You are on page 1of 3

BERANDA

CariBerit a...

Hubungi Bagian Iklan Untuk Berlangganan Hubungi Redaksi Utama Daerah Hukum & Kriminal Ekonomi Padang Nasional Olahraga Selebritis Feature Opini

Berita Singgalang | Opini


Busuknya Moralitas Bangsa
Tanggal 06 March 2012

HENDRIZAL : Sekjur PGSD FKIP Universitas Bung Hatta Fenomena krisis moral yang muncul dalam bangsa Indonesia belakangan ini sudah sangat parah. Krisis moral tidak cuma melanda kalangan elit bangsa, birokrat dan politisi. Namun, juga menjangkiti sebagian besar masyarakat Indonesia, bila tidak mau dikatakan semuanya. Di level elit, tidak sedikit di antara mereka yang hanya cenderung memenuhi dan memprioritaskan kepentingan pribadinya masing-masing, sehingga mereka tampak telah menerapkan metode menghalal-kan segala cara (meminjam istilah Machiavelli) asalkan eksistensi dirinya tetap terjamin kokoh. Maka tidaklah heran bila saling jegal di kalangan birokrat dan memanfaatkan kedudukan di kalangan politisi, tampak sangat marak akhir-akhir ini. Hal itu telah pula melahirkan apa yang dinamakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) gaya baru yang begitu marak belakangan ini, meskipun kita sudah berada di era reformasi. Bahkan, bantuan korban gempa di Sumatera Barat ada beberapa yang dimark up. Dalam situasi prihatin akibat bencana gempa dan tsunami di Aceh dan sebagian Sumatera Utara dulu, juga muncul fenomena manipulasi data pengungsi oleh beberapa pejabat pemerintahan, yang tujuannya tentu saja akan membuat peluang untuk melakukan korupsi. Di level baw ah, moral w arga masyarakat juga tampak sangat rapuh, seperti terlihat dalam kehidupannya sehari-hari. Berbagai bentuk kejahatan, dari yang ringan hingga yang berat dan sadis, tampak kian marak terjadi. Begitu pula pertikaian, kerusuhan, amuk massa, bahkan perang antarw arga, antarsuku dan antaretnis, sangat mudah terjadi dan meletus hanya lantaran hal-hal yang amat sepele. Ironisnya lagi, moral generasi muda kita, yang merupakan penerus kehidupan bangsa, tampak sangat buruk pula, meskipun tidak semuanya. Generasi muda kita seolah-olah kehilangan jati diri mereka sebagai generasi yang halus, santun, dan menjunjung tinggi nilai-nilai serta budi yang luhur. Melihat fenomena di atas, beberapa pihak yang masih peduli pada kehidupan bangsa mencoba mengingatkan akan pentingnya kesada-ran untuk mengatasi kebusukan moral bangsa. Setidaknya, proses pembusukan moralitas manusia Indonesia perlu cepat-cepat diantisipasi agar tidak menuju kondisi yang lebih parah. Mengingat belakangan berbagai nilai luhur semakin dijauhi publik negeri ini. Termasuk ajaran agama yang sekadar dijadikan lambang status, terutama status politik. Pengagungan kebesaran Tuhan dengan segala ketentuan w ajib-Nya, cenderung cuma dipandang dari aspek protokoler semata. Tak sedikit manusia Indonesia yang cuma mengenali kebesaran Tuhan secara simbo-lik, tidak substansial. Begitu pula dengan nilai-nilai luhur lain-nya. Akibatnya, pergeseran nilai kian eksis di tengah masyarakat. Pergeseran nilai itu telah mengakibatkan erosi moralitas, baik dalam bentuk hedonisme-materialistik, politik kekerasan, kekerasan politik, kekerasan sosial, dan lainnya. Adanya pengabaian terhadap norma agama, perun-dangan negara dan nilai publik, juga semakin mendorong tumbuh suburnya lembaga dan sekaligus kultur KKN dalam kehidupan birokrasi negara Indonesia. Juga di tengah lingkungan lembaga sw asta. Begitu pula dengan langkanya kesadaran, negeri ini bukan cuma untuk kita yang hidup di masa sekarang namun juga untuk anak cucu dan generasi mendatang, hal ini tambah kian melunturkan moralitas luhur w arga bangsa kita. Oleh sebab itu agaknya kini dibutuhkan kehati-hatian kita (sebagai manusia Indonesia) untuk bersikap dan berperilaku terhadap hal-hal yang bisa merugikan generasi mendatang. Amanat Tuhan seperti harus diakses dalam setiap refleksi kehidupan perseorangan, dan terlebih lagi juga harus diadopsi dalam setiap kebijakan publik, yang menjadi

KANAL
KOMENTAR
Kunci Kemenangan Barack Obama Aborsi Sadis Delapan Semangat

POJOK

+ Masyarakat tak boleh miskin - Santiang bana ibuk mah, sajuak kiro-kiro + Investor asing tak masalahkan UMR - Yes mister, give much money bakabek-kabek dung

PALANTA
Pakau Aka Pai Sikola atau Pai Manyabik? Tukang Ubek Panau nan Dek Panau Gabak di Ulu Jan Takah Dulu Juo

TAJUK
Pejabat dan Keteladanan

converted by Web2PDFConvert.com

mandat pemerintah. Dalam hal ini, keinginan Tuhan agar manusia menjadi rahmat bagi alam, harus dijadikan akses utama untuk menata sikap budi manusia Indonesia. Artinya, sikap dan perilaku perseorangan ataupun kelompok sosial di negara kita yang menjauhi sifat keilahian, harus dikembali-kan ke pusat ajaran kebaikan, kebenaran, keadilan, kejujuran, kemanusiaan dan sejenisnya. Pusat itulah yang disebut dengan agama. Dengan ketaatan kepada ajaran agama, maka kepatuhan kepada ketentuan hukum negara dan sistem nilai-nilai moral publik, bisa diharapkan terbentuk. Ketiganya (agama, hukum dan sistem nilai moral masyarakat) bisa diharapkan mengatasi erosi krisis moral yang tak sedikit pada penduduk negeri ini. Dengan cara itulah prinsip kemanusiaan yang sudah ditinggalkan bisa secepatnya ditegakkan kembali. Bila dijabarkan lagi, maka kesucian batin individu, dan juga kelompok (terutama partai politik, birokrasi negara, dan mereka-mereka yang tengah disibukkan oleh kepentingan kapitalisme), harus direkayasa setiap pribadi agar bisa menjadi aset individu yang utama. Begitu pula dengan gejala semakin lunturnya keberanian untuk menegakkan kebaikan, kebenaran, keadilan, kejujuran dan kemanusiaan saat ini, seharusnya jangan dibiarkan berlangsung. Kebiasaan mempo-sisikan diri sebagai robot kejahatan moralitas oleh sebagian manu-sia Indonesia, harus secepatnya pula dihentikan. Jika kedua hal terakhir itu dibiarkan terus berlangsung, manusia Indonesia bisa menjadi budak kekejaman kemanusiaan. Sebagian dari kekhaw atiran itu, sejak beberapa tahun terakhir sudah mulai tampak eksis di negeri ini. Cobalah tengok betapa tak sedi-kitnya kepentingan lembaga rumahtangga kita telah dipenuhi oleh semangat kebohongan. Lembaga dan sekaligus budaya kebohongan itu tidak hanya eksis di dalam rumahtangga mikro (keluarga) melainkan sudah menjangkau rumahtangga bangsa dan negara kita. Kini bahkan semakin jelas muncul kesan ke permukaan bahw a upaya bohongmembohongi, demi kepentingan individual, kelompok atau masyarakat, bukan rahasia umum lagi. Juga bukan dianggap hal yang tabu lagi. Akibatnya, pola hubungan suami-istri, orangtua-anak, kakak-beradik, hingga hubungan dalam extended family lainnya, sering tidak mempertimbangkan aspek kepantasan. Itu apalagi di luar semua pola hubungan tadi, terlihat semakin parah saja. Semua itu dilatarbelakangi oleh karena baik atau buruknya ukuran kepentingan tidak didasarkan atas kerangka kepentingan yang bersifat kepastian (produk Tuhan), tapi lebih dilandasi parameter kepentingan pribadi ataupun kelompok; atau lebih dilandasi oleh moral situasional. Akibatnya, subjektifitas kepentingannya senantiasa lebih diutamakan dibandingkan kepentingan objektifnya. Pola komunikasi keluarga penuh kebohongan itu juga memacu tumbuh suburnya kultur kebohongan dalam budaya komunikasi di atas-nya. Salah satu akibatnya, semangat bohong membohongi pun eksis dalam berbagai lingkungan lainnya. Khususnya di tengah praksis komunikasi politik pemerintah dan rakyatnya. Begitu pula sebaliknya. Pemerintah membohongi rakyat, atau rakyat membohongi pemerintah, bukan hal yang teramat aneh lagi di negeri ini. Dari itu, nilai-nilai kebenaran juga cenderung diposisikan bukan sebagai sesuatu yang mutlak harus ditegakkan dan dipelihara, melainkan ia lebih cenderung dinilai atas dasar kepantasan kontekstualnya. Konfigurasi teks yang ditetapkan atas dasar nilai-nilai kepentingan subjektif individual dan segmentatif (sosial) tadi juga telah membuat kew ajiban bersikap dan berperilaku jujur seakan-akan menjadi sesuatu yang tak w ajib lagi. Akibatnya, nilai-nilai kejujuran, terutama dalam proses penegakkan hukum dan keadilan, cenderung selalu disesuaikan dengan perkembangan tuntutan lingkungan, terutama lingkungan ekonomi, politik dan sosial. Dengan kondisi nilai di atas, bisa dipahami bila krisis moral sampai sekarang ini, disadari atau tidak, telah merusak kepribadian manusia Indonesia. Hal itu tampak antara lain dari retorika politik yang penuh w acana kekerasan. Begitu pula dengan sebagian besar (jika tak boleh dibilang semua) aktor politik di negeri ini, seakan hendak bertindak sebagai pahlaw an. Politisi kita, juga negaraw annya, kini, bahkan banyak yang merasa menjadi pahlaw an. Mereka tak menyadari bahw a konteks yang dinilai orang lainlah yang membuat mereka pantas atau tidaknya disebut pahlaw an; bukanlah karena dirinya sendiri yang memberi label moralitas luhur itu. Akibat dari hal itu, di tengah kehidupan politik kita, semakin banyak terdapat pahlaw an kesiangan. Beberapa orang bahkan berbicara dengan lantang bahw a ia ingin menjadi presiden atau w apres, karena mereka menganggap dirinya pantas menjadi presiden atau w apres (yang merupakan puncak lambang kenegaraan kita), tanpa mau tahu apakah dirinya mendapat dukungan moyoritas publik atau tidak. Mereka yang merasa itu juga tampak tak mau tahu bahw a untuk menduduki posisi

Waspadai Demam Berdarah Pesawat Tua Tentara Kita Sekolah Dilarang Pungli Malaysia, Sudahlah!

converted by Web2PDFConvert.com

terhormat tadi, sangat dibutuhkan kepakaran yang tidak bersifat textbook semata tapi juga benar-benar applied, dalam arti betul-betul bisa diterapkan di lapangan. Begitu pula dengan banyaknya orang yang mau menjadi panglima, namun ia tak pernah menjadi kopral, sersan, dan kepangkatan militer lainnya. Seseorang yang tak pernah belajar ilmu militer, tanpa kekerasan tentu tak sew ajarnya diangkat menjadi panglima; apalagi mengangkat diri sendiri. Orang yang tidak tahu hukum, bagaimana mungkin dapat menjadi hakim? Jaksa yang bekerja hanya untuk mencari uang, bagaimana mungkin dapat bertindak selaku penyidik yang fair? Polisi yang memper-mainkan kew enangan/otoritasnya, tentu mustahil bisa menjadi penga-yom masyarakat, apalagi menjadi penegak hukum. Demikian juga bila sebagian dari kita ingin tetap menjadi rakyat yang baik, maka perolehan hak kew arganegaraan harus dibarengi pula dengan penunaian kew ajiban. Sebaliknya, manusia Indonesia yang bergerak di lingkungan birokrasi negara, harus pula memiliki kepedulian yang mutlak lebih berpihak kepada kepentingan rakyat, jauh melebihi komitmen mereka terhadap kekuasaan negara semata. Dengan demikian, semestinya kita semua menyadari, tanpa kepe-dulian kita terhadap keharusan mengantisipasi kian parahnya pembu-sukan moral manusia Indonesia, yang sebagiannya sudah penulis jelaskan di atas, maka gambaran masa depan negeri ini dengan segala kepentingan penghuni nya betul-betul akan buram. Karena itu, kita perlu segera membuat dan mensosialisasikan program-program sosial, budaya, politik, ekonomi yang berisi nuansa pencerahan kemanusiaan. Ini tentu saja menuntut keberanian kita semua untuk tidak memprioritaskan pendekatan kekerasan dalam situasi apapun, kapanpun dan di manapun. (*)

Request a Price Quote


www.Am ericanLogistics.com Transportation for McKinney-Vento Students

Leave a Reply
Name (required)

Mail (will not be published) (required)

Website

Input error: k: Format of site key was invalid

Submit Comment

Kontak Kami Redaksi Tentang Kami Harian Singgalang 2012.

Marpetiweb MW

converted by Web2PDFConvert.com

You might also like