You are on page 1of 23

BAB 1 PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu masalah kesehatan yang menonjol di masyarakat, karena permasalahan tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi. Di Indonesia, diperkirakan, jumlah penderita epilepsi sekitar 1 - 4 juta jiwa. Di Bagian llmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan sekitar 175 - 200 pasien baru per tahun, dan yang terbanyak pada kelompok usia 5 -12 tahun masing-masing 43,6% dan 48,670. Penelitian di RSU dr. Soetomo Surabaya selama satu bulan mendapatkan 86 kasus epilepsi pada anak. Penderita terbanyak pada golongan umur 1 - 6 tahun (46,5%), kemudian 6 10 tahun (29,1%), 10 - 18 tahun (16,28%) dan 0 - 1 tahun (8,14%). Menurut Devinsky sebagaimana dikutip oleh Harsono, pada epilepsi tidak ada penyebab tunggal. Banyak faktor yang dapat mencederai sel-sel, saraf otak atau lintasan komunikasi antar sel otak. Lebih kurang 65% dari seluruh kasus epilepsi tidak diketahui faktor penyebabnya. Beberapa faktor risiko yang sudah diketahui antara lain: trauma kepala, demam tinggi, stroke, intoksikasi ( termasuk obat-obatan tertentu ), tumor otak, masalah kardiovaskuler tertentu, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi ( ensefalitis, meningitis ) dan infeksi parasit terutama cacing pita. Apabila diketahui penyebabnya maka disebut epilepsi simtomatik. sedangkan apabila penyebabnya tidak diketahui disebut epilepsi idiopatik. Epilepsi merupakan penyakit yang memerlukan pengobatan yang lama dan teratur, oleh karena itu penyandang epilepsi dan keluarganya harus menjadi mitra dokter dalam pengobatan epilepsi. Kerjasama yang baik antara dokter dan pasien serta keluarganya merupakan hal yang sangat penting dalam penangan epilepsy.

BAB 2

2.1.

Definisi Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal dengan berbagai macam etiologi. Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). Epilepsi menurut WHO adalah suatu kelainan otak kronik dengan berbagai macam penyebab yang ditandai serangan epilepsi berulang yag disebabkan bangkitan neuron otak yang berlebihan, dimana gambaran klinisnya dapat berupa kejang, peru. Status epileptikus adalah suatu bahan tingkah laku, perubahan kesadaran targantung lokasi kelainan otak. keadaan dimana serangan kejang berlansung lama (lebih dari 5 menit) atau berulang kali sedemikian rupa sehingga diantara dua serangan kejang tetap tidak sadar. Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenallah bermacam jenis epilepsi.

2.2.Etiologi Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome. Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekwensi serangan epilepsi.

2.3.Klasifikasi Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada tahun 1981 dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi): 1. Serangan parsial a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik) - Dengan gejala motorik - Dengan gejala sensorik

- Dengan gejala otonom - Dengan gejala psikis b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu) - Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran - Gangguan kesadaran saat awal serangan c. Serangan umum sederhana - Parsial sederhana menjadi tonik-klonik - Parsial kompleks menjadi tonik-klonik - Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik 2. Serangan umum a. Absans (Lena) b. Mioklonik c. Klonik d. Tonik e. Atonik (Astatik) f. Tonik-klonik 3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang lengkap). Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para klinisi karena hanya ada dua kategori utama, yaitu - Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir di otak. - Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas pada kedua belahan otak. Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989 adalah : 1. Berkaitan dengan letak fokus a. Idiopatik - Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsy with centro temporal spike) - Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital - Epilepsi membaca primer (primary reading epilepsy)

b. Simptomatik - Epilepsi parsial kontinyu kronik pada anak-anak (sindrom kojenikov) - Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu ransangan (kurang tidur, alkhohol, obat-obatan, hiperventilasi, epilepsi refleks, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca) - Lobus temporalis - Lobus frontalis - Lobus parietalis - Lobus oksipitalis c. Kriptogenik 2. Umum a. Idiopatik - Kejang neonatus familial benigna - Kejang neonatus benigna - Kejang epilepsi mioklonik pada bayi - Epilepsi Absans pada anak - Epilepsi Absans pada remaja - Epilepsi mioklonik pada remaja - Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga - Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak b. Simptomatik - Sindroma West (spasmus infantil) - Sindroma Lennox Gastaut 3. Berkaitan dengan lokasi dan epilepsi umum (campuran 1 dan 2) - Serangan neonatal 4. Epilepsi yang berkaitan dengan situasi - Kejang demam - Berkaitan dengan alkohol - Berkaitan dengan obat-obatan - Eklampsia -Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks epilepsi).

2.4.Patofisiologi Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal.

Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah: - Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter - GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains inhibitory neurotransmitter. Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut. Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu: Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi GABA

yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik. Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak. Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait : - Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk menimbulkan bangkitan. - Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron. - Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul. Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron (gambar 1A). Jika terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium refluks tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron (gambar1B). Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana

terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron (gambar 1C).

Gambar 1. Mutasi kanal ion

Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain. Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan serentak. Dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya. Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion.
8

Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.

2.5.Manifestasi Klinis Kejang parsial simplek deja vu: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya. Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubih tertentu. Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu Halusinasi

Seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa: -

Kejang parsial (psikomotor) kompleks Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi: Gerakan seperti mencucur atau mengunyah Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan seperti sedang bingung Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang Berbicara tidak jelas seperti menggumam.

Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).

Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum

serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.

Gambar 2. Kejang tonik klonik

2.6.Diagnosis Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. 15 1. Anamnesis Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan

kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi: - Pola / bentuk serangan - Lama serangan - Gejala sebelum, selama dan paska serangan - Frekueensi serangan

10

- Faktor pencetus - Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang - Usia saat serangan terjadinya pertama - Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan - Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya - Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga 2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

3. Pemeriksaan penunjang a. Elektro ensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal. 1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak. 2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.

11

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya, gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.

b. Rekaman video EEG Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi. c. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan.

2.7.Diagnosa Banding 1. Serangan anoxia Serangan dapat sewaktu-waktu atau heterogen, tetapi dapat pula berkala. Kesadaran penderita dapat berkurang atau hilang. Pada cortical anoxia yaitu sinkop terjadi bradikardia atau takikardia. Pada EEG tampak perlambatan gelombang didaerah otak bagian korteks.

2. Sinkop Pada serangan sinkop, tiba-tiba tonus otot hilang, kesadaran menurun, tekanan darah turun. Dapat timbul karena emosi, melihat darah, melihat gambaran yang tak menyenangkan. Sinkop yang

12

berhubungan dengan tekanan sistemik disebut vasovagal sinkop. Serangan dapat pula timbul pada waktu masuk atau keluar dari air atau pada waktu bersin, pada waktu duduk atau berdiri dan jarang jatuh pada waktu yang tiba-tiba. Gangguan kesdaran kadang ada, dan didahului dengan pusing, lelah, tampak pucat, berkeringat, denyut nadi kecil, mata deviasi keatas atau bawah, kehilangan kesadaran. Penderita dengan kelainan jantung dapat pula mengalami serangan sinkop. Penderita sering dengan kejang, nafas terhenti, tampak sianosis kemudian tak sadar. Disini sering keliru dengan epilepsy yang biasanya pada anak disebabkan karena abses atau kerusakan otak.

3. Breath holding spell a. Cyanotic breath holding attack Timbul karena sakit, marah, takut atau frustasi. Pada infantile timbul jeritan atau teriakan kuat pada waktu bernafas. Penderita tampak sianosis, lemas, kehilangan kesadaran, kadang diikuti kekakuan, kejang kemudian pernafasan terhenti dan kemudian kembali normal. Kesalahan diagnosis sering timbul karena adanya apneu dan kejang pada waktu anak ketakutan. Diduga seranga breath holding disebabkan penurunan aliran darah ke otak akibat penambahan tekanan rongga dada. Hal ini seperti pada sinkop dimana terjadi pengurangan O2 dan menyebabkan nafas henti, timbul keadaan terengah-engah. b. Pallid breath holding Disebut juga serangan anoxia. Disini sianosis lebih menonjol. Factor yang dapat menimbulkan adalah benturan kepala, frustasi dan keadaan marah. Penderita tiba-tiba tidak sadar, dengan atau tanpa jeritan, pucat, mata berkedip-kedip, ada gerakan anggota gerak. Diduga akibat gangguan tekanan sistol dan dapat dibangkitkan dengan menekan bola mata. Jadi, secara reflex terkadi akut serebral iskemik hypoxia cardiac karena vagal reflex. Dserangan ini sering didiagnosis sebagai epilepsy karena adanya agerakan mata dan anggota gerak.

13

4. Histeri Sering terjadi pada anak muda. Didahului pusing, perasaan tak enak, kekakuan. Bentuk serangan tidak jelas adanya gerakan yang khas, tampak gemetar menebas-nebas, bilateral simetris. Timbul perlahanlahan, berlangsung lebih lama dari epilepsy. Pada histeri gejalanya mengikuti pola yang pernah diketahui oleh pengalaman penderita sebelumnya, kejang tidak mengikuti pola tonik-klonik, serangannya tidak tetap. Tidak pernah terjadi saat tidur. Rekaman EEG tidak menunjukkan kelainan.

5. Migren Komplikasi migraine dapat pula menyerupai epilepsy, disfungsi saraf pusat yang berkala yaitu parasthesia, scotoma, muntah. Pada migraine dapat pula terjadi halusinasi. Dibedakan dengan epilepsy bahwa pada migraine adanya parasthesia prosesnya lebih lambat dari epilepsy.

6. Narkolepsi Penderita merasa ngantuk dan tidur yang tidak tertahan lagi., terjadi tiba-tiba dan dimana saja dan kapan saja. Kejadiannya cepat beberapa menit, sering disertai mimpi yang menakutkan, mudah dibangunkan dan dalam keadaan segar. Dapat terjadi beberapa kali dalam sehari, sering terjadi dalam keadaan duduk atau bekerja. 2.8.Penatalaksanaan

Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien. Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni: OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya. Terapi dimulai dengan monoterapi

14

Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.

Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.

Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran, bangkitan pertama merupakan status epileptikus. 16 Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi : Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA) Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivitas neurotransmiter.

Penghentian pemberian OAE Pada anak-anak penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas serangan . Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut: Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama Obat ezogabine merupakan obat baru dan memiliki mekanisme kerja sebagai pembuka saluran kalium, mengaktivasi gerbang saluran kalium di otak. Akan tetapi mekanisme unik ini memiliki beberapa efek toksik yang

15

biasanya tidak terdapat pada obat kejang lainnya seperti retensi urin.Hal inilah yang menyebabkan US Food and Drug Administration's (FDA's) masih mempertimbangkan obat ini.. Obat-obat anti epilepsi a. Golongan dihantoin FENITOIN Merupakan golongan hidantoin yang paling sering dipakai. Kerja obat ini antara lain penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak. Indikasi: epilepsi umum khususnya Grand-Mal tipe tidur, epilepsi fokal, dan dapat juga untuk epilepsi lobus temporalis. Dosis: - dewasa 300-600mg/hari Anak 4-8mg/hari. Maksimal 600mg/hari Pemberian dapat 1-2 kali per hari Kadar terapeutik dalam plasma 10-20Ug/ml

Perlu menunggu 7-10 hari sampai kadar dalam plasma dicapai. Efek samping: pada SSP menyebabkan gangguan vestibulosereberel berupa ataksia nistagmus dan tremor. Pada saluran cerna berupa nyeri ulu hati, anoreksia, muntah yang dapat diatasi dengan pemberian obat setelah makan. Pada gusi menyebabkan proliferasi epitel jaringan ikat gusi sehingga terjadi hiperplasia pada kurang lebih 20% penderita. Pada kulit terjadi ruam morbiliform, dan pernah dilaporkan terjadi sindrom Steven-Johnson atau dermatitis suprarenalis. Pemakaian obat ini pada wanita hamil dikatakan mempunyai efek teratogenik. b. Golongan barbiturat FENOBARBITAL Merupakan golongan barbiturat yang bekerja lama. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas serangan dengan menaikkan ambang rangsang. Merupakan obat anti-epilepsi yang termurah, sehingga sampai saat ini paling banyak digunakan. Indikasi: epilepsi umum khusus epilepsi Grand Mal tipe sadar, epilepsi fokal Dosis: - Dewasa 200mg/hari

16

Anak 3-5mg/kgBB/hari Kadar terapeutik dalam plasma 15-40Ug/ml

Efek samping: efek sedatif yang akan hilang sendiri setelah beberapa minggu. Pada anak-anak menyebabkan hiperaktif. Penghentian obat yang tiba-tiba dapat menyebabkan status epileptik. c. Golongan benzodiazepam DIAZEPAM Dikenal sebagai obat penenang, tetapi di sini merupakan obat pilihan utama untuk status epileptik. Dosis: - Dewasa 5-20mg iv Maksimal 500mg/hari Anak 0,5mg/kgBB/hari iv atau per rectal

Efek samping: obstruksi saluran nafas oleh lidah akibat relaksasi otot dan dapat pula terjadi depresi pernafasan NITRAZEPAM Indikasi: epilepsi spasme infantil dan epilepsi mioklonik Dosis: 0,15-2mg/kgBB/hari Efek samping: hipersekresi lendir saluran nafas dan dapat menyebabkan pencetusan epilepsi Grand-Mal dan memperberat epilepsi Petit-Mal murni. KLONAZEPAM Indikasi: epilepsi spasme infantil, epilepsi mioklonik, dan petit-mal Dosis: 0,1-0,2mg/kgBB/hari Efek samping: iritabl, ataksia, kelelahan d. Golongan suksinimid ETOSUKSIMID Indikasi: epilepsi Petit-Mal murni Dosis: 20-30mg/kgBB/hari Efek samping: nyeri kepala, ruam kulit. Gejala yang berat adalah pada darah berupa agranulositosis dan pansitopeni e. Golongan anti-epilepsi lain SODIUM VALPROAT

17

Indikasi: epilepsi Petit-Mal murni, dapat pula untuk epilepsi 10 lobus temporalis yang refrakter, sebagai kombinasi dengan obat lain. Dosis: - Anak 20-30mg/kgBB/hari Dewasa 0,8-1,4gr/hari. Dimulai dengan 600mg/hari

Efek samping: pada saluran cerna antara lain mual, iritasi saluran cerna dan pada susunan saraf pusat menyebabkan ataksia. AZETAZOLAMID Dikenal sebagai diuretik, tetapi pada pengobatan epilepsi mempunyai cara kerja menstabilkan keluar masuknya Natrium pada sel otak. Indikasi: dapat dipakai pada epilepsi Petit-Mal, dan pada epilepsi Grand-Mal dimana serangannya sering datang berhubngan dengan siklus menstruasi. Dosis: dewasa 5-15mg/kgBB/hari Anak 12-25mg/kgBB/hari Efek samping: obat ini cepat refrakter karena cepat terjadi toleransi. KARBAMAZEPIN Indikasi: epilepsi lobus temporalis dengan epilepsi Grand-Mal. Dosis: dewasa 800-120mg/hari. Dimulai dengan 400mg/hari dalam dua kali pemberian. Anak 100-200mg/hari Efek samping: pada SSP berupa mual, muntah, nyeri abdomen dan diare. Pada kulit dapat terjadi reaksi dari ringan sampai berat. Pada sistem darah menyebabkan gangguan kardiovaskular, fungsi hati, dan fungsi ginjal. Pada pengobatan karbamazepin dianjurkan pemeriksaan laboratorium pada awal pengobatan dan diperiksa ulang pada waktu-waktu tertentu. Obat epilepsi dan efek sampingnya Obat Karbamazepin Jenis Epilepsi Generalisata, parsial Petit mal Parsial Efek Samping Yg Mungkin Terjadi Jumlah sel darah putih & sel darah merah berkurang Jumlah sel darah putih & sel darah merah berkurang Tenang

Etoksimid Gabapentin

18

Lamotrigin Fenobarbital Fenitoin Primidon Valproat

Generalisata, parsial Generalisata, parsial Generalisata, parsial Generalisata, parsial Kejang infantil, petit mal

Ruam kulit Tenang Pembengkakan gusi Tenang Penambahan berat badan, rambut rontok

Pasien perlu berobat secara teratur. Pasien atau keluarganya dianjurkan untuk membuat catatan tentang datangnya waktu bangkitan epilepsi. Pemeriksaan neurologik disertai EEG perlu dilakukan secara berkala. Di samping itu perlu berbagai pemeriksaan lain untuk mendeteksi timbulnya efek samping sedini mungkin yang dapat merugikan, antara lain pemeriksaan darah, kimia darah, maupun kadar obat dalam darah. Fenitoin dan karbamazepin merupakan obat pilihan utama untuk pengobatan epilepsi kecuali terhadap epilepsi petit mal. Dibawah ini merupakan salah satu contoh daftar obat generik, indikasi, kontra indikasi, dan efek samping : 1. Fenitoin Indikasi Semua jenis epilepsi, kecuali petit mal, status epileptikus kontra indikasi Efek samping Gangguan hati, hamil, menyusui Gangguan saluran cerna, pusing nyeri kepala tremor, insomnia dll Sediaan Phenytoin (generik) kapsul 100 mg, 300 mg

2. Penobarbital Indikasi Semua jenis epilepsi kecuali petit mal, status epileptikus Kontra indikasi Depresi pernafasan berat, porfiria

19

Efek samping Sediaan

Mengantuk, Letargi, depresi mental dll Phenobarbital (generik) tabl. 30 lmg, 50 mg cairan inj. 100 mg/ml

3. Karbamazepin Indikasi Epilepsi semua jenis kecuali petit mal neuralgia trigeminus Kontra indikasi Gangguan hati dan ginjal, riwayat depresi sumsum tulang Efek samping Mual, muntah, pusing, mengantuk, ataksia, bingung. Sediaan Karbamazepine (generik) tablet 200 mg

4. Klobazam Indikasi Terapi tambahan pada epilepsi penggunaan jangka pendek untuk ansietas Kontra indikasi Efek samping Depresi pernafasan Mengantuk, pandangan kabur, bingung,

amnesia ketergantungan kadang-kadang nyeri kepala, vertigo hipotensi Sediaan Clobazam (generik) tablet 10 mg

5. Diazepam Indikasi Kontra indikasi Efek samping Status epileptikus, konvulsi akibat keracunan Depresi pernafasan Mengantuk, pandangan kabur, bingung,

ataksia, amnesia, ketergantungan, kadang nyeri kepala, vertigo Sediaan Diazepam (generik) tablet 2 mg. 5 mg

20

2.9.Prognosis Penderita epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2 tahun. Bilalebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan dan penderita tidakmengalami kejang lagi, dapat dikatakan bahwa penderita telah mengalami remisi. 30%penderita tidak akan mengalami remisi walau sudah minum obat teratur. Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya kejang, etiologi, tipe kejang, umurawal terjadi kejang, kejang tonik-klonik, kejang parsial kompleks akan mengalami remisipada hampir lebih dari 50% penderita. Makin muda usia awal terjadinya kejang, remisi lebihsering terjadi.Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun, juga merupakan faktoryang menguntungkan. Resiko kekambuhan setelah penghentian pengobatan tergantungpada faktor yang sama dengan remisi kejang

21

BAB 3 PENUTUP

3.1.

Kesimpulan Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal dengan berbagai macam etiologi. Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter, sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang baik dan akurat sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman

elektroensefalografi (EEG). Pengobatan epilepsi ditujkan untuk Menghindari kerusakan sel-sel otak Mengurangi beban sosial dan psikologi pasien maupun keluarganya, Profilaksis / pencegahan sehingga jumlah serangan berkurang

22

DAFTAR PUSTAKA 1. Harrisons principle of internal medicene. New York: McGraw Hill, 1994:1106-116. 2. Gram L, Dam M. Epilepsy explained. 1 Copenhagen, 1995: 30-31. 3. Morrell MJ. Epilepsy in women : The Science why it is special. Neurology, 1999; 53: 542-548. 4. Morrell MJ. Guidelines for the care of women with epilepsy. Neurology, 1998;51:S21-S26. 5. Pedoman Tata Laksana Epilepsi. Kelompok studi epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) 2003. 6. Patrick Davey. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga; 2002 7. Purdy RE. Handbook of cardiac drugs. 2nd ed. Boston: Little Brown, 233234. 8. Ginsberg, Lionel. Lecture Notes Neurologi. Edisi kedelapan. Jakarta : Erlangga;2008 9. Janz D. The teratogenic risk of antiepileptic drugs. Epilepsia, 1975; 16: 159-169 10. Obat epilepsi. 2010. http//www.medicastore.com. Diakses 21 november 2010 11. Yerby MS. Epilepsy. Epilepsia, 1991 ; 32: S51-9 12. Wodley CS., Schwatzkroin PA. Hormonal effects on the brain. Epilepsia, 1998; 39: S2-S8. 13. Machfoed M.Hasan, 2011, Buku Ajar Lmu Penyakit Saraf, Pusat Penerbitan Dan Percetakan Unair, Surabaya, Hal 133-155.
st

edition. Munksgaard,

23

You might also like