You are on page 1of 7

Program Swasembada Daging Tanggung Jawab Bersama

Published 10/11/2009 | By duniaveteriner

Salahsatu Program andalan yang menjadi fokus Deptan (Departemen Pertanian) adalah masalah penyediaan atau ketahanan pangan terutama dalam hal penyediaan daging sapi. Oleh karenanya, program swasembada daging pun digadanggadang sebagai program yang harus diwujudkan. Awalnya, program ini mulai bergaung pada awal pemerintahan SBY-JK , yakni Swasembada daging tahun 2005 akhirnya diarahkan menjadi kecukupan daging tahun 2005. Setelah tahun 2005 tiba, ternyata upaya itu belum tercapai dan direvisi menjadi tahun 2010 Indonesia akan mencapai program swasembada daging. Atau tepatnya satu tahun setelah Kabinet Indonesia bersatu jilid 1 berakhir. Bahkan, Tercatat bahwa Selama periode 2005-2009, Indonesia masih mengimpor 40 persen total kebutuhan daging sapi yang pada tahun 2009 mencapai 322,1 ribu ton. Dan kini, tahun 2010 tinggal menghitung hari. Apakah Indonesia benar-benar akan mampu berswasembada daging?jawabannya tentu saja ada di benak masyarakat Indonesia sendiri sebagai target program kecukupan daging. Yang jelas, belum juga kita pada tahun 2010, kini, pemerintah melalui deptan menargetkan swasembada daging sapi secara bertahap pada tahun 2014. Melalui sejumlah program, penyediaan daging sapi dari dalam negeri diproyeksikan meningkat dari 67 persen pada tahun 2010 menjadi 90 persen pada 2014. Dalam sebuah kesempatan seperti yang dilansir oleh kompas.com, Menteri Pertanian Suswono mengatakan, upaya swasembada daging sapi tahun 2014 ini akan ditempuh melalui sejumlah program, di antaranya memperbanyak jumlah populasi sapi induk melalui program kredit usaha pembibitan sapi. Upaya ini didukung dengan memanfaatkan lahan-lahan yang masih potensial digunakan untuk peternakan dan meningkatkan jumlah kelahiran anak sapi menjadi 100.000 ekor dalam lima tahun. Sungguh ironis, Saat ini lahan telantar di Indonesia mencapai 7,13 juta hektar. Sehingga diharapkan Populasi sapi potong ditargetkan meningkat dari 12 juta ekor pada tahun 2009 menjadi 14,6 juta ekor pada tahun 2014.

Untuk mewujudkan program swasembada daging ini, tentu saja pemerintah harus dibantu oleh berbagai pihak. Masyarakat dan segenap elemen bangsa harus merasa memiliki bahwa program

pemerintah adalah program kita bersama. Mulai dari membangun bersama antara pemerintah pusat dan daerah baik lintas sub sektor maupun departemen, dan tentunya dukungan dari berbagai elemen seperti peternak, swasta, asosiasi, DPR/DPRD tingkat I dan II, serta perguruan tinggi sebagai pihak independen, monitoring dan inovasi aplikasi teknologi tepat guna. Lebih jauh, Program maha besar ini jangan hanya dijadikan retorika dan kampanye komoditas politik belaka. Akhirnya, pemikiran dan sumbangsih nyata untuk mewujudkan program swasembada daging 2014 lebih dibutuhkan dari pada hanya mencemooh dan mengkritisnya. Mari membangun, bersama kita bisa!

Setelah Swasembada Beras, Lalu Apa Lagi?


Posted on December 16, 2008 | 2 Comments Kompas | Selasa, 16 Desember 2008 | 00:29 WIB Hermas E Prabowo Lebih dari 24 tahun menunggu, akhirnya swasembada beras tercapai juga. Swasembada tahun 2008 ini berbeda dibandingkan tahun 1984 karena swasembada kali ini tanpa sedikit pun dibarengi impor beras. Lain cerita pada 1984, di mana swasembada masih dibarengi dengan impor beras 414.300 ton. Mengapa kita bisa swasembada beras? Pertanyaan ini penting diajukan sebagai refleksi sekaligus pijakan dalam upaya mempertahankan swasembada beras 2009 dan pada tahun-tahun yang akan datang. Perlu diingatkan bahwa sejak munculnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, tidak ada lagi kemampuan pemerintah mengontrol budidaya pertanian. Petani bebas memilih komoditas apa yang akan mereka tanam tanpa ada tekanan atau paksaan untuk menanam komoditas tertentu yang diinginkan pemerintah. Sejak itu, impor beras terus meningkat dan puncaknya tahun 1999, di mana impor beras mencapai 4,7 juta ton atau tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Melalui UU itu pula, era liberalisasi budidaya pertanian dimulai karena tidak ada kendali pemerintah atas usaha tani. Satu-satunya faktor yang menjadi acuan petani memilih komoditas yang akan mereka tanam adalah faktor keuntungan.

Mudah diingat bahwa tahun 2007/2008 terjadi lonjakan harga komoditas baik di pasar domestik maupun internasional. Harga beras di Thailand bahkan melambung hingga 800 dollar AS per ton, beras Vietnam mencapai 600 dollar AS per ton. Begitu pula harga beras China, India, dan Pakistan melonjak. Lonjakan harga komoditas memicu ketakutan di antara negara-negara pengekspor beras. China, India, dan Pakistan bahkan menghentikan ekspor sementara waktu. Akibatnya, suplai beras ke pasar dunia merosot. Melihat gejala buruk itu, Pemerintah Indonesia berkomitmen meningkatkan produksi tanaman pangan, di antaranya beras, jagung, dan kedelai. Peningkatan produktivitas Salah satu insentif yang diberikan pemerintah adalah menaikkan harga pembelian pemerintah untuk gabah dan beras, baik di tingkat petani maupun usaha penggilingan (lihat tabel). Dengan begitu, diharapkan keuntungan petani meningkat dan muncul kegairahan untuk menanam padi. Luas tanam padi musim hujan periode Oktober 2007-Maret 2008 mencapai 7,86 juta hektar atau 3,4 persen di atas pencapaian luas tanam pada periode sama 2006/2007. Lantas, bagaimana dengan produktivitas? Ada beberapa faktor penting dalam mendukung peningkatan produktivitas, antara lain iklim kondusif, benih unggul, pupuk, suplai air, serangan hama penyakit, dan pengelolaan pascapanen. Sejak bergulirnya Program Peningkatan Produksi Beras (P2BN), penggunaan benih varietas unggul menjadi salah satu pilihan. Pada musim tanam 2008 saja, pemerintah mengalokasikan bantuan benih padi dalam APBN sebanyak 37.500 ton dengan sasaran areal tanam 1,5 juta hektar. Belum lagi bantuan benih dalam bentuk Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU), cadangan benih nasional, dan bantuan benih dalam bentuk subsidi harga kepada petani. Begitu pula luas tanam padi hibrida ditingkatkan. Bantuan benih hibrida tahun ini sebanyak 1.285 ton dengan sasaran luas tanam 86.000 ton. Bagaimana dengan pupuk? Suplai pupuk tahun 2007/2008 nyaris tanpa perubahan. Kelangkaan pupuk urea terjadi di mana-mana sehingga banyak petani yang kesulitan mendapatkan pupuk. Akibatnya, banyak pula tanaman padi milik petani yang terlambat dipupuk sehingga pertumbuhan tidak optimal. Dari 5,8 juta ton kebutuhan pupuk urea, pemerintah hanya mampu mengalokasikan 4,3 juta ton pada musim tanam tahun 2008. Faktor penentu peningkatan produktivitas lain adalah stabilitas suplai air. Musim tanam padi Oktober 2007-September 2008 yang menjadi basis penghitungan produksi padi 2008 nyaris tanpa ada gangguan suplai air yang berarti.

Hujan dan bencana banjir memang sempat mengganggu kualitas produksi padi dan merendam tanaman padi yang baru mulai tanam ataupun yang hampir panen. Namun, bencana banjir 2007/2008 lebih banyak terjadi pada tanaman padi muda sehingga replanting bisa segera dilakukan dan luas lahan puso dapat diminimalkan. Data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Deptan menunjukkan, bencana banjir dan kekeringan musim tanam Oktober 2007-Maret 2008 hanya merendam tanaman padi seluas 335.056 hektar. Bandingkan dengan musim tanam 2006/2007 yang mencapai 485.868 ha. Sementara musim kemarau yang berlangsung April-September 2008 merupakan jenis kemarau basah. Meskipun periode musim kemarau, hujan masih turun sehingga menolong budidaya padi. Pada musim tanam di musim hujan 2007/2008, ada serangan tikus, hama penggerak batang, tungro, kresek, dan blas yang terjadi pada 208.931 ha atau di atas serangan hama yang terjadi pada musim tanam di musim hujan 2006/2007 yang hanya 143.312 ha. Kualitas panen Lantas, bagaimana dengan program pascapanen? Musim panen 2008, Departemen Pertanian memperbaiki kualitas panen dengan memperkecil potensi kehilangan hasil. Deptan mengalokasikan dana Rp 80 miliar untuk meningkatkan kualitas gabah petani dalam program gerakan pengamanan pascapanen. Dana itu untuk pembelian peralatan pertanian pascapanen, pendampingan, dan pengawalan. Alat-alat itu berupa sabit bergerigi (103.000 buah), alat perontok padi manual (1.000), alat perontok padi mekanik (400), dan 40.000 terpal ukuran 8 meter x 8 meter. Bagaimana dengan jaminan pasar? Selain faktor harga dan peningkatan kualitas sistem budidaya padi oleh Deptan, jaminan pasar oleh Perum Bulog juga semakin memantapkan petani untuk menanam padi. Terbukti dengan peningkatan pembelian beras Bulog tahun 2007 yang mencapai 1,76 juta ton dan tahun 2008 sebanyak 3,1 juta ton. Ini membuat petani semakin bersemangat untuk menanam padi. Akankah harga komoditas pertanian dunia, terutama beras, tetap tinggi pada masa mendatang? Akankah Bulog tetap memberikan jaminan pasar bagi petani di tengah krisis global ini? Melihat besarnya pengaruh harga dalam meningkatkan produksi, faktor daya tarik harga pada 2009 dan tahun-tahun mendatang harus tetap dipertahankan bila Indonesia ingin tetap mempertahankan swasembada beras. Begitu pula dengan jaminan pasar oleh Bulog untuk mendorong stabilisasi harga beras di tingkat petani, pada level yang stabil tinggi. Meski begitu, usaha Deptan melalui bantuan benih unggul, perbaikan irigasi, perbaikan pascapanen, dan perbaikan distribusi pupuk harus dipertahankan dan tetap ditingkatkan.

Satu lagi pekerjaan rumah yang belum diselesaikan pemerintah, pengendalian laju konversi lahan. Tanpa menghentikan itu, swasembada beras hanya akan berlangsung sesaat karena setelah itu Indonesia akan menjadi importir beras terbesar dan akan semakin besar. Setelah sukses mencapai swasembada beras, pertanyaan selanjutnya, apa lagi? Masih banyak pekerjaan rumah pemerintah, yakni swasembada gula, daging sapi, dan kedelai, yang saat ini jauh dari harapan. http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/16/00293933/setelah.swasembada.beras.lalu.apa.lagi

Indonesia Berpeluang Swasembada Kedelai | Selasa, 10 Januari 2012 | 02:56 WIB Dibaca: 371 Komentar: 1 |

Share: Ngawi, Kompas - Indonesia berpeluang mencapai swasembada kedelai nasional. Upayanya bisa dilakukan melalui pemanfaatan lahan Perhutani secara nasional, peningkatan produktivitas, dan penambahan areal tanam kedelai. Menteri Pertanian Suswono mengatakan hal itu, Senin (9/1) di Desa Sidolaju, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, seusai panen kedelai di lahan Perum Perhutani seluas 8,4 hektar. Produktivitas kedelai hasil panen tinggi, 2,7 ton per hektar. Produksi kedelai petani yang dipanen tersebut untuk memenuhi kebutuhan benih sumber dan benih sebar kedelai nasional. Suswono mengatakan, saat ini potensi lahan hutan 1,6 juta hektar. Kalau bisa dimanfaatkan 25 persen saja, berarti sudah ada tambahan lahan pangan seluas 400.000 hektar. Kalau dari 400.000 hektar, 200.000 hektar untuk tanaman kedelai, akan ada tambahan produksi 800.000 ton per tahun untuk dua musim tanam, katanya. Produksi kedelai nasional 2011 sekitar 870.000 ton, turun 4,08 persen dibandingkan dengan produksi 2010 sebanyak 904.000 ton. Target produksi kedelai tahun 2012, sesuai dengan peta

jalan (road map), sebesar 1,9 juta ton, dengan catatan ada tambahan lahan 500.000 hektar menuju swasembada tahun 2014. Bila tidak, ada perubahan target menjadi 1,3 juta. Kalau lahan ada tambahan, tahun 2013 bisa melompat produksinya, katanya. Indonesia masih impor 60 persen kedelai per tahun. Suswono mengatakan, tahun 2012, potensi lahan kedelai dari kawasan hutan yang bisa dimanfaatkan 80.000 hektar. Dengan asumsi produktivitas per hektar 2 ton, akan ada tambahan produksi kedelai 2012 sebanyak 320.000 ton. Belum lagi tambahan produksi dari peningkatan produktivitas dan perluasan lahan. Suswono juga memperkirakan, harga kedelai nasional akan semakin baik. Selain permintaan bertambah, harga dunia juga meningkat. Belum lagi ada pengenaan bea masuk kedelai impor sebesar 5 persen tahun ini. Menyuburkan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Haryono mengatakan, pemanfaatan lahan hutan, selain berpotensi meningkatkan pendapatan petani, juga menyuburkan lahan hutan. Sekaligus menjaga keamanan tanaman hutan. Pola serupa berlangsung di Blora, Jawa Tengah. Kawasan hutan di Jawa Tengah seluas 1,36 juta hektar tersebar di 28 kabupaten. Sekitar 819.850 hektar adalah hutan produksi. Sejak 2001, Perum Perhutani Unit II Jawa Tengah menjalankan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat menyumbang penyediaan pangan 446.620 ton per tahun. (MAS)

Swasembada Gula 2014 Hanya Mimpi Eny Prihtiyani | Robert Adhi Ksp | Rabu, 4 Januari 2012 | 18:37 WIB Dibaca: 1713 Komentar: 13 |

Share:

Shutterstock Ilustrasi TERKAIT:


Tahun 2011, Harga Gula Berjangka Anjlok hingga 27 Persen Harga Beras dan Gula Mulai Merangkak Naik Kemendag: Perusahaan Gula Rafinasi Lakukan Pelanggaran Pemerintah Temukan Rembesan Gula Rafinasi Pabrik Gula Tak Efisien, Produktivitas Rendah

JAKARTA, KOMPAS.com Target swasembada gula pada 2014 diperkirakan tidak tercapai karena tidak ada pembenahan di hulu usaha tani dan di hilir pabrik. Produksi gula petani sulit naik, sementara gula impor terus membanjiri pasar. Pengamat pertanian, Bustanil Arifin, di Jakarta, Rabu (4/1/2012), mengatakan, rendahnya rendemen gula menjadi persoalan mendasar di hulu. Lonjakan produksi sulit diharapkan jika rendemen hanya 7 persen, sementara potensinya 12-14 persen. Setiap kenaikan rendemen sebesar 1 persen, terdapat potensi tambahan produksi gula sekitar 300.000 ton. Beberapa metode konvensional yang bisa dilakukan adalah perbaikan varietas, optimalisasi waktu tanam, pupuk berimbang, pengendalian organisme pengganggu, serta perbaikan sistem tebang dan pengangkutan. "Tidak konvensional, tetapi kita juga perlu langkah terobosan, seperti perbaikan insentif manajemen produksi tebu, mulai dari sistem bagi hasil, sistem transfer tebu, pengukuran kualitas tebu, hingga insentif harga," paparnya. Di bagian hilir, lanjutnya, revitalisasi dan restrukturisasi pabrik gula menjadi kebutuhan mendesak. "Untuk urusan itu, seharusnya kita banyak belajar dari pabrik swasta berskala besar, seperti Sugar Group, Gunung Madu Plantations, dan Kebun Agung," tuturnya.

You might also like