You are on page 1of 13

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pemerintah mulai mengenalkan konsep puskesmas yang tertuang dalam Pembangunan Jangka Panjang (PJP) pada tahun 1968. Puskesmas dibangun untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar, menyeluruh, dan terpadu bagi seluruh masyarakat yang tinggal di wilayah kerjanya. Program kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas merupakan program pokok yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah untuk melindungi warga negaranya, termasuk mengembangkan program khusus untuk penduduk miskin. Sejak 32 tahun, puskesmas dikembangkan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di Indonesia, reformasi, dan system desentralisasi yang mulai dikembangkan tahun 2001 menghendaki adanya perubahan visi, misi, dan strategi puskesmas. Kebutuhan untuk kembali mengkaji kembali peran dan manajemen puskesmas tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Reformasi kebijakan kesehatan merupakan strategi jangka panjang pembangunan berwawasan kesehatan untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2010. Untuk itu, perawat komunitas harus mengetahui dan memahami program kerja puskesmas yang merupakan pelayanan keperawatan lini pertama dalam komunitas. B. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami penerapan Sistem Manajemen K3 (SMK3) di Rumah Sakit dan untuk melengkapi tugas mata kuliah Penjaminan Mutu dalam Keperawatan.

C. Manfaat a. Bagi Institusi Sebagai referensi perpustakaan dan bahan bacaan dalam menambah wawasan pengetahuan serta diharapkan sebagai masukan bahan materi dalam kegiatan belajar mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Harapan Bangsa Purwokerto. b. Bagi Pembaca Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai bahan bacaan bagi pembaca.

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Puskesmas Pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat di samping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Puskesmas juga dapat didefinisikan sebagai unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja (Depkes RI,2004). Dengan kata lain puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya.

B. Fungsi Puskesmas Berikut ini merupakan fungsi puskesmas beserta proses dalam melaksanakan fungsi tersebut. a. b. Sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat c. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya d. e. Langkah manajemen 1) Komitmen dan Kebijakan Komitmen diwujudkan dalam bentuk kebijakan (policy) tertulis, jelas dan mudah dimengerti serta diketahui oleh seluruh karyawan RS. Manajemen RS mengidentifikasi dan menyediakan semua sumber daya esensial seperti pendanaan, tenaga K3 dan sarana untuk terlaksananya program K3 di RS. Kebijakan K3 di RS diwujudkan dalam bentuk wadah K3 RS dalam struktur organisasi RS. Untuk melaksanakan komitmen dan kebijakan K3 RS, perlu disusun strategi antara lain : a) Advokasi sosialisasi program K3 RS b) Menetapkan tujuan yang jelas c) Organisasi dan penugasan yang jelas
2

d) Meningkatkan SDM profesional di bidang K3 RS pada setiap unit kerja di lingkungan RS e) Sumberdaya yang harus didukung oleh manajemen puncak f) Kajian risiko (risk assessment) secara kualitatif dan kuantitatif g) Membuat program kerja K3 RS yang mengutamakan upaya peningkatan dan pencegahan h) Monitoring dan evaluasi secara internal dan eksternal secara berkala 2) Perencanaan a) Identifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktor risiko Identifikasi sumber bahaya yang ada di RS berguna untuk menentukan tingkat resiko yang merupakan tolak ukur kemungkinan terjadinya kecelakaan dan PAK (penyakit akibat kerja). Sedangkan penilaian faktor resiko merupakan proses untuk menentukan ada tidaknya resiko dengan jalan melakukan penilaian bahaya potensial yang menimbulkan resiko kesehatan dan keselamatan. Pengendalian faktor resiko di RS dilaksanakan melalui 4 tingkatan yakni menghilangkan bahaya, menggantikan sumber resiko dengan sarana atau peralatan lain yang tingkat resikonya lebih rendah bahkan tidak ada resiko sama sekali, administrasi, dan alat pelindung pribadi (APP). b) Membuat peraturan. Peraturan yang dibuat tersebut merupakan Standar Operasional Prosedur yang harus dilaksanakan, dievaluasi, diperbaharui, serta harus dikomunikasikan dan disosialisasikan kepada karyawan dan pihak yang terkait. c) Menentukan tujuan (sasaran dan jangka waktu pencapaian) d) Indikator kinerja yang harus diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3 dan sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian SMK3 RS. e) Program K3 ditetapkan, dilaksanakan, dimonitoring, dievaluasi dan dicatat serta dilaporkan. 3) Pengorganisasian Pelaksanaan K3 di RS sangat tergantung dari rasa tanggung jawab manajemen dan petugas, terhadap tugas dan kewajiban masing-masing serta kerja sama dalam pelaksanaan K3. Tanggung jawab ini harus ditanamkan melalui adanya aturan yang jelas. Pola pembagian tanggung jawab, penyuluhan kepada semua petugas, bimbingan dan latihan serta penegakkan disiplin. a) Tugas pokok unit pelaksana K3 RS
3

1. Memberi rekomendasi dan pertimbangan kepada direktur RS mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan K3. 2. Merumuskan kebijakan, peraturan, pedoman, petunjuk pelaksanaan dan prosedur. 3. Membuat program K3 RS b) Fungsi unit pelaksana K3 RS 1. Mengumpulkan dan mengolah seluruh data dan informasi serta

permasalahan yang berhubungan dengan K3 2. Membantu direktur RS mengadakan dan meningkatkan upaya promosi K3, pelatihan dan penelitian K3 di RS 3. Pengawasan terhadap pelaksanaan program K3 4. Memberikan saran dan pertimbangan berkaitan dengan tindakan korektif 5. Koordinasi dengan unit-unit lain yang menjadi anggota K3RS 6. Memberi nasehat tentang manajemen k3 di tempat kerja, kontrol bahaya, mengeluarkan peraturan dan inisiatif pencegahan 7. Investigasi dan melaporkan kecelakaan, dan merekomendasikan sesuai kegiatannya 8. Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan baru, pembangunan gedung dan proses.

C. Struktur Organisasi K3 di RS Berdasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 432 tahun 2007 bahwa Organisasi K3 berada 1 tingkat di bawah direktur, bukan kerja rangkap dan merupakan unit organisasi yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur RS. Hal ini dikarenakan organisasi K3 RS berkaitan langsung dengan regulasi, kebijakan, biaya, logistik dan SDM di rumah sakit. Nama organisasinya adalah unit pelaksana K3 RS, yang dibantu oleh unit K3 yang beranggotakan seluruh unit kerja di RS. Keanggotaan: a. Unit pelaksana K3 RS beranggotakan unsur-unsur dari petugas dan jajaran direksi RS. Akan sangat efektif bila ada yang berlatarbelakang pendidikan K3. b. Unit pelaksana K3 RS terdiri dari sekurang-kurangnya ketua, sekretaris dan anggota. Pelaksanaan tugas ketua dibantu oleh wakil ketua dan sekretaris serta anggota. c. Ketua unit pelaksana K3 RS sebaiknya adalah salah satu manajemen tertinggi di RS atau sekurang-kurangnya manajemen dibawah langsung direktur RS.

d.

Sedang sekretaris unit pelaksana K3 RS adalah seorang tenaga profesional K3 RS, yaitu manajer K3 RS atau ahli K3 (berlatarbelakang pendidikan K3).

BAB III ISI DAN PEMBAHASAN

A. Studi Kasus a. Kasus 1 Jakarta, bagi para perawat, bekerja di klinik kanker butuh kehati-hatian ekstra. Sedikit saja kesalahan tidak hanya membahayakan pasien, tetapi juga diri sendiri karena kontak langsung dengan obat-obat kemoterapi dapat menyebabkan keracunan. Para peneliti dari University of Michigan mengungkap, kontak langsung dengan kulit atau mata bisa membuat obat-obat kemoterapi atau obat kanker bisa terserap oleh tubuh. Bagi para perawat yang setiap hari menangani obat-obatan tersebut, hal ini bisa berdampak serius. Paparan obat kemoterapi yang tidak disengaja bisa membuat para perawat mengalami gangguan sistem saraf dan reproduksi. Bahkan saat baru terserap dan masuk ke sistem peredaran darah, racun-racun tesebut juga sudah bisa memicu risiko kanker darah. "Kontak apapun di permukaan kulit atau mata sama bahayanya dengan tertusuk jarum suntik. Untuk kecelakaan jarum suntik, perawat biasanya langsung mendapat pemeriksaan namun pada obat-obat kemoterapi jarang diperhatikan," ungkap salah seorang peneliti, Dr
5

Christopher Friese seperti dikutio dari MSN Health, Rabu (24/8/2011). Penelitian yang dilakukan Dr Friese dan timnya menunjukkan, 17 persen perawat yang bekerja di klinik kanker mengaku pernah terlibat kontak langsung dengan obat kemoterapi baik di kulit maupun mata. Data ini diperoleh setelah mensurvei 1.339 perawat di seluruh Amerika. Lembaga keselamatan dan kesehatan kerja di Amerika Serikat sebenarnya sudah punya panduan tentang cara penanganan obat kanker yang aman. Namun karena sifatnya tidak diwajibkan, hanya sebagian saja perawat yang sudah menerapkan panduan tersebut sedangkan sisanya kurang mematuhinya. Salah satu imbauan yang tercantum dalam panduan tersebut adalah, para perawat yang menangani obat-obat kemoterapi harus memakai perlengkapan tertentu untuk melindungi dirinya. Perlengkapan itu terdiri dari sarung tangan dan juga gaun khusus untuk melindungi tubuh dari tumpahan obat. b. Kasus 2 Jakarta, di tempat kerja, ancaman terhadap kesehatan reproduksi bisa datang dari penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya. Salah satu profesi yang rentan mengalami gangguan reproduksi akibat penggunaan bahan-bahan tersebut adalah tenaga

kesehatan. Pakar kesehatan kerja dari Universitas Indonesia, Dr dr Astrid W Sulistomo, MPH, SpOk (spesialis okupansi atau spesialis kesehatan dan keselamatan kerja) mengatakan pejanan gas-gas anestesi di rumah sakit dalam jangka panjang bisa memicu ketidaksuburan baik pada pria maupun wanita. Pada ibu hamil, risikonya adalah kelainan kongenital atau pertumbuhan struktur organ pada janin. Ancaman bagi kehamilan juga bisa datang dari pejanan obat-obat kanker atau antineoplastik dalam waktu yang lama dan terus menerus. Selain memicu kelainan kongenital seperti halnya gas anestesi, obat-obat antineoplastik juga bisa memicu keguguran atau abortus spontan. "Menurut penelitian, pekerja di sektor kesehatan dan manufaktur paling rentan mengalami gangguan reproduksi. Khusus di negara berkembang, yang paling rentan adalah pertanian akibat penggunaan pestisida," ungkap Dr Astrid dalam seminar Kesehatan Reproduksi di Tempat Kerja di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (1/3/2011). Selain akibat pejanan bahan-bahan kimia, Dr Astrid mengatakan ancaman di tempat kerja bisa datang dari pejanan fisik seperti suhu yang terlalu panas. Pejanan fisik berupa temperatur tinggi antara lain mengancam para pekerja di peleburan baja, tukang las dan koki atau juru masak. Risikonya memang lebih banyak mengancam pria, antara lain memicu ketidaksuburan atau oligospermia serta menurunkan libido atau gairah seks. Namun ada juga pejanan fisik yang mengancam wanita, misalnya getaran mesin yang bisa memicu keguguran atau kelahiran prematur.
6

Meski demikian Dr Astrid mengatakan tidak semua risiko tersebut didukung dengan bukti ilmiah yang kuat, beberapa di antaranya masih berupa dugaan. Misalnya gas anestesi, pengaruhnya terhadap kesehatan reproduksi masih inkonklusif atau belum disimpulkan sementara obat antineoplastik pengaruhnya sudah didukung bukti kuat.

c. Kasus 3 Taiwan, sebanyak 5 orang penerima donor organ di 2 rumah sakit terkemuka Taiwan tengah diambang terinfeksi virus HIV (Human Imunodeficiency Virus) setelah sang pendonor organ belakangan diketahui sebagai penderita HIV positif. Kelima orang tersebut melakukan transplantasi organ (cangkok organ tubuh) di 2 rumah sakit terbaik di Taiwan pada 24 Agustus 2011. Empat orang melakukan transplantasi organ di National Taiwan University Hospital (NTUH) dan 1 orang lagi di National Cheng Kung University Hospital untuk transplantasi jantung. Kasus transplantasi organ dari penderita HIV ini membikin geger Taiwan dan kalangan medis dunia. Departemen kesehatan Taiwan melakukan investigasi khusus untuk mengungkap kasus tersebut dan menyelamatkan 5 orang yang kemungkinan besar terkena HIV tersebut. Hasil penyelidikan sementara Departemen Kesehatan Taiwan, kesalahan fatal tersebut akibat human error (kesalahan manusia). Salah seorang petugas yang ikut dalam proses transplantasi tersebut salah mendengar informasi yang diberikan melalui telpon tentang hasil tes darah si pendonor organ. Petugas tersebut percaya ia mendengar kata dalam bahasa Inggris 'non reaktif' dari hasil tes standar si pendonor organ, padahal yang sebenarnya diberitahukan adalah kata 'reaktif'. Informasi tentang hasil tes yang diberikan melalui telpon itu juga tidak diperiksa lagi seperti yang dipersyaratkan dalam prosedur standar. Kemudian hasil tes tidak dikonfirmasikan lagi dengan tim dokter yang akan melakukan transplantasi. "Kami sangat meminta maaf atas kesalahan itu," bunyi pengumuman rumah sakit itu seperti dilansir dari focustaiwannewschannel, Minggu (4/9/2011). Pejabat departemen kesehatan Taiwan Shih Chung-liang mengatakan akan melihat kesalahan dan memutuskan hukuman kepada rumah sakit tersebut. Jika ditemukan kelalaian yang telah menyebabkan kesalahan fatal itu, rumah sakit mungkin harus menghentikan program transplantasi selama satu tahun di samping denda yang akan diberikan. Si pendonor organ adalah seorang pria berusia 37 tahun yang mengalami koma setelah jatuh dari ketinggian pada 24 Agustus 2011. Si pendonor memang telah mendaftarkan untuk donor organ dengan memberikan jantung, hati, paru-paru dan 2 ginjalnya yang oleh rumah sakit ditranplantasikan pada hari yang sama. Kepala
7

departemen kesehatan kota Hsinchu, Ke-wu yao mengecam transplantasi yang dilakukan rumah sakit itu sebagai kelalaian yang mengerikan. Kota Hsinchu adalah tempat tinggal si pendonor tersebut. Ke-wu yao mengatakan rumah sakit bisa menghindari kesalahan tersebut dengan meminta riwayat medis si pendonor di kota asalnya. Ke-wu yao mengatakan ke-5 orang penerima donor organ itu sangat mungkin tertular HIV. Dan pengobatan untuk mereka akan semakin rumit karena selain minum obat-obatan transplantasi untuk menghindari penolakan terhadap organ baru, mereka juga harus minum obat untuk HIV. Kekhawatiran juga terjadi pada petugas medis yang melakukan operasi transplantasi tersebut. Beberapa dokter dan perawat yang telah melakukan transplantasi mengalami depresi dan di ambang kepanikan. National Taiwan University Hospital adalah salah satu rumah sakit terbaik dan sangat dipercaya di Taiwan terutama dalam operasi transplantasi organ. Rumah sakit tersebut telah berdiri sejak tahun 1895 dan menjadi pusat riset medis yang sangat disegani.

B. Pembahasan Kasus Dari ketiga kasus diatas, jelas terlihat bahwa bahaya potensial di rumah sakit selalu bisa terjadi. Bahaya potensial tersebut dapat menimbulkan dampak kesehatan bagi warga rumah sakit, yaitu pekerja medis, non medis, pasien bahkan pengunjung dan pengantar pasien. Bahaya potensial di rumah sakit berkaitan dengan : 1. 2. Faktor biologik (kuman patogen yang berasal umumnya dari pasien), Faktor kimia (pemaparan dalam dosis kecil namun gterus menerus seperti antiseptik pada kulit, gas anestasi pada hati), 3. 4. Faktor ergonomi (cara duduk salah, cara mengangkat pasien salah), Faktor fisik dalam dosis kecil yang terus menerus (panas pada kulit, tegangan tinggi pada sistem reproduksi, radiasi pada sistem pemroduksi darah), dan 5. Faktor psikologis (ketegangan di kamar bedah, penerimaan pasien, gawat darurat dan bangsal penyakit jiwa). Dalam kasus pertama dan kedua telah dijelaskan bahwa ada kecenderungan dari faktor kimia berupa obat kemoterapi, obat antineoplastik dan gas anestesi dapat memberikan dampak kesehatan bagi petugas kesehatan. Efek toksik dari obat kemoterapi adalah berupa keracunan yang dapat memberikan dampak negatif pada sistem saraf bahkan dapat memicu risiko kanker darah apabila obat tersebut telah memasuki sirkulasi darah. Setelah

diidentifikasi lebih lanjut, obat kemoterapi ternyata juga termasuk dalam B3 (Barang Berbahaya dan Beracun) karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup,
8

dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya. Petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit dapat terkena paparan obat kemoterapi melalui kontak langsung dengan kulit dan mata secara terus menerus saat melayani pasiennya. Oleh karena itu, penggunaan APD berupa perlengkapan yang terdiri dari sarung tangan serta gaun dan kacamata khusus sangat dianjurkan untuk melindungi petugas kesehatan yang pekerjaannya sangat terkait dengan pemakaian obat kemoterapi. Efek toksik dari pejanan gas lain, yaitu berupa gas anestesi di rumah sakit dalam jangka panjang bisa memicu ketidaksuburan baik pada pria maupun wanita. Selain itu, obat antineoplastik juga dijelaskan dapat memicu keguguran maupun abortus spontan pada pekerja wanita yang hamil. Kasus banyak terpaparnya tenaga kesehatan di rumah sakit terhadap obat kemoterapi dan bahan kimia lain yang bersifat karsinogenik tersebut harusnya sudah menjadi sorotan SMK3 di Rumah Sakit (klinik kanker). Hal ini sangat penting terutama apabila tingkat risiko keterpaparan bahan kimia merupakan hal yang memiliki bahaya potensial tinggi. Sehingga kasus yang terkait dengan kecelakaan kerja ini semakin urgent untuk cepat diselesaikan. Kecelakaan kerja di rumah sakit selain disebabkan beberapa faktor diatas, juga dapat terjadi sebagai akibat dari kelalaian dan kesalahan prosedur dari pekerja itu sendiri, yaitu seperti yang telah dijelaskan dalam kasus 3. Akibat komunikasi yaitu penerimaan informasi tentang hasil tes yang salah, proses transplantasi organ terhadap pasien yang awalnya diperkirakan sukses ternyata terdapat kesalahan yang fatal. Rumah sakit tersebut tidak menjalankan prosedur standar yang telah disyaratkan seperti meminta riwayat medis si pendonor organ. Bahkan kesalahan tersebut dapat menimbulkan pasien mengidap penyakit HIV-AIDS yang sebelumnya tidak ia derita. Kekhawatiran (efek psikologis) yang ditimbulkan dari kesalahan kinerja tersebut tidak hanya terjadi pada pasien tetapi juga terjadi pada petugas medis yang melakukan operasi transplantasi pada kasus 3 diatas. Beberapa dokter dan perawat yang telah melakukan transplantasi mengalami depresi dan kepanikan. Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat bahwa virus HIV-AIDS dapat ditularkan melalui cairan tubuh (dalam kasus ini adalah darah) sehingga kemungkinan dokter dan perawat tersebut tertular HIV-AIDS meningkat. Selain contoh-contoh kasus diatas, masalah dalam pelaksanaan K3 di rumah sakit saat ini masih banyak. Masalah tersebut sebenarnya tidak terlepas dari peran SMK3 di lingkup Rumah Sakit. Maka sudah seharusnya pihak SMK3 di rumah sakit mengetahui akan bahaya potensial yang ada di rumah sakitnya. Selain itu, SMK3 harus mencanangkan dan menjalankan upaya pengendalian bahaya. Pengendalian bahaya dapat dilakukan dengan cara
9

melakukan evaluasi setelah identifikasi bahaya potensial di RS untuk menentukan langkahlangkah atau tindakan yang diperlukan sesuai sifat dan karakteristik dari bahan atau instalasi yang ditangani sekaligus memprediksi risiko yang mungkin terjadi apabila kecelakaan terjadi. Setelah melakukan evaluasi, pihak SMK3 juga memerlukan upaya pengendalian sebagai alternatif pemecahan masalah berdasarkan identifikasi dan evaluasi yang dilakukan. Upaya pengendalian meliputi pengendalian operasional, pengendalian organisasi administrasi, inspeksi dan pemeliharaan sarana prosedur dan proses kerja yang aman, dan pembatasan keberadaan B3 di tempat kerja sesuai jumlah ambang untuk mengurangi resiko karena penanganan bahan berbahaya. Penyelesaian masalah penyelenggaraan K3 di rumah sakit juga dapat efektif jika SMK3 melakukan risk assesment terlebih dahulu terhadap kasus. Setelah itu, maka kebijakan yang sudah terencana dapat diberlakukan sesuai dengan hasil assesment. Penentuan kebijakan yang baik dan efektif juga harus disertai dengan pembuatan program yang mendukung kebijakan itu sendiri. Hal yang tak kalah penting adalah sosialisasi terhadap target yang bersangkutan seperti tenaga medis dan non medis di rumah sakit. Setelah sosialisasi dilakukan maka proses pembudayaan perilaku K3 sudah mulai dapat diprogramkan, seperti pembiasaan memakai APD (sarung tangan, kacamata pelindung, gaun pelindung, dan lain-lain ) agar tidak terkena paparan bahan atau gas kimia. Pembinaan dan pengawasan terhadap proses K3 juga harus digencarkan untuk mencegah adanya ketidakdisiplinan yang akan mengakibatkan risiko bahaya. Pencatatan dan pelaporan hasil program juga akan sangat berguna untuk mengetahui proses pelaksanaan K3 setelah dibentuk kebijakan dan program baru. Selain itu, pelaksanaan evaluasi terhadap hasil program harus selalu dilakukan agar pihak SMK3 mengetahui apakah diperlukan adanya perbaikan maupun pengembangan dalam rangka untuk meningkatkan Kesehatan dan Keselamatan Kerja terhadap pekerja di Rumah Sakit tersebut.

10

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan Menurut Kepmenkes NOMOR 432/MENKES/SK/IV/2007 tentang Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit, upaya K3 menyangkut tenaga kerja, cara atau metode kerja, alat kerja, proses kerja dan lingkungan kerja. Upaya ini meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan. Kinerja setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultan dari tiga komponen K3 yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja. Lingkungan kerja adalah kondisi lingkungan tempat kerja yang meliputi faktor fisik, kimia, biologi, ergonomi dan psikososial yang mempengaruhi pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya. Rumah Sakit (RS) termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di RS, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung RS. Dampak kesehatan dari bahaya potensial di rumah sakit salah satunya adalah penyakit akibat kerja (PAK). Penerapan program K3 di Rumah Sakit kenyataannya masih perlu banyak perbaikan hal ini dapat dilihat dari contoh pada kasus bab III. Implementasi tugas, dan fungsi pokok K3RS masih kurang efektif, hal ini dikarenakan tidak dapat mencapai standart-standart yang harusnya
11

terpenuhi ketika ada personel K3 dalam rumah sakit. Salah satunya adalah melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian akan bahaya dari kecelakaan kerja dalam bentuk apapun. Oleh karena itu, sosialisasi dan pengawasan mengenai K3 di Rumah Sakit harus lebih ditingkatkan lagi. Harusnya SMK3 juga menerapkan prinsip AREC (Anticipation, Recognition, Evaluation dan Control) dari metode kerja, pekerjaan dan lingkungan kerja, agar tupoksi K3RS sendiri dapat tercapai.

B. Saran 1. Pihak manajemen rumah sakit lebih meningkatkan sosialisasi mengenai fungsi K3 di rumah sakit kepada siapa saja yang berada di rumah sakit termasuk dokter, perawat, pasien serta tenaga medis maupun non medis lainnya. Hal ini diperlukan agar dapat meminimalkan tindakan beresiko bagi dirinya sendiri maupun orang lain. 2. Pihak rumah sakit mengoptimalkan fungsi K3RS yang ada yaitu dengan cara melakukan pelatihan terkait Sistem Manajemen K3 Rumah Sakit sehingga pekerja yang kerjanya terkait dengan SMK3 akan lebih berkompeten dalam pekerjaannya. 3. Semua pihak yang terkait dengan RS secara tanggung jawab melaksanakan standar operasional prosedur (SOP) K3 RS sesuai dengan peraturan, perundangan dan ketentuan mengenai K3 lainnya yang berlaku. 4. Rumah Sakit secara rutin mengevaluasi penyelenggaraan K3 RS untuk menilai apakah kinerjanya sudah maksimal ataukah masih memerlukan perbaikan sistem K3RS yang selanjutnya. Selain itu, rumah sakit harus selalu mengidentifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktor risiko yang selalu ada di rumah sakit.

12

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit. Viewed 24 october 2011 2. <http://www.depkes.go.id/downloads/Kepmenkes/KMK%20432-IV%20K3%20RS.pdf> 3. Detik.com, Perawat di Rumah Sakit Rentan Keracunan Obat Kemoterapi, viewed 24 October 2011 <http://www.detikhealth.com/read/2011/08/24/123759/1710100/763/perawat-di-rumahsakit-rentan-keracunan-obat-kemoterapi> 4. Detik.com, Pekerja Kesehatan Paling Rentan Alami Gangguan Reproduksi, viewed 24 October 2011 5. http://www.detikhealth.com/read/2011/03/01/165159/1582368/763/pekerja-kesehatan-palingrentan-alami-gangguan-reproduksi 6. Detik.com, Orang Terima Donor Organ dari Pasien HIV Akibat Salah Prosedur, viewed 24 October 2011 7. http://www.detikhealth.com/read/2011/09/04/160801/1715296/763/5-orang-terima-donororgan-dari-pasien-hiv-akibat-salah-prosedur 8. http://www.scribd.com/doc/17348984/Pedoman-Penyelenggaraan-K3-RSdepkes.go.id

13

You might also like