You are on page 1of 7

Piaget menjabat sebagai profesor psikologi di Universitas Geneva dari 1929 hingga 1975 dan ia paling

terkenal karena menyusun kembali teori is perkembangan kognitif ke dalam serangkaian tahap,
memperluas karya sebelumnya dari James Mark Baldwin, menjadi empat tahap perkembangan yang
lebih kurang sama dengan (1) masa infancy, (2) pra-sekolah, (3) anak-anak, dan (4) remaja. Masing-
masing tahap ini dicirikan oleh struktur kognitif umum yang mempengaruhi semua pemikiran si anak
(suatu pandangan strukturalis yang dipengaruhi oleh filsuf Immanuel Kant). Masing-masing tahap
mewakili pemahaman sang anak tentang realitas pada masa itu, dan masing-masing kecuali yang
terakhir adalah suatu perkiraan (approximation) tentang realitas yang tidak memadai. Jadi,
perkembangan dari satu tahap ke tahap yang lainnya disebabkan oleh akumulasi kesalahan di dalam
pemahaman sang anak tentang lingkungan nya; akumulasi ini pada akhirnya menyebabkan suatu
tingkat ketidakseimbangan kognitif yang perlu ditata ulang oleh struktur pemikiran.

Keempat tahap perkembangan itu digambarkan dalam teori Piaget sebagai

Tahap sensorimotor: dari lahir hingga 2 tahun (anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya
serta mempelajari permanensi obyek)
Tahap pra-operasional: dari 2 hingga 7 tahun (mulai memiliki kecakapan motorik)
Tahap operasional konkret: dari 7 hingga 11 tahun (anak mulai berpikir secara logis tentang kejadian-
kejadian konkret)
Tahap operasional formal: setelah usia 11 tahun (perkembangan penalaran abstrak).

Tahap perkembangan moral Kohlberg


Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan
perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan
tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah
terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral.
[1] Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 [2] yang menjadi awal dari apa yang sekarang
disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg.

Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai
enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan
moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, [3] yang menyatakan bahwa logika dan
moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif.[4] Kohlberg memperluas pandangan dasar
ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan
keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan,[2] walaupun ada dialog yang
mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.[5][6]

Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada
bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam
persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang
dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga
tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.[7][8][9] Teorinya didasarkan pada
tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih
adekuat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap/tingkat sebelumnya.[

Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-
konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.[7][8][9] Mengikuti persyaratan yang
dikemukakan Piaget untuk suatu Teori Perkembangan Kognitif, adalah sangat jarang terjadi
kemunduran dalam tahapan-tahapan ini.[10][11] Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang
berada dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu
tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam,
dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.[10][11]

Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi
( Apa untungnya buat saya?)
Tingkat 2 (Konvensional)
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
( Sikap anak baik)
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
( Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
5. Orientasi kontrak sosial
6. Prinsip etika universal
( Principled conscience)

[sunting] Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa
juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-
konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-
konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam
bentuk egosentris.

Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan
mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang
yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan
itu.[12] Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang
dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.

Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa
yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang
lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti
“kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.”[4] Dalam tahap dua perhatian kepada
oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang
masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua
tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif
dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.

[sunting] Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini
menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan
masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.

Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima
persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan
masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk
memenuhi harapan tersebut,[4] karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut.
Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam
bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan
golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial
yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran
di tahap ini; 'mereka bermaksud baik…'.[4]

Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena
berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari
sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus
melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah,
seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga
akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang
melanggar hukum, maka secara ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan
dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.

[sunting] Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam
dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari
masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif
masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional
sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.

Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai
yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan
yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat.
Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut - 'memang anda siapa membuat
keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan
bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah
bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang.[8] Hal tersebut
diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis
tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.

Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika
universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga
menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak
sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam
cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dari
Immanuel Kant[13]). Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan
seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama
(lihat veil of ignorance dari John Rawls[14]). Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan
cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal
itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui
sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan
seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa
mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.[11]
[sunting] Contoh dilema moral yang digunakan
Kohlberg menyusun Wawancara Keputusan Moral dalam disertasi aslinya di tahun 1958.[2] Selama
kurang lebih 45 menit dalam wawancara semi-terstruktur yang direkam, pewawancara menggunakan
dilema-dilema moral untuk menentukan penalaran moral tahapan mana yang digunakan partisipan.
Dilemanya berupa ceritera fiksi pendek yang menggambarkan situasi yang mengharuskan seseorang
membuat keputusan moral. Partisipan tersebut diberi serangkaian pertanyaan terbuka yang sistematis,
seperti apa yang mereka pikir tentang tindakan yang seharusnya dilakukan, juga justifikasi seperti
mengapa tindakan tertentu dianggap benar atau salah. Pemberian skor dilakukan terhadap bentuk dan
struktur dari jawaban-jawaban tersebut dan bukan pada isinya; melalui serangkaian dilema moral
diperoleh skor secara keseluruhan.[2][9]

[sunting] Dilema Heinz


Salah satu dilema yang digunakan Kohlberg dalam penelitian awalnya adalah dilema apoteker: Heinz
Mencuri Obat di Eropa.[5]

Seorang perempuan sudah hampir meninggal dunia akibat semacam kanker. Ada suatu obat yang
menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat itu adalah semacam radium yang baru saja ditemukan
oleh seorang apoteker di kota yang sama. Obat itu mahal ongkos pembuatannya, tetapi si apoteker
menjualnya sepuluh kali lipat ongkos pembuatannya tersebut. Ia membayar $200 untuk radium tersebut
dan menjualnya $2.000 untuk satu dosis kecil obat tersebut. Suami dari perempuan yang sakit, Heinz,
pergi ke setiap orang yang dia kenal untuk meminjam uang, tapi ia cuma memperoleh $1.000, setengah
dari harga obat seharusnya. Ia berceritera kepada apoteker bahwa isterinya sudah sekarat dan
memintanya untuk dapat menjual obat dengan lebih murah atau memperbolehkan dia melunasinya di
kemudian hari. Tetapi si apoteker mengatakan: “Tidak, saya yang menemukan obat itu dan saya akan
mencari uang dari obat itu.” Heinz menjadi putus asa dan membongkar apotek tersebut untuk mencuri
obat demi istrinya.

Haruskah Heinz membongkar apotek itu untuk mencuri obat bagi isterinya? Mengapa?[5]

Dari sudut pandang teoretis, apa yang menurut partisipan perlu dilakukan oleh Heinz tidaklah penting.
Teori Kohlberg berpendapat bahwa justifikasi yang diberikan oleh partisipanlah yang signifikan,
bentuk dari repon mereka.[7]

[sunting] Kritik
Salah satu kritik terhadap teori Kohlberg adalah bahwa teori tersebut terlalu menekankan pada keadilan
dan mengabaikan norma yang lainnya. Konsekuensinya, teori itu tidak akan menilai secara adekuat
orang yang menggunakan aspek moral lainnya dalam bertindak. Carol Gilligan berargumentasi bahwa
teori Kohlberg terlalu androsentrik[15] Teori Kohlberg semula dikembangkan berdasarkan penelitian
empiris yang menggunakan hanya partisipan lelaki; Giligan berargumentasi bahwa hal tersebut
membuat tidak adekuatnya teori itu dalam menggambarkan pandangan seorang perempuan. Walaupun
penelitian secara umum telah menemukan tidak adanya perbedaan pola yang signifikan antar jenis
kelamin,[10][11] teori perkembangan moral dari Gilligan tidak memusatkan perhatiannya pada norma
keadilan. Ia mengembangkan teori penalaran moral alternatif berdasarkan norma perhatian.[15]

Psikolog lain mempertanyakan asumsi bahwa tindakan moral dicapai terutama oleh penalaran formal.
Salah satu kelompok yang berpandangan demikian, social intuitionists, mengemukakan bahwa orang
sering membuat keputusan moral tanpa mempertimbangkan nilai-nilai seperti keadilan, hukum, hak
asasi manusia, dan norma etika yang abstrak. Berdasarkan hal ini, argumen yang telah dianalisis oleh
Kohlberg dan psikolog rasionalist lainnya dapat dianggap hanya merupakan rasionalisasi dari
keputusan intuitif. Ini berarti bahwa penalaran moral kurang relevan terhadap tindakan moral dibanding
apa yang dikemukakan oleh Kohlberg.

PENGERTIAN MASALAH

Perasaan malu adalah perasaan gelisah yang dialami seseorang terhadap pandangan orang lain atas
dirinya. Ada yang mengartikannya sebagai sesuatu yang "aneh", "hati-hati", "curiga" dan sebagainya.
Pada umumnya sejak lahir manusia telah memiliki sedikit perasaan malu, namun bila perasaan itu telah
berubah menjadi semacam rasa takut yang berlebihan, maka hal itu akan menjadi suatu fobia, yaitu
takut mengalami tekanan dari orang lain atau takut menghadapi masyarakat. Anak yang pemalu selalu
menghindar dari keramaian dan tidak dapat secara aktif bergaul dengan temannya yang lain.

Guru tidak mudah mengetahui apakah muridnya seorang pemalu, sebab pada umumnya mereka tidak
suka berbuat kegaduhan atau masalah. Sifat pemalu dapat menjadi masalah yang cukup serius sebab
akan menghambat kehidupan anak, misalnya dalam pergaulan, pertumbuhan harga diri, belajar, dan
penyesuaian diri. Umumnya ciri anak pemalu ialah terlalu sensitif, ragu-ragu, terisolir, murung, dan
juga sulit bergaul. Jadi mereka perlu diberi bantuan.

PENYEBAB MASALAH

1. Unsur Keturunan
Hal ini merupakan faktor yang tidak langsung dan belum pasti. Sejak lahir anak tersebut terlihat agak
sensitif dan kemungkinan hal itu terjadi karena pembawaan saat ibu yang ketika sedang mengandung
mengalami tekanan jiwa maupun fisik. Namun ini juga belum dapat menjadi suatu bukti yang kuat
apakah kelak anak yang sensitif itu akan menjadi seorang pemalu.

2. Masa Kanak-kanak Kurang Gembira


Ada sebagian anak yang mengalami hal-hal yang kurang menyenangkan pada masa kanak-kanaknya.
Misalnya orangtua sering berpindah- pindah, orangtua bercerai, orangtua meninggal, dipaksa pindah
sekolah atau dihina oleh teman dan sebagainya. Semua pengalaman itu mengakibatkan terganggunya
hubungan sosial mereka dengan lingkungan, suka menghindar atau mundur, dan tidak berani bergaul
dengan orang yang tidak dikenal.

3. Kurang Bermasyarakat
Sifat pemalu akan terjadi bila anak hidup dengan latar belakang di mana ia diabaikan oleh orangtuanya,
atau dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang mengasingkan diri, terlalu dikekang sehingga mereka
tidak dapat mengalami hubungan sosial yang normal dengan masyarakat.

4. Perasaan Rendah Diri


Mungkin perasaan malu itu timbul karena anak bertubuh pendek, bersikap kaku atau punya kebiasaan
yang jelek, lalu berusaha untuk menutupinya dengan cara menyendiri atau menghindari pergaulan
dengan orang lain. Karena kurang rasa percaya diri dan beranggapan dirinya tidak sebanding dengan
orang lain, ia tidak suka memperlihatkan diri di keramaian.

5. Pandangan Orang Lain


Banyak anak yang menjadi pemalu karena pandangan orang lain yang telah merasuk ke dalam dirinya
sejak kecil. Mungkin orang dewasa sering mengatakan bahwa ia pemalu, bahkan guru dan teman-
teman juga berpendapat sama, sehingga akhirnya ia benar-benar menjadi seorang pemalu.

PENYELESAIAN MASALAH

1. Memerlukan Instrospeksi
Apakah orangtua atau orang dewasa telah memberikan rasa aman yang cukup kepada anak-anak dan
mengasihi mereka dengan tanpa pamrih? Apakah anak diberi kesempatan untuk mengungkapkan isi
hatinya? Atau selama ini yang dinyatakan hanyalah hak, kuasa, dan otoriter orangtua?

Bila hanya itu yang ditonjolkan secara serius, maka akan timbul masalah dalam emosi dan kurangnya
perhatian. Eleanor Maccoby berkata,"Bila anak terlalu bergantung, itu disebabkan karena dua hal, yaitu
diremehkan atau diperlakukan secara kasar misalnya dihadapi dengan tanpa perasaan, diperlakukan
kasar, diberi tanggung jawab atau ditolak." Sifat ketergantungan itu sangat erat hubungannya dengan
sifat pemalu.

2. Memberikan Kepercayaan
Bagaimana caranya menghilangkan ketakutan yang ada pada diri anak bila sifat pemalunya itu
disebabkan oleh perasaan takut? Cara yang terbaik ialah dengan membangun rasa percaya dirinya
terhadap orang lain. Orangtua harus mempercayai dia, supaya dengan semakin dipercayai, anak belajar
semakin percaya kepada orang lain. Kepercayaan adalah dasar dari pendekatan. Anak menjadi pemalu
karena ia tidak dapat mempercayai orangtua dan juga tidak dapat mempercayai orang lain.

3. Memperluas Hubungan Sosial


Bila anak pemalu karena sejak kecil tidak mempunyai kesempatan bergaul, maka sebaiknya orangtua
memperhatikan kebutuhan di segi ini. Dengan membawa anak ke rumah sanak saudara akan memberi
kesempatan kepada anak untuk bergaul dengan orang lain atau dengan membawanya ke Sekolah
Minggu, yang merupakan tempat yang baik baginya. Sebagai langkah awal sebaiknya membawa
mereka ke tempat yang tenang dan terhindar dari lingkungan yang banyak menimbulkan persaingan,
agar dengan banyaknya pengalaman yang diterima, anak terdorong untuk maju dalam pergaulannya.

4. Membangun Rasa Percaya Diri


Orangtua sebaiknya memberikan perhatian ini, yaitu apabila anak sedang menghadapi masalah,
janganlah terlalu cepat membelanya agar jangan sampai perkembangan percaya diri anak mengalami
gangguan.

Menghadapi Anak yang Pemalu


Ciptakan rasa aman dan rasa dicintai dalam diri seorang anak yang memiliki sifat pemalu, karena anak
pemalu biasanya sering merasa tidak aman dan takut.
Jangan memanggilnya dengan sebutan "Pemalu". Anak tersebut mungkin akan menolak julukan yang
Anda berikan tersebut dengan melakukan hal-hal yang tidak diharapkan.
Hindarilah memaksa anak yang pemalu untuk berbicara dalam suatu kelompok yang besar. Anak yang
agak pendiam biasanya akan merasa lebih bebas untuk berbicara dalam kelompok yang kecil dimana
setiap anak bisa bebas berpartisipasi. Anak yang seperti ini pada akhirnya akan merasa bebas untuk
berbicara dalam kelompok yang besar setelah ia berhasil mendapatkan pengalaman di kelompok yang
lebih kecil.
Jangan pernah mempermalukan anak ketika mereka sedang memberikan pendapat! Tetapi pujilah
keberaniannya dalam memberikan pendapat.
Pastikan bahwa anak yang pemalu menerima perhatian dan dorongan Anda secara pribadi. Tentunya
hal tersebut bukan hal yang sulit untuk dilakukan.
Doronglah anak-anak dalam kelas Anda untuk membantu satu sama lain agar anak-anak termasuk yang
pemalu merasa penting dan diterima. Hal ini akan berjalan dengan baik bila guru dapat memberi contoh
dan teladan yang baik.
Ciptakan suasana dimana anak yang pemalu mempunyai kesempatan untuk berhasil mengekspresikan
diri mereka sendiri secara pribadi walaupun dalam dalam kelompok yang kecil.
Doronglah anak untuk mengatakan hal-hal yang mereka sukai dan inginkan.
Tanyailah secara langsung anak yang pemalu tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan yang bisa ia
jawab dengan tepat. Anak tersebut mungkin hanya dapat menjawab dengan jawaban yang singkat.
Tetapi setiap ungkapan keberhasilan akan membangun rasa diterima dan aman.
Pastikan bahwa anak yang pemalu menerima perhatian dan dorongan Anda secara pribadi, tanpa
membuat menjadi mereka merasa "diawasi".

Bagaimana Mengatasi Anak yang Pemalu?


Seorang anak yang pemalu biasanya disebabkan karena ia merasa tidak aman atau karena takut tidak
diterima oleh teman-temannya. Oleh karena itu untuk mengatasinya guru perlu memberikan rasa
nyaman dan aman agar anak yang pemalu ini tidak takut dan merasa diterima dan dikasihi. Mengajak
anak-anak lain untuk ikut menciptakan suasana yang akrab dan bersahabar di dalam kelas akan lebih
bijaksana daripada hanya guru sendiri yang mengusahakannya.

Beberapa tips yang perlu guru ketahui:

Jangan mendorong anak yang pemalu untuk berbicara di kelompok yang besar. Anak yang pemalu
lebih suka berbicara dan mengungkapkan pendapatnya di kelompok yang lebih kecil dimana setiap
anak merasa lebih bebas untuk berpartisipasi. Setelah dia terbiasa berbicara di kelompok yang kecil,
kemungkinan dia akan lebih berani untuk mencoba berbicara di kelompok yang lebih besar.
Jika anak yang pemalu ini sudah mau berbicara di depan teman-temannya hindarkan untuk memberi
kritikan-kritikan di depan anak-anak yang lain. Sebaliknya berikan pujian dan penghargaan serta
semangat agar dia mau mencobanya lagi lain kali.
Jika memberi pertanyaan kepada anak-anak pemalu di depan kelas, usahakan agar pertanyaan yang
diberikan bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang panjang, karena dia akan memilih tidak
menjawab.
Anak yang pemalu kadang-kadang tidak suka menjadi perhatian umum, oleh karena itu hindarkan
untuk memanggil namanya berkali-kali dengan keras di depan anak-anak yang lain. Juga jangan
memberikan perhatian yang berlebihan karena ia akan merasa lebih malu lagi.

You might also like