You are on page 1of 9

pendidikan pancasila

TRAGEDI TALANG SARI DAN TANJUNG PRIOK

MAKMUR ARIFIN TPHP 1 0220120085

POLITEKNIK MANUFAKTUR ASTRA


2012/2013

Hak asasi manusia disingkat HAM, merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Di Indonesia HAM dijamin dalam UUD 1945 pasal 27 tentang hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan serta kemerdekaan berserikat untuk berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan/tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia HAM di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh HAM di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia. Pada kenyataannya HAM seringkali disalahartikan, dilain sisi digunakan sebagai tameng untuk membela kepentingan perorangan atau kelompok yang merasa dirugikan baik secara moril maupun materil karena telah melakukan pelanggaran Undang-Undang sehingga menyebabkan terjadinya pidana atau perdata, misal pemberlakukan hukuman mati atau hukum cambuk, pelarangan kegiatan beberapa artis yang mempertontonkan aksi yang mengandung unsur pornografi dan pornoaksi. Istilah HAM selalu berbenturan dengan hukum yang berlaku di suatu negara, misalnya hukuman mati. Beberapa pemikiran yang menyatakan tidak ada tempat yang cocok untuk bertemunya HAM dengan pemberlakuan hukuman mati. Hal ini disebabkan, pengertian HAM yang disalah-salahkan untuk melindungi kepentingan seseorang atau kelompok, misalnya pada kasus hukuman mati yang dijatuhkan pada Tibo Cs, atas nama HAM mereka merasa tidak pantas untuk dihukum mati, malah kelompoknya sampai 2

mengadukan kasus tersebut ke Pengadilan Internasional. Padahal mereka sendirilah yang telah melakukan pelanggaran HAM di Poso. Di saat membunuh dan membantai Tibo Cs tidak merasa HAM juga milik para korban, tapi pada saat hukum ditegakkan merekalah yang berteriak keras atas nama HAM. Dalam makalah ini penulis tidak membahas hubungan antara HAM dan hukuman mati, penulis akan mengangkat terjadinya beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pemerintahan masa lalu. Pada masa pemerintahan orde baru kerap terjadi pelanggaran hak azasi manusia dengan dalih perbuatan subversif, pemberontak atau percobaan merubah Pancasila. Hal ini mereka lakukan untuk melindungi kepentingan mereka dalam berkuasa di pemerintahan. Kegiatan atau pernyataan dari kelompok tertentu yang nyata-nyata membahayakan kekuasaan orde baru dianggap sebagai pemberontak. Lalu dengan alasan membela negara, para elit tertentu memberikan perintah untuk melakukan penumpasan atau pemusnahan massal. Pembantaian, pembunuhan dan pelarangan selalu didengung-dengunkan dengan memanfaatkan media massa namun dipublikasikan dengan pemutarbalikkan fakta. Hukum milik penguasa dan mereka yang menentang layak dieksekusi tanpa melalui proses hukum yang berlaku di Indonesia. Hukum ibarat jaring laba-laba, menjerat yang lemah dan tak berarti bagi yang kuat. Pemerintah orde baru menggunakan kekuasaannya untuk melindungi kekuasaannya juga. Banyak kasus pelanggaran HAM yang hingga sekarangpun tidak jelas bagaimana akhirnya. Semua kasus seperti misteri yang dirangkum dalam kisah The X-Files. Belum ada pemimpin pemerintahan setelah orde baru yang mau mengungkap kembali kasus HAM berat. Apakah mereka juga terlibat atau malah demi melindungi teman sendiri. Padahal Undang-undang pelanggaran HAM dan pengadilan HAM telah diterbitkan, segala macam komisi HAM telah dibentuk namun belum juga ada satupun aktor intelektual yang berhasil diseret ke pengadilan. Mungkin UU HAM dibentuk untuk sekedar menenangkan rakyat atau hanya untuk membuat fakta menjadi cerita misteri dalam karangan fiksi. Penulis berharap pemerintah tidak hanya sibuk urusi hukuman ringan bagi siapa saja yang menjadi koruptor namun keadilan dalam HAM juga harus ditegakkan.

Pada makalah ini, penulis akan mengemukakan bebarapa contoh permasalahan tentang pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia pada masa berkuasanya Pemerintahan Orde Baru. Kasus ini merupakan kasus lama yang hampir terlupakan dan tidak jelas bagaimana ujung penyelesaiannya. Dengan mengangkat pokok pembahasan ini, kami berharap dapat menyingkap kembali misteri apa sebenarnya yang terjadi sehingga menyebabkan adanya pelanggaran HAM berat. Adapun kasus tersebut adalah : 1. Tragedi Talang Sari Sebagaimana diketahui, dua puluh tahun lalu, tepatnya 7 Februari 1989, lebih dari sekitar satu batalyon aparat keamanan menyerbu perkampungan Cihideung, Talangsari, Lampung. Penyerbuan aparat keamanan di subuh hari, yang dilengkapi dengan senjata laras panjang, bahan peledak seperti granat dan dua buah helikopter itu, mengakibatkan warga Cihideung, Talangsari dan sekitar perkampungan tidak dapat menyelamatkan diri. Lantaran terdesak pasukan Garuda Hitam pimpinan Kolonel Hendropriyono, warga membentengi diri dengan senjata seadanya. Meski demikian, usaha perlawanan itu tidak berarti. Akibat serangan membabi-buta aparat tersebut, ratusan warga sipil yang kebanyakan perempuan dan anak-anak menemui maut, luka-luka dan hilang. 2. Tragedi Tanjung Priok Mungkin sudah usang dalam ingatan kita peristiwa berdarah di Tanjung Priok yang melibatkan petinggi militer saat itu Mayjen TNI Try Soetrisno, Pangdam V Jaya, yang kemudian diangkat menjadi wakil Presiden RI era orde baru berdampingan dengan Soeharto, kasus ini menjadi tanda tanya besar kesalahan apa sebenarnya yang terjadi. Peristiwa ini merenggut puluhan korban meninggal akibat gempuran senjata otomatis militer.

Peristiwa Talang Sari tidak bisa dilihat sebagai kasus kejahatan biasa (ordinary crime), tapi merupakan kejahatan luar biasa yang termasuk dalam kategori pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of human rights) sesuai UU 26 / 2000 tentang Pengadilan HAM. Temuan tentang adanya dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat hanya dapat dilakukan oleh Komnas HAM pada fungsi Komnas sebagai lembaga penyelidik dengan membentuk KPP HAM. Kekerasan militer yang terjadi dalam peristiwa Talangsari merupakan tindakan eksesif yang dilakukan sebagai kelanjutan dari kebijakankebijakan pemerintahan Suharto. Kebijakan tersebut amat terlihat sebelum terjadinya penyerbuan aparat militer (ABRI) terhadap warga sipil di wilayah perkampungan Talangsari. Lebih jauh, peristiwa ini diikuti dengan pernyataan pembenaran, penangkapan, penyiksaan, penahanan dan pengadilan terhadap korban dan masyarakat yang dianggap terkait dengan kasus tersebut.
Tuntutan para Jaksa terhadap seluruh korban umumnya adalah tuduhan makar ingin mengganti Pancasila dengan Al-Quran dan Hadits dengan menggunakan UU No.11/PNPS/1963 (UU Subversiv) terhadap seluruh korban peristiwa Lampung yang berada di Lampung, Jakarta, Bandung, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Tuntutan ini, patut diduga berkaitan dengan pernyataan Menkopolkam Soedomo di harian Pelita sepekan setelah peristiwa lampung terjadi 14 Februari 2001, bahwa Pelaku Kasus Lampung Subversif. Peristiwa Talang Sari terjadi akibat kecurigaan pemerintah terhadap Islam dan kritik keras serta penolakan masyarakat terhadap kebijakan soal asas tunggal Pancasila yang dihadapi oleh aparat dengan pembantaian.

Sepantasnya otak pembantaian ditangkap dan dijatuhi hukuman mati sesuai UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan KUHP tentang pembunuhan berencana, pemusnahan dan menghilangkan nyawa manusia dengan sengaja. Pengaruh sisa-sisa kekuasan orde baru masih sangat kuat hingga masa pemerintahan sekarang. Sehingga sangat sulit menjerat pelakunya, malahan aktor utamanya dipercayakan menjadi salah satu pejabat negara yaitu Letjend Hendropriyono, Kepala BIN beberapa tahun yang lalu, dan dengan kekuasaannya ia diduga merancang skenario pembunuhan aktivis HAM Munir yang berusaha mengungkap kebusukan militer masa pemerintahan rezim Soeharto termasuk kasus Talang Sari. Siapakah Munir? Dialah aktivis HAM yang tidak pernah takut dan gentar untuk membela yang benar, segudang informasi pelanggaran HAM ada di memori

otaknya.

Tidak

peduli

apapun

pangkat

dan

jabatannya,

yang

salah

harus

bertanggungjawab. Kematiannya tidak menyurutkan semangat Munir-Munir yang lain untuk menyingkirkan kebusukan di muka bumi pertiwi ini. Tak jauh beda dengan Kasus Talang Sari, tragedi Tanjung Priok juga menyisakan duka yang sangat mendalam hingga sekarang, tidak hanya oleh keluarga para korban namun seluruh umat Islam yang ada di negara ini. Berbagai alasan atas nama UU dan Pancasila digelontorkan oleh para pelaku untuk melakukan pembantaian di Tanjung Priok. Sikap paranoid rezim Soeharto yang berlebihan dan takut kehilangan kekuasaannya mendoktrin antek-anteknya untuk menyingkirkan siapa saja yang coba-coba mengusik telinganya. Jangankan bertindak, bersuara sajapun akan dibasmi. Tumbangnya Soeharto dari kursi kekuasaan pada bulan Mei l998 membuka peluang lebih lebar bagi perbaikan kondisi hak asasi manusia di Indonesia. Pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan Presiden BJ. Habibie nampaknya menjanjikan bagi perbaikan kondisi hak asasi manusia. Langkah perbaikan itu antara lain, dimulai dengan pelepasan para tahanan politik, pembuatan Undang-undang Hak Asasi Manusia, reformasi UU Politik dan Pemilu, dan lain sebagainya. Pada masa ini para korban pelanggaran HAM Pemerintah Soeharto, termasuk para korban Priok menuntut keadilan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) tak terelakkan wajib menanggapi secara positif tuntutan masyarakat. Dalam upaya untuk menegakkan keadilan bagi para korban Priok, dan tentunya bagi masyarakat Indonesia yang cinta keadilan. KOMNAS HAM membentuk Team Ad Hoc (atau lebih dikenal dengan KPP) penyelidik Pro Justisia kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok. Hasil penyelidikan KPP kasus Tanjung Priok ini menyimpulkan, bahwa pada peristiwa berdarah di Tanjung Priok pada tahun l984 itu memenuhi unsurunsur tindak pidana pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan. Hasil penyelidikan KOMNAS HAM tersebut kemudian diserahkan kepada Jaksa Agung untuk ditindak-lanjuti dengan penyidikan dan penuntutan. KPP kasus Tanjung Priok berhasil mengidentifikasi 33 (tiga puluh tiga) orang pejabat, termasuk militer yang diduga bertanggungjawab berkenaan dengan tragedi berdarah di Tanjung Priok. Di antara yang diduga bertanggungjawab itu adalah, Jenderal LB Moerdani, dan Jenderal Try Soetrisno. Hampir tiga tahun berkas hasil penyelidikan KOMNAS HAM itu ngendon di kantor Jaksa Agung. Dalam pada itu DPR sudah mengusulkan kepada

Presiden untuk membentuk pengadilan ad hoc HAM kasus Tanjung Priok. Dalam kurun waktu hampir tiga tahun itu berbagai peristiwa terjadi. Jaksa Agung terus-menerus disorot dan di demo oleh para korban dan masyarakat luas untuk segera menyelesaikan tugas penyidikannya dan segera menyerahkan berkas perkara ke pengadilan Ham Ad hoc. Di tengah tuntutan untuk menggelar pengadilan ham ad hoc itu terjadi Islah antara Jenderal Try Soetrisno dengan sebagian korban pelanggaran Ham Tanjung Priok. Jelas Islah tersebut merupakan sebuah tindakan di luar proses hukum. Karena itu tidak bisa dijadikan dasar untuk menunda apalagi meniadakan proses pengadilan Ham Ad Hoc Tanjung Priok. Akhirnya pihak Kejaksaan Agung harus memenuhi desakan dan tuntutan masyarakat, yaitu menggelar pengadilan Ham Ad Hoc Tanjung Priok. Dari 33 mantan aparat militer Orde Baru yang oleh KOMNASHAM diduga bertanggungjawab berkenaan dengan tragedi Tanjung Priok, hanya 14 ( empat belas ) orang oleh Jaksa Agung ditetapkan sebagai tersangka. Umumnya para tersangka itu adalah para pelaku di lapangan yang pada saat peristiwa itu terjadi masih berpangkat rendah atau perwira menengah. Jaksa Agung tidak memberikan penjelasan yang memadai mengapa pihaknya hanya menetapkan 14 tersangka dari 33 orang yang diduga KOMNAS HAM harus bertanggungjawab dalam peristiwa berdarah di Tanjung Priok. Berkenaan dengan itu pimpinan KOMNAS HAM melayangkan surat pada Jaksa Agung menanyakan apakah masih ada tersangka yang lain ? Jaksa Agung hanya menjawab tidak ada. Hal ini menunjukkan sikap tertutup dan tidak akuntabel Jaksa Agung terhadap masyarakat. Padahal dalam era reformasi negara hukum Indonesia Jaksa Agung sebagai institusi negara dituntut untuk bersikap transparan dan akuntabel kepada masyarakat (publik). Apa lagi tragedi Priok merupakan peristiwa kejahatan kemanusiaan yang memperoleh perhatian baik dari masyarakat domestik maupun internasional. Karena itu sangat bisa difahami bila masyarakat luas, khususnya para korban Priok meragukan kredibilitas Jasksa Agung dalam menangani perkara ini. Bahkan terbentuk persepsi umum, bahwa dalam kasus Priok itu Jaksa Agung menjalankan kebijakan impunity, yang berarti berpihak pada kepentingan pelaku pelanggaran HAM. Pengadilan Ham Ad Hoc Priok memeriksa dan mengadili para pelaku lapangan yang berpangkat rendah. Sementara mereka yang berpangkat tinggi dan diduga banyak mengetahui sisi kebijakan yang menimbulkan tragedi itu tetap tidak tersentuh. Dari sejak

penyidikan dan penuntutan proses peradilan Priok berjalan tersendat-sendat, terutama karena kinerja Jaksa Agung. Ini tentu bukan semata-mata masalah tekhnis hukum. Tapi karena faktor politik, yaitu tidak adanya komitmen yang sungguh-sungguh dari Pemerintah, DPR sebagai komunitas perwakilan rakyat, dan tak sulit untuk dibantah tekanan tentara. Hal itu dapat menjelaskan mengapa jalannya pengadilan Ham Ad Hoc Priok masih jauh dari standar Internasional, yaitu imparsial, fair, obyektif, dan transparan, serta bebas dari pengaruh politik. Hingga sekarang kasus Tanjung Priok masih merupakan tragedi yang masih menyisakan misteri. Orang yang seharusnya bertanggungjawab masih saja menghirup udara bebas tanpa pernah berpikir bagaimana bau anyir darah manusia tak bersalah yang dibantai dengan kebijakannya. Harusnya TNI menempa prajurit-prajurit yang setia, pemberani dan berjiwa ksatria. Tapi kenapa yang keluar sosok Jenderal yang pengecut, berusaha bersembunyi dibalik kekuasaan adik juniornya yang menjadi pemimpin sekarang. Rasa kesetiakawanan untuk melindungi teman walaupun salah mungkin sudah di doktrin sejak awal di dalam tubuh TNI.

A.

Kesimpulan

Negara Indonesia telah menjamin HAM di dalam UUD 1945 pasal 27, ini berarti setiap warga negara siapapun orangnya, berpangkat, berharta tidak ada bedanya di mata hukum. Setiap orang di dalam lingkup negara kesatuan Republik Indonesia berhak dilindungi, mendapat pengayoman, bersuara secara lisan dan tulisan karena memang menjadi hak dasar manusia itu sendiri, bagi siapa yang melanggar HAM harus ditindak karena negara ini juga mengatur perlindungan HAM. Tragedi Talang Sari dan Tanjung Priok merupakan contoh kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan aparat militer waktu itu dengan dalih ingin merubah dasar negara (subversif). Namun penanganannya masih saja mendapat halangan yang cukup berat sehingga menjadi misteri yang tak terungkap oleh hukum. Ini menandakan demokrasi di Indonesia masih belum berjalan maksimal walaupun dari segi hukum dalam kategori tertentu kita sudah selangkah lebih maju. Untuk itu, diperlukan komitmen yang kuat antara masyarakat, Pemerintah sebagai eksekutif dan lembaga terkait untuk kembali membersihkan sisa-sisa yang mengotori

demokrasi di Indonesia. Yang bersalah harus bertanggungjawab tanpa harus memandang kawan atau saudara sendiri. B. Saran

Pemilu sebagai simbol demokrasi di Indonesia baru saja dilaksanakan pada 9 April lalu. Rakyat yang menentukan sendiri wakilnya untuk ikut bersuara mengatur negara ini. Mudah-mudahan para caleg yang terpilih adalah benar-benar manusia terpilih yang berjuang demi rakyat, untuk rakyat dan atas nama rakyat. Selayaknya para manusia terpilih ini nantinya ikut bersama-sama menegakkan perjuangan rakyat demi supremasi hukum yang seadil-adilnya. Di masa Pemerintahan ini dan akan datang, penulis berharap Pemerintah tidak hanya fokus menegakkan hukum bagi para koruptor tapi juga harus menaruh perhatian yang penuh bagi para pelanggar HAM tanpa memandang bulu, walaupun teman dekat atau Calon Presiden sekalipun.

You might also like