You are on page 1of 9

Nama : Reza Fauzan Annas NIM : 44307888

HUKUM UDARA A. PENGERTIAN HUKUM UDARA Hukum udara adalah seluruh norma-norma hukum yang khusus mengenai penerbangan , pesawat-pesawat terbang dan ruang udara dalam peranannya sebagai unsur yang perlu bagi penerbangan (Otto Riese dan Jean T. Lacour). Hukum udara dapat ditafsirkan sebagai segala peraturan hukum yang mengatur obyek tertentu, yaitu udara. Dengan tafsiran ini maka pengertian hukum udara akan menjadi sangat luas, karena akan meliputi hukum public nasional dan internasional mengenai udara. Hukum udara adalah merupakan cabang hukum internasional yang relatif baru karena baru muncul dan berkembang pada abad ke-20 setelah ditemukan dan dikembangkannya pesawat udara, oleh karena itu, berbeda dengan hukum laut yang pada umumnya bersumber pada hukum kebiasaan, hukum udara dan antariksa terutama didasarkan pada ketentuan ketentuan konvensional, sedangkan hukum kebiasaan hanya mempunyai peranan tambahan dalam pembentukan hukum udara dan antariksa. Pada mulanya banyak anggapan bahwa ruang udara mempunyai status yang analog dengan laut yaitu territorial negara atas ruang udara di atasnya dengan ketinggian tertentu dan selanjutnya berlaku rezim kebebasan seperti kedaulatan negara ataslaut wilayah yang dilanjutkan dengan rezim kebebasan laut lepas. Pendapat yang diformulasikan dalam bentuk ini masih diperdebatkan dalam forum internasional karena banyak negara menganggap ruang udara dalam keseluruhan tetap ditundukan pada kedaulatan negara yang berada dibawahnya. Sebagai akibat dari kemajuan teknologi penerbangan yang semakin canggih, manusia mulai melakukan kegiatan kegiatan antariksa peluncuran satelit buatan Rusia (di kala itu masi bernama Uni Soviet) Sputnik 1 pada permulaan oktober 1957, peluncuran astronot pertama Yuri Gagarin dalam pesawat antariksa pada tahun 1961 dan terutama pendaratan di Bulan oleh misi Apollo XI tahun 1969 menyebabkan orang berpikir bahwa antariksa , seperti halnya dengan laut lepas, tidak mungkin dimiliki oleh negara manapun.

Dalil Hukum Romawi Cujus est solum, ejus est usque ad coelum. Artinya : Barangsiapa yang memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah.

Dasar Hukum

KONVENSI-KONVENSI HUKUM UDARA

Konvensi Paris 13 Oktober 1919 Pada tanggal 13 oktober 1919, di paris ditandatangani konvensi internasional mengenai navigasi udara yang telah disiapkan oleh suatu komosi khusus yang dibentuk oleh dewan tertinggi Negara-negara sekutu. Konvensi paris tersebut merupakan upaya pertama pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara. Disamping itu Negara-negara pihak juga diizinkan membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral diantara mereka dengan syarat mematuhi prinsip-prinsip yang dimuat dalam konvensi. Terhadap Negara-negara bekas musuh, pasal 42 konvensi paris memberikan persyaratan bahwa Negaranegara tersebut hanya dapat menjadi Negara pihak setelah masuk menjadi anggota pada Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau paling tidak atas keputusan dari Negaranegara pihak pada konvensi. Pada tahun 1929, setelah direvesi dengan protocol 15 juni 1929 yang bertujuan untuk menerima keanggotaan jerman dalam LBB, konvensi paris 1919 betul-betul menjadi konvensi yang bersifat umum karena sejak mulai berlakunya protocol tersebut tahun 1933,53 negara telah menjadi pihak.

Perubahan tersebut dilakukan oleh komisi Internasional Navigasi Udara dalam sidangnya di paris tanggal 10-15 juni 1929. Rezim baru tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : Negara-negara bukan pihak pada konvensi 1919 dapat diterima tanpa syarat apakah Negara-negara tersebut ikut serta atau tidak dalam perang dunia 1. Tiap-tiap Negara selanjutnya dapat membuat kesepakatan-kesepakatan khusus dengan Negara-negara yang bukan merupakan pihak pada konvensi dengan syarat bahwa kesepakatan-kesepakatan tersebut tidak bertentangan dengan hak-hak pihak-pihak lainnya dan juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum konvensi. Protocol 1929 meletakkana prinsip kesama yang absolute bagi semua Negara dalam komisi internasional. Masing-masing Negara pihak tidak boleh lebih dari dua wakil dalam komisi dan hanya memiliki satu suara.

Konvensi Chicago 1944 Konferensi Chicago membahas 3 konsep yang saling berbeda yaitu: Konsep internasionalisasi yang disarankan australi dan selandia baru. Konsep amerika yang bebas untuk semua. Konsep persaingan bebas atau free enterprise. Konsep intermedier pengawasan. inggris yang menyangkut pengaturan dan

Setelah melalui pendebatan yang cukup panjang dan menarik akhirnya konsep inggris diterima oleh konferensi. Pada akhir konverensi sidang menerima tiga insrtumen yaitu : Konvensi mengenai penerbangan sipil internasional Persetujuan mengenai transit jasa-jasa udara internasional Persetujuan mengenai alat angkutan udara internasional.

Konvensi Chicago 7 desember 1944 mulai berlaku tanggal 7 april 1947. Uni soviet baru menjadi Negara pihak pada tahun 1967. Konvensi ini membatalkan

konvensi paris 1919, demikian juga konvensi inter amerika Havana 1928. Seperti konvensi paris 1919, konvensi Chicago mengakui validitas kesepakatan bilateral yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Sekarang ini jumlah kesepakatan-kesepakatan tersebut sudah melebihi angka 2000. C. STATUS YURIDIK RUANG UDARA 1) Wilayah Udara Nasional Pasal 1 konvensi paris 1919 secara tegas menyatakan : Negara-negara pihak mengakui bahwa tiap-tiap Negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara ang terdapat di atas wilayah. Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip yang terdapat dalam konvensi paris 1919. Kedua konvensi tersebut dengan sengaja menjelaskan bahwa wilayah Negara juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan. Hal ini juga dinyatakan oleh pasal 2 konvensi jenewa mengenai laut wilayah dan oleh pasal 2 ayat 2 konvensi PBB tentang hukum laut 1982. Ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap navigasi udara, termasuk udara diatas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur pelayaran maritime. Terutama tidak ada norma-norma hukum kebiasaan yang memperolehkan secara bebas lintas terbang diatas wilayah Negara,yang dapat disamakan dengan prinsip hak lintas damai di perairan nasional suatu Negara. Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas udara dan pengamatan atas pesawat-pesawat udara merupakan aspek sangat penting dalam pengaturanpengaturan hukum yang dibuat oleh Negara-negara. Demikianlah untuk memperkuat ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi, Negara-negara sering membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral atau regional di bidang kerja sama pengawasan ataupun keamanan.

2) Ruang Udara Internasional Kedaulatan teritorial suatu Negara berhenti pada batas-batas luar dari laut wilayahnya. Kedaulatan ini tidak berlaku terhadap ruang udara yang terdapat diatas laut lepas atau zona-zona dimana Negara-negara pantai hanya mempunyai hak-hak berdaulat seperti atas landas kontinen. Atas alasan keamanan, status

kebebasan yang berlaku dilaut lepas tidak pula mungkin bersifat absolute. Pasal 12 konvensi Chicago dengan alasan keamanan tersebut menyatakan bahwa diatas laut lepas ketentuan yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh ICAO sehubungan dengan penerbangan dan maneuver pesawat-pesawat yang terdapat dalam annex dari konvensi. Namun internasionalisasi dinilai kurang lengkap. Pertama karena kekuasaan pengaturan oleh ICAO terbatas pada penerbangan sipil dan tidak berlaku terhadap pesawat-pesawat udara public walaupun majelis dari ICAO talah menyarankan kepada Negara-negara pihak untuk memasukkan dalam legislasi nasionalnya masing-masing ketentuan-ketentuan yang juga diberlakukan kepada pesawatpesawat public yaitu ketentuan-ketentuan udara seperti yang terdapat dalam annek II dari konvensi. ICAO tidak mempunyai wewenang pelaksanaan, kepada masingmasing pihaklah diberikan wewenang untuk mengambil tindakan agar pesawat udara yang mempunyai kebangsaan dari Negara tersebut yang berada diatas laut lepas atau zona eksklusif menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang berlaku (pasal 12 konvensi). D. PEMBENTUKAN INTERNASIONAL (ICAO). ORGANISASI PENERBANGAN SIPIL

Fungsi ICAO adalah untuk mengembangbangkan prinsip-prinsip dan teknik navigasi internasional dan memperkuat perencanaan dan pengembangan alat angkutan udara internasional sehingga dapat melaksanakan perkembangan penerbangan sipil internasional secara teratur dan aman. Walaupun terdapat interprestasi yang ekstensif atas wewenang yuridiksional dewan dari ICAO, Negara lebih suka menyelesaikan sengketasengketa bilaretal mereka melalui cara penyelesaian sengketa yang biasa seperti ke Mahkamah Internasional atau membentuk suatu tribunal arbitral. Selama perang dingin banyak Negara yang mengajukan pengaduannya ke mahkamah internasional yang menyangkut keamanan penerbangan sipil. Sebagai contoh insiden udara yang terjadi antara iran dan amerika serikat pada tanggal 3 juli 1988.

E. SUMBER-SUMBER HUKUM PENERBANGAN DI INDONESIA Undang-undang dan peraturan-peraturan penerbangan yang nasional dalam arti dibuat oleh pembuat undang-undang nasional. Perjanjian-perjanjian internasional sebagai sumber hukum udara dan hukum penerbangan tidak dapat kita abaikan juga di Indonesia. Misalnya ordonansi pengangkutan udara yang sebagaimana dikatakan diatas merupakan salah satu peraturan penerbangan yang terpenting adalah berdasarkan,kalau kita hendak dikatakanhampir merupakan turunan semata-mata dari pada perjanjian warsawa yaitu perjanjian yang lebih dikenal dengan nama warsa convenstion. Sebagai sumber hukum penerbangan ketiga di Indonesia persetujuan-persetujuan pengangkutan. Sebagai suatu organisasi internasional, dalam man tergabung sebagian besar dari pada pengangkutan-pengangkutan udara seluruh dunia ang besar-besar, maka IATA (international Air Transport Association) mempunyai kekuasaan yang tidak sedikit terhadap anggota-anggotanya. Sumber hukum terakhir ialah ilmu pengetahuan. Telah menjadi suatu pendapat yang umum dalam dunia ilmu hukum, bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu sumber hukum.

Contoh Kasus Kasus kecelakaan Adam Air beberapa tahun lalu di perairan Majene Sulawesi Barat harus menjadi pelajaran bagi dunia penerbangan di tanah air. Akibatnya, Uni Eropa mengambil langkah sepihak (unilateral act) dengan melarang pesawat udara komersial Indonesia memasuki wilayah udara Uni Eropa. Tindakan Uni Eropa ini dibenarkan dalam prinsip-prinsip hukum udara internasional. Dalam hukum udara internasional dikenal konsep cabotage yakni suatu negara mempunyai hak penuh atas wilayah udara diatasnnya . Prinsip ini telah tertuang dalam konvensi ICAO (International Civil Aviation Organization) yang ada dalam konvensi Chicago 1944. Bunyinya lengkapnya The Contracting State recognize that Every State has complete and exclusive sovereignity. Dalam praktek penerbangan sipil, dikenal ada delapan kebebasan terbang yang dapat diperjanjikan negara peserta. Lebih populer disebut prinsip The Eight Freedom (Mieke Komar Kantaatmadja, 1984). Pasal 7 konvensi ini berbunyi setiap negara mempunyai hak untuk menolak memberikan izin kepada suatu pesawat udara milik negara peserta lain yang bermaksud untuk mengambil penumpang pos dan cargo, dsb.

Atas banyaknya peristiwa kecelakaan pesawat seperti Adam Air, Garuda dan Lion Air di Solo menambah daftar buruknya sistem dan standar keselamatan penerbangan. Pengguna jasa penerbangan dilindungi hak-haknya dalam sistem hukum udara internasional. Konvensi Warsawa 1929 mengatur pertanggungjawaban pengangkut (jasa penerbangan) terhadap pihak kedua (penumpang). Aturan ini sudah di transform ke dalam ordonansi pengangkutan udara Indonesia (Staatsblad 1939: 100, dan UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Konvensi Warsawa menganut prinsip Rebuttable Presumption of Liability (tanggung jawab berdasar praduga). Artinya maskapai penerbangan harus dianggap selalu bertanggung jawab. Maka beban pembuktian ada pada pihak tergugat (maskapai penerbangan). Menurut para ahli hukum udara internasional prinsip konvensi Warsawa 1929 seharusnya mengarah pada prinsip absolute liability (tanggung jawab mutlak, E Syaefullah Wiradipradja,1988) Dalam kasus kecelakan pesawat udara komersial sistem pembuktian pertanggungjawaban maskapai penerbangan tidak dibenarkan menggunakan sistem pertanggungjawaban perbuatan melanggar hukum (on rechmatig daad) yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata. Penumpang tidak boleh dibebani untuk membuktikan gugatannya. Tetapi sebaliknya pengangkutlah yang harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Prinsip ini sangat menguntungkan penumpang dalam sistem pengangkutan udara komersial di dunia internasional. Namun dalam hal-hal tertentu pengangkut tidak dapat dipersalahkan, apabila pihak maskapai telah dengan sungguh-sungguh berusaha semaksimal mungkin menerapkan semua standar keselamatan yang telah ditentukan oleh instrumen hukum udara internasional. Instrumen itu berupa standar keselamatan organisasi penerbangan sipil yang tertuang di ICAO (International Civil Aviation Organization), IATA (International Air Transport Association), dan Konvensi Warsawa 1929. Prinsip Hukum Udara Internasional Dalam sebuah pesawat udara berlaku dua prinsip. Pertama, prinsip yurisdiksi kriminal yang diatur dalam konvensi Tokyo 1963 tentang pelanggaran dan tindakan tertentu lainnya yang dilakukan dalam pesawat udara (The offences and certain other acts committed on board aircraft). Konvensi ini memperlakukan yurisdiksi bendera pesawat. Kedua, prinsip yurisdiksi perdata yang diatur dalam konvensi Warsawa 1929. Prinsipnya, pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab. Tercatat, dalam perkembangan hukum udara internasional bahwa pemerintah Indonesia pernah menerapkan yurisdiksi kriminalnya dengan menerobos masuk ke dalam kedaulatan negara lain. Peristiwa ini terjadi ketika Pembajakan Garuda Woyla di

Muangthai, Bangkok 1982. Langkah pemerintah Indonesia pada waktu itu sudah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum udara internasional. Kasus terbaru adalah dikabulkannya permohonan gugatan para ahli waris penumpang Adam Air oleh Pengadilan Negeri Jakarta. Maskapai ini membayar semua kerugian yang timbul akibat jatuhnya pesawat Adam Air yang menewaskan seluruh penumpangnnya. Para Ahli waris korban tidak mengalami kesulitan untuk pembuktian perdata karena prinsip pembuktian untuk kecelakaan pesawat udara komersial yang tercantum dalam hukum udara internasional menganut sistem pembuktian terbalik. Mereka dilindungi hak-haknya oleh instrumen hukum udara. Untuk menuntut setiap maskapai penerbangan komersial, para penumpang tidak dibebankan pembuktian dimuka persidangan. Pihak pengangkutlah yang harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah atas kecelakaan itu. Sekecil apapun kerugian penumpang harus mendapat ganti rugi yang memadai. Dengan demikian ungkapan-ungkapan umum seperti barang hilang resiko penumpang tidak diperkenankan dalam sistem pengangkutan udara. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta yang memenangkan ahli waris korban kecelakaan Adam Air adalah sebuah langka maju dalam dunia penerbangan di Indonesia. Walau pun kasus kemenangan seperti ini bukanlah hal baru dalam praktik hukum udara internasional.

Daftar Pustaka

Mauna , Boer. HUKUM INTERNASIONAL (Pengertian,Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global),Bandung, P.T Alumni,2011 http://firmanyudha.wordpress.com/2007/01/09/sejauh-mana-indonesia-berdaulatdi-udara-by-chappy-hakim/ http://nobyta-hukumudaraindonesia.blogspot.com/ http://eezcyank.blogspot.com/2011/01/hukum-internasional-hukum-udaradan.html http://senandikahukum.com/hukum-internasional/keterlambatan-penerbangandalam-hukum-internasional-dan-nasional http://hukum.unsrat.ac.id/hi/space_treaty.htm http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/04/23/ganti-rugi-korban-kecelakaanadam-air/ https://eprints.undip.ac.id/16310/1/AHMAD_ZAZILI.pdf https:// repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25537/3/Chapter%2520II.pdf

You might also like