You are on page 1of 21

BAB I PENDAHULUAN

I. 1 LATAR BELAKANG Kekerasan Dalam Rumah Tangga sering terjadi di Indonesia. Meskipun jumlah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang selanjutnya disebut KDRT cenderung turun, jika dibandingkan dengan tahun 2007 jumlahnya masih 87,32 persen dengan jumlah kasus 284, sehingga belum signifikan. Hingga Desember 2008, jumlah kasus KDRT masih tinggi yakni 279 kasus dengan korban perempuan sebanyak 275 kasus. Pelaku KDRT masih didominasi oleh suami sebesar 76,98 persen dan 6,12 persen dilakukan oleh mantan suami, sisanya 4,68 persen dilakukan oleh orang tua, anak, dan saudara dan 9,35 persen oleh pacar atau teman dekat.4 Anggota keluarga yang sering menjadi korban adalah kaum wanita dan anak-anak. Kaburnya definisi KDRT sendiri menjadi masalah di negara ini. Adanya delik pengaduan yang merupakan syarat diusutnya KDRT merupakan masalah berikutnya yang belum ditangani. Delik yang belum tentu diajukan oleh pihak keluarga merupakan alasan mengapa angka KDRT di Indonesia disebut fenomena gunung es. Adapun alasan keengganan keluarga untuk mengajukan delik bisa beragam, antara lain karena masih ada budaya maupun anggapan bahwa KDRT merupkan permasalahan rumah tangga yang bersifat domestik dan menjadi rahasia rumah tangga masing-masing.3,4 Penanganan kasus yang termasuk dalam tindak pidana ini belum tuntas karena adanya kerancuan penggunaan dasar hukum yang mengaturnya. Undang-udang No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam tumah tangga, selanjutnya disebut UU PKDRT yang telah disahkan seharusnya menjadi dasar hukum namun pada kenyataannya penanganan kasus KDRT seringkali masih menggunakan KUHP sebagai dasar pemberian sanksi kepada pelaku tindak KDRT. Sanksi yang diberikan kepada pelaku juga lebih ringan karena masih menggunakan KUHP, bukan berdasarkan UU PKDRT.4 Akibat kasus KDRT bagi korban yang mayoritas perempuan itu sangat beragam. Sebanyak 9 dari 10 perempuan yang menjadi korban mengalami gangguan kesehatan jiwa sebesar 97,84 persen, termasuk 3 diantaranya mencoba bunuh diri; gangguan fisik sebesar 56,47 persen; dan reproduksi 10,07 persen. Dari seluruh laporan kekerasan semuanya mengakses layanan konseling dan 9,45 persen menempuh jalur hukum. Jadi tak sepenuhnya benar anggapan, bahwa korban yang melapor ke LSM atau kepolisian tentang kasus KDRT
1

itu selalu berakhir pada perceraian. Pelaporan ini justru mendukung penegakkan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.3,4 I. 2 RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga berdasarkan Undang-

Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) No. 23 tahun 2004.
Apakah pengertian dan aspek-aspek yang berkaitan dengan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga berdasarkan UU PKDRT No. 23 tahun 2004.


Bagaimana alur pelaporan dan penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga UU

PKDRT No. 23 tahun 2004.


Apakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan Undang-udang No. 23 tahun 2004

tentang penghapusan kekerasan dalam tumah tangga.


Apakah solusi yang dilakukan dalam upaya melaksanakan Undang-udang No. 23

tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam tumah tangga. I. 3 TUJUAN PENULISAN a. Tujuan umum Untuk memenuhi tugas sebagai persyaratan ujian kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Universitas Diponegoro. b. Tujuan khusus

Mengetahui pengertian dan aspek-aspek yang berkaitan dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga berdasarkan UU PKDRT No. 23 tahun 2004. Mengetahui alur pelaporan dan penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga UU PKDRT No. 23 tahun 2004. Mengetahui hambatan dalam pelaksanaan Undang-udang No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam tumah tangga. Mengetahui solusi yang dilakukan dalam upaya melaksanakan Undang-udang No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam tumah tangga.

I. 4 MANFAAT PENULISAN Dengan penulisan referat ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk memahami Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan alur pelaporan serta penanganannya

berdasarkan UU PKDRT No. 23 tahun 2004 sehingga dapat mengungkap lebih banyak lagi kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 DEFINISI Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Rumah tangga adalah yang berkenaan dengan urusan kehidupan dalam rumah atau berkenaan dengan keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Tindak kekerasan adalah melakukan kontrol, kekerasan, dan pemaksaan meliputi tindakan seksual, psikologis, fisik, dan ekonomi yang dilakukan individu terhadap individu yang lain dalam hubungan rumah tangga atau hubungan intim (karib). Menurut Kemala Chandrakirana mengemukakan kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan termasuk penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran termasuk juga ancaman yang menghasilkan kesengsaraan di dalam lingkup rumah tangga. Berdasarkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) No. 23 tahun 2004 seperti yang tertuang dalam pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.2 Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga tidak hanya yang terjadi di dalam rumah tangga, bisa saja kejadiannya di luar rumah. Yang terpenting adalah baik pelaku maupun korbannya adalah berada dalam ikatan rumah tangga atau anggota rumah tangga.

II. 2 DASAR HUKUM Hukum yang menjadi dasar yang mengatur kekerasan dalam rumah tangga adalah Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal yang telah ditetapkan berdasarkan hasil Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 14 September 2004. Dalam undang-undang ini diatur beberapa poin penting yaitu pengertian dari kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri yang diatur dalam pasal 1 ayat 1 yaitu setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.5 Yang dimaksud dengan lingkup rumah tangga adalah suami, istri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri), orangorang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam poin pertama karean hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan), dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga) (pasal 2 ayat 1), atau orang yang bekerja sebagaimana dimaksud poin ketiga dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan (pasal 2 ayat 2).5 Dalam undang-undang ini juga diatur jenis-jenis kekerasan yang dikategorikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga (pasal 5), hak-hak bagi para korban (pasal 10), kewajiban pemerintah (pasal 12), dan masyarakat (pasal 15), ketentuan pidana yang akan dikenakan pada pelaku (pasal 44-pasal 53), serta pembuktian kasus kekerasan dalam rumah tangga (pasal 53). Tujuan dibentuknya undang-undang ini untuk menegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan sebuah bentuk kejahatan, menegakkan hak-hak korban, dan kewajiban serta tanggung jawab pemerintah dan masyarakat dalam menghentikan KDRT, dan menghapus segala bentuk kekerasan yang terjadi dalam ruang lingkup relasi domestik. 5 Sebelum disahkannya undang-undang PKDRT, permasalahan KDRT terutama kekerasan fisik sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 351358. Dan untuk KDRT dalam bentuk yang lain, seperti kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun penelantaran rumah tangga belum diatur dalam KUHP.6

II. 3 BENTUK-BENTUK KEKERASAN Bentuk kekerasan yang termasuk ke dalam kategori kekerasan dalam rumah tangga meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantara rumah tangga (pasal 5). UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 5 Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga. Definisi dari masing-masing kekerasan ini diatur dalam undang-undang pasal 6 sampai pasal 9.3 Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (pasal 6).3 Kekerasan yang termasuk luka berat mendasarkan pada ketentuan pasal 90 KUHP, berarti yang termasuk luka berat antara lain jatuh sakit atau mendapatkan luka yang tidak diharapkan akan sembuh secara sempurna, atau menimbulkan bahaya maut, untuk selamanya tidak mampu menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan yang merupakan mata pencaharian, kehilangan salah satu panca indera, mendapat cacat berat, mendapat sakit lumpuh, terganggunya daya pikir selama lebih dari empat minggu, gugurnya atau terbunuhnya kandungan seorang perempuan.6 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 6 Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kesempatan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7).3 Istri menjadi tertekan, lalu depresi, karena ruang geraknya menjadi terbatas dan tidak lagi merasakan kebebasannya sebagai individu, contohnya pernyataan suami kepada istrinya untuk tidak keluar rumah, kalau melanggar harus menanggung akibatnya.7
6

UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 7 Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkungan tersebut atau pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (pasal 8).3 Maraknya peredaran VCD atau media lain yang mengajarkan teknik berhubungan seks terkadang membuat suami ingin menerapkannya tanpa kesepakatan sang istri lebih dulu. Akibatnya istri mengalami tekanan batin. Disatu sisi, mereka merasa jijik, tapi disisi lain takut jika ditinggalkan suami jika menolak.7 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 8 Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Penelantaran yang dimaksud dalam pasal 9 ayat 1 dan 2 yaitu jika orang yang menurut hukum atau karena perjanjian atau persetujuan menelantarkan kewajibannya untuk memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang-orang dalam lingkup rumah tangga atau orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang terebut.3,7 Tindak pidana kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual merupakan delik aduan.3 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 9 (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. II. 4 SANKSI-SANKSI Ancaman bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam pasal 44. Disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak lima belas juta rupiah. Bila kekerasan fisik yang dilakukan mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat maka dipidana dengan hukuman penjara paling lama sepuluh tahun atau denda paling banyak tiga puluh juta rupiah. Apabila korban sampai meninggal dunia, maka pelaku dikenakan sanksi pidana penjara paling lama lima belas tahun atau denda paling banyak empat puluh lima juta rupiah. Jika kekerasan fisik yang dilakukan tidak sampai menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan, mata pencaharian, atau kegiatan sehari-hari, maka sanksi yang diberkan berupa pidana penjara paling lama empat bulan atau denda paling banyak lima juta rupiah.3 Pelaku kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga diancam pada pasal 44.3 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 44 (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). (4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
8

Ancaman bagi pelaku kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga tertuang pada pasal 45.3 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 45 (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Ancaman bagi pelaku kekerasan seksual dalam rumah tangga terdapat pada pasal 46, 47, dan 48.3 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 46 Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 47 Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 48 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus

menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pelaku penelantaran dalam rumah tangga diancam dengan pasal 49.3 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 49 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 9 ayat (1); 1. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2). Pidana tambahan dapat diberikan hakim sesuai dengan pasal 50.2 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 50 Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa: a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. Sebagai perbandingan, sanksi yang termuat pada UU PKDRT dengan KUHP. Tabel 1. Perbandingan sanksi pelaku kekerasan dalam rumah tangga pada UU PKDRT dengan KUHP No 1 Kriteria Kekerasan fisik UU PKDRT KUHP Mengakibatkan rasa sakit = Penganiayaan = srafmaxima pidana srafmaxima pidana penjara penjara 2 tahun 8 bulan atau denda 5 tahun atau denda Rp. 15 Rp. 4,5 juta; direncanakan pidana juta penjara 4 tahun. Mengakibatkan jatuh sakit/ Penganiayaan berakibat luka berat = luka berat = srafmaxima srafmaxima pidana penjara 5 tahun;
10

pidana penjara 10 tahun atau direncanakan denda Rp. 30 juta penjara tahun; Mengakibatkan mati 7

srafmaxima tahun;

pidana

Penganiayaan = pidana berakibat

berat= srafmaxima pidana penjara 8 direncanakan penjara 12 tahun = Penganiayaan

srafmaxima pidana penjara mati=srafmaxima pidana penjara 7 15 tahun atau denda Rp. 45 tahun; direncanakan pidana penjara juta. 9 tahun. Penganiayaan berat=pidana penjara 10 tahun; direncanakan= pidana Tidak = penjara 15 tahun. mengakibatkan Penganiayaan tidak srafmaxima pidana merusak

penyakit/halangan kegiatan kesehatan = 3 bulan penjara 4 bulan atau denda Rp. 5 juta Pasal 5, 6, 44 UU PKDRT Dilakukan oleh suami, istri atau anak ditambah 1/3 pasal 351-356 2 Kekerasan psikis KUHP Mengakibatkan penderitaan Belum diatur psikis= srafmaxima pidana penjara 3 tahun/ denda Rp.9 juta. Tidak penderitaan mengakibatkan psikis=

srafmaxima pidana penjara 4 bulan/ denda Rp. 3 juta Pasal 5, jo 7 jo 44 ayat 2 jo 3. Kekerasan seksual Pasal 52 UU PKDRT Srafmaxima pidana penjara Pencabulan = srafmaxima pidana 12 tahun penjara 9 tahun Adanya hubungan seksual, Perkosaan = srafmaxima pidana srafmaxima pidana penjara penjara 12 tahun 4-15 tahun atau denda Rp. 12-300 juta
11

Berakibat

luka

berat,

srafmaxima pidana penjara 5-20 tahun atau denda Rp. 25-200 juta Pasal 5, jo 7 jo 44 ayat 3 jo 4 Penelantaran dalam tangga Pasal 281-303 KUHP

Pasal 53 UU PKDRT Srafmaxima pidana penjara Belum diatur juta. Pasal 5, jo 7 jo 44 ayat 4 jo Pasal 54 UU PKDRT

rumah 3 tahun atau denda Rp. 15

II. 5 PELAPORAN KDRT Pelaporan tindak pidana KDRT dapat bersifat mandatory reporting atau facultative reporting.
1. Mandatory reporting : setiap orang yang mengetahui adanya

KDRT wajib

melaporkannya ke instansi penegak hukum dan atau institusi perlindungan sipil.


2. Facultative reporting : KDRT hanya boleh dilaporkan jika ada izin atau permintaan

dari korban.1,2 Hal ini diperkuat dengan adanya UU PKDRT No. 23 tahun 2004 pasal 15 dimana setiap orang yang mengetahui adanya tindakan KDRT wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya.1,2 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 15 Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a. mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. memberikan perlindungan kepada korban; c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Selain orang yang mengetahui adanya tindakan KDRT, menurut UU PKDRT pasal 26 ayat 1 korban berhak secara langsung mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyidik.

12

Atau menurut UU PKDRT pasal 26 ayat 2 korban berhak memberikan kuasa kepada orang lain untuk mengajukan laporan maupun pengaduan kepada penyidik.1,2 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 26 (1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. (2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Dapat kita simpulkan bahwa pelaporan atau pengaduan tindak pidana KDRT dapat dilakukan oleh korban secara langsung ataupun memberikan kuasa kepada orang lain maupun oleh orang yang mengetahui adanya tindak pidana KDRT.1 Penanganan tindak KDRT tentu tidak lepas dari kerjasama berbagai pihak, diantaranya adalah masyarakat, tenaga kesehatan, dan penegak hukum. Sesuai dengan pasal 21 UU PKDRT ayat 1, tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban wajib untuk :
a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya; b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum

atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.1 Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud di atas dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat (pasal 26 ayat 2). Peranan ketiga komponen tersebut dapat berupa jalur penanganan KDRT seperti : 1. Prakarsa masyarakat : LSM berupa Woman Crisis Centre (WCC) 2. Prakarsa tenaga kesehatan : Pembentukan Pusat Krisis Terpadu (PKT) di RS
3. Prakarsa penegak hukum : Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di polda1,2

Secara sederhana, alur penanganan sebagai berikut : -

Kasus KDRT bisa dilaporkan pertama kali ke polisi (RPK), LSM (WCC), atau langsung ke dokter (PKT) Korban yang melaporkan ke polisi maupun ke LSM harus dibawa ke dokter (PKT) untuk dilakukan pemeriksaan medis Dokter melakukan pemeriksaan medis, memberikan terapi, dan melakukan pencegahan komplikasi. Jika diperlukan dokter dapat merujuk ke ahli
13

Dalam hal ada surat permintaan visum et repertum dari polisi : dokter memeriksa secara forensik klinik dan membuat visum et repertum Setelah masalah medis selesai ditangani, korban diserahkan ke keluarganya (jika dianggap aman) atau diserahkan ke LSM untuik dibawa ke shelter (jika dianggap tidak aman)

Visum et repertum dapat digunakan sebagai dasar penuntunan pidana perceraian, perwalian anak, dsb1

Prinsip Penatalaksanaan Korban KDRT : -

Sesegera mungkin Penanganan serentak : fisik , psikis, medis, medikolegal, sosial dan hukum Dalam masa kritis : dokter melakukan pendampingan dan konseling. Untuk membantu peradilan : lakukan pencatatan medis yang detail, akurat, dan adekuat6,7

II. 6 HAMBATAN PELAKSANAAN UU PKDRT Hambatan struktural dan tata nilai sosial korban KDRT untuk mengakses perlindungan hukum bukan fenomena baru. Meneg Pemberdayaan Perempuan mengatakan 11,4 persen dari 217 juta penduduk Indonesia atau 24 juta terutama di pedesaan pernah mengalami kekerasan dan terbesar adalah KDRT. Kendala untuk mengakses perlindungan hukum bagi korban, selain aspek struktural lebih banyak disebabkan faktor kungkungan tata nilai atau adat dan perlakuan feodal masyarakat. Dalam budaya patriarki, perempuan korban KDRT menghadapi kendala yang berlapis untuk mengakses hukum, seperti adanya nilai sosial masyarakat yang menganggap KDRT adalah urusan suami-istri, sehingga campur tangan pihak luar dianggap tidak wajar untuk diungkap. Melaporkan kejadian KDRT juga dapat berarti membuka aib keluarga. serta, adanya ketergantungan dalam aspek ekonomi. Dan yang terakhir ialah kurang seriusnya respons aparat penegak hukum dalam menangani pengaduan KDRT.8 Diberlakukannya UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) dikhawatirkan justru akan menimbulkan fenomena baru. Misalnya, makin maraknya pengaduan istri di kepolisian, meningkatnya keretakan rumah tangga dan gugat cerai dari istri kepada suami sebagai alternatif solusi yang mudah dipilih dalam mengatasi KDRT. Perlu adanya pemahaman yang utuh dari masyarakat, aparat hukum, serta berbagai pihak terkait tentang hakikat dan kewajiban dari UU PKDRT. Hal ini memang masih jadi tantangan yang harus diwujudkan. Hal itu bisa dicapai melalui sosialiasi pemahaman yang benar, utuh, dan mendalam mengenai hakikat, tujuan dan substansi UU PKDRT. Karena pada hakikatnya
14

permasalahan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT) merupakan rangkaian persoalan dari keadilan dan kesetaraan gender, tidak mulusnya aktualisasi fungsi keluarga dalam keluarga. Akibatnya terjadi hambatan dalam mewujudkan keluarga sejahtera dan sakinah. Selain itu, kendala budaya masih sangat besar bagi para perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga sehingga banyak perkara ditarik kembali setelah mulai diproses polisi. Akibatnya, persentase perkara yang sampai ke persidangan sangat kecil dibandingkan dengan jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat.8 II. 7 SOLUSI PELAKSANAAN UU PKDRT

BAB III KASUS DAN DISKUSI


15

KASUS I 14 Juni 2009, menurut penuturan Cici, Cici melihat Ebi panggilan akrab suaminyaRaden Akhmad Suhaebi Hamsawi- menyetir di kawasan Puncak, Bogor, dari arah Jakarta. Cici kemudian turun dari mobil, mengetuk kaca mobil sang suami. Saat itu Ebi sendirian membawa mobil. Cici menuturkan, saat itu Ebi menengok kea rah dirinya. Kemudian Cici berteriak, Pa buka pa buka!! Namun, teriakannya tidak dihiraukan. Karena itu Cici bergerak ke depan, berharap agar mobil yang dikemudikan suami berhenti. Namun, ternyata mobil tersebut tetap melaju dan menabrak. Akhirnya, Cici tersungkur ke aspal setelah badannya mengenai spion mobil kanan yang ditumpangi Ebi. Cici menuturkan bahwa sejak menikah, ini kali pertama kekerasan yang ia alami dari suami. Cici dan sepupunya Syahrul kemudian meminta bantuan polisi untuk mengejar mobil suaminya. Dalam perkembangannya, Ebi akhirnya ditahan Polres Bogor (18/6). Dia dijerat dengan pelanggaran pasal 44 ayat I UU no 23 tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kasatreskrim Polres Bogor AKP Moch. Santoso menuturkan bahwa penahanan Ebi telah sesuai UU. Tersangka telah kami tahan. Sebab, pasal KDRT yang kami kenakan bukan delik aduan,katanya. Dia menyebutkan , bukti-bukti berupa hasil visum dan hasil pemeriksaan sudah bisa dijadikan bukti untuk menjadikan Ebi sebagai tersangka. Dia diancam hukuman penjara lima tahun. Untuk memperkuat bukti, polisi juga melakukan cek fisik kendaraan Range Rover Nopol B 8308 YN milik Ebi. Mobil itu dijadikan barang bukti. Di kendaraan tersebut, polisi menemukan goresan disebelah kiri. (sumber: www.jawapos.com) Pembahasan Pada kasus ini terdapat tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk kekerasan fisik. Kasus ini dikatakan sebagai kekerasan dalam rumah tangga karena sesuai dengan pasal 1 UU PKDRT No. 23 tahun 2004, bahwa pelaku dan korban berada dalam rumah tangga dimana pelaku adalah suami dan korban adalah istri. Tindak kekerasan ini dilaporkan oleh korban dan saudara ke polisi. Pelaporan tindak kekerasan oleh saudara korban ini sesuai dengan pasal 15 UU PKDRT No. 23 tahun 2004. UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 15 : Setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk : a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
16

b. Memberikan perlindungan kepada korban; c. Memberikan pertolongan darurat; dan d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan Adapun korban dapat melaporkan langsung ke pihak yang berwajib sesuai dengan pasal 26 ayat 1 UU PKDRT No. 23 tahun 2004. UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 26 :
(1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada

kepolisian baik ditempat korban berada maupun ditempat kejadian perkara. Pada kasus ini pelaku melanggar pasal 5 UU PKDRT No. 23 tahun 2004 karena melakukan tindak kekerasan fisik. UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 5 : Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a. Kekerasan fisik b. Kekerasan psikis c. Kekerasan seksual; atau d. Penelantaran rumah tangga Karena tindakan tersebut pelaku dijatuhi hukuman penjara 5 tahun berdasarkan pasal 44 ayat 1 UU PKDRT No. 23 tahun 2004. Pasal 44 : (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

KASUS II PEMALANG Kasus kekerasan dalam rumah tangga menimpa sebuah keluarga di dukuh sirandu desa purwosari kecamatan comal. Seorang ibu muda beranak tiga Wuri Handayani (32) tewas di tangan suaminya Suparman (40) pada Rabu (17/6/2009) dini hari.
17

Polisi berhasil menangkap pelaku dan dari pengakuannya dia berdalih hendak mengobati sakti isterinya. Pelakunya beberapa hari terakhir sering terlibat cekcok dengan isterinya. Rusyanto (50) salah satu tetangganya mengemukakan Arman panggilan sehari-hari pelaku tak hanya bertetengkar dengan istrinya saja melainkan juga dengan mertuangya, Ruananh (60). Bahkan mertuanya kemarin senin diacungi golok karena cekcok dipicu masalah air minum. Salah satu kakak korban, Yatin (35) melapor ke polisi setelah melihat kejanggalan-kejanggalan pada jasad adiknya. Dan Arman pun digelandang ke polisi untuk dimintai keterangan. Sejumlah barang bukti juga ikut diamankan diantaranya sapu lidi dan kain yang dipakai untuk membunuh korban. Di depan polisi Arman berdalih kalau dirinya berusaha mengobati sakit isterinya. Dia menjelaskan cara-caranya yakni dengan menyumbat mulut istrinya dengan kain dan memukuli wajahnya dengan sapu lidi. Untuk mempercepat proses penyembuhan, istrinya dicekoki obat penenang dan jamu sekolan sebanyak 4 biji. Saya cinta istri saya, saya tidak bermaksud membunuhnya, tapi saya rela kalau yang saya lakukan itu salah, terangnya. Polisi akhirnya menetapkan Suparman alias Arman sebagai tersangka dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga menewaskan istrinya. Penetapan ini mengetahui hasil otopsi yang dilakukan petugas forensik terhadap jasad korban, Wuri Handayani (32) warga RT 01 RW 12 Desa Purwosari Kecamatan Comal. Dalam keterangannya Kapolres Pemalang, AKBP Drs Bambang Sukardi SH MSi melalui kasatreskrim AKP Suwarto SH MH mengemukakan adanya beberapa luka bekas penganiayaan pada tubuh korban. Tak hanya luka luar yang berhasil ditemukan petugas, beberapa luka dalam termasuk perdarahan otak ternyata dialami korban, kata bkasat kemarin. Ibu dua anak tersebut selain mengalami perdarahan otak, pada otopsi yang dilakukan Rabu (18/6/2009) pukul 22.00 WIB juga menderita beberapa luka lain seperti pergeseran tulang rusuk, serta perdarahan pada jantung dan limpa korban. Luka baru juga ditenggarai merupakan luka lama, seperti perdarahan yang di otak itu. Saat korban meninggal memang mengeluarkan busa dari mulutnya, kemungkinan besar hal itu disebabkan karena korban sudah dua hari tidak mau makan karena merasa sakit, sehingga timbul cairan asam berlebihan terang kasat. Selain itu kondisinya juga diperparah saat korban dibekap menggunakan kain oleh tersangka.

18

Kasatreskrim menegaskan, suami korban, Suparman sudah dipastikan menjadi tersangka dalam kasus KDRT ini. Dia akan dijerat dengan pasal 44 ayat 2 Undang-Undang No. 23 Thun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. (Sumber : Radar Pekalongan) Pembahasan Pada kasus kedua ini terdapat tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang mengakibatkan kematian korban. Tindak Kekerasan ini dilaporka oleh saudara korban ke polisi. Pelaporan tindakan kekerasan oleh saudara korban ini sesuai dengan pasal 15 UU PKDRT No. 23 tahu 2004. Pada kasus ini pelaku melanggar pasal 5 UU PKDRT No. 23 tahun 2004 karena melakukan tindak kekerasan fisik. Berbeda dengan kasus pertama, kasus ini mengakibatkan kematian korban, karena tindakan tersebut, pelaku dijatuhi hukuman penjara 5 tahun berdasarkan pasal 44 ayat 3 UU PKDRT No. 23 tahun 2004. Pasal 44 : (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

BAB IV KESIMPULAN

19

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Dasar hukum KDRT adalah UU PKDRT No. 23 tahun 2004. Dalam UU ini disebutkan bahwa yang dimaksud dalam lingkup rumah tangga disini adalah suami, istri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri), orang-orang yang memiliki hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam poin pertama karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar, dan besan), dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga), atau orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada poin ketiga dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Korban dalam KDRT adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman dalam lingkup rumah tangga. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga. Sanksi-sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak KDRT diatur dalam UU PKDRT No.23 tahun 2004. Dalam pelaksanaannya, kasus KDRT masih jarang terungkapkan karena masih ada budaya maupun anggapan korban bahwa KDRT merupakan permasalahan keluarga yang bersifat Domestik dan menjadi rahasia rumah tangga masing-masing. Padahal tindak KDRT merupakan suatu tindak pidana. Sanksi yang diberikan kepada pelaku juga lebih ringan karena masih menggunakan KUHP, bukan berdasarkan UU PKDRT. Untuk itu diperlukan sosialisasi lebih luas baik mengenai UU PKDRT dan alur pelaporan bila terjadi KDRT.

DAFTAR PUSTAKA

20

1. Atmadja, Djaja S, KDRT dan Aspek Medikolegal, RS Mitra Keluarga Kemayoran.

Jakarta Pusat : 2012.


2. Irianto, Sulistyowati. Isu KDRT dan Perspektif Pluralisme Hukum. Cetakan Pertama.

Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 2012.


3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT. (Cited on

2012 _KDRT

July

26).

Available

from

URL

http://www.kontras.org/uu_ri_ham/uu_nomor_23_tahun_2004_tentang_penghapusan
4. Kasus KDRT dilakukan suami (cited on 2012 July 26). Available from : URL :

http://www.kompas.com/read/xml/2012/12/13/14412492/7698.persen.kasus.kdrt.dilak ukan.suami
5. Sekilas Tentang Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(Cited on 2012 July 26). Available from : URL : http://www.lbh-apik.or.id/fact58.htm


6. Wijayanti, Asri SH MH. KDRT dan Perlindungan Anak. 25 Juli 2012. Available from

:URL: http://www.gagasanhukum.wordpress.com/2012/06/08/kdrt-dan-perlindungananak-bagian-iii/
7. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bukan Sebatas Kekerasan Fisik. 20 November

2011 n.fisik.

(Cited

on

2012

July

26).

Available

from:

URL:

http://www.kompas.com/read/xml/2012/11/20/13210000/kdrt.bukan.sebatas.kekerasa
8. Implentasi Undang-Undang PKDRT (Cited on 2012 July 25). Available from :

http://hafizspeak.blogspot.com/p/implementasi-undang-undang-pkdrt_18.html.

21

You might also like