You are on page 1of 25

Upaya Peningkatan Tata Krama Siswa dalam Berkomunikasi di SDN Nglames 1 melalui program 1 bulan berbahasa Jawa.

PROPOSAL

Oleh: Eko Prasetyo 09141060

Pendidikan guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP PGRI Madiun 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peningkatan tata krama di Sekolah Dasar harus terus diupayakan untuk menunjang tujuan pendidikan di tingkat dasar, karena tujuan pendidikan ditingkat pendidikan dasar merupakan bagian dari pembangunan Nasional di bidang pendidikan. Pentingnya tata krama di sekolah dasar sudah tidak diragukan lagi mengingat negara Indonesia merupakan negara yang bisa disebut masih kental akan unsur-unsur norma-norma kesopanan. Kesadaran akan pentingnya Tata Krama di sekolah- sekolah menuntut guru untuk lebih memperkenalkan adat kesopanan sebagai ciri khas di negeri sendiri dan lebih mempopulerkan bahasa Indonesia dengan cara bertata karama yang baik dan benar sebagai kebiasaan sehari-hari. Untuk itu pemerintah melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP,2006) memberikan standar kemampuan yang harus dicapai oleh siswa mulai dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat menengah ke atas, kemudian dapat dikembangkan oleh guru untuk lebih meningkatkan keterampilan berbahasa siswa. Keterampilan berbahasa meliputi keterampilan mendengarkan (menyimak), berbicara, membaca, dan menulis. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa untuk pembelajaran bahasa Indonesia lebih dititikberatkan pada performansi bahasa (tutur kata) daripada sekedar memiliki pengetahuan tentang kebahasaan, yakni berupa unjuk kerja mempergunakan bahasa dalam konteks tertentu sesuai dengan fungsi komunikatif bahasa. Tarigan (1983:1) mengungkapkan keterampilan berbahasa dalam bahasa Indonesia meliputi empat aspek, yaitu keterampilan mendengarkan,berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut disebut juga sebagai catur tunggal keterampilan berbahasa, karena keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan, dan tidak bisa dilepaskan, tetapi berbeda antara satu dengan yang lainnya dan juga berbeda dari segi prosesnya. Pelajaran bahasa Indonesia saat ini ditujukan pada kemampuan siswa menggunakan tutur kata (krama inggil) yang baik dan benar dengan konteksnya atau bersifat pragmatis.

Dengan kata lain, secara pragmatis-komunikatif bahasa Daerah lebih merupakan suatu bentuk performansi dari pada sebagai suatu sistem ilmu. Pandangan ini membawa konsukuensi bahwa pembelajaran bahasa daerah harus lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi daripada pembelajaran tentang ilmu atau pengetahuan kebahasaan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukan bahwa kemampuan berbahasa Daerah terutama kemampuan berbicara siswa sekolah dasar, tepatnya siswa kelas V (lima) SDN Nglames I Kabupaten Madiun masih rendah. Hal ini dilihat dari masih rendahnya Tata krama terutama krama inggil siswa ( sekitar 75% jumah siswa yang ada di SDN Nglames 01 tidak dapat menggunakan tutur bahasa krama inggil dengan baik). Siswa terbiasa menggunakan bahasa ngoko kasar, berbicara kepada guru seperti sama teman, dan sulit memahami materi pembicaraan.

Hal ini tampak pada saat pembelajaran berlangsung, siswa bertanya kepada guru tidak menggunakan bahasa krama inggil. Penyebab juga bisa dari unsur orang tua dimana hampir 70% siswa tersebut Broken Home dikarenakan banyak yang menjadi TKI di luar negeri. Sehingga dirumahpun siswa tidak ada yang memberikan pelajaran Bahasa Daerah (krama Inggil). Hal ini menjadi acuan untuk memperbaiki Tata krama di Sekolah Dasar. Dalam hal ini di SDN Nglames I Kabupaten Madiun sehingga anak memiliki perbendaharaan kata yang banyak dan pada akhirnya siswa memiliki tutur kata untuk mengungkapkan ide,pikiran, dan pengalaman pribadi dengan baik. Selain itu, siswa diharapkan terbiasa menggunakan bahasa Daerah dengan baik dan benar. Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki tata krama terutama dalam kemampuan berbicara. Seperti halnya program berbahasa jawa krama inggil selama 1 bulan. Mengingat begitu pentingnya kemampuan berbicara sebagai salah satu kemampuan dalam mengungkapkan tutur kata serta masih rendahnya kemampuan berbahasa siswa di SDN Nglames I Kabupaten Madiun perlu untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul Upaya Peningkatan Tata Krama Siswa dalam Berkomunikasi di SDN Nglames 1 melalui program 1 bulan berbahasa Jawa.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka secara umum penulis merumuskan masalah penilitian sebagai berikut:Bagaimanakah Upaya meningkatkan Tata Krama Siswa dalam Berkomunikasi di SDN Nglames 1 melalui program 1 bulan berbahasa Jawa? Untuk memperjelas masalah, maka permasalahan di atas dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan berikut: 1. Seberapa baik penggunaan bahasa jawa oleh siswa dalam kehidupan sehari hari? 2. Bagaimana sikap siswa terhadap program 1 bulan berbahasa jawa? 3. seberapa efektif penerapan 1 bulan berbahasa jawa pada siswa di SDN Nglames 1?

C. Tujuan Penelitian Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1. Untuk mengetahui Seberapa baik penggunaan bahasa jawa oleh siswa dalam kehidupan sehari hari? 2. Untuk mengetahui sikap siswa terhadap program 1 bulan berbahasa jawa? 3. Mendeskripsikan seberapa efektif penerapan 1 bulan berbahasa jawa pada siswa di SDN Nglames?

D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: a. Guru Sekolah Dasar 1. Memberikan bagaimana cara berbicara dengan tutur kata yang baik dalam bahasa daerah (krama inggil). 2. Sebagai bahan meningkatkan kemampuan cara komunikasi siswa untuk dapat menghormati orang yang lebih tua b. Siswa 1. Memberikan pengetahuan dan pengalaman kemampuan berbicara terhadap orang yang lebih tua.

2. Menumbuhkan motivasi, meningkatkan aktivitas, memupuk kreativitas serta penuh inisiatif siswa dalam bergaul antara siswa-siswa, siswa-guru, siswamasyarakat. c. Sekolah Dasar 1. Meningkatkan kualitas pengelolaan pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. 2. Hasil penelitian, menjadi masukan bagi sekolah untuk menerapkan penelitian tindakan sekolah dalam proses kominukasi.

E. Asumsi dasar Asumsi dasar penelitian penulis susun seperti dibawah ini : 1. krama inggil adalah bahasa yang kental di jawa yang digunakan dalam komunikasi dan untuk menghormati orang yang lebih tua. 2. semakin lama bahasa daerah terkikis oleh jaman. 3. Penerapan 1 bulan berbahasa jawa adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa. F. Hipotesis Tindakan Hipotesis tindakan penulis susun seperti di bawah ini : 1. Jika Program 1 Bulan bahasa Jawa diterapkan di SDN Nglames 1 maka kemampuan dalam berkomunikasi bahasa jawa siswa akan meningkat G. Definisi Operasional 1. Kemampuan berbicara Tarigan (1981:15) mengemukakan bahwa kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi serta artikulasi atau kata-kata untuk

mengekspresikan,

mengatakan

menyampaikan

pikiran,

gagasan,dan

perasaan. Pendengar menerima informasi melalui rangkaian nada,tekanan,dan penempatan persendian. Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka ditambah lagi dengan gerak tangan dan muka (mimik) pembicara.

H. Metodologi Penelitian 1. Rancangan Penelitian Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif Penelitian Tindakan sekolah dengan pendekatan kualitatif. Tindakan kelas adalah kajian yang bersifat reflektif atas tindakan guru yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas tindakan guna memperbaiki pembelajaran ( Dikbud : 1999 ). Rancangan penelitian yang digunakan mengacu pada model penelitian tindakan sekolah yang dikemukakan oleh Elliot dalam Kasbolah (1997 / 1998) bahwa, pada dasarnya rancangan penelitian ini terdiri atas empat komponen. Yaitu: rencana, tindakan, pengamatan (observasi), dan refleksi.

Penelitian ini terdiri atas siklus yang beralur mulai dari (1) perencanaan, (2) tindakan, (3) pengamatan (observasi), dan (4) perefleksian yang bertujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran.

Dengan menggunakan metode penelitian ini diharapkan pembelajaran berbicara di SDN Nglames 01 Kec. Madiun dapat ditingkatkan.

(1) Perencanaan Pada tahap ini peneliti dan guru secara kolaboratif melakukan prencanaan kegiatan antara lain: a. Mencari solusi b. Membuat Rencana pelaksanaan dengan guru c. Menyusun metode dan alat perekam data berupa angket, catatan lapangan, pedoman wawancara, dan pedoman pengamatan

(2) Tindakan Tindakan dilakukan oleh peneliti atau guru. Dalam hal ini guru mencari problem sendiri dan untuk dipecahkan sendiri melalui tindakan sekolah. Keterlibatan pihak

lain dalam penelitian ini adalah pendukung tercapainya tindakan ini. Seperti peran orang tua dan masyarakat utuk memberikan pembelajaran di luar sekolah. dalam mencari dan mempertajam permasalahan-permasalahan yang dihadapi guru dan siswa, jika layak dipecahkan melalui penelitian tindakan kelas. Jadi dalam penelitian ini guru sebagai peneliti dan juga sebagai praktisi. Konsultasi terhadap pelaksanaan tindakan, kendala-kendala yang dihadapi, serta kesempatan dan peluang yang berkaitan dengan program 1 bulan berbahasa jawa. Data tersebut selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan untuk melakukan refleksi.

(3) Observasi Observasi dilakukan saat tindakan teknik bercerita dilaksanakan. Peneliti melakukan pencatatan untuk mempermudah saat evaluasi terhadap tindakan penerapan program 1 bulan berbahasa jawa dalam komunikasi siswa.

(4) Refleksi Peneliti dan observer mendiskusikan hasil pengamatan kegiatan pelaksanaan tindakan yang telah dilakukan. Materi diskusi melalui kegiatan: a. Melakukan analisis tentang tindakan yang telah dilaksanakan b. Mengulas dan menjelaskan perbedaan rencana dengan pelaksanaan tindakan yang telah dilakukan c. Melakukan interpretasi, pemaknaan, dan penyimpulan data yang diperoleh dan selanjutnya dilihat relevensinya dengan teori serta rencana yang telah ditetapkan.

2. Pengumpulan Data a. Observasi b. Dokumentasi dan pencatatan lapangan c. Data Refleksi d. Data keterkaitan antara rencana, pelaksanaan dan evaluasi

3. Pengelolaan Data a. Pengumpulan data

b. Analisis c. Penyajian data d. Simpulan sementara e. Simpulan akhir

BAB II LANDASAN TEORI A. Kemampuan Berbicara 1. Kemampuan Berbicara sebagai Salah Satu Keterampilan Berbahasa Keterampilan berbahasa (language skill) dikelompokkan oleh Nida dan Harris (dalam Tarigan, 1998 : 1) menjadi empat komponen, yaitu : a. Keterampilan menyimak ( listening skills ) b. Keterampilan berbicara ( speaking skills ) c. Keterampilan membaca ( reading skills ) d. Keterampilan menulis ( writing skills ) Keempat keterampilan berbahasa tersebut pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, artinya antara komponen yang satu dengan komponen yang lainnya memiliki kaitan yang erat, saling mendukung, dan saling menunjang. Oleh karena itu, keempat keterampilan berbahasa tersebut sering disebut catur tunggal. Pemerolehan keterampilan berbahasa biasanya melalui suatu urutan hubungan yang teratur, yaitu mula-mula pada waktu kecil kita belajar menyimak, kemudian berbicara, sesudah itu kita belajar membaca dan terakhir kita belajar menulis. Menyimak dan berbicara dipelajari sebelum memasuki sekolah, sedangkan membaca dan menulis dipelajari sesudah memasuki sekolah. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berbicara merupakan salah satu komponen keterampilan berbahasa. Kemampuan berbicara ini merupakan proses perubahan bentuk pikiran, perasaan atau ide yang mewujudkan bunyi bahasa yang bermakna. Kemampuan berbicara merupakan keterampilan yang produktif, terjadi secara langsung dan ekspresif.

2. Batasan Berbicara Masing-masing pakar memiliki pengertian tentang berbicara berbedabeda. Tarigan ( 1998 : 5 ) mengatakan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Batasan ini diperluas sehingga berbicara merupakan sistem tanda-tanda yang dapat didengar

(audible) dan yang dapat kelihatan (visible) yang memanfaatkan sejumlah otot tubuh manusia demi maksud, tujuan-tujuan, gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Lebih luas lagi, berbicara merupakan bentuk prilaku manusia yang memanfaatkan faktorfaktor fisik, psikologis, neurologis, semantik, dan linguistik secara luas sehingga dapat dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol sosial. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam kegiatan berbicara terjadi proses perubahan wujud pikiran atau perasaan menjadi wujud ujaran atau bunyi bahasa yang bermakna. Berbicara bukan hanya mengucap tanpa makna, melainkan berbicara sebagai kegiatan berbahasa, yaitu menyampaikan pikiran atau perasaan kepada orang lain melalui ujaran atau dengan bahasa lisan, berbicara merupakan suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan, pikiran , ide yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan si pendengar. Sementara Kartini ( dalam Yuanita, 1996 : 15 ) mengungkapkan bahwa berbicara merupakan suatu peristiwa penyampaian maksud, gagasan, ide, pikiran, perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan, sehingga maksud tersebut dipahami oleh orang lain. Berbicara menurut Kridalaksana adalah perbuatan yang menghasilkan bahasa untuk berkomunikasi sebagai salah satu keterampilan dasar dalam berbahasa. Menurut Ahmadi ( 1990 : 18 ) memberi pengertian sebagai suatu keterampilan memproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan, perasaan, dan keinginan kepada orang lain. Kemudian Badudu-Zain (1994 : 180) mengartikan berbicara dengan kata-kata, berpidato, dan bercakap-cakap. Selanjutnya pengertian berbicara yang terdapat dalam speech communication in the classroom ( dalam Yuanita, 1996 : 16 ) berbunyi speech is an activity wilst language is the structural pattern or system we use to convey our messege in speech. Sedangkan berbicara menurut Webster Third New International Dictionary adalah the factually of uttering articulate sound; the power of speaking. Mengacu pada beberapa pengertian berbicara yang diungkapkan para ahli di atas, maka batasan-batasan yang dapat dijadikan kerangka konsep berpikir dalam penelitian ini adalah pendapat Kartini yang

mengungkapkan berbicara merupakan suatu peristiwa penyampaian maksud, gagasan, ide, pikiran, perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan, sehingga maksud tersebut dipahami oleh orang lain.

3. Tujuan Berbicara Tujuan utama berbicara adalah berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif maka seyogyanya si pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikannya, dia harus mampu mengevaluasi efek komunikasinya terhadap para pendengarnya, dan dia harus mengetahui prinsipprinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan. Ochs dan Winker (dalam Tarigan, 1998 : 16) serta Keraf (1989 : 320) mengatakan bahwa pada dasarnya berbicara mempunyai tiga tujuan umum sebagai berikut :

a. Memberitahukan, melaporkan ( to inform ) Bila pembicara ingin memberitahukan atau menyampaikan sesuatu kepada pendengar agar mereka dapat mengerti tentang suatu hal, atau memperluas

bidang pengetahuan mereka, maka tujuan pembicaraan tersebut adalah memberitahukan. Reaksi yang diinginkan dari jenis uraian ini adalah agar pendengar mendapat pengertian yang tepat, menambah pengetahuan mereka tentang hal-hal yang kurang atau belum diketahuinya. Berbicara untuk melaporkan atau memberi informasi (informative speaking) dilaksanakan jika seseorang berkeinginan untuk : 1) Memberi atau menanamkan pengetahuan, 2) Menetapakan atau menentukan hubungan antara benda-benda, 3) Menginterpretasikan atau menafsirkan suatu persetujuan ataupun

menguraikan suatu tulisan ( Tarigan,1998:27 ). Semua hal tersebut merupakan situasi-situasi informativ karena masing-masing ingin membuat pengertian-pengertian menjadi jelas. Jenis atau sifat uraian ini adalah Instruktif atau komposisi yang

mengandung ajaran (Keraf, 1989 : 322)

. b. Menjamu, menghibur ( to entertain ) Bila pembicara bermaksud menghibur atau menyenangkan atau menimbulkan suasana gembira pada suatu pertemuan atau jamuan, maka tujuan pembicaraan tersebut adalah menghibur. Pembicaraan, khususnya bercerita semacam ini biasanya ditemukan ketika orang tua akan menidurkan anaknya, seorang nenek menceritakan pengalaman masa lalunya kepada cucu-cucunya, dan pertemuan gembira lainnya. Kesegaran dan originalitas memainkan peranan yang sangat penting. Humor merupakan alat yang sangat penting dalam penyajian semacam ini. Reaksi yang diharapkan adalah menimbulkan minat dan kegembiraan hati pendengarnya. Jenis dan uraian ini adalah rekreatif, atau menimbulkan kegembiraan dan kesenangan pendengarnya.

c. Membujuk, mengajak, mendesak atau meyakinkan ( to persuade ) Menurut Tarigan ( 1998 : 31 ), Aristoteles pernah mengatakan bahwa persuasi (bujukan,desakan,peyakinan) adalah seni penanaman alasan-alasan atau motif-motif yang menuntun ke arah tindakan bebas yang konsekuensi. Persuasi merupakan tujuan kalau kita menginginkan tindakan atau aksi. Pembicaraan yang besifat persuasi disampaikan kepada pendengar bila kita menginginkan penampilan suatu tindakan atau pengajaran suatu bagian dari suatu tindakan.

Berkaitan dengan hal ini, Keraf (1989 : 321 ) mengatakan bahwa bila pembicara berusaha untuk mempengaruhi keyakinan atau sikap mental atau intelektual pendengar, maka pembicaraan ini bertujuan untuk meyakinkan. Pada umumnya bercerita yang disampaikan mengandung tujuan dan alat yang esensial dari komposisi lisan semacam ini adalah narasi, karena itu komposisi semacam ini biasanya disertai bukti-bukti atau fakta-fakta yang kongkret atau bahkan juga bisa berupa ilustrasi saja. Dengan demikian reaksi yang diharapkan dari pendengar adalah timbulnya kesesuaian cerita. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan terhadap tujuan berbicara

di atas, maka dalam penelitian ini yang akan digunakan yaitu memberitahukan, meyakinkan, dan bahkan menyenangkan.

4. Ciri Khusus Berbicara Berbicara memiliki beberapa ciri-ciri khusus,Soedirman (dalam Yunita,1996: 50) mengemukakan tujuh macam ciri khusus dalam adalah : a. Bertujuan Kegiatan berbicara membawa seseorang untuk mencapai tujuannya. Dengan berbicara dapat dicapai tujuan yang telah direncanakan siswa, seperti memberitahukan, membujuk, meyakinkan, dan menyenangkan. berbicara. Ciri-ciri tersebut

b. Bersifat interaktif Kegiatan berbicara bersifat interaktif. Artinya kegiatan berbicara itu tidak hanya mengisyaratkan hadirnya pembicara dan pendengar saja, melainkan diperlukan adanya dialog, tanya jawab, interaksi atau saling menanggapi antara kedua belah pihak selama proses komunikasi berlangsung.

c. Kesementaraan Proses komunikasi atau kegiatan berbicara ini bersifat sementara, artinya komunikasi tersebut hanya berlangsung selama proses berbicara atau proses komunikasi itu terjadi. Seudah itu tidak dapat ditemukan dan diulang lagi, pengulangan sebuah proses komunikasi atau berbicara selalu tidak akan sama dengan aslinya, sedangkan yang bersifat nonsuara, seperti gerak-gerik, mimik tidak mungkin masuk ke dalam rekaman atau kaset. Disinilah letak kesementaraannya.

d. Terjadi dalam bingkai khusus Soedirman ( dalam Yunita, 1996 : 22 ) mengatakan bahwa bingkai khusus berbicara terdiri dari empat macam. Keempat macam bingkai khusus tersebut adalah :

1) komunikasi hanya terjadi dalam waktu tertentu, 2) komunikasi mengambil tempat tertentu, 3) komunikasi selalu mengambil topik tertentu, dan 4) kedua belah pihak dalam keadaan siap. Kegiatan berbicara ini umumnya dilakukan pada saat-saat tertentu, artinya kegiatan berbicara selalu memilih wadah tertentu dan tidak bersifat setiap saat. Memilih wadah tertentu maksudnya memerlukan halhal seperti tempat,waktu, dan topik.

e. Alfa tanda baca Dalam kegiatan berbicara, tanda baca tidak begitu dihiraukan seperti halnya dalam menulis. Hal ini disebabkan karena tanda baca bukanlah tanda bunyi, oleh karena itu tidak diucapkan oleh pembicara. Dengan demikian, dalam komunikasi lisan banyak terjadi pengulangan kata-kata yang bersifat menekankan, mengulang, dan menanyakan. Ciriciri khusus ini ditandai dengan adanya pemakaian aksen dan intonasi, banyaknya kalimat yang panjang, struktur kalimat yang panjang, dan adanya penyimpangan kaidah bahasa.

f. Kata-kata terbatas Selama pembicaraan berlangsung, terjadinya penggunaan katakata yang terbatas sering terjadi dan sukar dihindari. Hal ini disebabkan tidak adanya waktu bagi pembicara untuk memilih kata-kata. Di samping itu,tuntutan spontanitas diharapkan oleh pendengarnya, akibatnya sering kita temukan pemakaian kata atau frase tertentu dengan frekuensi pemakian yang sama. Beberapa hal yang menyebabkan keterbatasan ini adalah waktu yang sangat terbatas dan lawan bicara yang langsung berhadapan. Memilih kata-kata berarti menghambat kelancaran komunikasi dan banyak waktu yang terbuang, akhirnya kata-kata tertentu memiliki frekuensi yang cukup besar.

g. Pengalaman

Pengalaman yang dimiliki seorang pembicara akan menentukan mahir tidaknya seorang pembicara di muka umum. Makin banyak variasi pengalaman yang dimiliki pembicara tersebut, makin banyak pula variasi berbicara yang dimilikinya. Karena itu, orang yang kurang berpengalaman dalam berbicara di muka umum akan mengalami kesukaran bila terpaksa harus terlibat di dalam kegiatan berbicara tersebut.

5. Metode Penyajian Berbicara Maksud dan tujuan pembicaraan, kesempatan, pendengar, ataupun waktu untuk persiapan dapat menentukan metode penyajian atau pembicara sendiri dapat menentukan yang terbaik dari empat metode yang mungkin dipilih, yaitu : 1) metode penyampaian secara mendadak, 2) metode ekstemporan (penyampaian tanpa persiapan naskah), 3) metode naskah, dan 4) metode menghafal atau penyampaian dari ingatan ( Keraf 1989: 316; Tarigan 1998 : 24). Beberapa metode-metode di atas dapat digabungkan untuk mencapai hasil yang lebih baik dan yang paling sering dilakukan adalah penggabungan antara metode naskah dengan metode ekstemporan. Pembicara menyiapkan uraiannya secara mendalam dan terperinci dengan menyiapkan sebuah naskah tertulis, namun ia tidak membaca seluruh naskah itu karena menguasai bahan dalam naskah itu. Pembicara akan berbicara secara bebas, sedangkan naskah itu hanya dipakai untuk membantunya dalam urutan-urutan gagasan yang akan dikemukakan.

Pentingnya Tata Krama Tata krama atau adat sopan santun atau yang biasa disebut etiket telah menjadi bahan dalam hidup kita, ia telah menjadi persyaratan dalam hidup sehari-hari, malahan menjadi meningkat dan sangat berperan untuk memudahkan manusia diterima di masyarakatnya. Pada waktu anda masih kanak-kanak, secara tidak sadar orang tua anda telah melatih anda agar menerima pemberian orang dengan tangan kanan,lalu mengucapkan terima

kasih. Tata krama adalah kebiasaan. Kebiasaan ini merupakan tata cara yang lahir dalam hubungan antar manusia. Kebiasaan ini muncul karena adanya aksi dan reaksi dalam pergaulan. Sebagai contoh, kalau orang indonesia setuju dengan apa yang dikemukakan ia akan mengangguk- anggukan kepalanya. Sebaliknya di negeri lain ada yang menyatakan setuju dengan menggelenggelengkan kepalanya. Orang tua anda juga melatih anda cara makan,minum, menyapa, memberi hormat, berbicara, berpakaian, dan bersikap jika ada tamu yang datang kerumah anda. Lama kelamaan prilaku anda terbentuk menjadi suatu kebiasaan, tanpa memikirkan mengapa anda harus bertindak seperti yang demikian.

Tata krama yang semula berlaku dalam lingkungan terbatas, lama kelamaan dapat merambat kelingkungan masyarakat yang lebih luas. Banyak manusia yang memiliki jenis manusia tipe durian, yaitu orang yang penampilannya tidak menarik, kasar, dan tidak mengundang simpati, namun berhati emas. Hatinya diliputi sifat-sifat terpuji, seperti rendah hati, suka memaafkan, suka menolong, dan menghargai orang, serta tidak menyakiti orang lain. Manusia tipe kedong-dong akan dijauhi orang setelah merasakan betapa asam sifat-sifatnya. Di sinilah letak betapa pentingnya tata krama. Orang yang mengenal dan menerapkannya akan melahirkan penampilan yang menarik seperti kulit kedongdong,dan perhatian itu tepancar dari hati seperti isi durian.

Pengertian Tata Krama


Menurut pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Pengertian Tata krama adalah kebiasaan sopan santun yang disepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia setempat. Tata krama terdiri atas tata dan

krama. Tata berarti adat, aturan , norma, peraturan. Krama berarti sopan santun, kelakuan tindakan, perbuatan. Dengan demikian, tata krama berarti adab sopan santun, kebiasaan sopan santun, atau sopan santun.

Tata krama adalah tata cara atau aturan turun-temurun yang berkembang dalam suatu budaya masyarakat yang mengatur pergaulan antar individu maupun kelompok untuk saling pengertian, hormat-menghormati menurut adat yang berlaku. Tata krama mengandung nilai-nilai yang berlaku pada daerah setempat. Oleh karena itu tata krama suku bangsa yang satu tentu berbeda dengan suku bangsa yang lain. Tata krama, etika, atau sopan santun yang dimiliki oleh suku bangsa Jawa tidak terlepas dari sifat-sifat halus dan kasar. Tata krama suku bangsa Jawa terlihat dalam etiketnya meliputi banyak segi seperti unggah-ungguh, suba sita dan lain-lain, kesemuanya mencakup hubungan selengkapnya antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam sekitarnya.

Tata krama antara manusia dengan sesamanya dibedakan antara yang muda dengan yang tua (anak-orang tuaa, kakak-adik, murid-guru), atasan dengan bawahan, dengan yang sebaya dan sebagainya. Adanya

pengelompokan tatanan dalam berinteraksi tersebut mengharuskan manusia Jawa untuk berperilaku atau berbicara dengan melihat posisi, peran serta kedudukan dirinya dan posisi lawan. Tata krama suku bangsa Jawa tidak hanya tampak pada tatanan bahasa yang digunakan, tetapi juga pada gerakan tubuh atau badan. Dari isyarat gerakan tubuh maupun tatanan bahasa yang digunakan dapat diketahui dengan siapa seseorang berhadapan. Tata krama yang sangat menonjol pada keluarga Jawa adalah tata krama dalam percakapan sehari-hari dan bahasa yang digunakan. Berbahasa Jawa krama / halus adalah pernyataan menghargai atau menghormati kepada orang yang diajak bicara, yang juga tampak dalam sikap dan tingkah laku, raut muka dan sebagainya. Berbagai tata krama Jawa

diajarkan sejak anak masih kecil, dengan harapan bisa menggunakan tata krama tersebut di mana pun dan kapan pun. Tentu saja penggunaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.

Di dalam masayarakat berbagai unsur misal kebiasaan, adat istiadat dan norma-norma yang berlaku turut menentukan perilaku seseorang. Di dalam masyarakat kadang seorang anak mendapat pengaruh yang sangat besar. Sebab di dalam masyarakat bertemu berbagai lapisan masyarakat yang sangat beragam dengan latar belakang sosial budaya yang beragam pula. Seseorang yang melanggar tata krama akan mendapatkan sangsi dari yang ringan sampai yang berat tergantung tata krama yang dilanggarnya.

Bagi masyarakat Jawa tata krama berfungsi sebagai kontrol sosial dan lebih ditekankan sebagai bentuk penghormatan kepada yang lebih tua. Sikap ini karena pada dasarnya sangat sangat berhubungan dengan prinsip hidup orang Jawa yang selalu berpijak pada sikap hormat dan rukun. Sikap tersebut bertujuan untuk menciptakan suatu keselarasan, keharmonisan dan

menjauhkan dari timbulnya konflik /pertentangan. Tata krama Jawa sesuai dengan perkembangan jaman juga mengalami perubahan atau bergeser, terutama tata krama yang berkaitan dengan berbicara, mengeluarkan pendapat, tata cara makan dan minum serta cara bertegur sapa. Sekarang terdapat kecenderungan pemakaian bahasa Jawa halus mulai berkurang, sebagai pengganti bahasa Jawa ngoko atau bahkan bahasa Indonesia. Dalam hal mengemukakan pendapat sekarang lebih terbuka, apa adanya sebatas tidak menyinggung orang lain. Tata cara bertegur sapa lebih bersifat santai, tidak terlalu banyak basa-basi dan berbicara langsung pada pokok persoalan.

Agar tata krama di kalangan generasi muda tetap terjaga dengan baik maka orang tua, guru atau yang dituakan harus selalu menanamkan nilai-nilai tata krama tersebut di samping memberi contoh langsung

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini adalah rancangan penelitian tindakan kelas. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri atau karakteristik penelitian tindakan kelas masalah penelitian tindakan kelas berasal dari permasalahan yang timbul dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari yang dihadapi guru (Kasbolah dalam

Suyanto,1997/1998:23). Penelitian tindakan kelas lebih dikenal dengan nama yang popular yaitu practical inquiry, karena jenis penelitian ini mengacu pada apa yang dilakukan guru untuk memperbaiki proses pengajaran yang menjadi tanggung jawabnya (Depdikbud, 1996/1997 b:4). Penelitian tindakan kelas adalah penelitian tindakan bidang pendidikan yang dilaksanakan dalam kawasan sebuah kelas tempat guru melaksanakan tugasnya, yang bertujuan memperbaiki pembelajaran di kelas Suyanto dalam Kasbolah,1997/1998). Selanjutnya definisi dari penelitian tindakan kelas dikemukakan oleh (Kasbolah, dalam Kemmis dan Car 1986) bahwa penelitian tindakan merupakan bentuk penelitian yang bersifat reflektif yang dilakukan oleh pelaku dalam masyarakat sosial dan bertujuan untuk memperbaiki pekerjaannya, memahami pekerjaan ini, serta situasi dimana pekerjaan ini dilakukan. Lebih lanjut bahwa cara terbaik untuk memajukan orang adalah dengan melibatkan mereka dalam penelitian mereka sendiri dan yang ada dalam kehidupan mereka. Tujuan dari penelitian tindakan kelas adalah untuk meningkatkan (1) kualitas praktik pembelajaran di sekolah, (2) relevensi pendidikan, (3) mutu hasil pendidikan, dan (4) efisiensi pengelolaan pendidikan. (Suyanto, 1997; Hasan, Sukaryana, Wahjoedi, 1997 dalam Kasbolah 1997/1998 : 32). Oleh karena itu, fokus penelitian tindakan kelas ini berupa tindakan alternatif yang akan digunakan untuk memecahkan persoalan di kelas sehingga tujuan dapat tercapai. Tindakan alternatif yang sudah direncanakan, dicobakan dan selanjutnya dievaluasikan

apakah tindakan-tindakan alternatif ini dapat igunakan untuk memecahkan masalah pembelajaran yang sedang dihadapi oleh guru atau kemungkinan tidak. Bentuk penelitian tindakan kelas yang penulis gunakan adalah penelitian tindakan kelas yang bersifat guru sebagai peneliti. Hal ini sesuai dengan pendapat Kasbolah, yang menyatakan bahwa : Bentuk tindakan kelas yang memandang guru sebagai peneliti memiliki ciri penting, yaitu sangat berperannya guru itu sendiri dalam proses penelitian tindakan kelas. Dalam bentuk ini tujuan utama penelitian tindakan kelas ialah untuk meningkatkan praktek-praktek pembelajaran di kelas tempat guru terlibat secara penuh dalam proses perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi (Kasbolah, 1997/1998 : 122). Penulis mengambil bentuk penelitian ini, karena penelitian tindakan guru sebagai peneliti merupakan bentuk penelitian tindakan kelas yang memandang guru sebagai peneliti dan memiliki ciri yang penting yaitu berperannya guru itu sendiri dalam proses penelitian tindakan kelas. Dalam hal ini guru mencari masalah sendiri dan untuk dipecahkan sendiri melalui penelitian tindakan kelas. Jika peneliti melibatkan pihak lain, maka peranannya bersifat membantu. Keterlibatan pihak lain hanya bersifat tempat konsultasi atau konsultatif dalam mencari dan memperjelas permasalahanpermasalahan yang dihadapi guru, jika layak dipecahkan melalui penelitian tindakan kelas. Dalam penelitian ini dapat dianggap guru sebagai peneliti dan juga sebagai pelaksana.

B. Tahap-tahap Penelitian Dalam tahap-tahap penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu tahap studi pendahuluan dan tahap pelaksanaan penelitian meliputi perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi. 1. Tahap Studi Pendahuluan penulis merumuskan masalahmasalah tersebut ke dalam pertanyaan penelitian. Rumusan masalah disusun berdasarkan penemuan masalah-masalah, kemudian penulis menguraikan tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian Pada pelaksanaan penelitian ini, model penelitian tindakan kelas yang digunakan adalah model siklus secara berulang dan berkelanjutan (spiral) yang berarti semakin lama diharapkan semakin meningkatkan perubahan atau pencapaian hasil yang lebih baik. Penelitian dilakukan melalui empat langkah, yakni : a. Merencanakan tindakan berdasarkan masalah yang dirumuskan, b. Observasi dilakukan saat tindakan teknik bercerita dilaksanakan. c. Refleksi yang dilakukan penulis dan guru yaitu mengevaluasi tindakan yang dilakukan dan menetapkan kemajuan atau perubahan dalam kemampuan berbicara siswa. d. Revisi dilakukan setelah penulis dan guru melakukan refleksi. Pelaksanaan Tindakan, Refleksi II Pelaksanaan Tindakan penelitian. Refleksi I

Siklus I Siklus pertama dalam PTK terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi sebagai berikut :

1. Perencanaan (Planing) Merumuskan masalah yang timbul Peneliti dan guru melakukan analisis kurikulum untuk mengetahui kompetensi dasar yang akan disampaikan kepada siswa dengan menggunakan teknik bercerita Membuat Rencana Pelaksanaan Membuat media pembelajaran Menbuat instrumen yang digunakan dalam siklus PTK Menyusun alat evaluasi pembelajaran

2. Pelaksanaan (Acting)

Pelaksanaan ini meliputi kegiatan melaksanakan proses pembelajaran yang telah disusun termasuk melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu diantaranya: Menyajikan materi pembelajaran sesuai RPP yang telah disusun Peneliti membimbing selama pembelajaran berlangsung Siswa diberi kesempatan untuk menceritakan pengalaman pribadi Siswa diberi kesempatan untuk memberi tanggapan terhadap cerita Temannya

3. Pengamatan (Observing) Pengamatan ini meliputi kegiatan-kegiatan terdiri atas: Menghimpun temuan dan masukan yang diperoleh selama proses kegiatan penelitian, baik temuan dari siswa Keaktifan siswa dalam kegiatan belajar mengajar tentang bercerita Kemampuan siswa dalam berbicara saat bercerita dan memberi tanggapan Merencanakan kembali tindakan-tindakan yang akan dilakukan dalam mencapai tujuan penelitian yang diharapkan

4. Refleksi (Reflecting) Penelitian ini berhasil jika memenuhi beberapa syarat sebagai berikut : Sebagian besar siswa berani dan mampu bercerita (menceritakan pengalaman pribadi) secara urut Sebagian besar siswa berani memberi tanggapan terhadap cerita teman Sebagian besar siswa dapat tampil berbicara dengan baik dan benar serta penuh percaya diri Membuat perencanaan baru untuk melakukan tindakan berikutnya

Siklus II Siklus kedua dilaksanakan jika pada siklus pertama masih kurang atau perlu perbaikan tindakan. Penelitian ini mengkaji lebih lanjut komponen pembelajaran yang telah disusun sesuai hasil evaluasi dari siklus pertama selanjutnya merevisi

komponen-komponen pembelajaran tersebut sesuai dengan keperluan.Untuk itu, dilakukan tahapan yang sama dengan siklus pertama, yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. 1. Perencanaan (Planing) Peneliti membuat rencana pembelajaran berdasarkan hasil refleksi pada siklus 1 (satu) 2. Pelaksanaan (Acting) Peneliti melaksanakan pembelajaran kegiatan bercerita berdasarkan rencana pembelajaran hasil refleksi pada siklus 1 3. Pengamatan (Observing) Peneliti bersama observer melakukan pengamatan terhadap aktifitas

pembelajaran dengan menggunakan teknik bercerita 4. Refleksi (Reflecting) Mewawancarai sejumlah siswa untuk memperoleh informasi hasil belajar melalui teknik bercerita (story telling) untuk meningkatkan kemampuan berbicara Melakukan tes tentang kemampuan berbicara melalui teknik bercerita Peneliti bersama observer melakukan refleksi terhadap siklus 2

DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Mukhsin. (1990). Strategi Belajar-Mengajar, Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra. Malang: YA3. Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi IV. Jakarta : Rineka Cipta. BSNP. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Dasar. Jakarta : Depdiknas. Kasbolah, K. (1999). Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Jakarta : Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Dirjen Dikti, Depdikbud. Keraf, Gorys. (1989). Komposisi (Sebuah Pengantar Kemahiran berbicara). Flores : Nusa Indah. Moeslichatoen. R. (1996). Metode Bercerita Untuk Anak Usia Dini. Jakarta : Depdiknas. Moleong, Lexy J. (1999). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Nurlaily, dkk.(2010). Penerapan Strategi Pembelajaran Melalui Bercerita Dengan Pendekatan Konstruktivik. Mata Kuliah Strategi Pembelajaran anak Usia Dini. Pendidikan Prasekolah dan Sekolah Dasar. Fakultas Ilmu Pandidikan. Universitas Negeri Yogyakarta. [Online]. Tersedia : http:// himapauduny. Blogdrive.com/archive/1.html [20 Mei 2011]. Susilawani, D.(2009). Selusin Manfaat Bercerita. [Online]. Tersedia: ruangbacadesri. web.id/posts//selusin_manfaat_bercerita. [20 Mei 2011]. Tarigan, H.G. (1998). Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Wiriaatmadja, R. (2006). Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung : remaja.

You might also like