasi bangsa dengan meningkatkan upaya pembangunan (termasuk kesehatan) di daerah

miskin dan kepentingan politis internasional untuk menggalang kebersamaan dalam memenuhi komitmen global guna menurunkan kemiskinan melalui upaya kesehatan bagi keluarga miskin.
3.

Hasil studi menunjukan bahwa jika kesehatan penduduk yang baik, pertumbuhan ekonomi akan baik pula dengan demikian upaya mengatasi kemiskinan akan lebih berhasil

G. Upaya Pelayanan Kesehatan Penduduk Miskin Upaya-upaya pelayanan kesehatan penduduk miskin, memerlukan penyelesaian menyeluruh dan perlu disusun strategi serta tindak pelaksanaan pelayanan kesehatan yang peduli terhadap penduduk miskin. Upaya-upaya ini meliputi: 1. Membebaskan biaya kesehatan dan mengutamakan masalah-masalah

kesehatan yang banyak diderita masyarakat miskin seperti TB, malaria, kurang gizi, PMS dan berbagai penyakit infeksi lain dan kesehatan lingkungan. 2. 3. Mengutamakan penanggulangan penyakit penduduk tidak mampu. Meningkatkan penyediaan serta efektifitas berbagai pelayanan kesehatan masyarakat yang bersifat non personal seperti penyuluhan kesehatan, regulasi pelayanan kesehatan termasuk penyediaan obat, keamanan dan fortifikasi makanan, pengawasan kesehatan lingkungan serta kesehatan dan keselamatan kerja. 4. 5. 6. Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan penduduk tidak mampu Realokasi berbagai sumber daya yang tersedia dengan memprioritaskan pada daerah miskin Meningkatkan partisipasi dan konsultasi dengan masyarakat miskin. Masalah kesehatan masyarakat bukan masalah pemerintah saja melainkan masalah masyarakat itu sendiri karena itu perlu dilakukan peningkatan pemberdayaan masyarakat miskin. Hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan JPKMM tahun 2005 2007, menunjukkan adanya peningkatan yang cukup besar dalam pemanfaatan pelayanan

kesehatan oleh masyarakat sangat miskin, miskin dan mendekati miskin, sehingga merupakan langkah yang tepat apabila pemerintah meneruskan pelaksanaan program ini meskipun berganti nama menjadi jamkesmas pada tahun 2008. Pembiayaannya pun semakin meningkat dari tahun ke tahun. Persentase pengeluaran nasional sektor kesehatan pada tahun 2005 adalah 0,81% dari PDB sedangkan pada tahun 2007 meningkat menjadi 1,09% dari PDB. Pada tahun 2008 APBN kesehatan Indonesia adalah Rp 4,6 triliyun, meningkat dari alokasi tahun 2007 yaitu senilai Rp 3,6 triliyun. Untuk tahun 2009, Departemen Kesehatan (Depkes) berencana mengusulkan anggaran penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) menjadi Rp17 triliun. Peningkatan ini diharapkan bisa terus dilakukan sehingga pada Indonesia sehat 2025 masyarakat memiliki kemampuan menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu dan juga memperoleh jaminan kesehatan. Artinya masyarakat memperoleh perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya. Pelayanan bermutu berarti termasuk juga pelayanan dalam keadaan darurat dan bencana, pelayanan yang memenuhi kebutuhan masyarakat, serta diselenggarakan sesuai dengan standard dan etika profesi.

BAB III DATA DAN FAKTA

Jaminan Kesehatan tidak Tepat Sasaran Lebih dari tiga dasawarsa Indonesia berupaya menyelesaikan persoalan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, terutama kalangan kurang mampu. Departemen Kesehatan dan pemerintah daerah telah mengembangkan berbagai inovasi strategi peningkatan pelayanan kesehatan yang lebih efektif, efisien, dan terpadu. Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang diluncurkan pemerintah sebagai pengganti Askeskin dinilai masih belum tepat sasaran dan banyak yang disalahgunakan. Saat ini masih banyak ditemukan masyarakat menyalahgunakan program Jamkesmas yang mulai diberlakukan pemerintah sejak 1 September 2008. Banyak mengaku masih miskin meski dia sudah kaya, sementara yang benar-benar miskin justru tidak mendapatkan bantuan. Padahal masyarakat miskin juga butuh pelayanan kesehatan secara maksimal. Selain itu, Program Jamkesmas juga dinilai belum berjalan secara optimal karena masih banyak persoalan yang belum tuntas di lapangan, seperti pendataan fungsi ganda, verifikasi tidak berjalan optimal dan penyelenggara yang tidak mau menanggung risiko. Depkes melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) menggelontorkan triliunan rupiah bagi warga miskin di seluruh Indonesia. Gubernur pun mengalokasikan anggaran untuk mendukung program itu yang disebar ke seluruh kab./kota. Begitu pula dengan pemkot/pemkab yang mengalokasikan dana kesehatan bagi warga kurang mampu. Tentu saja niat baik itu tidak cukup tanpa didukung sarana-prasarana memadai di tingkat daerah. Ketersediaan puskesmas berikut pelayan kesehatannya dan kecermatan birokrat kab./kota membuat kebijakan publik menjadi mutlak diperlukan. Ironisnya, persoalan yang terjadi sekarang adalah program jaminan kesehatan warga miskin tidak tetap sasaran. Lagi-lagi, data kependudukan menjadi biang persoalan. Pemda pun seolah-olah tidak bisa berbuat banyak mencegah "eksodus

orang mampu jadi orang miskin." Ketidaktepatan data peserta membuat anggaran pemerintah bagi program tersebut boros. Di Jawa Barat contohnya, peserta Jamkesmas mencapai 10,7 juta jiwa. Dana yang disediakan Depkes sebesar Rp 642 miliar/tahun dengan asumsi per jiwa menghabiskan biaya kesehatan sebesar Rp 5.000,00/bulan. Sebanyak 2 juta penduduk miskin Jabar yang tidak tercover Jamkesmas ditutup lewat bantuan gubernur dan bantuan bupati/kota di tiap daerah. Dari 10,7 jiwa peserta Jamkesmas, hanya 1,7 juta jiwa yang menggunakan fasilitas tersebut untuk rawat jalan dan 214 ribu jiwa yang rawat inap. Dengan jumlah itu saja sampai bulan Agustus sudah menyedot anggaran Rp 500 miliar lebih. Untuk itu, perlu peran serta masyarakat dan mahasiswa dalam mengawasi program ini sehingga terjadi transparansi dan akuntabilitas seperti prinsip awal program ini. Contoh kasus 1:
Tengok saja nasib pasangan Nurhadi dan Mamik Susiani, warga Desa Besole Kecamatan Besuki Kabupaten Tulungagung. Keluarga miskin ini hanya bisa pasrah melihat penderitaan kedua anaknya, masing-masing Moh Hasan alBukhori (3 tahun) dan Desi Wulansari (1,5 tahun), yang didiagnosa mengalami microcephalys (pengecilan kepala). Karena tidak ada biaya untuk berobat, mereka kini cuma bisa merawat Hasan dan Desi di rumah. Berbagai usaha sebenarnya telah dilakukan agar penyakit yang diderita kedua anaknya bisa segera sembuh. Seperti memeriksakannya ke Puskesmas dan RSUD Tulungagung sampai 2 kali. Tapi lantaran biaya yang harus dikeluarkan mahal dan tidak punya kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), Nurhadi terpaksa harus membawa anak-anaknya kembali pulang.

Dari contoh kasus diatas membuktikan ketidakmerataan pembagian jamkesmas. Seharusnya data mengenai siapa yang berhak mendapat jamkesmas harus diperbaiki sehingga kasus yang seperti diatas tidak terulang lagi. Contoh kasus 2:
Kasus ini baru ditemukan di Desa Kebunan, Kecamatan Kota Sumenep. Dari ribuan penerima jamkesmas, sebagian terdapat orang kaya, PNS (pegawai negeri sipil), dan pensiunan PNS. Ironisnya, ada warga miskin yang tidak mendapatkan kartu. Padahal, jamkesmas itu memang untuk keluarga miskin.

Fakta amburadulnya pendataan jamkesmas terungkap setelah Kepala Desa (Kades) Kebunan Addur kemarin pagi mendatangi kantor Askes di Sumenep. Dia protes karena salah satu warganya yang miskin tidak menerima kartu jamkesmas. Awalnya, Kades berusaha membantu warganya yang tidak mampu itu berobat ke RSD dr H Moh. Anwar. Namun, pihak rumah sakit kemudian merujuk pasien miskin tersebut ke rumah sakit di Pamekasan. Setelah diobati, ternyata biayanya besar. Keluarga pasien diminta untuk menunjukkan kartu jamkesmas untuk meringankan biaya pengobatan. Kemudian, Kades mendatangi kantor Askes di Sumenep. Tapi, petugas Askes menolak menerbitkan kartu baru. Alasannya, pasien miskin itu tidak terdaftar sebagai penerima jamkesmas. Kata petugas Askes, data penerima jamkesmas dari pemkab yang ditandatangani bupati Sumenep. Karena merasa tak digubris, Kades pun marah - marah. Sebab, dia merasa pada saat pendataan aparat desa tidak dilibatkan. "Kami yang tahu warga yang layak menerima jamkesmas. Tapi, kami tidak pernah dilibatkan dalam pendataan itu," tandasnya. Yang disesalkan Kades, selain ada warganya yang miskin tidak terdata, ternyata banyak warga yang tidak layak menerima jamkesmas justru mendapatkan kartu. "Banyak yang kaya, PNS, punya mobil, dan pedagang yang malah dapat kartu. Ini kan tidak adil namanya," protesnya sambil menunjukkan sejumlah fotokopi kartu jamkesmas yang tidak layak kepada koran ini. Tapi, petugas Askes tetap bersikukuh tidak bisa menerbitkan kartu baru. Malah, Kades disuruh kembali ke rumah sakit.

Dari data diatas terlihat carut-marutnya pendataan tentang orang yang berhak menerima jamkesmas. Seharusnya pendataan pemberian Jamkesmas juga melibatkan pihak masyarakat seperti RT maupun kepala desa karena mereka yang paling tau mengenai kondisi masyarakat mereka. Dan data tersebut juga harus diupdate sehingga menjaga keakuratan data tersebut. Jangan sampai orang yang sudah meninggal juga masih terdaftar sebagai orang yang menerima Jamkemas. Selain masalah pendataan yang kurang bagus, masalah mengenai sosialisasi yang kurang optimal juga menjadi penyebab kurang efisiennya Jamkesmas. Hal ini dikarenakan mereka yang punya kartu Jamkesmas tidak tahu apa itu Jamkesmas dan apa kegunaan dari Jamkesmas tersebut. Sehingga banyak orang yang telah memiliki kartu tersebut tidak menggunakannya saat berobat ke Puskesmas atau Rumah Sakit.

Pelayanan terhadap pasien peserta Jamkesmas yang buruk juga ikut ambil bagian mengenai inefisiensi Jamkesmas. Hal ini dikarenakan pasien yang memakai kartu Jamkesmas akan dipersulit administrasinya, bahkan tidak jarang mereka ditolak saat menggunakan kartu tersebut dengan alasan yang beraneka ragam misalnya kamar untuk rawat inap sudah habis atau obat generik yang menjadi hak pemakai jamkesmas stocknya habis. Hal ini menuntut perbaikan oleh pemerintah melalui Departemen Kesehatan dalam penyelenggaraan pelayanan Jamkesmas bagi rakyat miskin. Pengawasan terhadap kinerja pemerintah daerah, Rumah sakit dan puskesmas hendaknya juga harus ditingkatkan. A. Profil Kemiskinan Di Indonesia Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia) pada Bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Bulan Maret 2008 yang berjumlah 34,96 juta (15,42 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,43 juta. Selama periode Maret 2008-Maret 2009, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,57 juta, sementara di daerah perkotaan berkurang 0,86 juta orang. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada Bulan Maret 2009, sebagian besar (63,38 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan. Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada Bulan Maret 2009, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 73,57 persen. Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan adalah beras, gula pasir, telur, mie instan, tahu dan tempe. Untuk komoditi bukan makanan adalah biaya perumahan, biaya listrik, angkutan dan minyak tanah. Pada periode Maret 2008-Maret 2009, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan menurun. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit.

Berdasarkan data dari situs resmi SBY data kemiskinan digambarkan sebagai berikut:

Persentase kemiskinan digambarkan mengalami tren turun, tentu saja penurunan ini patut diapresiasi, hanya saja di sisi lain perlu dicermati klaim tingkat kemiskinan sekitar 15,4% atau sekitar 35 juta penduduk Indonesia adalah berdasarkan standar kemiskinan BPS yaitu penduduk dengan penghasilan di bawah Rp 6000/hari jika standarnya dinaikkan sesuai standar bank dunia (USD 2/hari) maka tingkat kemiskinan melonjak mencapai hampir 50% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Hal ini tentunya merupakan sesuatu yang tidak realistis apabila batas kemiskinan itu diukur dengan standar Rp 6.000,00 per hari. Berikut profil dan data kemiskinan Indonesia tersebar di seluruh provinsi :

BAB IV HAMBATAN PELAKSANAAN DAN UPAYA PENYELESAIANNYA

Jaminan Kesehatan Masyarakat sebagai sistem untuk publik sebagaimana terpapar pada bagian sebelumnya bahwa sistem ini masih mempunyai kelemahan dan beberapa hambatan dalam pelaksanaannya. Sistem ini masih memerlukan beberapa perbaikan dan ada upaya konkret dalam memperbaikinya sehingga tujuan dari diberlakukannya sistem ini dapat dicapai. Pada bab ini, akan dianalisis apa saja hambatan dari pelaksanaan sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat dengan berdasarkan data dan fakta yang telah diperoleh. Bagian ini akan mencakup hambatan sistem dipandang dari beberapa aspek. Aspek yang pertama adalah dari aspek persiapan dan aspek-aspek yang mendukung terselenggaranya jaminan ini. Hambatan kedua adalah hambatan dalam pelaksanaan dan penerapan sistem ini. Sedangkan, hambatan yang ketiga adalah hambatan yang berasal dari efek samping diterapkan mekanisme sistem yang telah ada. Selain adanya pemaparan dan penjelasan tentang adanya hambatan-hambatan dari sistem Jamkesmas, kami juga mengambil beberapa solusi yang bisa menjadi alternatif penyelesaian dari hambatan yang ada dari berbagai sumber. A. Hambatan Persiapan dan Infrastruktur
1. Anggaran yang kurang memadai baik sumber, besaran, kelembagaan dan

peruntukannya. Alokasi anggaran kesehatan pemerintah untuk orang miskin perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat miskin dan ditekankan pada upaya promotif dan preventif. Harus ada political will dari pemerintahan, legislative, swasta, dan masyarakat untuk menindaklanjuti pelayanan kesehatan. Pelayanan gratis tidak akan secara otomatis meningkatkan cakupan,karena masih ada biaya diluar biaya pelayanan kesehatan yang harus ditanggung masyarakat miskin.
2. Akses penduduk daerah pedalaman terhadap pelayanan kesehatan masih

terkendala transportasi.

Saat ini pemerintah memberikan jaminan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin lewat asuransi yang dikelola PT Asuransi Kesehatan Indonesia (Askes). Namun, masyarakat terutama di daerah pedalaman dan daerah terpencil, seperti di Papua, Nusa Tenggara Timur, maupun Kalimantan, sulit mengakses pelayanan kesehatan karena hambatan transportasi dan informasi. Akibatnya, dana yang disediakan untuk membiayai pemeliharaan kesehatan penduduk miskin tidak digunakan secara maksimal.
3. Sampai saat ini kepesertaan sasaran program Jamkesmas belum terselesaikan

secara tuntas, sehingga berdampak pada penataan subsistem pelayanan dan pembiayaan kesehatan. Data kepesertaan yang belum selesai menyebabkan pengguna pelayanan kesehatan adalah yang kurang berhak. 4. Peran ganda penyelenggara yang ditugaskan Menteri Kesehatan sebagai pengelola sekaligus pembayar menimbulkan konflik kepentingan dan monopoli berbagai subkontrak kerjasama dengan pihak ketiga. 5. Penyelenggaraan program Jamkesmas kurang berdampak terhadap kesadaran pihak rumah sakit untuk berinteraksi dalam menata subsistem pelayanan dan pembiayaan kesehatan, terutama biaya dan mutunya. 6. Verifikasi yang kurang optimal karena deadline pembayaran yang terkadang harus cepat tanpa didukung kualitas dan kuantitas teknologi dan tenaga yang memadai. 7. Paket pelayanan masih belum menyeimbangkan jumlah sasaran dengan jumlah dana (76,4 juta jiwa dengan Rp 4,6 triliun) secara komprehensif.
8. Kurangnya informasi tentang Jamkesmas kepada masyarakat miskin (maskin)

sebagai akar masalah. Informasi tersebut tidak sampai kepada masyarakat sehingga sering terjadi penyelewengan dan pelanggaran hak-hak pelayanan kesehatan
9. Masih banyak rakyat miskin yang belum mendapat kartu Jamkesmas.

Sebanyak 131.900 masyarakat miskin belum mendapat kartu Jamkesmas. Pelaksanaan Jamkesmas ini sesungguhnya sudah diatur melalui SK Menteri Kesehatan No. 125 tahun 2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Jamkesmas dan telah disosialisasikan ke seluruh daerah. Namun demikian, kenyataannya masih saja

ada rakyat miskin yang tertinggal alias belum mendapatkan kartu Jamkesmas. saat ini masih banyak masyrakat miskin yang mengeluh karena belum mendapatkan kartu Jamkesmas.
10. Data warga miskin yang masih belum valid.

Jumlah sasaran peserta jamkesmas masih mengalami perubahan pendataan sebab sangat mungkin jumlah masyarakat miskin tertambah secara signifikan karena sumber data berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006. Meski telah dilakukan up dating data namun proses administratif yang dilakukan BPS, verifikator independen yang bertugas menverifikasi administrasi kepesertaan, pelayanan dan pembiayaan serta rumah sakit sebagai penyedia pelayanan kesehatan (PPK) membutuhkan waktu sehingga sangat berdampak pada kecepatan akses pelayanan kesehatan peserta Jamkesmas. Keakuratan data merupakan salah satu kunci awal untuk mengevaluasi efektivitas program Jamkesmas ini oleh karena sangat terkait dengan anggaran pada alokasi sasaran atau kuota peserta jamkesmas yang menjadi beban pemerintah pusat, pemprov maupun kabupaten/kota. Sebelum disalurkan kepada masyarakat, sebaiknya Dinas Kesehatan menertibkan terlebih dahulu data penerima Jamkesmas. B. Hambatan Pelaksanaan dan Penerapan Dipandang dari kenyataan aplikasi atau penerapan program ini, ada beberapa poin hambatan yang terjadi, yaitu : 1. Penyalahgunaan peserta 2. Kendali mutu 3. Kendali biaya di rumah sakit 4. Data peserta masih belum akurat 5. Sosialisasi yang belum optimal 6. Adanya pungutan dalam mendapatkan kartu 7. Masih ada peserta yang tidak menggunakan kartu ketika berobat 8. Masih ada pasien Jamkesmas yang mengeluarkan biaya 9. Kualitas pelayanan Jamkesmas masih buruk

C. Hambatan Efek Samping (Pascapelaksanaan)

Sistem jaminan kesehatan dalam Jamkesmas akan mendorong perubahan-perubahan dan penggunaan obat rasional, yang berdampak pada kendali mutu dan kendali biaya. mendasar seperti penataan standarisasi pelayanan, standarisasi tarif, penataan formularium obat. Keterbatasan sumber daya kesehatan, disparitas pendataan, hingga perhitungan dan analisa per satuan biaya terhadap setiap layanan yang begitu kompleks hingga soal waktu sosialisasi yang sangat terbatas inilah yang belum optimal dilakukan seluruh stakeholder pelayanan kesehatan. Pada dasarnya sistem jaminan kesehatan di Indonesia sejak dulu belum mampu menghasilkan output di mana masyarakat semakin sadar terhadap hak-hak informasi layanan kesehatan yang diperoleh. Hal ini diperparah karakteristik pelayanan kesehatan yang cenderung mengalami fenomena asymetris of information yakni ketidakseimbangan informasi pelayanan kesehatan terhadap kebutuhan masyarakat sehingga realitas inilah sebagai salah satu faktor yang memicu kenaikan biaya pelayanan kesehatan.

D. Upaya Penanganan Hambatan Adanya tiga jenis hambatan tersebut merupakan hal yang dapat menyebabkan inefektivitas dari adanya program Jamkesmas dalam proses menjalankannya untuk masyarakat. Hambatan-hambatan tersebut perlu diupayakan solusinya agar dapat diselesaikan dan program ini bisa berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Beberapa solusi yang bisa menjadi pilihan untuk diimplementasikan berdasarkan analisis hambatan yang ada yaitu : 1. Rekomendasi untuk Perbaikan Layanan Kesehatan Perlu pemantapan asuransi kesehatan nasional sebagai bagian dari pelaksanaan Undang-undang Sistem Jaminan Sosial sebagai bagian dari peningkatan akses orang miskin terhadap layanan kesehatan, dan peningkatan akuntabilitas dalam pelayanan kesehatan. Hal yang perlu diperhatikan bahwa pelayanan kesehatan harus didasarkan

pada permintaan masyarakat (Demand-based program) sehingga masyarakat dapat memilih layanan kesehatan yang diinginkan. 2. Strategi Pembiayaan Kesehatan Identifikasi dan perumusan factor utama pembiayaan kesehatan mencakup aspekaspek: a. Kecukupan/adekuasi dan kesinambungan pembiayaan kesehatan pada tingkat pusat dan daerah yang dilakukan dalam langkah-langkah: mobilisasi sumber-sumber pembiayaan baik sumber-sumber tradisional maupun non tradisional, kesinambungan fiscal space dalam anggaran kesehatan nasional peningkatan kolaborasi intersektoral untuk mendukung pembiayaan kesehatan.
b. Pengurangan

pembiayaan dan meniadakan hambatan pembiayaan untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan terutama kelompok miskin dan rentan (pengembangan asuransi kesehatan sosial) yang dilakukan melalui : promosi pemerataan akses dan pemerataan pembiayaan dan utilisasi pelayanan, pencapaian universal coverage dan penguatan jaminan kesehatan masyarakat miskin dan rentan. c. Peningkatan efisiensi dan efektifitas pembiayaan kesehatan yang dilakukan melalui kesesuaian tujuan kesehatan nasional dengan reformasi pembiayaan yang diterjemahkan pembiayaan, penguatan kapasitas manajemen perencanaan anggaran dan pemberi pelayanan kesehatan (providers), pengembangan best practice dalam instrument anggaran operasional dan rencana

3.

Membentuk badan penyelenggara asuransi sosial kesehatan dengan landasan peraturan daerah Seharusnya, dana bisa digunakan secara luwes sesuai dengan kebutuhan di tiap daerah, namun tetap bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, dana asuransi kesehatan untuk penduduk miskin dari pemerintah pusat itu bisa diintegrasikan dengan dana pembangunan kesehatan dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Dengan adanya uji materi (judicial review) terhadap Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional, pemerintah daerah dimungkinkan untuk membentuk badan penyelenggara asuransi sosial kesehatan dengan landasan peraturan daerah. Syaratnya, cakupan tidak eksklusif untuk daerah tertentu dan bersedia bekerja sama dengan badan penyelenggara asuransi sosial nasional. Saat ini hanya sejumlah kecil daerah, antara lain Balikpapan, Jembrana, Sinjai, Musi Banyuasin, dan Purbalingga, telah memberikan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi penduduknya. Masih banyak daerah yang belum mampu membiayai seluruh pelayanan kesehatan.

4.

Pemisahan fungsi pengelola dan pembayar. Depkes membentuk Tim Pengelola Jamkesmas pusat/provinsi/kabupaten/kota sebagai pengelola sedangkan pembayaran kepada Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dari keuangan negara. Dasar pengelolaan adalah Third Party Administration (TPA).

5.

Percepatan penyelesaian pendataan sasaran masyarakat miskin dengan menugaskan PT Askes.

6.

Percepatan pembayaran klaim pelayanan kesehatan kepada PPK didukung pelaksana verfikasi di setiap rumah sakit.

7.

pemberlakuan paket pelayanan kesehatan yang memacu rumah sakit berbenah diri, terutama medical record dan pelayanan kesehatan, sekaligus mendorong efisiensi.

8.

meningkatkan peran pemerintah provinsi/kabupaten/kota dan dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota dalam fungsi pengelolaan, koordinasi, serta pembinaan dan pengawasan.

9.

Sosialisasi diperluas ke setiap daerah dalam berbagai tingkatan provinsi, kabupaten / kota dan juga desa-desa

10. Terkait dengan hal penerapan program ini di lapangan (realitanya), maka ada beberapa solusi teknis berupa hal berikut :
a. Harus ada kendali lebih dalam penanganan peserta

b. Perlu ada standar mengenai kendali mutu. Kalau bisa memenuhi standar ISO 2000 c. Kontrol sumber daya lebih ketat dengan pemberian sanksi apabila ketahuan memungut biaya d. Perlu ada updating data dari pemerintah e. Perlu ada kampanye besar-besaran yang lebih efektif lagi f. Seleksi sumber daya, internal control dan pendirian meja pengaduan g. Ada pengecekan kartu untuk peserta h. Seleksi sumber daya, internal control dan pendirian meja pengaduan i. Percepatan pelayanan, perluasan ruang tunggu, perbaikan administrasi dan penyuluhan dokter

BAB VI WACANA JAMINAN SOSIAL DALAM ISLAM

A. Sistem Islam : Kesehatan Gratis Berbagai fakta historis kebijakan di bidang kesehatan yang pernah dijalankan oleh pemerintahan Islam sejak masa Rasul saw. menunjukkan taraf yang sungguh maju. Pelayanan kesehatan gratis diberikan oleh negara (Khilafah) yang dibiayai dari kas Baitul Mal. Adanya pelayanan kesehatan secara gratis, berkualitas dan diberikan kepada semua individu rakyat tanpa diskriminasi jelas merupakan prestasi yang mengagumkan. Hal itu sudah dijalankan sejak masa Rasul saw. Delapan orang dari Urainah datang ke Madinah menyatakan keislaman dan keimanan mereka. Lalu mereka menderita sakit gangguan limpa. Nabi saw. Kemudian merintahkan mereka dirawat di tempat perawatan, yaitu kawasan penggembalaan ternak milik Baitul Mal di Dzi Jidr arah Quba, tidak jauh dari unta-unta Baitul Mal yang digembalakan di sana. Mereka meminum susunya dan berada di tempat itu hingga sehat dan pulih. Raja Mesir, Muqauqis, pernah menghadiahkan seorang dokter kepada Nabi saw. Beliau menjadikan dokter itu untuk melayani seluruh kaum Muslim secara gratis. Khalifah Umar bin al-Khaththab, menetapkan pembiayaan bagi para penderita lepra di Syam dari Baitul Mal. Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah membangun rumah sakit bagi pengobatan para penderita leprosia dan lepra serta kebutaan. Para dokter dan perawat yang merawat mereka digaji dari Baitul Mal. Bani Thulan di Mesir membangun tempat dan lemari minuman yang di dalamnya disediakan obat-obatan dan berbagai minuman. Di tempat itu ditunjuk dokter untuk melayani pengobatan. Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan, Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran

dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun. Pada masa Khilafah Abbasiyah itu pula untuk pertama kalinya ada apotik. Yang terbesar adalah apotik Ibnu al-Baithar. Saat itu, para apoteker tidak diijinkan menjalankan profesinya di apotik kecuali setelah mendapat lisensi dari negara. Para apoteker itu mendatangkan obat-obatan dari India dan dari negeri-negeri lainnya, lalu mereka melakukan berbagai inovasi dan penemuan untuk menemukan obat-obatan baru (M. Husain Abdullah, Dirst f al-Fikri al-Islm, hlm. 89).

B. Kebijakan Kesehatan dalam Islam Dalam Islam, sistem kesehatan tersusun dari 3 (tiga) unsur sistem. Pertama: peraturan, baik peraturan berupa syariah Islam, kebijakan maupun peraturan teknis administratif. Kedua: sarana dan peralatan fisik seperti rumah sakit, alat-alat medis dan sarana prasarana kesehatan lainnya. Ketiga: SDM (sumber daya manusia) sebagai pelaksana sistem kesehatan yang meliputi dokter, Apoteker, perawat, dan tenaga medis lainnya. (S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Sciences, hlm. 148). Kebijakan kesehatan dalam Khilafah akan memperhatikan terealisasinya beberapa prinsip. Pertama: pola baku sikap dan perilaku sehat. Kedua: Lingkungan sehat dan kondusif. Ketiga: pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau. Keempat: kontrol efektif terhadap patologi sosial. Pembangunan kesehatan tersebut meliputi keseimbangan aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Promotif ditujukan untuk mendorong sikap dan perilaku sehat. Preventif diprioritaskan pada pencegahan perilaku distortif dan munculnya gangguan kesehatan. Kuratif ditujukan untuk menanggulangi kondisi patologis akibat penyimpangan perilaku dan munculnya gangguan kesehatan. Rehabilitatif diarahkan agar predikat sebagai makhluk bermartabat tetap melekat. Pembinaan pola baku sikap dan perilaku sehat baik secara fisik, mental maupun sosial, pada dasarnya merupakan bagian dari pembinaan kepribadian Islam itu sendiri. Dalam hal ini, keimanan yang kuat dan ketakwaan menjadi keniscayaan. Dr. Ahmed Shawky al-Fangary1 menyatakan bahwa syariah sangat concern pada kebersihan dan

sanitasi seperti yang dibahas dalam hukum-hukum thaharah.

Syariah juga

memperhatikan pola makan sehat dan berimbang serta perilaku dan etika makan seperti perintah untuk memakan makanan halal dan thayyib (bergizi), larangan atas makanan berbahaya, perintah tidak berlebihan dalam makan, makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang, mengisi perut dengan 1/3 makanan, 1/3 air dan 1/3 udara, termasuk kaitannya dengan syariah puasa baik wajib maupun sunah. Syariah juga menganjurkan olah raga dan sikap hidup aktif. Syariah juga sangat memperhatikan masalah kesehatan dan pola hidup sehat dalam masalah seksual. Jadi, menumbuhkan pola baku sikap dan perilaku sehat tidak lain adalah dengan membina kepribadian Islam dan ketakwaan masyarakat. Tentu hal itu bukan hanya menjadi domain kesehatan tetapi menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat umumnya. Kebijakan kesehatan Khilafah juga diarahkan bagi terciptanya lingkungan yang sehat dan kondusif. Tata kota dan perencanaan ruang akan dilaksanakan dengan senantiasa memperhatikan kesehatan, sanitasi, drainase, keasrian, dsb. Tentu saja itu hanya bisa direalisasikan melalui negara, bukan hanya melibatkan departemen kesehatan, tetapi juga departemen-departemen lainnya. Tata kota, sistem drainase dan sanitasi kota kaum Muslim dulu seperti Baghdad, Samara, Kordoba, dsb telah memenuhi kriteria itu dan menjadi model bagi tata kota seperti London, kota-kota di Perancis dan kota-kota lain di Eropa. Pelayanan kesehatan berkualitas hanya bisa direalisasikan jika didukung dengan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai serta sumber daya manusia yang profesional dan kompeten. Penyediaan semua itu menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara (Khilafah) karena negara (Khilafah) berkewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan dasar berupa kesehatan dan pengobatan. Karenanya, Khilafah wajib membangun berbagai rumah sakit, klinik, laboratorium medis, apotik, pusat dan lembaga litbang kesehatan, sekolah kedokteran, apoteker, perawat, bidan dan sekolah lainnya yang menghasilkan tenaga medis, serta berbagai sarana prasarana kesehatan dan pengobatan lainnya. Negara juga wajib mengadakan pabrik yang memproduksi peralatan medis dan obat-obatan; menyediakan SDM kesehatan baik dokter, apoteker, perawat, psikiater, penyuluh kesehatan dan lainnya.

Pelayanan kesehatan harus diberikan secara gratis kepada rakyat baik kaya atau miskin tanpa diskriminasi baik agama, suku, warna kulit dan sebagainya. Pembiayaan untuk semua itu diambil dari kas Baitul Mal, baik dari pos harta milik negara ataupun harta milik umum. Semua pelayanan kesehatan dan pengobatan harus dikelola sesuai dengan aturan syariah termasuk pemisahan pria dan wanita serta hukum-hukum syariah lainnya. Juga harus memperhatikan faktor ihsan dalam pelayanan, yaitu wajib memenuhi 3 (tiga) prinsip baku yang berlaku umum untuk setiap pelayanan masyarakat dalam sistem Islam: Pertama, sederhana dalam peraturan (tidak berbelit-belit). Kedua, cepat dalam pelayanan. Ketiga, profesional dalam pelayanan, yakni dikerjakan oleh orang yang kompeten dan amanah.

BAB VII PENUTUP

A. Kesimpulan Secara ringkas, dari pemaparan mengenai Sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat yang telah kami terangkan pada bab-bab sebelumnya dapat diambil poin-poin kesimpulan berupa:
1. Awal mula dari adanya Sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)

merupakan transformasi dari sistem jaminan sosial nasional yang telah dikenal sebelumnya, yaitu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) dengan berdalih agar pelayanan publik lebih benar-benar tepat sasaran dan menyeluruh.
2. pemberlakuan dari adanya Jamkesmas sudah diatur dalam undang-undang yaitu UU

No. 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional dengan adanya pemberlakuan prinsip-prinsip umum di dalamnya agar berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pada UU ini juga dijelaskan kepesertaan siapa saja yang berhak untuk memiliki jaminan ini atau lebih jelasnya peruntukan dari jaminan untuk apa.
3. Adanya Jamkesmas diharapkan menghasilkan beberapa manfaat sesuai dengan

konsep dan tujuan yang telah dipaparkan dalam UU no. 40 tahun 2004 tentang SJSN. manfaat ini utamanya mengacu pada kondisi kesejahteraan masyarakat yang tentunya diharapkan terus meningkat dan menjadi lebih baik dengan adanya kebijakan publik pemerintah yang mengatur tentang jaminan kesehatan. Sistem ini juga terinisiasi dari kondisi kemiskinan masyarakat yang mesti ditindaklanjuti. Kemiskinan bisa disebut sebagai salah satu factor yang menyebabkan adanya perbedaan atau kesenjangan angka-angka indicator kesehatan yang masih kurang merata dan masih banyak yang berada pada bawah garis kemiskinan sehingga banyak dari mereka yang tidak mampu untuk mengurusi kesehatannya dan perlu adanya jaminan dari pemerintah yang bertanggungjawab atas adanya kesejahteraan umum dalam suatu Negara.Pemerintah tentunya perlu merumuskan strategi-strategi berupa kebijakan publik yang berfungsi sebagai upaya pelayanan kesehatan penduduk miskin utamanya.

4. Sebagaimana sebuah sistem publik yang dirancang dengan berdasarkan konsep dan

teori yang komprehensif, Jamkesmas sebagai suatu sistem publik pun juga mempunyai penyimpangan dari pemberlakuan atau penerapan dari adanya sistem ini di masyarakat. Data dan fakta yang ada menunjukkan pemberlakuan sistem ini masih kurang merata di kalangan masyarakat utamanya masyarakat miskin yang merupakan tujuan utama dari adanya program ini. Fasilitas dan sarana kesehatan masih mengalami kesulitan untuk didapatkan oleh masyarakat secara merata entah itu karena penerapan regulasi yang ada, kurangnya infrastruktur yang menunjang, atau hal lainnya. Masyarakat miskin dengan jumlah yang masih sangat banyak di Indonesia dan perkembangannya dari waktu ke waktu akan menjadi sebuah tantangan bagi program ini agar kena sasaran dan tidak mengalami penyimpangan.
5. Dengan data dan fakta yang di lapangan (praktek dan penerapan dari Jamkesmas)

dapat

disimpulkan

bahwa

ternyata

dalam

sistem

yang

dirancang

untuk

menyelenggarakan fasilitas kesehatan yang optimal dan terjangkau oleh masyarakat ini mempunyai beberapa kendala atau hambatan yang perlu dibenahi. Hambatan dibagi dalam tiga aspek, aspek yang pertama adalah dari aspek persiapan dan aspekaspek yang mendukung terselenggaranya jaminan ini. Hambatan kedua adalah hambatan dalam pelaksanaan dan penerapan sistem ini. Sedangkan, hambatan yang ketiga adalah hambatan yang berasal dari efek samping diterapkan mekanisme sistem yang telah ada. 6. Dalam sistem Islam atau sering disebut dengan syariat jaminan sosial termasuk salah satu unsur yang ada dalam menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat dan tetap memberikan jaminan kepada masyarakat miskin yang kurang memliki fasilitas dan sarana guna menunjang kesehatan masyarakat. ini menjadi sebuah wacana yang bisa dijadikan pertimbangan untuk mengaplikasikan beberapa prinsip-prinsip yang ada dan bisa disesuaikan dengan kondisi realita penerapan jaminan sosial yang sekarang berlaku.

LAMPIRAN I

LAMPIRAN II UU NO 40 TAHUN 2004

DAFTAR PUSTAKA

Tim penyusun Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan. 2005. Pengantar Keuangan Publik. Jakarta: LPKPAP PRESS. UU No. 23 tahun 1992: tentang kesehatan UU No. 40 tahun 2004: tentang sistem jaminan sosial nasional www.depkes.go.id

You might also like