You are on page 1of 42

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori 1. Tuberkulosis 1.1 Definisi Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri TB (Mycobacterium tuberculosis), yang masih merupakan anggota Genus Mycobacterium. Keluarga Mycobacterium yang berkaitan dengan

masalah kesehatan di masyarakat adalah M. bovis, M. leprae, dan M. tuberculosis. Sebagian besar bakteri TB menyerang organ paru (90%), tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.(Price, Sylvia A & M. Wilson, 2005)

1.2. Bakteri Tuberkulosis M. tuberculosis ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut pula sebagai basil tahan asam (BTA). Dinding bakteri TB terdiri dari asam lemak dan lipid, yang membuat lebih tahan asam. Bakteri TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh bakteri ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun. Bakteri hidup sebagai parasit intra selular di dalam jaringan, yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositosis malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain bakteri ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa bakteri lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru lebih tinggi dari pada bagian yang lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit TB (Jawetz, 2005). Di luar tubuh manusia, kuman M. tuberculosis hidup baik pada lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari
6

(Depkes RI, 2002). M. tuberculosis mempunyai panjang 1-4 mikron dan lebar 0,2-0,8 mikron. Bakteri ini melayang di udara dan disebut droplet nuclei (Girsang, 1999). Menurut Atmosukarto (2000), bakteri tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya. Tetapi bakteri tuberkulosis akan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api (Atmosukarto & Soewasti, 2000). Menurut Girsang (1999), bakteri tuberkulosis jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam, selain itu kuman tersebut akan mati oleh tinctura iodi selama 5 menit dan juga oleh ethanol 80 % dalam waktu 2 sampai 10 menit serta oleh fenol 5 % dalam waktu 24 jam. Bakteri M. tuberculosis seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal penting untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Gould & Brooker, 2003). Menurut Notoatmodjo (2003), kelembaban udara

yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk tuberkulosis. Menurut Gould & Brooker (2003), bakteri M. tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai. M. tuberculosis merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25 40 C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 C (Depkes RI, 1999; Gould & Brooker, 2003; Gibson, 1996; Girsang, 1999; Lubis, 1999). Manusia merupakan reservoar untuk penularan bakteri tuberculosis M.

(Gibson, 1996; Tambajong, 2000; Atmosukarto, 2000).

Bakteri tuberkulosis ditularkan melalui droplet nuclei. Seorang penderita tuberkulosis dapat menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002). Menurut penelitian Pusat Ekologi Kesehatan (1996), menunjukkan

tingkat penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup

tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Di dalam rumah dengan ventilasi baik, kuman ini dapat hilang terbawa angin dan akan lebih baik lagi jika ventilasi ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa menangkap bakteri TB (Atmosukarto & Soeswati, 2000). Klasifikasi (menurut Jawetz,2005) : Kingdom Phylum Order Suborder Family Genus Species : Bacteria : Actinobacteria : Actinomycetales : Corynebacterineae : Mycobacteriaceae : Mycobacterium : Mycobacterium tuberculosis

Gambar 2.1. Mikrograf electron scan Mycobacterium tuberculosis

1.3. Cara Penularan TB Paru Lingkungan yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Bakteri TB ditularkan dari orang ke orang oleh transmisi droplet (partikel kecil cairan yang dimuntahkan dari mulut pada waktu batuk, bersin, atau berbicara, yang mungkin membawa infeksi untuk yang lain melalui udara). Droplet yang besar (lebih besar dari 100 mikron) menetap, sementara droplet yang kecil (1-5 mikron) tertahan di udara dan terhirup oleh individu yang

rentan. Risiko untuk tertular TB juga tergantung pada banyaknya organisme yang terdapat di udara.(Smeltzer, Suzanne C & Bare, 2001). 1.4. a. Perjalanan penyakit TB Paru Infeksi Primer (PDPI, 2006)

Bakteri TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini selanjutnya akan terlihat peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangiitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangiitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu keadaan sebagai berikut : 1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (resolution ad integrum) 2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, dan sarang perkapuran di hilus) 3. Menyebar dengan cara : Perkontinuitatum, yaitu menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Bakteri TB akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi bakteri. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh

secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti TB milier, Meningitis tuberculosa, Typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan TB pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia, dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan : Sembuh dengan meninggalkan squalae (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat Ensefalomeningitis tuberkuloma) atau Meninggal.

b. TB Pasca Primer TB pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari TB pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.

1.5.

Gejala-Gejala TB

Gejala-gejala yang menunjukkan penyakit TB Paru adalah: a. Gejala Utama (Depkes RI, 2008)

Batuk terus menerus dan berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. b. 1) 2) 3) 4) Gejala Tambahan (Amin, Zulkifli & Bahar, 2006) : Dahak bercampur darah Batuk darah Sesak nafas dan nyeri dada Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa

kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, dan demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, oleh sebab itu orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan

(UPK) dengan gejala seperti di atas harus dianggap suspect tuberculosis atau tersangka penderita TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.(Depkes RI , 2002)

1.6. Diagnosis TB Paru.(Depkes RI,2007,2002) Pada orang dewasa: a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu pagi sewaktu (SPS). b. Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya bakteri TB (BTA). Pada program TB Nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. d. Gambaran kelainan radiologis paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.

Bagan 2.1. Alur diagnosis TB Paru (Depkes RI,2008)

Pemeriksaan tambahan : (Zevitz, M, 2006) a. Radiologi Gambaran foto toraks pada TB tidak khas; kelainan-kelainan radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya foto toraks yang normal tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan penunjang lain mendukung. Dengan demikian foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran milier.

Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai berikut:


Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan / tanpa infiltrat Konsolidasi segmental / lobar Milier Kalsifikasi dengan infiltrat Atelektasis Kavitas Efusi pleura Tuberkuloma

Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi harus disertai dengan foto lateral , mengingat bahwa pembesaran KGB di daerah hilus biasanya lebih jelas pada foto lateral. Jika dijumpai ketidaksesuaian antara gambaran radiologis yang berat dan gambaran klinis ringan, maka harus dicurigai TB.

b.Mikrobiologi Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan bakteri TB pada pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan terdiri dari dua macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan bakteri M.tuberculosis. Pemeriksaan tersebut sulit dilakukan pada anak karena sulitnya

mendapatkan spesimen berupa sputum. Sebagai gantinya, dilakukan pemeriksaan bilas lambung (gastric lavage) 3 hari berturut-turut, minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada anak sebagian besar negatif, sedangkan hasil biakan M.tuberculosis memerlukan waktu yang lama yaitu sekitar 6-8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang hasilnya diperoleh lebih cepat ( 1-3 minggu ), yaitu pemeriksaan Bactec, tetapi biayanya mahal dan secara teknologi lebih rumit. Selain itu dapat juga digunakan pemeriksaan PCR yang merupakan teknik amplifikasi urutan DNA yang spesifik. Secara teori, dengan metode ini, kuman yang berasal dari spesimen bilas lambung akan dapat dideteksi meskipun hanya ada satu bakteri M.tuberculosis pada bahan pemeriksaan, sehingga diharapkan sensitivitasnya cukup tinggi.

c. Patologi anatomi Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya multinucleated giant cell (sel datia langhans). Diagnosis histopatologik dapat ditegakkan dengan menemukan perkijuan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit dan sel datia Langhans. Kadang-kadang dapat ditemukan juga BTA.

d. Darah Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada saat tuberculosis mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit mulai normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi.

Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga : anemia ringan dengan gambaran normokrom dan normositer, gama globulin meningkat, kadar natrium darah menurun. Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga dipakai yakni Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB) yang oleh beberapa peneliti mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifitasnya yang cukup tinggi (85-95%). Prinsip dasar uji PAP-TB ini adalah menentukan adanya antibody IgG yang spesifik tehadap antigen M. tuberculosis. Sesbagai antigen dipakai polimer sitoplasma M.tuberculin var bovis BCG yang dihancurkan secara ultrasonik dan dipisahkan secara ultrasentrifus. Hasil uji PAP-TB dinyatakan patologis bila pada titer 1:10.000 didapatkan hasil uji PAP-TB positif. Hasil positif palsu kadang-kadang masih didapatkan pada pasien reumatik, kehamilan, dan masa 3 bulan revaksinasi BCG.

e.Sputum Pemeriksaan sputum adalah sangat penting karena dengan

ditemukannya bakteri BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah, namun kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang tidak produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak 2 liter dan diajarkan melakukan reflek batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik

ekspektoran atau inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin. Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang bakteri BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 bakteri dalam 1 mL sputum. Untuk pewarnaan sediaan

10

dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok yang merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet. Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa juga

terdapat bakteri BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada fenomen dead bacilli atau culturable bacilli yang disebabkan keampuhan panduan obat antituberkulosis jangka pendek yang cepat mematikan bakteri BTA dalam waktu pendek. Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan, bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari bilasan bronkus, jaringan paru, pleura, cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan serebrospinal, urin, dan spinal. Diagnosis kerja TB anak dibuat berdasarkan adanya kontak terutama dengan pasien TB dewasa aktif/baru, kumpulan gejala dan tanda klinis, uji tuberkulin, dan gambaran sugestif pada foto toraks.

1.7. Klasifikasi Penyakit (PDPI,2006) 1. TB paru, merupakan bentuk yang paling sering dijumpai, yaitu

sekitar 80% dari semua penderita TB. TB yang menyerang jaringan paru ini merupakan satu-satunya bentuk TB yang dapat menular. 2. TB ekstra paru merupakan TB yang menyerang organ tubuh, selain

paru. Organ tersebut biasanya adalah pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang belakang, perut, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, organ reproduksi dan lain-lain.

1.8. Tipe penderita (Depkes RI, 2002) Tipe penderita berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: a. Kasus baru

11

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). b. Kasus Kambuh (Relaps) Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). c. Kasus setelah putus berobat (Default) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. d. Kasus setelah gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. e. Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. f. Kasus lain: Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

Gambar.2.2. Proporsi pasien TB Per Tipe (Depkes RI,2010) 1.9. Pengobatan TB (Depkes RI, 2007)

12

a. Tujuan Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan,dan mencegah terjadinya resistensi bakteri terhadap OAT. b. Jenis, sifat dan dosis OAT Obat yang dipakai : 1) Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: Rifampisin INH Pirazinamid Streptomisin Etambutol 2) Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) Kanamisin Amikasin Kuinolon Obat lain masih dalam penelitian : makrolid, amoksilin + klavulanat Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain : o Kapreomisin o Sikloserino PAS (dulu tersedia) o Derivat rifampisin dan INH o Thioamides (ethionamide dan prothionamide) Sifat-sifat OAT : 1. Isoniazid (H) Mempunyai sifat bakterisid. Dosis harian yang direkomendasikan adalah 4-6 mg/kg, sedangkan dosis untuk tiga kali seminggu adalah 8-12 mg/kg. 2. Rifampicin (R) asam

13

Mempunyai sifat bakterisid. Dosis harian yang direkomendasikan adalah 8-12 mg/kg, sedangkan dosis untuk tiga kali seminggu adalah 8-12 mg/kg. 3. Pyrazinamide (Z) Mempunyai sifat bakterisid. Dosis harian yang direkomendasikan adalah 20-30 mg/kg. Dosis tiga kali seminggu yang direkomendasikan adalah 30-40 mg/kg. 4. Steptomycin (S) Mempunyai sifat bakterisid. Dosis harian adalah 12-18 mg/kg, sedangkan dosis tifa kali seminggu adalah 12-18 mg/kg. 5. Ethambutol (E) Mempunyai sifat bakteriostatik. Dosis harian yang direkomendasikan adalah 15-20 mg/kg, sedangkan dosis untuk tiga kali seminggu adalah 2035 mg/kg.

c. Prinsip Pengobatan Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,

dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. 2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan langsung (DOTS = Directly Observed Treatment

pengawasan

Shortcourse) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). 3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan

lanjutan. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapatkan obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Pasien menular biasanya menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu, bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat. Pasien TB BTA positif, sebagian besar menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

14

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh bakteri persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

d. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia: 1) Kategori-1 (2HRZE/4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: Pasien baru TB paru BTA positif Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif Pasien TB ekstra paru 2) Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: Pasien kambuh Pasien gagal Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

3) OAT Sisipan (HRZE) Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari). 4) Kategori Anak: 2HRZ/4HR.

1.10. Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru Mencegah lebih baik dari pada mengobati, kata-kata itu selalu menjadi acuan dalam penanggulangan penyakit TB-Paru di masyarakat. Adapun upaya pencegahan yang harus dilakukan adalah : a. Penderita tidak menularkan kepada orang lain ; 1. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan atau tissu.

15

2. Tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama pengobatan. 3. Tidak meludah di sembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi lysol, kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah. 4. Menjemur alat tidur secara teratur pada pagi hari. 5. Membuka jendela pada pagi hari, agar rumah mendapat udara bersih dan cahaya matahari yang cukup sehingga kuman tuberkulosis paru dapat mati. b. Masyarakat tidak tertular dari penderita tuberkulosis paru ; 1. Meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan makan- makanan yang bergizi 2. Tidur dan istirahat yang cukup 3. Tidak merokok dan tidak minum-minuman yang mengandung alkohol. 4. Membuka jendela dan mengusahakan sinar matahari masuk ke ruang tidur dan ruangan lainnya. 5. Imunisasi BCG pada bayi. 6. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu. 7. Menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita Tuberkulosis Paru akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25% sebagai kasus kronik yang tetap menular. (Depkes RI, 2001) 1.11. Epidemiologi Tuberkulosis Paru Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara kuman (agent) M. tuberculosis, manusia (host) dan lingkungan (environment). Disamping itu mencakup distribusi dari penyakit, perkembangan dan penyebarannya, termasuk didalamnya juga mencakup prevalensi dan insidensi penyakit tersebut yang timbul dari populasi yang tertular. Pada penyakit tuberkulosis paru sumber infeksi adalah manusia yang mengeluarkan basil tuberkel dari saluran

16

pernafasan. Kontak yang rapat (misalnya dalam keluarga) menyebabkan banyak kemungkinan penularan melalui droplet. Kerentanan penderita tuberkulosis paru meliputi risiko memperoleh infeksi dan konsekuensi timbulnya penyakit setelah terjadi infeksi, sehingga bagi orang dengan uji tuberkulin negatif risiko memperoleh basil tuberkel bergantung pada kontak dengan sumber-sumber bakteri penyebab infeksi terutama dari penderita tuberkulosis dengan BTA positif. Konsekuensi ini sebanding dengan angka infeksi aktif penduduk, tingkat kepadatan penduduk, keadaan sosial ekonomi yang merugikan dan perawatan kesehatan yang tidak memadai Berkembangnya penyakit secara klinik setelah infeksi dimungkinkan adannya faktor komponen genetik yang terbukti pada hewan dan diduga terjadi pada manusia, hal ini dipengaruhi oleh umur, kekurangan gizi dan kenyataan status immunologik serta penyakit yang menyertainya. Epidemiologi tuberkulosis paru mempelajari tiga proses khusus yang terjadi pada penyakit ini, yaitu; a. b. Penyebaran atau penularan dari kuman tuberkulosis Perkembangan dari bakteri tuberkulosis paru yang mampu pada orang lain setelah orang tersebut terinfeksi dengan

menularkan

bakteri Tuberkulosis. c. Perkembangan lanjut dari bakteri tuberkulosis sampai penderita

sembuh atau meninggal karena penyakit ini. (Styblo K,1996). 1.12. Faktor Risiko Tuberkulosis Paru Faktor risiko yaitu semua variabel yang berperan timbulnya kejadian penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor risiko penyakit tuberkulosis paru saling berkaitan satu sama lainnya. Berbagai faktor risiko dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu; kependudukan dan faktor lingkungan.

17

a. Faktor Risiko Karakteristik Penduduk/prajurit Kejadian penyakit tuberkulosis paru merupakan hasil interaksi antara komponen lingkungan yakni udara yang mengandung basil tuberkulosis, dengan masyarakat serta dipengaruhi berbagai faktor variabel yang mempengaruhinya. Variabel pada masyarakat secara umum dikenal sebagai variabel kependudukan. Banyak variabel kependudukan yang memiliki peran dalam timbulnya atau kejadian penyakit tuberkulosis paru, yaitu: 1) Jenis Kelamin Dari catatan statistik meski tidak selamanya konsisten, mayoritas penderita tuberkulosis paru adalah wanita, hal ini masih memerlukan penyelidikan dan penelitian lebih lanjut, baik pada tingkat behavioural, tingkat kejiwaan, sistem pertahanan tubuh, maupun tingkat molekuler. Untuk sementara, diduga jenis kelamin wanita merupakan faktor risiko yang masih memerlukan evidence pada masing-masing wilayah sebagai dasar pengendalian atau dasar manajemen. 2) Umur Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru, risiko untuk mendapatkan penyakit tuberkulosis paru dapat dikatakan seperti kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun hingga dewasa memiliki daya tangkal terhadap tuberkulosis paru dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang usia tua. Namun di Indonesia diperkirakan 75% penderita tuberkulosis paru adalah usia produktif yaitu 15 hingga 50 tahun. (Depkes,2002). Kekuatan untuk melawan infeksi adalah tergantung pertahanan tubuh dan ini sangat dipengaruhi oleh umur penderita. Pada awal kelahiran pertahanan tubuh sangat lemah dan akan meningkat secara perlahan sampai umur 10 tahun, setelah masa pubertas pertahanan tubuh lebih baik dalam mencegah penyebaran infeksi melalui darah, tetapi lemah dalam mencegah

18

penyebaran infeksi di paru. Tingkat umur penderita dapat mempengaruhi kerja efek obat, karena metabolisme obat dan fungsi organ tubuh kurang efisien pada bayi yang sangat mudah dan pada orang tua, sehingga dapat menimbulkan efek yang lebih kuat dan panjang pada kedua kelompok umur ini (Crofton, 2002). 3) Status Gizi Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian tuberkulosis paru, tentu saja hal ini masih tergantung variabel lain yang utama yaitu ada tidaknya kuman tuberkulosis pada paru. Seperti diketahui kuman tuberkulosis merupakan kuman yang suka tidur hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk bangun dan menimbulkan penyakit maka timbulah kejadian penyakit tuberkulosis paru. Oleh karena itu salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik, baik pada wanita, laki-laki, anak-anak maupun dewasa. Status gizi yang buruk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru, kekurangan kalori dan protein serta kekurangan zat besi dapat meningkatkan risiko terkena tuberkulosis paru, cara pengukurannya adalah dengan membandingkan berat badan dan tinggi badan atau Indek Masa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang. Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun, IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olah ragawan, disamping itu pula IMT tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti edema, asites dan hepatomegali. Adapun rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

IMT =

Berat Badan (kg)

19

Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)

Atau Berat badan (dalam kilogram) dibagi kuadrat tinggi badan (dalam meter). Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO, yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan. Batas ambang normal laki-laki adalah 20,1-25,0 dan untuk perempuan adalah 18,7-23,8. Untuk batas ambang IMT orang Indonesia adalah < 17-18,4 (kurus), 18,5-25,0 (normal), 25,0-27,0 (gemuk).23 Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dalam tabel berikut; Kategori Kurus Kekurangan Berat Badan tingkat berat Kekurangan Berat Badan tingkat ringan Normal IMT < 17,0 17,0 18,0 >18,5 25,0 Kelebihan Berat Badan tingkat ringan > 25,0 27,0 > 27,0

Gemuk

Kelebihan Berat Badan tingkat berat

Tabel 2.1. Kategori Ambang batas IMT untuk Indonesia.(Supariasa, Bakri,& Fajar, 2001) 4) Kondisi Sosial Ekonomi WHO (2003) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan penyakit tubekulosis bersifat timbal balik, tuberkulosis merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin

20

maka manusia menderita tuberkulosis. Kondisi sosial ekonomi , mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, serta perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya. Menurut perhitungan rata-rata penderita tuberkulosis kehilangan 3 sampai 4 bulan waktu kerja dalam setahun, dan juga kehilangan penghasilan setahun secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga. Tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan sangat mempengaruhi terjadinya kasus tuberkulosis paru atau keberhasilan pengobatan, status sosial ekonomi keluarga diukur dari jenis, keadaan rumah, kepadatan penghuni per kamar, status pekerjaan dan harta kepemilikan. Masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah sering mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, sehingga penyakit tuberkulosis paru menjadi ancaman bagi mereka. Penyebab terbesar menurunya kasus tuberkulosis paru adalah

meningkatnya tingkat sosial ekonomi keluarga tetapi faktor lain akibat sosial ekonomi adalah pengaruh lingkungan rumah secara fisik baik pada ventilasi, pencahayaan, kepadatan rumah dan pemenuhan gizi (Lubis, P. 1996). 5) Kebiasaan Merokok Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan risiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan risiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Menurut Departemen Kesehatan melalui pusat promosi kesehatan menyatakan Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki tingkat konsumsi rokok dan produksi rokok tertinggi. Berdasarkan data dari WHO tahun 2002 Indonesia menduduki urutan ke 5 terbanyak dalam konsumsi rokok di dunia dan setiap tahunnya mengkonsumsi 2,5 miliar batang rokok. Angka kekerapan merokok di Indonesia yaitu 60%-70% pada laki-laki di perkotaan dan 80% - 90%. Dari hasil Sussenas (Survei

21

Sosial Ekonomi Nasional) 2001 menyatakan bahwa 54% penduduk lakilaki merupakan perokok dan hanya 1,2% perempuan yang merokok. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru. Kebiasan merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru yang disebut muccociliary clearance. Bulu-bulu getar dan bahan lain di paru tidak mudah membuang infeksi yang sudah masuk karena bulu getar dan alat lain di paru rusak akibat asap rokok. Selain itu, asap rokok meningkatkan tahanan jalan napas (airway resistence) dan menyebabkan mudah bocornya pembuluh darah di paru-paru, juga akan merusak makrofag yang merupakan sel yang dapat memfagosit bakteri pathogen. (Priyadi,2003). b.Faktor Risiko lingkungan Penduduk/Prajurit 1) Kondisi Lingkungan Rumah Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi lingkungan rumah dalam risiko kejadian infeksi tuberkulosis adalah kepadatan rumah, intensitas cahaya yang masuk, dan kelembapan udara (Crofton, 2002). Persentase rumah tangga di Indonesia yang masih tinggal di rumah yang padat pada tahun 2004 adalah sebesar 20% (Desmon, 2006). Menurut Dahlan (2001) dalam Desmon (2006), orang yang tinggal dengan tingkat kepadatan yang tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko 3,8 kali untuk menderita tuberkulosis dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat kesehatan. Menurut Supriyanto (1997) dalam Desmon (2006), luas lantai yang dibutuhkan oleh 1 orang adalah 8,3 m2. Intensitas cahaya yang alami, yaitu sinar matahari, sangat berperan dalam penularan kuman TB karena kuman TB relatif tidak tahan terhadap terhadap sinar matahari (Depkes, 2006). Menurut Musadad (2006) dalam Desmon (2006), rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko 3,7 kali untuk menularkan tuberkulosis dibandingkan dengan rumah yang tidak dimasuki sinar matahari. Kelembapan udara mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Menurut Desmon (2006)

kelembapan udara dipengaruhi oleh ventilasi yang baik, yaitu minimal

22

10% dari luas lantai. Menurut Mulyadi (2003) dalam Desmon (2006), rumah yang memiliki kelembapan lebih dari 60% memiliki risiko terkena infeksi tuberculosis 10,7 kali dibandingkan dengan rumah yang kelembapannya lebih kecil dari 60%. Faktor risiko kejadian penyakit tuberkulosis paru, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut :

Bagan 2.2. Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru.(Depkes RI,2008)

23

2.

Kesehatan Matra 1.1.Pendahuluan Secara umum Kesehatan Matra merupakan salah satu upaya kesehatan seperti yang tercantum dalam pasal 97 Undang undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Upaya Kesehatan Matra juga

mencakup pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Kesehatan Matra merupakan kegiatan khusus yang diselenggarakan untuk menghadapi kondisi dari seluruh aspek matra yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia dalam lingkungannya. Menurut Pedoman Kesehatan ditetapkan melalui Kepmenkes Matra Depkes yang Ruang

1215/Menkes/SK/XI/2001

Lingkup Kesehatan Matra dibagi menjadi : 1.


Kesehatan Matra Lapangan ( Darat ) Upaya Kesehatan Haji Upaya Kesehatan Transmigrasi Upaya Kesehatan Penanggulangan Korban Akibat Bencana Upaya Kesehatan di bumi perkemahan Upaya Kesehatan Akibat Gangguan Kamtibmas Upaya Kesehatan Lintas Alam Upaya Kesehatan Bawah Tanah Upaya Kesehatan Wisata dll Kesehatan Matra Kelautan dan Bawah Air ( Laut ) Upaya Kesehatan Penyelaman dan Hyperbarik Upaya Kesehatan Pelayaran dan Lepas Pantai, yang merupakan domain dari Kesehatan TNI AL

2.

3.

Kesehatan Matra Dirgantara ( Udara ) Upaya Kesehatan Penerbangan, yang merupakan domain dari

Kesehatan TNI AU.

1.2.

Definisi (Dirkes Angkatan Darat, 2004)

24

a.

Matra adalah dimensi / lingkungan / wahana / media tempat sekelompok orang melangsungkan hidup serta

seseorang atau

melaksanakan kegiatan. b. Kondisi Matra adalah keadaan dari seluruh aspek pada matra

yang serba berubah dan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dan pelaksanaan kegiatan manusia yang hidup dalam lingkungan tersebut. c. Kesehatan Matra adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk

meningkatkan kemampuan fisik dan mental guna menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah secara bermakna baik di lingkungan darat, laut dan udara. Kesehatan Matra Darat adalah kesehatan matra yang berhubungan dengan pekerjaan / kegiatan di daratan yang spesifik, bersifat temporer dan serba berubah serta mempunyai dampak terhadap kondisi fisik, mental dan kemampuan melaksanakan kegiatan individu yang

bersangkutan. d. Ilmu Kesehatan Militer adalah ilmu kesehatan yang meliputi

kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diterapkan dalam lingkup tugas dan pekerjaan kemiliteran di darat. e. Kesehatan Militer Matra Darat meliputi : 1) Ilmu Kesehatan Matra Darat adalah ilmu kesehatan yang

berhubungan dengan pekerjaan / kegiatan prajurit di matra darat yang spesifik, bersifat temporer dan serba berubah serta mempunyai dampak terhadap kondisi fisik, mental dan kemampuan prajurit tersebut dalam melaksanakan tugas pokoknya. 2) Ilmu Kesehatan Kerja Militer adalah ilmu kesehatan yang

berhubungan dengan pencegahan dan penanganan penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan / kegiatan prajurit dalam melaksanakan tugas kemiliteran di darat.

2.3. Ilmu Kesehatan Matra Darat (Direktorat Kesehatan Angkatan Darat, 2004) : a. Aspek Suhu

25

1) a) b) c) 2) a) b) c)

Kesehatan pada lingkungan panas. Adaptasi pada lingkungan panas. Pencegahan penyakit akibat lingkungan panas Penanganan penyakit akibat lingkungan panas. Kesehatan pada lingkungan dingin : Adaptasi pada lingkungan dingin Pencegahan penyakit akibat lingkungan dingin Penanganan penyakit akibat lingkungan dingin.

b. 1) a) b) c) 2) 3)

Aspek Medan : Kesehatan pada daerah tinggi Adaptasi pada daerah tinggi Pencegahan penyakit akibat daerah tinggi. Penanganan penyakit akibat daerah tinggi. Kesehatan pada daerah hutan, rawa, sungai dan pantai. Ilmu Kesehatan Survival.

c. 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)

Kedokteran dan Kesehatan tempur ( War Medicine ) Bedah Tempur ( War Surgery ) Traumatologi Tempur ( Combat Trumatology ). Psikiatri Tempur ( War Psychiatry ) Kesehatan Preventif Tempur (Combat Preventive Medicine). Higiene dan sanitasi Lingkungan Higiene Prajurit Perorangan Kesehatan Gigi dan Mulut Vaccinasi / immuninasi Gizi prajurit

d. 1) 2)

Intelijen Medis ( Medical Intelligence ). Analisa Medan Perencanaan Dukkes, rantai evakuasi

26

e.

Nuklir, Biologi dan Kimia

f.

Ilmu Kesehatan Bencana ( Disaster Medicine ).

2.4.Ilmu Kesehatan Kerja Militer (Direktorat Kesehatan Angkatan Darat, 2004) Merupakan integrasi antara ilmu kesehatan / kedokteran dengan berbagai ilmu lain seperti teknologi, kimia, fisika, biologi, anthropologi dll yang bertujuan agar prajurit memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dengan usaha preventif dan kuratif sehingga terhindar dari penyakit / gangguan kesehatan yang disebabkan oleh faktor lingkungan kerja militer yang spesifik. Yang termasuk dalam kesehatan kerja militer adalah : a. Postur Prajurit Untuk menjadi prajurit yang ideal harus dipenuhi kriteria postur tubuh yang mampu mengemban tugas-tugas kemiliteran. Disamping itu seorang prajurit harus mampu membawa dan menggunakan alat peralatan militer dengan dampak negatif terhadap tubuh prajurit seminimal mungkin.

b. 1) 2) 3) 4)

Faktor-faktor penyebab gangguan kesehatan : Fisik : suara, radiasi, cahaya, suhu, tekanan dll Kimia : debu, asap, gas, larutan dll Infeksi : mikroorganisme dll Fisiologis : konstruksi alat peralatan, sikap tubuh, cara

melaksanakan kegiatan dll 5) Mental Psikologis : lingkungan kerja, hubungan kerja, faktor

keluarga dll

c.

Ergonomi adalah penerapan ilmu biologi tentang manusia dan

ilmu-ilmu teknik dan teknologi untuk mencapai penyesuaian satu sama lain secara optimal dari manusia terhadap pekerjaannya. Merupakan

27

aplikasi dari ilmu biologi manusia dengan ilmu teknik agar tercapai kesesuaian optimal antara manusia dan pekerjaannya sehingga diperoleh keuntungan berupa efisiensi dan kenyamanan dalam pekerjaannya. Ergonomi berperan dlm berbagai aktivitas prajurit : a. dibawa, Beban kerja prajurit : ransel beserta isinya, senjata yang perlengkapan perorangan lainnya yang dibawa saat

melaksanakan kegiatannya. b. c. Perlengkapan prajurit : pakaian, helm, sepatu dll Alat peralatan prajurit : senjata, alat mekanik, alat optik, alat

komunikasi dll d. e. Alat peralatan khusus : ranpur, rudal, radar dll Alat peralatan markas : perlengkapan kantor dll

d.

Ergometri merupakan Ilmu untuk mengukur kerja : pemakaian

tenaga oleh prajurit pada kegiatan tertentu, daya kerja fisik maksimum dari prajurit.

e.

Evaluasi tidak langsung dari kapasitas aerobik : Untuk

menguji kapasitas kerja fisik

f. 1) 2) 3) g.

Latihan militer : Mencakup beberapa aspek : Manajemen latihan dari aspek kesehatan. Pencegahan dan penanggulangan kecelakaan latihan. Kesehatan pada Han Mars. Kesehatan / kedokteran Olah Raga (Military Sport Medicine). Kegiatan prajurit identik dengan kegiatan atlit karena dalam

kegiatan tersebut selalu dituntut memiliki kekuatan, kecepatan dan koordinasi serta keseimbangan dalam setiap gerakan. Dengan aktivitas sehari-harinya, prajurit seharusnya juga mempunyai kemampuan seperti atlit sehingga ada tuntutan bahwa prajurit lebih memungkinkan menjadi atlit yang berprestasi dibandingkan dengan bidang profesi lainnya. Namun kenyataan yang ada hanya sedikit prajurit yang berprestasi

28

sebagai atlit. Ini menggambarkan bahwa belum ada sinkronisasi antara aktivitas prajurit dengan pemberdayaan prajurit sebagai sumber atlit.

h. 1) 2) 3)

Gizi prajurit di lapangan. Mencakup perencaan dan kegiatan : Kebutuhan Gizi Prajurit. Gizi prajurit dalam latihan. Gizi prajurit dalam pertempuran.

i.

Kesehatan Jiwa Militer. Dalam penugasannya prajurit akan

mengalami suatu situasi dan kondisi yang penuh dengan resiko kematian, cacat dan hilang dalam pertempuran sehingga aspek Kesehatan Jiwa sangat mutlak harus diperhatikan.

j.

Higiene dan sanitasi lingkungan kerja prajurit. Meliputi aspek:

1). Higiene dan sanitasi markas / ksatrian 2). Higiene dan sanitasi daerah latihan 3). Higiene dan sanitasi lingkungan khusus.

k.

Higiene perorangan prajurit Higiene perorangan dan kesehatan prajurit adalah segala

upaya, pekerjaan dan kegiatan untuk mendapatkan derajat kesehatan yang optimal melalui tindakan kebersihan dan peningkatan kesehatan pada individu/perorangan. 1.

Higiene perorangan prajurit meliputi : Kebersihan Kulit

Lipatan kulit dibersihkan minimal 2 hari sekali dengan sabun. 2. Kebersihan Rambut

Menggunakan shampo minimal 1 minggu sekali. Tidak memakai pisau cukur / sisir secara bergantian dengan orang lain. 3. Kebersihan Tangan

29

Kuku selalu pendek dan bersih. Mencuci tangan setelah buang air besar serta sebelum makan dengan sabun. 4. Kebersihan Gigi dan Mulut

Menggosok gigi minimal 2 kali sehari dengan menggunakan sikat gigi yang cocok dan pasta gigi yang cocok dan pasta gigi yang berflouride. 5. Kebersihan Pakaian dan Alat Tidur

Pakaian luar dicuci segera setelah kotor. Pakaian dalam diganti sekali sehari. Peralatan tidur (sprei, sarung bantal) dicuci minimal seminggu sekali, kasur/bantal dijemur seminggu sekali. 6. Kebersihan Kaki

Kaki harus dicuci setiap hari lalu dikeringkan. Perhatikan sela-sela jari kaki,. Pakailah bedak khusus anti septik tipis-tipis. Usahakan mengganti dan mencuci kaos setiap hari. 1) a)

Higiene MARS (gerak jalan), yang mencakup : Periksa kaki, sepatu dan kaos kaki. Kaki harus benar-benar kering, terutama sela-sela jari kaki

(kalau perlu menggunakan bedak kaki) b) Kaos kaki harus bersih, kering dan tidak berlobang/sobek.

Sebelum memakai kaos kaki c) Jangan menggunakan tali pengikat/karet yang terlalu kencang

untuk merapikan/melipat ujung bawah celana.

2) a)

Minum cukup air. Sebelum berangkat minum air secukupnya, dalam perjalanan

minum 0,5 1 iter per jam b) Pada waktu mars sepanjang 15 mil tubuh dapat kehilangan

cairan 7 liter, oleh karena itu selama perjalanan dianjurkan minum air dingin (bukan air es) secukupnya. c) Tambahkan garam kedalam air minum dengan konsentrasi

0,1 % (2 tablet garam dalam satu veldfles).

30

3) a) menit. b)

Istirahat cukup. Setiap berjalan 1 jam sebaiknya diberikan waktu istirahat 10

Bila Mars selama 1 minggu berturut-turut, tidak boleh

melebihi 90 mil (15 mil sehari) dan pada hari ke 7 diberi istirahat sehari penuh.

4) a)

Waktu yang baik. Waktu berangkat Mars sebaiknya pukul 6 pagi. Pada waktu malam

hari dipergunakan untuk istirahat (pemulihan tenaga) b) Apabila hari tidak panas Mars dapat dilaksanakan 6 jam

terus menerus dengan tetap diberikan waktu istirahat. 1. 2.

Akibat Mars yang perlu diperhatikan adalah : Kaki lecet Kehilangan cairan dan garam tubuh (keseimbangan cairan

dan elektrolit tubuh terganggu) 3. 4. 5. 1. Kejang panas (heat cramp) Kelelahan panas (heat exhaustion) Sengatan panas (heat stroke)

Perlindungan Terhadap Cuaca Cuaca Dingin dan Hujan. Usahkan memakai jas hujan / jaket.

Bila pakaian basah, selekas mungkin ganti pakaian dan keringkan badan pada kesempatan pertama. 2. Cuaca Panas ( Mars dan Lintas Medan ). Persediaan minum

harus cukup dengan pakaian cukup longgar dan menghisap keringat. 1. 2.

Gangguan kesehatan akibat cuaca, adalah : Kedinginan Kaki imersi (kaki mengeriput/pucat akibat terendam, basah

terus menerus)

31

3. 4. 1.

Sengatan panas Kebakaran kulit akibat sengatan panas.

Perlindungan terhadap resiko kerja Di Kesatuan Artileri. Harus selalu menggunakan sumbat

telinga(earplug / earmuff) pada waktu menembakkan meriam dan sebagainya. 2. Di Daerah Operasi Bersuhu Dingin / Bersalju. Harus makan

cukup kalori dan protein untuk melawan hawa dingin, menjaga stamina dan daya tahan tubuh. Harus memakai pakaian dan alat pelindung khusus yang sudah di tentukan. 3. Di Daerah Operasi berdebu / berpasir. Lindungi pernapasan

dengan penutup hidung dan mulut (bila tidak ada alat gunakan sapu tangan atau kasa pembalut yang dibasahi dengan air). 4. Daerah Operasi Terkontaminasi Bahan Radio Aktif. Taati

peraturan dan larangan yang ada (menggunakan pelindung, tindakan dekontaminasi). 1.

Jaga Kondisi kesehatan Istirahat

Kebutuhan istirahat / tidur ideal adalah 8 jam. Jika karena tugas terus menerus sehingga mengurangi waktu istirahat sebaiknya diganti dengan waktu yang memungkinkan, sehingga kesegaran jasmani pulih kembali. Seorang prajurit sebenarnya mampu bertugas dengan baik secara terus menerus selama 1 x 24 jam.

2. a. b. c. 3.

Makan Teratur dan Cukup Gizi. Sarapan pagi 1 jam sebelum aktifitas ( jam 04.00 06.00 ) Makan siang pada jam yang biasa ( jam 12.00 15.00 ) Makan malam sebelum istirahat malam (jam 18.00 19.00) Olah Raga Cukup. Dilaksanakan pada waktu yang ditentukan

dengan program latihan yang teratur.

32

l. 1. Kesamaptaan Jasmani (Direktorat Pembinaan Jasmani Angkatan Darat, 2002) a. Kemampuan fisik adalah suatu kondisi dan kesanggupan

tubuh dalam memberikan penampilan dan pengaturan sistem gerak dalam mengatasi dan menyelesaikan pekerjaan fisik. b. 1) penampilan tubuh. 2) Kesegaran jasmani atau kesemaptaan jasmani dasar, Komponen fisik, terdiri dari : Postur tubuh, menunjukan bentuk dan sikap

menunjukan kekuatan, daya tahan dan kelincahan tubuh dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan fisik secara umum yang berat dalam waktu relatif panjang. 3) Ketangkasan jasmani, merupakan keterampilan dan

ketrengginasan dalam melakukan gerakan umum dan khusus baik yang sulit maupun yang berat dengan cepat dan tepat.

c.

Tingkat kesamaptaan jasmani, ketiga komponen fisik

diatas sangat diperlukan oleh setiap prajurit, dan keterpaduan ketiga kommponen itulah yang disebut kesamaptaan jasmani dan selanjutnya mempunyai tingkat sebagai berikut: 1) tubuh 2) Kesegaran jasmani, untuk menghadapi tugas dan kewajiban Gerak dan olah raga, untuk membiasakan gerak alami dalam

secara umum. 3) Kesiapan dan kemantapan jasmani, untuk menghadapi segala

bentuk ancaman fisik.

2. Unsur-unsur setiap komponen secara umum a. 1) tubuh Komponen postur tubuh, unsurnya adalah : Tinggi dan berat badan, menggambarkan bentuk

33

2) 3) b. 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) c. 1) 2) 3) 4)

Sikap dalam penampilan Struktur anatomis Komponen kesegaran jasmani, unsurnya adalah : Tenaga ( Power ) Kekuatan ( Strength ) Daya tahan ( Endurance ) Kecepatan ( Speed ) Ketepatan ( Accuracy ) Kelincahan (Agility ) Koordinasi ( coordinnation ) Keseimbangan ( Balance ) Kelentukan ( Flexibility ) Komponen ketangkasan jasmani, unsurnya adalah : Kemampuan gerak secara umum ( Motor Capacity ) Gerakan dasar yang dimiliki ( Motor Ability ) Daya menyesuaikan gerak ( Motor Educability ) Keterampilan gerak ( Motor Skill )

3.

Sumber kesamaptaan jasmani, bersumber pada

manusia baik fisik maupun psikis yaitu ada pada semua organ tubuh dan unsur kejiwaan. a. Secara fisik dengan sumber utama ada pada otak, otot,

jantung, paru-paru, darah, tulang dengan susunan kerangka dan persendiannya, sedangkan sumber lainnya pada organ vital tubuh seperti hati, ginjal, mata dan lainnya. b. Secara psikis ada pada unsur jiwa seperti intelegensi, emosi

dan kepribadian.

4. Sifat kesamaptaan jasmani Sifat kesamaptaan jasmani sama dengan sifat dari organ sebagai sumbernya dan bila disimmpulkan secara umumm adalah sebagai berikut :

34

a. b.

Dapat dilatih untuk ditingkatkan. Meningkat dan menurun dalam periode waktu tertentu,

tidak dengan tiba-tiba ( mendadak ). c. Tidak menetap sepanjang masa dan selalu mengikuti

perkembangan usia manusia. d. Pengembangan dengan cara praktek menggerakan tubuh

dalam aktifitas jasmani.

5. Faktor yang mempengaruhi tingkat kesamaptaan jasmani Tinggi rendahnya, cepat lambatnya, berkembang dan meningkatnya kesamaptaan jasmani dipengaruhi oleh banyak faktor, baik dari dalam maupun dari luar tubuh sebagai berikut: 1. 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 2. 1) 2) 3) 4) 5) 6) Faktor dalam (Endogen) yang ada pada manusia sendiri adalah : Jenis kelamin Usia Ras / keturunan Keadaan dan sifat biologis Keadaan dan sifat psikologis Keadaan kesehatan Bakat dan minat Faktor luar (Eksogen) antara lain : Makanan Lingkungan alam Lingkungan sosial dan budaya Tugas dan pekerjaan Pembina / pelatih Dan lain-lain

6. Manfaat kesamaptaan jasmani Dengan memiliki kesamaptaan jasmani yang baik sangat berguna dalam kehidupan misalnya :

35

a.

Dengan postur yang baik dapat memberikan penampilan yang

memancarkan adanya kewibawaan lahiriah serta gerak yang efisien. b. Dengan kesegaran yang tinggi dapat tahan mengerjakan

pekerjaan-pekerjaan yang berat tanpa mengalami kelelahan yang berarti atau cidera, sehingga banyak hasil yang dicapai dalam pekerjaannya. c. Dengan ketangkasan yang tinggi banyak rintangan yang

dapat diatasi sehingga semua dapat berjalan dengan cepat dan tepat untuk mencapai tugas pokok. d. Kesamaptaan jasmani dapat memberikan dampak positif

pada aspek psikis dan sosial yaitu : 1) 2) usia. 3) 4) 5) 6) Komunikasi sosial yang serasi. Meningkatkan derajat kesehatan. Meningkatkan kesejahteraan dan moril. Meningkatkan kewibawaan. Kepercayaan diri yang kuat. Menimbulkan kepuasan dan kenikmatan dalam menjalani

7. Pokok-pokok pelaksanaan pembinaan a. Prinsip-prinsip Pembinaan jasmani. Dalam membina

kesamaptaan jasmani haruslah bertolak pada 3 prinsip pokok dengan landasan-landasannya sebagai berikut : 1) Dengan landasan falsafah bahwa manusia

merupakan suatu totalitas perpaduan jiwa dan jasmani, sehingga satu sama lainnya tak dapat dipisah-pisahkan. Atas dasar ini ditemukan prinsip meningkatnya kemampuan jasmani sekaligus dapat meningkatkan mental/psikologis 2) Dengan landasan azas-azas kemanusiaan. Dari landasan ini ditemukan prinsip : Dalam meningkatkan kemampuan biologis tidak perlu adanya pengorbanan mental/psikis, demikian sebaliknya dalam meningkatkan kemampuan mental/psikis tidak perlu mengakibatkan pengorbanan biologis .

36

3)

Dengan landasan ilmu pengetahuan : Bahwa dalam

meningkatkan kesamaptaan jasmani selalu tunduk kepada hukum-hukum biologis, psikologis dan sosial serta alam sekitar dan peraturan-peraturan yang berlaku. Atas dasar pengetahuan dan prinsip-prinsip inilah pembinaan jasmani disusun dalam sistem dan metoda untuk dilaksanakan agar dapat dipertanggung jawabkan. 4) Sistematika latihan jasmani. Latihan jasmani dimulai

dari yang ringan bertahap menuju ke yang berat dengan sistematika penyajian sebagai berikut : a) dari tubuh. b) c) Latihan inti dan kegiatan-kegiatan dalam program. Penenangan. yaitu pengaturan kegiatan menuju Pemanasan 5 10 menit, dengan mengulangi gerakan dasar

kepenenangan sampai penghentian latihan. b. Pembiasaan latihan. Bahwa pembiasaan latihan dapat

menciptakan kemampuan. Dengan pembiasaan akan terjadi proses : 1) 2) 3) Adaptasi / aklimatisasi Otomatisasi Refleksi

8. Pertimbangan dalam Penentuan Norma Kesamaptaan Jasmani a. b. c. d. Tugas. Jabatan. Umur. Jenis Kelamin.

m.

Epidemiologi militer.

Epidemiologi yang sering terjadi adalah penyakit di medan pertempuran dan penyakit menular yang mewabah di lingkungan prajurit.

37

n.

Rehabilitasi medik (RSPAD,2008)

Adalah pelayanan kesehatan terhadap gangguan fisik dan fungsional yang diakibatkan oleh keadaan atau kondisi sakit, penyakit atau cedera tempur prajurit melalui panduan intervensi medik, keterapian fisik dan atau

rehabilitatif untuk mencapai kemampuan fungsi yang optimal. Pelayanan Rehabilitasi Medik meliputi: Pelayananan Fisioterapi

Adalah bentuk pelayanan kesehatan untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi organ tubuh dengan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektro terapiutik dan mekanis), pelatihan. Pelayanan Okupasi Terapi

Adalah Pelayanan kesehatan untuk mengembangkan, memelihara, memulihkan fungsi dan atau mengupayakan kompensasi/adaptasi untuk aktivitas sehari-hari (Activity Daily Living), produktivitas, dan waktu luang melalui remediasi dan fasilitasi. Adalah Pelayanan Terapi Wicara bentuk pelayanan kesehatan untuk memulihkan dan

mengupayakan kompensasi/adaptasi fungsi komunikasi, bicara dan menelan dengan melalui pelatihan (fisik, elektroterapiutis dan mekanis) Pelayanan Ortotis-Prostetis: remediasi, stimulasi dan fasilitasi

Adalah salah satu bentuk pelayanan keteknisian medik yang ditujukan kepada individu untuk merancang, membuat dan mengepas alat bantu guna pemeliharaan dan pemulihan fungsi, atau pengganti anggota gerak. Pelayanan Psikologi

Adalah bentuk pelayanan untuk pengembangan, pemeliharaan mental emosianal serta pemecahan problem yang diakibatkan oleh

keadaan/kondisi sakit, penyakit dan cedera tempur. Pelayanan Sosial Medik

38

Adalah bentuk pelayanan pemecahan masalah sosial akibat dari suatu keadaan/kondisi sakit, penyakit atau cedera untuk bisa kembali ke masyarakat atau tugas prajurit. o. Forensik militer.

Kesehatan Matra Darat secara umum sudah dilaksanakan dan menjadi bagian dari kegiatan rutin Depkes dan jajarannya. Bidang Kesehatan Militer Matra Darat merupakan tanggung jawab Lakesmil. Dalam hal ini karena bidang Kesehatan Militer Matra Darat sudah banyak tertinggal baik dalam bidang penyiapan SDM maupun Alat peralatan maka Lakesmil memilih prioritas mengembangkan bidang Kesehatan Kerja Militer dan Kesehatan Jiwa Militer sehingga produk-produk nya secara langsung dan tidak langsung dapat mendukung tugas prajurit dalam kondisi damai (prajurit di home base), latihan maupun pertempuran.

39

B. Penelitian Terkait Sebelumnya Penelitian dengan tema ini sudah pernah dilakukan sebelumnya, diantaranya adalah yang dilakukan oleh Slamet Priyadi (2003), melakukan penelitian mengenai analisis faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru BTA (+) di Wonosobo, yang diteliti adalah lingkungan rumah, status gizi, minum-minuman alkohol, merokok, penyakit penyerta, kontak dengan penderita tuberkulosis paru dan sosial ekonomi yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru BTA (+), dengan desain penelitian case control. Penelitian lain dilakukan oleh Bambang Rusmanto (2010), yang menganalisis Faktor kependudukan dan lingkungan terhadap kejadian TB paru di kabupaten Pekalongan, dengan desain case control.

Yang membedakan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan adalah : 1. Di RS Salak Bogor belum pernah dilakukan penelitian mengenai TB Paru. 2. Subyek Penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya yaitu pada prajurit militer. 3. Pada penelitian ini variabel-variabel independentnya lebih ditekankan pada karakteristik prajurit (usia, pangkat, IMT, tempat tinggal, perilaku merokok, dan keikutsertaan penyuluhan) dengan insidensi TB paru di RS Salak Bogor.

40

C. Kerangka Teori

Karakteristik Karakteristik Penderita TB Paru Penderita TB Prajurit : Paru Prajurit :

Insidensi Penderita TB

Penyakit TB Paru Pada Prajurit

Klasifikasi karakteristik: Usia Pekerjaan Pangkat Tempat tinggal Keikusertaan Penyuluhan IMT BTA +/Perilaku Merokok

Faktor Risiko : Usia Jenis Kelamin Pekerjaan Sosial Ekonomi Kontak dengan penderita TB Pendidikan Merokok Status Gizi Kondisi rumah

Keterangan : = = Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti = Garis hubungan yang tidak diteliti = Garis hubungan yang diteliti

41

Bagan 2.3. Kerangka Teori Penelitian D.Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan.

Karakteristik Penderita TB Paru Pada Prajurit : Usia Pekerjaan Pangkat Tempat tinggal Keikusertaan Penyuluhan IMT Perilaku Merokok Insidensi Penyakit TB Pada Prajurit TNI di RS Salak Bogor periode Januari-

Bagan 2.4 Kerangka Konsep Penelitian A. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. H : Ada hubungan antara karakteristik prajurit terhadap insidensi penyakit tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode Januari-Desember tahun 2010. 2. H2 : Ada hubungan antara usia prajurit terhadap insidensi penyakit

tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode JanuariDesember tahun 2010. 3. H3 : Ada hubungan antara pangkat prajurit terhadap insidensi penyakit tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode JanuariDesember tahun 2010.

42

4. H4

Ada hubungan antara tempat tinggal prajurit terhadap insidensi

penyakit tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode Januari-Desember tahun 2010. 5. H5
:

Ada hubungan antara keikutsertaan penyuluhan terhadap insidensi

penyakit tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode Januari-Desember tahun 2010. 6. H6
:

Ada hubungan antara Indeks Massa Tubuh terhadap insidensi

penyakit tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode Januari-Desember tahun 2010. 7. H7 : Ada hubungan antara perilaku merokok terhadap insidensi penyakit tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode JanuariDesember tahun 2010.

You might also like