You are on page 1of 21

BAB I PENDAHULUAN

Masalah HIV-AIDS adalah masalah yang mengglobal dimana HIV/AIDS merupakan penyakit yang belum ada obatnya dan belum bisa disembuhkan. Human Immunedeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang dan merusak system kekebalan tubuh manusia. Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia setelah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Seseorang positif terkena HIV terlihat sehat untuk jangka waktu yang lama setelah terinfeksi. Namun lambat laun virus ini akan membunuh dan merusak system kekebalan tubuh sehingga tubuh kehilangan kemampuan untuk melawan infeksi dan penyakit lain. Definisi ini membuat seseorang sangat takut ketika mendengar tentang HIV/AIDS.1 Sejauh ini, jumlah pengidap HIV/AIDS yang terlihat jauh lebih kecil dari jumlah sebenarnya. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat masih enggan untuk memeriksakan diri karena masih ada stigma terhadap pengidap HIV/AIDS di masyarakat. Lebih dari 58% yang terkena HIV-AIDS adalah anak muda yang berusia sekitar 15-29 tahun dan mungkin terinfeksi HIV pada saat remaja. Sementara perkiran orang yang terinfeksi HIV-AIDS pada tahun 2010 di Indonesia berjumlah 1-5 juta orang.1 Berdasarkan data orang yang terinfeksi tersebut maka berbagai upaya dilakukan demi mencegah penyebaran virus tersebut. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain melakukan pencegahan ke berbagai status kehidupan social. Tidak hanya upaya pencegahan yang dilakukan tetapi upaya perawatan untuk HIV-AIDS juga terus dikembangkan. Maka dari itu kami akan membahas tentang pecegahan HIV-AIDS yaitu VCT, PICT, CST dan perawatan HIV-AIDS dengan ARV.2

BAB II ISI

2.1 STIGMA HIV/AIDS


Stigma adalah pandangan negatif yang menempel pada pribadi seseorang terhadap penderita HIV/AIDS karena pengaruh lingkungannya. Stigma terhadap orang yang terkena HIV/AIDS atau disebut ODHA adalah suatu pandangan negative terhadap Odha yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya.3 Hal ini dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan penderita HIV/AIDS meliputi masyarakat dan media massa, sedangkan faktor internal adalah faktor yang berasal dari penderita itu sendiri. 2.1.1 Faktor Eksternal Stigma dari masyarakat muncul akibat kurangnya pemahaman masyarakat mengenai HIV/AIDS secara menyeluruh. Masyarakat mengetahui HIV/AIDS sebatas penyakit ini menular dan penderitanya berbahaya. Adanya ketidakpahaman ini menyebabkan timbulnya sikap seperti diskriminasi dengan tidak mau bergaul dengan ODHA dan stigma bahwa penderita HIV harus dihindari. Pemahaman yang setengah-setengah dan tidak menyeluruh tersebut timbul karena adanya disfungsi media massa. Media massa yang merupakan sumber informasi bagi masyarakat masih memberikan informasi yang kurang jelas.4 Pemberitaan yang muncul lebih didominasi bahaya HIV/AIDS dibandingkan upaya untuk mencegah penyebarannya. Adanya pemberitaan yang kurang lengkap ini menyebabkan masyarakat melakukan interpretasi yang salah dalam menyikapi kasus HIV/AIDS. Dampak lebih lanjut dari pemberitaan media massa yang kurang menyeluruh ini menyebabkan masyarakat terpengaruh secara mental untuk mendiskriminasikan penderita HIV/AIDS.

2.1.2

Faktor Internal Munculnya stigma di masyarakat diperkuat dengan perilaku yang timbul

dari ODHA yang diakibatkan oleh masalah psikososial. Ketidakmampuan

beradaptasi penderita HIV/AIDS terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya dapat mengakibatkan rasa minder, stress, putus asa, frustasi, dan depresi.4 Segala macam faktor psikososial ini memperngaruhi tingkah laku ODHA sehingga mereka cenderung memilih untuk menutup diri dari masyarakat. Hal tersebut justru menambah stigma masyarakat dan memicu diskriminasi terhadap ODHA.

2.2 VCT (Voluntary Counseling Testing)


2.2.1 Definisi Konseling dalam Voluntary Counseling and Testing (VCT) Konseling dalam VCT adalah kegiatan yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan antiretroviral (ARV) dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS yang bertujuan untuk perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat dan lebih aman.5 2.2.2 Definisi VCT VCT atau Voluntary Counseling Testing adalah salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan. Prinsip dari VCT yaitu Sukarela dalam melaksanakan testing HIV, saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas, mempertahankan hubungan relasi konselor dan klien yang efektif Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi prilaku beresiko, testing merupakan salah satu komponen dari VCT. 2.2.3 Peran VCT sebagai pintu gerbang pencegahan dan perawatan HIV6

Pencegahan HIV yaitu untuk : a) Memfasilitasi perubahan perilaku b) Memfasilitasi intervensi MCTC c) Terapi pencegahan & perawatan reproduksi Perawatan HIV yaitu untuk :

a) Manajemen dini infeksi oportunistik & IMS; introduksi ARV b) Perencanaan masadepan, perawatan anak yatim piatu, pewarisan c) Normalisasi HIV/AIDS d) Rujukan dukungan social dan sebaya
e) Penerimaan sero-status, coping & perawatan diri.

2.2.4

Tahapan VCT5,6

a. Pre-test counseling Pre-test counseling adalah diskusi antara klien dan konselor yang bertujuan untuk menyiapkan klien untuk testing, memberikan pengetahuan pada klien tentang HIV/AIDS. Isi diskusi yang disampaikan adalah klarifikasi pengetahuan klien tentang HIV/AIDS, menyampaikan prosedur tes dan pengelolaan diri setelah menerima hasil tes, menyiapkan klien menghadapi hari depan, membantu klien memutuskan akan tes atau tidak, mempersiapkan informed consent dan konseling seks yang aman. b. HIV testing Tes HIV yang umumnya digunakan adalah Enzyme Linked Imunosorbent Assay (ELISA), Rapid Test dan Western Immunblot Test. Setiap tes HIV ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang berbeda. Sensitivitas adalah kemampuan tes untuk mendeteksi adanya antibodi HIV dalam darah sedangkan spesifisitas adalah kemampuan tes untuk mendeteksi antibodi protein HIV yang sangat spesifik. c. Post-test counseling Post-test counseling adalah diskusi antara konselor dengan klien yang bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien, membantu klien beradaptasi dengan hasil tes, menyampaikan hasil secara jelas, menilai pemahaman mental emosional klien, membuat rencana dengan menyertakan orang lain yang bermakna dalam kehidupan klien, menjawab, menyusun rencana tentang kehidupan yang mesti

dijalani dengan menurunkan perilaku berisiko dan perawatan, dan membuat perencanaan dukungan.

GOLD STANDAR TAHAPAN VCT5


Konseling pra tes mencakup penilaian Gejala atau kondisi perilaku berisiko kecemasan yang dan kondisi psikososial, membawa dan penyediaan seseorang informasi faktual tertulis memutuskan ataupun lisan untuk tes status Penundaan pengambilan HIV Negatif : darah Lakukan Mendorong periksa mengubah ulang prilaku kearah positif Pengambilan darah Geraka HIV Positif: n Sampaikan keluarg berita dengan a dan hati-hati, dan masyar sediakan akat waktu yang Konselin cukup untuk g berdiskusi berkelan jutan, dan

Beri waktu untuk berpikir

2.3 PICT (Provider Initiative Counseling and Testing)


2.3.1 Definisi PICT

Diperlukan deteksi dini penemuan kasus penderita HIV/AIDS dalam upaya mengendalikan penyebaran penyakit HIV/AIDS. Mengapa deteksi dini ini begitu penting? Deteksi dini dapat mencegah penderita HIV yang tidak tahu bahwa dirinya terinfeksi untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain karena penderita HIV sudah berpotensi untuk menularkan virus HIV kepada orang lain meskipun belum menunjukkan gejala klinis. Di Indonesia dan sebagian besar negara lain, telah diadakan program konseling dan tes HIV sukarela atau VCT (Voluntary Counseling and Testing). Program VCT ini dilakukan secara sukarela dan rahasia. Namun, karena sifatnya sukarela, VCT belum dapat menjaring terlalu luas. Masyarakat belum secara sukarela penuh untuk melakukan VCT karena minimnya pengetahuan, stigma masyarakat, serta perasaan malu dan takut. Hal ini tentu saja diperparah dengan suatu fakta bahwa gejala gejala penyakit akibat infeksi HIV baru muncul setelah beberapa tahun terinfeksi HIV. Sehingga, para penderita HIV tidak merasa sakit sehingga menambah keengganan mereka untuk melakukan VCT ini. PICT (Provider Initiative Counseling and Testing) adalah suatu tes HIV dimana inisiatifnya bukan berasal dari pasien seperti pada VCT melainkan berasal dari penyedia layanan kesehatan. Penyedia layanan kesehatan berperan aktif untuk melihat apakah pasien bersangkutan memiliki gejala-gejala terinfeksi HIV ataupun faktor risiko tinggi terpapar HIV. Setiap pasien yang datang ke dokter dengan indikasi gejala-gejala infeksi HIV dapat segera dideteksi apakah positif atau tidak sehingga deteksi dini HIV dapat lebih efektifPasien akan mendapat keuntungan dengan mengetahui status HIV, mereka dapat menentukan pencegahan spesifik ataupun pengobatannya. Dalam keadaan seperti ini, konseling dan tes HIV direkomendasikan oleh penyedia layanan kesehatan sebagai suatu bagian dari paket yang disediakan untuk semua pasien selama interaksi di fasilitas kesehatan.7

2.3.2

Keunggulan PICT

Di Indonesia dan sebagian besar negara lain, telah diadakan program konseling dan tes HIV sukarela atau VCT (Voluntary Counseling and Testing). Program VCT ini dilakukan secara sukarela dan rahasia. Namun, karena sifatnya sukarela, VCT belum dapat menjaring terlalu luas. Masyarakat belum secara sukarela penuh untuk melakukan VCT karena minimnya pengetahuan, stigma masyarakat, serta perasaan malu dan takut. Hal ini tentu saja diperparah dengan suatu fakta bahwa gejala gejala penyakit akibat infeksi HIV baru muncul setelah beberapa tahun terinfeksi HIV. Sehingga, para penderita HIV tidak merasa sakit sehingga menambah keengganan mereka untuk melakukan VCT ini. Oleh karena itu munculah suatu gagasan untuk beralih ke Provider Initiated Counseling and Testing (PICT). Keuntungan dari PICT ini adalah provider kesehatan berperan aktif untuk melihat apakah pasien bersangkutan memiliki gejala-gejala terinfeksi HIV ataupun faktor risiko tinggi terpapar HIV. Setiap pasien yang datang ke dokter dengan indikasi gejala-gejala infeksi HIV dapat segera dideteksi apakah positif atau tidak sehingga deteksi dini HIV dapat lebih efektif. Penderita penyakit yang memiliki kemungkinan menderita HIV/ AIDS adalah penderita penyakit infeksi menular seksual (IMS), tuberculosis, dan beberapa penyakit lainnya. Selain itu, provider kesehatan juga dapat mendatangi orang-orang yang memiliki risiko tinggi tertular HIV, seperti WPS, lelaki pengguna WPS, homoseksual, pengguna NAPZA suntik. PICT juga dapat disediakan sebagai salah satu asuhan keperawatan sebelum melahirkan karena meningkatnya Mother to Child Transmission (MTCT) pada beberapa tahun terakhir. Pada Agustus 2006, dalam upaya untuk memberikan beberapa arahan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Program Bersama PBB tentang HIV /AIDS (UNAIDS) mengeluarkan pernyataan yangmereka mempromosikan tes HIV dan Konseling yang diprakarsai oleh penyedia layanan kesehatan di fasilitas kesehatan, dan beberapa bulan kemudian WHO merilis guidelines untuk pelaksanaan PICT.8

2.3.3

Elemen dan Proses PICT Elemen PICT

Beberapa elemen seperti aspek sosial, peraturan dan kerangka pelaksanaan yang harus ada untuk mendukung implementasi dari PICT di fasilitas kesehatan antara lain adalah :9 Persiapan komunitas dan mobilisasi sosial Kampanye kepada masyarakat harus dilakukan untuk meningkatkan kepedulian mengenai HIV/AIDS, mempromosikan hak dari ODHA dan keuntungan dari mengetahui status HIV, dan menyediakan informasi yang jelas tentang ketersediaan tes HIV, pencegahan dan care and support treatment, serta mengikutsertakan ODHA dalam implementasi dan monitoring kampanye tersebut. Sumber Daya dan Infrastruktur yang Adekuat Pembuat kebijakan dan perencana harus mengantisipasi kebutuhan sumber daya tambahan yang diperlukan untuk mengimplementasikan PICT di fasilitas kesehatan, mencakup training, infrastruktur klinis dan pembelian komoditas seperti alat tes HIV. WHO dan UNAIDS merekomendasikan agar tidak ada biaya tambahan yang dibebankan pada pelaksanaan PICT kepada pasien. Health care provider training Investasi utama yang harus dimiliki ketika ingin mengimplementasikan PICT adalah training dan supervise terhadapa penyedia layanan kesehatan . Training untuk orang yang akan memberikan pelayanan PICT juga harus dilakukan pada staf yang akan berhubungan dengan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan, harus dikembangkan dan diimplementasikan ketika melakukan PICT. Training harus berdasarkan protocol dan sesuai are sebagai berikut : Memastikan Proses Etik Dalam Melakukan Informed Consent Pasien harus mendapatkan informasi yang adekuat sebagai dasar pengambilan keputusan personal yang sukarela untuk melakukan tes, dan memberikan kesempatan pada pasien untuk menolak rekomendasi untuk tes dan konseling HIV tanpa ada paksaan. Memproteksi Kerahasian dan Privasi

training yang dilakukan harus melatih penyedia layanan kesehatan agar bertanggung jawab untuk menjaga kerahasiaan hasil tes , walaupun pasien telah menandatangani informed consent untuk melakukan tes HIV secara sukarela, dan hasilnya akan dimasukan kedalam rekam medis pasien, penyedia layanan kesehatan yang bertugas untuk mencatat hasil tes tersebut tidak boleh disebarluaskan sebagai tanggung jawab terhadap pasien. Mencegah Stigma dan Diskriminasi di Fasilitas Kesehatan

Implementasi dari PICT merupakan kesempatan untuk meningkatkan kepedulian mengenai HIV/AIDS dan HAM diantara penyedia layanan kesehatan agar pasien mendapatkan pelayanan yang sesuai standar. Patient referral

Penyedia layanan kesehatan harus mendapatkan training tentang cara rujukan yang diperlukan oleh pasien, pasangannya, serta keluarganya dan menyediakan CST termasuk PICT. Monitoring dan Sistem Evaluasi Sistem yang memonitor implementasi dari penerapan PICT

Proses PICT Berikut merupakan bagan dari proses PICT 10

Pasien

datang

dengan/tanpa

keluhan

yang

mengarah

pada

gejala/tanda HIV/AIDS atau dengan riwayat perilaku berisiko (riwayat penggunaan napza, perilaku seksual berisiko riwayat transfusi darah dan lainnya)

Dokter/Tenaga kesehatan memberikan KIE dan diskusi yang cukup dan menginisiasi pasien untuk melakukan testing

Setuju

Tidak

Penandatanganan informed consent

Pemberian KIE dan anjuran untuk melakukan testing kembali

10

Testing HIV

Membuka hasil untuk dilanjutkan dengan tatalaksana selanjutnya sesuai kebutuhan pasien

1. Interpretasi Hasil Tes


Hasil testing positif (disebut reaktif) dan testing negatif (disebut non- reaktif) atau indeterminate. Hasil reaktif apabila pada hasil pemeriksaan pertama reaktif, dilanjutkan kedua reaktif dan dilanjutkan keti ga tetap reaktif, atau melewati hasil indeterminate namun hasil akhir akhir adalah reaktif (strategi reaktif dan non reaktif bisa berupa dua kali reaktif atau dua kali non-reaktif dengan melihat penilaian faktor risiko klien/pasien. Bila hasil indeterminate, pemeriksaan harus diulang dengan spesimen baru setelah 2 minggu, 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun. Bila sampai 1 tahun hasil tetap indeterminate dan faktor risiko rendah, hasil dapat dinyatakan non reaktif.

2. Konseling Pasca Tes


Konseling pasca testing membantu klien/pasien dan orang terdekatnya untuk memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil tes. Konselor mempersiapkan klien untuk menerima hasil tes, memberikan hasil tes dan menyediakan informasi selanjutnya.

3. Pemeriksaan Kesehatan

11

Pemeriksaan kesehatan rutin dilakukan kepada klien untuk mengetahui status kesehatan mereka. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu : a. Pemeriksaan fisik b. Pemeriksaan penunjang lainnya: laboratorium darah rutin, hitung CD 4, kadar virus dalam darah/viral load/VL, foto rontgen toraks dan lainnya sesuai dengan indikasi.

4. Pemberian Profilaksis dan Terapi


Pemberian profilaksis dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi oportunistik dilakukan sesuai dengan indikasi yaitu jumlah sel CD4 di darah tepi kurang dari 200/l

2.4 Care, Support and Treatment (CST)11


2.4.1 Definisi CST CST merupakan suatu layanan medis, psikologis dan sosial yang terpadu dan berkesinambungan dalam menyelesaikan masalah terhadap ODHA selama perawatan dan pengobatan. Dalam pelaksanaan CST yang optimal, perlu adanya kerjasama dari semua pihak, termasuk dari bagian pemerintah, praktisi kesehatan, LSM serta elemen lainnya, dalam peningkatan akses pendanaan, perencanaan yang mapan dan penataan manajemen progam untuk mempercepat langkah global penanggulanggan HIV/AIDS jangka panjang. a. Care (perawatan) Implementasi perawatan (care) bersifat komprehensif berkesinambungan, yaitu perawatan yang melibatkan jaringan sumberdaya dan pelayanan dukungan secara holistik, komprehensif dan luas untuk ODHA maupun keluarganya dan menghubungkan antara perawatan di rumah sakit dengan perawatan di rumah

12

secara timbal balik sepanjang perjalanan penyakit. Pencapaian hal tersebut merupakan tanggung jawab tenaga medis yang berperan pada perawatan rumah sakit dan keluarga yang berperan pada perawatan di rumah, tindakan kedua pihak terhadap perawatan ODHA harus dimaksimalkan agar pelayanan komprehensif bisa tercapai. Yang perlu disosialisasikan adalah kesinambungan perawatan di rumah, seperti pendanaan dan informed consent tertulis antara ODHA, keluarga, dokter dan elemen terkait. Perbekalan untuk ODHA dan perawatan di rumah, seperti sarung tangan lateks sekali pakai, masker, juga perlu penyediaan obat demam, diare, anti mual, anti nyeri jika sewaktu waktu diperlukan. Diet gizi seimbang, kebersihan pengolahan bahan mentah, kesterilan alat dan proses memasak serta kematangan penyajian makanan dan minuman bagi ODHA penting diperhatikan. Serta Kenyamanan perawatan bagi ODHA.

b. Support (dukungan) Dukungan merupakan pengobatan aspek psikologis klinis dan sosial. Upaya dapat berupa konseling pendampingan psikoterapi oleh konselor dan psikoreligi oleh pemuka agama sesuai keyakinan ODHA. Dalam bentuk kunjungan terbuka atau konsultasi via telepon/internet. Masyarakat perlu diberikan edukasi yang benar tentang HIV/AIDS berupa penyuluhan dan diskusi terbuka, termasuk menghilangkan stigma negatif dan diskriminasi untuk mengurangi beban psikis, stres dan depresi pada ODHA sebab ODHA juga memiliki hak-hak asasi. Kestabilan emosional mempengaruhi peningkatan ketahanan tubuh sehingga menurunnya pertumbuhan virus. Berada di komunitas yang menghormati dan menghargai keberadaannya akan membuat ODHA betahan hidup. Dukungan pendanaan dari pemerintah dan LSM terkait, diperlukan bagi ODHA dan keluarga, sebab progam pengobatan jangka panjang berdampak pada peningkatan kebutuhan biaya. Pemerintah perlu membuat anggaran khusus terkait dengan hal ini.

13

c. Treatment (pengobatan) Pada dasarnya mencakup aspek medis klinis, psikologi klinis dan sosial. Pengobatan medis klinis meliputi pengobatan suportif yang mencakup penilaian gizi ODHA dari awal untuk mencegah gangguan nutrisi yang memperburuk kondisi, bila nafsu makan sangat turun, pertimbangkan pemberian obat anabolik steroid. Profilaksis infeksi oportunistik (IO), dimana IO yang sering terjadi adalah renitis, kebutaan bahkan ensefalitas akibat sitomegalovirus, tuberkolosis, toksoplasma, PCP, jamur kanida, pengobatan profilaksis bisa didapatkan di RS rujukan khusus penanganan HIV/AIDS. Terapi Antiretroviral (ARV), yang berfungsi untuk memperlambat perjalanan penyakit, meningkatkan jumlah sel CD4 dan mengurangi jumlah virus dalam darah. Pertimbangan memulai ARV adalah jika CD4 berjumlah 200-350 /mm3. Sebelum memulai terapi ARV, ODHA perlu mendapatkan konseling kepatuhan tentang cara penggunaan, efek samping, tanda bahaya dan semua yang terkait dengan terapi agar tidak terjadi resistensi. Bila terjadi kegagalan terapi di masa depan akibat resistensi, semua obat harus diganti dengan kombinasi baru. Jika semua ODHA terjangkau mendapatan akses layanan CST. Dan Negara bersama rakyat memilih visi dan misi yang sama dalam penanggulangan HIV/AIDS maka progam ini akan mencapai puncak keberhasilan selaras dengan progam universal access WHO. 2.5 ANTIRETROVIRAL (ARV) Saat ini tidak ada vaksin atau obat yang dapat menyembuhkan secara total pasien dengan HIV atau AIDS. Beberapa obat antiretroviral telah dikembangkan guna mengurangi risiko infeksi dan viral load dalam tubuh pasien. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat antiretroviral (ARV) atau obat anti-AIDS ini diklasifikasikan menjadi lima golongan, yaitu : 12,13,14 1. Reverse Transcriptase Inhibitors (RTIs) yang terdiri dari golongan Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs) dan Non-Nukleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTIs). 2. Protease Inhibitors (PIs).

14

3. 4. 5.

Fusion Inhibitor. Entri Inhibitor. Integrase Inhibitor.

Untuk lebih jelasnya, di bawah ini diuraikan golongan obat-obat tersebut. 2.5.1 REVERSE TRANSCRIPTASE INHIBITORS (RTI) Dalam tahap replikasi virus HIV, enzim reverse transcriptase yang terdapat pada sel host berfungsi untuk mengubah genom virus HIV dari bentuk RNA rantai tunggal menjadi DNA rantai ganda sehingga akan terbentuk virus DNA yang akan berintegrasi dengan kromosom DNA sel host yang kemudian akan memungkinkan terjadinya proses seluler sel host seperti transkripsi dan translasi untuk memproduksi virus. Proses inilah yang menyebabkan virus HIV berkembang dan tumbuh di dalam tubuh. Peran Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI) adalah untuk memblokir aktivitas enzim reverse transcriptase, menggangu pembentukan DNA virus rantai ganda sehingga Transcriptase dapat mencegah dapat perkembangbiakan virus HIV. Reverse Inhibitor

diklasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu 1) Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI) dan 2) Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI).12,13 1) Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI) NRTI adalah analog alami deoxyribonucleoside yang kekurangan kelompok 3'-hidroksi pada gula ribosa.12 Kebanyakan NRTI merupakan prodrugs yang harus mengalami fosforilasi untuk diubah oleh enzim kinase sel host menjadi bentuk aktif 5'-triphosphate. Triphosphate ini bersaing dengan analog substrat deoxyribonucleotide triphosphates (dNTP) dan masuk ke dalam rantai DNA virus yang sedang disintesis.13,14 Hal ini menyebabkan penghentian perpanjangan lebih lanjut atau terminasi dari rantai DNA karena kurangnya 3'-hidroksil pada gula ribosa sehingga tidak terjadi penempelan nukleotida.12 Golongan obat ini tidak dimetabolisme oleh enzim cytochrome P (CYP).14 Resistensi golongan obat ini dapat terjadi bila terdapat mutasi pada pol gen virus yang dapat mencegah obat ini menempel pada target kerjanya. Selain itu, resistensi juga dapat terjadi jika obat

15

yang sudah menempel terlepas kembali akibat dimana terjadinya tymidin analog mutasi. Mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya cross resistence.15 Golongan NRTI merupakan inhibitor lemah pada DNA polymerase manusia seperti obat Tenofovir Disoproxil Fumarate (TDF) dan Emtricitabine.12,14 Obatobat yang tergolong NRTI antara lain adalah Zidovudine (ZDV), Didanosine (ddI), Zalcitabine (ddC), Stavudine (d4T), Lamivudine (3TC), Abacavir, Tenofovir Disoproxil Fumarate (TDF), dan Emtricitabine. Efek samping dari penggunaan golongan obat ini antara lain myopati atau kelemahan otot (Zidovudine), pancreatitis (Didanosine dan Zalcitabine, Lamivudine), kelainan saraf (Zalcitabine, Stavudine dan Lamivudine), pembesaran dan gagal hati parah (Stavudine), dan efek samping umum, seperti demam, mual, muntah, nyeri perut, sakit kepala, ruam pada kulit, dan diare.12,13 2) Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI) NNRTI memiliki tempat ikatan yang berbeda dengan tempat ikatan NRTI pada reverse transcriptase. NNRTI tidak memerlukan proses fosforilasi untuk menjadi aktif dan tidak berkompetisi dengan nukleosida triphosphate.12,13 NNRTI merupakan kelompok kecil molekul hidrofobik dengan struktur berbeda yang spesifik menghambat reverse transcriptase HIV-1 secara langsung dengan berikatan pada enzim dan mengganggu fungsinya. Tempat ikatan pada enzim adalah P66 sub unit dari P66/5 hetero dimeric enzim, yang dikenal sebagai NNRTI-binding pocket (NNRTI-BP).12,15 NNRTI merupakan substrat bagi enzim CYP 3A4 or 2B6 hati.14 Tidak ada cross-resisten dengan NRTI. Resistensi dapat terjadi jika ada mutasi pada pol gen yang biasanya diakibatkan oleh pemakaian monoterapi, sehingga afinitas obat berkurang dan mencegah penempelan obat dan transkripsi berjalan kembali.15 Obat-obat yang tergolong NNRTI antara lain adalah Nevirapine (NVP), Delavirdin (DLV), Efavirenz (EFV), dan Etravirine. NNRTI kadang-kadang dapat menginduksi terjadinya toksisitas pada hati. Efek samping lain yang umum ditimbulkan dari penggunaan obat ini antara lain, pusing, mual, muntah, kelelahan, ruam, dan diare.12,13 2.5.2 PROTEASE INHIBITORS (PI)

16

Protease virus merupakan suatu enzim yang berfungsi untuk memotongmotong rantai polipeptida untuk membentuk suatu struktur virus yang esesnsial dan komponen enzim yang fungsional. Dengan memblok enzim protease tersebut, menggunakan protease inhibitor, HIV dapat membuat salinan dirinya sendiri tetapi tidak dapat menginfeksi sel-sel baru. Dengan demikian, dapat mengurangi jumlah virus dalam darah dan meningkatkan jumlah CD4 dalam tubuh.12,13 Namun, telah diamati bahwa efek menguntungkan dari protease inhibitor berkurang seiring berjalannya waktu. Hal ini terjadi karena selama produksi setiap HIV yang baru, virus yang dihasilkan akan mengalami sedikit modifikasi. Protease yang baru memungkinkan virus dapat menolak obat protease inhibitor tersebut dimana hanya bekerja pada protease jenis virus yang lama, sehingga dalam perkembangannya dapat menimbulkan resistensi dan penggunaan protease inhibitor menjadi kurang efektif.12,15 Untuk menghindari terjadinya resistensi tersebut, tentu penting untuk menghentikan atau mengurangi produksi berulang HIV dalam tubuh. Dengan demikian, untuk menjaga kadar HIV dalam tubuh agar tetap rendah, pemberian protease inhibitor sebaiknya dikombinasikan dengan setidaknya dua obat anti HIV yang lain seperti NRTI.12,16 Protease inhibitor yang dikombinasikan dengan obat analog nukleosida antiretroviral, dapat menekan lebih kuat replikasi virus, sehingga mengurangi morbiditas dan memperpanjang lama hidup pasien dengan infeksi HIV.12 Protease inhibitor dapat menghambat metabolism yang dimediasi oleh CYP3A.14 Beberapa efek samping yang ditemukan dalam penggunaan protease inhibitor antara lain adalah dislipidemia, lipodistrofi, resistensi insulin, dan aterosklerosis dini. Selain itu, efek samping yang umum ditimbulkan antara lain, mual, muntah, nyeri perut, dan sakit kepala.12,13 Obat-obat yang tergolong ke dalam protease inhibitor dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.12
a)

Generasi pertama Protease Inhibitor HIV : Saquinavir, Ritonavir, Generasi kedua Protease Inhibitor HIV : Atazanavir, Tipranavir,

Indinavir, Nelfinavir, Amprenavir, Lopinavir, Fosamprenavir.


b)

dan Darunavir. 2.5.3 FUSION INHIBITORS (FI)

17

Fusion inhibitor adalah senyawa yang mengganggu virus HIV-1 pada tahap akhir fusi dengan sel target dan mencegah agar sel-sel lain yang sehat tidak ikut terinfeksi. Golongan obat ini bertindak pada tahap awal siklus hidup virus, dimana fusion inhibitor ini berfunsi untuk mencegah masuknya virus ke dalam sel target, dan memiliki mekanisme kerja yang sangat spesifik dengan tingkat toksisitas yang rendah. Golongan obat ini akan berikatan dengan molekul subunit gp41 yang terdapat pada kapsul glikoprotein virus. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya perubahan struktur virus yang dapat membentuk lubang pada membran sel target sehingga tidak terbentuk fusi antara virus dan sel taget.12,13 Reisitensi terhadap obat ini bila terjadi mutasi pada pol gen pengkode molekul gp 41.15 Enfuvirtide, merupakan satu-satunya obat anti HIV yang termasuk golongan fusion inhibitor. Jika dikombinasikan dengan obat anti HIV yang lain, enfuvirtide sangat efektif digunakan pada orang yang telah gagal dengan obat anti HIV sebelumnya.12,13,14 Karena strukturnya yang rapuh, enfuvirtide tidak dapat diberikan secara oral, sehingga harus diberikan dalam bentuk injeksi subkutan.12 Enfuvirtide tidak dimetabolisme oleh cytochrome P450.14 Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan obat ini antara lain reaksi penolakan pada tempat injeksi, neuropati perifer, insomnia, depresi, batuk, anoreksia, infeksi, demam, mual, muntah, dan hipotensi.12,13 2.5.4 ENTRY INHIBITOR Entry inhibitor yang merupakan senyawa CCR5 antagonis yang berfungsi untuk memblokir CCR5, dimana CCR5 ini merupakan co-reseptor penempelan utama virus HIV pada sel target.12,134,14 Golongan obat ini merupakan substrat bagi enzim cytochrome P450.14 Selzentry dan maraviroc, merupakan obat yang bekerja sebagai CCR5 antagonis dengan berikan langsung pada CCR5. Dengan demikian penempelan virus pada sel target dapat dihambat sehingga dapat mencegah virus masuk ke dalam sel target.12,14 Namun, seiring berlangsungnya penyakit, domain ikatan co-reseptor gp 120 dapat bermutasi sehingga dapat tetap dapat menempel pada bagian lain reseptor CCR5. Selain itu, virus ini dapat menyesuaikan diri dengan menggunakan jalan masuk alternatif seperti menggunakan reseptor CXCR4. Efek samping yang dirtimbulkan dari penggunaan obat ini antara lain

18

batuk, demam, pilek, ruam, nyeri otot dan sendi, dan pusing. Selain itu, efek samping serius yang dapat ditimbulkan adalah toksisitas pada hati dan masalah kardiovaskular seperti serangan jantung.12 2.5.5 INTEGRASE INHIBITOR Integrase merupakan enzim virus yang esensial untuk replikasi virus HIV-1, dimana enzim ini berfungsi untuk transfer strain virus dan mengkatalisis penyisipan DNA provirus ke dalam genom sel host. Peran integrase inhibitor adalah untuk mencegah pertumbuhan virus dengan memblok enzim integrase ini. Raltegravir, merupakan obat pertama yang dirancang sebagai inhibitor enzim integrase HIV. Biasanya obat ini digunakan secara kombinasi dengan obat antiretroviral yang lain. Obat ini dapat menurunkan viral load dalam tubuh pasien dan meningkatkan kadar sel darah putih seperti kadar sel CD4+. Raltegravir akan memblok enzim integrase sehingga tidak terjadi penyisipan DNA virus ke dalam DNA sel target pada tahap awal replikasi virus HIV ini.12,13,1417 Selain raltegravir, obat yang termasuk golongan ini adalah elvitegravir dan dolutegravir.17 Resistensi obat ini bisa terjadi bila terjadi mutasi pada pol gen yang mengkode terbentuknya enzim integrase.15 Efek samping dari penggunaan obat ini antara lain adalah meningkatkan kreatinin kinase, myopati, and rabdomyolisis.18 Pemberian obat antiretroviral (ARV) dalam menangani pasien HIV/AIDS secara tunggal tidak dapat dianggap benar-benar efektif dan ideal. Untuk itu, guna mencapai pengobatan yang lebih efektif dan menguntungkan, terapi antiretroviral (ARV) diadopsi sebagai terapi kombinasi yang dikenal sebagai Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART). Kombinasi antiretroviral merupakan dasar penatalaksanaan pemberian antiretroviral terhadap pasien HIV/AIDS, karena dapat mengurangi resistensi dan mampu menekan replikasi HIV secara efektif.12,16 Dua golongan antiretroviral yang dianjurkan oleh World Health Organization dalam terapi HAART adalah kombinasi dari dua Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI) ditambah satu Protease Inhibitor (PI) atau satu Non-Nukleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI).18,19 Kombinasi ini biasanya menyebabkan peningkatan jumlah sel CD4+ dan mengurangi viral load dalam tubuh, sehingga penularan, infeksi oportunistik, dan komplikasi lainnya

19

dapat dihindari serta meningkatkan kualitas dan HIV/AIDS.12,16

harapan hidup dari pasien

Di Indonesia, pilihan kombinasi ARV lini pertama yang ditetapkan dalam Pedoman Nasional Antiretroviral adalah kombinasi Lamivudin + Zidovudin + Nevirapin, Lamivudin + Zidovudin + Efavirenz, Lamivudin + Stavudin + Nevirapin dan Lamivudin + Stavudin + Efavirenz.20

BAB III KESIMPULAN

Kasus HIV/AIDS merupakan kasus yang mengglobal. Tiap tahun kasusnya terjadi peningkatan. Salah satu penyebabnya adalah mereka enggan untuk memeriksakan dirinya karena ada stigma dari masyarakat mengenai penderita HIV/AIDS. Stigmanya itu bisa berasal dari lingkungan tempat mereka tinggal dan dari diri mereka sendiri. Dengan adanya stigma dan dikriminasi dari masyarakat maka diperlukan pencegahan dan perawatan HIV yaitu VCT. VCT merupakan pintu gerbang pencegahan dan perawatan HIV yang bersifat sukarela dan rahasia. Tahapan-tahapan dari VCT yaitu pre-test counseling,test HIV, dan post-test counseling. VCT masih banyak memiliki kekurangan diantaranya sulitnya membuat masyarakat secara sukarela untuk mengikuti VCT, hal ini dikarenakan mereka tidak tahu keuntungan dari mengetahui status HIV serta masyarakat juga tidak bisa mengenali gejala dan tanda HIV/AIDS pada fase awal, oleh karena itu munculah gagasan untuk membuat suatu tes dan konseling yang diprakarsai oleh penyedia layanan kesehatan yang sekarang program itu dikenal dengan PICT

20

( Provider Initiated Counseling and Testing). PICT memiliki tahapan yang sama dengan VCT perbedaanya terletak pada penyedia layanan kesehatan yang memiliki inisiatif untuk melakukan konseling dan tes dengan persetujuan pasien. Selain juga memerlukan konseling dan test, seseorang yang melakukan VCT atau PICT juga memerlukan layanan secara medis,psikologis dan social dimana dipenuhi oleh program CST . CST merupakan suatu layanan medis, psikologis dan sosial yang terpadu dan berkesinambungan dalam menyelesaikan masalah terhadap ODHA selama perawatan dan pengobatan. Tahapan-tahapan CST yaitu care,support and treatment. Seseorang yang telah memiliki hasil tes HIV positif maka penanganan yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan memberikan antiretroviral (ARV). Berdasarkan mekanisme kerjanya, ARV terbagi menjadi 5 golongan yaitu 1) Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI) yang terdiri dari Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) dan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI), 2) Protease Inhibitor, 3) Fusion Inhibitor, 4) Entry Inhibitor, dan 5) Integrase Inhibitor. ARV ini digunakan secara kombinasi guna meningkatkan efektivitas kerja obat sehingga dapat menurunkan penularan, infeksi oportunistik, dan komplikasi lainnya,serta harapan hidup pasien. meningkatkan kualitas dan

21

You might also like