You are on page 1of 119

STRATEGI PENANGANAN KORUPSI DI NEGARA-NEGARA ASIA PASIFIK

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL JAKARTA 2007

Strategi Penanganan Korupsi Di Negara-Negara Asia Pasifik

LAPORAN KAJIAN

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL 2007

Sambutan Kepala Lembaga Administrasi Negara

tingkat regional dan internasional. Lembaga-lembaga internasional turut menegaskan komitmennya untuk bersama-sama memerangi korupsi. Salah satu penghambat kesejahteraan negara berkembang pun disinyalir akibat dari praktek korupsi yang eksesif, baik yang melibatkan aparat di sektor publik, maupun yang melibatkan masyarakat yang lebih luas. Indikasi tetap maraknya praktek korupsi di negara ini dapat terlihat dari tidak kunjung membaiknya angka persepsi korupsi Indonesia. Beberapa survey yang dilakukan oleh lembaga independen internasional juga membuktikan fakta yang sama, walaupun dengan bahasa, instrumen atau pendekatan yang berbeda. Situasi ini jelas memprihatinkan banyak pihak. Terkait dengan hal di atas, Lembaga Administrasi Negara yang diamanatkan untuk mengembangkan sistem administrasi negara melalui kajian dan penelitian telah melakukan kajian tentang Strategi Penanganan Korupsi di Beberapa Negara Asia Pasifik. Kajian ini memfokuskan pada studi perbandingan mengenai strategi pemberantasan korupsi di beberapa negara Asia Pasifik yaitu Singapura, Hong Kong, dan India. Beberapa pelajaran penting dapat dipetik dari pengalaman ketiga negara dalam memerangi korupsi yang akut. Hal ini karena ketiga negara juga pernah mengalami kondisi korupsi yang sangat buruk. Singapura dan Hong Kong adalah contoh sukses pemeberantasan korupsi yag efektif. Hal ini tidak lepas dari coverage wilayah yang relatif kecil (city concern), sehingga mereka mempunyai banyak kemudahan. India sendiri memang tidak sesukses Singapura maupun Hong Kong, namun mempunyai karakteristik geografis, populasi, sosial ekonomi yang mirip dengan Indonesia. Sehingga mempunyai hambatan yang relatif sama. Namun ketiga

emberantasan korupsi merupakan salah satu agenda penting dari pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pemberantasan korupsi juga merupakan agenda di

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

negara menekankan pentingnya good will dan political will dari semua pihak untuk bersama-sama terlibat dalam upaya pemberantasan korupsi. Berdasarkan studi perbandingan dengan ketiga negara tersebut di atas, kajian ini memberikan rekomendasi kebijakan untuk bahan pertimbangan bagi konsep pengembangan strategi pemberantasan korupsi di Indonesia agar terselenggara lebih efektif, transparan, dan akuntabel. Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada tim peneliti dari Pusat Kajian Administrasi Internasional (PKAI) LAN atas kerja keras yang telah dilakukan sehingga kajian ini dapat diselesaikan dengan baik dan diharapkan dapat terus ditingkatkan di masa-masa mendatang. Semoga kajian ini dapat memberikan masukan yang berharga bagi semua pihak, khususnya para penyelenggara negara dalam membangun strategi pemberantasan korupsi yang komprehensif dan efektif.

Jakarta, Desember 2007 Lembaga Administrasi Negara Kepala

Sunarno, SH, MSc.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

ii

Kata Pengantar

merupakan hasil akhir kegiatan kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Administrasi Internasional Lembaga Administrasi Negara mengenai strategi penanganan korupsi di Singapura, Hong Kong, India, dan Indonesia yang membahas aspek kebijakan dan perundangan, kelembagaan dalam pemberantasan korupsi, dan pencegahan tindak korupsi. Dengan ini Lembaga Administrasi Negara menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Duta Besar dan Perwakilan Pemerintah Indonesia di Singapura, India, dan Hong Kong atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan sehingga kajian ini dapat berjalan dengan baik. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada segenap nara sumber yang telah memberikan data dan informasi mengenai strategi penanganan korupsi baik di Singapura, India, Hong Kong, dan tentunya di Indonesia. Semoga hasil kajian ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi lembagalembaga yang berkompeten dengan pemberantasan korupsi di Indonesia, dan masyarakat luas pada umumnya. Kami menyadari bahwa laporan ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu kami sangat mengharapkan masukan, kritik dan saran dari berbagai pihak demi terwujudnya laporan penelitian yang lebih baik. Jakarta, Desember 2007 Deputi Bidang Penelitian dan Pengembangan Administrasi Pembangunan dan Otomasi Administrasi Negara

uji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga Kajian Strategi Penanganan Korupsi di Beberapa Negara Asia Pasifik dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang direncanakan. Laporan ini

Drs. Desi Fernanda, M.Soc.Sc

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

iii

Executive Summary

emberantasan korupsi di Indonesia pada dasarnya sudah dilakukan sejak empat dekade silam. Sejumlah perangkat hukum sebagai instrumen legal yang menjadi dasar proses pemberantasan korupsi di Indonesia juga telah

disusun sejak lama. Namun efektivitas hukum dan pranata hukum yang belum cukup memadai menyebabkan iklim korupsi di Indonesia tidak kunjung membaik. Hal ini setidaknya dibuktikan dengan berbagai indeks korupsi yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga independen yang berbeda, dengan metode dan variabel yang juga berbeda, namun menghasilkan hasil pengukuran yang relatif sama, yaitu menempatkan Indonesia di ranking paling bawah. Berdasarkan studi yang dilakukan Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2006 adalah 2,4 dan menempati urutan ke-130 dari 163 negara. Sebelumnya, pada tahun 2005 IPK Indonesia adalah 2,2, tahun 2004 (2,0) serta tahun 2003 (1,9). Bahkan berdasarkan hasil survei dikalangan para pengusaha dan pebisnis oleh lembaga konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong, Indonesia kembali dinilai sebagai negara paling terkorup di Asia pada awal tahun 2004 dan 2005. Hasil survey PERC menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling korup di antara 12 negara Asia. Predikat negara terkorup diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak 10 dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Sedangkan pada tahun 2005 Indonesia masih termasuk dalam tiga teratas negara terkorup di Asia. Prestasi korupsi yang telah dicapai Indonesia disamping merugikan secara langsung bagi pertumbuhan perekonomian dan pemerataan pembangunan nasional, berdampak negatif bagi masuknya investasi asing ke Indonesia, juga melunturkan citra dan martabat bangsa di dunia internasional. Dalam menangani masalah korupsi, Indonesia dapat dikatakan tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik. Masing-masing negara pada prinsipnya mempunyai tantangan dan persoalan tersendiri dalam

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

iv

menghadapi korupsi, mengingat korupsi memiliki beragam modus dan bentuknya seiring dengan makin kompleksnya administrasi birokrasi. Hal ini menyebabkan strategi pemberantasan korupsi yang ditempuh oleh setiap negara memiliki karakteristik tersendiri dan tingkat efektivitas yang berbeda pula. Terkait dengan hal tersebut, kajian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan strategi pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh beberapa negara di Asia Pasifik yang meliputi pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam menangani masalah korupsi guna memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat diterapkan Pemerintah Indonesia tentang penanganan korupsi. Negara-negara yang dijadikan lokus dalam penelitian ini adalah Singapura, Hong Kong, India dan tentunya Indonesia. Alasan pemilihan negara-negara tersebut adalah bahwa Singapura dan Hong Kong dapat dikatakan sebagai model yang ideal (role model) dalam memberantas korupsi. Kedua negara tersebut berhasil menekan angka korupsi ke tingkat minimal dan dikategorikan sebagai negara terbersih di Asia. Sementara itu, meskipun pemberantasan korupsi di India relatif tertinggal dibandingkan dengan Singapura dan Hong Kong namun penanganan masalah korupsi di India relatif lebih baik dibandingkan dengan Indonesia. Selain itu kondisi geografis dan demografi India yang memiliki kesamaan dengan Indonesia menjadi salah satu alasan lain dalam pemilihan lokus. Dari hasil temuan, diperoleh sejumlah data dan informasi yang mencakup: gambaran umum korupsi di masing-masing negara; kebijakan dan perundangan pemberantasan korupsi; kelembagaan dalam pemberantasan korupsi; dan strategi pencegahan tindak korupsi. Selanjutnya beberapa kesimpulan dan rekomendasi mengenai strategi pemberantasan korupsi disampaikan berdasarkan analisis data dan informasi yang didapat. Sejumlah pemikiran yang dapat disimpulkan adalah bahwa strategi pemberantasan korupsi harus dibangun didahului oleh adanya itikad kolektif, yaitu semacam kemauan dan kesungguhan (willingness) dari semua pihak untuk bersamasama tidak memberikan toleransi sedikitpun terhadap perilaku korupsi. Perilaku korupsi harus dicitrakan dan diperlakukan sebagai perilaku kriminal, sama halnya dengan tindak kriminal lainnya, yang memerlukan penanganan secara hukum. Di samping itu, keberhasilan penanganan korupsi di negara-negara lain juga
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

dipengaruhi oleh keberadaan lembaga anti korupsi yang kuat dalam menangani pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sebagai contoh, Singapura dan Hong Kong hanya memiliki satu lembaga anti korupsi yang memiliki kewenangan penuh untuk menyelidiki dan mengajukan tuntutan kasus-kasus korupsi. Oleh karena itu, dalam mewujudkan sebuah strategi yang efektif, dibutuhkan pemenuhan prasyarat sebagai berikut : 1. Didorong oleh keinginan politik serta komitmen yg kuat dan muncul dari kesadaran sendiri 2. Menyeluruh dan seimbang 3. Sesuai dengan kebutuhan, ada target, dan berkesinambungan 4. Berdasarkan pada sumber daya dan kapasitas yang tersedia 5. Terukur 6. Transparan dan bebas dari konflik kepentingan Berkenaan dengan political will serta komitmen yang harus dibangun, maka perlu menegaskan kembali political will pemerintah, diantaranya melalui : Penyempurnaan UU Anti Korupsi yang lebih komprehensif, mencakup kolaborasi kelembagaan yang harmonis dalam mengatasi masalah korupsi Kontrak politik yang dibuat pejabat publik Pembuatan aturan dan kode etik PNS Pembuatan pakta integritas Penyederhanaan birokrasi (baik struktur maupun jumlah pegawai) Penyempurnaan UU Anti Korupsi ini selain untuk menjawab dinamika dan perkembangan kualitas kasus korupsi, juga untuk menyesuaikan dengan instrumen hukum internasional. Saat ini isu korupsi tidak lagi dibatasi sekat-sekat negara, namun telah berkembang menjadi isu regional bahkan internasional. Hal ini tidak lepas dari praktek korupsi yang melibatkan perputaran dan pemindahan uang lintas negara. Adanya kewenangan yang jelas dan tegas yang diberikan oleh suatu lembaga anti korupsi juga menjadi kunci keberhasilan strategi pemberantasan korupsi. Tumpang tindih kewenangan di antara lembaga-lembaga yang menangani masalah korupsi menyebabkan upaya pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif dan efisien.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

vi

Strategi pemberantasan korupsi harus juga bersifat menyeluruh dan seimbang. Ini berarti bahwa strategi pemberantasan yang parsial dan tidak komprehensif tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Berkenaan dengan hal itu maka, strategi pemberantasan korupsi harus dilakukan secara adil, dan tidak ada istilah tebang pilih dalam memberantas korupsi. Di samping itu penekanan pada aspek pencegahan korupsi perlu lebih difokuskan dibandingkan aspek penindakan. Upaya pencegahan (ex ante) korupsi dapat dilakukan, antara lain melalui: Menumbuhkan kesadaran masyarakat (public awareness) mengenai dampak destruktif dari korupsi, khususnya bagi PNS. Pendidikan anti korupsi Sosialisasi tindak pidana korupsi melalui media cetak & elektronik Perbaikan remunerasi PNS Adapun upaya penindakan (ex post facto) korupsi harus memberikan efek jera, baik secara hukum, maupun sosial. Selama ini pelaku korupsi, walaupun dapat dijerat dengan hukum dan dipidana penjara ataupun denda, namun tidak pernah mendapatkan sanksi sosial. Hukuman yang berat ditambah dengan denda yang jumlahnya signifikan. Pengembalian hasil korupsi kepada negara. Tidak menutup kemungkinan, penyidikan dilakukan kepada keluarga atau kerabat pelaku korupsi. Strategi pemberantasan korupsi harus sesuai kebutuhan, target, dan berkesinambungan. Strategi yang berlebihan akan menghadirkan inefisiensi sistem dan pemborosan sumber daya. Dengan penetapan target, maka strategi pemberantasan korupsi akan lebih terarah, dan dapat dijaga kesinambungannya. Dalam hal ini perlu adanya komisi anti korupsi di daerah (misalnya KPK berdasarkan wilayah) yang independen dan permanen (bukan ad hoc). Selain itu strategi pemberantasan korupsi haruslah berdasarkan sumber daya dan kapasitas. Dengan mengabaikan sumber daya dan kapasitas yang tersedia, maka strategi ini akan sulit untuk diimplementasikan, karena daya dukung yang tidak seimbang. Dalam hal ini kualitas SDM dan kapasitasnya harus dapat ditingkatkan,

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

vii

terutama di bidang penegakan hukum dalam hal penanganan korupsi. Peningkatan kapasitas ini juga dilakukan melalui jalan membuka kerjasama internasional. Keterukuran strategi merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan. Salah satu caranya yaitu membuat mekanisme pengawasan dan evaluasi atas setiap tahapan pemberantasan korupsi dalam periode waktu tertentu secara berkala. Selain itu juga, dalam rangka penyusunan strategi yang terukur, perlu untuk melakukan survei mengenai kepuasan masyarakat atas usaha pemberantasan korupsi yang telah dilakukan pemerintahan. Terakhir adalah bahwa sebuah strategi pemberantasan memerlukan prinsip transparan dan bebas konflik kepentingan. Transparansi ini untuk membuka akses publik terhadap sistem yang berlaku, sehingga terjadi mekanisme penyeimbang. Warga masyarakat mempunyai hak dasar untuk turut serta menjadi bagian dari strategi pemberantasan korupsi. Saat ini optimalisasi penggunaan teknologi informasi di sektor pemerintah dapat membantu untuk memfasilitasinya. Strategi pemberantasan juga harus bebas kepentingan golongan maupun individu, sehingga pada prosesnya tidak ada keberpihakan yang tidak seimbang. Semua strategi berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku dan objektif. Instrumen strategi pemberantasan lain yang menjadi bagian dari elemen masyarakat adalah pers. Transparansi dapat difasilitasi dengan baik dengan adanya dukungan media massa yang memainkan peranannya secara kuat. Dengan adanya kebebasan pers, maka kontrol masyarakat dapat semakin ditingkatkan lagi.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

viii

Daftar Isi
Hal SAMBUTAN KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA . EXECUTIVE SUMMARY i iii KATA PENGANTAR .. iii Daftar Isi .. ix Daftar Tabel xi Daftar Gambar .. xii Daftar Grafik .. xiii BAB I : PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang . B. Rumusan Masalah . 1 4

C. Ruang Lingkup . 5 D. Tujuan .. 5 E. Jadwal .. BAB II : GAMBARAN UMUM KORUPSI .. A. Memahami Korupsi .. B. Peta Korupsi Dunia dan Regional . 1. Singapura . 2. Hong Kong .. 3. India 4. Indonesia . BAB III : KEBIJAKAN DAN PERUNDANGAN PEMBERANTASAN KORUPSI .. A. Singapura B. Hong Kong . C. India .. D. Indonesia 38 41 45 48 50 5 9 9 16 27 29 32 36 F. Metodologi Penelitian .. 5

C. Korupsi di Beberapa Negara . 27

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

ix

BAB IV : KELEMBAGAAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI A. Singapura B. Hong Kong . C. India .. D. Indonesia A. Singapura B. Hong Kong . C. India .. D. Indonesia BAB VI : REKOMENDASI KEBIJAKAN .. A. Masalah dalam Strategi Kebijakan Penanganan Korupsi di Indonesia . C. Policy Action dalam Perumusan Strategi Kebijakan Penanganan

57 54 62 66 71 82 88 91 93 97 97

BAB V : STRATEGI PENCEGAHAN TINDAK KORUPSI . 80

B. Alternatif Strategi Kebijakan Penanganan Korupsi . 98 Korupsi di Indonesia . 100 LAMPIRAN-LAMPIRAN

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

Daftar Tabel
Hal Tabel 1.1 Operasionalisasi dan Output Tiap Tahap Kegiatan Tabel 2.1 Daftar Peringkat Pengambil Aset Negara Terbesar versi Stolen Asset Recovery Innitiatives (StAR) Bank Dunia & PBB ................. Tabel 2.2 Indeks Penyuapan Beberapa Negara .............................................. Tabel 2.3 Perbandingan Profil 4 Negara dalam Penanganan Korupsi .......... Tabel 3.1 Perbandingan Beberapa Istilah dalam Perundangan Indonesia dengan UNCAC ................................................................................ Tabel 3.2 Terpidana Koruptor dan Uang Pengganti ...................................... Tabel 4.1 Indikator Kinerja CPIB Singapura .................................................. Tabel 4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan dan Kegagalan Suatu Lembaga Anti Korupsi .......................................................... Tabel 4.3 Kelebihan dan Kelemahan dari Pembentukan Lembaga Anti Korupsi ............................................................................................ Tabel 5.1 Instrumen Pencegahan Korupsi per Sektor .................................... Tabel 5.2 Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia ............................... 77 81 93 76 53 54 59 19 23 26 7

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

xi

Daftar Gambar
Hal Gambar 2.1 Peta Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Seluruh Dunia ............. Gambar 4.1 Struktur Organisasi CPIB Singapura ......................................... Gambar 4.2 Struktur Organisasi ICAC Hongkong ........................................ Gambar 4.3 Struktur Organisasi CBI India Gambar 4.4 Struktur Central Vigilance Commission (CVC) India Gambar 4.5 Struktur Organisasi KPK Indonesia Gambar 5.1 Strategi Anti Korupsi Singapura Gambar 5.2 Keterkaitan antara Korupsi dengan Perbaikan Remunerasi Pegawai Negeri Gambar 5.3 Strategi Pemberantasan Korupsi Hongkong ............................. 87 89 17 61 65 69 71 74 83

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

xii

Daftar Grafik
Hal Grafik 2.1 Peringkat Korupsi Beberapa Negara Asia .................................... Grafik 2.2 Sektor Terlibat Kasus Penyuapan ................................................ Grafik 2.3 Wilayah yang Terkena Dampak Kasus Penyuapan ...................... Grafik 2.4 Kecenderungan Korupsi di Singapura .. Grafik 2.5 Kecenderungan Korupsi di Hong Kong Grafik 2.6 Laporan Korupsi Hong Kong ....................................................... Grafik 2.7 Kecenderungan Korupsi di India ................................................. Grafik 2.8 Kecenderungan Korupsi di Indonesia .......................................... Grafik 2.9 Pengendalian Korupsi (2002) ...................................................... 20 24 25 28 30 31 33 36 37

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

xiii

Bab I Pendahuluan
A. LATAR BELAKANG

diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, disinyalir korupsi menyebar bukan hanya terjadi pada tingkat pusat tetapi juga meluas ke tingkat daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah. Dari penjabaran di atas, dapat dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan hanya suatu fenomena tetapi sudah menjadi kultur yang sudah mengakar ke seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, dapat dibayangkan betapa sulitnya menangani korupsi di Indonesia. Hal ini seperti mengobati penyakit kulit yang sudah mengakar sampai jauh ke bawah kulit dan bahkan ke daging; sulit menyembuhkannya kecuali diobati sampai ke akar-akarnya. Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktikpraktik korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan yang berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

alah satu isu atau masalah yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan pemerintah Indonesia adalah masalah korupsi. Hal ini disebabkan semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia ini semakin sulit untuk

Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam hal pemberantasan korupsi adalah : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, khususnya pasal 21 dan pasal 5 (ayat 1) 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 3. Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktik KKN 5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 7. Dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) tahun 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 8. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) 9. Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2003 berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 10. Dibentuknya Tim Pemberantas Korupsi dan lain-lainnya. Upaya pencegahan praktik korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi dari inspektorat ini adalah mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansinya masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar supaya kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Di samping pengawasan internal ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Selain lembaga internal dan eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktik korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah Indonesian Corruption Watch (ICW), Government Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI). Dilihat dari upaya-upaya pemerintah dalam memberantas praktik korupsi di atas sepertinya sudah cukup memadai baik dilihat dari segi hukum dan peraturan perundang-undangan, komisi-komisi, lembaga pemeriksa baik internal maupun eksternal, bahkan keterlibatan LSM. Namun pada kenyataannya praktik korupsi bukannya berkurang malah meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan Indonesia kembali dinilai sebagai negara paling terkorup di Asia pada awal tahun 2004 dan 2005 berdasarkan hasil survei dikalangan para pengusaha dan pebisnis oleh lembaga konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Hasil survey lembaga konsultan PERC yang berbasis di Hong Kong menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling korup di antara 12 negara Asia.1 Predikat negara terkorup diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak 10 dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Sedangkan pada tahun 2005 Indonesia masih termasuk dalam tiga teratas negara terkorup di Asia. Peringkat negara terkorup setelah Indonesia, berdasarkan hasil survey yang dilakukan PERC, yaitu: India (8,9), Vietnam (8,67), Thailand, Malaysia dan China berada pada posisi sejajar di peringkat keempat yang terbersih. Sebaliknya negara yang terbersih tingkat korupsinya adalah Singapura (0,5) disusul Jepang (3,5), Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan. Untuk tahun 2006 posisi Indonesia naik satu peringkat dibandingkan dengan Filipina.2 Perubahan yang dilakukan China dan Thailand sungguh mengesankan, yaitu mampu mengubah reputasi negara yang bergelimang korupsi menjadi negara yang rendah korupsinya. India dan Vietnam juga mulai melakukan perbaikan melalui keinginan politik tinggi dalam mempersempit ruang korupsi. China selama satu dasawarsa terakhir melancarkan perang besar dengan korupsi. Para pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi tidak segan-segan dibawa ke tiang

1 2

Kompas, 4 Maret 2004 Kompas, 14 Maret 2007

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

gantungan. Tindakan ini cukup efektif mengurangi praktik korupsi di kalangan pejabat. Sementara Thailand juga melakukan kampanye pemberantasan korupsi secara serius. Sektor perpajakan dan pengadilan yang dianggap rawan korupsi dan kolusi dijadikan prioritas dalam target kampanye melawan korupsi. Hasilnya mengesankan. Kemajuan dalam kampanye korupsi membawa dampak positif dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kesanggupan membayar hutang luar negeri. Selama lima tahun Thailand mampu mencicil 50 milyar dollar AS utangnya. Upaya penanganan korupsi yang sistematis dan berkelanjutan di negaranegara tersebut tampak begitu kontras dengan realitas yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan studi yang dilakukan Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2006 adalah 2,4 dan menempati urutan ke-130 dari 163 negara. Sebelumnya, pada tahun 2005 IPK Indonesia adalah 2,2, tahun 2004 (2,0) serta tahun 2003 (1,9).3 Hal ini menunjukkan bahwa penanganan kasus korupsi di Indonesia masih sangat lambat dan belum mampu membuat jera para koruptor. Oleh karena itu sangatlah menarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang strategi yang dilakukan negara-negara tersebut dalam menangani korupsi, sehingga bisa menjadi negara yang rendah tingkat korupsinya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Pusat Kajian Administrasi Internasional Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia memandang perlu untuk melakukan kajian lebih jauh tentang strategi penanganan korupsi di negara-negara Asia Pasifik, sebagai bahan masukan untuk memperkuat (revitalize) penanganan korupsi yang diterapkan di Indonesia. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan, yaitu: bagaimanakah strategi penanganan korupsi yang dilakukan di beberapa negara Asia Pasifik? Khususnya negara-negara yang berhasil mengatasi masalah korupsi sehingga dapat memperbaiki indeks persepsi korupsi yang menjadi tolok ukur korupsi suatu negara.

Kompas, 7 November 2006

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

C. RUANG LINGKUP 1. Fokus Kajian ini membahas tentang strategi penanganan korupsi di negara-negara Asia Pasifik dengan fokus pada pendekatan penanganan korupsi yang dilakukan yang mencakup aspek kebijakan, kelembagaan dan pencegahan. 2. Lokus Kajian dilakukan di Indonesia dan beberapa negara Asia Pasifik (Singapura, Hong Kong dan India), dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi tentang strategi penanganan korupsi pada masing-masing negara. D. TUJUAN Kajian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh beberapa negara Asia Pasifik dalam menangani masalah korupsi. 2. Memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat diterapkan Pemerintah Indonesia tentang penanganan korupsi. E. JADWAL Pelaksanaan kegiatan kajian ini dilaksanakan selama 12 (dua belas) bulan pada tahun anggaran 2007. F. METODOLOGI PENELITIAN 1. Metode Kajian Kajian strategi penanganan korupsi di negara-negara Asia Pasifik menggunakan metode deskriptif komparatif. Metode tersebut dipilih karena kajian ini akan mendeskripsikan obyek penelitian yaitu penanganan korupsi di beberapa negara

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

terpilih di kawasan Asia Pasifik secara komprehensif dan kemudian akan dibandingkan (komparasi) satu sama lain untuk mendapatkan suatu kesimpulan. Kajian ini bertujuan untuk menyampaikan, menganalisis, mengklasifikasi, dan membandingkan strategi penanganan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah di sejumlah negara terpilih. Rangkaian kegiatan yang dilakukan terkait dengan kajian, antara lain adalah melakukan observasi awal, mencari sumber informasi yang berkaitan dengan topik strategi penanganan korupsi baik di dalam maupun luar negeri, menyusun riset desain, melakukan pengumpulan data lapangan di dalam dan luar negeri, menganalisis data dan informasi yang diperoleh dari lapangan, serta menyajikannya di dalam sebuah laporan kajian. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang diadopsi dalam kajian ini adalah melalui studi literatur, dokumentasi, dan focus group discussion (FGD). Teknik ini memiliki kelebihan untuk memperoleh data dan informasi yang bersifat kualitatif. Instrumen penelitian yang digunakan adalah panduan wawancara (interview guidelines) yang digunakan pada saat pencarian data lapangan di dalam maupun di luar negeri. Panduan wawancara tersebut meliputi indikator-indikator atau besaran-besaran yang menjadi fokus dalam kajian strategi penanganan korupsi. FGD dilakukan dengan mengundang para ahli/pakar yang terkait penerapan strategi penanganan korupsi untuk memperoleh data dan informasi empirik dari pengalaman negara-negara yang berhasil atau pun gagal menangani korupsi. 3. Analisis Data Setelah dilakukan pengumpulan data lapangan, maka data tersebut diolah dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena diperlukan analisis yang lebih mendalam untuk dapat mengungkap latar belakang sesungguhnya dari fenomena-fenomena yang sedang diteliti atau dikaji. Dalam hal ini fenomena tersebut adalah strategi penanganan korupsi yang dilakukan oleh beberapa negara Asia Pasifik. Pemikiran logis (professional judgement), induksi dan evaluasi juga digunakan dalam pemberantasan korupsi.
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

4. Tahapan Kegiatan Pelaksanaan kegiatan kajian terdiri dari beberapa tahapan dan merupakan suatu proses yang berlangsung selama 1 (satu) tahun anggaran. Pada setiap tahapan diharapkan menghasilkan output yang dapat dicapai dan terukur oleh tim pelaksana kegiatan. Untuk mempermudah pelaksanaan kegiatan kajian maka proses tersebut dapat dijabarkan dalam suatu operasionalisasi kegiatan kajian sebagai berikut. Tabel 1.1 Operasionalisasi dan Output Tiap Tahap Kegiatan
No 1. Tahapan Pengumpulan data awal dan studi literatur Kegiatan yang dilakukan Mengumpulkan data awal dan literatur yang berkaitan dengan strategi penanganan korupsi 2. Penyusunan riset desain Menyusun riset desain dan rencana penelitian Output Terkumpulnya data awal dan literatur yang berkaitan dengan penanganan korupsi Tersusunnya riset desain dan instumen penelitian strategi penanganan korupsi di beberapa negara Asia Pasifik 3. Pengiriman surat dan korespondensi Mengirimkan surat dan korespondensi ke instansi-instansi di dalam maupun luar negeri yang menjadi lokus kajian 4. Pengumpulan data lapangan ke sejumlah instansi dalam dan luar negeri Melakukan kunjungan lapangan dan pencarian data penelitian di beberapa daerah dan Tersedianya data dan informasi mengenai strategi penanganan korupsi dari pencarian Terkirimnya surat dan korespondensi baik ke dalam maupun luar negeri yang menjadi lokus kajian

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

negara yang menjadi lokus penelitian 5. Pembuatan laporan kajian sementara

data lapangan di sejumlah daerah dan negara.

Mengolah, menganalisis, dan menyajikan hasil penelitian lapangan Menyusun hasil analisa data lapanan sebagai bahan pembuatan laporan akhir

Tersusunnya laporan sementara kajian strategi penanganan korupsi di beberapa negara Asia Pasifik

6.

Ekspose laporan kajian sementara

Memaparkan hasil laporan sementara pada forum LAN

Terkumpulnya berbagai masukan baik kritik maupun saran untuk penyempurnaan laporan kajian.

7.

Penyempurnaan laporan sementara menjadi laporan akhir

Merevisi laporan sementara berdasarkan hasil ekspose

Tersusunnya laporan akhir kajian strategi penanganan korupsi di beberapa negara Asia Pasifik

8.

Pencetakan dan penyerahan laporan akhir

Mencetak dan menyerahkan laporan akhir

Tercetaknya laporan akhir kajian strategi penanganan korupsi di beberapa negara Asia Pasifik

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

Bab II Gambaran Umum Korupsi


A. MEMAHAMI KORUPSI

orupsi bukanlah merupakan barang yang baru dalam sejarah peradaban manusia. Fenomena ini telah dikenal dan menjadi bahan diskusi bahkan sejak 2000 tahun yang lalu ketika seorang Perdana Menteri Kerajaan India

bernama Kautilya menulis buku berjudul Arthashastra. Demikian pula dengan Dante

yang pada tujuh abad silam juga menulis tentang korupsi (penyuapan) sebagai tindak kejahatan. Tidak ketinggalan seorang Shakespeare juga menyinggung korupsi sebagai sebuah bentuk kejahatan. Sebuah ungkapan terkenal pada tahun 1887 mengenai korupsi dari sejarahwan Inggris, Lord Acton, yaitu power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely, menegaskan bahwa korupsi berpotensi muncul di mana saja tanpa memandang ras, geografi, maupun kapasitas ekonomi. Beberapa negara di Asia memiliki beragam istilah korupsi yang pengertiannya mendekati definisi korupsi. Di China, Hong Kong dan Taiwan, korupsi dikenal dengan nama yum cha, atau di India terkenal dengan istilah baksheesh, atau di Filipina dengan nama lagay dan di Indonesia atau Malaysia memiliki padanan kata yaitu suap. Semua istilah memiliki pengertian yang variatif, namun pada umumnya merujuk pada kegiatan ilegal yang berlaku di luar sistem formal. Tidak semua istilah ini secara spesifik mendefinisikan diri sebagai sebuah pengertian hukum dari praktik korupsi. Istilah-istilah ini juga belum memberikan gambaran mendalam mengenai dampak luas dari praktik korupsi. Istilah lokal yang dianggap paling mendekati pengertian korupsi secara mendalam adalah yang berlaku di Thailand, yaitu istilah gin muong, yang secara literal berarti nation eating. Pengertian dari istilah ini menunjukkan adanya kerusakan yang luar biasa besar terhadap kehidupan suatu bangsa akibat dari adanya perilaku praktik korupsi.
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

Dalam norma umum di masyarakat maupun norma khusus semisal perundangan, istilah korupsi memiliki beragam pengertian. Perbedaan pengertian ini menyebabkan implikasi hukum dan sosial yang berbeda pula di masyarakat. Sebuah tindakan korupsi yang merugikan keuangan negara boleh jadi secara norma sosial dianggap oleh masyarakat sebagai tindakan wajar dan tidak melanggar. Ini karena pandangan dan pemahaman suatu masyarakat terhadap perbuatan korupsi berbeda dengan masyarakat lainnya. Oleh karenanya suatu masyarakat dapat menilai suatu perbuatan termasuk dalam praktik korupsi, namun tidak demikian halnya dengan masyarakat lain, terlebih dalam masyarakat yang permisif dan patronialistik. Terlepas dari perbedaan pemahaman ini, sebenarnya terdapat ciri khas/atribut yang melekat pada tindakan korupsi, yang membedakannya dengan yang lain. Dari segi bahasa, kata korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio. Kata ini sendiri memiliki kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan atau menyogok.4 Dalam Wordnet Princenton Education, korupsi didefinisikan sebagai lack of integrity or honesty (especially susceptibility to bribery); use of a position of trust for dishonest gain.5 Selanjutnya dalam Kamus Collins Cobuild arti dari kata corrupt adalah someone who is corrupt behaves in a way that is morally wrong, especially by doing dishonesty or illegal things in return for money or power.6 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga, Balai Pustaka, 597:2001)7, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Sementara itu, Direktur Transparency International India, secara lebih sederhana mendefinisikan korupsi sebagai the use of public office for private gain. Jadi segala tindakan penggunaan barang publik untuk kepentingan pribadi adalah termasuk kategori korupsi. Transparency International sendiri sebagai lembaga internasional yang sangat menaruh perhatian terhadap korupsi di negara-negara di dunia dan menyoroti korupsi yang dilakukan oleh birokrasi, mendefinisikan korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi, Pahami Dulu, Baru Lawan! hal 7 dalam LAN (2006), Kajian tentang Pola Korupsi di Lingkungan Instansi Pemerintah, Laporan Akhir Penelitian 6 dalam Eris Yustiono (2005), Revitalisasi Isu-Isu Strategis Manajemen Sumber Daya Manusia Sebagai Salah Satu Upaya Meminimalisir Korupsi, Jurnal Ilmu Administrasi Vol 2 No. 3 hal 274 7 dalam Eris Yustiono (2005), ibid
4 5

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

10

sebagai perilaku pejabat publik, baik politikus maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Pengertian ini lebih dilatarbelakangi karena korupsi yang dilakukan oleh birokrasi memiliki dampak dan pengaruh negatif yang besar dan signifikan terhadap pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara nasional. Jika dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh para pelaku bisnis ataupun masyarakat. Pendapat dari beberapa pakar mengenai korupsi juga dapat dijelaskan seperti Juniadi Suwartojo (1997) menyatakan bahwa korupsi adalah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara/masyarakat. Sementara Brooks8 memberikan pengertian korupsi yaitu: Dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi. Selanjutnya Alfiler9 menyatakan bahwa korupsi adalah: Purposive behavior which may be deviation from an expected norm but is undertake nevertheless with a view to attain materials or other rewards. Bahkan Klitgaard membuat persamaan sederhana untuk menjelaskan pengertian korupsi sebagai berikut : C=M+DA di mana: C = Corruption / Korupsi
dalam Alatas, (1987), Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi, Jakarta, LP3ES dalam Ledivina V. Carino, (1986), Bureaucratic Corruption in Asia: Causes Consequences and Controls, Quezon City, JMC Press Inc

8 9

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

11

M = Monopoly / Monopoli D = Discretion / Diskresi / keleluasaan A = Accountability / Akuntabilitas Persamaan di atas menjelaskan bahwa korupsi hanya bisa terjadi apabila seseorang atau pihak tertentu mempunyai hak monopoli atas urusan tertentu serta ditunjang oleh diskresi atau keleluasaan dalam menggunakan kekuasaannya, sehingga cenderung menyalahgunakannya, namun lemah dalam hal pertanggung jawaban kepada publik (akuntabilitas). Beberapa pengertian di atas menyoroti korupsi sebagai perilaku merugikan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa pihak dan tidak secara eksplisit disebutkan apakah dari unsur birokrasi, swasta, maupun masyarakat. Karena pada dasarnya tindakan korupsi bukan saja terjadi di sektor pemerintahan tetapi juga dalam dunia bisnis dan bahkan dalam masyarakat.10 Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa korupsi bukan saja dilakukan oleh kalangan birokrat, tetapi juga kalangan di luar birokrasi. Arti maupun pendefinisian tindakan korupsi juga memiliki berbagai sudut pandang yang cukup berbeda. Namun demikian, suatu tindakan dapat dikategorikan korupsisiapa pun pelakunyaapabila memenuhi unsur-unsur:11 1. Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan. 2. Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat umumnya. 3. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus. 4. Dilakukan dengan rahasia, kecuali dengan keadaan dimana orang-orang berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu. 5. Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak. 6. Adanya kewajiban dan keuntungan bersama dalam bentuk uang atau yang lain.

10 lihat The World Bank Policy Paper (2000), Anticorruption in Transition, A Contribution to the Policy Debate, Washington DC 11 Alatas, (1987), ibid

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

12

7. Terpusatnya kegiatan (korupsi) pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya. 8. Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk pengesahan hukum. 9. Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi. Oleh karena itu, tim peneliti menyimpulkan bahwa korupsi dapat diartikan sebagai tindakan dan perilaku yang menyimpang atau melanggar aturan, norma, dan etika dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki, mengingkari amanat yang diemban untuk kepentingan memperkaya diri sendiri, kerabat ataupun orang lain Korupsi yang terjadi dalam birokrasi tentunya mendapat perhatian dan penekanan tersendiri dalam kajian ini. Karena pada kasus korupsi, birokrasi atau pemerintah memiliki peranan ganda yaitu sebagai pelaku dan pemberantas korupsi itu sendiri. Sementara dunia usaha dan masyarakat berperan sebagai pelaku dan korban. Kasus-kasus korupsi yang menjadi sorotan banyak pihak baik dalam maupun luar negeri adalah korupsi yang terjadi di tubuh birokrasi. Selain berakibat luas dan destruktif terhadap pembangunan ekonomi serta masyarakat secara umum, korupsi dalam birokrasi pada umumnya berskala luas dengan jumlah (nominal) yang besar dan melibatkan pejabat negara, elit politik maupun pegawai negeri. Sedangkan kasuskasus korupsi pada sektor bisnis, pada umumnya berskala kecil dan hanya berdampak pada perusahaannya sendiri. Dalam studi yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia, praktik-praktik korupsi dapat diidentifikasi meliputi 1. manipulasi uang negara, 2. praktik suap dan pemerasan, 3. politik uang, dan 4. kolusi bisnis. Di Indonesia, untuk kategori manipulasi uang negara, sektor yang paling korup ialah pengadaan barang dan jasa mencakup konstruksi, pekerjaan umum, perlengkapan militer, dan barang jasa pemerintah. Untuk kasus suap dan pemerasan,
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

13

korupsi terbesar terjadi di kepolisian, sektor peradilan, pajak dan bea cukai, serta sektor perijinan. Korupsi juga terjadi di kalangan politisi (anggota DPR dan partai politik), serta pada praktik kolusi dalam bisnis. Untuk kasus kolusi bisnis, korupsi terbesar terjadi di tubuh militer, kepolisian, dan pegawai pemerintah lewat koperasi dan yayasan. Dari segi aktornya, pelaku korupsi terbagi menjadi aparat pemerintah, pelaku sektor bisnis, dan warga masyarakat. Secara tradisional, pelaku korupsi biasanya hanya menyangkut pemerintah atau aparat birokrasi dengan warga. Namun demikian kecenderungan saat ini menunjukkan adanya peningkatan kontribusi atas tingkatan korupsi dari pelaku di sektor bisnis. Pada dasarnya praktik korupsi dapat dikenal dalam berbagai bentuk umum sebagai berikut : 1. bribery (penyuapan), 2. embezzlement (penggelapan/pencurian), 3. fraud (penipuan), 4. extortion (pemerasan), dan 5. favouritism (favoritisme). Kelima bentuk ini secara konsep seringkali overlapping satu sama lain, di mana masing-masing istilah digunakan secara bergantian. Untuk lebih mudah dalam membedakan satu konsep dengan yang lainnya, Amundsen (2000) menjelaskan masing-masing pengertian konsep secara detail. Penyuapan didefinisikan sebagai Bribery is the payment (in money or kind) that is given or taken in a corrupt relationship. (Amundsen, 2000: 2). Jadi penyuapan adalah pembayaran (dalam bentuk uang atau sejenisnya) yang diberikan atau diambil dalam hubungan korupsi. Sehingga esensi korupsi dalam konteks penyuapan adalah baik tindakan membayar maupun menerima suap. Beberapa istilah yang memiliki kesamaan arti dengan penyuapan adalah kickbacks, gratuities, baksheesh, sweeteners, pay-offs, speed money, grease money. Jenis-jenis penyuapan ini adalah pembayaran untuk memuluskan atau memperlancar urusan, terutama ketika harus melewati proses birokrasi formal. Dengan penyuapan ini pula maka kepentingan perusahaan atau bisnis dapat dibantu oleh politik, dan menghindari tagihan pajak serta peraturan
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

14

mengikat lainnya, atau memonopoli pasar, ijin ekspor/impor dsb. Lebih lanjut Amundsen menjelaskan bahwa penyuapan ini juga dapat berbentuk pajak informal, ketika petugas terkait meminta biaya tambahan (under-the-table payments) atau mengharapkan hadiah dari klien, serta bentuk donasi bagi pejabat atau petugas terkait. Sedangkan penggelapan atau embezzlement didefinisikan sebagai embezzlement is theft of public resources by public officials, which is another form of misappropiation of public funds (Amundsen, 2000, 3). Jadi ini merupakan tindakan kejahatan menggelapkan atau mencuri uang rakyat yang dilakukan oleh pegawai pemerintah atau aparat birokrasi. Penggelapan ini juga bisa dilakukan oleh pegawai di sektor swasta. Biasanya kasus korupsi selalu melibatkan dua pihak, yaitu aparat (yang menerima suap) dan warga (yang memberi suap). Namun demikian dalam kacamata hukum, penggelapan juga merupakan tindakan pidana korupsi, walaupun jenis korupsi ini tidak melibatkan warga masyarakat secara langsung, karena penggelepan hanya dilakukan oleh satu pihak saja, yaitu aparat. Penggelapan adalah salah satu bentuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang menjadi modus korupsi di negara paling korup, melibatkan pemegang kekuasaan hak monopoli. Kasus penggelapan paling banyak ditemukan adalah dalam bentuk memproteksi kepentingan bisnis mereka dengan menggunakan kekuatan politik. Di beberapa negara lain modus yang terjadi seperti upaya menasionalisasi perusahaan asing, hak properti dan hak monopoli, serta mendistribusikannya ke kelompok/golongan yang dekat dengan kekuasaan. Adapun fraud atau penipuan diartikan sebagai fraud is an economic crime that involves some kind of trickery, swindle or deceit (Amundsen, 2000: 3). Fraud adalah kejahatan ekonomi yang berwujud kebohongan, penipuan, dan perilaku tidak jujur. Jenis korupsi ini merupakan kejahatan ekonomi yang terorganisir dan melibatkan pejabat. Dari segi tingkatan kejahatan, istilah fraud ini merupakan istilah yang lebih populer dan juga istilah hukum yang lebih luas dibandingkan dengan bribery dan embezzlement. Dengan kata lain fraud relatif lebih berbahaya dan berskala lebih luas dibanding kedua jenis korupsi sebelumnya. Kerjasama antar

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

15

pejabat/instansi dalam menutupi satu hal kepada publik yang berhak mengetahuinya merupakan contoh dari jenis kejahatan ini. Bentuk korupsi lainya adalah extortion atau pemerasan yang didefinisikan sebagai extortion is money and other resources extracted by the use of coercion, violance or the threats to use force (Amundsen, 2000: 4). Korupsi dalam bentuk pemerasan adalah jenis korupsi yang melibatkan aparat yang melakukan pemaksaan atau pendekatan koersif untuk mendapatkan keuntungan sebagai imbal jasa atas pelayanan yang diberikan. Pemerasan ini dapat berbentuk from below atau from above. Sedangkan yang dimaksud dengan from above adalah jenis pemerasan yang dilakukan oleh aparat pemberi layanan terhadap warga B. PETA KORUPSI DUNIA DAN REGIONAL Saat ini fenomena korupsi terjadi di hampir semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Namun demikian, di negara berkembang, tingkat korupsi cenderung tinggi dibandingkan dengan negara maju. Peta Indeks Persepsi Korupsi berikut menjelaskan distribusi geografis korupsi di seluruh dunia. Pada Tabel 2.1, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) masing-masing negara digambarkan dalam warna. Biru adalah negara-negara yang tingkat korupsinya paling kecil (9-10). Merah tua merupakan negara dengan tingkat korupsi terparah (1-1,9). Sedangkan warna-warna lain berada di antaranya (2-8,9) Namun sebagian besar negara-negara berkembang berada pada tingkat korupsi sedang sampai dengan parah (2-2,9), termasuk Indonesia (warna merah). Dari gambar di atas juga dapat diketahui bahwa gejala umum menunjukkan bahwa tingkat korupsi relatif berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

16

Gambar 2.1 Peta Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Seluruh Dunia

Sumber: Transparency International (2006) Korupsi juga menciptakan ketidak seimbangan dan ketidak adilan di masyarakat, sehingga korupsi sebenarnya merupakan persoalan yang kritis. Hal ini tidak lain karena praktik korupsi sangat mempengaruhi kinerja ekonomi dan pembangunan suatu negara. Pada masa lalu, rendahnya kesejahteraan dituding sebagai faktor dan akar penyebab korupsi. Perilaku korup dianggap menguntungkan dalam kondisi penghasilan yang rendah. Suap menjadi suplemen pendapatan dan secara esensial akan terjadi trickle-down effect. Namun saat ini, hipotesis ini banyak diragukan oleh kalangan. Banyak variabel lain yang dianggap potensial sebagai penyebab munculnya praktik korupsi, seperti nilai, budaya, perilaku, lingkungan sosial, pranata hukum dan sebagainya. Namun demikian, satu hal yang tidak diragukan bahwa daya rusak korupsi terhadap ekonomi global sangatlah besar. Seperti yang diestimasi oleh Bank Dunia bahwa pada tahun 2003 saja, untuk biaya suap yang dibayarkan (tidak termasuk penggelapan atau bentuk korupsi lainnya) pada aktivitas ekonomi mencapai USD 1 triliun. Di Indonesia, perhatian terhadap isu korupsi kembali menemukan momentumnya ketika era transparansi dan akuntabilitas menjadi wacana publik.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

17

Kesadaran masyarakat akan hukum dan situasi politik, sosial dan ekonomi yang membaik, mendorong kesadaran akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas publik. Kesadaran publik akan pentingnya memberantas korupsi juga meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran mereka akan hak dasar sebagai warga negara. Apalagi fakta menyebutkan bahwa Indonesia memiliki rapor korupsi yang tidak kunjung membaik. Momentum perhatian terhadap isu korupsi ini juga diperkuat dengan situasi euforia otonomi dan semangat desentralisasi yang justru kontra produktif terhadap upaya pemberantasan korupsi secara nasional. Penelitian Bank Dunia pada tahun 2007 mengenai korupsi di tingkat daerah menunjukkan fakta bahwa desentralsasi menyuburkan korupsi di tingkat lokal. Hal ini terjadi karena adanya desentralisasi keuangan, politik dan hubungan antara lembaga pemerintah di tingkat lokal yang ditandai dengan kuatnya kedudukan lembaga legislatif dibanding lembaga eksekutif12. Potret Indonesia dalam peta korupsi di dunia sangatlah mencolok. Sebagai contoh adalah hasil pemeringkatan korupsi oleh TI dan skor korupsi oleh PERC yang menghasilkan kesimpulan buruknya kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia, Yang paling baru, misalnya, pada rilis Bank Dunia dan PBB (September 2007) yang memprakarsai pengembalian aset melalui program Stolen Asset Recovery Innitiatives (StAR), mantan Presiden Soeharto didudukkan di peringkat pertama sebagai pengambil aset negara terbesar di dunia, dengan estimasi aset yang diambil sekitar USD 15 - 35 milyar. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kondisi status hukumnya di Indonesia, karena pada saat bersamaan, kasus sengketa Soeharto dengan Majalah Time terkait laporan harta kekayaan Soeharto, justru pada tingkatan kasasi di Mahkamah Agung dimenangkan oleh pihak Soeharto. Dalam daftar peringkat pengambil aset negara terbesar yang dirilis Bank Dunia dan PBB ini, seluruhnya berasal dari negara berkembang atau negara dengan kapasitas ekonomi yang rendah, yaitu dari kawasan Asia Tenggara, Afrika, Amerika Latin dan Eropa Timur.

12

Bank Dunia, 2007. Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi. Hal.15

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

18

Terlepas dari nuansa politis diluncurkannya prakarsa ini, berkenaan dengan program pengembalian aset ini, Sekjen PBB Ban Ki-Moon13 menegaskan bahwa Every 100 million dollars recovered could fund full vaccinations for 4 million children, provide water connections for some 250,000 households, or fund treatment for over 600,000 people with HIV/AIDS for a full year. Ini berarti bahwa dari setiap USD 100 juta yang dikembalikan, hasilnya bisa untuk membiayai vaksinasi untuk 4 juta orang anak, juga menyediakan saluran air bersih untuk 250.000 kepala kelurga (KK) atau penanganan/perawatan lebih dari 600.000 orang yang mengidap HIV/AIDS selama satu tahun penuh. Dengan demikian bisa dibayangkan betapa nilai manfaat dari pengembalian aset ini sangatlah besar. Dengan asumsi USD 10 milyar saja yang bisa kembali, maka nilai kemanfaatan yang bisa dinikmati oleh Indonesia maupun negara-begara lain yang menjadi korban korupsi akan sangat menakjubkan. Tabel 2.1 Daftar Peringkat Pengambil Aset Negara Terbesar versi StAR (Stolen Asset Recovery Innitiatives) Bank Dunia & PBB
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Nama Terduga H.M. Soeharto Ferdinand Marcos Mobutu Sese Seko Sani Abacha Slobodan/Milosevic Jean Claude Duvalier Alberto Fujimori Pavio Lazarenko Arnoldo Areman Joseph Estrada Negara Indonesia Filipina Zaire Nigeria Serbia Haiti Peru Ukraina Nikaragua Filipina Estimasi Aset USD 15 35 Milyar USD 5 10 Milyar USD 5 Milyar USD 2 5 Milyar USD 1 Milyar USD 300 800 juta USD 600 juta USD 114 200 juta USD 100 juta USD 70 80 juta Tahun 1967 1988 1972 1986 1965 1997 1993 1998 1989 2000 1971 1986 1990 2000 1996 1997 1997 2002 1998 2001

Sumber : Diolah dari Kompas online, 18 September 2007

13

Dalam Artikel Rekor Koruptor Top Markotop oleh M. Fadjroel Rachman di Kompas, 20 September 2007.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

19

Di tingkat regional pun, posisi Indonesia mendapat tempat yang sangat kontras dengan peringkat paling bawah. Peringkat yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga independen yang berbeda dengan variabel dan metode pengukuran yang berbeda, namun menunjukkan adanya konsistensi hasil pengukuran. Grafik berikut merupakan pemeringkatan negara hasil pengolahan oleh Political and Economy Risk Consultancy (PERC)sebuah lembaga independen yang berbasis di Hong Kongmenunjukkan peringkat korupsi negara-negara di Asia berdasarkan perhitungan skor, sebagai berikut: Grafik 2.1 Peringkat Korupsi Beberapa Negara Asia

Sumber : PERC, Corruption in Asia, 2006 Rentang skor dari nol sampai 10, di mana skor nol adalah mewakili posisi terbaik, sedangkan skor 10 merupakan posisi skor terburuk. Ini merupakan survey tahunan yang dilakukan oleh PERC untuk menilai kecenderungan korupsi di Asia dari tahun ke tahun. Dalam hal ini PERC bertanya kepada responden untuk menilai kondisi di mana mereka bekerja sekaligus juga untuk menilai kondisi negara asalnya

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

20

masing-masing. Metode ini digunakan agar dapat menghasilkan data perbandingan antar negara (cross-country comparison), sehingga survey ini dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi bagaimana persepsi terhadap suatu negara berubah seiring waktu. Kabar baik yang didapatkan dari survey PERC tahun 2006 ini adalah persepsi ekspatriat terhadap korupsi adalah membaiknya penanganan korupsi di banyak negara-negara Asia. Dengan kata lain, iklim bisnis di Asia menuju ke iklim yang sehat yang ditandai dengan berkurangya praktik korupsi. Kesimpulan ini didapatkan setelah membandingkan dari tahun ke tahun untuk pertanyaan survey yaitu how big is the problem of corruption in terms of its being a feature influencing the overall business environment?. Skor yang didapat dari 10 negara (dari 12 negara yang disurvey), menunjukkan adanya perbaikan. Sayangnya perbaikan iklim bisnis pada tingkat regional ini tidak didukung oleh iklim di tingkat nasional. Dari daftar peringkat di atas diketahui bahwa Indonesia menempati urutan terbawah dari 13 negara yang diukur. Data PERC ini ternyata sejalan dengan hasil survey Transparency International, sehingga menegaskan validitas buruknya kondisi korupsi di Indonesia. Grafik di atas juga menunjukkan adanya kecenderungan negara dengan kemapanan ekonomi lebih baik, mempunyai tingkat korupsi yang rendah. Sehingga semakin renda kapasitas ekonomi suatu negara, potensi korupsinya juga semakin besar. Konsistensi ini juga terlihat pada peta distribusi IPK di dunia yang dihasilkan oleh TI, di mana, wilayah yang IPK nya tinggi, lebih banyak terletak pada negaranegara yang secara ekonomi mapan. Walaupun hipotesis ini masih perlu pengujian lebih lanjut, namun secara umum yang terlihat mengindikasikan adanya konsistensi tersebut. Selain CPI atau Corruption Perception Index, TI juga menerbitkan Bribe Payer Index (BPI) yaitu adalah indeks lain yang dikembangkan untuk mengukur tingkat penyuapan yang dilakukan oleh perusahaan yang beroperasi di luar negeri. BPI ini dilakukan pada 30 negara yang termasuk pemimpin ekspor yang terkemuka di dunia. Rentang skala 1 sampai dengan 10, di mana skala 1 menunjukkan bahwa penyuapan adalah biasa, sementara skala 7 menunjukkan bahwa penyuapan tidak
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

21

pernah terjadi. Hasil dari perhitungan rata-rata kemudian dikonversi ke rentang skor 1 10. Indonesia beruntung tidak termasuk dalam list, bukan karena tidak terdapat praktik suap-menyuap, namun karena kapasitas ekonomi Indonesia tidak sebesar ke 30 negara di atas. 30 negara di atas adalah negara-negara yang secara akumulatif mewakili 82% kapasitas ekspor dunia. Berdasarkan data tersebut, Diane Mak membagi negara-negara tersebut dalam 4 cluster, yaitu: 1. Cluster 1: Switzerland, Sweden, Australia, Austria, Canada, UK, Germany, Netherlands, Belgium, USA, Japan 2. Cluster 2: Singapore, Spain, United Arab Emirates, France, Portugal, Mexico 3. Cluster 3: Hong Kong, Israel, Italy, South Korea, Saudi Arabia, Brazil, South Africa, Malaysia 4. Cluster 4: Taiwan, Turkey, Russia, China, India. Dengan pengelompokan ini, maka cluster 1 merupakan kelompok negara dengan kebiasaan praktik penyuapan yang paling sedikit, atau hampir tidak terjadi, sementara cluster 4 mewakili negara dengan kondisi praktik suap yang parah dan dianggap biasa dalam aktivitas bisnis. Adapun kalau dilihat dari segi sektor, maka terdapat 7 sektor yang paling sering terlibat dalam kasus praktik penyuapan. Sektor-sektor tersebut adalah: 1. kepolisian, 2. pelayanan/perijinan, 3. peradilan, 4. pelayanan medis, 5. pendidikan, 6. pendapatan umum dan 7. pajak.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

22

Tabel 2.2 Indeks Penyuapan Beberapa Negara

Sumber : Diane Mak, 2006

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

23

Grafik 2.2 Sektor terlibat kasus Penyuapan

Prosentase Responden Pembayar Suap

Polisi

Pelayanan Perijinan

Peradilan/ Hukum

Pelayanan Medis

Sistem Pendidikan

Pekerjaan Umum

Pendapatan Pajak

Sumber : TI Global Corruption Barometer, 2006. TI menemukan bahwa kepolisian merupakan sektor yang paling rawan, sementara pajak merupakan sektor yang paling aman dari dari ketujuh sektor terhadap praktik penuapan. Gambaran sektor ini tidak mencerminkan gambaran masing-masing negara, namun merupakan agregasi dari seluruh negara yang disurvey. Oleh karenanya terdapat variasi ranking sektor pada masing-masing negara. Ranking sektor ini tidak menunjukkan besarnya nominal nilai uang yang berputar dalam praktik korupsi di masing-masing sektor. Sedangkan dari segi distribusi wilayah, diketahui bahwa ternyata benua Afrika merupakan kawasan yang paling banyak mencatat praktik penyuapan ini, sementara wilayah Uni Eropa merupakan wilayah yang dinyatakan relatif paling bersih. Posisi Asia Pasifik terletak di ranking 4 dari 7 wilayah yang dikelompokkan. Grafik berikut secara rinci menunjukkan masing-masing posisi wilayah.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

24

Grafik 2.3 Wilayah yang terkena dampak kasus Penyuapan

Prosentase Responden Pembayar Suap

Total Sampel

Afrika

Amerika Latin

NIS

Asia Pasifik

Eropa Amerika Utara

UE +

Sumber : TI Global Corruption Barometer, 2006. Memperhatikan data-data sekunder di atas, maka sangat wajar kalau banyak suara yang pesimis mengenai prospek pemberantasan korupsi di Asia, khususnya di Indonesia. Korupsi di Asia bukan sesuatu yang tidak mungkin diberantas. Bahkan korupsi juga bukan merupakan bagian dari budaya Asia atau negara-negara berkembang. Hal ini telah dibuktikan dengan baik oleh Singapura dan Cili yang secara agresif berhasil memberantas korupsi, sehingga menempatkan mereka menjadi negara dengan kategori jauh lebih bersih melebihi negara-negara Eropa Barat seperti Perancis dan Spanyol. Sehubungan dengan kepentingan penelitian ini, maka dipilih 3 negara yang mewakili profil korupsi yang terbaik yaitu Singapura dan Hon Kong, serta profil korupsi yang lemah yaitu India. Pemilihan ini lokus ini didasarkan pada beberapa pertimbangan penting. Pemilihan Singapura dan Hong Kong lebih di dasarkan pada fakta bahwa kedua negara termasuk paling sukses dalam upaya pemberantasan korupsi. Sedangkan pemilihan India adalah atas dasar pertimbangan kemiripan struktur pemerintahan dan cakupan (coverage) wilayah yang relatif sama luasnya.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

25

Sehingga ada asumsi bahwa kompleksitas pemasalahan yang dihadapi relatif juga sama. Pertimbangan lain yang tidak kalah pentingnya bahwa India dicatat oleh PERC telah menghasilkan kemajuan besar dalam upaya pemberantasan korupsi ini. Berikut ini adalah perbandingan umum masing-masing sampel negara yang menjadi lokus kajian ini. Tabel 2.3 Perbandingan Profil 4 Negara dalam Penanganan Korupsi
Peringkat Kelembagaan Singapura Hong Kong India Indonesia CPIB ICAC CBI*, CVC KPK, Kepolisian, Kejaksaan Tahun 1952 1974 1963,1964 2002 Perundangan 2 UU 3 UU 5 UU 7 UU Cakupan Skala kota/lokal Skala kota/lokal Skala nasional Skala nasional di Asia (2006) 1 3 8 13

Sumber : Diolah dari berbagai sumber Dalam perbandingan di atas, dapat diketahui bahwa Singapura merupakan pionir dalam upaya pemberantasan korupsi. Sejak didirikannya Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) pada tahun 1952, Singapura kini telah mencatatkan diri sebagai negara paling bersih korupsi di tingkat Asia, dan bahkan di dunia pun Singapura diakui secara internasional. Sementara Hong Kong menandai permulaan perjuangan pemberantasan korupsi dengan membentuk lembaga independen ICAC pada tahun 1974. Hong Kong harus melewati kompromi politik antar lembaga terkait, terutama bagi beberapa lembaga yang diduga melakukan praktik korupsi, untuk memuluskan strategi pemberantasan korupsinya. Dalam waktu singkat Hong Kong meraih hasil yang sangat maju, sehingga berhasil masuk kategori wilayah paling bersih di Asia setelah Singapura dan Jepang. Perlu diperhatikan bahwa terdapat persamaan profil antara Singapura dan Hong Kong di mana keduanya memiliki wilayah teritori yang kecil, seukuran kota.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

26

Fokus pemberantasan korupsi pada kedua negara menjadi lebih baik karena cakupan yang kecil atau city concern. Kondisi geografis ini menguntungkan keduanya dalam melakukan percepatan pemberantasan korupsi, karena daya jangkau yang lebih cepat. Sebagai negara di Asia yang berprestasi dalam hal pemberantasan korupsi, Singapura dan Hong Kong boleh jadi merupakan contoh yang ideal. Namun apabila memperhatikan variabel lain yang membedakan karakteristik kedua negara dengan negara-negara lainnya maka Singapura dan Hong Kong menjadi terlalu jauh untuk dijadikan benchmark dalam memberantas korupsi. Sebagai contoh, kondisi luas wilayah geografis Indonesia yang puluhan kali lebih besar dari Singapura dan Hong Kong, tentu akan memunculkan kompleksitas permasalahan di lapangan yang jauh lebih rumit. India sebagai negara dengan wilayah daratan yang luas, mempunyai karakteristik permasalahan yang mirip dengan Indonesia. Kondisi geografis menyebabkan struktur pemerintahan di India juga bertingkat, disesuaikan dengan kebutuhan distribusi kekuasaan pada jenjang vertikal dari pusat ke daerah (negara bagian) dan horizontal, mencakup seluruh wilayah pada tataran level pemerintahan yang sama. Indonesia dengan kondisi yang relatif sama juga mempunyai profil dan struktur pemerintahan yang berjenjang. C. KORUPSI DI BEBERAPA NEGARA 1. SINGAPURA Sejarahnya Singapura mulai menjadi koloni Inggris sejak tahun 1819. Pada tahun 1963 bergabung dengan Federasi Malaysia, namun dua tahun kemudian memisahkan diri dari Malaysia dan menjadi merdeka. Singapura dikenal sebagai salah satu negara paling sejahtera di dunia dengan jaringan perdagangan internasional yang kuat, terutama didukung oleh adanya aktivitas pelabuhan Singapura yang termasuk pelabuhan paling sibuk di dunia. Kondisi ekonomi yang sangat bagus dicerminkan oleh Gross Domestic Product (GDP) per kapita yang menyamai atau setara dengan negara-negara Eropa Barat.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

27

Singapura menganut tipe pemerintahan republik parlementer, dengan dukungan konstitusi 3 Juni 1959, yang sudah diamandemen pada tahun 1965. Struktur pemerintah Singapura adalah sebagai berikut: 1. Kepala Negara adalah Presiden 2. Kepala Pemerintahan adalah Perdana Menteri yang dibantu oleh Senior Minister dan Minister Mentor. Sedangkan kelembagaan legislatif Singapura menganut Parlemen Unikameral, dengan jumlah kursi 84 buah, dihasilkan dari pemilihan umum untuk masa periode 5 tahun. Sebagai tambahan tersedia 9 kursi untuk calon anggota legislatif yang dinominasikan, dan 3 kursi untuk pihak oposan yang kalah, yang ditunjuk sebagai anggota non-konstituen (nonconstituency members). Grafik 2.4 Kecenderungan Korupsi di Singapura

Sumber : PERC, Corruption in Asia, 2006 Berdasarkan laporan PERC, Singapura adalah salah satu negara yang secara konsisten sebagai negara paling bersih korupsi di level Asia. Konsistensi ini ditunjukkan oleh grafik berikut ini, di mana skor yang dimiliki Singapura selalu berada di atas skor rata-rata Asia selama kurun waktu 10 tahun terakhir.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

28

Singapura adalah negara dengan kinerja pemberantasan korupsi terbaik di Asia, bahkan termasuk yang terbaik di dunia. Dengan skor yang mendekati angka absolut 0, Singapura mencatatkan diri sebagai negara dengan konsistensi pemberantasan korupsi yang paling baik. Grafik di atas bahkan membuktikan bahwa skor yang dimiliki oleh Singapura berada jauh di atas rata-rata skor Asia. 2. HONG KONG Wilayah Hong Kong berada di bawah pemerintahan kolonial Inggris pada tahun 1841, dan setahun kemudian secara resmi dilepaskan oleh Cina. Berdasarkan perjanjian antara Cina dengan Inggris pada tanggal 19 Desember 1984, Hong Kong berubah status dan nama resmi menjadi the Hong Kong Special Administrative Region (SAR) of China mulai tanggal 1 Juli 1997. Pada perjanjian ini, Cina menjanjikan formula one country, two system, yang berimplikasi bahwa sistem ekonomi sosialis Cina tidak akan diberlakukan di Hong Kong, serta Hong Kong akan menikmati otonomi yang sangat luas, mencakup banayk kewenangan kecuali urusan luar negeri dan pertahanan sampai dengan 50 tahun ke depan. Hong Kong berlokasi di wilayah Asia Timur, berbatasan langsung dengan Cina dan Laut Cina Selatan, dengan total luas 1.092 km persegi. Sampai dengan Juli 2007 diperkirakan populasi penduduk di Hong Kong mencapai 6.980.412 jiwa dengan struktur demografi 13% usia di bawah 14 tahun, 74% usia produktif antara 15 64 tahun, serta 12,9% untuk usia pensiun yaitu 65 tahun ke atas. Penyelenggaraan pemerintahan Hong Kong didukung oleh konstitusi mini (Basic Law) yang telah disetujui oleh Chinas National Peoples Congress pada Maret 1990. Secara formal struktur lembaga eksekutif terdiri atas : 1. Kepala Negara adalah Presiden Cina 2. Kepala Pemerintah adalah Chief Executive, yang dipilih oleh 800 anggota komisi pemilihan untuk setiap periode 5 tahunan, 3. Kabinet yaitu Executive Council yang terdiri dari 14 anggota resmi dan 15 anggota tidak resmi. Sedangkan lembaga legislatif dikenal dengan nama LEGCO atau Legislative Council bersifat unicameral, terdiri dari 60 kursi.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

29

Berdasarkan laporan PERC, kondisi penanganan korupsi di Hong Kong relatif stabil. Walaupun ada penurunan sedikit dalam 2 tahun erakhir, namun penurunan ini tidak signifikan, karena kecenderungan penuruan ini juga terjadi pada skor rata-rata Asia. Grafik 2.5 Kecenderungan Korupsi di Hong Kong

Sumber : PERC, Corruption in Asia, 2006 Sama halnya dengan Singapura, kinerja pemberantasan korupsi di Hong Kong tergolong sangat baik. Dalam 10 tahun terakhir, skor yang di capai Hong Kong selalu berada di atas skor rata-rata Asia. Capaian ini menempatkan Hong Kong sebagai salah satu wilayah yang paling bersih korupsi di Asia. Namun demikian terdapat data menarik dari ICAC mengenai kecenderungan pelaku korupsi di Hong Kong, yang meningkat dari segi jumlah, maupun dari sektorsektor di mana para pelaku itu berasal. Grafik di bawah menunjukkan kecenderungan praktik korupsi di Hong Kong adalah meningkat dalam kurun 30 tahun lebih. Apabila diperhatikan pada tahun 19741978 terjadi penurunan praktik korupsi. Berdasarkan keterangan informan, pada periode tersebut terjadi resistensi yang hebat dari beberapa pihak terhadap upaya pemberantasan korupsi di Hong Kong oleh ICAC. Akhirnya, karena situasinya menjadi deadlock, maka diputuskan untuk dilakukan pengampunan massal kepada
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

30

unit dan individu pelaku korupsi, dan mulai melakukan upaya pemberantasan efektif, setelah adanya pengampunan massal itu. Grafik 2.6 Laporan Korupsi Hong Kong

5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 '00 '02 '04 '06
Total 3,339 Sektor Bisnis 2,037
Pemerintah 1,068

Lembaga Publik 234

Sumber : ICAC Hong Kong, 2007 Fakta yang menarik dari grafik itu diketahui bahwa kecenderungan sektor publik dalam praktik korupsi menurun dalam 6 tahun terakhir. Demikian pula korupsi di sektor bisnis mengalami trend penurunan yang sama. Namun demikian sektor bisnis masih tetap lebih tinggi tingkat korupsinya dibandingkan dengan sektor publik. Tercatat sejak tahun 1988 sampai dengan saat ini, berdasarkan data statistik ICAC, sektor bisnis menyalip sektor publik dalam hal praktik korupsi. Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga publik antara lain adalah Legislative Council (LegCo), Securities and Future Commission (SFC), The Hospital Authority (HA), dan Urban Renewal Authority (URA). Dalam sebuah survey tahunan yang melibatkan 1.500 warga Hong Kong melalui random sampling, dan dilaksanakan pada akhir tahun 2006 oleh lembaga penelitian profesional, dipanitiai oleh ICAC, diketahui bahwa toleransi publik

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

31

terhadap korupsi di pemerintahan: mencapai nilai 1,114. Artinya bahwa publik Hong Kong pada umumnya sangat tidak mentolerir adanya praktik korupsi di Hong Kong. 3. INDIA India adalah salah satu negara dengan sejarah peradaban leluhur paling tua di dunia. Peradaban lembah Hindus telah hadir sejak 5000 tahun silam. Suku Arya yang berasal dari Barat Laut telah menduduki dataran India sejak 1500 SM, yang kemudian berakulturasi dengan penduduk lokal Dravidian menghasilkan budaya India klasikal. Infiltrasi asing mulai masuk dimulai dengan serangan Arab pada abad 8 dan Turki pada abad 12. Sampai dengan abad ke 19, seluruh dataran India dikuasai oleh pemerintah kolonial Inggris. Dengan perjuangan anti kekerasan oleh Mohandas Gandhi dan Jawaharlal Nehru, India berhasil memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1947. Pada tahun 1971, East Pakistan menjadi negara terpisah yang dikenal sekarang dengan nama Bangladesh. Persoalan utama yang kini dihadapi India adalah konflik tidak berujung dengan Pakistan mengenai wilayah Kashmir, populasi yang terlalu besar, degradasi lingkungan, kemiskinan yang meluas serta konflik etnik dan agama. India berlokasi di selatan Asia, berbatasan dengan Laut Arab dan Teluk Bengal, antara Myanmar dan Pakistan, memiliki luas wilayah mencapai 3.287.590 km persegi. Estimasi populasi penduduk pada Juli 2007 mencapai 1.129.866.154 jiwa. Tipe pemerintah India merupakan Republik Federal, yang terdiri dari 28 negara bagian dan 7 union territories. Adapun struktur lembaga eksekutif adalah terdiri dari. 1. Kepala Negara adalah Presiden, yang dibantu oleh Wakil Presiden. 2. Kepala Pemerintahan adalah Perdana Menteri. 3. Kabinet dibentuk dengan anggotanya ditunjuk/diangkat oleh Presiden atas rekomendasi Perdana Menteri. Sedangkan kelembagaan legislatifnya adalah parlemen bikameral (Sansad) yang terdiri dari Dewan Negara atau Rajya Sabha dan Majelis Rakyat atau Lok Sabha.
14

Skala nilai 0 -10, di mana 0 mewakili penolakan total dan 10 mewakili toleransi total

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

32

Rajya Sabha terdiri dari 250 anggota, di mana 12 anggota diantaranya ditunjuk oleh Presiden, sedangkan sisanya dipilih oleh anggota state and territorial assmeblies. Anggota Rajya Sabha melaksanakan tugasnya untuk periode enam tahun. Adapun Lok Shaba terdiri atas 545 kursi, di mana 543 merupakan keannggotaa hasil pemilihan umum, dan sisanya sejumlah 2 orang anggota ditunjuk oleh Presiden. Berdasarkan data PERC, peringkat India dalam 10 tahun terakhir selalu berada di bawah skor rata-rata Asia. Namun demikian pada dua tahun terakhir terdapat peningkatan yang sangat baik, yaitu menembus skor terbaik di bawah 7, setelah pencapaian terbaik sebelumnya pada tahun 1998. Hal ini merupakan indikasi penting dari keseriusan dan itikad yang kuat berbagai pihak di India untuk memberantas korupsi. Grafik 2.7 Kecenderungan Korupsi di India

Sumber : PERC, Corruption in Asia, 2006 Menurut survey yang dilakukan PERC, 2006, pada umumnya ekspatriat di India percaya adanya perbaikan situasi korupsi di India. Hal ini dibuktikan dengan perubahan persepsi ini yang dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2005) adalah yang terbesar di bandingkan negara-negara lainnya. Oleh karenanya skor saat ini adalah yang terbaik yang pernah dicapai India. Responden yang sama juga

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

33

berpendapat negatif mengenai determinasi pemerintah dalam memberantas korupsi, dan efektivitas sistem yudisial dalam menuntut dan menghukum individu pelaku korupsi. Fakta menarik lainnya bahwa lebih dari 40% responden berpendapat bahwa level korupsi mengalami penurunan Penyebab korupsi di India diyakini bukan karena rendahnya gaji atau kesejahteraan pegawai. Dalam satu kesempatan Seminar yang diorganisir oleh UNODC di the India Habitat Centre, New Delhi, Desember 2005, Tahiliani15 menegaskan bahwa faktor rendahnya gaji sebegai penyebab korupsi di India adalah sebuah mitos belaka. Justru penegakan hukum yang masih lemah menjadi faktor yang berkontribusi langsung terhadap level korupsi di India. Tahiliani16 selanjutnya berpendapat bahwa penyebab terbesar terjadinya korupsi di India adalah aktivitas politik dalam negeri, terutama dengan adanya eventevent pemilihan umum. India dengan struktur kelembagaan pemerintahan federal, memiliki pemerintahan yang berjenjang, dari mulai pemerintah federal dan pemerintah negara bagian. Pemilihan umum yang dilakukan pada masing-masing level pemerintahan kerap membuka peluang terjadinya korupsi. Dalam penelasan yang lebih rinci, menurut Sondhi17, seorang spesialis Ilmu Politik dari University of Delhi menulis bahwa korupsi di India terjadi akibat beberapa faktor yaitu : Pertama, patronase atau kepemimpinan politik. Dari akar permasalahan patronase politik ini, kemudian menurunkan banyak varian praktik korupsi yang berdampak pada aktivitas politik, ekonomi dan sosial. Selanjutnya menurut Sondhi (2000), dokumen resmi pertama yang mengupas masalah korupsi di India adalah the AD Gorwala Report. Dalam dokumen ini disebutkan bahwa sebenarnya penurunan character building di India pasca periode 1974 menyebabkan dua akibat langsung yaitu kekerasan dan ketamakan. Perang Dunia Kedua menjadi faktor yang menguntungkan sebagian orang, baik secara legal maupun ilegal.

Admiral Tahiliani, Chairman of TI India Wawancara oleh Tim Peneliti terhadap Mr. Tahiliani dilakukan pada Mei 2007 17 Sonil Sondhi, 2000. Combatting Corruption in India: The Role of Civil Society. Hal. 7
15 16

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

34

Kedua, labirin administrasi. Sistem administrasi dan hukum India didesain pada pertengahan abad ke 19 untuk melayani kepentingan pemerintah kolonial Inggris pada masa itu. Ketiga, hukum yang lemah. Faktor yang berkontribusi besar terhadap pertumbuhan korupsi di India adalah hukum dan pranatanya yang menangani kasus korupsi secara biasa saja. Tidak muncul itikad yang kuat untuk memberantas korupsi di India. Pelaku korupsi jarang ditangkap, kalaupun tertangkap dan diadili, hanya akan mendapat hukuman yang ringan atau malah dibebaskan dari segala tuduhan. Keempat, lingkungan sosial. Administrasi publik sebagai sub sistem dari sistem politik, merupakan bagian dari sistem yang lebih besar yaitu sistem sosial. Oleh karenanya sistem sosial sangat berpengaruh terhadap administrasi publik. Korupsi telah menjadi bagian dari perilaku dan kejiwaan masyarakat India, sehingga dianggap tidak melanggar norma. Lebih lanjut menurut Tahiliani, korupsi di India telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rs 20.000 crores18. Sementara Bank Dunia mengestimasi kerugian ditaksir sekitar 3% dari pertumbuhan bisnis di India per tahunnya. Selanjutnya perhitungan Bank Dunia, dengan adanya upaya mengurangi korupsi di India, maka dampak positif yang langsung dirasakan adalah meningkatkan pertumbuhan pendapatan sekitar 2-4% per tahun. Dalam kasus korupsi di India, TI India melaporkan bahwa tidak semua instansi pemerintah terlibat dalam kasus korupsi yang berskala besar. Dua di antaranya yaitu jawatan kereta api dan telekomunikasi yang berhasil mengurangi level korupsi secara signifikan setelah memanfaatkan teknologi informasi dalam menjalankan fungsinya. Korupsi di India tidak hanya melibatkan sektor publik, namun juga sektor swasta. Oleh karenanya di India dikenal tiga jenis korupsi, yaitu : 1. Korupsi dalam partai politik 2. Korupsi dalam domain publik 3. Korupsi dalam masyarakat madani

18

satuan penghitungan di India, 1 crore = 10 juta.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

35

4. INDONESIA Seperti yang sudah diulas banyak pada latar belakang, bab pendahuluan dan awal bab ini, kondisi Indonesa dalam peta korupsi dunia maupun regional masih sangat memprihatinkan. Di mata internasional Indonesia seolah identik dengan praktik korupsi. Citra yang begitu buruk ini sudah melekat pada setiap individu maupun bangsa. Data PERC menunjukkan belum adanya perbaikan signifikan dan efektif terhadap pemberantasan korupsi. Grafik 2.8 memperlihatkan fakta bahwa praktik korupsi di Indonesia jauh lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Grafik 2.8 Kecenderungan Korupsi di Indonesia

Sumber : PERC, Corruption in Asia, 2006 Dari Gambar 2.9 diketahui bahwa peringkat korupsi Indonesia dalam 10 tahun terakhir relatif tidak mengalami perubahan. Pada tahun 2004 2006 terlihat ada sedikit perbaikan kinerja, walaupun masih cukup jauh di bawah skor rata-rata Asia. Bahkan data pada rentang tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, menunjukkan bahwa angka korupsi di Indonesia menyentuh angka absolut, yang berarti praktik

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

36

korupsi yang terjadi pada periode tersebut sangat memprihatinkan, dan menentuh batas-batas yang bisa ditolerir. Grafik 2.9 Pengendalian Korupsi (2002)

Sumber : World Bank, Combatting Corruption in Indonesia, 2003. p.2 Data dari TI juga memposisikan Indonesia dalam posisi terbawah sebagai salah satu negara paling korup. Dari beberapa hasil survey oleh lembaga-lembaga independen, maka World Bank Institute berinisiatif untuk mengaggregasi hasil survey untuk menentukan kinerja pemberantasan korupsi beberapa negara. The World Bank Institute melakukan perhitungan dengan metode agregasi dari berbagai data statistik dan peringkat korupsi yang dikeluarkan beberapa lembaga internasional, menghasilkan kesimpulan bahwa Indonesia bersama Bangladesh dan Nigeria adalah negara-negara dengan kinerja pemberantasan korupsi paling buruk.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

37

Bab III Kebijakan Dan Perundangan Pemberantasan Korupsi

trategi pemberantasan korupsi melalui penataan kebijakan dan peraturan perundangan dilakukan oleh banyak negara. Pemberantasan korupsi memerlukan perangkat undang-undang anti korupsi yang efektif karena

dengan instrumen hukum ini dapat diberikan jaminan kepastian hukum dan jaminan keadilan yang lebih objektif. Penataan kebijakan dan perundangan juga termasuk menata pranata hukum, sehingga membangun kapasitas hukum yang lebih berwibawa. Dengan adanya kapasitas hukum yang berwibawa, citra pemberantasan korupsi akan secara otomatis membaik. Namun demikian, lingkungan lokal strategis sangat berpengaruh dalam mendukung atau sebaliknya yaitu resisten terhadap strategi kebijakan dan perundangan ini. Ketika strategi pemberantasan korupsi diperkenalkan pertama kali di Hong Kong, misalnya, justru pihak yang resisten dengan kebijakan ini adalah aparat kepolisian yang notabene merupakan bagian dari pranata hukum itu sendiri. Pada waktu itu sektor kepolisian adalah termasuk yang paling korup di bandingkan dengan sektor-sektor publik lainnya. Akibat dari resistensi yang muncul ini adalah disharmoni antara sesama lembaga penegak hukum. Untuk menghindari kebuntuan, dilakukan kompromi kebijakan yang memberikan pengampunan yang hanya berlaku pada saat itu. Pada tingkat domestik, beberapa kendala seputar perundangan anti korupsi banyak ditemukan, antara lain adanya indikasi bahwa perangkat perundangundangan justru kontra produktif terhadap upaya pemberantasan korupsi. Yang lebih mengkhawatirkan adalah adanya kecenderungan perundang-undangan antikorupsi

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

38

yang justru melindungi pelaku korupsi, bukan karena kesengajaan, namun akibat sistem pembuktian yang terlalu berbelit-belit. Dengan kondisi seperti ini, pelaku korupsi diuntungkan dengan celah pembuktian yang berbelit, yang memudahkan mereka untuk memanfaatkan celah ini untuk menghindari pembuktian secara hukum. Di masa lalu persoalan korupsi merupakan persoalan masing-masing negara. Penyelesaian kasus korupsi merupakan persoalan yang hanya diselesaikan pada tingkat lokal, dan tidak mempunyai hubungan dengan lingkungan luarnya. Namun demikian, dalam perkembangannya, kasus korupsi tidak lagi berhenti pada level domestik, namun melaju melampaui batas-batas negara dan. Persoalan di tingkat lokal ini pun akan bertambah kompleks dengan keruwetan sistem perundangan di negara lain, apabila sebuah kasus korupsi melibatkan negara lain yang menjadi tujuan pelarian uang hasil korupsi. Dalam konteks tata hubungan internasional, wilayah yurisdiksi suatu negara merupakan wilayah yang memiliki kedaulatan hukum masing-masing, Saat ini persoalan korupsi sudah bukan lagi merupakan persoalan di tingkat lokal saja, tetapi telah menjadi perhatian dan kepentingan masyarakat internasional yang lebih luas. Korupsi diyakini bukan persoalan lokal, karena daya rusak korupsi juga melampaui batas-batas kedaulatan negara. Dengan demikian, kerjasama internasional menjadi instrumen penting untuk menjembatani penyelesaian berbagai persoalan lintas negara, termasuk masalah aset yang dikorupsi. Kerjasama internasional diwujudkan melalui pelembagaan kerjasama dan harmonisasi perundangan dari masing-masing negara yang berbeda. Berkenaan dengan hal tersebut, lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan Bank Dunia memegang peranan sangat penting untuk mengintegrasikan upaya harmonisasi perundangan. Hukum internasional yang berhubungan langsung dengan penanganan korupsi, termasuk yang berlaku untuk wilayah Asia Pasifik dan Asia Tenggara adalah: Anti Corruption Action Plan for Asia and the Pacific Action Plan (Konferensi Tokyo 2001) MoU on Cooperation for Preventing and Combating Corruption 2004 (Singapura, Indonesia, Brunei, Malaysia)
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

39

The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) Dalam konteks hubungan internasional, negara-negara yang sedang

membangun instrumen untuk memerangi korupsi di masing-masing negara, memerlukan model kerjasama melalui sebuah kerangka hukum (legal framework) untuk secara resmi melakukan perjanjian ekstradisi dan MLA (Mutual Legal Assistance). Di Asia Pasifik sendiri terdapat berbagai jenis MLA yang berbeda. Tercatat lebih dari 70 MLA yang berjalan di wilayah ini, berdasarkan OECD AntiCorruption Division yang menyelenggarakan Prakarsa Anti Korupsi untuk Asia Pasifik (ADB/OECD Anti-Corruption Initiative for Asia and the Pacific). Belakangan model ini kemudian dikembangkan lebih luas dalam skema kerjasama multilateral, seperti the OECD Convention on Combatting Bribery of Foreign Public Officials in International BusinessTransactions. Untuk menyiasati ketiadaan treaty, maka banyak negara-negara Asia Pasifik yang mempunyai perangkat perundangan dalam sistem hukum domestiknya yang memberi peluang untuk melakukan kerjasama kasus per kasus. Dalam hal asset recovery, kedua konvensi PBB di atas juga memuat inovasi yang memungkinkan untuk meningkatkan kerjasama internasional. Dengan semakin banyaknya negara-negara Asia Pasifik yang menjadi bagian dari konvensi ini, tentu akan mendukung percepatan model kerjasama internasional dalam pemberantasan korupsi, khususnya dalam hubungannya dengan perjanjian ekstradisi dan MLA. UNCAC menentukan adanya lima komponen penting dalam membangun instrumen pemberantasan korupsi, yaitu: Prevention / Pencegahan Criminalization / Kriminalisasi General technical assistance/information exchange/implementation Asset recovery / Pengembalian aset International cooperation / kerjasama internasional

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

40

Beberapa waktu terakhir, komponen asset recovery atau pengembalian aset dan international cooperation atau kerjasama internasional menjadi isu utama dalam konvensi ini. Komponen kerjasama internasional yang dimuat dalam pasal 44 sampai dengan pasal 50 konvensi ini adalah: 1. Ekstradisi (pasal 44) 2. Transfer Narapidana (pasal 45) 3. Mutual Legal Asistance /MLA (pasal 46) 4. Transfer of Criminal Proceedings (pasal 47) 5. Kerjasama Penegakan hukum (Pasal 48), dan 6. Investigasi bersama (pasal 49) 7. Teknik Investigatif khusus (pasal 50) A. SINGAPURA Salah satu pilar strategi pemberantasan korupsi di Singapura adalah perangkat perundangan anti korupsi yang selalu dikembangkan dan disesuaikan dengan dinamika lingkungan internal dan eksternal. Pengembangan perundangan anti korupsi di Singapura dilakukan dengan adanya beberapa amandemen atau perubahan yang dianggap perlu untuk mengantisipasi masalah secara kontekstual. Amandemen ini dilakukan bukan untuk merubah isi, namun justru untuk memperluas daya jangkau perundangan dalam rangka efektivitas pemberantasan korupsi. Terminologi korupsi, misalnya, dalam perundangan Singapura (Prevention of Corruption Act) adalah The asking, receiving or agreeing to receive, giving, promising or offering of any gratification as an inducement or reward to a person to do or not to do any act, with a corrupt intention. Jadi korupsi diartikan sebagai upaya meminta, menerima atau menyetujui untuk meminta, memberi, menjanjikan atau menawarkan gratifikasi sebagai inducement atau hadiah kepada orang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal, dengan sebuah maksud yang korup. Pengertian ini telah menjadi pegangan masyarakat hukum di sana, sejak UU ini diundangkan.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

41

Instrumen utama perundangan di Singapura terkait dengan pemberantasan korupsi19, yaitu : 1. Prevention of Corruption Act (PCA) 2. Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes (Confiscation of Benefits) Act PCA diundangkan pada tanggal 17 Juni 1960, selain untuk memberdayakan CPIB, memiliki 5 unsur penting yaitu a. Ruang lingkup PCA diperluas menjadi 32 section, dimana dalam Prevention of Corruption Ordinance sebelumnya hanya mempunyai 12 section. Pada perkembangannya, PCA mengalami amandemen beberapa kali, sampai saat ini telah bertambah menjadi 37 section. b. Korupsi secara jelas didefinisikan dalam berbagai bentuk gratifikasi dalam section 2 yang juga mendefinisikan untuk pertama kali CPIB dan Direkturnya. c. Hukuman untuk pelaku korupsi ditingkatkan menjadi hukuman penjara 5 tahun dan/atau denda S$ 10,000 dalam section 5. Hukuman ini ditingkatkan menjadi S$ 100,000 sejak tahun 1989. d. Bagi yang terbukti menerima gratifikasi secara ilegal harus membayar kembali suap yang diterimanya sebagai tambahan atas hukuman yang dikenakan di pengadilan20 e. Memberikan kewenangan yang lebih luas bagi CPIB seperti memberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan dan menyelidiki orang yang ditahan kepada personil (section 15), memberikan keweangan kepada penuntut umum untuk mengijinkan direktur dan personil senior CPIB menyelidiki rekening bank orang yang dicurigai melanggar PCA (section 17) dan memberikan wewenang kepada personil CPIB untuk memeriksa
KBRI Singapura. 2006. Korupsi dan Permasalahannya; Singapura Sebagai Studi Kasus. Hal. 46 Berdasarkan hasil diskusi dengan Direktur Investigasi CPIB dan Ng Sheng seorang officer pada International & Public Affairs CPIB pada Juni 2007, dijelaskan bahwa semua public official termasuk pegawai CPIB dilarang untuk menerima barang apapun dari pihak mana pun. Setiap penerimaan barang harus di-declare dan diserahkan untuk menjadi properti instansi atau aset negara. Pada prinsipnya seluruh pegawai menerima jaminan kesejahteraan dari negara, sehingga penerimaan pendapatan di luar dari apa yang disediakan oleh negara dianggap pelanggaran. Dalam hal ini, penekanannya terletak pada profesionalisme pegawai.
19 20

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

42

rekening pejabat publik termasuk milik isteri, anak atau agennya jika diperlukan. Kapasitas instrumen PCA ini terus dikembangkan oleh Singapura secara ekspansif, disesuaikan dengan dinamika lingkungan yang terjadi. PCA selain menangani dan mengatur korupsi aktif, juga mengatur korupsi dalam bentuk pasif. Seluruh pelaku potensial korupsi dapat dijerat oleh pasal-pasal kriminal korupsi di PCA, yaitu sari sektor publik, swasta, individu di Singapura dan warga negara Singapura di mana pun, termasuk di luar negeri. Seperti pada tahun 1963, PCA sudah memberikan kewenangan kepada personil CPIB untuk meminta kehadiran saksi dan memeriksanya, serta memperoleh bantuan dari saksi. Pada tahun 1966, PCA menambah kewenangan CPIB, yaitu : a. Pada section 28 bahwa seseorang dapat didakwa korupsi meskipun tidak secara nyata menerima suap, mengingat niat untuk korupsi sudah cukup untuk mendakwa. b. Pada section 35 bahwa warga negara Singapura yang bekerja untuk pemerintah di kedutaan besar dan badan pemerintah lainnya di luar negeri dapat dituntut di hadapan hukum untuk korupsi yang dilakukan di luar wilayah yurisdiksi Singapura akan diperlakukan seolah-olah dilakukan di dalam wilayah yurisdiksi Singapura. Pada amandemen PCA yang ketiga pada tahun 1981, dimaksudkan untuk menciptakan efek pencegahan dengan mewajibkan mereka yang terbukti di pengadilan melakukan korupsi untuk mengembalikan dana yang korupsi, selain hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan. Apabila yang bersangkutan tidak mampu mengembalikan, maka akan dikenai hukuman yang lebih berat. Efek pencegahan ini sangat kental terasa, misalnya pada kasus korupsi Lim How Seng (seorang mantan kepala Museum Singapura), yang pada tahun 2002 yang padahal hanya terbukti meminta 2 pinjaman sebesar S$ 20,000 kepada pemenang tender pada proses pengadaan 3-dimensional show yang baru untuk museumnya. Dia mendapat hukuman 3 bulan penjara, dan berkewajiban membayar denda S$ 20,000. Ironisnya dia juga kehilangan hak
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

43

pensiunnya yang jauh lebih besar dari uang yang diperkarakan yaitu sebesar kurang lebih antara S$ 125,000 s.d. S$ 200,000 per bulan. Diberitakan yang bersangkutan tidak lama kemudian melakukan bunuh diri akibat rasa malu yang amat sangat serta kehilangan martabat oleh kasus korupsi yang menimanya di mana hanya melibatkan uang kurang lebih 10% dari penghasilan pensiunan per bulannya. PCA juga memberikan wewenang untuk melakukan investigasi kepada pejabat investigasi yang menangani kasus korupsi dan menetapkan hukuman yang tegas bagi segala bentuk korupsi dan gratifikasi21. Bahkan pada bab 241 yang sangat ekspansif, PCA memberikan kewenangan kepada CPIB untuk melakukan penangkapan terhadap pelaku tanpa harus menunggu adanya surat perintah (seizable offences), apabila ditemukan ada indikasi pelanggaran tindak pidana korupsi. PCA juga memungkinkan penuntut umum menerbitkan perintah yang memberikan wewenang kepada pejabat CPIB untuk melakukan kewenangan polisi seperti pada saat melakukan investigasi berbagai kejahatan, dan kewenangan polisi lannya untuk membebaskan dengan jaminan mereka yang menjadi subyek investigasi (section 16). Dalam hal perlakuan terhadap mereka yang melaporkan kasus korupsi baik melalui telepon maupun secara tertulis, berdasarkan section 28, PCA memberikan perlindungan. Menurut Ng Sheng, seorang officer International & Public Affairs CPIB, perlindungan ini meliputi kerahasiaan saksi, nama, alamat tempat tinggal, keluarga, dan perlindungan hukum lainya. Namun demikian, apabila di kemudian hari dikeahui laporan yang diberikan salah, maka PCA akan mengenakan denda S$ 10,000 dan/atau hukuman penjara masimal 1 tahun, tergantung dari berat ringannya kasus yang dituduhkan. Beberapa hal penting yang dapat digaris bawahi dan menjadi pelajaran dalam PCA ini adalah: 1. Pengembalian hasil korupsi kepada negara 2. Ketidaksesuaian antara kekayaan dengan pendapatan dapat dijadikan bukti di pengadilan
21

KBRI Singapura. Ibid. hal. 48

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

44

3. Pernyataan di bawah sumpah atas kekayaan yang dimiliki seseorang (khususnya pejabat publik), pasangan, maupun anak-anaknya. 4. Menyelidiki kasus korupsi di sektor publik maupun swasta. Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes (Confiscation of Benefits) Act yang disahkan pada tahun 1999, untuk menggantikan Corruption (Confiscation of Benefits) Act tahun 1989. UU ini kemudian diamandemen untuk terakhir kalinya pada tahun 2001. Hasil amandemen terakhir ini memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk membekukan dan mengambil alih properti dan aset hasil korupsi, dan perdagangan obat terlarang dan kejahatan berat lainnya yang berkaitan, termasuk kejahatan pencucian uang. Dalam UU ini diatur mengenai hukuman denda maksimal S$ 200,000 dan/atau hukuman penjara maksimal 7 tahun untuk mereka yang menyembunyikan atau mentransfer hasil korupsi, perdagangan obat terlarang dan kejahatan berat lainnya, termasuk pencucian uang. Sedangkan instrumen hukum internasional dalam rangka pemberantasan korupsi yang telah diadopsi oleh Singapura adalah : 1. Anti Corruption Action Plan for Asia and the Pacific Action Plan. 2. Memorandum of Understanding (MoU) on Cooperation for Preventing and Combating Corruption.

B. HONG KONG Hong Kong adalah satu dari sedikit wilayah di Asia yang masuk kategori bebas korupsi. Penegakan hukum di Hong Kong, terutama yang berkenaan dengan kasus korupsi sangatlah tegas. Bahkan angka toleransi publik terhadap korupsi mendekati angka ekstrim yaitu menolak sama sekali kasus korupsi terjadi di Hong Kong. Kesuksesan ini ditandai dengan kinerja ICAC yang meyakinkan dalam pemberantasan korupsi. Pada awal-awal berdirinya ICAC di tahun 1974 - 1975,

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

45

terdapat 2466 kasus korupsi yang diinvestigasi dari 6368 kasus yang dilaporkan22. Jumlah kasus yang berhasil dimejahijaukan pada tahun 1974 adalah 108 kasus, dan meningkat menjadi 218 kasus pada tahun berikutnya. Sampai dengan tahun 1981, ICAC telah melakukan hampir 500 kajian tentang berbagai kebijakan dan praktik yang berlaku di instansi-instansi pemerintah. Selain itu lebih dari 10.000 pegawai pemerintah yang telah menghadiri pelatihan yang dilakukan ICAC. Sampai dengan tahun 1981 saja, the Community Relations Department (salah satu departemen dalam ICAC) telah berhasil merekrut 110 tenaga lokal, dan menerima lebih dari 10.000 laporan praktik korupsi, dan menangani lebih ari 19.000 events, seperti seminar, camps, eksibisi, dan kompetisi Instrumen perundangan di Hong Kong yang berhubungan dengan strategi pemberantasan korupsi di Hong Kong, adalah: The Independent Commission Against Corruption Ordinance The Prevention of Bribery Ordinance The Elections (Corrupt and Illegal Conduct) Ordinance Pada The Independent Commission Against Corruption Ordinance,

dinyatakan secara detail tentang korupsi (receiving any advantage), peran-peran dari berbagai posisi ICAC, prosedur untuk menangani tersangka, kewenangan untuk menangkap, menahan dan memberikan jaminan, mencari dan menyita, kemampuan mengambil sampel forensik dari seorang tersangka, dan kemampuan menginvestigasi setiap tuduhan korupsi oleh pegawai negeri. Sedangkan pada The Elections (Corrupt and Illegal Conduct) Ordinance ditekankan upaya pencegahan praktik pemilihan yang ilegal dan korup, dan tuduhan spesifik yang melibatkan proses pemilihan umum untuk memilih the Chief Minister, Dewan Legislatif (Legislative Council), Dewan Distrik (District Council), serta Kepala, Wakil Kepala atau Komisis Eksekutif pada the Rural Committee dan dewan desa (Village Representative).
Menurut keterangan Ms. Dorothy TAM CHEUNG Kwei-ying, seorang ICAC Regional Officer pada kesempatan diskusi dengan tim Peneliti, menyebutkan bahwa laporan atau kompalin mengenai korupsi dapat disampaikan secara individual, melalui telepon atau surat tertulis, yang dijaga kerahasiaannya. Setiap komplain mengenai korupsi akan diproses pada hari itu juga, kemudian dalam waktu 48 jam akan dirancang jadwal interview dengan si pelapor.
22

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

46

Ordinan yang penting lainnya yaitu The Prevention of Bribery Ordinance yang menjelaskan secara detail antara lain adalah kategori penyuapan, kewenangan ICAC untuk menelusuri rekening bank, menelaah dokumen bisnis dan pribadi, tersangka yang harus menyatakan pendapatan secara detail, aset-aset dan pengeluaran, kemampuan untuk menahan dokumen perjalaan dan menyegel properti untuk mencegah tersangka menghilangkan barang bukti dari proses investigasi. Yang paling penting dari ordinan ini adalah pemberian perlindungan bagi pelapor (whistleblowers). Pada pasal 3 ordinan ini diatur mengenai barang bukti dari hasil praktik korupsi untuk mencegah pegawai negeri dari menerima segala bentuk keuntungan (prevents pubic servants from receiving any advantage) tanpa adanya persetujuan dari Chief Excecutive. Selanjutnya pasal 4 mengatur secara lebih tegas bahwa pegawa negeri tidak dapat menerima atau meminta segala bentuk keuntungan karena ada hubungannya dengan kewenangan resmi yang bersangkutan, sekaligus orang yang menawari keuntungan tadi (memberi suap) dianggap telah melakukan pelanggaran pidana. Dua pasal ini secara tegas membatasi pegawai negeri dari segala tindakan penyalahgunaan wewenang untuk praktik-praktik korupsi, sekaligus uga mencegah warga untuk terlibat dalam praktik korupsi tersebut. Hal ini karena praktik korupsi dalam bentuk suap-menyuap adalah tindakan yang dilakukan secara langsung oleh dua pelaku/pihak, yaitu pegawai negeri sebagai pemberi layanan dan warga masyarakat sebagai penerima layanan. Pasal yang lebih memperluas jeratan tindak pidana korupsi yaitu pada pasal 10 mengatur mengenai individu yang diduga melakukan praktik korupsi, dan bisa dinyatakan bersalah walaupun aset mereka tidak dapat dihubungkan secara langsung sebagai bukti hasil kejahatan korupsinya. Pasal 10 ini selanjutnya juga melarang pegawai negeri untuk memiliki aset melebihi kemampuan pernyataan resmi kepemilikan aset mereka (di luar batas kewajaran penghasilannya). Salah satu contoh keberhasilan dari efektifnya dua ordinan yaitu The Independent Commission Against Corruption Ordinance dan The Prevention of Bribery Ordinance, adalah bersihnya proyek the Airport Core Program (ACP) sebagai proyek terbesar dalam sejarah Hong Kong yang mencapai nilai US $ 21 milyardari praktik korupsi.
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

47

Di samping itu, untuk meningkatkan etos kerja dan disiplin personil ICAC dibangun suatu kode etik yang mengikat seluruh jajaran ICAC dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sehari-hari. Kode etik yang dikembangkan dalam ICAC adalah : 1. menganut prinsip integritas dan fair play 2. menghormati hak-hak yang diakui secara hukum bagi semua orang 3. menjalankan tugas tanpa rasa takut, praduga atau itikad tidak baik 4. bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku 5. tidak mengambil keuntungan dari kewenangan atau jabatan yang diemban 6. menjaga rahasia 7. menerima tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan dan instruksi 8. menjaga kesopanan dan mengendalikan ucapan maupun tindakan 9. berusaha meraih keunggulan pribadi dan profesional C. INDIA Menurut data PERC 2006, walaupun India tidak termasuk kelompok negara yang bersih dari korupsi, namun negara ini berhasil mencatat perbaikan paling progresif dalam kinerja pemberantasan korupsi di bandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Perundangan India yang menjadi bagian dari strategi pemberantasan korupsi di India adalah: Right to Information Act, 2005 The Central Vigilance Commission Act, 2003 The Prevention of Corruption Act, 1988 The Delhi Special Police Establishment Act, 1946 The Criminal Law (Amendment) Ordinance, 1944 Dalam sejarahnya, sistem administrasi dan hukum India didesain pada pertengahan abad ke 19 untuk melayani kepentingan pemerintah kolonial Inggris pada masa itu. The Indian Penal Code, sebagai instrumen hukum yang utama untuk mengendalikan kejahatan kriminal dan pengadministrasian pengadilan krininal

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

48

dibuat pada tahun 1860. selanjutnya The Indian Evidence Act mulai efektif berlaku pada tahun 1872, setelah sebelumnya the Indian Police Act pada 1861. Pemerintah kolonial Inggris mendesain sistem hukum ini bertujuan untuk memperkuat kekuasaan administrasi kolonial. Perundangan ini didasarkan pada ketidakpercayaan kepada pribumi dan kepercayaan akan ketidak mampuan mereka untuk memerintah sendiri. Sejarah administrasi publik di India pada tahun 1960-an menandakan perubahan besar, di mana pengaruh ajaran Gandhi dan Nehru mulai memudar seiring dengan tumbuhnya budaya politik baru yang disebut olah Sondhi (2000) sebagai amorality. Dewasa ini, dalam rangka mewujudkan pemberantasan korupsi yang efektif di India, PS. Bawa23 memberikan beberapa saran sebagai berikut : 1. Penegakan hukum harus berlaku untuk semua, tanpa melihat perbedaan latar belakang dan sebagainya (non-diskriminatif) 2. Inspeksi dalam tubuh pemerintah harus dilakukan secara teratur, berarti, dan berorientasi pada kegiatan menjelang monitoring. 3. Reformasi pengadilan kriminal. 4. Aksesibilitas terhadap kantor-kantor pemerintah harus diperbaiki. 5. Pegawai negeri harus dibekali dengan nilai integritas dan kejujuran. 6. Right to Information (RTI) adalah alat kunci untuk memerangi korupsi, dan 7. Semangat kejujuran harus dimiliki oleh setiap orang. Salah satu perundangan yang dianggap paling progresif India dalam upaya pemberantasan korupsi di India adalah UU mengenai hak untuk mendapat informasi (Right to Information Act), yang diundangkan pada tahun 2005. Hak-hak warga yang diatur dalam RTI ini adalah antara lain : 1. hak untuk meminta informasi 2. hak untuk menginspeksi segala jenis dokumen pemerintah 3. hak untuk memfoto copy dokumen pemerintah 4. hak untuk menginpeksi kerja pemerintah (sidak) 5. hak untuk meminta contoh kegiatan pemerintah
23

Vice Chairman TI India, dalam kesempatan diskusi dengan tim Peneliti

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

49

UU lainnya yang mendukung langsung kepentingan pemberantasan korupsi adalah the Whistle Blower Protection Act, yang menurut Bhushansalah seorang pengacara Supreme Court Indiadalam sebuah kesempatan seminar korupsi harus diimplementasikan secara efektif. D. INDONESIA Pemberantasan korupsi di Indonesia telah berlangsung cukup lama, bahkan telah menembus perode waktu empat dekade. Salah satu perangkat hukum sebagai instrumen legal yang menjadi dasar proses pemberantasan korupsi di Indonesia juga telah disusun sejak lama. Namun efektivitas hukum dan pranata hukum yang belum cukup memadai menyebabkan iklim korupsi di indonesia tidak kunjung membaik. Hal ini setidaknya dibuktikan dengan berbagai indeks korupsi yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga independen yang berbeda, degan metode dan variabel yang juga berbeda, namun menghasilkan hasil pengukuran yang relatif sama, yaitu menempatkan Indonesia di ranking paling bawah. Saat ini tecatat lebih dari 10 peraturan perundangan termasuk Tap MPR yang mengatur penanganan korupsi, baik secara langsung, maupun tidak langsung. Berdasarkan catatan dari Indonesian Corruption Watch (ICW) dalam situs resminya, rincian peraturan perundangan tersebut antara lain adalah 1. TAP MPR No. XI Tahun 1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bebas KKN 2. Undang-Undang: a. UU 20/2001 Pemberantasan Tidak pidana Korupsi b. UU 30/2002 Komisi Anti Korupsi c. UU 31/1999 Pemberantasan Korupsi. Telah diperbaharui menjadi UU No 20 Tahun 2001 d. UU 11/1980 tentang Antisuap e. UU 15/2002 tentang tindak pidana anti pencucian uang. UU ini telah dirubah menjadi UU No 25 tahun 2003

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

50

f. UU 25/2003 tentang perubahan UU No 15/2002 tentang tindak pidana anti pencucian uang g. UU No 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih Bebas dari KKN h. UU No 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003 i. UU No 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Masalah pidana 3. Peraturan Pemerintah: a. PP 71/2000 ttg peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi b. Peraturan Pemerintah Keuangan DPRD c. Penjelasan Peraturan Pemerintah No.110 tahun 2000 tentang kedudukan Keuangan DPRD d. PP No 24 Tahun 2004 tentang Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD e. PP No 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD f. PP No 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 4. Instruksi Presiden (Inpres): a. Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi b. Inpres No. 4 Tahun 1971, Tentang Pengawasn Tertib Administrasi di Lembaga Pemerintah c. Inpres No. 9 Tahun 1977, Tentan Operasi Tertib d. Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah e. Inpres No 1 Tahun 1971, tentang koordinasi pemberantasan uang palsu 5. Keputusan Presiden (Keppres): a. Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005 Tentang Timtastipikor b. Keppres No. 12 Tahun 1970 tentang "Komisi 4" c. Keppres No 80 Tahun 2003, tentang pedoman pengadaan barang jasa di instansi pemerintah No.110 tahun 2000 tentang kedudukan

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

51

d. Keppres No 16 Tahun 2004, tentang perubahan keppres 80/2003 tentang pedoman pengadaan barang jasa di instansi pemerintah 6. Surat Edaran: a. Surat edaran Jaksa Agung tentang percepatan penanganan kasus korupsi tahun 2004 b. Surat edaran Dirtipikor Mabes Polri, tentang pengutamaan penanganana kasus korupsi c. Surat Keputusan Jaksa Agung tentang Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana korupsi Tahun 2000 d. Keputusan Bersama KPK-Kejaksaan Agung dalam Kerjasama Pemberantasan korupsi 7. PERDA: Perda Kabupaten Solok No 5 Tahun 2004 Tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Dengan begitu banyaknya peraturan perundangan yang telah dan sedang diterapkan, maka seyogyanya pemberantasan korupsi di Indonesia harus mulai menemukan arah yang tepat. Indonesia, akan membuka celah dalam penerapan hukum. Sehingga perlu rumusan dan indikator baku untuk menentukan definisi dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam hal ratifikasi UNCAC, sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam memerangi korupsi di hadapan masyarakat internasional, Indonesia masih perlu melakukan harmonisasi perundangan yang masih terdapat kesenjangan da perbedaan substantif. Dalam analisa terbatas yang dilakukan oleh Masyarakat Transparansi Indonesia, terdapat beberapa substansi istilah yang memerlukan klarifikasi dalam perundangan Indonesia, untuk menyesuaikan dengan klausul yang berlaku dalam UNCAC. Beberapa contoh kesenjangan istilah dapat dilihat dalam tabel berikut :

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

52

Tabel 3.1 Perbandingan Beberapa Istilah dalam Perundangan Indonesia dengan UNCAC
No 1 Istilah Pejabat Publik Hukum Positif Indonesia Dikenal istilah 1. PNS 2. Pejabat Negara 3. Penyelenggara Negara 4. Pejabat Administrasi Pemerintahan 5. Pejabat Tata Usaha Negara UNCAC Dalam UNCAC, yang termasuk dengan pejabat publik adalah 1. eksekutif, legislatif, administratif dan yudisial 2. setiap orang yang melaksanakan fungsi publik 3. setiap orang yang ditetapkan sebagai pejabat publik. 2 Kekayaan Unsur harta kekayaan (UU Ada unsur kekayaan yang No. 23/2003 perubahan atas nyata atau tidak nyata, serta pasal 1 UU No. 15/2002): bergerak 2. Berwujud atau tidak berwujud termasuk dokumen dan kekayaan tersebut. 1. Benda bergerak atau tidak instrumen yang mendukung

Sumber: diolah dari MTI, 2006. Selain permasalahan substansi perundangan, beberapa kasus terakhir menunjukkan justru adanya disharmoni substansi antar perundangan yang berlaku di Indonesia. Walaupun disharmoni ini juga dipicu oleh ketidakcocokan data dari beberapa instansi terkait. Kasus uang pengganti ini sempat dilansir beberapa media massa nasional sehingga menjadi wacana publik yang cukup hangat. Berdasarkan kompilasi yang dilakukan oleh Kompas, sebenarnya beberapa UU yang berhubungan dengan substansi aturan uang pengganti, adalah : 1. UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

53

Tidak ada aturan eksekusi uang pengganti. 2. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 18. Jika teridana tidak membayar uang penggantidalam waktu satu bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka hartanya bisa disita jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Jika hartanya tidak cukup maka dipidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pdana pokoknya. 3. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 9. Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/Pengguna Barang Kementerian Negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut: (e) melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke Kas Negara. Ketidakcocokan data antar tiga instansi yang berkepentingan langsung dengan kasus uang pengganti yaitu Departemen Keuangan, BPK dan Kejaksaan dapat terlihat dari tabel kompilasi kasus berikut. Tabel 3.2 Terpidana koruptor dan uang pengganti
Nama Terpidana Hendra Rahardja 2 Bob Hasan 243 juta dollar AS 3 Samadikun Hartono Rp. 169 miliar Uang Pengganti Rp. 1,9 triliun Data Kejaksaan Rp. 603, 174 miliar Rp. 14,126 miliar + denda Rp. 15 juta Belum bayar Sisa Uang di Data BPK Rp. 1,836 triliun Tidak ada data sisa uang penganti Tidak ada di daftar BPK nama Samadikun 4 Sudjiono Timan Rp. 369,446 miliar Belum bayar Belum bayar Rp. 369,446 miliar

No 1

Data Depkeu Rp. 603, 174 miliar Rp. 14,126 miliar + denda Rp. 15 juta Belum bayar

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

54

5 6

Beddu Amang Bambang Sutrisno dan Kiki Ariawan

Rp. 5 miliar + denda Rp. 5 juta Rp. 1,515 triliun

Rp. 5 miliar + denda Rp. 5 juta Rp. 1,515 triliun

Hanya denda Rp. 5 juta Rp. 1,515 triliun

Rp. 5 miliar Tidak ada sisa

Eddy Tansil

Rp. 500 miliar + Rp. 1,3 triliun

Telah menyita uang Rp. 46,3 miliar + 2.882 dollar AS dan harta Rp. 2,5 miliar di Bank Danamon, Tanah dan Bangunan serta peralatan pabrik, dua atanah di Kebayoran Baru, dan tanah di Bogor

Tidak ada

Tidak ada

Rahardi Ramelan

Rp. 400 juta + denda Rp. 50 juta Rp. 96,6 miliar tanggung reneng dengan Tommy

Rp. 200 juta

Tidak ada data

Tidak ada

Ricardo Gelael

Tidak menemukan data pembayaran uang pengganti

Rp. 2,950 miliar

Rp. 5,219 miliar

Sumber: Kompas, 22 Agustus 2007 Indriyanto Seno Adji24, menjelaskan bahwa pemahaman uang yang disetor ke kas negara dalam perkara korupsi sebagai dwang middelen (upaya paksa). Penegak hukum sering menghadapi kendala dalam menngeksekusi uang pengganti karena diskriminasi regulasi tindak pidana korupsi atas eksekusi uang pengganti. Di satu sisi dengan UU No. 3 Tahun 1971, eksekusi atas kekurangan uang pengganti dilakukan
24

Kompas, 28 Agustus 2007, Indriyanto Seno Adji, Parkir Uang Korupsi

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

55

melalui gugatan perdata berdasarkan Surat Edaran MA 1985. Masalahnya gugatan perdata memiliki kompleksitas sistem pembuktian yang berbeda dengan hukum pidana, dan menyita waktu puluhan tahun. Di sisi lain UU No. 31 Tahun 1999 memberi legalitas penyitaan harta kekayaan terpidana sebagai eksekusi uang pengganti. Kasus hukum lain yang terbaru yang merupakan wajah carut marutnya sistem hukum di Indonesia adalah kasus sengketa Soeharto dengan majalah Time. Kasus yang telah berlangsung cukup lama ini seperti mengendap setelah dimenangkan oleh majalah Time di tingkat Pengadilan Negeri. Namun ternyata pada bulan september 2007, tiba-tba MA memutuskan kasasi perkara sengketa antara majalah Time dengan Soeharto tentang kasus tulisan Soeharto Inc, di mana pihak Soeharto dinyatakan memenangkan perkara ini, dan mewajibkan majalah Time untuk membayar tuntutan gant rugi pihak Soeharto. Ironisnya, seolah menjawab putusan kasasi MA, pada minggu berikutnya, World Bank dan PBB dengan program prakarsa pengembalian aset negara (Stolen Asset Recovery Innitiative, atau StAR), merilis daftar pemimpin negara yang diduga mencuri aset negara, di mana Soeharto justru menempati peringkat pertama dengan dugaan aset negara yang dicuri mencapai USD 15 35 milyar. Dengan potret perundangan yang masih memerlukan pembenahan, Indonesia sepertinya harus mulai membangun wibawa hukum yang bisa membuat jera para pelaku korupsi, sehingga persepsi korupsi Indonesia di mata internasional dapat diperbaiki.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

56

Bab IV Kelembagaan Dalam Pemberantasan Korupsi

ingapura dan Hong Kong adalah dua negara (meskipun saat ini Hong Kong berada di bawah RRC, namun ia memiliki otonomi penuh atau dikenal dengan Special Administration Region) yang dapat dijadikan contoh kesuksesan

pemberantasan korupsi. Keduanya menempati ranking terendah korupsinya dalam survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional seperti PERC maupun Transparency International. Keberhasilan tersebut tentunya bukan terjadi dalam waktu yang singkat, namun merupakan buah dari komitmen yang tinggi dan didukung oleh kelembagaan yang kuat, profesional, dan independen dalam menangani kasus-kasus korupsi. Faktor kelembagaan menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan pemberantasan korupsi yang dijalankan pemerintah suatu negara. A. SINGAPURA Di Singapura sebelum tahun 1952, seluruh kasus-kasus korupsi diselidiki oleh

unit kecil dalam Singapore Police Force yang disebut dengan Anti-Corruption Branch. Dalam perkembangannya unit tersebut tidak berjalan efektif, khususnya dalam menyelidiki petugas-petugas kepolisian yang korup. Kelemahan yang utama disebabkan karena terbatasnya kewenangan yang dimiliki unit tersebut dan diperparah dengan adanya konflik kepentingan yang terjadi karena para penyidik terlihat segan untuk memeriksa rekan-rekan mereka yang juga dari kepolisian.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

57

Memperhatikan hal ini, pada tahun 1952 Pemerintah Singapura dibawah PM Lee Kuan Yew membentuk lembaga yang disebut Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) sebagai sebuah lembaga anti korupsi yang terpisah dari kepolisian untuk melakukan penyelidikan semua kasus-kasus korupsi. Dalam sejarahnya CPIB merupakan salah satu lembaga anti korupsi tertua di dunia. Meskipun dibentuk oleh pemerintah, CPIB adalah lembaga yang independen dan bertanggung jawab atas seluruh penyelidikan dan pencegahan korupsi di Singapura. Di masa awal pembentukannya, CPIB menghadapi tantangan yang sangat berat. Saat itu, undang-undang anti korupsi sangat tidak memadai sehingga menghambat pengumpulan bukti-bukti dalam kasus korupsi. Di sisi lain, persoalan yang muncul adalah lemahnya dukungan publik terhadap CPIB. Masyarakat tidak mau bekerja sama dengan CPIB karena mereka ragu akan efektivitas lembaga ini, dan mereka juga takut dijatuhi hukuman pidana yang disebabkan kasus korupsi. Situasi ini mulai berubah ketika Peoples Action Party memperoleh kekuasaan di tahun 1959. Tindakan yang tegas mulai diambil terhadap pegawai-pegawai negeri yang korup. Sebagian dari mereka dipecat dari pemerintahan, sedangkan yang lain memilih keluar secara sukarela untuk menghindari penyelidikan. Kepercayaan publik terhadap CPIB terus meningkat ketika masyarakat menyadari bahwa pemerintah bersungguh-sungguh dalam memberantas korupsi. Untuk mempercepat upaya pemberantasan korupsi Pemerintah Singapura pada tahun 1960 mengesahkan undang-undang anti korupsi yang baru yang disebut dengan Prevention of Corruption Act. Dalam undang-undang ini, wewenang dari CPIB diperluas dan hukuman atas tindak pidana korupsi ditingkatkan. Saat ini, sesuai dengan Bab 241 undang-undang tersebut, CPIB memiliki kewenangan yang memadai untuk memberantas korupsi. Secara fungsi, CPIB memiliki fungsi untuk (1) menyelidiki kasus korupsi/berindikasi korupsi; (2) mencegah terjadinya korupsi; dan (3) kombinasi antara menyelidiki dan mencegah tindakan korupsi. Dari masing-masing fungsi tersebut CPIB mempunyai target hasil (outcome). Untuk fungsi yang pertama, outcome yang diharapkan adalah untuk menciptakan
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

58

iklim dan etos anti korupsi yang kuat. Outcome dari fungsi yang kedua adalah menciptakan iklim dan etos anti korupsi yang kuat, menciptakan kepedulian diantara pegawai negeri tentang perlunya menjaga birokrasi yang bebas korupsi, menciptakan lingkungan yang bebas resiko dengan mengurangi peluang korupsi, menciptakan korps birokrasi yang bebas korupsi. Kemudian outcome dari fungsi yang ketiga adalah menjaga kepercayaan publik. Lebih jelas mengenai fungsi dan indikator kinerja CPIB dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.1 Indikator Kinerja CPIB Singapura
Function Desired Outcome Creation of a strong anticorruption climate and ethos in Singpore Intermediate product/measure Investigation Number of highly pursuable cases prosecuted in court or resulted in disciplinary action Number of cases convicted Quality of submission to AttorneyGenerals Chambers Investigation Completion rate Relationship with mission Sure Action in combating corruption through efficient evidencegathering and maintenance of a high standard of investigation Final measure

Investigate corruption/ missconduct with undertone of corruption

Prevention of Corruption

Creation of a strong anticorruption climate and ethos in Singapore

Investigation Cycle-time in investigation Improvement of cycle-time norms 48-hour action Timeliness in executing consent to prosecute Investigation Swift and sure action indicators as per above, in accordance with strategy of

Sure Action in combating corruption through effective resolution of cases Swift Action in combating corruption through efficient resolution of cases

Rating by Transparency International (TI) Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Public Perception Ratings Mission Accomplishment Index (MAI)

Swift and Sure Action in combating corruption through effective and efficient

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

59

Creation of awarness among civil servants of the need to maintain a corruption-free civil service Creation of riskfree environment by reducing opportunities for corruption

prevention through detection, prosecution and deterrence Education Number of prevention talks as a proxy measure System review Number of anticorruption reviews as a proxy measure

resolution of cases

Creation of an incorrupt corps of civil servants

Securing public confidence

Investigate and prevent corruption in combination (as stated above)

Screening Prompt / effective screening services to screen out applicants / promotees with CPIB traces Investigation, education, review, screening Prompt service Excellent reception services Excellent overall services Timeliness on replies Prompt attendance to visitors Prompt response by Duty Officer Reliable service Sure indicators through prosecution and conviction as per above

Swift and Sure Action in combating corruption through effective and efficient preemptive action Swift and Sure Action in combating corruption through effective and efficient preemptive measures Swift and Sure Action in combating corruption through effective and efficient preemptive measures Swift and Sure Action in combating corruption through effective and efficient services

Sumber: CPIB (2007), Swift and Sure Action: Four decades of anti-corruption work, hal 12

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

60

Dari sisi struktur kelembagaan, CPIB berada di bawah Kantor Perdana Menteri (Prime Ministers Office). CPIB dipimpin oleh Direktur (Director) yang membawahi 2 (dua) divisi yaitu Divisi Operasi (Operation Division) dan Divisi Administrasi & Dukungan Spesialis (Admin & Specialist Support Division). Pemisahan fungsi penanganan korupsi di Singapura yang semula berada di bawah institusi kepolisian menjadi suatu badan tersendiri memerlukan struktur kelembagaan yang ramping, fleksibel namun efektif dan efisien dalam mengantisipasi tantangan perkembangan modus-modus korupsi yang semakin dinamis. Secara detail struktur organisasi CPIB dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 4.1 Struktur Organisasi CPIB Singapura

CPIB
Operations Division Operations Operations Support Admin & Specialist Support Division Administration Plans and Projects Unit Prevention and Review Unit

Finance Special Investigation Team Unit I Personnel Unit II Unit III LINE Computer Info. System Unit STAFF Intelligence Unit Records & Screening

Divisi operasi menjalankan fungsi utama dari CPIB dalam menyelediki pelanggaran-pelanggaran yang diatur dalam Prevention of Corruption Act. Divisi ini terdiri dari 4 (empat) unit penyelidikan, salah satu diantaranya yakni Special Investigation Team (SIT) dibentuk untuk menangani kasus-kasus korupsi besar dan kompleks. Divisi Administrasi & Dukungan Spesialis membawahi 3 (tiga) unit,

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

61

masing-masing adalah Unit Administrasi, Unit Perencanaan dan Proyek, serta Unit Pencegahan dan Evaluasi. Tugas dari Unit Administrasi adalah bertanggung jawab atas urusan administrasi dan personil, memberikan pelayanan tertentu kepada lembaga-lembaga pemerintah dan menyusun perencanaan strategis CPIB. Unit Perencanaan dan Proyek menangani hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan staf dalam menyusun perencanaan, proyek dan kebijakan-kebijakan. Sedangkan Unit Pencegahan dan Evaluasi melakukan evaluasi terhadap prosedur kerja institusi pemerintah yang berpotensi korup untuk mengetahui kelemahan-kelemahan administrasi, yang dapat mendorong terjadinya korupsi dan kesalahan prosedur, selanjutnya kemudian memberikan rekomendasi solusi serta langkah-langkah pencegahan. Selanjutnya guna melengkapi undang-undang anti korupsi yang sudah ada, pada tahun 1989 pemerintah kembali mengeluarkan Corruption (Confiscation of Benefits) Act. Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk membekukan dan menyita aset maupun properti seseorang yang diperoleh dari praktik-praktik korupsi. Pada tahun 1999, Corruption (Confiscation of Benefits) Act disempurnakan oleh undang-undang lain yaitu Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes (Confiscation of Benefits). Undang-undang yang baru ini mengatur praktikpraktik pencucian uang (money laundering) sebagai pelengkap dalam memperluas kewenangan pengadilan untuk membekukan dan menyita aset maupun properti seseorang yang diperoleh dari praktik-praktik korupsi. B. HONG KONG Sementara itu, lembaga anti korupsi di Hong Kong juga merupakan salah satu role model yang banyak dipakai oleh negara-negara lain karena efektivitasnya mengatasi korupsi dan menjadikan Hong Kong sebagai salah satu negara yang terbersih di Asia. Lembaga anti korupsi yang terdapat di Hong Kong adalah ICAC (Independent Commission Against Corruption). Sama halnya dengan yang terjadi di negara-negara lain, pembentukan ICAC dilatarbelakangi oleh keresahan masyarakat terhadap korupsi yang merajalela
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

62

khususnya di lingkungan birokrasi. Memberi uang (suap) kepada aparat pemerintah untuk mendapatkan pelayanan (bahkan pelayanan yang standar) sudah menjadi fenomena umum di Hong Kong sekitar tahun 1970-an. Perilaku korup terparah justru terjadi di Kepolisian Hong Kong, dimana seharusnya institusi ini yang mempunyai kewenangan menyelidiki kasus-kasus korupsi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para oknum petugas polisi melindungi pelaku kejahatan seperti perjudian dan narkoba. Keresahan masyarakat Hong Kong terhadap perilaku korupsi tiba pada puncaknya ketika seorang Kepala Polisi dari warga negara asing Peter Godber menggelapkan uang sejumlah HK$ 4,3 juta. Demonstrasi pun pecah untuk menuntut pemerintah melakukan langkah-langkah kongkrit dalam menuntaskan kasus ini dan memberantas korupsi di tubuh Kepolisian. Sebagai respon atas tuntutan masyarakat ini, Gubernur Hong Kong saat itu Sir Murray MacLehose menyatakan bahwa Hong Kong sudah saatnya memiliki lembaga anti korupsi yang independen dan terpisah dari Kepolisian. Hal ini ia ungkapkan dalam pidatonya di depan Dewan Perwakilan. Akhirnya sebagai tindak lanjut dari pernyataan ini pada bulan Februari 1974, Pemerintah Hong Kong membentuk ICAC dengan 3 (tiga) tujuan utama yakni pencegahan, penindakan, dan pendidikan korupsi. Dalam perkembangannya, ICAC berhasil menekan kasus korupsi dan mendapatkan respon positif dari masyarakat Hong Kong. Keberhasilan ICAC ini tidak terlepas dari komitmen dan konsistensi serta pendekatan yang komprehensif antara pencegahan dan penindakan. Pendidikan masyarakat dan peningkatan kesadaran (public awarness) mengenai dampak buruk korupsi merupakan salah satu keunggulan yang dimiliki ICAC dalam menangani korupsi di Hong Kong. Kelebihan ICAC dalam hal ini banyak dicontoh oleh lembaga-lembaga anti korupsi di banyak negara. Namun demikian, karena tidak mampu menyelaraskan fungsi pencegahan dan penindakan, tidak banyak lembaga anti korupsi di negara-negara lain yang mampu meniru langkah sukses ICAC. Dalam studi yang dilakukan oleh Direktorat Litbang KPK (2006) disebutkan bahwa ICAC Hong Kong adalah model yang universal dan ideal bagi sebuah lembaga anti korupsi. ICAC dikatakan ideal karena mempunyai landasan hukum yang kuat, didukung oleh anggaran yang memadai, memiliki tenaga ahli yang mencukupi dan yang utama adalah dukungan dan komitmen pemerintah yang tinggi dan konsisten
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

63

dalam jangka waktu lama. Kewenangan yang dimiliki ICAC meliputi penyelidikan terhadap rekening bank, mengaudit harta kepemilikan dan mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk mencegah tersangka melarikan diri dari proses penuntutan pengadilan. ICAC mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Hong Kong dalam bentuk kucuran dana yang relatif besar. Manajemen sumber daya manusia di ICAC juga dapat dikatakan yang terbaik. Pola karir dan rekrutmen didasarkan pada kompetensi dan kinerja (merit system) sehingga mampu mendorong performa yang tinggi dari setiap staf. Remunerasi yang diterapkan juga sangat memadai. Turnover pegawai ICAC dapat dikatakan rendah. Selain karena penghasilan yang diperoleh cukup memadai juga disebabkan oleh aturan yang mempersyaratkan bagi staf ICAC yang berasal lingkungan birokrasi tidak diperbolehkan untuk bekerja kembali di instansi pemerintah atau lembaga yang terindikasi terjadi kasus korupsi selama 2 (dua) tahun setelah keluar dari ICAC. Untuk meninngkatkan efektivitas kerja personel ICAC, maka diberlakukan kebijakan pengembangan SDM melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) profesional dan manajemen. Diklat profesional dikembangkan untuk memenuhi kompetensi di bidang investigasi, pendidikan masyarakat dan pekerjaan pencegahan korupsi. Sedangkan diklat manajemen diberikan untuk meningkatkan kapabilitas manajemen dan efektivitas personal. Selain diklat-diklat tersebut, juga dikembangkan pelatihan-pelatihan penunjang seperti pelatihan bahasa untuk meningkatkan kemampuan berbahasa (oral) dan menulis (writing) dalam bahasa Putonghua, Chinese, English writing dan English Presentation. Pelatihan penunjang lainnya yaitu pelatihan IT seperti aplikasi software, administrasi sistem dan keamanan TI. Pelatihan-pelatihan tersebut didesain untuk memenuhi standar kualifikasi pegawai yang dibutuhkan oleh ICAC. Dalam rangka pengayaan, ICAC juga mengirimkan para tenaga SDM-nya ke berbagai seminar dan pelatihan lainnya baik di dalam maupun luar negeri. Dari aspek organisasi, ICAC memiliki 3 (tiga) departemen yaitu Investigasi, Pencegahan, dan Hubungan Masyarakat. Departemen Investigasi (Operasional) merupakan departemen terbesar di ICAC. Terbesar di sini juga memiliki arti jumlah alokasi anggaran, dimana sebesar 75% anggaran ICAC diberikan kepada departemen
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

64

ini. Anggaran tersebut dimanfaatkan untuk menggaji staf yang kompeten. Sementara itu anggaran yang diterima Departemen Pencegahan sebagian besar dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan penelitian yang terkait dengan korupsi, menyelenggarakan seminar-seminar bagi kalangan dunia usaha serta membantu masyarakat dalam mengidentifikasi langkah-langkah strategis dan konkrit untuk mengurangi potensi terjadinya korupsi. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan Departemen Pencegahan juga digunakan pemerintah sebagai acuan dalam memperbaiki dan mengamandemen peraturan perundang-undangan mengenai korupsi. Terakhir, Departemen Hubungan Masyarakat berfungsi untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat luas termasuk kalangan pebisnis mengenai perubahan-perubahan dari peraturan perundang-undangan tentang korupsi. Fungsi lain yang dimiliki Departemen Hubungan Masyarakat adalah meningkatkan kepedulian masyarakat (public awarness) terhadap dampak negatif korupsi melalui beragam kampanye publik antara lain dengan menerbitkan buku-buku, pamflet, leaflet, serta pembuatan filmfilm yang mendeskripsikan modus-modus korupsi yang pada umumnya terjadi di masyarakat. Struktur organisasi ICAC dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 4.2 Struktur Organisasi ICAC Hong Kong
Commissioner

Operations Department

Corruption Prevention Department

Community Relations Department

Sebagai bagian dari langkah meningkatkan partisipasi masyarakat dan mempercepat respon terhadap kasus-kasus korupsi, ICAC mendirikan sejumlah kantor perwakilan (regional office) di beberapa distrik di Hong Kong. Langkah ini tentu saja disambut baik oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari bertambahnya laporan mengenai indikasi kasus korupsi baik yang dilakukan oleh aparat pemerintah maupun kalangan dunia usaha (swasta). Meskipun demikian, ICAC juga sangat tegas
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

65

dan keras terhadap laporan-laporan palsu yang dibuat oleh sebagian masyarakat yang berniat untuk menjatuhkan citra atau mencemarkan nama baik seseorang. C. INDIA Berbeda dengan Singapura dan Hong Kong, saat ini India tidak memiliki sebuah lembaga yang secara khusus menangani korupsi. Lembaga anti korupsi India telah berevolusi menjadi suatu lembaga penyelidik yang bukan hanya menangani kasus korupsi namun juga kasus-kasus kejahatan/kriminal lainnya. Mengenai kasus korupsi di India, dewasa ini ditangani oleh dua lembaga yang utama yaitu Central Bureau of Investigation (CBI) dan Central Vigilance Commission (CVC). Pada awalnya CBI berasal dari Special Police Establishment (SPE) yang dibentuk Pemerintah India pada tahun 1941. Fungsi dari SPE pada saat itu adalah untuk menyelidiki kasus-kasus penyuapan dan korupsi dalam transaksi yang dilakukan dengan War & Supply Departement selama Perang Dunia II. Selanjutnya meskipun perang telah usai, kebutuhan akan institusi yang bertugas menyelidiki kasus suap dan korupsi yang terjadi di Pemerintah Pusat masih tetap dirasakan. Delhi Special Police Establishment Act kemudian disahkan pada tahun 1946. Undang-undang tersebut menyerahkan kepemimpinan SPE ke Departemen Dalam Negeri, dan kemudian fungsinya diperlebar mencakup seluruh departemen dalam Pemerintahan India. Yurisdiksi SPE pun diperluas ke seluruh Union Territory dan dapat ditambah ke tingkat negara bagian sepanjang disetujui oleh pemerintah negara bagian. Pada awalnya, CBI hanya menyelidiki pelanggaran-pelanggaran korupsi di tingkat pemerintah pusat yang dilakukan pegawai pemerintah pusat. Namun dalam perkembangannya, karena jumlah sektor publik terus meningkat, maka pegawaipegawai negeri di luar pemerintah pusat juga termasuk dalam kewenangan penyelidikan CBI, termasuk juga sektor perbankan publik yang dinasionalisasi pada tahun 1969 beserta seluruh pegawainya. Lingkungan eksternal yang berkembang sedemikian rupa, menyebabkan CBI tidak lagi hanya menyelidiki kasus-kasus korupsi akan tetapi ia bertransformasi menjadi sebuah lembaga penyelidikan nasional. Sejak tahun 1965, CBI diberikan wewenang lebih untuk menyelidiki pelanggaran-pelanggaran yang berdampak pada
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

66

kerugian ekonomi, dan kasus-kasus krimnal konvensional penting lainnya seperti pembunuhan, penculikan, teroris dan lain sebagainya secara selektif. SPE pada awalnya memiliki dua sayap (wing), yaitu General Offences Wing (GOW) dan Economic Offences Wing (EOW). GOW menangani kasus-kasus suap dan korupsi yang melibatkan pegawai Pemerintah Pusat dan Sektor Publik terkait. Sedangkan EOW menangani kasus-kasus pelanggaran berbagai hukum ekonomi/fiskal. Dengan formasi demikian, GOW memiliki setidaknya satu cabang di setiap negara bagian, dan EOW di empat kota metropolitian yaitu Delhi, Madras, Bombay dan Calcutta. Kantor cabang EOW mengurusi laporan-laporan pelanggaran dari daerah-daerah misalnya kantor cabang yang memiliki yurisdiksi di beberapa negara bagian. Setelah berubah menjadi CBI peranan lembaga ini menjadi bertambah. Secara empirik, CBI telah berhasil menjaga reputasinya atas independensi dan kompetensi selama bertahun-tahun. Keberhasilan ini menyebabkan permintaan kepada CBI untuk menyelidiki kasus-kasus kejahatan konvensional lebih banyak seperti pembunuhan, penculikan, dan terorisme. Sejalan dengan hal tersebut, Mahkamah Agung dan berbagai Pengadilan Tinggi mulai mempercayakan penyelidikan kasus-kasus semacam itu kepada CBI melalui petisi yang disetujui banyak pihak. Memperhatikan kenyataan dimana jumlah kasus yang diselidiki oleh CBI bertambah banyak, maka dipandang perlu untuk memberikan kasus-kasus tersebut kepada Kantor Cabang yang memiliki yurisdiksi lokal. Oleh sebab itu, pada tahun 1987 dibentuk dua divisi investigasi dalam tubuh CBI, yaitu Divisi Anti Korupsi dan Divisi Kriminal Khusus (yang pada akhirnya menangani kasus-kasus kriminal konvensional disamping kejahatan-kejahatan ekonomi). Lebih lanjut, pada tahun 2001, CBI kembali mengalami reorganisasi untuk mengantisipasi tindak kejahatan yang semakin berkembang. Saat ini CBI terdiri dari beberapa divisi yaitu: 1. Divisi Anti Korupsi (Anti Corruption Division) 2. Divisi Kejahatan Ekonomi (Economic Offences Division) 3. Divisi Kejahatan Khusus (Special Crimes Division) 4. Direktorat Penuntutan (Directorate of Prosecution) 5. Divisi Administrasi (Administration Division) 6. Divisi Kebijakan dan Koordinasi (Policy & Coordination Division)
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

67

7. Pusat Laboratorium Ilmu Forensik (Central Forensic Science Laboratory) Setelah mengalami beberapa kali perubahan baik dalam hal struktur kelembagaan dan kewenangan, CBI India telah memainkan peranan pentingnya sebagai lembaga penyelidik yang memperoleh kredibilitas tinggi baik dari masyarakat, parlemen, lembaga peradilan serta pemerintah sendiri. Dalam 65 tahun terakhir, kelembagaan CBI telah berevolusi dari sebuah lembaga anti korupsi menjadi sebuah lembaga kepolisian yang multi disipliner, penegak hukum dengan kapabilitas, kredibilitas dan memiliki mandat hukum untuk menyelidiki dan menuntut tindak kejahatan (termasuk korupsi) di seluruh India. Bahkan saat ini, CBI memiliki CBI Academy sebagai sebuah lembaga pendidikan dan pelatihan bagi para penegak hukum untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mereka dalam hal penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan secara hukum. Pendidikan dan pelatihan ini dirancang untuk mengantisipasi setiap modus kejahatan yang semakin hari semakin berkembang. Organisasi CBI secara lengkap dapat dilihat dalam gambar berikut ini.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

68

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

Gambar 4.3 Struktur Organisasi CBI India

69

Terkait dengan penanganan kasus korupsi, pada tahun 2003, Pemerintah India membentuk Central Vigilance Commission (CVC) dengan tujuan agar penanganan korupsi menjadi lebih independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif. Hal ini mengingat CBI telah mengalami evolusi menjadi lembaga yang berada di bawah kekuasaan pemerintah, sehingga perlu menjaga independensi dan obyektifitasnya. Pengawasan yang dilakukan CVC juga meliputi institusi-institusi pemerintah pusat dalam hal perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi terhadap kewaspadaan (vigilance) dari tindak pidana korupsi yang mungkin terjadi. Kewenangan dan fungsi dari CVC adalah [i] melakukan pengawasan terhadap Delhi Special Police Establishment (DSPE) berkenaan dengan penyelidikan sesuai Prevention of Corruption Act, 1988, pegawai negeri, serta memberi arahan kepada DSPE terkait dengan pelepasan tanggung jawab pegawai negeri; [ii] melakukan review terhadap proses penyelidikan yang dilakukan DSPE sesuai dengan undangundang anti korupsi; [iii] menginisiasi atau merekomendasikan penyelidikan terhadap setiap transaksi yang dilakukan pegawai negeri pada setiap institusi di lingkungan Pemerintah India yang dicurigai atau disinyalir telah terjadi penyalahgunaan atau korupsi; [iv] memberikan saran obyektif kepada institusi lain dalam hal terjadinya kasus-kasus disipliner; [v] melakukan pemeriksaan umum dan pengawasan terhadap upaya-upaya anti korupsi di setiap Kementerian atau Departemen di lingkungan Pemerintah India dan organisasi-organisasi lain yang memiliki kekuasaan eksekutif di negara-negara bagian; [vi] membentuk Komite dalam pemilihan Direktur CBI, Direktur Direktorat Penegakan, dan Pejabat-Pejabat DSPE; [vii] menginisiasi dan merekomendasikan penyelidikan atau langkah-langkah yang dianggap perlu berdasarkan keluhan-keluhan yang diterima sesuai dengan Public Interest Disclosure and Protection of Informer.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

70

Gambar 4.4 Struktur Central Vigilance Commission (CVC) India


CVC Secretariat

Chief Technical Examiners/CTE

Commissioners for Departmental Inquiries/CDI

Dari aspek kelembagaan, CVC terdiri dari Sekretariat, Kepala Penguji Teknis (Chief Technical Pejabat Examiners/CTE), Sekretaris dan Komisaris untuk Bagian Penyelidikan sepuluh (Commissioners for Departmental Inquiries/CDI). Sekretariat terdiri dari seorang Sekretaris, Bersama Pemerintah India, Direktur/Sekretaris Deputi, empat Sekretaris Muda, dan staf sekretariat. Sementara, CTE terdiri dari dua Ahli yang didukung oleh staf ahli. Fungsi utama dari CTE adalah: [i] melakukan audit secara teknis terhadap rancangan pekerjaan institusi-institusi pemerintah dari sudut pandang kehati-hatian, [ii] menyelidiki kasus-kasus tertentu yang terkait dengan rancangan pekerjaan; [iii] memberikan bantuan kepada CBI terhadap penyelidikan mereka yang berhubungan dengan hal-hal teknis dan evaluasi kepemilikan di Delhi; dan [iv] memberikan dukungan kepada pimpinan CVC. Sedangkan CDI terdiri dari 15 Komisaris Bagian Penyelidikan meliputi 14 Sekretaris Deputi/Direktur dan satu Sekretaris Bersama untuk Pemerintah India. Fungsi dari CDI ialah melakukan penyelidikan awal yang bersifat lisan terhadap pegawai negeri. C. INDONESIA Selanjutnya kita akan membahas kelembagaan anti korupsi di Indonesia. Upaya-upaya pemberantasan korupsi di Indonesia pada dasarnya dimulai sejak tahun 1957. Dalam perjalanannya, upaya-upaya tersebut merupakan sebuah proses pelembagaan yang cukup lama dalam penanganan korupsi. Tercatat paling tidak ada
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

71

tujuh upaya pemberantasan yang berskala besar sejak tahun 1957 sampai dengan tahun 2002. Lima di antaranya dilakukan sebelum masa reformasi politik pada saat berakhirnya pemerintahan Orde baru. Upaya-upaya tersebut adalah : 1. Operasi militer khusus dilakukan pada tahun 1957 untuk memberantas korupsi di bidang logistik. 2. Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) pada tahun 1967 dibentuk dengan diberikan mandat utama untuk melaksanakan pencegahan dan pemberantasan. 3. Pada tahun 1970 dibentuk tim advokasi yang lebih dikenal dengan nama Tim Empat yang bertugas memberikan rekomendasi. Sayangnya rekomendasi yang dihasilkan tidak sepenuhnya ditindak lanjuti. 4. Operasi Penertiban (Opstib) dibentuk pada tahun 1977 untuk memberantas korupsi melalui aksi pendisiplinan administrasi dan operasional. 5. Pada tahun 1987 dibentuk Pemsus Restitusi yang khusus menangani pemberantasan korupsi di bidang pajak. 6. Pada tahun 1999 dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) di bawah naungan Kejaksaan Agung. Di tahun yang sama pula dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) 7. Pada tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di mana KPKPN melebur dan bergabung di dalamnya. Sejak tahun 2002, KPK secara formal merupakan lembaga anti korupsi yang dimiliki Indonesia. Pembentukan KPK didasari oleh Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sesuai dengan undang-undang tersebut, KPK memiliki tugas melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Sementara itu, kewenangan yang dimiliki oleh KPK adalah mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; menetapkan sistem pelaporan
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

72

dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Dengan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, KPK merupakan ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia. Sehubungan dengan hal ini, visi KPK adalah "Mewujudkan Indonesia yang Bebas Korupsi". Visi ini menunjukkan suatu tekad kuat dari KPK untuk segera dapat menuntaskan segala permasalahan yang menyangkut Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Pemberantasan korupsi memerlukan waktu yang tidak sedikit mengingat masalah korupsi ini tidak akan dapat ditangani secara instan, namun diperlukan suatu penanganan yang komprehensif dan sistematis. Sedangkan misi KPK ialah "Penggerak Perubahan untuk Mewujudkan Bangsa yang Anti Korupsi". Dengan pernyataan misi tersebut diharapkan bahwa komisi ini nantinya merupakan suatu lembaga yang dapat "membudayakan" anti korupsi di masyarakat, pemerintah dan swasta di Indonesia. Dari aspek organisasi sesuai dengan Lampiran Keputusan Pimpinan KPK No. KEP-07/KKPK02/2004 Tanggal 10 Pebruari 2004, KPK dipimpin oleh seorang Ketua dan terdiri dari Deputi Bidang Pencegahan, Deputi Bidang Penindakan, Deputi Bidang Informasi dan Data, Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, dan Sekretariat Jenderal. Untuk lebih jelasnya mengenai struktur organisasi KPK dapat dilihat pada gambar berikut.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

73

Gambar 4.5 Struktur Organisasi KPK Indonesia

Namun demikian, kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus korupsi di Indonesia bukan hanya terletak di KPK saja. Saat ini lembaga Kepolisian dan Kejaksaan juga memiliki wewenang yang sama dalam hal penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan Kejaksaan memiliki kewenangan melakukan penuntutan di pengadilan. Tersebarnya kewenangan di sejumlah lembaga ini memiliki konsekuensi tertentu yang dapat berimplikasi positif maupun negatif. Implikasi positifnya antara lain adalah kasus-kasus korupsi dapat cepat ditangani tanpa harus menunggu tindakan dari suatu lembaga tertentu. Masyarakat juga dapat melaporkan indikasi kasus dugaan korupsi kepada lembaga-lembaga terkait baik itu KPK, Kepolisian maupun Kejaksaan. Namun demikian, hal tersebut juga berimplikasi negatif yaitu terjadinya perbedaan interpretasi terhadap satu kasus korupsi. Dimana masing-masing lembaga memiliki persepsi yang berbeda, contohnya penuntutan yang
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

74

diajukan oleh masing-masing lembaga di peradilan tidak seragam. Masing-masing memiliki argumennya sendiri-sendiri sehingga terkadang putusan hukuman di lembaga peradilan atas kasus-kasus korupsi relatif kurang obyektif dan tidak memuaskan rasa keadilan di masyarakat. Terlepas dari efektivitas lembaga anti korupsi dalam memberantas korupsi di suatu negara, keberadaan lembaga anti korupsi hingga saat ini masih menjadi perdebatan pro dan kontra di masyarakat. Mereka yang mendukung menilai bahwa lembaga anti korupsikhususnya di negara-negara maju seperti Singapura dan Hong Kongsecara empirik telah terbukti mampu menekan jumlah kasus korupsi dan memberikan efek jera bagi para koruptor lainnya dengan memperbesar cost bagi seseorang yang mencoba melakukan korupsi dibandingkan dengan keuntungan yang bisa mereka peroleh. Hukuman penjara dan pengembalian hasil korupsi (asset recovery) kepada negara serta sanksi sosial yang keras terbukti efektif dalam memberantas korupsi. Pemisahan lembaga anti korupsi dari institusi generik lainnya seperti kepolisian atau pun kejaksaan, menjadikan lembaga ini mampu bekerja secara independen, profesional, dan obyektif sehingga konflik kepentingan dapat diminimalisir sekecil mungkin. Namun demikian, tidak sedikit pula kalangan yang menolak keberadaan lembaga ini. Alasan yang pada umumnya disampaikan adalah inefisiensi kelembagaan, karena pada dasarnya korupsi dapat dikategorikan sebagai tindak pidana biasa seperti lazimnya tindak kriminal lainnya. Mereka beranggapan bahwa lembaga kepolisian dan kejaksaan sudah cukup mampu untuk menangani kasus-kasus korupsi yang terjadi. Singkatnya mereka berpendapat korupsi bukanlah suatu kejahatan yang luar biasa, sehingga tidak perlu penanganan yang luar biasa pula. Keberadaan lembaga anti korupsi juga menambah beban anggaran negara, sementara hasil kerjanya masih diragukan efektivitasnya. Dari kedua pendapat tersebut, terlihat bahwa masing-masing memiliki argumen sendiri-sendiri. Keberhasilan dan kegagalan suatu lembaga anti korupsi tentu saja dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Terkait dengan hal ini, Alan Doig, David Watt, dan Roberts William sebagaimana yang dikutip oleh KPK (2006) dalam studinya mengidentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan lembaga anti korupsi, sebagaimana yang terlihat pada tabel berikut.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

75

Tabel 4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan dan Kegagalan Suatu Lembaga Anti Korupsi
Faktor Keberhasilan 1. Adanya dukungan politik 2. Lembaga anti korupsi merupakan bagian dari strategi pemberantasan korupsi yang komprehensif serta mendapat dukungan yang efektif dan komplementer dari lembaga publik 3. Ekonomi yang stabil dan program pembangunan selalu terfokus pada pengurangan peluang korupsi. 4. Didukung oleh anggaran yang memadai dan staf yang kompeten 5. Memiliki visi dan misi yang jelas. Visi dan misi ini ditunjang pula oleh perencanaan bisnis, pengelolaan anggaran dan pengukuran kinerja yang baik. 6. Adanya kerangka hukum yang kuat termasuk rule of law-nya dan dibekali oleh kekuatan hukum yang kuat sehingga dapat menunjang kegiatan penindakan dan pencegahan 7. Bekerja secara independen dan bebas dari pengaruh kepentingan 8. Pimpinan dan seluruh jajarannya memiliki standar integritas yang tinggi 9. Melibatkan masyarakat dan memperhatikan persepsi yang berkembang Faktor Kegagalan 1. Tidak ada komitmen politik 2. Kontra produktif terhadap pertumbuhan ekonomi

3. Secara umum pemerintah gagal membangun institusi di negaranya 4. Penerapan hukum terhadap korupsi kurang mendorong, tidak efektif, dan ambigu 5. Tidak fokus, banyak tekanan, tidak ada prioritas dan tidak didukung oleh struktur organisasi yang memadai 6. Lembaga anti korupsi dikatakan gagal apabila terlihat sebagai organisasi yang tidak efisien dan efektif serta tidak sesuai dengan harapan banyak pihak 7. Rendahnya kepercayaan publik

Sumber: KPK (2006)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan lembaga anti korupsi bukanlah solusi akhir bagi pemberantasan korupsi di suatu negara. Lembaga anti korupsi harus didukung oleh komitmen dari semua pihak tanpa terkecuali, anggaran serta SDM yang memadai dan profesional, independen, bebas dari berbagai konflik kepentingan, dan landasan hukum yang memberikan kewenangan penuh bagi lembaga tersebut untuk melakukan langkah-langkah yang dianggap perlu dalam menyelidiki kasus-kasus korupsi.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

76

Meskipun demikian, keberadaan lembaga anti korupsi memiliki nilai yang sangat strategis dan politis bagi pemerintahan suatu negara. Saat ini persoalan korupsi bukan hanya menjadi isu lokal, melainkan sudah menjadi isu internasional. Bagi negara-negara berkembang, keberhasilan menekan angka korupsi merupakan sebuah prestasi tersendiri. Hal ini akan berdampak pada arus investasi asing yang masuk ke negara tersebut. Negara dengan tingkat korupsi yang tinggi tentunya akan kehilangan daya saing dalam merebut modal asing yang sangat dibutuhkan negara berkembang. Negara-negara maju dan lembaga-lembaga donor internasional sangat menaruh perhatian terhadap peringkat korupsi yang dikeluarkan oleh lembaga survei internasional seperti Transparency Internasional dan PERC. Kedua lembaga ini secara konsisten melakukan penelitian dan mengumunkan peringkat negara terkorup dan terbersih setiap tahunnya. Oleh karena itu, keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi tercermin dari adanya lembaga anti korupsi di negara tersebut. Meskipun demikian, keberadaaan lembaga anti korupsi tentu saja tidak terlepas dari kelebihan dan kelemahannya. UNODC sebagaimana yang disarikan oleh KPK (2006) menjelaskan sejumlah kelebihan dan kelemahan dari adanya lembaga anti korupsi di suatu negara. Tabel 4.3 Kelebihan dan Kelemahan dari Pembentukan Lembaga Anti Korupsi
Kelebihan

Kelemahan

Dapat terus mengingatkan/menekan pemerintah untuk secara serius melakukan upaya pemberantasan korupsi Menghasilkan lembaga dengan tingkat keahlian yang khusus Sebagai lembaga baru dapat membangun sistem baru yang terbebas dari pengaruh korupsi Dapat dijadikan contoh bagi lembaga lain, terutama institusi penegak hukum, sehingga menjadi trigger mechanism bagi lembaga penegak hukum yang telah ada Mempunyai kredibilitas yang lebih besar Dapat dilengkapi dengan sistem

Beban biaya tambahan bagi negara Akan terjadi persaingan antara lembaga penegak hukum yang telah ada, sehingga akan menyulitkan dalam berkoordinasi Dapat berakibat restrukturisasi terhadap lembaga lain yang telah ada

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

77

perlindungan keamanan yang lebih baik dalam menjalankan fungsinya Lembaga Anti Korupsi dapat melakukan rekrutmen secara obyektif untuk mendapatkan sumber daya manusia dengan kualitas dan integritas yang lebih baik Dapat mendisain sendiri muatan pendidikan dan pelatihan yang cocok dengan lingkungan yang dinamis Lebih jelas dalam menilai perkembangannya, tingkat kegagalan dan kesuksesannya

Sumber: KPK (2006) Memperhatikan hasil penelitian yang telah dilakukan KPK mengenai kelebihan dan kelemahan adanya lembaga anti korupsi di suatu negara di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan lembaga anti korupsi memilki banyak kelebihan dibandingkan dengan kelemahannya. Oleh karena itu, keberadaan lembaga anti korupsi merupakan suatu keharusan dan salah satu syarat keberhasilan strategi pemberantasan korupsi. Bagaimana pun juga, kita perlu mengantisipasi kelemahankelemahan yang ditimbulkan agar keberadaan lembaga ini tidak menjadi suatu langkah surut dalam memberantas korupsi. Dari tabel di atas, kita dapat melihat beberapa kelemahan-kelemahan seperti bertambahnya anggaran negara, persaingan antar penegak hukum, dan restrukturisasi lembaga lain. Kita akan membahas kelemahan-kelemahan tersebut satu persatu. Adapun kelemahan yang pertama adalah meningkatnya anggaran negara bagi lembaga anti korupsi merupakan suatu konsekuensi logis bagi terbentuknya lembaga baru di lingkungan pemerintahan. Namun demikian, apabila dibandingkan dengan jumlah anggaran yang dikorupsi, meningkatnya anggaran bagi pembentukan lembaga anti korupsi akan jauh lebih kecil. Belum lagi apabila kita memperhitungkan multiplier effect yang seharusnya terjadi dalam hal pelayanan publik dan pembangunan ekonomi apabila anggaran negara tersebut tidak dikorup. Lebih lanjut, sesuai dengan salah satu pasal UNCAC yaitu asset recovery, lembaga anti korupsi akan lebih efektif dalam mengembalikan aset-aset yang telah dikorup kepada negara. Kelemahan yang kedua yaitu persaingan antar penegak hukum akan dapat dihindari dengan adanya aturan dan jelas dan tegas. Salah satu latar belakang

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

78

dibentuknya lembaga anti korupsi yang independen adalah tidak efektifnya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang sudah ada. Sehingga keberadaan lembaga anti korupsi harus dipahami sebagai suatu kebutuhan dan keharusan untuk dapat segera menuntaskan kasus-kasus korupsi yang menjadi sorotan banyak pihak. Pembentukan lembaga anti korupsi ini harus disertai dengan penyusunan aturan main dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Aturan tersebut harus mengatur kewenangan apa saja yang dimiliki oleh masingmasing lembaga penegak hukum terkait dengan kasus korupsi. Bahkan aturan tersebut juga harus mampu menciptakan terjalinnya koordinasi yang sinergis dari masing-masing lembaga tanpa melemahkan kewenangan yang dimiliki masingmasing. Kemudian kelemahan yang ketiga adalah terjadinya restrukturisasi lembaga lain. Pada umumnya sebelum terjadi restrukturisasi akan dilakukan audit yang menyeluruh dan mendalam terhadap lembaga-lembaga penegak hukum terkait dalam hal tugas dan fungsi, struktur organisasi, serta kewenangan. Apabila hasil audit menyimpulkan perlunya dilakukan restrukturisasi guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemberantasan korupsi, maka seharusnya restrukturisasi diartikan sebagai suatu perubahan positif dan bukti keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Penolakan terhadap restrukturisasisepanjang hal itu memang harus dilakukanmerupakan hal yang biasa dalam dinamika organisasi. Hal ini dapat diredam dengan melakukan open recruitment kepada seluruh jajaran lembaga penegak hukum terkait dan bahkan kepada khalayak umum untuk mengisi jabatanjabatan yang tersedia di lembaga anti korupsi secara adil, terbuka dan berbasis pada kompetensi. Dengan mengantisipasi kelemahan-kelemahan tersebut, diharapkan akan terbentuk suatu lembaga anti korupsi yang mendapat dukungan luas berbagai pihak sehingga mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional dan obyektif.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

79

Bab V Strategi Pencegahan Tindak Korupsi

ebagai bagian dari strategi pemberantasan korupsi, faktor pencegahan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam memberantas perilaku korupsi. Pencegahan korupsi diartikan sebagai langkah-langkah yang

ditempuh oleh pemerintah untuk mencegah, menghindari, dan menjaga agar perilaku serta peluang korupsi dapat diminimalisir sekecil mungkin. Pencegahan juga dimaksudkan untuk memberantas korupsi mulai sejak awal tanpa harus menunggu seseorang berbuat korupsi. Hal ini didasari oleh pemahaman bahwa tindak kejahatan korupsi dapat terjadi bukan saja disebabkan oleh besarnya keuntungan yang bisa diambil oleh seseorang, akan tetapi juga dikarenakan oleh kecilnya kerugian yang ditanggung para pelaku korupsi. Selain itu, korupsi juga dapat terjadi bukan hanya karena muncul dari niat seseorang, namun faktor kesempatan sangat memainkan peranan yang besar. Dengan memperkecil kesempatan atau peluang korupsi, diharapkan korupsi dapat dicegah sedini mungkin sebelum korupsi itu sendiri terjadi. Langkah-langkah pencegahan tindak korupsi di sejumlah negara sangat beragam. GTZ (2005) dalam studinya mengenai pencegahan korupsi menyebutkan bahwa untuk dapat menyusun langkah-langkah pencegahan yang tepat diperlukan identifikasi awal untuk mengetahui aspek-aspek mana di dalam administrasi publik yang memiliki kelemahan atau peluang terhadap tindak korupsi. Tanpa adanya informasi awal tersebut, sangat sulit untuk menentukan langkah-langkah yang tepat dan efektif. Oleh sebab itu, langkah-langkah pencegahan korupsi yang dilakukan di beberapa negara memiliki sejumlah perbedaan yang didasari oleh karakteristik korupsi dan kondisi lokal dari masing-masing negara. Pencegahan korupsi yang

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

80

cukup efektif dilaksanakan di suatu negara tertentu tidak serta merta akan berhasil apabila diterapkan di negara lain. Langseth (1999) dalam papernya yang berjudul Prevention: An Effective Tool to Reduce Corruption mengemukakan bahwa penanganan korupsi (khususnya di negara-negara berkembang) memerlukan dukungan dari negara-negara donor melalui kerjasama dengan seluruh insitusi pemerintah dan elemen-elemen masyarakat negara yang bersangkutan. Pencegahan merupakan pendekatan yang paling utama dalam membantu negara-negara berkembang untuk mengatasi korupsi, membangun integritas dan pada akhirnya meningkatkan pelayanan publik dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi dunia usaha. Adapun apabila berdasarkan sektor, maka instrumen pencegahan korupsi yang dibangun dalam strategi pemberantasan korupsi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 5.1 Instrumen Pencegahan Korupsi per Sektor

Sumber: OSCE, 2004: 155

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

81

Dalam tabel tersebut di jelaskan

salah satunya bahwa dalam sektor

masyarakat secara umum, maka instrumen pencegahan korupsi adalah mekanisme pemilihan yang bertujuan untuk mencapai integritas dengan mengeliminir politisi korup. Mekanisme ini tentu hanya bisa efektif apabila telah terdapat kesadaran (awareness) dan level melek (literacy) masyarakat yang cukup baik. Kesadaran politik warga akan hak-hak sipilnya akan sangat efektif dalam menyaring mana politisi yang korup, dan mana yang tidak. Di sektor parlemen, tentu instrmen utamanya adalah perundangan anti korupsi yang mumpuni dan mampu memberi efek jera bagi para pelaku korupsi. Perundangan anti korupsi ini dapat memberdayakan penegakkan anti korupsi. Salah satu sektor penting lainya adalah korupsi di sektor pemerintah yang harus dibenahi melalui mekanisme reformasi anti-korupsi dan mengadopsi peraturan dan kebijakan integritas. Dengan instrumen ini maka diharapkan tercapai integritas aparat pemerintah baik secara individu maupun kelembagaan di mata publik. Berkenaan dengan fungsi yang melekat pada sektor pemerintah, yaitu sektor pelayanan publik, maka instrumen yang dpat dikembangkan adalah kode etik pelayanan yang bertujuan untuk membatasi praktik korupsi dan membersihkan pelayanan dari petugas yang korup. Sama halnya dengan sektor pelayanan publik, disektor bisnis pun perlu dkembangkan kode etik dalam berbisnis untuk menciptakan iklim dan dunia usaha yang bebas dari praktik korupsi. Hal terpenting dari pengejawantahan kode etik ini adalah menurunkan biaya ekonomi tinggi yang tidak perlu. Berbagai program dan pendekatan tentunya juga disesuaikan dengan kondisi lokal setiap negara. Pendekatan pencegahan korupsi yang dilakukan oleh Singapura, Hong Kong, India dan Indonesia juga memiliki sejumlah perbedaan dengan tingkat efektivitas yang beragam. A. SINGAPURA Singapura sebagai salah satu negara yang berhasil menekan angka korupsi bahkan disebut sebagai negara terbersih di Asia (peringkat 1 berdasarkan survei PERC tahun 2006) memiliki strategi yang berbeda dengan negara-negara lain dalam
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

82

memberantas korupsi. Strategi yang ditempuh Singapura dalam memberantas korupsi disebut sebagai pilar strategi anti korupsi, memiliki empat fokus utama yaitu: Effective Anti-Corruption Agency; Effective Acts (or Laws); Effective Adjudication; dan Efficient Administration. Dimana keempat pilar di atas dilandasi oleh strong political will against corruption dari pemerintah (Gambar 5.1). Komitmen politik pemerintah yang tinggi dalam memberantas korupsi adalah faktor utama dan terpenting dari keberhasilan Singapura dalam memberantas korupsi. Selanjutnya, negara tersebut menyadari pentingnya membentuk lembaga anti korupsi yang independen, memiliki kewenangan yang memadai, dan memiliki integritas tinggi. Keberadaan peraturan perundang-undangan yang tegas dan jelas mengenai korupsi juga sangat menentukan efektivitas lembaga anti korupsi dan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi. Kemudian administrasi pemerintahan yang efisien merupakan outcomes dari efektifnya lembaga anti korupsi, undang-undang, dan sanksi korupsi. Gambar 5.1 Strategi Anti Korupsi Singapura
UNDANG-UNDANG ANTI KORUPSI KOMISI ANTI KORUPSI PERADILAN

ADMINISTRASI PEMERINTAHAN STRONG POLITICAL WILL

E F E K T I F

Seperti yang telah dijelaskan di bab-bab sebelumnya, aktor utama dalam menangani korupsi di Singapura adalah Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB). Dalam menjalankan perannya sebagai lembaga anti korupsi, CPIB memiliki beberapa fungsi yaitu: menerima dan menyelidiki keluhan mengenai praktik-praktik korupsi; menyelidiki penyimpangan dan kekeliruan pegawai negeri yang dapat
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

83

dikategorikan sebagai korupsi; dan mencegah korupsi melalui pengujian standar dan prosedur pelayanan publik untuk meminimalisir peluang-peluang untuk melakukan praktik korupsi. Terkait dengan fungsi pencegahan, CPIB menempuh beberapa cara yaitu: 1. Review of Work Methods. CPIB melakukan evaluasi di seluruh instansi pemerintah dimana cara dan prosedur kerja ditingkatkan untuk menghindari penundaan pemberian ijin atau lisensi dan mencegah pegawai negeri menerima suap dari masyarakat untuk mempercepat proses perijinan; 2. Declaration of Non-Indebtedness. Setiap pegawai negeri di Singapura diharuskan untuk membuat pernyataan bahwa ia bebas dari hutang budi yang terkait dengan uang (pecuniary embarrassment) setiap tahunnya. Hal ini didasari keyakinan bahwa pegawai negeri yang memiliki hutang budi dapat dengan mudah dieksploitasi oleh pihak lain dan memiliki kewajiban tertentu yang menjadikannya tidak obyektif dalam melayani masyarakat. Dengan demikian ia rentan untuk melakukan korupsi; 3. Declaration of Assets and Investments. Aturan ini mewajibkan setiap pegawai negeri menyatakan kekayaan dan investasinya pada saat ia diangkat menjadi pegawai negeri dan setiap tahunnya setelah menjadi pegawai negari, termasuk pasangan dan anak-anaknya. Apabila seorang pegawai negeri memiliki kekayaannya yang tidak sesuai dengan gajinya, ia harus menjelaskan dari mana ia dapat memperolehnya. Selanjutnya apabila ia memiliki sejumlah saham di perusahaan swasta, ia akan diminta untuk mendivestasikan kepemilikannya untuk menghindari konflik kepentingan; 4. Non-Acceptance of Gifts. Pegawai negeri di Singapura dilarang untuk menerima hadiah uang atau sejenisnya dari masyarakat yang dilayaninya. Mereka juga dilarang untuk menerima suguhan hiburan. Pada kondisi dimana mereka tidak mungkin menolaknya (seperti cinderamata dari kunjungan resmi), mereka boleh menerimanya dan menyerahkan kepada kepada departemen. Namun demikian, mereka dapat menyimpan bingkisan tersebut apabila mereka membayar sesuai dengan nilai yang ditaksir oleh official valuer yang ditunjuk oleh Departemen Keuangan;
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

84

5. Public Education. Sebagai bagian dari upaya mencegah korupsi, CPIB melakukan diseminasi mengenai buruknya dampak korupsi kepada pegawai negeri, khususnya mereka yang bekerja di instansi-instansi penegakan hukum dan mereka yang berpeluang untuk menerima suap dan tindak korupsi lainnya, seperti perpajakan, bea cukai dan imigrasi. Langkah-langkah pencegahan yang dilakukan di atas Pemerintah Singapura pada dasarnya dilatarbelakangi oleh sejumlah kelemahan yang ada dalam birokrasinya. Hubungan atau kontak langsung antara pegawai negeri sebagai ujung tombak pelayanan publik dengan masyarakat sebagai pihak yang harus dilayani merupakan kelemahan utama. Hubungan semacam ini menciptakan peluang korupsi yang besar bagi para pegawai negeri. Oleh sebab itu, Singapura menerapkan reformasi administrasi pemerintahan yang antara lain tertuang dalam pernyataan motto yakni Integrity, Service, Excellence yang dipahami sebagai visi bersama oleh seluruh jajaran instansi pemerintah mulai dari pimpinan hingga staf. Lebih lanjut reformasi tersebut juga dilakukan melalui Public Services for the 21st Century (PS21) Movement, yang pada intinya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemerintahan dan memangkas birokrasi. Peran CPIB dalam menciptakan pelayanan publik yang bersih salah satunya adalah memberikan rekomendasi dalam hal perekrutan, promosi, dan pemberian penghargaan pegawai negeri. Dalam kerangka PS21 Movement, Pemerintah Singapura menerapkan sejumlah strategi yakni E-Government Action Plans (eGAP) yang diimplementasikan pada tahun 2000-2006. Strategi eGAP tersebut pada prinsipnya bertujuan untuk meminimalisir peluang korupsi dengan mendayagunakan teknologi informasi secara elektronik sehingga kontak langsung antara penyedia layanan publik dengan masyarakat dapat dikurangi. eGAP juga merupakan bagian dari konsep Integrated Government (iGov) 2010. Upaya-upaya lain yang termasuk dalam eGAP adalah eCitizen dan GeBIZ, dimana eCitizen dimaksudkan untuk menciptakan hubungan antara pemerintah dan masyarakat melalui perangkat elektronik, sedangkan GeBIZ adalah suatu proses pengadaan barang dan jasa (procurement) pemerintah melalui internet.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

85

Selanjutnya

guna

memperbaiki

profesionalisme

dan

kinerja

aparat

pemerintah, Singapura mengeluarkan Government Instruction Manual. Aturan ini mengatur perilaku dan disiplin pegawai negeri yang mencakup larangan menerima hadiah, melakukan investasi di sektor swasta, dan membuat pernyataan bebas hutang budi dengan siapa pun. Kemudian aturan tersebut juga melarang keterlibatan kontraktor korupsi. Kemudian untuk meningkatkan kesadaran (awarness) terhadap korupsi, CPIB Singapura secara aktif melakukan kampanye dan pendidikan anti korupsi bekerja sama dengan Civil Service College (CSC) di seluruh instansi pemerintah. Peran serta masyarakat juga dilibatkan dalam mengawasi pelayanan publik, membuat pengaduan atas apabila ada indikasi tindak korupsi di instansi pemerintah, dan ikut mengawasi jalannya peradilan kasus-kasus korupsi. Hal lain yang tidak kalah penting dalam langkah pencegahan korupsi adalah perbaikan kesejahteraan pegawai negeri (remunerasi). Pemerintah Singapura menyadari bahwa kesejahteraan birokrat mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku korupsi. Pegawai negeri seringkali tergoda untuk menerima suap apabila penghasilan mereka tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, Pemerintah Singapura mengeluarkan kebijakan bahwa saat ini gaji pegawai, khususnya pegawai baru (entry level) di sektor pemerintah sama besarnya dengan sektor swasta. Tujuan lain dari kebijakan ini adalah memberikan insentif dan menciptakan daya tarik bagi para sarjana lulusan terbaik untuk berkarir di instansiinstansi pemerintah secara profesional. Kebijakan untuk memperbaiki remunerasi tersebut memang tidak dilakukan secara cepat namun dengan cara bertahap dan memiliki keterkaitan erat dengan angka korupsi yang berhasil dikendalikan pemerintah. Skema keterkaitan ini dapat dilihat pada Gambar 5.2 berikut. yang terbukti korupsi dalam proyek-proyek pemerintah, serta memutuskan kontrak dengan pihak ketiga apabila terbukti terjadi praktik-praktik

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

86

Gambar 5.2 Keterkaitan antara Korupsi dengan Perbaikan Remunerasi Pegawai Negeri
Efisiensi Anggaran Pemerintah Peningkatan Kesejahteraan Pegawai Negeri

Korupsi terkendali

Zero Tolerance thd Korupsi

Peningkatan Kepercayaan Masyarakat

Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik

Meskipun dalam sejarahnya, CPIB memprioritaskan korupsi di sektor publik, namun Prevention of Corruption Act juga memberikan kewenangan kepada CPIB untuk melakukan penyelidikan korupsi di sektor swasta. Hal ini dipengaruhi oleh kecenderungan yang terjadi di Singapura akhir-akhir ini yaitu menurunnya kasuskasus korupsi di sektor publik dan sebaliknya terjadi peningkatan kasus-kasus korupsi di sektor swasta. Praktik-praktik korupsi di sektor swasta pada umumnya melibatkan pembayaran atau penerimaan komisi secara ilegal atau sogokan yang untuk beberapa kasus jumlahnya cukup besar. Sebagian pengusaha di Singapura masih menganggap pembayaran dari komisi yang ilegal dapat diterima dalam praktik bisnis. Komisi ilegal yang dimaksud mengacu pada jumlah komisi yang diterima seorang pegawai melebihi dari jumlah yang dibolehkan/disetujui oleh perusahaan. Aturan yang ada di Singapura mewajibkan perusahaan memberikan petunjuk yang jelas bagi para pegawainya terkait dengan kebijakan menerima komisi sehingga transaksi bisnis yang adil dan jujur dapat terjaga dan pada akhirnya juga akan melindungi kepentingan perusahaan. Terkait dengan praktik suap, undang-undang anti korupsi di Singapura memberikan ancaman hukuman kepada seseorang yang memberikan atau menerima uang suap adalah denda maksimal SG$ 100,000 atau hukuman kurungan maksimal 5 tahun atau keduanya. Pada praktiknya, pengadilan dapat memberikan hukuman sesuai dengan jumlah uang suap yang diterima. Sanksi yang sama juga dapat dijatuhkan kepada seseorang yang memberikan atau menerima uang suap atas nama
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

87

orang lain. Secara empirik, hukuman ini sangat efektif memberikan efek jera dan menekan angka korupsi. Bahkan pada beberapa kasus, sanksi sosial yang dijatuhkan masyarakat jauh lebih berat dibandingkan pengadilan. Sejak CPIB dibentuk hingga saat ini, tercatat sejumlah tersangka koruptor melakukan tindakan bunuh diri sebelum diajukan ke pengadilan karena merasa malu kepada keluarganya dan takut terhadap sanksi sosial dari masyarakat yang terkenal sangat tidak mentolerir perbuatan korupsi. B. HONG KONG Selain Singapura, Hong Kong adalah salah satu role model dalam pemberantasan korupsi. Menurut survei yang sama oleh PERC, Hong Kong menempati urutan ke-3 negara terbersih di Asia setelah Jepang yang berada di peringkat ke-2. Meskipun kedua negara yakni Singapura dan Hong Kong berhasil mengatasi korupsi, namun pendekatan yang dilakukan relatif berbeda. Strategi pemberantasan korupsi yang dimiliki Hong Kong memiliki tiga pendekatan utama yaitu: prevention; investigation; dan education. Masing-masing pendekatan memiliki tujuan dan sasaran yang berbeda. Pendekatan pertama yaitu pencegahan dilakukan melalui legalisasi dan prosedur yang mengatur secara detil mengenai definisi dan sanksi korupsi. Selanjutnya, pendekatan penyelidikan merupakan langkah-langkah penindakan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi. Kemudian pendekatan pendidikan dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan haknya sebagai warga negara dan kesadaran akan dampak negatif korupsi bagi kelangsungan pembangunan. Strategi pemberantasan korupsi di Hong Kong dapat dilihat pada gambar berikut.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

88

Gambar 5.3 Strategi Pemberantasan Korupsi Hong Kong


PREVENTION/ PENCEGAHAN STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI INVESTIGATION/ PENYELIDIKAN EDUCATION/ PENDIDIKAN LEGISLASI & PROSEDUR

PENINDAKAN & EFEK JERA KESADARAN AKAN HAK WARGA KESARADAN AKAN DAMPAK KORUPSI

Ujung tombak dari pemberantasan korupsi di Hong Kong adalah Independent Commission Against Corruption (ICAC). Strategi ICAC dalam mengimplementasikan pendekatan-pendekatan di atas pada dasarnya terbagi ke dalam tiga fase yaitu: 1. Periode 1974-1980-an: membangun kepercayaan dan legislasi. 2. Periode awal 1980-awal 1990-an: memberikan layanan dan informasi. 3. Periode awal 1990-an sampai sekarang: leadership, ownership, dan partnership. Pada fase pertama (1974-1980-an), ICAC baru saja terbentuk dan mengalami tantangan yang cukup besar terutama dari masyarakat yang meragukan efektivitas lembaga ini karena permasalahan korupsi di Hong Kong sudah sangat parah dan terjadi hampir di semua kalangan birokrat. Berkenaan dengan hal ini, pendekatan pertama yang dilakukan ICAC ialah dengan membangun kepercayaan baik dari masyarakat maupun kalangan pemerintah sendiri. Kepercayaan ini lambat laun dapat terbentuk dari hasil kerja dan keseriusan yang ditunjukkan ICAC dalam menangani kasus-kasus korupsi yang besar dan menyedot perhatian masyarakat luas. Setelah kepercayaan terbangun, ICAC selanjutnya melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan terkait dengan korupsi meliputi Independent Commission Against Corruption Ordinance, Prevention of Bribery Ordinance, dan Elections (Corrupt and Illegal Conduct) Ordinance.
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

89

Fase kedua yaitu awal 1980-an-awal 1990-an merupakan fase dimana pencegahan tindak korupsi merupakan fokus yang utama. Pendekatan yang dilakukan oleh ICAC pada periode ini adalah menyediakan pelayanan rutin ke departemendepartemen yang ada di Hong Kong, dan menyiapkan informasi/kurikulum mengenai tindak korupsi. Staf ICAC secara rutin melakukan kunjungan dan penyuluhanpenyuluhan guna menjelaskan pengertian dan berbagai bentuk korupsi serta menumbuhkan kesadaran anti korupsi. Di samping itu berbagai kegiatan workshop, seminar, maupun pelatihan-pelatihan tentang tindak korupsi juga secara aktif dilaksanakan. Sedangkan pada awal 1990-an sampai sekarang yang merupakan fase ketiga, ICAC melakukan pendekatan yang dikenal dengan leadership, ownership, dan partnership. Pendekatan ini merupakan perpaduan penanganan korupsi melalui keteladanan para pimpinan institusi pemerintah, menumbuhkan rasa memiliki para pegawai terhadap institusi, serta membangun kemitraan antar insitusi pemerintah. Pada periode ini terdapat tiga program yang cukup signifikan yaitu: (i) Civil Service Integrity Programme (1999-2001); (ii) Civil Service Integrity Entrenchment Programme (2004-2006); dan (iii) Ethical Leadership Programme. Civil Service Integrity Programme (CSIP) merupakan program yang bertujuan untuk menciptakan integritas pegawai negeri yang tinggi sesuai tuntutan dan perkembangan zaman. Untuk mendukung kegiatan program dibentuklah satuan tugas (task force) yang mengunjungi 67 departemen di Hong Kong selama dua tahun. Fokus dari satgas ini meliputi laporan korupsi, kasus disipliner, dan masalah-masalah umum yang dihadapi setiap departemen dengan memberikan pedoman penyelenggaraan dan disiplin. Sementara itu, pelatihan-pelatihan diberikan dengan metode tailor-made, pendekatan studi kasus, dan bantuan visual. Pelatihan tersebut ditujukan bagi pegawai-pegawai negeri baik baru maupun lama. Sedangkan topiktopik yang dibahas dalam pelatihan mencakup undang-undang korupsi, korupsi saat ini, penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, penggunaan kewenangan, konflik kepentingan, dan laporan korupsi. CSIP dalam perkembangannya mendapatkan respon yang positif dari seluruh departemen yang menjadi obyek pelatihan. Pemahaman dan kepedulian para pegawai mengenai korupsi meningkat, sehingga praktik-praktik yang selama ini tidak disadari
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

90

atau diklasifikasikan sebagai korupsi mengalami penurunan. Menindaklanjuti keberhasilan CSIP, Pemerintah Hong Kong, khususnya ICAC membuat program lanjutan yang disebut dengan Civil Service Integrity Entrenchment Programme (CSIEP), juga selama dua tahun. Keberadaan satuan tugas masih menjadi ujung tombak dalam CSIEP. Di samping itu, pada program lanjutan ini seluruh departemen di Hong Kong ikut terlibat. Kemudian isu-isu integritas yang menjadi topik utama kembali ditegaskan dalam program ini. Program lainnya yang cukup signifikan terhadap penanganan korupsi di Hong Kong adalah Ethical Leadership Programme (ELP). Pada program ELP dilakukan pembentukan jaringan petugas etik dan asisten petugas etik dari seluruh departemen yang ada. Hal ini dimaksudkan untuk mempromosikan budaya etik di lingkungan instansi pemerintah dalam jangka waktu panjang. Budaya etika selanjutnya disempurnakan dengan penyusunan rencana manajemen integritas di setiap departemen. Departemen-departemen yang terlibat dalam program ini juga saling berbagi informasi terkait dengan isu integritas secara reguler. Sedangkan ICAC memberikan dukungan dan pelayanan yang berkelanjutan. Untuk menguji kinerjanya ICAC melakukan survei tahunan terhadap toleransi publik terhadap korupsi di pemerintahan. Pada tahun 2006, skor yang diperloeh adalah 1,1. Skala nilai adalah 0-10, dimana 0 mewakili penolakan total dan 10 mewakili toleransi total. Survey tersebut melibatkan 1.500 warga Hong Kong melalui random sampling, dilaksanakan pada akhir tahun 2006 oleh lembaga penelitian profesional dan dipanitiai oleh ICAC. C. INDIA Setelah mengamati dua negara yang menjadi role model pemberantasan korupsi di Asia, selanjutnya kita akan membahas strategi India dalam menangani korupsinya. India merupakan negara yang sedikit banyak memiliki kemiripan dengan Indonesia antara lain dari segi cakupan wilayah dan jumlah penduduk. Dengan demikian, tantangan kedua negara dalam menghadapi suatu persoalantermasuk korupsidapat dikatakan relatif sama.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

91

Seperti yang sudah dijelaskan di bagian awal bab ini, bahwa strategi dari masing-masing negara dalam memberantas korupsi adalah berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut dilatarbelakangi oleh karakteristik dan tantangan yang dihadapi oleh setiap negara juga berbeda. Strategi yang dilakukan dalam menangani korupsi di India adalah : 1. Perbaikan Pelayanan Dasar Pelayanan dasar merupakan isu penting dalam penyelenggaraan pemerintahan di India. Selain karena berhubungan langsung dengan kepentingan rakyat banyak, juga menyangkut kredibilitas pemerintah yang berkuasa. Strategi dalam perbaikan pelayanan dasar adalah a. Lebih kompetitif, yaitu menumbuhkan situasi persaingan antar jenis pelayanan untuk memacu kinerja pelayanan yang lebih baik. b. Penyederhanaan prosedur, yaitu dengan memangkas berbagai tingkatak birokrasi sehingga mempermudah dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. c. Insentif, sebagai stimulan untuk memacu pegawai agar dapat meningkatkan kinerja kesehariannya. d. Transparansi, yaitu membuka akses publik yang lebih luas, sehingga seluruh proses pemberian layanan publik dapat diketahui secara terbuka oleh masyarakat. e. Penggunaan Teknologi Informasi, adalah salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan. India dengan jumlah populasi di atas 1 milyar memerlukan teknologi informasi untuk mengatas kendala geografis dan keterjangkauan penduduk ke seluruh penjuru negeri. 2. Hukuman yang efektif Hukuman yang dimaksud didukung dengan adanya The Prevention of Corruption Act, 1988 dan The Criminal Law (Amendment) Ordinance, 1944. 3. Peran masyarakat (hak untuk memperoleh informasi), dengan dikeluarkannya RTI (Right To Information Act) pada tahun 2005, telah menjamin pentingnya peran masyarakat terutama dalam mewujudkan hak untuk mengakses informasi. 4. Peran lembaga swadaya masyarakat dalam mengawasi perilaku para pejabat pemerintah terkait dengan penyalahgunaan wewenang.
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

92

D. INDONESIA Sedangkan Indonesia menempuh strategi pemberantasan korupsi melalui 3 (tiga) pendekatan yaitu: sistem; regulasi; dan institusional. Pendekatan tersebut didasarkan pada keterkaitan antara elemen-elemen (pelaku) dalam pemberantasan korupsi yang ada di Indonesia. Meskipun demikian, pemberantasan korupsi di Indonesia lebih mengedepankan pada aspek penindakan (ex post facto) dibandingkan dengan pencegahan (ex ante). Strategi Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5.2 Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Eksekutif + Legislatif Kebijakan + Aturan Hukum KPK 1. Trigger Mechanism 2. Supervisi 3. Koordinasi 4. Pencegahan 5. Penyidikan 6. Penuntutan Masyarakat + NGOs + Swasta 1. Pencegahan 2. Pelapor 3. Pengawasan Eksternal Sumber: Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), 2007 Kepolisian 1. Penyelidikan 2. Penyidikan Kejaksaan 1. Penyidikan 2. Penuntutan 3. Eksekutor Pengadilan 1. Putusan 2. Pengawasan eksekusi

Pendekatan Sistem yang ditempuh Pemerintah Indonesia mencakup: pencegahan; penegakan hukum; dan kerjasama. Pendekatan Regulasi dalam memberantas korupsi meliputi: pengesahan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor); Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

93

penyusunan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tipikor; dan ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Sedangkan Pendekatan Institusional terdiri dari: pembentukan institusi independen; pembentukan institusi yang bersifat koordinatif; dan pembentukan pengadilan khusus. Upaya-upaya lain yang ditempuh Pemerintah Indonesia dalam mencegah korupsi mencakup reformasi birokrasi yang menekankan keterbukaan, kesempatan yang sama dan transparansi dalam rekrutmen pegawai negeri, kontrak, retensi dan proses promosi termasuk remunerasi dan diklat. Selanjutnya pemerintah juga memprioritaskan reformasi sektor pengadaan barang dan jasa yang rentan dengan praktik-praktik korupsi. Kemudian menetepkan peraturan perundang-undangan mengenai anti pencucian uang. Perjanjian ekstradisi juga menjadi hal yang erat kaitannya dengan penanganan kasus-kasus korupsi. Disinyalir bahwa sejumlah tersangka koruptor di Indonesia (khususnya kasus BLBI) melarikan hasil kejahatannya ke luar negeri. Sehingga pemerintah memandang penting untuk melakukan perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara. Hingga saat ini tercatat sejumlah perjanjian ekstradisi telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dengan beberapa negara lain seperti Malaysia (tahun 1975), Filipina (tahun 1976), Thailand (tahun 1978), dan terakhir Singapura (tahun 2007). Perjanjian ekstradisi antara Indonesia-Singapura sebenarnya telah diinisiasi sejak lama, akan tetapi baru pada tahun 2007 perjanjian ekstradisi berhasil disepakati oleh kedua negara. Namun demikian perjanjian ini menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan DPR dan masyarakat luas. Dalam sejarahnya, perjanjian esktradisi Indonesia-Singapura dilatarbelakangi oleh kegagalan POLRI dan Kejaksaan RI membawa pulang buronan dari Singapura di tahun 1990-an, sehingga pemerintah kembali menggagas perjanjian ekstradisi secara lebih serius. Pada Januari 2005, Pemerintah Indonesia kembali melakukan negosiasi dengan Singapura mengenai hal ini dan akhirnya pada pertemuan tingkat tinggi yang dilaksanakan di Bali pada bulan April 2007 ditandatangilah sejumlah perjanjian bilateral mencakup: perjanjian ekstradisi, perjanjian kerjasama pertahanan, dan implementing agreement. Perjanjian kerjasama pertahanan inilah yang kemudian menjadi pro dan kontra di kalangan anggota DPR dan masyarakat.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

94

Dalam perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura tersebut terdapat sejumlah poin-poin yang menganut prinsip-prinsip yang berlaku secara internasional dan telah dibakukan dalam UNCAC. Poin-poin tersebut antara lain menjelaskan bahwa jenisjenis tindak pidana kejahatan yang dapat diekstradisikan oleh Indonesia atau Singapura, antara lain adalah tindak pidana di bidang ekonomi termasuk korupsi, penyuapan, pemalsuan uang, kejahatan perbankan; Pelanggaran hukum perusahaan dan hukum kepailitan; dan Kejahatan tindak pidana yang melanggar hukum mengenai keuntungan yang diperoleh dari hasil korupsi. Perjanjian ini berlaku surut (retrospective) dan dapat mencakup tindak kejahatan yang dapat diekstradisikan 15 tahun sebelum perjanjian berlaku. Kemudian perjanjian ini menjangkau pelaku tindak kejahatan dari kedua negara yang melarikan diri dari wilayah yurisdiksi kedua negara tersebut. Penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan. Namun demikian, meskipun beberapa pendekatan dalam memberantas korupsi telah diupayakan oleh Pemerintah Indonesia, termasuk juga penandatanganan perjanjian ekstradisi dengan sejumlah negara, masih terdapat kekurangan-kekurangan yang menyebabkan pemberantasan korupsi tidak jelas arahnya serta masih terlalu kecil skala dan prioritasnya sehingga dampaknya belum dapat memuaskan rasa keadilan masyarakat, khususnya kalangan dunia usaha dan investor asing. Banyak tersangka kasus-kasus korupsi yang merugikan negara hingga milyaran rupiah masih tidak tersentuh oleh hukum dan beberapa yang diadili malah mendapatkan vonis bebas karena tidak cukup bukti. Berdasarkan studi yang dilakukan MTI (2007), ditemukan sejumlah kelemahan dalam pendekatan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah. Kelemahan-kelemahan yang terkait dengan sistem adalah belum terbentuknya sistem penanganan korupsi yang terintegrasi, belum terwujudnya sistem pengembalian aset (asset recovery) atas hasil-hasil kejahatan korupsi, belum terbentuknya sistem kerjasama penegak hukum yang terkait dengan penanganan korupsi. Selanjutnya kelemahan-kelemahan dalam regulasi adalah belum terciptanya harmonisasi perundang-undangan yang komprehensif, dan tidak adanya realisasi atas Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Meskipun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

95

Korupsi di sejumlah daerah di Indonesia, namun tindak lanjutnya masih belum terlihat dan dirasakan oleh masyarakat. Kemudian, kelemahan-kelemahan yang terkait dengan aspek institusional ialah belum optimalnya koordinasi antara institusiinstitusi yang menangani kasus korupsi, terjadinya tumpang tindih (overlapping) kewenangan, dan tidak adanya prioritas penanganan kasus-kasus korupsi, khususnya yang menjadi sorotan publik.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

96

Bab VI Rekomendasi Kebijakan


A. MASALAH DALAM STRATEGI KEBIJAKAN PENANGANAN KORUPSI DI INDONESIA

paya pemberantasan korupsi adalah sebuah pekerjaan rumah bagi semua pihak, semua sektor dan seluruh komponen perumus kebijakan baik itu pemerintah dan penyelenggara negara lainnya, tidak terkecuali anggota

masyarakat secara umum. Hal ini karena praktik korupsi bukan merupakan monopoli perilaku dari pegawai atau pejabat pemerintah saja, tetapi merupakan justru perilaku kolektif yang melibatkan hampir semua unsur dalam masyarakat. Sederhananya supply tidak akan terjadi kalau tidak ada demand. Praktik korupsi hanya mungkin terjadi apabila sistem formal memang mempunyai atau memberi celah/peluang ke arah sana, selain didukung oleh perilaku stakeholder dan shareholder yang

komplementer. Oleh karenanya persoalan mandeknya pemberantasan korupsi di Indonesia pada dasarnya bersifat sangat kompleks, yaitu tidak hanya menyangkut konten kebijakan dan penataan peraturan perundangan yang mengatur mengenai pemberantasan korupsi itu sendiri, namun juga faktor-faktor lain yang berpengaruh langsung pada rantai perumusan kebijakan itu sendiri. Itikad politik yang kuat perlu menjadi landasan agar kebijakan pemberantasan korupsi mendapat legitimasi yang cukup dan efektif. Namun sayangnya political will masih lemah. Hal ini diindikasikan ketika penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang melibakan kelompok elit dan nama besar akan sangat sulit dilangsungkan.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

97

Sementara itu, dalam hal konten kebijakan, Indonesia sudah mempunyai instrumen kebijakan pemberantasan korupsi yang relatif lengkap. Walaupun demikian dalam uraian analisis dijelaskan beberapa kesenjangan isi perundangan kita hukum dengan the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Kesenjangan ini dapat diatasi oleh antara lain perundangan kita yang dibuat lebih akomodatif terhadap kerjasama bilateral dan multilateral dengan memberi celah atau peluang untuk melakukan kerjasama dengan negara dan lembaga internasional. Persoalan lain seputar kebijakan adalah pada tahapan implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan kerap kali menemui hambatan di lapangan terutama ketika berbenturan dengan kepentingan golongan atau elit tertentu. Beberapa kasus penegakan hukum yang menyeret nama besar menjadi mandek bahkan dipeti-eskan, walaupun sudah terlanjur tercium dan di blow-up oleh media massa, Penegakkan hukum masih dianggap tebang pilih sehingga mengabaikan prinsip equality before the law. Implementasi kebijakan yang selalu terhambat juga antara lain menyebabkan wibawa hukum, pranata hukum dan instansi terkait menjadi lemah. Para pelaku tindak pidana korupsi tidak mengalami efek jera setelah melewati proses hukum, karena kewibawaan hukum yang tidak ada. B. ALTERNATIF STRATEGI KEBIJAKAN PENANGANAN KORUPSI Dari beberapa kelemahan tersebut di atas, maka kebijakan saat ini dapat dikembangkan, dan diperkaya dengan beberapa alternatif kebijakan yang tidak hanya melibatkan instrumen kebijakan menyangkut penegakan hukum, namun juga pada kebijakan di tingkat sektor maupun pada tataran makro kebijakan. Pendekatan carrot and stick adalah salah satu pendekatan yang memandang penanganan korupsi secara hitam putih. Walaupun sangat kaku dalam implementasi, namun seringkali efektif untuk menciptakan iklim kondusif dalam penegakan disiplin aparatur. Dengan pendekatan kesejahteraan sebagaimana yang diterapkan di Singapura, maka aparatur tidak diberi peluang untuk mencari pembenaran atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Pendapatan bersih (net take home pay) yang layak diharapkan mampu memberikan garansi perilaku yang positif para
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

98

aparatur dan menghindari segala bentuk penyimpangan. Pendapatan stick diharapkan akan menimbulkan efek jera yang hebat pada para pelaku korupsi. Singapura dan China telah menunjukkan praktek ini dengan tingkat keberhasilan yang diakui. Kebijakan terkait lain yang menjadi alternatif di luar kebijakan sektor adalah menyangkut reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi ini tidak bisa hanya sebatas jargon seperti yang selama ini banyak terjadi. Reformasi lebih banyak menjadi wacana di forum-forum terbatas (elitis dan eksklusif) yang tidak berdampak langsung kepada perubahan konkrit. Reformasi birokrasi harus menjadi leverage dalam strategi pemberantasan korupsi, karena merupakan fondasi penting dalam penyelenggaran negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Persoalan dalam pengejawantahan reformasi ini adalah dalam penerjemahannya ke dalam kebijakan. Banyaknya sektor yang menjadi objek reformasi menyebabkan pendekatan yang dilakukan tidak terintegrasi secara baik. Parsialitas menjadi karakter dalam penyelenggaraan reformasi birokrasi ini. Berkenaan dengan reformasi birokrasi ini, perlu adanya upaya menyangkut optimasi kementerian dan lembaga pemerintah nondepartemen (LPND), melalui kebijakan kelembagaan, sumber daya aparatur, dan kapasitas kelembagaan yang tidak tumpang tindih. Terkait dengan reformasi birokrasi dan prinsip carrot and stick di atas, maka struktur penggajian memerlukan pembenahan serius. Struktur yang bersandar pada merit system boleh jadi mampu memberikan jaminan kesejahteraan yang adil dan proporsional. Ketiga alternatif kebijakan di atas memerlukan usaha dan dana yang luar biasa besar. Salah satu alternatif lain yang ditawarkan oleh Kwik Kian Gie adalah dengan cara bertahap. Kesejahteraan yang layak tetap diberikan pada level elit di instansi pemerintah, sehingga asumsinya tidak akan terjadi korupsi di level atas. Sementara aparat pada level bawah, dibiarkan untuk melakukan korupsi pada level kecil, yang secara nominal tidak terlalu signifikan. Namun secara bertahap, setelah kemampuan keuangan memungkinkan, maka kesejahteraan aparat di tingkat bawah juga harus ditingkatkan. Untuk mengawal pendekatan ini, maka reward and punishment harus tetap ditegakkan.
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

99

C. POLICY ACTION DALAM PERUMUSAN STRATEGI KEBIJAKAN PENANGANAN KORUPSI DI INDONESIA Strategi pemberantasan harus dibangun didahului oleh adanya itikad kolektif, yaitu semacam kemauan dan kesungguhan (willingness) dari semua pihak untuk bersama-sama tidak memberikan toleransi sedikitpun terhadap perilaku korupsi. Perilaku korupsi harus dicitrakan dan diperlakukan sebagai perilaku kriminal, sama halnya dengan tindak kriminal lainnya, yang memerlukan penanganan secara hukum. Di samping itu, keberhasilan penanganan korupsi di negara-negara lain juga dipengaruhi oleh keberadaan lembaga anti korupsi yang kuat dalam menangani pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sebagai contoh, Singapura dan Hong Kong hanya memiliki satu lembaga anti korupsi yang memiliki kewenangan penuh untuk menyelidiki dan mengajukan tuntutan kasus-kasus korupsi. Oleh karena itu, dalam mewujudkan sebuah strategi yang efektif, dibutuhkan pemenuhan prasyarat sebagai berikut : 1. Didorong oleh keinginan politik serta komitmen yg kuat dan muncul dari kesadaran sendiri 2. Menyeluruh dan seimbang 3. Sesuai dengan kebutuhan, ada target, dan berkesinambungan 4. Berdasarkan pada sumber daya dan kapasitas yang tersedia 5. Terukur 6. Transparan dan bebas dari konflik kepentingan Berkenaan dengan political will serta komitmen yang harus dibangun, maka perlu menegaskan kembali political will pemerintah, diantaranya melalui : Penyempurnaan UU Anti Korupsi yang lebih komprehensif, mencakup kolaborasi kelembagaan yang harmonis dalam mengatasi masalah korupsi Kontrak politik yang dibuat pejabat publik Pembuatan aturan dan kode etik PNS Pembuatan pakta integritas Penyederhanaan birokrasi (baik struktur maupun jumlah pegawai)
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

100

Penyempurnaan UU Anti Korupsi ini selain untuk menjawab dinamika dan perkembangan kualitas kasus korupsi, juga untuk menyesuaikan dengan instrumen hukum internasional. Saat ini isu korupsi tidak lagi dibatasi sekat-sekat negara, namun telah berkembang menjadi isu regional bahkan internasional. Hal ini tidak lepas dari praktik korupsi yang melibatkan perputaran dan pemindahan uang lintas negara. Adanya kewenangan yang jelas dan tegas yang diberikan oleh suatu lembaga anti korupsi juga menjadi kunci keberhasilan strategi pemberantasan korupsi. Tumpang tindih kewenangan di antara lembaga-lembaga yang menangani masalah korupsi menyebabkan upaya pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif dan efisien. Strategi pemberantasan korupsi harus juga bersifat menyeluruh dan seimbang. Ini berarti bahwa strategi pemberantasan yang parsial dan tidak komprehensif tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Berkenaan dengan hal itu maka, strategi pemberantasan korupsi harus dilakukan secara adil, dan tidak ada istilah tebang pilih dalam memberantas korupsi. Di samping itu penekanan pada aspek pencegahan korupsi perlu lebih difokuskan dibandingkan aspek penindakan. Upaya pencegahan (ex ante) korupsi dapat dilakukan, antara lain melalui: Menumbuhkan kesadaran masyarakat (public awareness) mengenai dampak destruktif dari korupsi, khususnya bagi PNS. Pendidikan anti korupsi Sosialisasi tindak pidana korupsi melalui media cetak & elektronik Perbaikan remunerasi PNS Adapun upaya penindakan (ex post facto) korupsi harus memberikan efek jera, baik secara hukum, maupun sosial. Selama ini pelaku korupsi, walaupun dapat dijerat dengan hukum dan dipidana penjara ataupun denda, namun tidak pernah mendapatkan sanksi sosial. Hukuman yang berat ditambah dengan denda yang jumlahnya signifikan.
PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

101

Pengembalian hasil korupsi kepada negara. Tidak menutup kemungkinan, penyidikan dilakukan kepada keluarga atau kerabat pelaku korupsi. Strategi pemberantasan korupsi harus sesuai kebutuhan, target, dan berkesinambungan. Strategi yang berlebihan akan menghadirkan inefisiensi sistem dan pemborosan sumber daya. Dengan penetapan target, maka strategi pemberantasan korupsi akan lebih terarah, dan dapat dijaga kesinambungannya. Dalam hal ini perlu adanya komisi anti korupsi di daerah (misalnya KPK berdasarkan wilayah) yang independen dan permanen (bukan ad hoc). Selain itu strategi pemberantasan korupsi haruslah berdasarkan sumber daya dan kapasitas. Dengan mengabaikan sumber daya dan kapasitas yang tersedia, maka strategi ini akan sulit untuk diimplementasikan, karena daya dukung yang tidak seimbang. Dalam hal ini kualitas SDM dan kapasitasnya harus dapat ditingkatkan, terutama di bidang penegakan hukum dalam hal penanganan korupsi. Peningkatan kapasitas ini juga dilakukan melalui jalan membuka kerjasama internasional. Keterukuran strategi merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan. Salah satu caranya yaitu membuat mekanisme pengawasan dan evaluasi atas setiap tahapan pemberantasan korupsi dalam periode waktu tertentu secara berkala. Selain itu juga, dalam rangka penyusunan strategi yang terukur, perlu untuk melakukan survei mengenai kepuasan masyarakat atas usaha pemberantasan korupsi yang telah dilakukan pemerintahan. Terakhir adalah bahwa sebuah strategi pemberantasan memerlukan prinsip transparan dan bebas konflik kepentingan. Transparansi ini unutk membuka akses publik terhadap sistem yang berlaku, sehingga terjadi mekanisme penyeimbang. Warga masyarakat mempunyai hak dasar untuk turut serta menjadi bagian dari strategi pemberantasan korupsi. Saat ini optimalisasi penggunaan teknologi informasi di sektor pemerintah dapat membantu untuk memfasilitasinya. Strategi pemberantasan juga harus bebas kepentingan golongan maupun individu, sehingga pada prosesnya tidak ada keberpihakan yang tidak seimbang. Semua strategi berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku dan objektif.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

102

Instrumen strategi pemberantasan lain yang menjadi bagian dari elemen masyarakat adalah pers. Transparansi dapat difasilitasi dengan baik dengan adanya dukungan media massa yang memainkan peranannya secara kuat. Dengan adanya kebebasan pers, maka kontrol masyarakat dapat semakin ditingkatkan lagi.

PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

103

Daftar Pustaka
ADB/OECD Anti-Corruption Initiative for Asia and the Pacific: Self Assessment Report Singapore Amundsen, Inge (2000). Corruption: Definitions and Concepts Chr. Michelsen Institute Development Studies and Human Rights. Drielsma, Hankes (2004). Successful Anti-Corruption Strategies Around the Globe: A Report for Lok Satta. Makalah Online. Ferdinandus, Lefianna Hartati (2006). Korupsi dan Permasalahannya: Singapura Sebagai Studi Kasus. KBRI Singapura GTZ (2005). Preventing Corruption in Public Administration at the National and Local Level: A Practical Guide. GTZ, Eschborn ICAC (2004). Ethical Leadership in Action: Handbook for Senior Managers in the Civil Service. Hong Kong. ICAC (2005). 2005 Annual Report. Hong Kong. Komisi Pemberantasan Korupsi (2006). Identification of Gap between Laws / Regulations of the Republic of Indonesia and the United Nations Convention Against Corruption KPK. Jakarta. Langseth, Petter (1999). Prevention: An Effective Tool to Reduce Corruption. Paper disajikan pada konferensi ISPAC tentang Responding to the Challenge of Corruption, 19 November 1999, Milan. Political & Economic Risk Consultancy-PERC (2006). Corruption in Asia. Asian Intelligence. Hong Kong. Tanzi, Vito (1998). Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope, and Cures. IMF Staff Papers Vol. 45 No.4. TI India, (2007). Corruption in Trucking Operations in India. Shriram Group, MDRA & TI India. New Delhi.

You might also like