You are on page 1of 20

1

1
TAUHID TASAWUF DAN PERKEMBANGAN ISLAM
DI NUSANTARA (SAMUDERA PASAI)
1


Oleh:

Prof. Dr. H. Farid Wajdi Ibrahim, MA.,
2



I. Latar Belakang Masalah
Dalam konteks sejarah Islam di kepulauan Melayu Nusantara, tauhid-tasawuf
bukanlah fenomena baru dan asing. Sejak awal pesatnya perkembangan Islam dan
perlembagaannya pada abad ke 13-15 M, komunitas-komunitas Islam yang awal telah
mengenal tasawuf sebagai bangunan spiritualitas Islam yang kaya dengan kearifan dan
amalan-amalan yang dapat menuntun para penuntut ilmu suluk menuju pemahaman
yang mendalam tentang tauhid. Adapun ahlinya yang dikenal sebagai sufi tak jarang
dikenal sebagai wali, guru kerohanian, pemimpin organisasi tariqat, pendakwah dan
darwish atau faqir yang suka mengembara sambil berniaga untuk menyebarkan agama
Islam ke berbagai pelosok negeri.
3

Mereka menemui para bangsawan, saudagar, kaum terpelajar, pengrajin,
orang-orang di pinggiran kota dan pedesaan untuk menyerukan kebenaran di jalan
Islam. Tidak sedikit pula di antara mereka dikenal sebagai ahli falsafah, cendikiawan,
sastrawan, dan pemimpin gerakan sosial keagamaan yang populis. Ahli-ahli sejarah
Islam dulu maupun sekarang juga telah menemukan bukti bahwa tidak sedikit
organisasi-organisasi perdagangan Islam (ta`ifa) pada abad-abad tersebut memiliki
afiliasi dengan tariqat-tariqat sufi tertentu. Dengan memanfaatkan jaringan-jaringan
pendidikan, intelektual, dan keagamaan yang tersebar di seantero dunia Islam seperti
Istanbul, Damaskus, Baghdad, Mekkah, Yaman, Samarkand, Bukhara, Nisyapur,
Herat, Delhi, Gujarat, Bengala, Samudra Pasai, Malaka, dan lain sebagainya mereka
tidak memperoleh kesukaran dalam menyebarkan agama Islam.
Seperti berkembangnya Islam sendiri di Indonesia yang dimulai di kota,
begitu pula dengan tasawuf. Setelah itu ia baru merembet ke kawasan pinggiran atau
urban, kemudian ke wilayah pedalaman dan pedesaan. Sufi-sufi awal seperti Hasan
Basri dan Rabiah al-Adawiyah memulai kegiatannya di Basra, kota yang terletak di
sebelah selatan Iraq yang pada abad ke-8-10 M merupakan pusat kebudayaan. Makruf
al-Karqi, Junaid al-Baghdadi, dan Mansur al-Hallaj mengajarkan tasawuf di Baghdad
yang merupakan pusat kekhalifatan Abbasiyah dan kota metropolitan pada abad ke 8-
13 M. `Attar lahir dan besar di Nisyapur, yang pada abad ke 10-15 M merupakan
pusat keagamaan, intelektual dan perdagangan terkemuka di Iran.
4

Rumi hidup dan mendirikan Tariqat Maulawiyah di Konya, kota penting di
Anatolia pada abad ke 11-17 M. Hamzah Fansuri lahir dan besar di Barus, kota

1
Makalah ini dipresentasikan pada acara Muzakarah Majelis Pengkajian Tauhid Tasawuf Se-Asia
Tenggara, di Mesjid Sultan Abdul Azis Shah Alam, Selangor Malaysia, 14-15 April 2012
2
Rektor IAIN Ar-Raniry Aceh
3
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, (Jakarta: Kencana, 2006),
hal. 15
4
Muradi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang: Karya Toha Putra, 2006), hal. 20
2

1
dagang di pantai barat Sumatra yang merupakan pelabuhan regional pada abad ke-13-
17 M. Sunan Bonang, seorang dari Wali Sanga terkemuka, mengajarkan ilmu suluk di
Tuban yang pada abad ke 14-17 M merupakan kota dagang besar di Jawa Timur.
Syamsudin Pasai adalah penganjur tauhid tasawuf wujudiah dan pendiri madzab
Martabat Tujuh yang terkenal. Dia seorang mufi dan juga perdana menteri pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) di kesultanan Aceh Darussalam.
5

Jika demikian halnya acara Muzakarah Majlis Pengkajian Tauhid Tasawuf se-
Asia Tenggara ini merupakan salah satu bagian terpenting dalam
menumbuhkembangkan kembali tauhid-tasawuf di dunia. Sebab sebagaimana
kebangkitannya pada masa awal, bangkitnya kembali gairah terhadap tasawuf di
Indonesia bermula di kota besar seperti Jakarta dan Bandung pada akhir 1970an, dan
terutama sekali dalam dekade 1980-an. Pelopornya ialah para sastrawan, seniman,
sarjana ilmu agama, dan cendekiawan. Pendek kata kaum terpelajar yang tidak sedikit
dari mereka adalah dokter, pengusaha, manager, sarjana ekonomi, ilmu politik,
falsafah, dan scientis.
Tentang bagaimana kegairahan komunitas Muslim terpelajar pada masa yang
silam terhadap tasawuf, banyak dipaparkan oleh sumber-sumber sejarah lokal seperti
Hikayat Aceh, Sejarah Melayu, Hikayat Maulana Hasanuddin, Babad Tanah Jawa, Suluk
Wujil, Hikayat Sultan Maulana, Hikayat Banjar, dan lain-lain. Beritanya juga ditemui
dalam catatan pengembara dan sejarawan asing dari Turki, Cina, Arab, Persia, India
dan Portugis. Misalnya dalam laporan Zainuddin al-Ma`bari, sejarawan Muslim dari
Iran pada abad ke-15 yang tinggal di Malabar, India. Dalam bukunya Minhaj al-
Mujahidin, Zainuddin al-Ma`bari mencatat bahwa para sufi giat berdakwah di India
dan Indonesia menggunakan sarana budaya lokal dan juga melalui pembacaan
Qasidah Burdah. Dalam Suma Oriental, petualang Portugis abad ke-16 M Tome Pires
malah mencatat bahwa para sufi itu tidak hanya aktif mendirikan madrasah dan
mengajar tasawuf kepada penduduk, tetapi juga giat mengajarkan ketrampilan
termasuk seni kriya atau kerajinan tangan seperti membatik, mengukir, membuat
kapal dan perabot rumah tangga.
6

Ada beberapa fenomena pada akhir 1970an dan awal 1980an yang
menandakan bangkitnya kembali gairah dan minat terhadap tasawuf. Pertama, mulai
penerbitan buku tentang tauhid-tasawuf dan relevansinya. Buku-buku ini sebagian
besar merupakan terjemahan karangan para sarjana modern seperti Syed Hossein
Nasr, A. J. Arberry, Reynold Nicholson, Frithjof Schuon, Martin Lings, Syed M.
Naquib al-Attas, Roger Garaudy, Annemarie Schimmel, Idries Shah dan lain-lain.
Sebagian lagi terjemahan karya sufi klasik seperti Imam al-Ghazali, Ibn `Arabi,
Fariduddin al-`Attar, Jalaluddin Rumi, Ali Utsman al-Hujwiri, Muhammad Iqbal, dan
lain-lain.
Penerbit-penerbit awal yang berjasa ialah Pustaka Salman dan Mizan di
Bandung, Pustaka Firdaus, Panji Masyarakat dan Bulan Bintang di Jakarta.
Penerjemahnya adalah sarjana-sarjana yang baru kembali dari Amerika. Kita tahu
pada awal 1970an minat mempelajari bentuk-bentuk spiritualisme Timur sangat
marak di Barat. Ledakan penerbitan buku-buku kearifan Timur termasuk tasawuf
menyertai bangkitnya gairah tersebut. Survey yang dibuat IKAPI (Ikatan Penerbit

5
Muradi, Sejarah..., hal. 22
6
Muhammad Shalihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: Grafindo Persada,
2005), hal. 17
3

1
Indonesia) kalau tidak salah pada tahun 1989 menyebutkan bahwa di antara buku
yang paling laris ketika itu ialah buku-buku taaauhid-tasawuf.
Kedua, maraknya kegiatan pembacaan puisi sufi oleh para sastrawan di Taman
Ismail Marzuki dan tempat-tempat lain. Sebelumnya, pada awal 1970an, telah bangkit
gerakan sufistik dalam penulisan sastra yang dipelopori oleh pengarang dan penyair
seperti Danarto, Kuntowijoyo, Fudoli Zaini, Taufiq Ismail, Abdul Hadi W. M.,
Sutardji Calzoum Bachri, dan lain-lain. Di antara acara penting yang diselenggarakan
seperti pembacaan puisi yang disebut Malam Rumi (1982), Malam Hamzah Fansuri
(1984, Malam Iqbal (1987) dan lain-lain. Sajak-sajak sufi dibacakan dalam acara
pembacaan puisi yang tidak dikhususkan memperkenalkan sastra sufi seperti Malam
Palestina (1982), Malam Afghanistan (1984), dan lain-lain.
7

Mengikuti fenomena ini perbincangan tentang tauhid tasawuf dan sastra
sufistik semakin ramai pada tahun 1980an. Puncaknya ialah pada waktu Festival
Istiqlal diselenggrakan pada tahun 1991 dan 1995. Dalam festival kebudayaan Islam
terbesar yang pernah diselenggarakan di Indonesia ini, berbagai bentuk ekspresi seni
yang lahir dari tradisi tauhid-tasawuf dipergelarkan, termasuk pameran akbar seni
rupa. Di antara ekspresi seni daerah yang berasal dari kreativitas para sufi ialah Tari
Saman dan Seudati dari Aceh, Rebana Biang dan Rafa`i dari Banten, Tari Zapin
Melayu, Pantil dan Sintung dari Madura, dan lain sebagainya.
Lembaran-lembaran budaya atau sastra di suratkabar ibukota seperti Harian
Berita Buana dan Pelita berada di garis depan dalam upaya mereka memperkenalkan
relevasi tasawuf dan kesusastraan sufi. Nomor-nomor awal majalah dan jurnal
kebudayaan Islam terkemuka seperti Ulumul Quran juga menampilkan perbincangan
tentang tasawuf dan relevansinya. Pada akhir tahun 1980an, pengajian-pengajian
tasawuf mulai marak dilakukan di kota besar seperti Jakarta. Misalnya seperti yang
diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina. Ini tidak mengherankan oleh
karena orang-orang yang berperan dalam pengajian tersebut sebagiannya adalah para
redaktur atau editor Ullumul Quran.
Kelompok-kelompok uzlah mahasiswa juga memainkan peranan penting
dalam memperkenalkan relevansi tauhid tasawuf. Terutama kelompok uzlah yang
muncul di masjid-masjid kampus seperti Salman ITB, Salahuddin UGM, dan Giffari
IPB (Institut Pertanian Bogor). Training-training organisasi mahasiswa pada akhir
1980an juga tidak jarang diisi dengan bahan yang berkaitan dengan ajaran sufi. Di luar
itu juga marak pengajian-pengajian seperti Pengajian Taqwa yang diselenggarakan di
sudut-sudut pinggiran ibu kota. Tariqat-tariqat sufi seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah,
Tijaniyah, dan lain-lain yang dahulunya tersembunyi di kawasan-kawasan pinggiran
kemudian merengsek keluar dan menampakkan kegiatannya di pusat kota.
Untuk memahami fenomena ini kita harus kembali melihat situasi tahun
1980an. Sejauh mengenai gerakan uzlah di kalangan mahasiswa tidak sukar dijawab.
Sebagai dampak dari demo-demo anti pemerintah yang gencar dilakukan mahasiswa,
pemerintah ketika itu melarang kampus dijadikan ajang kegiatan politik. Organisasi
ekstra universitas seperti HMI, PMKRI, GMNI, IMM, PMII dan lain-lain dihalau
keluar dari kampus-kampus besar. Kebijakan depolitisasi ini dijawab oleh mahasiswa-
mahasiswa Islam di beberapa kampus terkemuka seperti ITB, IPB, UGM, dan UI
dengan menyelenggarakan kegiatan pengajian dan pembelajaran secara sembunyi-

7
Abdullah Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf Dan Tokoh-Tokohnya Di Nusantara, (Surabaya,
Al-Ikhlas, 1930), hal. 55
4

1
sembunyi dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Tujuannya ialah menyusun
strategi baru perjuangan dan sekaligus memperdalam penghayatan agama.
Namun secara umum bangkitnya kembali gairah terhadap tauhid tasawuf di
kalanganm terpelajar pada tahun 1980an sangat terkait dengan kehampaan spiritual
yang mulai dirasakan di tengah pesatnya pembangunan ekonomi. Masyarakat kota,
yang sebagian besar adalah orang-orang yang hijrah dari daerah, mulai merasakan
dirinya berada di tengah budaya baru yang asing, terutama sistem nilai, pola hidup
dan pergaulannya. Di tengah pesatnya peradaban materialistik tumbuh di sekitarnya,
mereka merasakan hilangnya dimensi kerohanian yang teramat penting dalam
memelihara hidupnya.
Seorang sufi abad ke 16 M dari Aceh, Bukhari al-Jauhari dalam kitabnya Taj
al-Salatin (Mahkota Raja-raja, 1603) dia lebih kurang mengatakan bahwa hidup
manusia merupakan perjalanan dari Yang Abadi menuju Yang Abadi. Enam tempat
perhentian harus dilalui dalam perjalanannya itu sebelum kembali ke tempat yang
kekal. Pertama, sulbi , yaitu ketika manusia masih berupa benih dalam angan-angan
orang tuanya dan roh belum ditiupkan oleh Sang Khaliq ke dalam tubuh jasmaninya.
Kedua, rahim ibu. Di sini ia tinggal selama lebih kurang sembilan bulan sebagai calon
jabang bayi. Ketiga, alam dunia tempat manusia berikhtiar dan berbakti untuk agama,
nusa dan bangsa. Keempat, alam kubur. Kelima, hari kiamat, tempat amal baik dan
buruknya ditimbang. Keenam, surga atau neraka jahanam tempatnya yang kekal.
Alam dunia merupakan perhentian yang penting. Oleh karena itu manusia
wajib mengenal dirinya dan dunia tempatnya tinggal itu. Jalan di hadapan kita
sebelum tiba saatnya menempati alam kubur itu teramat jauh dan sukar. Bekal untuk
dibawa pulang ke tempat yang abadi tidak dapat dicari di tempat lain kecuali di dunia
ini. Manusia tidak mengetahui betapa suatu hembusan nafasnya seperti tapak kaki di
jalan dan sehari seperti sebuah padang gurun yang luas dan suatu hembusan nafas
yang dihela dari hidupnya seperti sebuah batu yang dibongkar dari rumah kehidupan
dan setiap nafas pastilah membinasakan rumah umurnya. Oleh karena itu kehidupan
di dunia harus dipelihara sebaik-baiknya. Orang yang ingin selamat di dunia dan
akhirat harus dapat membebaskan diri dari hidup serba kebendaan.
Melalui hikmahnya itu Bukhari al-Jauhari ingin mengatakan bahwa tauhid-
tasawuf bukan eskapisme,
8
melainkan upaya untuk menjadikan kehidupan memiliki
nilai dan tujuan spiritual. Salah satu Syair Hamzah Fansuri berikut ini mengatakan
kepada kita tujuan tasawuf yang sebenarnya yaitu Tauhid, kesaksian bahwa Allah
adalah satu-satunya Tuhan tempat kita memohon pertolongan. Adapun redaksi
syairnya adalah:
Hamzah Fansuri di dalam Mekkah
Mencari Tuhan di Baitil Kabah
Di Barus ke Quds terlalu payah
Akhirnya jumpa di dalam rumah

Sufinya bukannya kain

8
Eskapisme adalah suatu bentuk dari tindakan melarikan diri dari permasalahan utama yang
bergerak dari retorika ke retorika. Secara Etimologi, escapism berasal dari bahasa inggris, yaitu escape,
yang artinya melarikan diri. Definisi eskapisme adalah sebuah kehendak atau kecenderungan
menghindar dari kenyataan dengan mencari hiburan dan ketenteraman di dalam khayal atau situasi
rekaan. Lihat: Agus Maladi Irianto,
http://staff.undip.ac.id/sastra/agusmaladi/2010/06/15/eskapisme/
5

1
Fil-Makkah daim bermain
Ilmunya lahir dan batin
Menyembah Allah terlalu rajin

Hidup dalam dunia upama dagang
Datang musim kita kan pulang
La tastakhiruna sa`atan lagi kan datang
Mencari makrifat Allah jangan kepalang

II. Pembahasan
a. Pengertian Tasawuf
Ada berbagai pengertian mengenai tasawuf diantaranya yaitu:
o Secara Etimologi (Bahasa)
a) Berasal dari kata Ahl Al-Shuffah yaitu sebutan bagi orang - orang yang pda
zaman Rasulullah Saw. hidup di sebuah gubuk yang dibangun oleh Rasulullah
Saw. di sekitar Masjid Madinah, mereka ikut nabi saat hijrah dari Mekah ke
Madinah. Karena hijrah dengan meninggalkan harta benda mereka, mereka
hidup miskin dan papa, pada akhirnya mereka bertawakal (berserah diri) dan
mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah Swt. Mereka tinggal di
sekitar masjid nabi dan tidur di atas bangku yang terbuat dari batu dan pelana
yang disebut suffah sebagai bantalnya.
Kata sofa dalam bahasa Eropa berasal dari kata suffah. Mereka Ahl Al-Suffah
berhati dan berakhlak mulia walaupun miskin, itu merupakan sebagian dari
sifat-sifat sifat kaum sufi.
b) Berasal dari kata Shafa' (suci bersih) yaitu sekelompok orang yang menyucikan
hati dan jiwanya karena Allah. Sufi berarti orang-orang yang hati dan jiwanya
suci bersih dan disinari cahaya hikmah, tauhid, dan kesatuan dengan Allah
Swt.
c) Berasal dari kata shuf (pakaian dari bulu domba atau wol) Mereka di sebut sufi
karena memakai kain yang terbuat dari bulu domba. Pakaian yang terbuat dari
bulu domba menjadi pakaian khas kaum sufi, bulu domba atau wol saat itu
bukanlah wol lembut seperti sekarang melainkan wol yang sangat kasar, itulah
lambang dari kesederhanaan pada saat itu. Berbeda dengan orang kaya saat
itu yang memakai kain sutra. Mereka hidup sederhana dan miskin tetapi
6

1
berhati mulia, saat awal suluk (perjalanan menuju Allah dalam agama),
mereka hidup sangat wara' (menjaga diri dari berbuat dosa dan maksiat).
d) Berasal dari wazan tafaala dalam ilmu tashrif bahasa arab yaitu tafaala-
yatafaalu-tafaulan, kata tasawuf berarti berasal dari mauzun tashawwafa-
yatashawwafu-tashawwufan.
9


Secara etimologis banyaknya ahli yang telah mengajukan arti dasar tasawuf,
10

namun mereka tidak memberikan kata yang sama. Dari pendapat-pendapat yang
diberikan para ahli tersebut dapat disimpulkan dalam lima kata, sebagai kata dasar
perkataan tasawuf. Pertama, tasawuf berasal dari kata ahl al-suffah, yang berarti orang-
orang yang akan ikut pindah dengan Nabi Muhammad dari Makkah ke madinah, dan
karena kehilangan harta, mereka berada dalam keadaan miskin dan tidak memiliki
apa-apa. Mereka tinggal di mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan
memakai pelana sebagai bantal. Pelana dalam bahasa Arab disebut shuffah. Ahl al-
shuffah, sekalipun miskin tetap berhati baik dan mulia. Sifat baik hati dan mulia
sekalipun dalam keadaan miskin ini merupakan sifat dasar kaum sufi. Kedua, sufi
berasal dari kata shaf pertama dalam shalat. Dikatakan demikian karena orang-orang
yang shalat di shaf pertama akan mendapatkan kemuliaan dari Allah. Demikian juga
halnya dengan kaum sufi, yang selalu shalat di shaf pertama. Ketiga, istilah sufi
dihubungkan dengan kata shafa yang berarti suci. Hal ini disebabkan orang sufi
merupakan orang yang selalu mensucikan dirinya dalam waktu yang lama dan dengan
latihan yang berat. Keempat, istilah sufi juga biasa dikatakan berasal dari istilah Yunani,

9
Abi al-Qasim Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyasyri al-Nizafur, Al-Risalah al-
Qusyayriyyah, (Kairo: Mustafa al-Bab al-Halabi, 1959), hal. 138
10
Dalam perspektif al-Qusyayri, tasawuf adalah ilmu yang dengannya bisa mengetahui atau
mengenal keadaan-keadaan kesucian jiwa dan kebaikan akhlak. Para sufi adalah orang yang
memakmurkan lahir-batin, serta berusaha untuk mencapai kebahagiaan abadi. Lihat: R. A. Nocholson,
The Mystics of Islam, (London: Routledge and Kegan Paul, 1974), hal. 45. Al-Sarraj al-Thusi mengatakan
bahwa tasawuf adalah seseorang tidak memiliki apa-apa dan tidak dimiliki siapa-siapa. Lihat: al-Sarraj
al-Thusi, Al-Luma, suntingan Abd al-Halim Mahmud dan Thaha Surur, (Kairo: tp, 1960), hal. 25.
Adapun tasawuf dalam definisi Abu Muhammad al-Jariri adalah masuk ke dalam akhlak yang baik dan
keluar dari akhlak buruk. Sementara Abu Bakr al-Kattani mengatakan tasawuf adalah akhlak;
barangsiapa yang bertambah baik akhlaknya, maka bertambah bersih hatinya. Ibid., hal. 26. A. H.
Mahmud mengatakan bahwa tasawuf menyangkut dua hal, yaitu penyucian hati dan penyaksian (al-
Tasawwuf safa musyahadah). Lihat: A. H. Mahmud, Qadhiyyah al-Tasawwuf: Munqiz min al-Dhalal, (Kairo:
Dar al-Maarif, 1985), hal. 43. Al-Ghazali mendefinisikan tasawuf adalah memusatkan diri untuk
berubudiyyah dan selalu menghubungkan hati pada Allah. Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Kitab
Rawdhat al-Thalibin wa Umdat al-Salikin, (Kairo: Dar al-Fikr, tt), hal. 29
7

1
yaitu dari kata sophos yang berarti hikmah. Kelima, kata sufi sangat sering dikatakan
berasal dari kata shuf yang berarti wol. Kaum sufi sering memakai kain dari wol kasar
sebagai pakaiannya.
11
Ini menggambarkan kesederhanaan dan kemiskinan yang ada
pada diri mereka. Dari sekian asal kata yang disebutkan di atas, teori terakhirlah yang
banyak diterima sebagai asal kata sufi.
12

Seperti halnya asal kata tasawuf secara etimologis, para ulama juga tidak
memiliki kesepakatan tentang pengetian tasawuf secara etimologis. Banyak definisi
tasawuf yang telah dikemukakan oleh para ulama. Ibrahim Basuni telah
mengumpulkan lebih dari 40 definisi tasawuf sampai ia selesai menulis bukunya.
13

Adapun pemikir Islam lainnya menulis 30 definisi tasawuf yang telah dikemukakan
oleh ulama-ulama Islam.
14
Semua definisi yang diajukan oleh para ahli tersebut tidak
ada yang sama. Masing-masing memberikan definisi menurutpendapatnya sendiri,
sesuai dengan ilmu dan pengalamannya.
Dalam pandangan Hamka, tasawuf secara etimologis memang menjadi
perdebatan para ahli. Banyak para ahli yang memberikan definisi tasawuf melalui
aspek kebahasaannya. Hamka mengatakan:
Arti tasawuf dan asal katanya menjadi pertikaian ahli-ahli logat. Setengahnnya
berkata bahwa perkataan itu diambil dari perkataan shafa, artinya suci dan
bersih, ibarat kilat kaca. Kata setengahnya dari kata shuf artinya bulu binatang,
sebab orang-orang yang memasuki tasawuf itu memakai baju dari bulu
binatang, karena benci mereka kepada pakaian yang indah-indah, pakaian
orang dunia ini. dan kata setengahnya diambil dari kaum shuffah, ialah
segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di satu tempat
terpencil di samping Masjid Nabi. Kata setengahnya pula dari perkataan
shufanah, ialah sebangsa kayu mersik tumbuh dipadang pasir tanah Arab. Akan
tetapi setengah ahli bahasa dan riwayat, terutama di zaman yang akhir ini
mengatakan bahwa perkataan sufi itu bukanlah bahasa Arab. Asalnya Theosofie,

11
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hal. 57.
Seyyed Hossein Nasr membahas tasawuf dalam upaya menjawab kedudukannya di tengah-tengah
ajaran Islam. banyak ulama yanga menolak tasawuf dengan alasan tidak ada dalam ajaran Islam yang
terdapat pada al-Quran dan al-Hadits. Menurut Seyyed Hossein Nasr dimensi bathiniyah (tasawuf)
adalah dimensi batin yang erat hubungannya dengan dimensi lahir (syariah) dan dimensi lahir
diperlukan sebagai dasar pijakan untuk mengapai dimensi batin. Sehingga pengalaman ilahiyah yang
selalu bergantung pada keadaan batiniyah seseorang selalu berada dalam ikatan transedental. Lihat:
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought, (London: Allen and Unwin, 1981), hal. 193
12
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme... ,hal. 58
13
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), hal.
33. Buku yang dimaksud adalah Ibrahim Basuni, Nasat al-Tasawwuf fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Maarif,
1969).
14
Said Aqil Siraj, Pengajaran Tasawuf, dalam Jurnal Khas Tasawuf, No. 09 tahun I, 2002, hal.
18-21
8

1
artinya ilmu ketuhanan, kemudian diharapkan dan diucapkan dengan lidah
orang Arab sehingga berubah menjadi tasawuf.
15


Keragaman pengertian yang diberikan oleh para ahli tersebut, dalam
pandangan Hamka bukan menjadi sebuah kendala dalam memahami tasawuf secara
umum. Hamka menganggap dari pengertian-pengertian tasawuf yang telah
dikemukakan oleh para ahli intinya tetap sama, yaitu membersihkan hati dan
mendekatkan diri dengan Tuhan. Hamka mengatakan:

Walaupun dari mana pengambilan perkataan itu, dari bahasa Arabkah, atau
bahasa Yunani, namun dari asal-asal pengambilan itu sudah nyata bahwa yang
dimaksud dengan kaum tasawuf, atau kaum sufi itu ialah kaum yang telah
menyusun kumpulan menyisihkan diri dari orang banyak, yang dimaksud
membersihkan hati, laksana kilat-kaca terhadap Tuhan, atau memakai pakaian
yang sederhana, jangan menyerupai pakaian orang dunia, biar hidup kelihatan
kurus kering bagai kayu di padang pasir, atau memperdalam penyelidikan
tentang perhubungan makhluk dengan khaliknya. Sebagai yang dimaksud
perkataan Yunani itu.
16


Dari pengertian tasawuf di atas tampaknya tasawuf dalam pemahaman
Hamka adalah tasawuf akhlaqi, bukan tasawuf falsafi yang dikembangkan ulama
tasawuf periode kedua. Orientasi tasawuf bagi Hamka adalah pembinaan budi pekerti
yang mulia. Seorang sufi adalah seorang yang baik akhlak, budi pekertinya. Oleh
karenanya semua orang bisa menjadi sufi, sebab untuk menjadi sufi tidaklah sulit,
tidak perlu memakai pakaian yang terbuat dari wol kasar, atau harus tidur diteras
mesjid sepanjang malam, harus betapa atau bersemedi sambil berzikir, puasa
sepanjang waktu, menahan berbagai kenikmatan duniawi dan lain-lain.

b. Dasar-dasar Tauhid Tasawuf dalam Perspektif Al-Quran
Bagi seseorang yang bertasawuf ketika ia memandang segala hal di alam ini
dan dirinya terpandangnyalah ke Maha Agungan Tuhannya dengan terbuka hijabnya
karena begitu dekatnya Tuhan dengan hambanya seperti diisyarat dalam Firman Allah
Swt;
)9 $)=z }# = $ ? / ( t >%& 9) 7m
9#
Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa
yang dibisikan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat
lehernya. (QS. Qhaf :16)
Dalam ayat lain, Allah berfirman:

15
Hamka, Tasawuf Modern, cet. ix. (Jakarta: Panjimas, 1983), hal. 12
16
Hamka, Tasawuf..., hal. 12-13
9

1
#) 79' $6 h_ o* =% ( =_& #$!# #) $ ( #6fG= <
#9 1 =9
Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (Q.S Al-Baqarah:
186)

Apabila kita melihat dari sisi ilmunya, tasawuf adalah suatu ilmu yang
mendalami agama Islam yang berdasarkan pada al-Quran dan hadits yang
mempelajari tentang cara pemantapan iman keyakinan dalam hal ubudiyah
(penghambaan) yang pelaksanaannya dilaksanakan secara lahiriyah dan bathiniyah
(pekerjaan hati) seperti yang di isyaratkan oleh Allah Swt dalam firmannya yang
artinya:
< $ $1 $;' $g $1)? % x=& $8. %
>%{ $9
Artinya: Demi nafsu dan kesempurnaan maka Allah mengilhamkan pada nafsu itu
jalan kefasikan dan ketaqwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang orang
yang mensucikan nafsunya. (QS. Asy-Syams: 7-10)
Dalam aspek lain, pelaksanaan pengamalan akan hal tersebut menurut
tasawuf adalah dengan jalan mensucikan hati dari sifat-sifat nafsu yang tercela (nafsu
Mazmumah) yang akan menerbitkan efek positif berupa ketenangan pada dirinya
dengan hidupnya, hatinya dan akan membawa kelapangan serta keikhlasan dalam hal
ubudiyah dan menambah ketakwaannya. Hanya dengan hati yang tenang dapat
membentuk pribadi-pribadi yang berakhlak baik ketika ia berhubungan dengan
Tuhannya atau kepada sesama mahluk Allah Swt, sebagaimana firman Allah:
7) ?9 @,=z 5
Artinya: Dan sesungguhnya kamu benar benar berakhlak yang agung. (Q.S. Qalam: 4)

c. Masuknya Tauhid Tasawuf Di Nusantara
Islam sufistik dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam serta
khazanah intelektual Islam di Nusantara merupakan salah satu wacana yang masih
menarik untuk dibincangkan. Hal ini tidak hanya disebabkan awal masuknya Islam ke
Indonesia sebagaimana disepakati para ahli sejarah bernuansa tauhid tasawuf. Namun
10

1
juga dikarenakan adanya luka-luka sejarah dalam perkembangan Islam di negeri ini
yang terkait langsung dengan issu Islam esoteris.
17

Eksekusi mati terhadap Syekh Siti Jenar pada abad ke 15 M di Jawa oleh Wali
Songo, pembunuhan terhadap para penganut paham wahdah al-wujud di Serambi
Mekah (Aceh) atas fatwa qadhi kesultanan yang waktu itu dijabat Al-Raniri, adalah luka
yang akan tetap meninggalkan codet dalam lembaran sejarah Islam di Nusantara
(Indonesia). Selanjutnya, budaya masyarakat Nusantara yang amat kental dengan
dunia mistik terutama sejak masuknya Hindu dan Budha dari India merupakan faktor
yang tidak bisa dikesampingkan yang membuat semakin menariknya wacana ini.

1) Tasawuf Falsafi di Dunia Islam
Tasawuf falasafi secara sederhana dapat didefenisikan sebagai kajian dan jalan
esoteris dalam Islam untuk mengembangkan kesucian bathin yang kaya dengan
pandangan-pandangan filosofis. Keberadaan tasawuf bercorak falsafi ini pada satu
sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya kurang senang dengan
kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi para ulama yang
menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya, tauhid tasawuf falsafi
bagaikan sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda untuk direnangi.
Ulama pertama yang dapat dianggap sebagai tokoh tasawuf falsafi adalah Ibn
Masarrah (w. 319/931) yang muncul dari Andalusia. Sekaligus dia dapat dianggap
sebagai filosof sufi pertama dalam dunia Islam. Pandangan filsafatnya adalah emanasi
yang mirip dengan emanasi Plotinus.
18

Menurutnya, melalui jalan tasawuf manusia dapat melepaskan jiwanya dari
belenggu/penjara badan dan memperoleh karunia Tuhan berupa penyinaran hati
dengan nur Tuhan. Suatu marifah
19
yang memberikan kebahagiaan sejati. Ia juga
menganut pandangan bahwa kehidupan di akhirat bersifat ruhani, sehingga di akhirat
kelak manusia dibangkitkan ruhnya saja, tidak dengan badan. Pandangan yang amat
mirip dengan penyataan Ibnu Sina tentang kebangkitan manusia kelak di akhirat.
Tokoh kedua yang berpengaruh besar dalam dunia tasawuf falsafi adalah
Suhrawardi al-Maqtul, sufi yang dibunuh di Aleppo pada tahun 587/1191, karena
pandangannya yang telah keluar dari Islam menurut ulama fuqaha. Suhrawardi juga
seorang penganut paham emanasinya Ibnu Sina.

17
Misri A. Muchsin, Tasawuf di Aceh dalam Abad XX Studi Pemikiran Teungku Haji
Abdullah Ujong Rimba (1907-1983), Disertasi, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2003), hal. 147.
18
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought, (London: Allen and Unwin, 1981), ahl. 193
19
Ada beberapa definisi umum yang diberikan tentang al-marifah yaitu, (1) kalau mata yang
terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang di
lihatnya hanyalah Allah; (2) al-marifah adalah cermin, kalau seorang arif melihat ke cermin itu, yang
akan di lihatnya adalah hanya Allah; (3) yang di lihat orang arif baik sewaktu tidur maupun tatkala ia
bangun hanya Allah; (4) sekiranya al-marifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat
padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya, dan semua cahaya akan
menjadi gelap di samping cahaya keindahan yang gilang gemilang; (5) al-marifah merupakan
pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang Tuhan yang diperoleh melalui sanubari. Karena jelas
dan pastinya pengetahuan itu, menyebabkan seseorang merasa harudengan yang diketahuinya. Al-
Marifah dikembangkan oleh dua orang sufi, yaitu Dhun Nun al-Misri dan al-Ghazali.
11

1
Apabila tauhid tasawuf sunni (akhlaqi)
20
memperoleh bentuk yang final di
tangan Imam Al-Gazali, maka tasawuf falsafi mencapai puncak kesempurnaan
dalam pengajaran Ibn Arabi, seorang sufi yang juga datang dari Andalusia.
Pengetahuan Ibnu Arabi yang amat kaya dalam bidang keislaman dan lapangan
filsafat, membuatnya mampu menghasilkan karya yang demikian banyak, di antaranya
al-Futuhad al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam. Boleh dikatakan hampir semua
pengajaran, praktek dan ide-ide yang berkembang di kalangan sufi pada masa itu
mampu diliput dan kemudian diberinya penjelasan yang amat memadai.
21

Ajaran sentral Ibn Arabi adalah kesatuan wujud (wahdah al-wujud). Menurutnya
wujud itu hanyalah satu; yaitu wujud yang berdiri dengan dirinya sendiri, itulah
Tuhan, Zat Yang Maha Benar. Alam yang banyak sekalipun mempunyai wujud,
namun dia tidak berwujud dengan wujud sendiri, melainkan berwujud dengan wujud
Allah. Wujud alam adalah khayal, maksudnya bila ia kelihatan sebagai wujud yang
berdiri sendiri, maka sesungguhnya ia berwujud dengan wujud Tuhan. Oleh sebab itu
kemudian dikatakan bahwa wujud Tuhan dengan wujud alam adalah satu, bukan dua
atau banyak. Alam yang banyak dan beraneka ragam adalah manifestasi atau
penampakan dari wujud Tuhan yang satu. Dari segi hakekat, alam tidak lain dari
Tuhan. Adapun dari sudut manifestasi, alam benar-benar berbeda dengan Tuhan.
Alam bukanlah Tuhan dan tidak sama dengan Tuhan.
Ada banyak tokoh sufi filosof yang muncul setelah meninggalnya Ibnu Arabi
di Damaskus. Di antara yang terkenal adalah; al-Qunawi, al-Farqani, al-Qaishari,
Jalaluddin Rumi dan al-Jili dan lain-lain. Tasawuf bercorak falsafi ini kemudian
memperoleh tanah yang subur, terutama di Persia. Umumnya kalangan Syiah
Ismailiyah dan Syiah Dua Belas dapat menerima dan membenarkan paham ini.
Tasawuf falsafi yang telah mencapai puncak di tangan Ibnu Arabi, yang
kemudian berkembang di tangan para sufi filosof sesudahnya, menyebar hampir ke
seluruh dunia Islam dengan jaringan sebagaimana yang diungkapkan Azyumardi Azra
dalam Jaringan Ulamanya. Lewat jaringan itu pula tasawuf falsafi masuk ke
Indonesia yang kemudian memunculkan tokoh-tokoh sufi filosof yang juga tidak sepi
dari ungkapan syhathahadnya. Seperti Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-
Sumatrani, yang kiprah keduanya akan dibicarakan pada pembahasan berikut.
22

Dibanding dengan tauhid tasawuf sunni, tauhid tasawuf falsafi lebih kaya
dengan ide-ide dan pikiran-pikiran tentang Tuhan dan alam metafisik. Ide-ide yang
oleh para sufinya dipandang tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Sunnah,
termasuk dalam hal ini ungkapan syathahad-nya. Sementara tasawuf sunni tidak
mementingkan ide-ide dan pikiran spekulatif dalam tataran falsafah. Para sufi sunni
sudah merasa cukup dengan pemahaman akidah pokok yang diajarkan dalam ilmu
tauhid. Persoalan qadim-nya alam, kehidupan akhirat yang bersifat ruhani tidak

20
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang mempertahankan esensi awal dari tasawuf yakni
moral dan akhlak. Hal ini karena arah pelaksanaan hidup sederhana yang ada dalam tasawuf pada
akhirnya membuahkan kebaikan akhlak. Dalam tasawuf akhlaqi, seorang sufi berhenti hanya sebatas
tujuan akhlak, yaitu meluruskan jiwa, mengendalikan kehendak dan usaha-usaha yang dapat membuat
manusia konsisten melakukan kebaikan moral atau akhlak.
21
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life...,hal. 197. Lihat juga: al-Syathnufi, Bahjah al-Asrar, (Kairo:
tp, 1304 H), hal. 220
22
Azyumardi Azra, Neo Sufisme dan Masa Depannya dalam Muhammad Wahyuni Nafis,
Rekonstruksi dan Renunan Religius Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 287-8
12

1
terdapat dalam kajian tasawuf sunni, karena dipandang tidak benar, menyalahi apa
yang diajarkan para mutakallimin.

2) Tasawuf Falsafi di Nusantara
Wacana tauhid tasawuf falsafi di Nusantara agaknya dimotori oleh Hamzah
Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, dua tokoh sufi yang datang dari pulau Andalas
(Sumatera) pada abad ke 17 M. Sekalipun pada abad ke 15 sebelumnya telah terjadi
peristiwa tragis berupa eksekusi mati terhadap Syekh Siti Jenar atas fatwa dari Wali
Songo, karena ajarannya dipandang menganut doktrin sufistik yang bersifat bidah
berupa pengakuan akan kesatuan wujud manusia dengan wujud Tuhan, Zat Yang
Maha Mutlak.
23

Namun sejauh ini penulis belum menemukan literatur yang menjelaskan
apakah paham yang dianut Syekh Siti Jenar adalah wahdatul wujud yang berasal dari
Ibnu Arabi lewat jaringan ulama sebagaimana dimaksud Azra dalam bukunya
tersebut. Terlebih lagi terlalu sedikit literatur yang menjelaskan keberadaan sosok
Syekh Siti Jenar dalam khazanah keislaman di Nusantara. Paling tidak menurut Alwi
Shihab, kehadiran Syekh Siti Jenar dengan ajaran dan syathahad-nya yang dipandang
sesat, dapat dijadikan sebagai tahap pertama perkembangan tauhid tasawuf falsafi di
Indonesia. Alwi menamakannya sebagai tahap perkenalan. Pembunuhan terhadap
Syekh Siti Jenar agaknya telah meredupkan cahaya perkembangan tauhid tasawuf
falsafi di Indonesia dalam waktu yang lama, sampai kemudian munculnya Hamzah
dan Syamsuddin di Sumatera.
Hamzah Fansuri adalah keturunan Melayu yang dilahirkan di Fansur nama
lain dari Barus. Para peneliti tidak menemukan bukti yang valid kapan sebenarnya
Hamzah lahir. Dia diperkirakan hidup pada akhir abad ke 16 dan awal abad ke 17,
yakni pada masa sebelum dan selama pemerintahan Sultan Ala al-Din Riyat Syah
(berkuasa 977-1011H/1589-1602M). Hamzah diperkirakan meninggal sebelum tahun
1016H/1607M.
Hamzah memulai pendidikannya di Barus, kota kelahirannya yang pada waktu
itu menjadi pusat perdagangan, karena saat itu Aceh berada dalam kemajuan di
bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Tsani. Kwalitas pendidikan
yang cukup baik di Aceh menjadikan Hamzah dapat mempelajari ilmu-ilmu agama
seperti; fiqh, tauhid, akahlak, tasawuf, dan juga ilmu umum seperti ; kesustraan,
sejarah dan logika. Selesai mengikuti pendidikan di tanah kelahirannya, Hamzah
kemudian melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah, khususnya Persia dan Arab.
Sehingga dia dapat menguasai bahasa Arab dan Persia, mungkin juga bahasa Urdu.
Dalam hal tasawuf falsafi diperkirakan Hamzah mempelajari dari Iraqi, murid Sadr al-
Din al-Qunawi, murid kesayangan Ibnu Arabi.
Sekembalinya dari perantauan menuntut ilmu, Hamzah mengajarkan agama di
Aceh melalui lembaga pendidikan Dayah (pesantren) di Oboh Simpang Kanan,
yang merupakan cabang dari Dayah Simpang Kiri yang diasuh oleh kakaknya Syekj
Ali Fansuri, ayah dari Abdr Rauf al-Sinkili. Hamzah ternyata tidak hanya beraktifitas
sebagai guru, namun juga rajin menulis. Tetapi sangat disayangkan karya-karya

23
Ahmad Daudi, Syekh Nuruddin Ar-Raniry; Sejarah Karya dan Sanggahan Terhadap Wujudiyyah di
Aceh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 8
13

1
Hamzah tersebut tidak lagi ditemukan karena telah dimusnahkan oleh lawan-
lawannya yang menentang paham wujudiyah yang dikembangkan oleh Hamzah.
24

Pemikiran Hamzah tentang ajaran wujudiyah terdapat dalam karyanya Zinat
al-Wahidin, yang terdiri dari tujuh bab. Menurut Hamzah hakekat dari Zat Yang
Maha Mutlak, Qadim dan pencipta alam semesta tidak dapat ditentukan atau
dilukiskan. Dalam kaitan ini bagi Hamzah alam yang pada mulanya bersifat ruhani
kemudian berubah berisifat jasmani adalah manifestasi dari zat Ilahi. Zat Ilahi
menampung seluruh wujud, sehingga dalam aspek transenden zat Tuhan tidak
bertepi. Pada aspek immanen zat Tuhan juga tidak terpisah dari alam. Lebih jauh
Hamzah menjelaskan tahap-tahap hubungan Tuhan dengan manifestasi-Nya, alam.
Tahap pertama disebut la taayyun, pada tahap ini Tuhan yang Esa belum
berhubungan dengan alam. Lalu bagaimana Tuhan menciptakan alam, padahal suatu
hal yang mustahil Tuhan sebagai Zat Yang Mutlak dari-Nya langsung muncul
nakhluk-makhluk yang sifatnya relatif. Menurut Hamzah Penciptaan dari Zat Mutlak
ke alam yang relatif membutuhkan tahapan-tahapan. Ia membagi tahapan-tahapan ini
kepada lima tahapan yang disebut dengan taayyun atau penampakan.
Pertama, taayyun awwal yaitu Tuhan menampakkan diri-Nya melalui ilmu-
Nya, sifat-Nya dan Nur-Nya, ide-ide ketuhanan pada tahap ini dalam pengajaran
Syamsuddin as-Sumatrani masih bersifat ijmali atau global. Kedua taayyun tsani
merupakan penampakan dalam diri Tuhan yang menghasilkan munnculnya
pengetahuan terperinci tentang hakikat-hakikat alam (ayyan tsabitah). Dalam
pengajaran Hamzah ditegaskan bahwa ayan tsabitah tidaklah memiliki wujud aktual.
Unsur ini merupakan pola-pola rancangan tetap dan lengkap tentang alam. Alam
diwujudkan Tuhan secara aktual menurut pola-pola rancangan tersebut. Ketiga
taayyun tsalist, yaitu penampakan Tuhan dalam alam arwah, tahap ini terjadi di luar zat
yang Mutlak sehingga dinamakan ayan kharijah. Keempat, taayyun rabi merupakan
penampakan kepada seluruh makhluk, tapi masih dalam alam misal dan kelima,
taayyun khamis, penampakan Tuhan terakhir pada alam insan dan alam dunia.
25

Tahapan-tahapan dalam penciptaan ini hanyalah hirarki yang disusun untuk
lebih mudah memahami, yang sebenarnya terjadi secara gradual dan seketika. Dengan
pemikiran ini Hamzah menjelaskan bahwa penampakan Tuhan tidak terjadi begitu
saja atau secara langsung, tapi melalui tahap tertentu, sehingga keesaan dan
kemurnian Tuhan tidak tercampuri dengan makhluk.
Ajaran wujudiyah Hamzah ini kemudian dikembangkan oleh muridnya
Syamsuddin as-Sumatrani. Kebanyakan peneliti berpendapat, hubungan mereka
adalah guru-murid. Abdul Azis juga membenarkan pendapat A. Hasymy bahwa
hubungan Hamzah dengan Syamsuddin sebagai murid dan khalifah, karena
menurutnya telah dijumpai dua karya Syamsuddin yang merupakan ulasan atau syarah
terhadap pengajaran Hamzah yaitu: Syarah Rubai Hamzah Fansuri dan Syarah Syair
Ikan Tongkol.
Terdapat banyak informasi tentang potret pribadi syeikh di antaranya:
Hikayat Aceh seperti di jelaskan di awal, Adat Aceh, Bustan al-Salathin dan informasi
dari pengembara dan peneliti asing. Dari informasi tersebut dijelaskan bahwa
Syamsuddin lahir kira-kira 1589 dan wafat 24 Februari 1630 berdasarkan informasi

24
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemeurniannya, cet. 12 (Jakarta: Panjimas, 1993), hal. 30
25
Louis Massignon dan Mustafa Abd al-Raziq, al-Islam wa al-Tasawwuf, (Kairo: Dar al-Syibi,
1979), hal. 55
14

1
Deny Lombard. Syaikh banyak melahirkan karya bermutu seperti: Jawhar al-Haqaiq,
Risalah Tubayyin Mulahazah, Nur al-Daqaiq, Thariq al-Sahlikin, Iraj al-Iman dan
karya lainnya. Syamsuddin menguasai beberapa bahasa, tapi karya-karyanya
kebanyakan ditulis dalam bahasa Melayu dan Arab.
Pemberian makna Tiada wujud selain Allah bagi kalimat tauhid la ilaha illa
Allah hanya dilakukan oleh kalangan sufi penganut paham wujudiyyah saja, dan itu
menjadi ciri khas yang membedakan kalangan penganut paham wujudiyyah dengan
kalangan sufi lainnya. Pengakuan bahwa tidak ada wujud selain Allah disebut dalam
pengajaran Syamsuddin sebagai tauhid hakiki (al-tawhid al-haqiqi) atau tauhid yang
murni (al-tawhid al-khalish). Menurutnya, tauhid hakiki atau tauhid murni itu baru ada
pada seseorang jika ia mengakui bahwa tidak ada pelaku atau pembuat selain Allah,
tidak ada yang ditaati atau disembah selain Allah dan tidak ada wujud selain Allah.
Syamsuddin, dalam pengajarannya tentang maksud kalimat-kalimat tauhid itu,
juga mengingatkan pengikutnya tentang perbedaan pendirian mereka sebagai
penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin) dengan kaum yang ia sebut
sebagai orang-orang zindiq. Menurutnya kedua pihak itu sepakat dalam hal
menetapkan maksud kalimat tauhid la ilaha illa Allah, yakni tiada wujud selain Allah,
sedangkan wujud sekalian alam adalah bersifat bayang-bayang, majazi atau
fatamorgana, dibandingkan dengan wujud Allah.
Sedangkan paham kaum zindiq, wujud Tuhan tidak ada kecuali dengan
kandungan wujud alam seluruhnya; semua wujud alam adalah wujud Tuhan dan
wujud Tuhan adalah wujud alam, baik dari segi wujud maupun dari segi taayyun-
taayyun (penampakan-penampakan). Mereka menetapkan kesatuan hakiki dalam
kejamakan alam tanpa membedakan martabat Tuhan dengan alam.
26

Paham demikian, menurut Syamsuddin adalah paham batil, tidak benar dan
ditolak oleh penganut tauhid yang benar. Berdasarkan pendapat ini terkesan jauh-jauh
hari sebelum Nuruddin al-Raniry mengkritik paham Syamsuddin sebagai mulhid, ia
sendiri telah menjelaskan bahwa mana wujudiyyah mulhid dan mana yang muwahhid
berdasarkan keterangan di atas.
Pengajaran Syamsuddin tentang Tuhan dengan corak paham wujudiyyah
dikenal juga dengan pengajaran tentang martabat tujuh, yaitu tentang satu wujud
dengan tujuh martabatnya. Pengajarannya tentang ini agaknya samam dengan yang
diajarkan al-Buhanpuri, yang diduga kuat sebagai orang pertama yang membagi
martabat wujud itu kepada tujuh kategori. Ketujuh martabat tersebut adalah: martabat
ahadiyyah, martabat wahdah, martabat wahidiyyah, martabat alam arwah, martabat alam mitsal,
martabat alam ajsam dan martabat alam insan.
Al-Buhanpuri pernah mengingatkan bahwa sebutan martabat ketuhanan tidak
boleh dipakaikan untuk martabat alam dan begitu pula sebaliknya. Akan tetapi dalam
karya al-Burhanpuri tidak dijelaskan secara implisit tentang itu. Syamsuddin sebagai
penganut paham martabat tujuh ini di Nusantara telah mengkategorikan martabat
ketuhanan dan martabat kemakhlukan seperti yang disimpulkan Abdul Aziz Dahlan.
Menurutnya, secara eksplisit dalam karya Syamsuddin terlihat tiga martabat, pertama
disebut anniyat Allah, yaitu martabat wujud aktual Allah, sedangkan empat martabat
berikutnya disebut anniyah al-Makhluq, yaitu martabat wujud aktual makhluk.

26
Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syaikh Nuruddin Ar-Raniry, (Jakarta: Bulan
Bintang, 2003), hal. 71-72, 86-87
15

1
Paham martabat tujuh inilah yang membedakan antara Syamsuddin
Sumatrani dengan gurunya Hamzah Fansuri, yang mana dalam ajaran Hamzah tidak
ditemukan pengajaran ini. akan tetapi keduanya sangat menekankan pemahaman
tauhid yang murni, bahwa Tuhan tidak boleh disamakan atau dicampurkan dengan
unsur alam, dikenal dalam pengajaran Hamzah Fansuri la taayyun. Sedangkan dalam
pengajaran Syamsuddin dikenal dengan aniyat Allah, yang merupakan kejelasan dari
ajaran al-Burhanpuri untuk tidak mencampur-adukkan martabat ketuhanan dengan
martabat kemakhlukan.

3) Respon dan Pengaruh Paham Tasawuf Falsafi di Nusantara Pasca Hamzah dan
Syamsuddin.
Ternyata Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani pada prinsipnya
dikategorikan termasuk dalam aliran pemikiran yang sama, keduanya merupakan
pendukung terkenal penafsiran mistikofilosofis wahdat al-Wujud. Walaupun sedikit ada
perbedaan penekanan, keduanya sangat dipengaruhi terutama oleh Ibn Arabi.
Konsep inti ajaran mereka adalah kehadiran alam ini disebabkan serangkaian proses
penampakan diri Tuhan. Ide ini pada perkembangan selanjutnya mendorong para
penentang seperti al-Raniry untuk menuduh mereka sebagai panteis.
Dalam apandangan Nuruddin al-Raniry, pembahasan tentang wujud Allah
dapat dibagi dua: wujudiyyah muwahhid dan wujuddiyah mulhid. Hamzah digolongkan
pada wujudiyyah mulhid dan disebut zindiq. Menurut Aziz, Syamsuddin bersama
pengikutnya tidak menyebut diri sebagai penganut paham wujudiyah, apalagi mulhid.
Seperti telah dijelaskan pada sub-bab sebelum mereke yakin berada dalam tauhid
yang benar dan memandang diri sebagai golongan al-muwahhidin al-shiddiqin.
27

Sepanjang menyangkut tuduhan itu, menurut Azra para peneliti terbagi dua
pula. Pertama, peneliti Barat seperti Winstedt, Johns dan Bariend, berpendapat
bahwa ajaran dan doktrin Hamzah dan Syamsuddin sesat. Kleim ini mendorong
Abdul Aziz Dahlan untuk membuktikan bahwa ajaran Syamsuddin dan gurunya
Hamzah, bisa dipertanggungjawabkan secara teologis. Kedua, al-Attas, menyatakan
bahwa sebenarnya ketiga pemikiran Hamzah, Syamsuddin dan Al-Raniry adalah
sama, ia tidak menyebut ajaran Hamzah dan Syamsuddin sesat. Pada gilirannya al-
Attas malah menuduh al-Raniry melakukan distorsi dan menyebarkan fitnah dan
tidak memahami wujudiyyah. Asumsi al-Attas ini mengobsesi Ahmad Daudi untuk
menjelaskan pada dunia bahwa al-Raniri punya logika pembenaran sendiri yang
menurutnya wajar kalau ia menuduh Hamzah dan Syamsuddin sesat. Tapi menurut
Azra al-Attas buru-buru mengklarifikasi pendapatnya dalam buku yang berjudul A
Comentary on the Siddiq al-Nur al-Din al-Raniry terbit tahun 1986, berarti sesudah tesis
Daudi terbit. Dalam karya tersebut al-Attas memuji al-Raniri sebagai orang yang
dikaruniai kebijakan dan diberkati dengan pengetahuan yang orisinil yang berhasil
menjelaskan doktrin yang keliru.
Barangkali tidak juga bisa dikatakan dengan munculnya al-Raniry yang
mengkritik dan membumi hanguskan paham tasawuf falsafi, lantas paham ini
lenyap dan punah. Berdasarkan penelitian Taufik Abdullah menjelaskan bahwa
setelah Sultan Iskandar Tsani wafat tahun 1642, tampil Syafiyatuddin Syah (1942-

27
Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam..., hal. 76
16

1
1975) permaisuri Iskandar Tsani yang menggantikannya. Diberitakan pada waktu itu
Nuruddin al-Raniry meninggalkan Aceh sambil tergesa-gesa, menurut Bustan al-
Salathin, rupanya seperti tercatat dalam diary opper-koopman Belanda, mangkatnya
Iskandar Tsani memberikan kesempatan pada golongan moderat (Syamsuddin) untuk
bangkit melawan arus intoleransi dan anti intelektual yang dilancarkan al-Raniry.
Tampil pada waktu itu Syeikh Saifulrijal, ulama Minang, sebagai penasehat Sultanah
atau ratu di Aceh dan menyebarkan pahamnya.
Jadi pada abad ke 16-17 M di Nusantara berkembang paham tasawuf falsafi
yang bukan hanya di Aceh tapi di bagian wilayah lainnya di Nusantara. Meskipun ada
usaha-usaha untuk menerapkan syariah suatu yang tidak bisa dipisahkan dari lingkup
Islam pada abad itu. Tulisan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin memberi dorongan
pada kecenderungan ini, tidak bisa disimpulkan secara blak-blakan bahwa mereka
mengindahkan syariah. Mereka telah membeirkan sumbangan pada kehidupan
religio-intelektual kaum Muslimin abad ke-16 dan 17 M.

d. Perkembangan Tauhid-Tasawuf di Indonesia
Apabila membicarakan tentang sejarah dan pemikiran tauhid tasawuf di
indonesia, Aceh memainkan peran yang sangat penting, karena Aceh merupakan
wilayah yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Indonesia khususnya , umumnya
dengan Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, dan negara semenanjung Melayu.
Untuk itu tentang sejarah pemikiran tauhid tasawuf di Indonesia, Aceh menempati
posisi pertama dan strategis, karena nantinya akan mewarnai perkembangan tauhid
tasawuf di Indoensia secara keseluruhan. Menelusuri mewabahnya aliran ini di
Indonesia, maka hal ini tidak lepas dari pada peran andil orang-orang yang melakukan
study (belajar) ke negara Timur tengah. Di antara para pelopor berkembangnya aliran
tauhid tasawuf di Indonesia, sebagaimana yang disebutkan dibeberapa literatur
diantaranya adalah: Nuruddin Ar-Raniry (wafat tahun 1658 M), Abdur Rauf As-
Sinkili (1615 -1693 M), Muhammad Yusuf Al-Makkasary (1629-1699 M ). Mereka ini
belajar di kota Makkah.
Abdurrauf As-Sinkili setelah belajar beberapa lama kemudian diangakat sebagai
khalifah Tarekat Syatariyah oleh Muhammad Al-Quraisy. Dirinya kembali ke Aceh
setelah gurunya meninggal. Keberadaanya di tanah Aceh cukup dipandang oleh para
penduduk bahkan dijadikan sebagai panutan dimasyarakat, bermodal kepercayaan
yang telah diberikan masyarakat kepadanya serta kegigihan murid-muridnya, maka
dengan mudahnya ia berhasil mengembangkan ajaran Thariqat sufiyahnya dengan
perkembangan yang sangat pesat hingga paham itu tersebar sampai ke Minang kabau
(Sumatra Barat). Salah satu murid Abdur Rauf as-Sinkili yang berhasil menyebarkan
paham ini adalah Burhanuddin. Demikianlah jejak pemahaman yang ditinggalkan
oleh As-Sangkili yang berkembang pesat ditanah Minang yang terkenal dengan
religiusnya itu. As-Sinkili meningggal dan dikuburkan di Kuala, mulut sungai Kapuas.
Tempat tersebut kini menjadi tempat ziarah yang banyak dikunjungi banyak orang.
28

Adapun Muhamad Yusuf Al-Makasary setelah bertemu dengan gurunya yakni
Syaikh Abu Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Khurasy As-Syami
Ad-Dimasqy, kemudian diberi otoritas untuk menjadi khalifah bagi aliran Thariqat
Khalwatiyah dan diberi gelar dengan Taj Al-Khalwati (Mahkota Khalwati). Setelah

28
Qamar Kaylani, Fi al-Tasawwuf al-Islam, (Kairo: Dar al-Maarif, 1969), hal. 26
17

1
kembali ke Aceh ia pun mulai mengembangkan paham Khalwatiyah ditanah Rencong
ini.
Adapun Nuruddin Muhammad bin Ali bin Muhammad Ar-Raniry (Ar-raniry)
masuk ketanah Aceh pada masa kekuasaan sultan Iskandar muda. Tapi Pada masa itu
yang berperan sebagai mufti kerajaan adalah Syamsudin As-Sumatrani, putra
kelahiran Aceh, beliau adalah murid Hamzah Fansuri dan mendapatkan pendidikan
kesufian dari hamzah Fansuri yang diberi gelar ulama dan berpemahaman Sufi
Wujudiyah. Dikarenakan kedudukan yang disandangnya cukup strategis, maka
dengan mudah ia mengembangkan paham yang dianutnya itu. Syamsudin ini
bekerjasama dengan Hamzah Fansuri, seorang ulama yang banyak mengekspresikan
pemahamannya melalui keindahan kata (prosa).
Dari beberapa catatan literatur diperoleh informasi, bahwa orang-orang
Indonesia dan Melayu yang study di Timur Tengah, kemudian pulang ke Nusantara
dan menyebarkan ajaran tasawwuf (tarekat) masih banyak lagi. Ada beberapa nama
yang perlu di sebutkan disini mengingat keterkaitannya dalam penyebaran tarekat di
Indonesia yang hingga sekarang ajarannya masih berwujud. Mereka adalah Abdus
Shamad al-Palimbani dan Muhammad Arsyad al-Banjari (1710, 1812 M). Nama
terakhir ini termasuk yang mampu merombak wajah Kerajaan Banja di Kalimantan
Selatan. Bahkan karya bukunya yang banyak dikaji di beberapa wilayah Indonesia dan
Asia Tenggara, Sabil Al-Muhtadiin, kini diabadikan sebagai nama masjid besar di
Kota Banjar Masin.
Pendapat yang berkembang dikalangan Ahlu Tarekat, dewasa ini di Indonesia
bekembang dua macam kelompok tarekat, yaitu tarekat mu'tabarah dan ghairu
mu'tabarah. Beberapa kelompok yang tergolong mu'tabarah seperti; Qadariyah,
Naqsyabandiyah, Tijaniyah, Syathariyah, Syadzaliyah, Khalidiyah, Samaniyah dan Alawiyah.
Dari sekian banyak Thariqat mu'tabarah (berdasarkan muktamar NU di pekalongan
tahun 1950, dinyatakan 30 macam Thariqat yang di nilai mu'tabarah), Thariqat
Naqsabandiyah-Qadariyah merupakan yang terbesar.

III. Penutup
Kesimpulan
Tasawuf masuk dan berkembang di Aceh seiring dengan masuknya Islam di
Aceh. Hal ini tak lepas dari peran para sufi yang menyebarkan Islam di Aceh. Selain
itu, konsep ajaran tasawuf yang tidak jauh berbeda dengan konsep kepercayaan
sebelum masyarakat memeluk Islam membuat mereka lebih mudah menerima Islam
aspek tasawuf dari pada aspek-aspek agama Islam yang lain. Perkembangan tasawuf
di Aceh dapat dibagi dalam dua priode, yakni priode kalsik dan priode modern.
Perkembanagan ilmu tasawuf begitu pesat terutama pada abad ke-16 dan ke-
17 M, pengajaran ilmu tasawuf tersebut tak hanya berkembang di kalangan rakyat saja
tapi juga mendapat tempat di kalangan pembesar istana. Selain para ulama yang
datang dari Makkah dan India yang telah memeperkenalkan ilmu tasawuf dan kalam
kepada masyarakat Aceh pada waktu itu, di Aceh telah lahir ulama-ulama besar
18

1
seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniry dan Syeikh
Abdurrauf Al-Sinkili.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, faham Wujudiyyah yang di
kembangkan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani di tentang oleh
Nuruddin Ar Raniry. Namun pada masa ini, faham wujudiyyah telah dijadikan
sebagai ajaran resmi dan direstui oleh Sultan sehingga Nuruddin tidak mendapatkan
tempat di kerajaan Aceh.
Tasawuf sangat berpengaruh, mengingat saat ini kita berada di tengah-tengah
kehidupan masyarakat modern, atau sering pula disebut sebagai masyarakat yang
sekuler. Pada umumnya, hubungan antara anggota masyarakatnya atas dasar prinsip-
prinsip materialistik, hampir merasa bebas dan lepas dari kontrol agama dan
pandangan dunia metafisis. Dalam masyarakat modern yang cenderung rasionalis,
sekuler dan materialis, ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman
hidupnya. Berkaitan dengan itu, Sayyid Hosein Nasr menilai bahwa akibat masyarakat
modern yang mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi, berada dalam wilayah
pinggiran eksistensinya sendiri. Sehingga ini menimbulkan kehampaan spiritual, yang
berakibat banyak dijumpai orang yang stress dan gelisah, akibat tidak mempunyai
pegangan hidup. Oleh karena itu untuk mengatasi sejumlah persoalan tersebut, maka
tasawuf sangat berperan dalam hal mengantisipasi hal-hal seperti di atas.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syaikh Nuruddin Ar-Raniry, Jakarta:
Bulan Bintang, 2003

Ahmad Daudi, Syekh Nuruddin Ar-Raniry; Sejarah Karya dan Sanggahan Terhadap
Wujudiyyah di Aceh, Jakarta: Bulan Bintang, 1978

Azyumardi Azra, Neo Sufisme dan Masa Depannya dalam Muhammad Wahyuni
Nafis, Rekonstruksi dan Renunan Religius Islam, Jakarta: Paramadina, 1996

Abdullah Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf Dan Tokoh-Tokohnya Di Nusantara,
Surabaya, AL-Ikhlas, 1930

Agus Maladi Irianto, http://staff.undip.ac.id/sastra/agusmaladi/2010/06/15/eskapisme/

Abi al-Qasim Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyasyri al-Nizafur, Al-Risalah al-
Qusyayriyyah, Kairo: Mustafa al-Bab al-Halabi, 1959

Al-Sarraj al-Thusi, Al-Luma, suntingan Abd al-Halim Mahmud dan Thaha Surur,
Kairo: tp, 1960
19

1

A. H. Mahmud, Qadhiyyah al-Tasawwuf: Munqiz min al-Dhalal, Kairo: Dar al-Maarif,
1985

Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Kitab Rawdhat al-Thalibin wa Umdat al-Salikin,
Kairo: Dar al-Fikr, tt

Al-Syathnufi, Bahjah al-Asrar, Kairo: tp, 1304 H

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, cet. 12, Jakarta: Panjimas, 1993

Hamka, Tasawuf Modern, cet. ix. Jakarta: Panjimas, 1983

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1983

Ibrahim Basuni, Nasat al-Tasawwuf fi al-Islam, Kairo: Dar al-Maarif, 1969

Louis Massignon dan Mustafa Abd al-Raziq, al-Islam wa al-Tasawwuf, Kairo: Dar al-
Syibi, 1979

Muradi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: Karya Toha Putra, 2006
Muhammad Shalihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, Jakarta: Grafindo
Persada, 2005

Misri A. Muchsin, Tasawuf di Aceh dalam Abad XX Studi Pemikiran Teungku Haji
Abdullah Ujong Rimba (1907-1983), Disertasi, Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga, 2003

Qamar Kaylani, Fi al-Tasawwuf al-Islam, Kairo: Dar al-Maarif, 1969

R. A. Nocholson, The Mystics of Islam, London: Routledge and Kegan Paul, 1974

Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: Rajawali Pers, 2000

Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Jakarta: Kencana,
2006

Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought, London: Allen and Unwin, 1981

20

1
Said Aqil Siraj, Pengajaran Tasawuf, dalam Jurnal Khas Tasawuf, No. 09 tahun I, 2002

Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought, London: Allen and Unwin, 1981

You might also like