You are on page 1of 14

MAKALAH SOSIOLOGI HUKUM DENGAN JUDUL ADVOKAT SEBAGAI PROFESI TERHORMAT (NOBILE OFFICIUM).

A. PENDAHULUAN. Tidak ada satu pasalpun yang menjelaskan tentang Advokat sebagai profesi terhormat ( nobile officium) di dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, akan tetapi bila ditelusuri didalam kode Etik Advokat Indonesia yang dibuat dan disahkan oleh 7 (tujuh) organisasi Pendiri yakni IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia), AAI ( Asosiasi Advokat Indonesia), IPHI (Ikatan Penasihat Hukum Indonesia), HAPI (Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia), SPI (serikat Pengacara Indonesia), AKHI (Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia), HKHPM (Himpunan Konsultan Hukum Pasal Modal) pada tanggal 23 Mei Tahun 2002 di dalam pembukaannya dialinia kedua tersurat kalimat bahwa advokat sebagai profesi terhormat (nobile officium) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, akan tetapi tidak ada penjelasan lebih lanjut, apa yang menyebabkan profesi ini menjadi terhormat (nobile officium)?

Didalam isi konsideran Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi advokat yang bebas dan mandiri dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum,

kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia. dan bahwa advokat sebagai profesi yang bebas , mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh Undang Undang demi terselengaranya upaya penegakkan supremasi hukum.. Kalau dibaca sepintas saja isi konsideran ini tidak akan

ditemukan tentang profesi advokat sebagai profesi yang terhormat, akan tetapi kalau dicermati kalimat bahwa peradilan memerlukan profesi advokat yang bebas dan mandiri dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia. Artinya advokat selaku penegak hukum bekerja mewakili masyarakat para pencari keadilan untuk menegakkan hukum, kebenaran, keadilan dan hak asasi manusia yang nota bene tidak dimiliki oleh penegak hukum lain yang berasal dari Negara selalu mencari kepastian hukum sementara advokat untuk menegakan hukum bukan saja hanya didasarkan kepada kepastian hukum, akan tetapi harus memperhatikan manfaat dan keadilan dari sudut perasaan para pencari keadilan.

Untuk itu penulis mencoba berhipotesa bahwa advokat adalah profesi terhormat tersebut berasal dari kewajiban advokat baik yang diatur dalam kode Etik Advokat maupun dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bahwa Advokat selaku penegak hukum memiliki kewajiban yang tidak dimiliki penegak hukum lain yang berasal dari Negara yaitu untuk advokat diwajibkan untuk memberikan Bantuan Hukum Secara Cuma Cuma (prodeo) kepada pencari keadilan yang tidak mampu (pro bono publico). Jadi kemulyaan seorang advokat bukan pada

kemashurannya atau kepada keberhasilannya, akan tetapi ada pada kemulyaan hatinya ketika menjalankan kewajibanya dengan jujur dan tulus untuk membela kepentingan kaum fakir miskin yang membutuhkannya.

B. KESADARAN HUKUM MASYARAKAT. Salah satu objek kajian yang sangat penting yang dilakukan oleh disiplin ilmu sosiologi hukum adalah masalah kesadaran hukum masyarakat. Sering dikaitkan bahwa hukum haruslah sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, artinya hukum tersebut haruslah mengikuti kehendak dari masyarakat. Kesadaran Hukum Masyarakat yang dimaksud dalam makalah ini harus diartikan secara sempit agar pembahasannya terarah, yang dimaksud adalah berkaitan dengan terbitnya Undang Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003.

Sampai sejauh mana masyarakat mengetahui dan memahami tentang Undang Undang Advokat ini ? tentunya ini berkaitan dengan tanggung jawab pemerintah untuk mensosialisasikan produk hukum ini kemasyarakat agar diketahui dan dipahami melalui jenjang secara struktural dari tingkat yang paling tinggi sampai pada tingkat yang paling rendah yaitu Rukun Warga dan Rukun Tetangga, karena ini merupakan manifestasi dari pemerintah dalam melaksanakan amanah konstitusi yang diatur dalam pasal 34 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 yaitu ditegaskan bahwa Fakir miskin dan anak anak terlantar dipelihara oleh Negara, artinya hak politik, ekonomi, social dan budaya diakui oleh negara termasuk fakir miskin dibela oleh Advokat untuk kepentingan hukumnya. Apabila dikaji secara mendalam dalam pengertian

dengan pendekatan sosiologis, maka undang undang advokat tersebut tidak hanya diperuntukan untuk advokat saja, akan tetapi secara sosiologis dan filosofis diperuntukan pula untuk masyarakat pencari keadilan. Logikanya bagaimana mungkin advokat akan bekerja kalau tidak mendapat kuasa dari kliennya (anggota masyarakat), karena ini adalah merupakan syarat mutlak yang diberikan oleh kode etik dan undang undang. Bukan orang kaya saja yang memiliki masalah hukum, orang miskin lebih banyak berbenturan dengan hukum dalam kehidunpannya sehari hari. Dalam mencari nafkah selalu dicurigai sebagai pelaku criminal dan ditempat tinggalnya yang kurang layak selalu menjadi objek penertiban penertiban. Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa efektifitas hukum dalam masyarakat ditentukan oleh berbagai factor berikut : 1. Faktor Hukumnya Sendiri. Yakni apakah hukumnya memenuhi syarat yuridis, sosiologis dan filosofis. 2. Faktor Penegak Hukum Yakni apakah para penegak hukum sudah betul betul melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik. 3. Faktor Fasilitas Yakni misalnya apakah prasarana sudah mendukung dalam proses penegakkan hukum. 4. Kesadaran Hukum Masyarakat. Dalam hal ini, apakah misalnya masyarakat tidak main hakim sendiri terhadap para penjahat. 5. Faktor Budaya Hukum.

Dalam hal ini adanya budaya malu atau budaya perasaan bersalah dari warga masyarakat.

Sejalan dengan pendapat diatas bahwa Undang Undang Advokat memberikan hak kepada masyarakat seperti yang diatur didalam pasal 22 ayat (1) menyebutkan Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara Cuma Cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Dan dalam ayat (2) pelaksanaanya diatur dengan Peraturan Pemerintah, dan sayangnya Peraturan Pemerintahnya belum ada. Berangkat dari ketentuan diatas anggota masyarakat yang tidak mampu berhak untuk meminta bantuan hukum kepada para advokat termasuk advokat yang ternama sekalipun karena hak fakir miskin untuk dibela oleh advokat dijamin oleh undang undang, walaupun peraturan pelaksananya belum ada itu tidak menjadi masalah, karena dapat menggunakan kode etik advokat Indonesia. Ketika seorang Advokat menolak untuk membela fakir miskin karena kemiskinannya tidak sanggup membayarnya advokat, maka sudah jelas advokat tersebut sudah bertentangan dengan kewajiban profesinya, maka berdasarkan pasal 11 tentang pengaduan Kode Etik Advokat Indonesia, anggota masyarakat dapat mengajukan pengaduan ke Dewan Kehormatan Advokat, untuk memintakan keadilan sesuai kewajibannya seorang advokat tidak boleh menolak perkara karena tidak memiliki uang untuk membayarnya.

Kerapkali masyarakat miskin ini selalu menjadi objek ketidak adilan dari para penegak hukum, bahkan hak untuk hidup yang layak di kota kota besar saja rasanya sulit karena selalu berbenturan berbenturan dengan ketentuan ketentuan hukum. Contoh entah sudah diterbitkan atau belum penulis belum mengetahui dengan pasti, yang jelas bahwa di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta akan dibuat perda yang melarang memberi sedekah dijalanan kepada pengemis, sanksinya yang memberi akan kena hukuman. Artinya perda ini yang tidak lain produk hukum positif yang mendorong kepada para penegak hukum untuk melakukan atau melegalkan ketidak adilan pada golongan kaum miskin, sehingga sudah menjadi pemandangan biasa dijalanan para Aparat Trantib DKI berburu dan berkejar kejaran dengan para peminta minta jalanan, kadangkala para peminta minta dengan panik berlari tanpa memperhatikan kendaraan yang lalu lalang sehingga terjadi kecelakaan, pemandangan yang seperti ini bukan hal yang biasa, akan tetapi hal yang sangat memprihatinkan. Penulis yakin para advokat yang berpraktek di kota kota besar seperti di DKI pernah menyaksikan kejadian tersebut diatas baik langsung maupun melalui TV, media cetak, akan tetapi hatinya tidak tergerak untuk membantu secara hukum, padahal kemulian profesinya terletak pada orang orang miskin ini. Bagaimana mungkin orang orang miskin jika berhadapan dengan aparat penegak hukum dapat mengajukan pembelaan atas hak sebagai rakyat Bangsa Indonesia yang dilindungi secara konstitusi. Tentu peran advokatlah yang diharapkan dapat tampil mewakili kaum miskin ini untuk membela baik didalam maupun diluar pengadilan untuk kepentingan hukum para fakir miskin. Dan satu hal lagi kebiasaan dari pemerintah

DKI yang mendorong timbulnya kesenjangan social begitu tajam, karena ada perlakuan yang tidak adil terhadap para pendatang yang mengadu nasib di Jakarta se olah olah Jakarta tertutup untuk pendatang yang tidak memiliki keahlian(skill) , biasanya dilakukan setelah hari Idul Fitri selalu mengadakan operasi Yustisia terhadap para pendatang, akan tetapi anehnya operasi itu hanya ditujukan pada rakyat kecil saja, kenapa terhadap pendatang pendatang yang ada dirumah rumah elit tidak pernah dilakukan operasi justsio, tidak ada jaminan yang dirumah mewah itu memiliki KTP DKI. Karena kesadaran hukum mayarakat yang masih rendah, maka segala perlakuan para penegak hukum diterimanya denga pasrah, sift nerima dengan pasrah ini juga dipengaruhi oleh kultur dan budaya masyarakat berasal dari tempat asalnya. Jika aparat konsisten terhadap hukum, sebaiknya dalam operasi justisia itu kalau merujuk pada isi konsideran Undang Undang Advokat, dimana advokat sebagai salah satu pilar peradilan, maka sebaiknya advokat diikut sertakan dalam oprasi justisia tersebut.

C.

HAK DAN KEWAJIBAN ADVOKAT. Didalam konsideran Undang Undang Advokat bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh gari luar, memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum,kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia. Artinya apabila disimpulkan dari apa yang diuraikan dalam konsideran diatas, begitu hebatnya profesi advokat, begitu terhormat dan mulianya kedudukan profesi advokat, karena diperlukan dan

dijadikan salah satu pilar pengadilan dan sekaligus diberikan kehormatan seolah olah dengan kehadiran advokat menjadi pilar pengadilan akan tercipta suatu peradilan yang jujur, adil bagi pencari keadilan.

Secara teoritis system hukum menginginkan seperti hal tersebut diatas, bagaimana dengan prakteknya? Dalam kasus pidana dimungkinkan terjadi seperti yang diinginkan diatas, karena advokat akan berjuang untuk membela kepentingan kliennya selaku terdakwa, artinya ada rasa keadilan dirasakan oleh kliennya, karena hak haknya merasa ada yang membelanya, akan tetapi berbeda ketika yang berperkara dilapangan hukum perdata, banyak pendapat pendapat yang sinis terhadap para penegak hukum baik dari kalangan advokat maupun dari penegak hukum lain yang menyatakan bahwa yang dilayani atau dimenangkan perkaranya adalah yang orang yang punya uang saja, jadi masyarakat begitu apatis terhadap lembaga pengadilan yang nota bene lembaga tempat orang mendapatkan keadilan.

Begitu dilematis untuk para advokat dalam menjalankan profesi ini selaku penegak hukum yang berasal dari masyarakat, karena selalu berhubungan dan berinteraksi dengan masyarakat pencari keadilan. Disatu sisi undang undang Advokat mendorong agar advokat melakukan kewajiban yaitu kewajiban selaku advokat untuk memberikan Bantuan Hukum cuma Cuma atau prodeo, dan disisi lain dalam pasal 21 Undang Undang Advokat bahwa advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang diberikan kepada kliennya dan besarnya ditetapkan atas kesepakatan bersama. Pasal 21 ini mendorong untuk melemahkan sebelumnya yang mewajibkan

membela orang tidak mampu secara Cuma Cuma, karena jika tidak melaksanakannya walaupun wajib tidak ada sanksinya. Kalau dipandang dari sudut hukum perdata bahwa kesepakatan itu lahir dari persetujuan dan persetujuan itu intinya kerelaan, jadi kalau tidak tercapai maka tidak akan ada kata sepakat, kalau tidak sepakat tidak ada pelanggaran hukum, jadi kalau dikaitkan dengan istilah wajib dalam pasal 22 Undang Undang Advokat pengertiannya menjadi sumir/nisbi.

Jika advokat dihadapkan dengan gaya hidupnya dan kebutuhan untuk mempertahankan kantornya digedung gedung yang megah dan mewah maka sangatlah bertolak belakang dengan profesinya yang sangat terhormat, seperti penulis katakana sebelumnya bahwa kemulyaan advokat bukan terletak pada kantornya akan tetapi interaksi tugasnya dengan membela kaum fakir miskin. Advokat gaya

hidupnya dekat dengan kemegahan dan kemewahan, terlihat hampir sebagian besar advokat yang ternama menggunakan kendaraan kendaraan bermerk dan mewah. Pola gaya hidup seperti ini salah satu pemicu keengganan untuk melakukan kewajiban terhormatnya membela kaum fakir miskin yang membutuhkannya dan lebih baik advokat memilih hidup tidak terhormat dengan bertolak belakang dengan kehormatan profesinya, asalkan dia akan dihormati karena status social dan ekonominya yang tinggi.

Didalam induk organisasi Advokat pun belum ada kata sepakat yang mana sebenarnya yang harus dikuti oleh para advokat dalam melaksanakan tugas sehari harinya. Apakah Organisasi Induk Advokat (pendiri) ataukah organisasi Induk

Advokat yang disebut dengan PERADI. Advokat izin prakteknya dikeluarkan oleh PERADI akan tetapi loyalitas para advokat umum masih menginduk pada orbanisasi Induk Advokat asalnya, karena sampai sekarang organsisasi para pendiri PERADI tersebut masih eksis sampai saat, bahkan masing organisasi berlomba lomba mengadakan pendidikan untuk calon calon advokat untuk selama 3 (tiga) bulan yang dikenal dengan PKPA (Pendidikan Kelanjutan Profesi Advokat). Penulis ingin sampaikan bahwa Organisasi Induk Advokat dalam hal ini PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) kurang berperan melakukan pembinaan terhadap anggota anggotanya, terutama dalam hal pelanggaran kode etik.

D.

PERLU PARATURAN HUKUM YANG MENGATUR TENTANG BANTUAN HUKUM. Pemerintah bersama dengan 7 (tujuh) organisasi pendiri Advokat duduk bersama untuk segera merancang, merumuskan dan merealisasikannya tentang tata cara bantuan hukum yang dimaksud dalam pasal 22 Undang Undang Advokat.

Kerangka dasar pemikirannya adalah berangkat dari pasal 34 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 yang ditegaskan bahwa Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Atas dasar pemikiran inilah bahwa tanggung jawab untuk fakir miskin dan anak terlantar itu tidak saja ditanggung Negara, maka ada juga tanggung jawab dari masyarakat dalam melindungi hak hak hukumnya. Artinya fakir miskin dan anak anak terlantar juga berhak untuk mendapatkan jasa hukum dari advokat (legal service) baik diluar maupun didalam pengadilan.

10

Jaminan perlindungan atas hak konstitusional untuk dibela oleh advokat adalah penting dalam praktek peradilan dan ini berlaku untuk orang yang mampu dan tidak mampu. Bagi orang yang mampu tidak masalah untuk mendapat lebih dari advokat, akan tetapi sebaliknya bagi kaum fakir miskin satu saja tidak sanggup untuk merekrut advokat, bahkan sering mendapat perlakuan yang tidak adil oleh para penyidik, dengan ditakut takuti kalau pakai advokat nanti dipersulit dan akan ditahan, keadaan demikian itu kerap terjadi pada kaum fakir miskin yang terkena problem hukum, maka dari itu diperlukan aturan hukum yang jelas dan tegas untuk kewajiban hukum para advokat ini untuk membela dan memperjuangkan yang menjadi hak kepentingan hukum kaum fakir miskin untuk mendapat keadilan.

Didalam hukum ada asas yang bunyinya setiap orang harus diperlakukan sama dimata hukum (equality before the law), asas ini hanya selogan saja, nyatanya terjadi disana sini perlakuan yang tidak adil dari para penegak hukum yang melaksanakan hukum dari tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan, seolah olah kaum fakir miskin itu menjadi objek hukum di dalam penegakkan hukum. Dan keadaan ini tidak akan terjadi kalau didampingi para advokat, tentunya advokat advokat yang berpengalaman bukan advokat advokat pemula.

Untuk mengaktifkan pasal 22 Undang Undang Advokat ini tentunya Peradi selaku organisasi induk dari advokat harus aktif bagaimana memaksimal tugas mulia dapat dijalankan oleh para advokat baik yang sudah ternama maupun pemula, dengan

11

pemberitahuan agar diwajibkan membuka kantor atau apapun bentuknya kepada setiap advokat untuk menerima kasus kasus dari kaum fakir miskin dan pelaksanaannya dipantau oleh organisasi Induk advokat yakni Peradi, jika ada advokat yang tidak taat maka berikan sanksi administrasi dari yang ringan sampai cabut surat izinnya prakteknya.

Salah satu landasan untuk segera dibuatnya peraturan bantuan hukum adalah International covenant on civil ang political rights diratifikasi Indonesia dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 dan International covenant on economic, social and culturel rights diratifikasi dengan Undang Undang Nomor1 Tahun 2005 untuk memperkuat kewajiban pemerintah untuk segera membuat peraturan tentang bantuan hukum bagi fakir miskin.

E. KESIMPULAN KESIMPULAN. 1. Profesi advokat sebagai profesi terhormat (nobile officium) bukan didasarkan karena dibutuhkan menjadi pilar peradilan saja, akan tetapi kemulian/terhormat tersebut didasarkan kepada kemulian hatinya yang diwajibkan oleh undang undang untuk membela kaum miskin dengan cuma Cuma (prodeo). 2. Sebagian kecil di Jakarta para advokat yang umumnya advokat pemula bersedia untuk menjadi advokat publik (pro bono publico). 3. Para advokat senior yang sudah ternama memilih jalan lain mencapai kehormatannya yaitu dengan menaikkan status social dan ekonominya, dalam

12

pengertian kurang peduli teradap rakya kecil yang membutuhkan para advokat yang berpengalaman. 4. Kerja Organisasi Induk Advokat yakni PERADI, kerjanya kurang maksimal terutama dalam hal pengawasan terhadap para advokat yang melanggar kode etik.

F. PENUTUP. SARAN SARAN. 1. Peraturan hukum untuk bantuan hukum dibuat jangan dengan Peraturan Pemerintah, karena dengan PP terlalu banyak dominasi oleh kepentingan pemerintah. 2. Peraturan Hukum tentang Bantuan Hukum harus dibuat dengan Undang Undang, karena dari sudut pembentukannya ada filter dari Dewan Perwakilan Rakyat, kemungkinan peraturan tersebut keberpihakan pada masyarakat lebih dominant.

Jakarta, 8 November 2007 Penulis,

H.Tb.Ganda Atmaja.SH. Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Hukum UGM Jogjakarta

13

14

You might also like